Anda di halaman 1dari 54

Al-Habib

PANGERAN SYARIF
ALI
bin Abubakar bin Sholeh
ibn As-Syeikh Abubakar bin Salim

1
A L-HABIB Ali bin Abubakar bin Shaleh atau dikenal
sebagai Pangeran Syarif Ali diperkirakan lahir tahun
1790 M. Dia dibesarkan di rumah kakeknya yaitu
Habib Ibrahim bin Zen bin Alwi bin bin Yahya di Kampung
Karang Manggis. Kakeknya Habib Ibrahim adalah seorang
ulama yang membuka majlis taklim di rumahnya dengan
dibantu oleh putra-putranya,
Habib Syech dan Abdullah bin
Ibrahim bin Zen Bin Yahya.
Majlis taklim tersebut
dikunjungi oleh berbagai
lapisan masyarakat yang haus
dengan ilmu agama.
Makam Habib Ibrahim
bin Zen Bin Yahya
Tidak diragukan lagi sejak kecil Syarif Ali telah
mendapat didikan agama, baik syariat maupun tasawuf, ilmu
zhohir maupun batin yang tercermin dari ucapan maupun
perbuatannya. Banyak buku-buku agama dipelajarinya
sebagai bekal dalam pergaulan, sehingga dalam hubungannya
dengan masyarakat beliau menjadi sosok yang berwibawa
dan disegani.

Setelah usianya menginjak dewasa Syarif Ali


mengikuti pelayaran niaga ke Jawa dan Kalimantan. Jenis
kapal yang digunakan adalah semacam Sconar dan barang
dagangan berupa getah perca, malam (lilin lebah) untuk
bahan membatik dan lain-lain, Dan ke Kalimantan membeli
batu permata. Adapun Ahmad saudara Pangeran Syarif Ali
melakukan pelayaran sampai ke Sulawesi Utara dan Maluku.

2
Kapal Jenis Sconar

Karena ibunya Syarif Ali yaitu Syarifah Nur adalah


cucu Sultan Mahmud Badarudin I, maka Pangeran Syarif Ali
sejak usia muda telah banyak berhubungan dengan keluarga
Kesultanan Palembang.
Dalam susunan jabatan dalam Kesultanan Palembang
Darussalam, seorang yang memegang jabatan penting diberi
gelar “Pangeran”. Dalam hal ini Habib Isa Al-Kaf mendapat
penjelasan bahwa Pangeran Syarif Ali pernah menjadi wazir
keuangan kesultanan seperti dijelaskan oleh Bapak R.H.M.
Akib seorang pengamat sejarah Palembang.

KELUARGA PANGERAN SYARIF ALI

No Nama Isteri Nama Anak


Syarifah Sidah 1. Abubakar (Pangeran Bakri)
I binti Alwi bin Zen 2. Muhammad (Muhammad
Shahab (1283) Mahimud)
II Nyimas Halimah 1. Hamid

3
(Meninggal sewaktu
binti Kemas
berniaga ke Serawak).
Muhammad
2. Shaleh (Bermukim di Muar
(Kedukan – 5 Ulu)
– Johor Malaysia).
Masayu Laila binti Hasan bin Syeikh Abubakar
III Susuhunan Husin (Diperkirakan bermukim di
Dhiyauddin Pulau Belitung).
Wanita berdarah Husin (Dikenal sebagai Husin
IV
Maluku / Ambon Ambon atau Habib Keling).

Perihal putra-putra Pangeran Syarif Ali diatas akan


diperincikan selanjutnya.
Adapun putri-putri Pangeran Syarif Ali adalah :
Sesuai makam di Gubah Pangeran 5 Ilir :
1. Syarifah Mahani Meninggal tahun 1906 M
2. Syarifah Husna Meninggal tahun 1889 M
3. Syarifah Hamidah Meninggal tahun 1304 H / 1916 M
4. Syarifah Muzna Meninggal tahun 1264 H / 1837 M
5. Syarifah Aisyah Meninggal tahun 1909 M
Adapun menantu Pangeran Syarif Ali adalah :
1. Habib Muhammad bin Shaleh BSA asal Manado
2. Habib Abdullah bin Salim Al-Kaf
3. Habib Syech bin Alwi bin Ahmad bin Abubakar Al-Kaf
Pangeran Syarif Ali juga memelihara membesarkan
putra/putri saudaranya Ahmad yang meninggal tahun 1241 H
/ 1825 M serta mengawinkan putri-putrinya :

4
1. Sy. Maryam dengan Habib Ali bin Abdurrahman
Masawa.
2. Sy. Syecha dengan Habib Muhsin bin Abdullah bin Ali
bin Ahmad bin Salim bin Ahmad bin Husin bin Syech
Abubakar. Asal Surabaya dan selanjutnya tinggal di
Surabaya. (Keterangan dari Habib Hamzah bin Ali bin
Muhsin BSA, Jakarta).

