Anda di halaman 1dari 7

PERBANDINGAN METODE EMPAT MAZHAB

Imron Rosadi, Lc.1

Pendahuluan
Kajian tentang perbandingan mazhab ini bukan dimaksudkan untuk
memperuncing perbedaan pendapat antara mazhab dalam masalah-masalah
furu’iah. Tetapi sebaliknya agar kita dapat memahami dan memaklumi
perbedaan tersebut dengan memahami metodologi yang mendasari munculnya
ikhtilaf.
Penting untuk dibedakan antara ikhtilaf dengan khilaf. Karena ikhtilaf adalah
perbedaan sikap atau pendapat yang berangkat dari perbedaan sudut pandang
pemikiran, sedangkan khilaf adalah perbedaan sikap atau pendapat yang muncul
karena dorongan permusuhan dan penentangan.2
Jadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) bisa menjadi sumber khilaf dan bisa juga
tidak, bahkan menjadi rahmat. Sementara khilaf (penentangan/permusuhan)
selalu memunculkan ikhtilaf. Karena tabiat permusuhan dan penentangan
umumnya tidak menemukan titik temu atau kata sepakat dan sependapat. Yang
ada adalah bagaimana agar selalu beda.
Materi lanjutan dari kajian ini adalah “adab berbeda pendapat” sebagai khutwah
amaliah (langkah operasional) dalam bentuk akhlak dan amal yang konkrit
terhadap kenyataan adanya ikhtilaf di kalangan kaum muslimin. Hal mana sering
terjadi ketegangan dalam membahas masalah furu’iah karena disampaikan
bukan dengan akhlak mulia tapi dengan emosi.

Mazhab fikih
Mazhab-mazhab fikih yang muncul setelah jaman Sahabat dan kibar tabi’in oleh
sebagian orang dihitung ada 13 mazhab yang semua pencetusnya diafiliasikan
bermazhab ahli sunnah waljama’ah. Namun yang tersisa dan yang terus ada
sampai sekarang dan menjadi mazhab kaum muslimin tinggal 9 mazhab. 9
mazhab yang tersisa ini berbeda-beda tingkat kelestariaannya. Ada yang
khazanah fikihnya terjaga seluruhnya secara tertulis dan ada sebagian saja. Dari
khazanah fikih mazhab itulah kita dapat memahami pokok-pokok mazhab
mereka para imam dan fuqoha serta metodologinya dalam mengistibat
(menyimpulkan ) suatu hukum. Mereka adalah :
1. Imam Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashry (Hasan Bashri), wafat tahun
110 H.
2. Imam Abu Hanifah yaitu Nu’man bin Tsabit bin Zuthi, wafat tahun 150 H.
3. Imam al-Auza’i, yaitu Abu Amer bin Abdurahman bin Amer bin Muhammad,
wafat tahun 157 H.
4. Imam Sufyan bin Sa’id bin Masruq al-Tsauri (Sufyan Tsauri), wafat tahun 160
H.
5. Imam Laits bin Sa’d, wafat tahun 175 H.
1
Jika ada masukan silahkan hubungi saya di Hp. 081311254550, atau email: imron71@gmail.com
2
‘Athiayah Muhammad Salim, fiqhul ikhtilaf
6. Imam Malik bin Anas al-Ashbahi, wafat tahun 179 H.
7. Imam Sufyan bin ‘Uyainah, wafat tahun 198 H.
8. Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i , wafat tahun 204 H.
9. Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, wafat tahun 241 H.
Selain mereka masih banyak yang lain, seperti Imam Daud bin Ali al-Ashbahani
(270 H), Imam Ishaq bin Rohaweh (238 H), Imam Abi Tsaur (240 H) dan lain-lain
masih banyak.
Namun yang mazhabnya mengakar dan eksis sampai hari ini hanya 4 mazhab.
Pengikut mereka di dunia Islam amat banyak dan fikih serta usul fakih mereka
menjadi rujukan dalam mempelajari ilmu fikih dan berfatwa di kalangan
mayoritas kaum muslimin. Mereka adalah :
1. Imam Abu Hanifah
2. Imam Malik
3. Imam Syafi’i
4. Imam Ahmad

