Anda di halaman 1dari 27

PEMILU 1955

Dosen Pengampu : Muhammad Haikal, S.Pd, M.Pd

Disusun oleh :

Kelompok 2

Novia Rizki Ananda (1806101020023)

Resi Sartika (1806101020014)

Mardiana (1806101020009)

Safriadi (1806101020034)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya


sehingga kami dapat menyelesaikan salah satu tugas penyusunan makalah yang
berjudul “Pemilu 1955”. Shalawat dan salam juga kami sanjung sajikan kepada
baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabat.

Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam
mata kuliah Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan. Bahan-bahan yang digunakan
didalam makalah ini kami kutip dari beberapa sumber, yang kemudian kami
rangkai kembali dengan kata-kata yang sesuai dengan kemampuan kami. Dalam
penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
makalah ini.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Dosen pengampu pada mata


kuliah ini yaitu Bapak Muhammad Haikal, S.Pd., M.Pd, yang telah banyak
membimbing kami dalam penulisan makalah ini. Demikian, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Banda Aceh, 21 April 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................... 3

BAB 2 PEMBAHASAN ............................................................................... 4

2.1 Kondisi Politik Indonesia Sebelum Pemilu 1955 .............................. 4


2.2 Pelaksanan Pemilihan Umum 1955 .................................................. 12
2.3 Hasil Pemilihan Umum 1955 ............................................................. 17

BAB 3 PENUTUP......................................................................................... 22

3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 24

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 1955 negara Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang
baru memulai untuk menjadi negara yang berdemokrasi. Demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, dimana rakyat
berperan langsung dalam pemerintahan dan kekuasaan tertinggi dipegang oleh
rakyat. Sarana dari demokrasi adalah pemilihan umum yang ditujukan untuk
menampung aspirasi rakyat dalam pemerintahan. Pemilihan Umum adalah
mekanisme politik yang berhubungan erat dalam sistem politik demokrasi
dengan harapan aspirasi politik yang berbeda akan menyalurkan aspirasi
mereka lewat partai-partai politik atau calon-calon yang mereka dukung.
Pergeseran kekuasaan seperti pergantian pimpinan negara (suksesi) dan
pimpinan pemerintahan, perubahan haluan negara dan politik secara
konstitusional aman dan teratur tanpa kekacauan dan kekerasan atau kup
adalah dengan pemilihan umum.

Sejarah pemilihan umum di Indonesia dimulai pada awal zaman revolusi.


Rencana untuk mengadakan pemilihan umum nasional sudah diumumkan
pada 5 Oktober 1945, kemudian pada 1946 diadakan pemilihan umum di
Karesidenan Kediri dan Surakarta yang cakupannya untuk lokal saja
sedangkan untuk skala nasional masih belum bisa terealisasikan. Bahkan sejak
tahun 1950, janji-janji mengenai pemilihan umum nasional sudah sering
dikemukakan oleh berbagai kabinet. Dalam kenyataannya, pemerintah
menunda pelaksanaan pemilihan umum untuk mengurusi hal-hal yang lebih
penting dibandingkan dengan pemilihan umum, ditambah dengan adanya
gerakan menentang diadakannya pemilihan umum yang dilancarkan oleh
sejumlah partai serta kelompok-kelompok anggota parlemen sementara
mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan pemilihan umum.

1
Pemilihan umum tahun 1955 ini merupakan pemilihan umum yang
disiapkan dan diselenggarakan oleh tiga kabinet yang berbeda. Persiapannya
dilakukan oleh kabinet Wilopo, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh
kabinet Ali Sastroamidjojo dan kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet
Wilopo mempersiapkan rencana undang-undang dan mengesahkan undang-
undang pemilihan umum. Kabinet Ali Sastroamidjojo melaksanakan
pemilihan umum sampai tahap kampanye kemudian diganti kabinet
Burhanuddin Harahap yang melaksanakan tahapan selanjutnya yaitu
pemungutan suara. Peristiwa yang mendorong dan mempercepat adanya
pemilu 1955 ini ialah Peristiwa 17 Oktober 1952, yaitu terjadinya demonstrasi
di depan Istana Negara dan pengrusakan gedung parlemen oleh para
demonstran dengan tujuan meminta pembubaran parlemen. Kabinet Wilopo
berhasil menyusun undang-undang yang digunakan sebagai dasar hukum
pemilihan umum, yakni Undang-Undang Pemilihan Umum No. 7 Tahun 1953
beserta peraturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 9/1954. Undang-undang ini
merupakan pelaksanaan dari demokrasi menurut UndangUndang Dasar
Sementara Tahun 1950 yang menyebutkan bahwa kemauan rakyat adalah
dasar kekuasaan penguasa, kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan yang
berkala dan jujur. Pemilihan itu dilakukan menurut hak pilih yang bersifat
umum dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang
juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara. Setelah diterapkannya dasar
hukum maka tahap berikutnya adalah masa kampanye yang dilakukan oleh
partai politik untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Pada akhirnya
partai bercorak Islam bersaing ketat dengan partai beraliran Nasionalis yang
disaingi oleh partai berhaluan Komunis. Tujuan dari pemilihan umum tahun
1955 adalah pertama memilih anggota DPR yang akan duduk di pemerintahan,
kedua membentuk Konstituante yang akan menyusun konstitusi yang tetap
untuk menyempurnakan undang-undang yang masih bersifat sementara.
Pelaksanaan pemilihan umum tahun 1955 pada hakekatnya adalah realisasi
dari Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang ditandatangani
oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta menyebutkan bahwa sebentar lagi kita