Denah Pemakaman Pangeran Syarif Ali

5
KESULTANAN PALEMBANG
Sudah sejak tahun 1650 M kaum Alawiyyin datang
bermukim di Palembang baik sebagai ulama Islam, maupun
pedagang dengan armada pelayarannya. Suasana tenteram
ini sangat menguntungkan kedua belah pihak.
Namun ketenteraman ini terganggu oleh orang-orang
asing Inggris, Portugis dan Belanda yang ingin merebut
Pulau Bangka yang kaya dengan biji timah. Pada masa itu
pedagang-pedagang Alawiyyin membantu Sultan menjual
biji timah kepada Inggris, sedang pihak Belanda memblokir
kapal-kapal yang mengangkut biji timah di Perairan Riau
dengan menggunakan bajak-bajak laut bayaran yang
dikoordinasi “Raja Lautan” alias Ali Haji. Namun
penghadangan ini dapat dilewati karena Raja Ali ini juga
Alawiyyin dari Siak.
Selain dari itu kaum Alawiyyin juga mengumpulkan
meriam-meriam dari tempat lain untuk persiapan pertahanan
Sultan menghadapi Belanda dan Inggris sewaktu-waktu bila
terjadi perang yang memang tejadi :
Tahun 1812 : Perang melawan Inggris, Inggris merebut
Bangka. Sultan diganti dengan Sultan
Husin Dhiauddin.
Tahun 1814 : Inggris menyerahkan Bangka dan
Palembang kepada Belanda, Mahmud
Badaruddin II kembali menjadi Sultan.
Tahun 1819 : Terjadi perang dengan Belanda, dikenal
dengan Perang Menteng di perairan
Sungai Musi, Edelheer Mutinghe
Panglima Belanda luka terkena tembakan

6
meriam Sayyid Abdurrahman Haneman
dari Pulau Salah Nama. Pasukan meriam
yang lainnya dipimpin oleh Sayyid Zen
Bafaqih, Sayyid Agil bin Muhammad,
Sayyid Ahmad bin Ali, Sayyid Husin dan
Habib Umar bin Abdullah As-Seggaf.
(Syair Perang Menteng)
Tahun 1821 : Kekalahan Mutinghe menyebabkan
Gubenur Jenderal Belanda di Jakarta
sangat marah dan mengambil langkah :
Mengangkat Jenderal A.D. Mayor
Jenderal Baron de Kock, seorang jenderal
angkatan darat untuk memimpin pasukan
yang terdiri dari 70 kapal meriam, 30
kapal pengangkut 2500 pasukan tentara.
Sultan hanya mengandalkan pasukan meriam di
Sepanjang Musi. Peperangan terjadi dari tanggal 20 Juni
sampai 27 Juni 1821. De Kock memusatkan serangan pada
benteng-benteng meriam pantai sehingga satu persatu
pertahanan meriam Sultan dilumpuhkan. Sementara itu
kapal-kapal pengangkut menurunkan serdadu yang bersenjata
lengkap di tempat lain seperti Sungai Bayas dan lain-lain.
Serdadu-serdadu itu selanjutnya bergerak cepat, tanpa
menghadapi perlawanan berarti menuju Istana Sultan dan
Benteng Kuto Besak. Sultan dan pengikut-pengikutnya
ditangkap termasuk penasehatnya Habib Muhammad bin
Umar As-Seggaf. Istana dan harta kekayaan Sultan dijarah
serdadu, tidak sedikit pula yang dilarikan oleh keluarga
Sultan sendiri.

7
8
Setelah dikalahkan dan ditangkap Belanda, Sultan
Mahmud Badaruddin II beserta pengikut-pengikutnya
ditawan dan diangkut ke Betawi dan selanjutnya sampai ke
Ternate. Sultan meninggal tahun 1852. Pengikut-
pengikutnya pada tahun 1863 diizinkan pulang ke
Palembang. Adapun Habib Muhammad bin Umar bin
Abdullah As-Seggaf Al-Fakhr diasingkan ke Gorontalo.
Tanggal 16 Juli 1821 Sultan Ahmad Najamuddin
Prabu Anom putra Susuhunan Husin Dhiauddin dinobatkan
sebagai Sultan Palembang. Setelah segala upaya mencarikan
dana untuk membayar tuntutan ganti kerugian perang dari
sisa-sisa kekayaan Sultan sebelumnya, Pangeran Syarif Ali
berusaha pula mengambil kembali kekayaan kesultanan yang
dilarikan keluarga Sultan sampai ke Kalimantan dan lain-
lain. Namun segala usaha tersebut belum dapat menutupi
tuntutan pemerintah Belanda. Diusahakan untuk
mendapatkan pinjaman dari pemerintah Belanda untuk
menutupi kekurangan uang tersebut, permohonan ini ditolak
oleh pemerintah. Dengan demikian Sultan tidak dapat
memenuhi tuntutan Belanda. Akibatnya Sultan Ahmad
Najamuddin dipaksa menandatangani surat-surat penyerahan
kekuasaan pemerintahan dan hak-hak kekuasaan kepada
pemerintah Belanda tanggal 01 Oktober 1823 M.
Tidak tahan dengan tekanan-tekanan dan penghinaan
ini, Sultan diam-diam menyusun kekuatan di pedalaman
Musi dan bergerilya selama 8 bulan tahun 1824 M, sampai
akhirnya ditangkap di perairan Indralaya, selanjutnya
dipindahkan ke Dusun Pegayut untuk diadakan upacara
penjemputan secara adat kesultanan dengan menyertakan
pejabat-pejabat kesultanan dan tokoh-tokoh para habaib