Manhaj empat imam


Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad masuk dalam katagori fuqoha hadits
dan atsar, karena mereka menyerap fikih dari Madinah dan membawa ilmu dari
sana. Sementara Imam Abu Hanifah masuk katagori fuqoha ahli ra’yu dan
menjadi terdepan di jamannya.
Perbedaan antara dua buah aliran di jamannya secara alamiah juga akan terjadi
di kalangan generasi setelahnya yaitu para pengikut keduanya. Namun tidak ada
yang mengingkari bahwa perbedaan dua aliran ini semakin reda terutama
setelah kepemimpinan khilafah berpindah tangan dari Bani Umayyah kepada
Bani Abbas. Karena pemimpin Bani Abbasiah memprogram pengiriman
sebagian ulama senior Hijaz (Mekkah dan Madinah) ke wilayah Irak untuk
menyebarkan ilmu sunnah di sana. Diantara mereka adalah Robi’ah bin Abi
Abdirahman, Yahya bin Sa’id, Hisyam bin Urwah , Muhammad bin Ishaq
dan lain-lain. Sehingga aliran fiqih hadits menyebar di wilayah aliran fiqih ra’yu.
Sebaliknya sebagian Ulama Irak juga pergi ke Madinah untuk menimba ilmu
disana seperti Abu Yusuf Yakub bin Ibrahim dan Muhammad bin Hasan
yang keduanya menimba ilmu dari Imam Malik.
Jadi secara alamiah pendapat ulama Irak pindah ke Hijaz dan sebaliknya
pendapat-pendapat ulama Hijaz pindah ke Irak. Sehingga secara logika terjadi
pembauran dan pencairan yang memperkecil jurang perbedaan.
Kita juga dapat melihat bahwa mazhab 3 orang imam yaitu Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad secara manhaj saling berdekatan meskipun walaupun
tetap ada perbedaannya. Sementara Abu Hanifah, warna manhajnya lebih
kontras disbanding dengan ketiga imam lainnya dan beliau menjadi icon
perbedaan tersebut.

