Anda di halaman 1dari 6

FAKIH SAGHIR, NASKAH

Naskah Fakih Sagir tulisan Arab Melayu sebanyak 54 halaman ditulis oleh Mat
Tjing pada tahun 1824. Judul aslinya adalah 'Alamat Surat Keterangan dari pada
saya Faqih Saghir Tuanku Samik Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo adanya
(Selanjutnya disebut hikayat Fakih Saghir). Kemudian hikayat ini dialihtulis oleh Dr.
W.R. van Hoevel dalam tahun 1849 dan dicetak oleh J.J. Hollander di Leiden tahun
1857.
Gelar yang disandang *Fakih Sagir menunjukkan tingkat pengetahuan agama
yang dikuasainya. Panggilan kecilnya Mat Cing artinya Mak Kecil karena tubuhnya
kecil. Saghir pun dalam bahasa Arab artinya kecil. Orang memberi gelar Faqih
Saghir, karena kecerdikannya. Setelah memperdalam ilmu fikih di surau Tuanku Nan
Tuo di Ampek Angkek, ia diakui sebagai ahli fikih dan bergelar Fakih Saghir. Setelah
Tuanku Haji Miskin kembali menunaikan ibadah haji, bersama Tuanku Haji Miskin ia
berdakwah ke nagari-nagari (1803 -1811) sehingga ajaran Islam makin meluas dan
intensif.
Hikayat Faqih Saghir ditulis sebagai mata rantai hubungan dari seorang murid
dengan guru menurut aliran Tharikat Syattariah. Ilmu syariat dan hakikat yang
berkembang di pedalaman Minangkabau diterimanya berdasarkan cerita ayahnya,
Tuanku Nan Tuo, dari Cangkiang Ampek Angkat. Tuanku Nan Tuo memanggil Faqih
Saghir "mushaharah" (FS;.32).
Dari Ulakan, agama Islam disyiarkan ke pedalaman Minangkabau oleh Syekh
Burhanuddin, seorang ulama dan mubaligh. Ia belajar pada Syekh Abdur Rauf,
seorang penganut mazhab Syafei yang mengutamakan syariat (ilmu fiqh). Surau
Tuanku di Paninjauan dan Tuanku Di Mansiang Nan Tuo menjadi pusat penyiaran
Islam di pedalaman. Murid kedua surau ini kemudian mendirikan pula surau di
kampungnya. Masa keemasan perkembangan surau-surau dengan keahlian masing-
masing Tuanku digambarkan dengan jelas oleh Fakih Saghir. Beratus-ratus surau di
Minangkabau tumbuh sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan gurunya
(Tuanku). Surau-surau di Minangkabau kemudian berubah menjadi pendidikan
spesialisasi ajaran Islam. Setiap surau mempunyai ciri-ciri yang khas, seperti Tuanku
Nan Tuo di negeri Kamang dalam ilmu alat (nahu dan sharaf), Tuanku di Tampang
di tanah Rao dan muridnya, Tuanku Nan Kecil di negeri Koto Gadang, dalam ilmu
mantiq dan ma'ani. Tuanku di Sumanik dalam hadith, tafsir dan ilmu faraid, Tuanku
di Talang dalam ilmu sharaf dan Tuanku di Salayo ahli dalam badi', mantik dan
ma'ani (nahu yang tiga) (FQ; 6)
Tentang Tuanku Nan Tuo dalam negeri Koto Tuo diceritakannya, bahwa ia
mengaji pada Tuanku di Kamang dan Tuanku di Sumanik, Tuanku di Koto Gadang,
Tuanku Damansiang Nan Tuo, dan pernah dengan Tuanku di Paninjauan. Tuanku Nan
Tuo memahami sekalian ilmu-ilmu agama seperti ilmu mantiq dan ma'ani, hadith dan
tafsir, dan ilmu syariat. Tuanku Nan Tuo, dalam negeri Koto Tuo semuanya. Tuanku
Uluma yang kasyaf memahami sekalian ilmu syariat dan hakikat.