9
Palembang. Sultan akihirnya diasingkan ke Banda (sampai
1841) kemudian ke Manado, sampai meninggal tahun 1845.
Susuhunan Husin Dhiauddin karena mengetahui
rencana pemberontakan Sultan Ahmad Najamuddin Prabu
Anom tetapi tidak melapor kepada Belanda, kemudian
diasingkan ke Jakarta. Susuhunan meninggal tanggal 1845
M, dimakamkan di Krukut,
makam ini kemudian
dipindahkan ke Kawah
Tekurep Palembang oleh
zurriatnya.
Dengan demikian
berakhirlah masa Kesultanan
Palembang Darussalam,
digantikan oleh Residen
Belanda dengan peraturan-
peraturan kolonial yang
merugikan perdagangan dan
Makam Sultan Husin pelayaran niaga kaum
Dhiauddin Alawiyyin.

PELAYARAN KE SINGAPURA
Pangeran Syarif Ali merasa sangat terpukul dengan
ditangkapnya Sultan dan Susuhunan Husin yang keduanya
adalah adik ipar serta ayah mertuannya. Timbul keinginan
yang kuat bagi Pangeran untuk meninggalkan Palembang,
bepergian ke Singapura dengan Kapal Sconar miliknya.
Dari sahabat-sahabatnya dikatakan bahwa Kota
Singapura, India dan Persia adalah pusat perdagangan yang

10
ramai didatangi oleh kapal-kapal niaga dari Eropa, India,
Cina, dan Indonesia yang memperdagangkan kristal,
porselen, rempah-rempah, daun teh kayu/papan dan
sebagainya. Yang paling menarik perhatiannya kitab-kitab
Agama Islam, yang dikarang oleh ulama Timur Tengah
dicetak di India untuk tambahan ilmu pengetahuannya.
Tidak lupa pula dibelinya beberapa buku syair Persia untuk
keluarganya, dan syair-syair semacam itu sangat disukai
masyarakat Palembang.
Perihal buku-buku Pangeran Syarif Ali diberitakan
oleh penulis Belanda yang bernama Mohnike tahun 1874 M
dan Ryn Van Alk Munde tahun 1883 M. Dilaporkan ada
lebih dari 1200 jilid. Kitab-kitab itu sekarang telah habis
dimakan zaman. Kecuali sebuah kitab agama yang ditulis
tangan milik Habib Abubakar ayah dari Pangeran Syarif Ali,
yaitu sebuah kitab hukum fiqih yang berjudul Fathul Muin
tulisan tangan Faqih H. Muhammad Akib, bulan Ramadhan
1234 (1815 M).

KEPALA BANGSA ARAB


Seperti juga di Betawi, Surabaya, Cirebon, Tegal dan
lain-lain dimana tepusat kelompok-kelompok orang Arab
diangkat seorang yang menjadi kepala atau Kapten Arab.
Maksudnya untuk memisahkan mereka dari penduduk asli.
Tugas Kapten Arab ialah mengawasi warga Arab agar jangan
terlibat kasus-kasus hukum.
Pangeran Syarif Ali yang tidak menyukai hubungan
dengan orang Belanda merasa resah dengan pengangkatan
ini, Kapten Arab berstatus pegawai pembantu residen. Tetapi
setelah bermusyawarah dengan para habaib, tokoh-tokoh

11
masyarakat Alawiyyin, akhirnya jabatan itu dapat
diterimanya dengan itikad baik dan kemaslahatan ummat.
Dalam melaksanakan tugasnya Pangeran Syarif Ali dibantu
oleh putranya Pangeran Abubakar (Pangeran Bakri)
Dalam melaksanakan tugas, Pangeran Syarif Ali
berpegang pada syariat, teliti dalam menilai persoalan serta
berpandangan jauh ke depan untuk tidak terjebak dalam tipu
muslihat Belanda sebagai musuh Islam demi keselamatan
ummat muslimin dan kaum Alawiyyin.
Syukurlah selama masa jabatannya sebagai Kapten
Arab tidak pernah terjadi keresahan-keresahan yang ada
masyarakat Arab yang terlibat didalamnya.

