Disusun oleh :
Kelompok 2
Mardiana (1806101020009)
Safriadi (1806101020034)
2021
KATA PENGANTAR
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam
mata kuliah Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan. Bahan-bahan yang digunakan
didalam makalah ini kami kutip dari beberapa sumber, yang kemudian kami
rangkai kembali dengan kata-kata yang sesuai dengan kemampuan kami. Dalam
penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
makalah ini.
i
DAFTAR ISI
BAB 3 PENUTUP......................................................................................... 22
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Pada tahun 1955 negara Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang
baru memulai untuk menjadi negara yang berdemokrasi. Demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, dimana rakyat
berperan langsung dalam pemerintahan dan kekuasaan tertinggi dipegang oleh
rakyat. Sarana dari demokrasi adalah pemilihan umum yang ditujukan untuk
menampung aspirasi rakyat dalam pemerintahan. Pemilihan Umum adalah
mekanisme politik yang berhubungan erat dalam sistem politik demokrasi
dengan harapan aspirasi politik yang berbeda akan menyalurkan aspirasi
mereka lewat partai-partai politik atau calon-calon yang mereka dukung.
Pergeseran kekuasaan seperti pergantian pimpinan negara (suksesi) dan
pimpinan pemerintahan, perubahan haluan negara dan politik secara
konstitusional aman dan teratur tanpa kekacauan dan kekerasan atau kup
adalah dengan pemilihan umum.
1
Pemilihan umum tahun 1955 ini merupakan pemilihan umum yang
disiapkan dan diselenggarakan oleh tiga kabinet yang berbeda. Persiapannya
dilakukan oleh kabinet Wilopo, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh
kabinet Ali Sastroamidjojo dan kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet
Wilopo mempersiapkan rencana undang-undang dan mengesahkan undang-
undang pemilihan umum. Kabinet Ali Sastroamidjojo melaksanakan
pemilihan umum sampai tahap kampanye kemudian diganti kabinet
Burhanuddin Harahap yang melaksanakan tahapan selanjutnya yaitu
pemungutan suara. Peristiwa yang mendorong dan mempercepat adanya
pemilu 1955 ini ialah Peristiwa 17 Oktober 1952, yaitu terjadinya demonstrasi
di depan Istana Negara dan pengrusakan gedung parlemen oleh para
demonstran dengan tujuan meminta pembubaran parlemen. Kabinet Wilopo
berhasil menyusun undang-undang yang digunakan sebagai dasar hukum
pemilihan umum, yakni Undang-Undang Pemilihan Umum No. 7 Tahun 1953
beserta peraturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 9/1954. Undang-undang ini
merupakan pelaksanaan dari demokrasi menurut UndangUndang Dasar
Sementara Tahun 1950 yang menyebutkan bahwa kemauan rakyat adalah
dasar kekuasaan penguasa, kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan yang
berkala dan jujur. Pemilihan itu dilakukan menurut hak pilih yang bersifat
umum dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang
juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara. Setelah diterapkannya dasar
hukum maka tahap berikutnya adalah masa kampanye yang dilakukan oleh
partai politik untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Pada akhirnya
partai bercorak Islam bersaing ketat dengan partai beraliran Nasionalis yang
disaingi oleh partai berhaluan Komunis. Tujuan dari pemilihan umum tahun
1955 adalah pertama memilih anggota DPR yang akan duduk di pemerintahan,
kedua membentuk Konstituante yang akan menyusun konstitusi yang tetap
untuk menyempurnakan undang-undang yang masih bersifat sementara.