2
akan melaksanakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa cita-cita atas dasar
kerakyatan benar-benar menjadi pedoman penghidupan masyarakat. Akan
tetapi dalam kenyataannya pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan, karena
sejak akhir tahun 1945 tentara sekutu sudah mendarat di Jawa dan mulailah
perjuangan bangsa kita mempertahankan kemerdekaannya. Keinginan dan
cita-cita bangsa Indonesia untuk mempunyai pemerintahan sendiri berdasar
kemauan rakyat tidak hanya dicetuskan sejak negara kita merdeka, tetapi telah
lama diperjuangkan sejak perjuangan kebangsaan yang dipelopori oleh HOS
Cokroaminoto dan Dr. Ciptomangunkusumo yang memperjuangkan di
volkstraad tahun 1918. Kemudian GAPI (Gabungan Politik Indonesia) tahun
1939 menyerukan dan menuntut untuk mengadakan gerakan “Indonesia
Berparlemen”. Akan tetapi perjuangan tersebut belum berhasil sampai
pemerintah Belanda menyerah kepada tentara Jepang. Pada tahun-tahun awal
kemerdekaan, stabilitas politik dan keamanan dalam negeri belum stabil
karena saat itu Indonesia sedang menghadapi serangan dari Belanda dan
sekutunya yang bermaksud untuk menguasai kembali Republik Indonesia.
Walaupun demikian, oleh berbagai kalangan pemilihan umum 1955 dianggap
sebagai pemilihan umum yang terbaik diantara beberapa pemilihan umum
yang sudah dilaksanakan di Indonesia karena dianggap jauh dari kecurangan
dan bersih dari hal-hal yang berbau politik padahal negara Indonesia baru
tumbuh dan berkembang menjadi negara yang berdemokrasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana kondisi politik Indonesia sebelum pemilihan umum 1955 ?
2. Bagaimana proses pelaksanaan pemilihan umum 1955 ?
3. Bagaimana hasil pemilihan umum 1955 ?
1.3 Tujuan
1. Agar mengetahui kondisi politik Indonesia sebelum pemilihan umum
1955.
2. Agar memahami bagaimana proses pelaksanaan pemilihan umum 1955.
3. Agar mengetahui hasil hasil dari pemilihan umum 1955

3
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Politik Sebelum Pemilihan Umum 1955

Pada saat itu indonesia melaksanakan demokrasi parlementer sejak tahun


1950 yang liberal dengan mencontoh system parlementer barat nah dimana pada
masa ini itu disebut dengan demokrasi liberal. Dimana pada masa itu Indonesia
dibagi menjadi 15 provinsi yang dimana mempunyai otonomi berdasarkan UUDS
1950. Demokrasi liberal berlangsung sejak 3 november 1945 yaitu sejak system
multi-partai berlaku melalui maklumat pemerintahan yang mana system ini itu
lebih menampakkan sifat instabilitas politik setelah berlaku system parlementer
dalam naungan UUD 1945 periode pertama.

Di Indonesia, demokrasi liberal mengalami perubahan-perubahan kabinet


yang mana mengakibatkan perubahan yang tidak stabil, dimana demokrasi liberal
ini secara formal berakhir pada tanggal 5 juli 1959 setelah dikeluarkannya dekrit
presiden sedangkan secara material berakhir pada saat gagasan demokrasi
terpimpin dilaksanakan. Dimana demokrasi liberal ini disebut juga dengan
demokrasi parlementer akan tetapi tanpa parlemen yang sesungguhnya sampai
diselenggarakannya pemilihan umum pertama pada tahun 1955, dengan demikian
periode demokrasi liberal yang sesungguhnya baru dimulai setelah pemilihan
umum pertama itu, sekalipun dalam praktiknya telah berjalan sejak November
1945. Dimana ciri utama masa demokrasi liberal ini adalah sering bergantinya
kabinet yang mana hal ini disebabkan karna jumblah partai yang cukup banyak
akan tetapi tidak ada partai yang memiliki mayoritas mutlak.diamana setiap
kabinet itu terpaksa disukung oleh sejumblah partai berdasarkan hasil usaha
pembentukan partai (kabinet pormatur), bila dalam masa perjalanannya kemudia
ada salah satu partai pendukung itu mengundurkan diri dari kabinet maka kabinet
akan mengalami krisis kabinet, nah kemudian setelah berhasil pembentukannya,
maka kabinet akan dilantik oleh presiden. Kabinet dapat berfungsi bla
memperoleh kepercayaan dari parlemen, nah sebaliknya apabila ada sekelompok

4
anggota parlemen kurang setuju ia akan mengajukan mosi tidak percaya yang
dapat berakibat krisi kbinet.

Selama sepuluh tahun sejak ( 1950-1959) ada tujuh kabinet yang dimana
rata-rata satu kabinet hanya berumur satu setengah tahun, kabinet-kabinet
demokrasi parlementer yaitu:

1. Kabinet Natsir ( 7 september 1950-21 maret 1951)


2. Kabinet Soekiman ( 27 april 1951-23 februari 1952)
3. Kabinet Wilopo ( 3 April 1952- 3 juni 1953)
4. Kabinet Ali-Wongso ( 1 agustus 1953- 24 juli 1955)
5. Kabinet Burhanudin Harahap ( 12 agustus 1955- 3 maret 1956)
6. Kabinet Ali II ( 20 MARET 1956- 4 MARET 1957)
7. Kabinet Djuanda (9 April 1956-4 maret 1957)

Program kabinet pada umumnya tidak dapat diselesaikan mosi yang


diajukan untuk menjatuhkan kabinet lebih mengutamakan merebut kedudukan
partai dari pada menyelamatkan rakyat. Sementara itu para elit politik sibuk
dengan kursi kekuasaan, rakyat mengalami kesulitan karena adanya berbagai
gangguan keamanan dan beratnya perekonomian yang menimbulkan lebihnya
sosial ekonomi. Dalam periode demokrasi liberal terdapat beberapa hal yang
secara pasti dapat dikatakan telat melekat dan mewarnai prosesnya, yaitu:

a Penyaluran tuntutan
Penyaluran terlihat sangat intens (frekuensi maupun volumenya tinggi)
dan melebihi kapasitas yang hidup , terutama kapasitas maupun
kemampuan mesin politik resmi. Nah dimana melalui system multi-partai
yang berlebihan, penaluran input sangat besar, namun kesiapan
kelembagaan belum seimbang untuk menampungnya. Selector da
penyaring aneka warna tuntutan itu kurang efektif berfungsi, karena
gatekeeper (elit politik) belum mempunyai konsesus-konsesus untuk
bekerja sama, atau pola kerja sama belum cukup tersedia.
b Pemeliharaan dan Konstitusi Nilai