HARI TUA PANGERAN SYARIF ALI


Tidak terasa anak cucunya bertambah banyak maka
diperlukan tanah yang cukup luas untuk mendirikan rumah
yang diperlukan. Untuk itu Pangeran membeli sebidang
tanah di 13 Ilir, sebelah timur berbatasan dengan muara
Sungai Karang Bengkuang dan di sebelah barat berbatasan
dengan Lorong Kedipan Laut. Segera dibangun rumah
rumah untuk Pangeran sendiri, kemudian rumah-rumah untuk
putra-putranya yaitu Abubakar, Muhammad, Husin dan
Hamid. Kemudian putra-putranya membangunkan pula
untuk putra masing-masing sehingga tanah tersebut hampir
penuh dengan rumah-rumah.
Adapun rumah Pangeran sendiri berbentuk panggung
yaitu Rumah Limas dengan beberapa kijing, garang dan
dapur, ruangan / kamar untuk wanita bagian depan rumah ada
2 kijing (tingkat) adalah ruang tamu, sesudah itu bagian

12
tengah rumah terdapat kamar tidur. Di dekat tangga depan
terdapat jambangan, yaitu bejana besar untuk tadah hujan.
Untuk tempat shalat dibangun mushalla di tepi Sungai Musi.
Adapun rumah Pangeran Syarif Ali sebelumnya di
Karang Manggis. Disekitar tahun 1930-1935 tanahnya dibeli
oleh Habib Hasan bin Alwi As-Seggaf, untuk mendirikan
pondok penggergajian kayu. Bangunan rumahnya
dipindahkan ke sebelah barat Benteng Kuto Besak, dijadikan
museum. Sekarang bangunan tersebut berada di belakang
Museum Bala Putra Dewa KM 5 Palembang (lihat gambar
rumah yang ada di belakang uang pecahan Rp. 10.000,-).
Benda sejarah milik Pangeran Syarif Ali yang masih
tinggal di museum itu adalah sebuah tempat tidur.
Rumah Pangeran
Syarif Ali

Adapun
rumah-
rumah
yang terletak di
13 Ilir, dengan
penjualan
tanah-
tanahnya
ikut terbongkar.
Tahun 1932, dijual kepada perusahaan galangan kapal
J.M.P., termasuk rumah Pangeran Bakri. Tahun 1938, tanah
tempat rumah-rumah putra Ahmad bin Muhammad Mahimud
di bagian muara Sungai Karang Bengkuang termasuk rumah-
rumah Ali, Alwi, Zen los.

13
Tahun 1948, pemerintah militer Jepang membeli
paksa semua tanah dan rumah keluarga Pangeran Syarif Ali
yang masih tertinggal.
Setelah masa pendudukan tentara Jepang berakhir
tahun 1945, seluruh tanah dan rumah yang telah dibeli paksa,
dibeli pula oleh perusahaan kapal N.V. INDRUSTIELLE
MAATSCHAPIJ PALEMBANG (IMP) (sekarang PT.
KOJA), terkecuali rumah tempat tinggal Habib Abdullah
(Ustadzah Ummi Kaltsum), sebidang tanah tempat Habib Ali
bin Hamid, dan sebuah rumah milik Habib Umar (sekarang
ditempati oleh keluarga Muhammad bin Umar / Keluarga
Danila) di Jalan Ali Gathmir Palembang.
Sejalan dengan usianya yang semakin lanjut,
walaupun usaha dagangnya sedang mengalami masa
kemajuan. Arsip Nasional laporan tahunan 1879 - 25
mencatat : Pada tahun 1870-an sebagian besar perdagangan
di Palembang masih dikuasai oleh Pangeran Syarif Ali bin
Syech Abubakar dan keluarganya.
Tetapi tahun-tahun berikutnya usaha dagang dan
pelayaran masyarakat Arab Palembang terancam oleh
perkembangan pesat dunia perkapalan dan angkutan
barangnya yang menghubungkan kota-kota pelabuhan
penting di Indonesia dan Asia Tenggara.
Pangeran Syarif Ali menyerahkan urusan perdagangan
dan pelayarannya kepada putranya Muhammad, Hamid,
Shaleh dan orang lainnya yang dipercayakannya.
Perlu kami catat disini komentar L.W.C. v.d. Berg,
seorang Pejabat Gubenur / Pemerintah Belanda yang meneliti
masyarakat Arab di Palembang yang mencatat :

14
“Hampir setengah abad (tahun 1830 - 1880) Keluarga Bin
Syech Abubakar berpengaruh besar terhadap golongan Arab
dan kaum ningrat Palembang”.
Dua tokoh dari Keluarga Syech Abubakar yaitu
Pangeran Syarif Ali dan Pangeran Bakri, karena keduanya
beberapa kali menyelesaikan keresahan politik di dalam
lingkungan keluarga kesultanan yang didasarkan atas rasa
kebencian dan dendam kepada Belanda karena Pangeran
Syarif Ali menasehati mereka agar lebih cermat dalam
mengukur kekuatan dengan tentara Belanda yang lebih
lengkap persenjataannya, serta akibat-akibat yang akan
ditimbulkan keluarga Sultan jika dikalahkan lagi oleh
Belanda. Keresahan itu terjadi ketika keluarga Sultan
Mahmud Badarudin II :
1. Memprotes penyerahan pajak atas uang pensiun keluarga
Sultan yang jumlahnya sudah semakin kecil, karena harus
dibagi dengan anak cucu mereka yang jumlahnya sudah
semakin banyak. Jumlah ini masih akan dikenakan pajak
oleh Residen.
2. Kebencian kepada Belanda sewaktu berita tentang
kematian Sultan di Ternate sampai ke Palembang tahun
1854. Keresahan ini tidak sampai menimbulkan
kerusuhan, tetapi rasa benci dan dendam terus tumbuh di
masa berikutnya.
Pangeran Syarif Ali meninggal dunia tanggal 29
Muharram 1295 H atau di bulan Februari 1878 M. Sebagai
penghargaan Residen Belanda mengirim pasukan militer
dalam iringan Jenazah ke Pemakaman 5 Ilir Palembang.
Dari sejarah kehidupan Pangeran Syarif Ali dapat
diperoleh hikmah, antara lain seperti berikut :