Pelaksanaan pemilihan umum tahun 1955 pada hakekatnya adalah realisasi
dari Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang ditandatangani
oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta menyebutkan bahwa sebentar lagi kita
2
akan melaksanakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa cita-cita atas dasar
kerakyatan benar-benar menjadi pedoman penghidupan masyarakat. Akan
tetapi dalam kenyataannya pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan, karena
sejak akhir tahun 1945 tentara sekutu sudah mendarat di Jawa dan mulailah
perjuangan bangsa kita mempertahankan kemerdekaannya. Keinginan dan
cita-cita bangsa Indonesia untuk mempunyai pemerintahan sendiri berdasar
kemauan rakyat tidak hanya dicetuskan sejak negara kita merdeka, tetapi telah
lama diperjuangkan sejak perjuangan kebangsaan yang dipelopori oleh HOS
Cokroaminoto dan Dr. Ciptomangunkusumo yang memperjuangkan di
volkstraad tahun 1918. Kemudian GAPI (Gabungan Politik Indonesia) tahun
1939 menyerukan dan menuntut untuk mengadakan gerakan “Indonesia
Berparlemen”. Akan tetapi perjuangan tersebut belum berhasil sampai
pemerintah Belanda menyerah kepada tentara Jepang. Pada tahun-tahun awal
kemerdekaan, stabilitas politik dan keamanan dalam negeri belum stabil
karena saat itu Indonesia sedang menghadapi serangan dari Belanda dan
sekutunya yang bermaksud untuk menguasai kembali Republik Indonesia.
Walaupun demikian, oleh berbagai kalangan pemilihan umum 1955 dianggap
sebagai pemilihan umum yang terbaik diantara beberapa pemilihan umum
yang sudah dilaksanakan di Indonesia karena dianggap jauh dari kecurangan
dan bersih dari hal-hal yang berbau politik padahal negara Indonesia baru
tumbuh dan berkembang menjadi negara yang berdemokrasi.
3
BAB 2
PEMBAHASAN
4
anggota parlemen kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak percaya yang
dapat berakibat krisi kbinet.
Selama sepuluh tahun sejak ( 1950-1959) ada tujuh kabinet yang dimana
rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun, kabinet-kabinet
demokrasi parlementer yaitu:
a Penyaluran tuntutan
Penyaluran terlihat sangat intens (frekuensi maupun volumenya tinggi)
dan melebihi kapasitas yang hidup , terutama kapasitas maupun
kemampuan mesin politik resmi. Nah dimana melalui system multi-partai
yang berlebihan, penaluran input sangat besar, namun kesiapan
kelembagaan belum seimbang untuk menampungnya. Selector da
penyaring aneka warna tuntutan itu kurang efektif berfungsi, karena
gatekeeper (elit politik) belum mempunyai konsesus-konsesus untuk
bekerja sama, atau pola kerja sama belum cukup tersedia.
b Pemeliharaan dan Konstitusi Nilai
5
Keyakinan atas hak asasi manusia yang demikian tingginya, sehingga
menumbuhkan kesempatan dan kebebasan luas dengan segala eksesnya.
Ideologisme atau aliran pemikiran ideologis bertarung dengan aliran
pemikiran pragmatik, aliran ini dipaham oleh paham sosial democrat
melalui PSI sedangkan yang beraliran ideologik dipahami oleh
nasionalisme radikal melalui PNI
c Integrasi Vertikal
Terjadi hubungan antara elit dengan masa berdasarkan pola integrasi
aliran, dimana integrasi ini tidak selalu berrarti prosesnya dari atas (elit) ke
bawah (massa) saja, melainkan juga massa ke kalanagn elit berdasarkan
pola partenalistik.
d Integrasi Horisontal
Antara elit politik tidak terjalin integrasi yang dapat dibanggakan.
Walaupun pada saat itu pernah terjalin integrasi kejiwaan anta relit, tetapi
pada akhirnya berproses ke arah disentegrasi, yang mana dipihak lain
bertentangan anta relit itu bersifat menajam da terbuka. Katagori elit
Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas lebih Nampak dalam
periode demokrasi liberal.
e Gaya Politik
Dimana pada gaya politik ini lebih bersifat kepada idiologis yang berarti
lebih menitikberatkan pada factor pembeda. Karena ideology cenderung
bersifat kaku dan tidak kompromistik atau reformistik. Adanya kelompok-
kelompok yang mengukuhi ideology secara berlainan , bahkan
bertentangan pada saat berhadapan dengan penetapan dasar negara pada
sidang konstituate. Yang mana gaya politik yang ideologik dalam
konstituate ini oleh elit nya masing-masing dibawa ke tengah rakyat,
sehingga timbul ketegangan dan perpecahan dalam masyarakat.