Manhaj Imam Abu Hanifah


Secara ringkas kaidah mazhab beliau amat jelas. Beliau sendiri yang
menjelaskannya dalam perkataannya :
‫ فما لم أجده فيه أخصصذت بسصصنة رسصصول الص صصصلى‬،‫إني آخذ بكتاب ال إذا وجدته‬
‫ فصصإذا لصصم أجصصد‬،‫ال عليه وسلم والثار الصحاح عنه التي فشت في أيدي الثقصصات‬
‫ آخصصذ‬،‫في كتاب ال وسنة رسوله صلى ال عليصصه وسصصلم أخصصذت بقصصول أصصصحابه‬
‫ فإذا انتهى المصصر الصصى‬.‫ ثم ل أخرج عن قولهم إلى قول غيرهم‬،‫بقول من شئت‬
‫ فلي أن أجتهد كما اجتهدوا‬،(‫إبراهيم والشعبي وابن المسيب)وعّدد رجال‬
1. Aku akan mengambil dari kitab Allah jika aku menemukannya.
2. Jika tidak, maka aku ambil dari Sunnah Rosulullah dan atsar yang shahih
yang beredar dikalangan orang-orang yang tsiqoh (masyhur).
3. Jika tidak aku temukan dalam kitabullah dan Sunnah Rosul, maka aku
akan mengambil pendapat para sahabat, aku ambil pendapat siapa yang
kukehendaki kemudian aku tidak pindah ke pendapat selainnya.
4. Tapi Jika masalahnya sudah sampai kepada Ibrahim, al-Sya’bi, Ibnu
Musayyab ..(dan beberapa orang yg beliau sebutkan) maka aku berhak
berijtihad sebagaimana mereka melakukannya”.
Inilah pokok-polok utama mazhab Abu Hanifah. Namun selain itu ada juga pokok
skundernya sebagai turunannya, diantaranya :
«‫»قطعية دللة اللفظ العام كالخاص‬ .1
Petunjuk yang terdapat dalam lafaz umum bersifat qot’i
«‫»مذهب الصحابي على خلف العموم مخصص له‬ .2
Pendapat sahabat yang berbeda dengan lafaz umum dianggap
sebagai mukhassis
«‫»كثرة الرواة ل تفيد الرجحان‬ .3
Banyaknya jumlah perawi tidak selalu menjadi faktor penguat suatu riwayat
«‫»عدم اعتبار مفهوم الشرط والصفة‬ .4
Mafhum syarat dan sifat tidak dapat diterima
«‫»عدم قبول خبر الواحد فيما تعم به البلوى‬ .5
Khobar ahad tidak dapat diterima dalam masalah yang krusial
«‫»ومقتضى المر الوجوب قطعا ما لم يرد صارف‬ .6
Suatu perintah selalu pasti berkonotasi wajib selama tidak ada suatu
apapun yang dapat membelokan kewajiban itu
‫ فالعمل‬:‫ »اذا خالف الراوي الفقيه روايته بأن عمل على خلفها‬.7
«‫بما رأى ل بما روى‬
Jika seorang perawi yang juga ahli fiqih berbeda antara perbuatan dan
riwayatnya, maka yang menjadi pegangan adalah pendapatnya, bukan
riwayatnya.
«‫»تقديم القياس الجلي على خبر الواحد المعارض له‬ .8
Qiyas jail lebih diutamakan daripada khobar ahad, jika bertentangan
«‫ »الخذ بالستحسان وترك القياس عندما تظهر الى ذلك حاجة‬.9
‫ »علمنا هذا رأي وهو أحسن ما‬:‫ولذلك نقلوا عن المام أبي حنيفة قوله‬
.«‫ ومن جاءنا بأحسن منه قبلناه‬، ‫قدرنا عليه‬
Istihsan dapat digunakan, dan qiyas ditinggalkan ketika muncul
kebutuhan. Beliau berkata : ini adalah pendapat yang terbaik (ahsan)
yang dapat kami hasilkan, jika setelah ini ada pendapat yang lebih
bagus (lebih ahsan) lagi maka kami menerimanya

Manhaj Imam Malik


Manhaj beliau adalah manhaj ulama Hijaz pada umumnya yaitu aliran Sa’id bin
al-Musayyab. Secara singkat manhajnya sebagai berikut:
1. Mengambil kitabullah:
a. Nashnya
b. kemudian zhahirnya yang umum,
c. kemudian dalilnya (mafhum mukhalafah),
d. kemudian mafhumnya (mafhum muwafaqah),
e. kemudian tanbihnya terhadap illat
2. Sunnah Rosulullah
a. Nashnya
b. Zahirnya
c. Dalilnya
d. Mafhumnya
e. Tanbihnya
3. Ijma
4. Qiyas
5. Amal penduduk Madinah
6. Istihsan
7. Saddu dzari’ah
8. Mashlahah mursalah
9. Pendapat sahabat (jika sanadnya benar dan orangnya popular)
10. Mempertimbangkan khilaf (jika dalil lawan kuat)
11. Istishhab
12. Syari’at sebelum kita

Manhaj Imam Syafi’i


Beliau sendiri yg menjelaskan secara global tentang manhajnya dalam kitab “Ar-
Risalah” yang dianggap sebagai kitab ilmu ushul pertama dalam Islam. Beliau
berkata : “