15
1. Ilmu Agama harus selamanya dipelajari. Syariat agama
menjadi bimbingan, bahan pemikiran dan pedoman dalam
mengambil kebijaksanaan.
2. Ilmu pengetahuan dunia perlu dipelajari, agar kita tidak
diperbudak oleh orang lain dan lebih cermat dalam
berpikir dan berbuat.
3. Jangan menggantungkan hidup
dengan orang lain, tuntutlah rezeki walaupun harus
bekerja keras.

Makam Al-Habib Pangeran Syarif Ali


ibn As-Syeikh Abubakar

16
AL-HABIB HAMID
bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar

A L-HABIB Hamid diperkirakan lahir tahun 1860.


Beliau dibesarkan dan dididik di lingkungan
keluarga pangeran. Ibunya adalah Nyimas Halimah
binti Kemas Muhammad, Kedukan 5 Ulu Palembang.
Sejak usia muda Hamid tertarik pada usaha pelayaran
niaga, kapal Schonar milik ayahnya sudah tersedia. Hamid
memilih rute pelayaran Pesisir Barat Kalimantan, yang waktu
itu sudah tersohor ramai perdagangannya.
Ada banyak kota pelabuhan di sepanjang pesisir dan
kota-kota di tepi sungainya, ada banyak pedagang porselen
Cina yang berdagang dan bermukim di Singkawang, rotan
dan itlutng (bahan zat warna) yang diminati pedagang Eropa.
Terus ke Utara singgah di Sambas, Kucing, dan
Brunai dimana Hamid memfokuskan perdagangan permata-
permata yang tinggi nilai mutu dan harganya. Dalam
beberapa trip perdagangan saja sudah terlihat hasil usahanya.
Merasa sudah cukup dewasa untuk berumah tangga
dia pun melamar putri Habib Syech Al-Kaf, seorang tokoh
keluarga Al-Kaf Yusrain. Lamarannya diterima dengan
mahar 1000 keping uang emas (dinar) sehingga istrinya
digelar “Cik Ima 1000 Dinar”. Dari perkawinan ini lahirlah
putra / putri :
1. Ali

17
2. Zainah, pindah mengikuti suaminya ke Surabaya (Habib
Ali bin Muhammad Mahimud)
3. Ahmad, pindah ke Muar
4. Alwi (Suami Wak Pa)
5. Abubakar
Dalam suatu persinggahannya ke Kota Sambas, Habib
Hamid oleh seorang relasi dititipi seorang anak laki-laki yang
bernama Thohir. Anak itu dipelihara, dibesarkan dan
sesudah dewasa dinikahkan. Dari perkawinannya Thohir
dikaruniai putra, seorang putra yang kemudian dikenal
sebagai Haji Muhammad Thahir Pertamina.
Pada waktu pemerintahan Jepang berkuasa, rumah
Habib Hamid dibeli paksa dan keluarganya pindah ke Lorong
Masawa 13 Ilir. Putra-putra Habib Hamid mendapat didikan
agama yang dikenal sebagai guru dalam peribadatan
umumnya dan sebagai ahli nasab masyarakat Alawiyyin
Palembang.
Dalam pelayarannya yang terakhir menuju Serawak,
Habib Hamid menderita sakit dan atas takdir Allah ia pun
meninggal dunia dan dimakamkan di suatu tempat di
Serawak.

AL-HABIB SHOLEH
bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar

S AUDARA seibu dari Habib Hamid adalah Habib


Sholeh. Kalau Habib Hamid melakukan pelayaran
niaga sampai ke Pantai Barat Kalimantan, maka Habib