Seorang murid belajar pada suatu surau, sesudah itu menambah ilmunya kepada
guru lainnya. Dengan demikian lahir jaringan solidaritas sosial (uchuwah islamiyah)
yang tinggi di Minangkabau.
Bersama Tuanku Nan Renceh sedang giat belajar ilmu fikih di surau Tuanku Nan
Tuo. Faqih Saghir masih bergelar Khatib. Faqih Saghir dan Tuanku Nan Renceh
merencanakan perbaikan kampungnya seperti tepian, kuburan dan masjid serta
pekerjaan lain yang dikehendaki syarak.
Ketika telah bergelar Khatib, Faqih Saghir ingin mendirikan Jum'at, namun
jamaahnya 4 orang saja yang terdiri dari bapaknya, saudaranya Tuanku Kubu Sanang,
Faqih Saghir sendiri, seorang orang lainnya. Berkat kesungguhannya menyuruh orang
sembahyang sehingga berdiri Jum'at dua belas orang. Faqih Saghir dikirim ke desa-
desa sekitarnya menyeru orang menunaikan zakat serta membagikannya kepada fakir
dan miskin. Berbeda dengan masa dulu, zakat itu tidak dibagikan kepada segala fakir
dan miskin melainkan dihimpun dan dipergunakan untuk keperluan tertentu saja. Di
samping itu Faqih Saghir menyuruh orang memperingati maulud akan nabi shalalahu
alaihi wassalam, serta membagikan tertibnya dan tertib orang memakaikan agama
Islam. Namun usahanya kurang berhasil.
Usaha pengamalan ajaran Islam itu makin sempurna setelah Tuanku Haji Miskin
kembali dari menunaikan ibadah haji (1803). Usaha pembaruan makin intensif
dilakukan Tuanku Haji Miskin seperti di negeri-negeri Batu Tebal, Pandai Sikat dan
Kamang. Di mana ia berkhotbah selalu diiringi dengan usaha masyarakat nagari
membersihkan kampung, tepian, tempat (kuburan) dan mesjid. Melalui khotbah yang
mengesankan makin sempurna jamaah Jum'at sebanyak 40 orang. Tiada lama
kemudian Tuanku Nan Renceh kembali pulang ke negerinya melakukan gerakan
pembaruan Islam di Kamang bersama Tuanku Mananti Malin.
Sesudah diam di Kamang bersama Tuanku Nan Renceh, Tuanku Haji Miskin
pindah ke Air Terbit, ke surau Sungai Landai. Ia berhasil pula membawa masyarakat
untuk mendirikan agama Allah. Namun beberapa saat kemudian terjadi keributan
yang membinasakan Tuanku Haji Miskin. Dalam keributan itulah Tuanku Haji
Miskin mati terbunuh dan dikuburkan di Bukit Qawi (1811). Tuanku Nan Tuo ikut
membantu menyelesaikan salang selisih dengan penghulu dan masyarakat sekitar Air
Terbit.
Kata hitam dan putih dalam naskah ini semata-mata diibaratkan atau i'tibar dari
kepada pihak yang ikhlas menjalankan ajaran Islam. Kata putih berawal ketika
penghulu nan balimo dan limo suku di Air Terbit menyampaikan "kato" untuk berdo'a
setelah bertaubat akan melaksanakan ajaran Islam dengan sempurna. Seorang cerdik
cendekia, Khatib Batuah dari Limbukan, mengatakan kami "hitam nan tidak bakuran
lai, putih nan tidak bahatak lai, putih, putih, putih, saputih-putihnya" Maksudnya,
hitam tidak bercacat, putih yang tertata baik.
Faqih Saghir berdakwah keliling negeri Ampat Angkat karena ingin melarang
orang berfoya-foya, yang hukumnya mubazir dan dilarang agama Islam.
Keinginannya itu nampaknya mendapat tantangan terutama dari masyarakat Bukit
Batabuh yang memancang gelanggang.