‫ واذا اتصصصل الحصديث عصن‬،‫ فان لصم يكصن فقيصصاس عليهمصصا‬،.‫»الصل قرآن وسنة‬
‫ والجماع اكبر‬،‫رسول ال صلى ال عليه وسلم وصح السناد به فهو المنتهى‬
‫ والحديث على ظصصاهره واذا احتمصصل المعصصاني فمصصا اشصبه منهصصا‬،‫من الخبر المفرد‬
‫ وليس المنطق‬،‫ واذا تكافأت الحاديث فأصحها اسنادا أولها‬.‫ظاهره أولها به‬
‫ ول يقصصال‬،‫ ول يقصصاس أصصصل علصصى أصصصل‬،‫بشيء مصصا عصصدا منقطصصع ابصصن المسصصيب‬
‫للصل لم وكيف؟ وانما يقال للفرع لصصم؟ فصصاذا صصصح قياسصصه علصصى الصصصل صصصح‬
.‫وقامت به الحجة‬
1. Dalil itu adalah Al-Qur’an
2. dan sunnah,
3. Jika tidak ada, maka qiyas kepada keduanya
4. Jika satu hadits sanadnya bersambung kepada Nabi dan shahih, maka
itulah akhir pencarian.
5. Dan ijma lebih besar (nilainya) daripada khobar mufrod.
6. Makna suatu perkataan adalah zhahirnya. Namun jika ia memiliki
kemungkinan banyak makna, maka makna yang lebih mirip atau dekat
kepada makna zhahirnya adalah lebih utama.
7. Jika ada beberapa hadits yang sebanding, maka yang lebih diutamakan
adalah yang paling shahih sanadnya.
8. Hadits munqoti’ tidak memiliki harga kecuali munqotinya Sa’id bin
Musayyab.
9. Dalil asal tidak dapat diqiaskan kepada dalil asal lagi dan dalil asal tidak
boleh dipertanyakan ; kenapa ? dan bagaimana? Pertanyaan ini hanya
boleh diajukan kepada furu’ (cabang). Jika pengqiyasan cabang kepada
asalnya telah shahih, maka ia benar dan menjadi hujjah

Jadi manhaj Imam Syafi’i adalah sebagai berikut:


1. Memandang Al-Qur’an dan Sunnah memiliki kedudukan yang sama dalam
proses hukum, sehingga untuk point hadits, beliau mensyaratkan 2 hal
yaitu: pertama: keshahihan dan kedua: ittishal (bersambung kepada
Nabi). Karena kedudukan sunnah adalah asal/dalil yang tidak boleh
memunculkan pertanyaan kenapa dan bagaimana. Maka dalam hal ini
kepopuleran sebuah hadits dalam masalah krusial seperti yang
disyaratkan oleh Imam Abu Hanifah tidak menjadi syarat bagi beliau.
Begitu juga kesingkronan hadits dengan amal penduduk Madinah
sebagaimana yang disyaratkan Imam Malik tidak dijadikan syarat oleh
beliau.
2. Imam Syafi’i tidak dapat menerima hadits mursal kecuali dari Sa’id bin
Musayyab, karena menurutnya Sa’id bin Musayyab memiliki jalur yang
muttashil (sampai kepada Nabi). Dalam hal ini beliau berbeda dengan
Imam Malik dan Imam Tsauri serta para ahli hadits yang sejaman
dengannya yang menerima hadits mursal.
3. Imam Syafi’i juga menolak dan melakukan nahi munkar terhadap
penggunaan istihsan sebagai dalil seperti yang dilakukan Malikiah dan
Hanafiah. Bahkan beliau menulis buku tentang penolakan tsb yang diberi
judul “Ibthalul Istihsan” artinya pembatalan istihsan. Didalamnya beliau
mengeluarkan pernyataan yang terkenal :
«‫ »من استحسن فقد شرع‬:
Barangsiapa yang menggunakan istihsan maka ia telah membuat syari’at.
4. Selain itu beliau juga menolak maslahah mursalah dan mengingkari
kekuatan hujjahnya.
5. Beliau juga mengingkari penggunaan amal penduduk Madinah sebagai
dalil
6. Beliau juga mengingkari penolakan hadits hanya karena tidak sesuai
dengan syarat yang diminta seperti syarat popular yang diterapkan Abu
Hanifah.
7. Disamping itu dalam mengambil hadits beliau tidak membatasi dari
penduduk Hijaz seperti yang dilakukan Imam Malik.
Inilah pokok-pokok mazhab Imam Syafi’I yang terpenting dan popular. Di
dalamnya kita lihat perbedaan yang jelas dengan pokok-pokok mazhab Hanafiah
dan Malikiah.