18
Sholeh yang masih muda berhijrah ke Muar di Malaysia.
Muar adalah kota pelabuhan Kesultanan Johor, terletak di
Selat Malaka.
Bermodalkan pengetahuan agama yang dipelajarinya
sejak di lingkungan keluarga, di majlis-majlis taklim dan
ditunjang pula dengan kitab-kitab koleksi ayahnya, maka
Sholeh di tempat hijrahnya membuka pula majlis taklim di
rumahnya. Murid-muridnya semakin banyak sehingga Habib
Sholeh membangun sebuah masjid tempat mengajar dan
masjid serta jalan yang menuju ke rumahnya disebut jalan
dan masjid Shehabubakar. Karena dikenal sebagai guru
agama yang terkenal di Muar, maka Sultan Johor
mengangkat Habib Sholeh sebagai Kadi.
Tidak lama setelah berdiam di Muar, Habib Sholeh
menikah dengan seorang perempuan setempat. Dari
perkawinan ini lahir : Syech dan Abdurrahman. Dari
keduanya yang menikah di Malaysia, keturunannya tinggal di
berbagai tempat di Malaysia.
Berita mengenai keluarga Habib Sholeh ini baru kami
peroleh dari S. Mahmud bin Ismail bin Abubakar bin
Abdurrahman bin Shaleh bin Pangeran Syarif Ali yang
datang ke Palembang dalam rangka mengikuti Haul Al-Imam
As-Syeikh Abubakar bin Salim dan Al-Habib Pangeran
Syarif Ali Syeikh Abubakar Palembang tahun 2012, bersama
putranya Zulfikar.
Adapun rumah tempat tinggal Habib Shaleh sudah
dijual dan sekarang ini telah terdapat pemukiman baru.
Adapun zurriyat Habib Sholeh yang ada di Malaysia dapat di
lihat dari daftar terlampir.
Habib Sholeh meninggal di Muar, Johor - Malaysia.

19
AL-HABIB ABUBAKAR
bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar

A L-HABIB Abubakar bin Pangeran Syarif Ali bin


Abubakar bin Sholeh BSA kemudian di kenal
sebagai Pangeran Bakri. Abubakar diperkirakan
lahir tahun 1810, pendidikan dimulai dari lingkugan keluarga
dengan mendatangkan guru ke rumah.
Ibunya adalah Syarifah Sidah binti Zen bin Alwi bin
Syahab. Sejak kecil Abubakar memperlihatkan sifat-sifat
kecerdasan dalam bertingkah dan bijaksana dalam
memecahkan persoalan. Sehingga di dalam pergaulan
Abubakar tumbuh dewasa sebagai seorang yang berwibawa
dan disegani.
Berdasarkan hal diatas, sewaktu Pangeran Syarif Ali
diangkat menjadi Kapten (kepala) Bangsa Arab di
Palembang, Abubakar dipilihnya untuk menjadi
pembantunya dalam menyelesaikan tugas pekerjaan sehari-
hari, termasuk kunjungan ke para keluarga kesultanan
maupun tokoh-tokoh masyarakat lainnya.
Dalam menghadapi persoalan, Abubakar berpedoman
kepada kebijakan Pangeran Syarif Ali, yaitu cermat
memperhitungkan akibat-akibat yang mungkin timbul dari
kebijaksanaan pemerintah Belanda.
Karena dinilai ikut memberi pengaruh dalam
menyelesaikan keresahan-keresahan yang terjadi dalam
masyarakat, maka Abubakar bersama dengan ayahnya,
Pangeran Syarif Ali mendapat penghargaan dari pemerintah
Belanda. Namanya kemudian lebih terkenal sebagai
Pangeran Bakri.

20
Setelah Pangeran Syarif Ali meniggal tahun 1879,
Pangeran Bakri tidak lagi menjadi pembantu kepala Arab.
Namun demikian Pangeran Bakri masih mengalami suatu
peristiwa yang tidak menguntungkan bagi masyarakat Arab
Palembang, hanya karena ada seorang dari golongan
Alawiyyin yang terlibat, maka seluruh masyarakat Arab
Palembang terkena tindakan merugikan dalam usaha dagang
dan pelayarannya.
Orang yang dimaksud adalah Raden Syarif Abdullah
bin Umar As-Seggaf. Habib Umar As-Seggaf adalah
Penasehat Sultan Mahmud Badaruddin II dan juga sebagai
menantunya dari perkawinan dengan Putri Sultan yang
bernama R.A. Asima, menikah di pengasingan Ternate.
Raden Syarif Abdullah dikirim belajar ke Hadhramaut
dan beberapa tempat di Timur Tengah dan akhirnya
mengikuti latihan militer Turki.
Sekembalinya dari Timur Tengah, Abdullah
berdomisili di Singapura, istrinya adalah Syarifah dari
Malaka. Akhirnya atas kehendak Ibunya ia kembali ke
Palembang dan bergabung dengan golongan ningrat
Palembang yang sedang mempersiapkan pemberontakan
melawan Belanda. Raden Syarif Abdullah yang punya
hubungan dengan Juned Al-Junaid, Konsul Turki di
Singapura yang tidak lain adalah adik ipar dari Raden Syarif
Abdullah. Kaum ningrat yang merencanakan pemberontakan
bulan puasa tahun 1881 mengharapkan bantuan Turki.
Tetapi rencana ini diketahui oleh Residen Belanda melalui
pegawai-pegawainya yaitu Raden Muhammad Ali, seorang
mantan polisi dan Raden Umar bin Pangeran, Perdana
Menteri dan Pimpinan Perang Raden Emuk bin Abdus
Somad.
21
Semua pimpinan pemberontak ditangkap. Kejadian
ini dinilai sangat berbahaya dan merupakan titik balik
kepercayaan pemerintah kolonial terhadap citra Islam.
Ibukota Palembang dianggap sebagai sarang kejahatan haji
fanatik dan orang Arab asal Hadramaut yang ada di
Palembang, sebagai musuh besar (Laporan Tahunan 1880-
1882).
Pangeran Bakri meninggal dunia pada tanggal 27
Syawal 1305 H atau tahun 1888 M dan dimakamkan di
Gubah Pangeran 5 Ilir Palembang.
Keluarga Pangeran Bakri :
1. Raudah
2. Salim
3. Abdullah, berputra Alwi
4. Syukri
Salim berputra :
1. Secha
2. Akil berputra : 1. Ibrahim 2. Ishak
3. Rogayah
Rumah tempat
tinggal keluarga
Pangeran Bakri di
Lorong Masawa 13 Ilir
terbakar habis tahun
2012 yang lalu.