Sifat lemah lembut Tuanku Nan Tuo disentakkan oleh reaksi atas pemancangan
gelanggang Bukit Batabuh. Seorang muridnya yang menjadi pahlawan menyatakan
dalam suasana hiru biru seperti itu tidak mungkin dilawan dengan kesabaran. Hal
seperti itu tidak mungkin dilawan dengan kesabaran.
Ada yang menganggap tindakan dari Faqih Saghir sebagai balas dendam atas
masjid dan madrasahnya yang runtuh. Penyimpangan dari ajaran agama yang
dilakukan penduduk, sebagian disebabkan kurangnya pengetahuan tentang ajaran itu
sendiri. Namun untuk menghadapi perang-perang itu, kharisma Tuanku Nan Tuo
sebagai ulama yang disegani tetap diharapkan. Berkat kharisma kepemimpinan
Tuanku Nan Tuo pemancangan gelanggang di kawasan Agam lainnya dapat
dibatalkan.
Tuanku Nan Renceh berupaya pula memperbaiki kehidupan pedagang di
daerahnya, terutama ketika Tuanku Haji Miskin berada di Kamang (1807). Kedua
orang pembaru ini untuk ingin menerapkan hukum Islam dalam perdagangan
melengkapi hukum adat Hal ini terjadi atas pengaduan seorang pedagang bernama
Tuan Tarabi yang dirampas barang dagangannya oleh orang Kamang Bukit.
Antara orang Koto Baru dengan orang Kamang Bukit diadakan perdamaian tetapi
agak tersendat. Tuanku Nan Renceh menangkap pula dua orang Bukit Batabuh dan
dibawanya ke Kamang. Namun akhirnya, atas persetujuan kedua belah pihak,
masing-masing mengembalikan kemenakan masing-masing, sehingga tercapai
uchuwah islamiyah. Dengan tercapainya keamanan di negeri-negeri Tuanku Nan
Renceh (Kamang Bukit, Salo, Magek dan Koto Baru) perniagaan mendapat
perlindungan. Pusat lalu lintas perniagaan di kawasan Agam dikuasai kaum pembaru.
Selama empat tahun, semenjak Tuanku Haji Miskin berada di Kamang, Tuanku
Nan Renceh pun berhasil menghentikan perang. Pada saat itu Tuanku Nan Tuo
berkumpul dan musyawarah bersama tuanku-tuanku dalam luhak Agam Delapan
ratus orang banyaknya, membicarakan ajaran agama. Pada saat terdesak demikian,
Tuanku Nan Renceh dapat bantuan dari Tuanku Haji Sumanik dengan latihan perang
dan mempergunakan meriam.
Setelah memasuki pedalaman Minangkabau, Belanda membuat benteng di
Kurai.. Tuanku Nan Renceh menyebutnya "sangat jahil". Orang Kamang Salo,
Magek, dan Koto Baru ingin menyerang negeri Kurai. Tuanku Nan Tuo
menghalanginya, sehingga Tuanku Nan Renceh bersama kaumnya pulang. Namun,
ternyata negeri Kurai terbakar juga. Mereka mengungsi ke Koto Tuo. Tuanku Nan
Tuo dapat melarang orang Kamang memerangi orang Kurai. Rupanya tindakan itu
dilakukan oleh hulubalang Tuanku Imam Bonjo. (pen.)
Tindakan tuanku-tuanku di Agam melakukan "perang agama" dianggap
bertentangan dengan hukum agama. Tuanku Nan Tuo berusaha memanggil mereka.
Kelompok Tuanku Nan Salapan mendatangi gurunya, Tuanku Nan Tuo. Perbedaan
pendapat mengenai metode dakwah agama antara Tuanku Nan Tuo dengan tuanku-
tuanku di Agam tak dapat dielakkan. Mereka berkata, "Agar Tuanku Nan Tuo tinggal
di masjid sambil mengajarkan ilmu (agama) seperti dulu. Biarlah kami yang
menyampaikan dakwah agama dan memerangi negeri-negeri yang menyalahi agama
seperti pernah Tuanku lakukan dahulu. Kami akan mengantarkan hadiah dan
ketundukan kepada Tuanku."