f Kepemimpinan
Dimana kepemimpinan ini berasal dari angkatan sumpah pemuda pada
tahun 1928 yang lebih cenderung dan juga belum permisif untuk
6
meninggalkan pikiran-pikiran paternal, primodial terhadap aliran ,agama,
suku, atau kedaerahan.
g Pola Pembangunan Aparatur Negara
Yang mana berlangsung dengan pola bebas, artinya ditolerir adanya ikatan
dengan kekuatan-kekuatan politikyang berbeda secara ideologis.
Akibatnya, fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan
umum tanpa pengecualian menjadi cenderung melayani kepentngan
golongan menurut ikatan primordial.
7
namun pada saat itu gaga. Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai
formatur. Setelah bekerja dua minggu berhasil di bentuk kabinet baru di bawah
pimpinan perdana menteri Wilopo, sehingga bernama kabinet wilopo, yang mana
kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI. yang mana terdapat
beberapa program pokok dari kabinet Wilopo yaitu:
Kabinet ini tidak mempunyai prestasi yang bagus, justru sebaliknya banyak
sekali Kendal yang muncul antara lain adalah:
8
pasca kekosongan selama 58 hari ( sepeninggalan kabinet wilopo). Selama
melakukan perundingan selama enam minggu dalam melakukan berbagai upaya
dalam pembentukan partai maka pada tanggal 31 juli 1953 “ kabinet Ali I” ini
diresmikan dan dikenal dengan nama kabinet Ali-Wongso. Mr. Ali
Sastroamidjojo dari PNI merupakan perdana menteri dalam kabinet ini. Adapun
kabinet Ali merupakan kabinet yang terakhir sebelum pemilihan umum I. Dalam
kabinet Ali, Masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen tidak turut
serta dalam hal ini NU ( Nahdatul Ulama) kemudian mengambil alih sebagai
kekuatan politik baru. Adapun sruktur yang mengisi kabinet Ali terdiri atas unsur-
unsur dari PNI, Ali Sastroamidjojo melakukan perluasan birokrasinya dalam
tubuh PNI, ia menganggap tindakan tersebut sangat penting bagi pemilihan yang
akan datang. Politik kebijakan yang di terapkan tersebut terlihat lebih
mengutamakan mengenai pertahanan kekuasaan serta membagi hasil-hasilnya atas
oenguasaan.
- Menjaga keamanan
Menjaga keamanan merupakan bagian dari program kerja kabinet Ali I,
hal ini karena kabinet Ali berani mengambil alih pemerintahan setelah
kabinet sebelumnya runtuh.
- Menciptakan Kemakmuran dan Kesejahteraan Rakyat
Adanya perang korea antara antara februari 1952- maret 1952 memberikan
dampak malasnya perekonomian Indonesia. Hal ini karena ekspor karet
nasional Indonesia menjadi turun 71%.
- Menyelenggarakan Pemilu
Dengan memasuki babak demokrasi liberal, maka system pemerintahan
Indonesia menjalani system yang sebelumnya dijalani oleh belanda.
Dimana imperialism kemudian mengenalkan Indonesia pada sruktur atau
susuna peerintahan yang masuk kedalam jenis parlementer.
- Pembebasan Irian Barat Secepatnya
9
Kemerdekaan Indonesia, menurut kabinet ini untuk tidak menyetujui
adanya RIS. Hal ini karna pemerintahan yang ada saat itu ingin berdaulat
dalam menjalankan kehidupan dalam bernegara.
- Pelaksanaan Politik Bebas-aktif
Adanya bipolarisasi dan politik konstelasi dunia mebuat Indonesia tidak
ingin telibat didalamnya. Apalagi Indonesia sendiri merupakan negara
yang baru merdeka, bahkan dalam menata negaranya Indonesia masih
belum tentu arah.