5
Keyakinan atas hak asasi manusia yang demikian tingginya, sehingga
menumbuhkan kesempatan dan kebebasan luas dengan segala eksesnya.
Ideologisme atau aliran pemikiran ideologis bertarung dengan aliran
pemikiran pragmatik, aliran ini dipaham oleh paham sosial democrat
melalui PSI sedangkan yang beraliran ideologik dipahami oleh
nasionalisme radikal melalui PNI
c Integrasi Vertikal
Terjadi hubungan antara elit dengan masa berdasarkan pola integrasi
aliran, dimana integrasi ini tidak selalu berrarti prosesnya dari atas (elit) ke
bawah (massa) saja, melainkan juga massa ke kalanagn elit berdasarkan
pola partenalistik.
d Integrasi Horisontal
Antara elit politik tidak terjalin integrasi yang dapat dibanggakan.
Walaupun pada saat itu pernah terjalin integrasi kejiwaan anta relit, tetapi
pada akhirnya berproses ke arah disentegrasi, yang mana dipihak lain
bertentangan anta relit itu bersifat menajam da terbuka. Katagori elit
Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas lebih Nampak dalam
periode demokrasi liberal.
e Gaya Politik
Dimana pada gaya politik ini lebih bersifat kepada idiologis yang berarti
lebih menitikberatkan pada factor pembeda. Karena ideology cenderung
bersifat kaku dan tidak kompromistik atau reformistik. Adanya kelompok-
kelompok yang mengukuhi ideology secara berlainan , bahkan
bertentangan pada saat berhadapan dengan penetapan dasar negara pada
sidang konstituate. Yang mana gaya politik yang ideologik dalam
konstituate ini oleh elit nya masing-masing dibawa ke tengah rakyat,
sehingga timbul ketegangan dan perpecahan dalam masyarakat.
f Kepemimpinan
Dimana kepemimpinan ini berasal dari angkatan sumpah pemuda pada
tahun 1928 yang lebih cenderung dan juga belum permisif untuk

6
meninggalkan pikiran-pikiran paternal, primodial terhadap aliran ,agama,
suku, atau kedaerahan.
g Pola Pembangunan Aparatur Negara
Yang mana berlangsung dengan pola bebas, artinya ditolerir adanya ikatan
dengan kekuatan-kekuatan politikyang berbeda secara ideologis.
Akibatnya, fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan
umum tanpa pengecualian menjadi cenderung melayani kepentngan
golongan menurut ikatan primordial.

Sistem politik pada masa demokrasi liberal telah mendorong untuk


lahirnya partai-partia politik karna dalam system kepartaia menganut system multi
partai. Kosenkuensi logis dari pelaksanaan system politik demokrasi liberal
parlementer gaya barat dengan system multi partai yang dianut, maka partai-partai
inilah yang menjalankan pemerintahan melalui pertimbangan kekeuasaan dalam
perlemen dalam tahun 1950-1959, PNI dan Masyumi merupaka partai yang
terkuat dalam DPR dan dalam waktu lima tahun yaitu sejak tahun (1950-1955).
PNI dan Masyumi silih berganti dalam memegang kekuasaan dalam empat
kabinet, akan tetapi terjadinya instabilitas politik yang berakibat negatif bagi
pembangnan dalam masa demokrasi liberal ini.

● Kabinet Wilipo ( 3April 1952- 3 Juni 1953)

Penulis membatasi langsung pada kabinet wilopo karena pada masa


kabinet ini mulai diberlakukannyaundang-undang pemilhan umum yakni undang-
undang pemilihan umu no. 7 tahun 1953 beserta peraturan pelaksanaannya, yaitu
PP No. 9/1954. Undang-undang yang baru ini menetapkan pemilihan umum yang
langsung. Kabinet wilopo memutuskan mengubah kebujakan pemilhan umum
kabinet-kabinet sebelumnya yag memilih sitem tidak langsung. Kabinet wilopo
berusaha untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang pertama ini akan tetapi
di tengah jalan kabinet ini mengalami demisio ner karena berbagai hal.

Pada tanggal 1 maret 1952, presiden soekarno menunjukkan sidik


Djojosukarto (PNI) dan Prawoto Mangkusasmito ( Masyumi) menjadi formatur,

7
namun pada saat itu gaga. Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai
formatur. Setelah bekerja dua minggu berhasil di bentuk kabinet baru di bawah
pimpinan perdana menteri Wilopo, sehingga bernama kabinet wilopo, yang mana
kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI. yang mana terdapat
beberapa program pokok dari kabinet Wilopo yaitu:

- Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum (


konstituante, DPR DAN DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat,
meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
- Program Luar Negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-
Belanda, pengembalian Irian barat ke pangkuan Indonesia, serta
menjalankan politik luar negari yang bebas-aktif.

Kabinet ini tidak mempunyai prestasi yang bagus, justru sebaliknya banyak
sekali Kendal yang muncul antara lain adalah:

- Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jautuhnya harga


barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus
meingkat
- Terjadinya defisit kas negara kerena penerimaan negara yang kurang
banyak terlebih setelah terjadinya penurunan hasil panen sehingga
membutuhkan biaya yang besar untuk mengimport beras
- Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam
keutuhan bangsa
- Terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952.
- Munculnya peristiwa tanjung Morawa mengenai persoalan tanah
perkebunan di sumatera timur ( Deli)

● Kabinet Alisastroamidjojo ( 1 Agustus 1953-24 Juli 1955)

Krisis pemerintahan di Indonesia membuat negara yang baru terbentuk ini


mengalami ketidak stabilan. Dimana dalam upaya menjalankan rota
pemerintahannya, Indonesia mengalami jatuh bangun . hal ini kemudian
mendorong terbentuknya kabinet Ali untuk mengisi krisis pemerintahan Indonesia

8
pasca kekosongan selama 58 hari ( sepeninggalan kabinet wilopo). Selama
melakukan perundingan selama enam minggu dalam melakukan berbagai upaya
dalam pembentukan partai maka pada tanggal 31 juli 1953 “ kabinet Ali I” ini
diresmikan dan dikenal dengan nama kabinet Ali-Wongso. Mr. Ali
Sastroamidjojo dari PNI merupakan perdana menteri dalam kabinet ini. Adapun
kabinet Ali merupakan kabinet yang terakhir sebelum pemilihan umum I. Dalam
kabinet Ali, Masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen tidak turut
serta dalam hal ini NU ( Nahdatul Ulama) kemudian mengambil alih sebagai
kekuatan politik baru. Adapun sruktur yang mengisi kabinet Ali terdiri atas unsur-
unsur dari PNI, Ali Sastroamidjojo melakukan perluasan birokrasinya dalam
tubuh PNI, ia menganggap tindakan tersebut sangat penting bagi pemilihan yang
akan datang. Politik kebijakan yang di terapkan tersebut terlihat lebih
mengutamakan mengenai pertahanan kekuasaan serta membagi hasil-hasilnya atas
oenguasaan.