Sebagian dari tuanku-tuanku menerima pendapat Tuanku Nan Tuo dengan
berikrar tidak akan menyerang negeri-negeri semata atas rasa hormat kepada guru.
Namun sesudah itu mereka meminta Tuanku Damansiang menjadi "imam" mereka.
Tuanku Nan Salapan kemudian mengatakan Tuanku Nan Tuo sebagai rahib tuo dan
Faqih Saghir dengan gelar "raja kafir" dan "Raja Yazid". Hal ini terjadi setelah
Belanda membuat benteng Gedung Batu di Koto Tuo dan benteng Fort de Kock di
kawasan Kurai. Artinya semenjak itu putuslah "pola hubungan murid dan guru"
menurut tharikat Syattariah.
Tuanku Nan Salapan melakukan pembaruan di kawasan Agam dan Tuanku Imam
Bonjol berhasil menyusun jaringan pembaruan berporoskan Bonjol - Rao -Barumun-
Sosa sampai ke Kuantan-Mahek - Kuok- Bangkinang
Untuk memperlemah Tuanku Nan Salapan, di tengah-tengah masyarakat
berdasarkan Agam bekembang issu kelarasan dengan dalil, "Athi'u llaha, wa'athiur
rasulu wa ulil amri minkum." Antara Laras Koto Piliang dengan Laras Bodi Caniago,
dibedakan atas derajat yang berlawanan dengan uchuwah islamiyah. Nagari Ampek
Angkek termasuk kelarasan Koto Piliang tempat kedudukan Tuanku Nan Tuo dan
Fakih Sagir. Martabat mereka dianggap tinggi berbeda dengan kedudukan Tuanku
Nan Salapan kelarasan Bodi Caniago yang agak rendah martabatnya dan menamakan
Ampat Angkat Laras Nan Panjang. Hulubalang Bonjol-Rao Mandahiling menduduki
Ampat Angkat selama enam tahun. Dan membantu Tuanku Lintau dalam perang 16
April 1823. (Naskah Tuanku Imam Bonjol, pen.)
Atas inisiatif Tuanku di Bodi dari Sungai Tarab, diadakan perdamaian antara
Tuanku Nan Tuo dengan Tuanku Nan Salapan agar tenang menjalankan ajaran Allah
s.w.t. Semenjak itu dikembalikan sekalian harta rampasan kepada yang punya.
Tuanku Nan Saleh dianggap menyalahi ajaran Tuanku Ulakan. Oleh karena itu,
Tuanku Nan Tuo menyerang negari Taram, tempat kedudukan Tuanku Nan Saleh.
Akhirnya, antara keduanya terdapat kesepakatan setelah masing-masing
menyampaikan pendapatnya berdasarkan kitab-kitab agama Islam.
Setelah Belanda masuk ke pedalaman Minangkabau (1821) terjadi dua kelompok
yang disebut dengan hitam dan putih yang semata-mata berdasarkan pengamalan
ajaran Islam, yaitu:
1) Tuanku Pidari mengamalkan rukun Islam, memperbaiki labuah kampung, tepian,
kuburan dan masjid, memakai pakaian yang halal, menyuruh orang menuntut
ilmu dan berniaga ( Islam waddaulah).
2) orang hitam yang mengikrarkan ajaran Islam tetapi kurang mengamalkannya dan
masih melakukan amal jahat, seperti menyamun menyakar, maling curi dan rebut
rampas dan amal jahat lainnya.
Naskah ini diakhiri dengan washiat Tuanku Nan Tuo kepada Faqih Saghir.
Tuanku Nan Tuo meninggal pada peperangan yang dibencinya ((tahun 1830, pen.)
Sepeninggal Tuanku Nan Tuo, Fakih Saghir bergelar Syekh Jalaluddin Ahmad.

Anda mungkin juga menyukai