Manhaj Imam Ahmad bin Hanbal


Manhaj Imam Ahmad sangat dengan dengan Manhaj Imam Syafi’i. yaitu :
1. Mengambil nash Al-Qur’an dan Sunnah. Jika ada maka yang lain-lainnya
seperti hadits shahih tentang amal penduduk madinah, qiyas, pendapat
sahabat dan ijma, semuanya tidak difungsikan.
2. Fatwa para sahabat. Jika ada pendapat seorang sahabat yang tidak
diketahui ada penolakan, maka beliau mengambilnya dan tidak tidak
mengambil yang lainnya.
3. Jika para sahabat didapatkan berbeda pendapat, maka beliau memilih
dan memilah pendapat yang lebih dekat kepada Kitab dan Sunnah.
4. Hadits mursal dan dhaif yang tidak ditemukan ada khilaf (penolakan) baik
dari atsar, pendapat seorang sahabat atau ijma. Hadits seperti ini beliau
lebih utamakan daripada qiyas.
5. Qiyas. Bagi beliau adalah dalil emergensi pada saat sama sekali tidak
menemukan dalil-dalil diatas.
6. Saddu dzara’i 3

Jawaban atas beberapa pertanyaan:


1. Terdapat dalam kitab apa kisah tentang Imam Syafi’i yang meninggalkan
qunut shubuh karena menghormati pendapat murid/sahabat Imam Abu
Hanifah?
a. Jawab : Dr. Yusuf Al-Qardhawi menyebutkannya dalam kitab
Fatawa Mu’ashirah (Judul terjemahan: Fatwa-fatwa Kontemporer),
jilid 1, hal : 305, cetakan ke-8, Gema Insani Pres 2005.
2. Bagaimana jika hasil istimbat bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Sunnah, seperti yang diceritakan tadi tentang Imam Daud al-Zahiri
tentang kasus kulit babi?
a. Jawab : secara teori sulit untuk mengatakan hasil suatu
istimbat/ijtihad bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, karena
‫ المكتبة الشاملة‬،(23 / 1) - ‫ أدب الختلف في السلم‬3
rujukan utama ijtihad para mujtahid adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam masalah kulit babi di atas, beliau menggunakan dalil/hadits
umum sehingga hasil istimbatnya terkesan aneh. Oleh karena itu
hanya beliau dan sedikit orang yang berpendapat demikian.
Sedangkan mayoritas ulama menolaknya.
Namun yang hebat adalah walau pun pendapatnya demikian aneh
atau nyeleneh, namun kita tidak menemukan orang-orang yang
sejaman dengannya mencaci maki atau memusuhinya. Mereka
suka berbeda pendapat dan mencontoh sahabat Nabi dalam sikap
toleran dalam perbedaan pendapat itu. Sementara kita di jaman
sekarang tidak suka berbeda pendapat dan tidak bisa toleran
dengan perbedaan, Allahul musta’an.
3. Apa hukumnya taklid kepada seorang imam/mazhab dalam suatu perkara
dan bertaklid kepada imam yang lain dalam perkara lain.
a. Jawab: inilah yang dinamakan oleh para ulama dengan talfiq.
Sebagian ulama memperbolehkannya dan sebagian lainnya
melarang. Dr. Yusuf Al-Qardhawi berpendapat dan menjadikannya
sebagai fatwa, yaitu apabila talfiq dimaksudkan untuk mencari yang
sesuai dengan selera saja dan yang dirasa paling enak tanpa
memperhatikan dalilnya, maka ia tidak diperbolehkan. Namun jika
karena mengiktui pendapat yang lebih kuat menurut
pandangannya, maka talfiq tidak dilarang.

Anda mungkin juga menyukai