- Menyelasaikan Pertikaian Politik
Telah diketahui bahwa keadaan politik di Indonesia sangat tidak stabil
pada masa itu. Perpecahan terjadi di kalangan elite politik. Tahta, jabatan,
dan kekuasaan membuat Indonesia semakin terpuruk dalam kehidupan
bernegara.
10
kerjanya, walaupun digolongkan sebagai cabinet yang bertahan lama, tapi tidak
semua hasil diperoleh secara maksimal. Akan tetapi cabinet ini telah berhasil
memberi sumbangan kepada Indonesia, maupun benua Asia-Afrika. Adanya
peristiwa pada tanggal 18 April – 24 April 1955 itu disaksikan oleh Gedung
Merdeka, Bandung. Saat itu Indonesia denga tujuan mempromosikan kerja sama
ekonomi dan kebudayan Asia-Afrika. Pada April- mei 1954 terdapat pertemuan
antara perdana Menteri india, Pakistan, sri lanka, birma dan Indonesia ( di
selenggarakan di colombo). Sebenarnya situasi politik yang tidak stabil di
Indonesia di alihkan ali pada suatu peristiwa yang bisa dikatakan mampu
mengangkat nama Indonesia. Disana Ali mengusulkan KAA, hal ini didukung
oleh negara lain, Adapun KAA telah menunjukkan kemenangan bagi pemerintah
Ali Ketika itu tedapat 29 negara yang hadir ( negara-negara besar Afrika, Asia
hanya kedua Korea, Israel, Afrika Selatan, dan Mongolia luar yang tidak
diundang)
11
yang kemudian menyetujui piagam persatuan dan kesepakatan. Pada tanggal 27
juni pewira menolak mengakui orang yang di angkat cabinet, maka dari uraian
tersebut sangat terlihat banwa PKI mendapat tempat pada masa cabinet Ali, hal ini
dpaat dilihat dri eksitensi PKI pada ajang pemilihan umum.
12
Pemerintah secepatnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
UUDS 1950 pasal 135 ayat (2) menentukan bahwa Anggota-anggota Konstituante
dipilih oleh warga negara Indonesia dengan dasar umum dan dengan cara bebas
dan rahasia menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Ini berarti
bahwa untuk penyusunan Konstituante tersebut harus melalui suatu pemilihan
umum.
13
Untuk menyelenggarakan pemilihan dibentuk badan-badan
penyelenggaraan yang dinamakan Panitia Pemilihan Indonesia di Ibukota, Panitia
Pemilihan di tiap daerah pemilihan dan Panitia Pemilihan Kabupaten di tiap
kabupaten. Panitia itu terdiri dari pejabat-Pejabat pemerintah dengan dibantu
partai partai politik, tanggung jawab pelaksanaan pada menteri dalam negeri,
tetapi kekuasaan yang luas pada Panitia Pemilihan Indonesia atau partai-partai
(Imam Suhadi, 1981: 22). Panitia Pemilihan telah dibentuk sejak kabinet Wilopo
yang diketuai Mr Asaat (non partai), tetapi terkatung-katung tidak menentu, maka
pada waktu kabinet Ali diadakan penggantian yang diketuai S.Hadikusuma (PNI)
dengan komposisi angota-anggotanya sebagian besar mencerminkan partai-partai
pemerintah, mendapat protes keras dari Partai-partai di luar pemerintah.
Penyelenggaraan pemilihan umum ini, sama sekali terpisah dari eksekutif.
Pemerintah disini bertindak sebagai penanggung jawab saja. Bahkan Panitia
Pemilihan Indonesia dapat mengajukan pendapat-Pendapat dan anjuran-anjuran
serta usul usul baik diminta maupun tidak Kepada Menteri Kehakiman dan
Menteri Dalam Negeri mengenai Pemilihan ini (pasal 133). Dengan demikian
tidak ada anggapan bahwa Pemerintah ikut campur tangan dalam pemilihan
umum. Ini perlu untuk Menjamin asas bebas dan rahasia dari pemilihan umum,
dan dengan Demikian maka pemilihan umum tersebut dapat dijalankan dengan
Demokratis.