Dalam mengerjakan roda pemerintahannya, Kabinet Ali memiliki program


kerja sebagai berikut:

- Menjaga keamanan
Menjaga keamanan merupakan bagian dari program kerja kabinet Ali I,
hal ini karena kabinet Ali berani mengambil alih pemerintahan setelah
kabinet sebelumnya runtuh.
- Menciptakan Kemakmuran dan Kesejahteraan Rakyat
Adanya perang korea antara antara februari 1952- maret 1952 memberikan
dampak malasnya perekonomian Indonesia. Hal ini karena ekspor karet
nasional Indonesia menjadi turun 71%.
- Menyelenggarakan Pemilu
Dengan memasuki babak demokrasi liberal, maka system pemerintahan
Indonesia menjalani system yang sebelumnya dijalani oleh belanda.
Dimana imperialism kemudian mengenalkan Indonesia pada sruktur atau
susuna peerintahan yang masuk kedalam jenis parlementer.
- Pembebasan Irian Barat Secepatnya

9
Kemerdekaan Indonesia, menurut kabinet ini untuk tidak menyetujui
adanya RIS. Hal ini karna pemerintahan yang ada saat itu ingin berdaulat
dalam menjalankan kehidupan dalam bernegara.
- Pelaksanaan Politik Bebas-aktif
Adanya bipolarisasi dan politik konstelasi dunia mebuat Indonesia tidak
ingin telibat didalamnya. Apalagi Indonesia sendiri merupakan negara
yang baru merdeka, bahkan dalam menata negaranya Indonesia masih
belum tentu arah.
- Menyelasaikan Pertikaian Politik
Telah diketahui bahwa keadaan politik di Indonesia sangat tidak stabil
pada masa itu. Perpecahan terjadi di kalangan elite politik. Tahta, jabatan,
dan kekuasaan membuat Indonesia semakin terpuruk dalam kehidupan
bernegara.

Di dalam menjalankan pemerintahannya, cabinet ali mengalami beberapa


masalah seperti keamanan di beberapa daerah yang tidak stabil yang dilakukan
oleh DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di jawa barat, Daud Beureuh di Aceh dan
Kahar Muzakar di Sulawesi selatan. Adapula konflik dengan TNI-AD dalam
persoalan pengangkatan seorang kepala staf. Ketegangan yang terjadi
dilingkungan TNI-AD sejak peristiwa 17 Oktober 1952 ( pada saat itu Nasution
mendapat skors atau dinonaktifkan selama tiga tahun) kemudian berlanjut.
Adapun peristiwa itu disebabkan oleh kepala staf TNI-AD “Bambang Sugeng”
mengajukan permohonan. Selain permasalah di atas hambatan pada cabinet ini
juga meliputii masalah ekonomi. Pada program kerjanya cabinet ali menekankan
pengindonesiasian terhadap perekonomian dan memberi dorongan kepada
pengusaha pribumi. Namun kenyataannya tidak demikian, karena banyak
perusahaan-perusahaan baru yang berkedok palsu bagi persetujuan antara
pendukung pemerintah dan ornag-orang china/perusahaan Ali Baba. Maka dari itu
cabinet ini juga dikenal dengan cabinet Ali Baba, yang mana Ali Baba ini yang
berarti seorang pengusaha pribumi yang mewakili pengusaha china yang memiliki
perusahaan. Dimana pada cabinet Ali ini tidak mampu mencapai semua program

10
kerjanya, walaupun digolongkan sebagai cabinet yang bertahan lama, tapi tidak
semua hasil diperoleh secara maksimal. Akan tetapi cabinet ini telah berhasil
memberi sumbangan kepada Indonesia, maupun benua Asia-Afrika. Adanya
peristiwa pada tanggal 18 April – 24 April 1955 itu disaksikan oleh Gedung
Merdeka, Bandung. Saat itu Indonesia denga tujuan mempromosikan kerja sama
ekonomi dan kebudayan Asia-Afrika. Pada April- mei 1954 terdapat pertemuan
antara perdana Menteri india, Pakistan, sri lanka, birma dan Indonesia ( di
selenggarakan di colombo). Sebenarnya situasi politik yang tidak stabil di
Indonesia di alihkan ali pada suatu peristiwa yang bisa dikatakan mampu
mengangkat nama Indonesia. Disana Ali mengusulkan KAA, hal ini didukung
oleh negara lain, Adapun KAA telah menunjukkan kemenangan bagi pemerintah
Ali Ketika itu tedapat 29 negara yang hadir ( negara-negara besar Afrika, Asia
hanya kedua Korea, Israel, Afrika Selatan, dan Mongolia luar yang tidak
diundang)

Pada tahun 1955 terdapat persetujuan ganda yang mengharuskan ornag-


orang cina Indonesia umtuk memilih kewarganegaraan cina atau Indonesia ( hal
ini dianggap orang-orang cina menyulitkan karena sebelumnya tidak pernah
dipermasalahkan). Ali Sastroamidjojo sangat puas karena dipandang sebgai
pemimpin Asia-Afrika. Pelaksanaan konferensi ini merupakan wujud perjuangan
RI untuk mempromosikan hak Indonesia dalam pertentangan dengan Belanda
mengenai Irian barat. Adapun hasil dari koferensi ini mendukung tuntutan
Indonesia atas Irian jaya. PKI menjadi partai politik terkaya dengan penerimaan
iuran dari anggota dari Gerakan-gerakan pemungutan dana, sumber lain. Adapun
Sebagian uang berasal dari komunitas dagang cina yang memberikan dengan
senang hati atau melalui tekanan dari kedutaan besar cina. Akan teetapi PKI
kemudian tenggelam, hal ini karena banyak yang bergabung namun tiba-tiba pergi
tanpa alasan lawan dari adalah TNI, hal ini sangat terlihat kontras, bahkan dari
persaingan politik ini kemudian hari akan menghasilakan peristiwa tertentu. Pada
tanggal 17 Oktober 1954 PKI dan tentara rujuk Kembali. Kemudian pada
November 1955 diselenggarakan konfrensi diyogyakarta dan dihadiri 270 perwira

11
yang kemudian menyetujui piagam persatuan dan kesepakatan. Pada tanggal 27
juni pewira menolak mengakui orang yang di angkat cabinet, maka dari uraian
tersebut sangat terlihat banwa PKI mendapat tempat pada masa cabinet Ali, hal ini
dpaat dilihat dri eksitensi PKI pada ajang pemilihan umum.