Makam Pangeran
Bakri

22
AL-HABIB MUHAMMAD MAHIMUD
bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar

A L-HABIB Muhammad diperkirakan lahir tahun


1817. Masa balita dilewatinya dalam situasi perang
antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan
Belanda, yang bermaksud merebut kekuasaan Sultan.
Peperangan itu baru berakhir pada tahun 1824
Keberanian dan kecerdasannya sudah terlihat sejak
masa kanak-kanaknya. Di lingkungan keluarganya ia
mendapat didikan dasar ilmu agama, akhlak dan budi pekerti.
Ilmu agama yang lebih luas dipelajarinya sesuai pertambahan
usiannya. Ilmu agamanya ini terus diperdalaminya
disamping kesibukannya dalam menjalankan tugasnya sehari-
hari karena koleksi kitab-kitab yang diperlukan milik orang
tuanya sudah tersedia.
Ketika Ayahnya diangkat menjadi Kapten masyarakat
Alawiyyin Palembang pada tahun 1833. Habib Muhammad
diserahi tugas meneruskan usaha pelayaran niaga dan
mengurus harta kekayaannya. Kemudian Habib Muhammad
segera aktif dalam dunia pelayaran niaga. Tujuan utama
adalah kota-kota pelabuhan di Jawa. Yang dapat dibeli dari
Jawa antara lain batik, beras, lada, tembakau, kacang-
kacangan, asam jawa, dan gula. Di pelabuhan-pelabuhan di
Jawa dapat dijual rotan, damar, lilin lebah, gaharu, getah
perca, textile, porselen, barang-barang logam dan lain-lain.
Arsip Nasional 1879 antara lain mencatat :

23
“Pada tahun 1870-an sebagian besar perdagangan di
Palembang masih dikuasai Pangeran Syarif Ali dan
keluargannya. Pada masa antara 1830-1870 umumnya
pelayaran niaga kaum Alawiyyin Palembang mengalami
kemajuan pesat dan menghasilkan banyak keuntungan”.
Besarnya keuntungan yang diperoleh pedagang
Alawiyyin dianggap / dicurigai oleh pemerintah Belanda
sebagai donatur kaum ningrat untuk biaya pemberontakan
tahun 1881. Karena itu pemerintah Belanda mengambil
tindakan melarang orang Arab untuk menetap di pedalaman.
Hal ini berarti para pedagang Arab kehilangan salah satu
komoditi dagangnya yang penting yang laku di pasaran luar
negeri dan sekaligus mengurangi barang-barang dagangan
yang akan diangkut.
Terbukti pemerintah Belanda akan mengalihkan
aktivitas perdagangan ke tangan orang-orang Cina dengan
cara membuka penampungan pada perkampungan Cina yang
dibangun di Tebing Tinggi, Lahat dan Muara Dua. Beberapa
tahun kemudian di daerah pedalaman dibuka pula
perkebunan-perkebunan karet, kopi dan teh yang tertutup
untuk pedagang-pedagang Arab, tetapi tidak untuk pedagang
Cina.
Dengan pembatasan jenis barang-barang dagangan,
kemunduran usaha pelayaran juga disebabkan oleh :
1. Peraturan tentang Pelabuhan, Bea Cukai yang harus
dibayar, termasuk pula pajak kekayaan.
2. Ekspansi Kapal Api ukuran besar (20.000 ton) atau lebih
dengan rute yang biasa dilalui oleh kapal-kapal Arab
Palembang, dari Palembang ke Batavia, Semarang,
Cirebon, Surabaya, Gersik dan lain-lain. Orang dapat

24
menumpang kapal
Belanda tersebut
dengan membawa
barang dagangannya
dan pulang
membawa barang
belanjaannya dengan
kapal yang sama.

3. Jangka umur tehnis


kapal-kapal Schonar
milik masyarakat
Arab Palembang
telah dilampaui atau
kapal-kapal tua yang
riskan pecah /
Makam Habib Muhammad
Mahimud karam.

Untuk keluar dari kesulitan ini keluarga As-Seggaf


dan Al-Munawwar membeli Kapal Api kecil dengan rute
yang tidak begitu menguntungkan.

Demikianlah sejak tahun 1880 jumlah Armada


Alawiyyin Palembang terus berkurang dan kira-kira tahun
1910 sudah habis sama sekali.