Pemilu 1955 tidak hanya diikuti oleh partai politik saja, tetapi juga oleh
organisasi maupun perorangan. Dalam pemilihan umum anggota DPR diikuti
peserta sebanyak 118 peserta pemilu yang terdiri atas: partai politik 36, organisasi
34, perorangan 48. Sementara itu peserta pemilihan umum anggota Konstituante
terdiri atas: partai politik 39, organisasi 23, perorangan sebanyak 29. Herberth
Feith Mengelompokan peserta pemilihan umum 1955 berdasarkan perolehan
kursinya menjadi: Partai Besar, Partai Menengah, Kelompok kecil yang
bercakupan Nasional, kelompok kecil yang bercakupan Daerah. Partai Besar yaitu
PNI (Partai Nasional Indonesia). Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia),
14
Nahdatul Ulama, PKI (Partai Komunis Indonesia). Partai Menengah yaitu PSII
(Partai Syarikat Islam Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai
Katholik, PSI (Partai Sosialis Indonesia), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah),
IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Kelompok kecil yang
Bercakupan Nasional yaitu PRN (Partai Rakyat Nasional), Partai Buruh, FPPS (
Gerakan Pembela Pancasila), PRI (Partai Rakyat Indonesia), PPRI (Persatuan
Polisi Republik Indonesia), Partai Murba, Baperki (Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia), PIR (Partai Indonesia Raya) Wongsonegoro, PPTI
(Partai Perssatuan Tarikat Islam), A Coma (Angkatan Communis Muda).
Kelompok kecil yang bercakupan daerah yaitu Gerinda – Yogyakarta, Partai
Persatuan Daya – Kalimantan Barat, PRD (Partai Rakyat Desa) – Jawa Barat,
R.Soedjono Prawonosoedarso dan kawan-kawan – Madiun, Gerakan Pilihan
Sunda –Jawa Barat, Partai Tani Indonesia – Jawa Barat, Raja keprabon dan
Kawan-kawan – Cirebon, Jawa Barat, Gerakan Banteng – Jawa Barat, PIR
(Persatuan Indonesia Raya) – Nusa Tenggara Barat, PPLM Idrus Effendi (Panitia
Pendukung Pencalonan L.M. Idrus Effendi) – Sulawesi Tenggara.
15
Pemilihan umum disahkan menjadi undang-undang dapat dianggap sebagai awal
kampanye tahap pertama. Sejak hari itu atau bahkan mungkin sejak Peristiwa 17
Oktober 1952 yang mendorong pengabsahan Undang-undang pemilihan umum
sudah timbul perasaan bahwa Kemungkinan besar pemilihan umum akan
diselenggarakan tidak lama lagi. Para pemimpin partai sudah tidak bisa lagi
mendasarkan sepak terjang mereka terhadap janji-janji pemerintah mengenai
pemilihan umum. Tanggal 31 Mei 1954 bisa dianggap awal kampanye tahap
kedua, Ketika tanda gambar partai disahkan oleh Panitia Pemilihan Indonesia,
Dan dengan demikian terbukalah jalan untuk kampanye berdasarkantanda gambar
(Herbert Feith, 1999: 10). Pada masa awal kemerdekaan (1945-1949) partai-partai
politik tidak hanya bertarung untuk memperebutkan kekuasaan politik di Republik
ini, akan tetapi melalui sayap militer masing-masing untuk mempertahankan
kelangsungan hidup Republik Indonesia. Terdorong Untuk menggalang dukungan
aktif petani terhadap Republik, partai-partai memperluas pengaruh di desa-desa.