Adanya kelemahan cabinet Ali mendorong Masyumi untuk mengajukan


mosi pada bulan desember mengenai kemunduran ( ketidakpercayaan kepada
kebijakan pemerintah) sebagai imblalan persetujuan PNI, PKI kecaman-kecaman
terhadap korupsi dan masalah ekonomi. Adanya kesenjagan politik yang
kemudian menimbulkan keretakan didalam cabinet dan membuat Ali
mengembalikan mandatnya. Pada 18 juni, soekarno memutuskan untuk naik haji
dan kemudian mengunjungi mesir, karena dukungan dari DPR tidak mencukupi
empat hari kemudian akhirnya Ali mengundurkan diri. Cabinet ini mengembaikan
mandatnya pada tanggal 24 juli 1955.

2.2 PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM 1955


a. Dasar Hukum dan Asas Pemilihan Umum

Pemilihan umum 1955 ini memiliki beberapa dasar hukum yang


digunakan yaitu Pasal 1 ayat (2) UUDS 1950 menyebutkan bahwa Kedaulatan
Republik Indonesia adalah di tangan Rakyat dan dilakukan oleh Pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini menimbulkan suatu
kenyataan bahwa negara Indonesia menganut asas Kedaulatan rakyat. Pasal 35
berbunyi “kemauan rakyat adalah dasarkekuasaan penguasa, kemauan ini
dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak
pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang
rahasia ataupun menurut cara yang menjamin kebebasan mengeluarkan suara”.
Pasal ini memerintahkan dilaksanakan pemilihan umum dalam waktu-waktu
tertentu (Harmaily Ibrahim, 1981: 79). Hal ini adalah dalam rangka melaksanakan
pasal 1 ayat (2) tersebut. Seperti diketahui bahwa UUDS 1950 bersifat sementara
dan pada waktunya akan diganti dengan UUD yang tetap hasil karya Konstituante
Pilihan rakyat. Oleh karena itu, pasal 134 UUDS 1950 memerintahkan
konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan

12
Pemerintah secepatnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
UUDS 1950 pasal 135 ayat (2) menentukan bahwa Anggota-anggota Konstituante
dipilih oleh warga negara Indonesia dengan dasar umum dan dengan cara bebas
dan rahasia menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Ini berarti
bahwa untuk penyusunan Konstituante tersebut harus melalui suatu pemilihan
umum.

Persiapan untuk membuat suatu Undang-Undang Pemilihan Umum seperti


telah diperintahkan oleh pasal 57 dan pasal 134 UUDS 1950, diantara tahun 1950-
1952 tidak begitu lancar, meskipun pengalaman telah membuktikan bahwa
kabinet yang silih berganti, tidak sanggup untuk memperoleh mayoritas yang
stabil dalam Parlemen. Ketika suatu konflik serius pada tanggal 17 Oktober 1952
menandakan adanya kecenderungan anti-parlemen di dalam negeri barulah hal
yang sangat penting dilaksanakan, dan pelaksanaan pemilihan umum dapat
dirasakan oleh hampir semua golongan. Sekalipun demikian barulah pada tanggal
4 April 1953 rancangan Undang-Undang pemilihan umum dapat diundangkan
sebagai Undang-Undang No.7 Tahun 1953. Undang-Undang ini mengatur
pemilihan anggota Konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan baru
dapat dilaksanakan pada tahun 1955. Pasal 35 UUDS 1950 dan juga pasal 135
ayat (2) menentukan asas pemilihan Umum adalah langsung, umum, bebas,
rahasia dan berkesamaan.

b. Penyelenggaraan Pemilihan Umum

Pada tanggal 31 Juli 1954, Panitia Pemilihan Umum Pusat dibentuk.


Panitia ini diketuai oleh Hadikusumo dari PNI. Pada tanggal 16 April 1955,
Hadikusumo mengumumkan bahwa pemilihan umum untuk parlemen akan
diadakan pada tanggal 29 September 1955. Pengumuman dari Hadikusumo
sebagai ketua panitia pemilihan umum pusat mendorong partai untuk
meningkatkan kampanyenya. Mereka berkampanye sampai pelosok desa. Setiap
desa dan kota dipenuhi oleh tanda gambar peserta pemilu yang bersaing. Masing-
masing partai Berusaha untuk mendapatkan suara yang terbanyak.

13
Untuk menyelenggarakan pemilihan dibentuk badan-badan
penyelenggaraan yang dinamakan Panitia Pemilihan Indonesia di Ibukota, Panitia
Pemilihan di tiap daerah pemilihan dan Panitia Pemilihan Kabupaten di tiap
kabupaten. Panitia itu terdiri dari pejabat-Pejabat pemerintah dengan dibantu
partai partai politik, tanggung jawab pelaksanaan pada menteri dalam negeri,
tetapi kekuasaan yang luas pada Panitia Pemilihan Indonesia atau partai-partai
(Imam Suhadi, 1981: 22). Panitia Pemilihan telah dibentuk sejak kabinet Wilopo
yang diketuai Mr Asaat (non partai), tetapi terkatung-katung tidak menentu, maka
pada waktu kabinet Ali diadakan penggantian yang diketuai S.Hadikusuma (PNI)
dengan komposisi angota-anggotanya sebagian besar mencerminkan partai-partai
pemerintah, mendapat protes keras dari Partai-partai di luar pemerintah.
Penyelenggaraan pemilihan umum ini, sama sekali terpisah dari eksekutif.
Pemerintah disini bertindak sebagai penanggung jawab saja. Bahkan Panitia
Pemilihan Indonesia dapat mengajukan pendapat-Pendapat dan anjuran-anjuran
serta usul usul baik diminta maupun tidak Kepada Menteri Kehakiman dan
Menteri Dalam Negeri mengenai Pemilihan ini (pasal 133). Dengan demikian
tidak ada anggapan bahwa Pemerintah ikut campur tangan dalam pemilihan
umum. Ini perlu untuk Menjamin asas bebas dan rahasia dari pemilihan umum,
dan dengan Demikian maka pemilihan umum tersebut dapat dijalankan dengan
Demokratis.