Di pedesaan hanya sedikit persaingan diantara partai-partai yang muncul adalah
kecenderungan suatu wilayah yang luas menjadi daerah partai tertentu. Akibatnya
di tingkat desa tidak banyak dilakukan upaya untuk mendirikan organisasi resmi
partai. Namun demikian tidak bisa disangkal, dampak partai-partai politik di
pedesaan dapat dirasakan. Partai partai pemerintah menjadikan anti-kolonialisme
bagian utama perlengkapan kampanye mereka. Mereka memuji-muji keteguhan
Kabinet membasmi sisa-sisa kekuasan kolonial di Indonesia dan upaya-upaya
yang dilakukannya untuk merebut kembali Irian Barat. Ketika Presiden Soekarno
memperingatkan adanya upaya-upaya dari kekuatan asing untuk menggulingkan
kabinet, yang menyiratkan dengan jelas bahwa para pemimpin oposisi terlibat
dalam upaya ini, partai-partai pemerintah memperoleh argumen yang kuat.
Mereka mendapat argumen yang lebih kuat lagi dengan berhasilnya pemerintah
menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung, lima bulan sebelum
diadakan pemilihan umum untuk Parlemen. Dalam setiap kampanye nama tokoh-
tokoh partai yang dipilih untuk ditonjolkan dalam kampanye, mengikuti urutan
nama mereka dalam daftar calon untuk masing-masing daerah pemilihan. Oleh
karena Itu, partai-partai yang menempatkan pemimpin tunggal pada daftar tempat
16
teratas dalam daftar calon seperti PKI, Masyumi, dan PSI misalnya menonjolkan
ciri-ciri pribadi pemimpin yang bersangkutan. Partai-partai lain biasanya menaruh
paling atas nama-nama calon yang Dianggap punya daya tarik besar di daerah
pemilih tertentu, dan menekankan ciri-ciri pribadi para calon yang bersangkutan
dalamkampanyenya. Prosedur pencalonan yang mudah, dan karena tidaka ada
batas bagi panjangnya daftar calon, mendorong pencalonan banyak orang Yang
tidak mungkin akan terpilih, tetapi yang punya nama di kalangan kelompok
tersebut. Di tingkat desa, kampanye umumnya juga menonjolkan ciri-ciri pribadi
tokoh desa. Sangat beragam metode dan teknik kampanye yang digunakan dari
partai-partai dan dari daerah-daerah. Pertemuan pertemuan diselenggarakan di
semua tingkat, di alun-alun kota atau di balai desa dengan para pembicara dari
Jakarta atau tokoh partai setempat, rapat umum atau rapat anggota, pertemuan
perempuan atau pemuda, ceramah umum, pemutaran film, perayaan ulang tahun
atau pawai, perayaan hari besar agama, dan pertemuan yang diramaikan teater
rakyat. Pada waktu Itu, demi pemilihan umum banyak orang yang dengan senang
hati berjalan kaki sejauh lima kilometer atau lebih menuju ke tempat pemungutan
suara. Ada pula yang harus naik perahu untuk mencapai pulau terdekat yang ada
tempat memilihnya, dan yang paling adalah bahwa mereka tidak mengeluhkan hal
itu (Baskara T Wardaya, 2004: 12).
17
Peserta pemilihan umum 1955 tidak hanya diikuti oleh partai politik, tetapi
juga diikuti oleh organisasi maupun perorangan. Pemilihan umum 1955 untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat diikuti: 36 Partai politik, 34
organisasi, dan 48 perorangan, sedangkan untuk memilih anggota Konstituante
diikuti 39 partai politik, 23 organisasi, dan 29 perorangan. Berdasarkan Undang-
undang Nomor 7 tahun 1953 sebagai dasar penyelenggaraan pemilihan umum
1955, daerah pemilihan ditetapkan menjadi 16 daerah pemilihan sebagai berikut:
1. Jawa Timur, 2. Jawa Tengah bersama dengan DI.Yogyakarta, 3. Jawa Barat, 4.
Jakarta raya, 5. Sumatra Selatan, 6. Sumatra Tengah, 7. Sumatra Utara, 8. Maluku,
9. Kalimantan Barat, 10. Kalimantan selatan, 11. Kalimantan Timur, 12. Sulawesi
Utara/tengah, 13. Sulawesi Tenggara/ Selatan, 14. Sunda Kecil Timur, 15. Sunda
kecil Barat, dan 16. Irian Barat. Pendaftaran pemilih dalam pemilihan umum 1955
diseluruh Indonesia, dilakukan oleh panitia pendaftaran pemilih. Jumlah pemilih
diseluruh Indonesia berjumlah 43,104,464 dari 77,987,879 jumlah penduduk di
seluruh Indonesia.
Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditetapkan berdasarkan
imbangan jumlah penduduk, dengan perhitungan untuk setiap 300.000 penduduk
memperoleh seorang wakil. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jumlah anggota
DPR dapat dihitung.
Dilihat dari Undang-undang dasar sementara negara repubik indonesia
1950 pasal 56 yang berbunyi: Dewan Perwakilan Rakyat mewakili seluruh rakyat
Indonesia terdiri dari sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasar atas
perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk warga negara Indonesia mempunyai
seorang wakil. Dengan cara: Jumlah penduduk diseluruh Indonesia dibagi
imbangan jumlah penduduk yaitu 300.000 penduduk. Jadi jumlah anggota DPR
diseluruh Indonesia adalah: 77,987,879 : 300.000= 259 sisa= 287.879 dibulatkan
menjadi 260, sedangkan Jumlah anggota konstituante, ditetapkan berdasarkan
imbangan jumlah penduduk dengan perhitungan untuk setiap 150.000 penduduk,
memperoleh seorang wakil dan apabila ada sisa dibulatkan ketas. Anggota
Konstitituante dipilih oleh warga negara Indonesia, dengan dasar umum dan
18
dengan cara bebas dan rahasia menurut aturan yang ditetapkan oleh undang-
undang.
Dari Pemilu 1955, dibentuklah partai koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU
tanpa melibatkan PKI. Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjojo (PNI)
sebagai Perdana Menteri, Mr. Mohammad Roem (Masyumi) sebagai Wakil PM 1,
K.H. Idham Chalid (NU) sebagai Wakil PM II. Oleh karena itu, kabinet ini
dikenal dengan nama Kabinet ALI II atau Kabinet Ali-Roem-Idham.
Hasil Pemilu 1955 menunjukkan bahwa meskipun mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam (88%), tidak semua penduduk Indonesia menyalurkan
aspirasinya pada partai atau golongan Islam. Pada pemilu ini, partai dan kelompok
Islam hanya memperoleh 116 kursi (45,2%) dari 257 kursi parlemen yang
diperebutkan. Namun jika dibandingkan dengan jumlah wakil partai-partai Islam
di DPR sementara (sebelum pemilu) yang hanya berjumlah 57 orang di DPR
sementara sementara (sebelum pemilu), maka sebenarnya hasil itu mengalami
kenaikan yang cukup besar. Perolehan suara dan kursi di DPR (Parlemen) bagi
setiap partai atau kelompok Islam adalah sebagai berikut.
19
2. Jumlah Suara, Persentase, dan Kursi DPR dari Partai Islam
Nama Partai Jumlah Suara Persentase Jumlah Kursi di
Yang Diperoleh Perlemen (DPR)
Masyumi 7.903.886 20.9 % 57
NU 6.955.141 18,4 % 45
PSII 1.091.160 2,9 % 8
Perti 483.014 1,3 % 4
PPTI 85.131 0,3 % 1
AKU 81.454 0,2 % 1
Sedangkan untuk anggoya Konstituante, perolehan suara partai-partai
Islam mengalami penurunan yakni 16.464.008 suara dan memperoleh 228 kursi
dari 514 kursi yang diperebutkan. Dalam Pemilu 1955 ini, Masyumi paling
kecewa karena sebelumnya berharap besar akan menang dengan suara mutlak.
Harapan tersebut dianalisis dari keanggotaan Masyumi berjumlah 40 juta.
Menurut Zulfikriddin (2010: 109) analisis tersebut berlebihan mengingat jumlah
penduduk yang memiliki hak suara berjumlah 43.104.463 jiwa. Hal lain yang
menyebabkan melesetnya perkiraan tersebut karena tersebarnya pemilih ke
berbagai peserta pemilu, khususnya PNI dan NU. Adapun partai yang paling puas
terhadap hasil pemilu adalah PKI karena berhasil membuat kejutan dengan
menambah jumlah kursi di parlemen, NU dari 8 menjadi 45, sedangkan PKI dari
17 menjadi 39.