c. Partai-Partai Peserta Pemilihan Umum

Pemilu 1955 tidak hanya diikuti oleh partai politik saja, tetapi juga oleh
organisasi maupun perorangan. Dalam pemilihan umum anggota DPR diikuti
peserta sebanyak 118 peserta pemilu yang terdiri atas: partai politik 36, organisasi
34, perorangan 48. Sementara itu peserta pemilihan umum anggota Konstituante
terdiri atas: partai politik 39, organisasi 23, perorangan sebanyak 29. Herberth
Feith Mengelompokan peserta pemilihan umum 1955 berdasarkan perolehan
kursinya menjadi: Partai Besar, Partai Menengah, Kelompok kecil yang
bercakupan Nasional, kelompok kecil yang bercakupan Daerah. Partai Besar yaitu
PNI (Partai Nasional Indonesia). Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia),

14
Nahdatul Ulama, PKI (Partai Komunis Indonesia). Partai Menengah yaitu PSII
(Partai Syarikat Islam Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai
Katholik, PSI (Partai Sosialis Indonesia), Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah),
IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Kelompok kecil yang
Bercakupan Nasional yaitu PRN (Partai Rakyat Nasional), Partai Buruh, FPPS (
Gerakan Pembela Pancasila), PRI (Partai Rakyat Indonesia), PPRI (Persatuan
Polisi Republik Indonesia), Partai Murba, Baperki (Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia), PIR (Partai Indonesia Raya) Wongsonegoro, PPTI
(Partai Perssatuan Tarikat Islam), A Coma (Angkatan Communis Muda).
Kelompok kecil yang bercakupan daerah yaitu Gerinda – Yogyakarta, Partai
Persatuan Daya – Kalimantan Barat, PRD (Partai Rakyat Desa) – Jawa Barat,
R.Soedjono Prawonosoedarso dan kawan-kawan – Madiun, Gerakan Pilihan
Sunda –Jawa Barat, Partai Tani Indonesia – Jawa Barat, Raja keprabon dan
Kawan-kawan – Cirebon, Jawa Barat, Gerakan Banteng – Jawa Barat, PIR
(Persatuan Indonesia Raya) – Nusa Tenggara Barat, PPLM Idrus Effendi (Panitia
Pendukung Pencalonan L.M. Idrus Effendi) – Sulawesi Tenggara.

d. Kampanye pemilihan umum

Tahap berikutnya adalah kampanye yang dilakukan oleh partai-partai


politik guna mendapat suara dukungan dari masyarakat. Dalam Undang-Undang
No. 7 tahun 1953 ini tidak ada yang mengatur waktu kampanye dan biaya
kampanye, hanya ada beberapa daerah dengan alasan keamanan diatur waktu
kampanye yaitu Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan
dilarang kampanye tanggal 25 Sampai 29 September (hari pemungutan suara),
sedangkan di lain tempat diseluruh Indonesia dilarang kampanye tanggal 28
sampai 29 September. Kampanye pemilihan umum tahun 1955 berjalan sejak
permulaan tahun 1953 sampai tahun pemilihan atau selama 2 tahun semasa
kabinet Ali I. Suasana kampanye pemilihan umum sudah mempengaruhi secara
luas kehidupan kepartaian maupun masyarakat umum, sehingga kegiatan partai-
partai pun telah meningkat pada penonjolan ideologi, terutama Berkisar pada
masalah dasar negara. Tanggal 4 April 1953, ketika rancangan undang-undang

15
Pemilihan umum disahkan menjadi undang-undang dapat dianggap sebagai awal
kampanye tahap pertama. Sejak hari itu atau bahkan mungkin sejak Peristiwa 17
Oktober 1952 yang mendorong pengabsahan Undang-undang pemilihan umum
sudah timbul perasaan bahwa Kemungkinan besar pemilihan umum akan
diselenggarakan tidak lama lagi. Para pemimpin partai sudah tidak bisa lagi
mendasarkan sepak terjang mereka terhadap janji-janji pemerintah mengenai
pemilihan umum. Tanggal 31 Mei 1954 bisa dianggap awal kampanye tahap
kedua, Ketika tanda gambar partai disahkan oleh Panitia Pemilihan Indonesia,
Dan dengan demikian terbukalah jalan untuk kampanye berdasarkantanda gambar
(Herbert Feith, 1999: 10). Pada masa awal kemerdekaan (1945-1949) partai-partai
politik tidak hanya bertarung untuk memperebutkan kekuasaan politik di Republik
ini, akan tetapi melalui sayap militer masing-masing untuk mempertahankan
kelangsungan hidup Republik Indonesia. Terdorong Untuk menggalang dukungan
aktif petani terhadap Republik, partai-partai memperluas pengaruh di desa-desa.
Di pedesaan hanya sedikit persaingan diantara partai-partai yang muncul adalah
kecenderungan suatu wilayah yang luas menjadi daerah partai tertentu. Akibatnya
di tingkat desa tidak banyak dilakukan upaya untuk mendirikan organisasi resmi
partai. Namun demikian tidak bisa disangkal, dampak partai-partai politik di
pedesaan dapat dirasakan. Partai partai pemerintah menjadikan anti-kolonialisme
bagian utama perlengkapan kampanye mereka. Mereka memuji-muji keteguhan
Kabinet membasmi sisa-sisa kekuasan kolonial di Indonesia dan upaya-upaya
yang dilakukannya untuk merebut kembali Irian Barat. Ketika Presiden Soekarno
memperingatkan adanya upaya-upaya dari kekuatan asing untuk menggulingkan
kabinet, yang menyiratkan dengan jelas bahwa para pemimpin oposisi terlibat
dalam upaya ini, partai-partai pemerintah memperoleh argumen yang kuat.
Mereka mendapat argumen yang lebih kuat lagi dengan berhasilnya pemerintah
menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung, lima bulan sebelum
diadakan pemilihan umum untuk Parlemen. Dalam setiap kampanye nama tokoh-
tokoh partai yang dipilih untuk ditonjolkan dalam kampanye, mengikuti urutan
nama mereka dalam daftar calon untuk masing-masing daerah pemilihan. Oleh
karena Itu, partai-partai yang menempatkan pemimpin tunggal pada daftar tempat

16
teratas dalam daftar calon seperti PKI, Masyumi, dan PSI misalnya menonjolkan
ciri-ciri pribadi pemimpin yang bersangkutan. Partai-partai lain biasanya menaruh
paling atas nama-nama calon yang Dianggap punya daya tarik besar di daerah
pemilih tertentu, dan menekankan ciri-ciri pribadi para calon yang bersangkutan
dalamkampanyenya. Prosedur pencalonan yang mudah, dan karena tidaka ada
batas bagi panjangnya daftar calon, mendorong pencalonan banyak orang Yang
tidak mungkin akan terpilih, tetapi yang punya nama di kalangan kelompok
tersebut. Di tingkat desa, kampanye umumnya juga menonjolkan ciri-ciri pribadi
tokoh desa. Sangat beragam metode dan teknik kampanye yang digunakan dari
partai-partai dan dari daerah-daerah. Pertemuan pertemuan diselenggarakan di
semua tingkat, di alun-alun kota atau di balai desa dengan para pembicara dari
Jakarta atau tokoh partai setempat, rapat umum atau rapat anggota, pertemuan
perempuan atau pemuda, ceramah umum, pemutaran film, perayaan ulang tahun
atau pawai, perayaan hari besar agama, dan pertemuan yang diramaikan teater
rakyat. Pada waktu Itu, demi pemilihan umum banyak orang yang dengan senang
hati berjalan kaki sejauh lima kilometer atau lebih menuju ke tempat pemungutan
suara. Ada pula yang harus naik perahu untuk mencapai pulau terdekat yang ada
tempat memilihnya, dan yang paling adalah bahwa mereka tidak mengeluhkan hal
itu (Baskara T Wardaya, 2004: 12).

2.3 Hasil Pemilihan Umum 1955

a. Pemilihan Umum Pertama di Indonesia


Pemilihan Umum 1955 dilakukan dengan bebas, artinya bahwa setiap
pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati nuraninya, tanpa ada
pengaruh, tekanan atau paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun. Sistem
pemilihan yang digunakan dalam penyelenggaraan pemilihan umum 1955, adalah
sistem proporsional. Sistem proporsional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
jumlah anggota DPR dan Konstituante ditetapkan berdasarkan imbangan
penduduk, tiap daerah pemilihan memilih lebih dari seorang wakil, penetapan
jumlah kursi yang akan diperoleh tiap peserta pemilu, seimbang dengan besarnya
dukungan pemilih yaitu jumlah suara yang diperoleh.

17
Peserta pemilihan umum 1955 tidak hanya diikuti oleh partai politik, tetapi
juga diikuti oleh organisasi maupun perorangan. Pemilihan umum 1955 untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat diikuti: 36 Partai politik, 34
organisasi, dan 48 perorangan, sedangkan untuk memilih anggota Konstituante
diikuti 39 partai politik, 23 organisasi, dan 29 perorangan. Berdasarkan Undang-
undang Nomor 7 tahun 1953 sebagai dasar penyelenggaraan pemilihan umum
1955, daerah pemilihan ditetapkan menjadi 16 daerah pemilihan sebagai berikut:
1. Jawa Timur, 2. Jawa Tengah bersama dengan DI.Yogyakarta, 3. Jawa Barat, 4.
Jakarta raya, 5. Sumatra Selatan, 6. Sumatra Tengah, 7. Sumatra Utara, 8. Maluku,
9. Kalimantan Barat, 10. Kalimantan selatan, 11. Kalimantan Timur, 12. Sulawesi
Utara/tengah, 13. Sulawesi Tenggara/ Selatan, 14. Sunda Kecil Timur, 15. Sunda
kecil Barat, dan 16. Irian Barat. Pendaftaran pemilih dalam pemilihan umum 1955
diseluruh Indonesia, dilakukan oleh panitia pendaftaran pemilih. Jumlah pemilih
diseluruh Indonesia berjumlah 43,104,464 dari 77,987,879 jumlah penduduk di
seluruh Indonesia.
Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditetapkan berdasarkan
imbangan jumlah penduduk, dengan perhitungan untuk setiap 300.000 penduduk
memperoleh seorang wakil. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jumlah anggota
DPR dapat dihitung.
Dilihat dari Undang-undang dasar sementara negara repubik indonesia
1950 pasal 56 yang berbunyi: Dewan Perwakilan Rakyat mewakili seluruh rakyat
Indonesia terdiri dari sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasar atas
perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk warga negara Indonesia mempunyai
seorang wakil. Dengan cara: Jumlah penduduk diseluruh Indonesia dibagi
imbangan jumlah penduduk yaitu 300.000 penduduk. Jadi jumlah anggota DPR
diseluruh Indonesia adalah: 77,987,879 : 300.000= 259 sisa= 287.879 dibulatkan
menjadi 260, sedangkan Jumlah anggota konstituante, ditetapkan berdasarkan
imbangan jumlah penduduk dengan perhitungan untuk setiap 150.000 penduduk,
memperoleh seorang wakil dan apabila ada sisa dibulatkan ketas. Anggota
Konstitituante dipilih oleh warga negara Indonesia, dengan dasar umum dan

18
dengan cara bebas dan rahasia menurut aturan yang ditetapkan oleh undang-
undang.

b. Hasil Pemilihan Umum 1955


Hasil pemilihan umum 1955 menunjukkan persaingan sengit antara empat
partai seperti PNI, Masyumi, NU dan PKI.. Tidak ada kontestan yang mampu
meraih kemenangan dengan mutlak atau secara mayoritas. Perolehan suara empat
besar dalam Pemilu 1955 adalah sebagai berikut:
1. Perolehan persentase dan jumlah kursi DPR Pemilu 1955
Nama Partai Jumlah Suara Persentase Jumlah Kursi di
Yang Diperoleh Parlemen (DPR)
PNI 8.434.653 22,3 % 57
Masyumi 7.903.886 20,9 % 57
NU 6.955.141 18,4 % 45
PKI 6.176.914 16,4 % 39
Lain-lain 8.314.705 22,0 % 59

Dari Pemilu 1955, dibentuklah partai koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU
tanpa melibatkan PKI. Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjojo (PNI)
sebagai Perdana Menteri, Mr. Mohammad Roem (Masyumi) sebagai Wakil PM 1,
K.H. Idham Chalid (NU) sebagai Wakil PM II. Oleh karena itu, kabinet ini
dikenal dengan nama Kabinet ALI II atau Kabinet Ali-Roem-Idham.
Hasil Pemilu 1955 menunjukkan bahwa meskipun mayoritas penduduk
Indonesia beragama Islam (88%), tidak semua penduduk Indonesia menyalurkan
aspirasinya pada partai atau golongan Islam. Pada pemilu ini, partai dan kelompok
Islam hanya memperoleh 116 kursi (45,2%) dari 257 kursi parlemen yang
diperebutkan. Namun jika dibandingkan dengan jumlah wakil partai-partai Islam
di DPR sementara (sebelum pemilu) yang hanya berjumlah 57 orang di DPR
sementara sementara (sebelum pemilu), maka sebenarnya hasil itu mengalami
kenaikan yang cukup besar. Perolehan suara dan kursi di DPR (Parlemen) bagi
setiap partai atau kelompok Islam adalah sebagai berikut.