Masyumi mendapat kursi sama banyak dengan PNI di DPR, meskipun
PNI mendapatkan suara yang lebih banyak karena keunggulan masyumi lebih
merata. PNI hanya menang di daerah pemilihan Jawa Tengah, sedangkan
Masyumi menang di 10 daerah pemilihan. Adapun NU menang di daerah
pemilihan Jawa Timur dan NTB. Berdasarkan hal ini, berarti Masyumi merupakan
partai yang lebih didukung secara luas dan merata di seluruh Indonesia.
Keberhasilan tersebut menurut Abdul Munir dan Boyd R. Compton disebakan
kepemimpinan Natsir, sehingga Masyumi berada pada posisi teratas dari seluruh
perolehan suara partai-partai Islam sepanjang sejarah pemilu di Indonesia (Abdul
20
Munir Mulkhan, 1994: 141). Namun secara keseluruhan pada pemilu 1955
perolehan suara partai-partai Islam berjumlah 45% dari seluruh suara yang masuk.
Hal tersebut sangat mempengaruhi kelancaran dalam memperjuangkan cita-cita
partai tersebut dalam parlemen maupun dalam majelis konstituante, realitas
tersebut segera terlihat pada perdebatan tentang negara dalam konstituante.
21
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemilihan umum tahun 1955 ini merupakan pemilihan umum yang disiapkan
dan diselenggarakan oleh tiga kabinet yang berbeda. Persiapannya dilakukan oleh
kabinet Wilopo, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh kabinet Ali
Sastroamidjojo dan kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet Wilopo
mempersiapkan rencana undang-undang dan mengesahkan undang-undang
pemilihan umum. Kabinet Ali Sastroamidjojo melaksanakan pemilihan umum
sampai tahap kampanye kemudian diganti kabinet Burhanuddin Harahap yang
melaksanakan tahapan selanjutnya yaitu pemungutan suara. Sistem pemilihan
yang digunakan dalam penyelenggaraan pemilihan umum 1955, adalah sistem
proporsional. Sistem proporsional mempunyai ciri yaitu jumlah anggota DPR dan
Konstituante ditetapkan berdasarkan imbangan penduduk, tiap daerah pemilihan
memilih lebih dari seorang wakil, dan penetapan jumlah kursi yang akan
diperoleh tiap peserta pemilu, serta seimbang dengan besarnya dukungan pemilih
yaitu jumlah suara yang diperoleh. Pemilihan umum 1955 untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat diikuti: 36 Partai politik, 34 organisasi, dan 48
perorangan, sedangkan untuk memilih anggota Konstituante diikuti 39 partai
politik, 23 organisasi, dan 29 perorangan. Hasil pemilihan umum 1955
menunjukkan persaingan sengit antara empat partai seperti PNI, Masyumi, NU
dan PKI. Dari Pemilu 1955, dibentuklah partai koalisi antara PNI, Masyumi, dan
NU tanpa melibatkan PKI. Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjojo
(PNI) sebagai Perdana Menteri, Mr. Mohammad Roem (Masyumi) sebagai Wakil
PM 1, K.H. Idham Chalid (NU) sebagai Wakil PM II. Oleh karena itu, kabinet ini
dikenal dengan nama Kabinet ALI II atau Kabinet Ali-Roem-Idham. Hasil Pemilu
1955 menunjukkan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama
Islam (88%), tidak semua penduduk Indonesia menyalurkan aspirasinya pada
partai atau golongan Islam. Pada pemilu ini, partai dan kelompok Islam hanya
22
memperoleh 116 kursi (45,2%) dari 257 kursi parlemen yang diperebutkan.
Namun secara keseluruhan pada pemilu 1955 perolehan suara partai-partai Islam
berjumlah 45% dari seluruh suara yang masuk.
23
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafii Maarif. 1996. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani Press
24