19
2. Jumlah Suara, Persentase, dan Kursi DPR dari Partai Islam
Nama Partai Jumlah Suara Persentase Jumlah Kursi di
Yang Diperoleh Perlemen (DPR)
Masyumi 7.903.886 20.9 % 57
NU 6.955.141 18,4 % 45
PSII 1.091.160 2,9 % 8
Perti 483.014 1,3 % 4
PPTI 85.131 0,3 % 1
AKU 81.454 0,2 % 1
Sedangkan untuk anggoya Konstituante, perolehan suara partai-partai
Islam mengalami penurunan yakni 16.464.008 suara dan memperoleh 228 kursi
dari 514 kursi yang diperebutkan. Dalam Pemilu 1955 ini, Masyumi paling
kecewa karena sebelumnya berharap besar akan menang dengan suara mutlak.
Harapan tersebut dianalisis dari keanggotaan Masyumi berjumlah 40 juta.
Menurut Zulfikriddin (2010: 109) analisis tersebut berlebihan mengingat jumlah
penduduk yang memiliki hak suara berjumlah 43.104.463 jiwa. Hal lain yang
menyebabkan melesetnya perkiraan tersebut karena tersebarnya pemilih ke
berbagai peserta pemilu, khususnya PNI dan NU. Adapun partai yang paling puas
terhadap hasil pemilu adalah PKI karena berhasil membuat kejutan dengan
menambah jumlah kursi di parlemen, NU dari 8 menjadi 45, sedangkan PKI dari
17 menjadi 39.
Masyumi mendapat kursi sama banyak dengan PNI di DPR, meskipun
PNI mendapatkan suara yang lebih banyak karena keunggulan masyumi lebih
merata. PNI hanya menang di daerah pemilihan Jawa Tengah, sedangkan
Masyumi menang di 10 daerah pemilihan. Adapun NU menang di daerah
pemilihan Jawa Timur dan NTB. Berdasarkan hal ini, berarti Masyumi merupakan
partai yang lebih didukung secara luas dan merata di seluruh Indonesia.
Keberhasilan tersebut menurut Abdul Munir dan Boyd R. Compton disebakan
kepemimpinan Natsir, sehingga Masyumi berada pada posisi teratas dari seluruh
perolehan suara partai-partai Islam sepanjang sejarah pemilu di Indonesia (Abdul

20
Munir Mulkhan, 1994: 141). Namun secara keseluruhan pada pemilu 1955
perolehan suara partai-partai Islam berjumlah 45% dari seluruh suara yang masuk.
Hal tersebut sangat mempengaruhi kelancaran dalam memperjuangkan cita-cita
partai tersebut dalam parlemen maupun dalam majelis konstituante, realitas
tersebut segera terlihat pada perdebatan tentang negara dalam konstituante.

21
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pemilihan umum tahun 1955 ini merupakan pemilihan umum yang disiapkan
dan diselenggarakan oleh tiga kabinet yang berbeda. Persiapannya dilakukan oleh
kabinet Wilopo, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh kabinet Ali
Sastroamidjojo dan kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet Wilopo
mempersiapkan rencana undang-undang dan mengesahkan undang-undang
pemilihan umum. Kabinet Ali Sastroamidjojo melaksanakan pemilihan umum
sampai tahap kampanye kemudian diganti kabinet Burhanuddin Harahap yang
melaksanakan tahapan selanjutnya yaitu pemungutan suara. Sistem pemilihan
yang digunakan dalam penyelenggaraan pemilihan umum 1955, adalah sistem
proporsional. Sistem proporsional mempunyai ciri yaitu jumlah anggota DPR dan
Konstituante ditetapkan berdasarkan imbangan penduduk, tiap daerah pemilihan
memilih lebih dari seorang wakil, dan penetapan jumlah kursi yang akan
diperoleh tiap peserta pemilu, serta seimbang dengan besarnya dukungan pemilih
yaitu jumlah suara yang diperoleh. Pemilihan umum 1955 untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat diikuti: 36 Partai politik, 34 organisasi, dan 48
perorangan, sedangkan untuk memilih anggota Konstituante diikuti 39 partai
politik, 23 organisasi, dan 29 perorangan. Hasil pemilihan umum 1955
menunjukkan persaingan sengit antara empat partai seperti PNI, Masyumi, NU
dan PKI. Dari Pemilu 1955, dibentuklah partai koalisi antara PNI, Masyumi, dan
NU tanpa melibatkan PKI. Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Ali Sastroamidjojo
(PNI) sebagai Perdana Menteri, Mr. Mohammad Roem (Masyumi) sebagai Wakil
PM 1, K.H. Idham Chalid (NU) sebagai Wakil PM II. Oleh karena itu, kabinet ini
dikenal dengan nama Kabinet ALI II atau Kabinet Ali-Roem-Idham. Hasil Pemilu
1955 menunjukkan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama
Islam (88%), tidak semua penduduk Indonesia menyalurkan aspirasinya pada
partai atau golongan Islam. Pada pemilu ini, partai dan kelompok Islam hanya

22
memperoleh 116 kursi (45,2%) dari 257 kursi parlemen yang diperebutkan.
Namun secara keseluruhan pada pemilu 1955 perolehan suara partai-partai Islam
berjumlah 45% dari seluruh suara yang masuk.

23
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafii Maarif. 1996. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta: Gema Insani Press

Arta, Sedana, Ketut. 2020. Sistem Pemerintahan Demokrasi Liberal dan


Tercapainya Pemilihan Umum I Pada Tahun 1955 di Indonesia. Jurnal Widya
Citra. 1(2): 69-85

Firmansyah, Ramadhani, Lukman. 2013. Penyelenggara Pemilihan Umum


1955. e-Journal Pendidikan Sejarah. 1(1): 53-55

Nugroho Katjasungkana, dkk. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.


Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia

24

Anda mungkin juga menyukai