KELUARGA HABIB MUHAMMAD MAHIMUD


Menjadi tradisi pada waktu yang lalu, seorang
keluarga Alawiyyin untuk mempunyai dua istri. Istri yang
pertama dari golongan Syaraif dan yang kedua yang bukan
Syaraif.

25
PUTRA-PUTRA DAN KETURUNAN
HABIB MUHAMMAD MAHIMUD

NO NAMA ISTRI NAMA ANAK KETERANGAN

1. Hubabah 1. Ahmad (Nasrun) Putra Ahmad :


Muznah binti 2. Rugayyah 1. Syekh(Banja
Ahmad bin rmasin)
Abubakar bin 2. Ali
Shaleh BSA (Bandung)
3. Zen
(Palembang)
4. Alwi

2. Putri dari Abdurrahman


seorang (Mahimud)
masyaikh di
Kota Semarang Nama Istri :
1. Hubabah Zainab 1. Alwi
binti Ali bin 2. Muhsin
Ahmad Al-Kaf 3. Fatimah
4. Nur

2. Hubabah Nur 5. Halimah


binti Thahir Al-
Haddad

3. Putri keluarga Habib Ali Surabaya


Al-Mahdhar,
Kampung Nama istri :
Taligawe (5 Zainah binti Hamid 1. Muhammad
Ilir) Palembang bin Pangeran Syarif 2. Khadijah
(Keluarga Ali BSA (penduduk 3. Syekhah
Habib Alwi bin setempat) 4. Nur

26
Muhammad 5. Quraisy
Al-Mahdhar)

4. Hubabah Hamid Putra / putri :


Syarifah
Fatimah binti Nama Istri Hamid :
Hasan bin Alwi 1. Zainah binti 1. Ustadz
bin Husin bin Abdullah bin Muhammad bin
Shahab Muhammad bin Hamid
Az-Zahir Abdurrahman 2. Sy. Aminah
bin Ahmad 3. Sy. Latifah
Al-Kaf 4. Mustafa
5. Ali Ridho
2. Mastura Al- 6. Aisyah
Atthas, Jakarta 7. Ummi Kaltsum
(tidak mendapat 8. Ahmad
anak) 9. Khadijah
10. Safiah

3. Siti binti Thahiran 1. Nafisah


(Jakarta) 2. Ramlah
3. Hasan Basri

5. Shalehah (asal 1. Abdullah


Bogor) 2. Usman
3. Umar
4. Abubakar
5. Hasan

Dalam masa istirahatnya, Al-Habib Muhammad yang


mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu tasawwuf,
berpengaruh kepada amal perbuatannya. Beliau dekat
kepada para alim ulama yang ada di Kota Palembang dan
diakui pula sebagai seorang ulama karena ilmu dan sikapnya,
baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam pergaulan

27
beliau dihargai sebagai pimpinan yang didasarkan kepada
ilmunya, pemikirannya serta keberaniannya dalam membela
agama dan kebenaran.
Hal ini dapat terlihat dari peristiwa berikut :
1. Membela Habib Syeikh didepan Residen karena
melempar rumah seorang Belanda yang berada di sebelah
langgar di Kampung Kedipan dan berkesudahan dengan
pindahnya orang Belanda tersebut. Peristiwa ini terjadi
kira-kira tahun 1875 M (lihat lampiran).
2. Ketika pemerintah Belanda melaksanakan peraturan
agraria / pertanahan, maka untuk mendapatkan hak atas
tanah tersebut harus dibeli dari pemerintah. Demikianlah,
seorang janda di Kampung Muara (10 Ilir) mengalami
kesulitan karena peraturan tersebut, sebab jika tidak,
tanahnya akan disita. Sewaktu hal ini diceritakan kepada
Habib Muhammad, maka beliau segera menyelesaikan
pembayarannya sehingga bebaslah janda tersebut dari
tekanan pemerintah Belanda.
Adapun wanita tersebut dimaksud adalah Hababah
Syarifah Fatimah binti Ahmad bin Alwi bin Pangeran
Husin bin Hasan Az-Zahir Syahabuddin. Di akhir-akhir
usianya, Fatimah kemudian menjadi isterinya pula.
Selain dari peristiwa diatas, Habib Muhammad juga
dikenal dengan kemurahannya membantu orang-orang yang
berhajat kepadanya, sehingga di kalangan masyarakat beliau
digelar Mahimud, banyak mendapat pujian karena
kebaikannya, hingga beliau terkenal dengan nama Habib
Muhammad Mahimud.
Di rumah beliau banyak dikunjungi tamu, baik dari
Palembang maupun dari luar Palembang, dan tamu-tamu itu

28
diterimanya dengan baik. Salah seorang tamunya adalah
L.W.C. V.D. Berg, seorang pejabat penasihat pemerintah
Belanda khusus untuk masyarakat Arab dan Indonesia. Salah
satu kesannya yang tercatat dalam buku laporannya Le
Hadramout Ethes Colonies Arabes Dans L’Archipel Indien
halaman 34 berbunyi : “khususnya keluarga Bin Syeikh
Abubakar yang sangat memperhatikan catatan genealogi
(silsilah keturunan)-nya. Paling tidak kepadanya saya
diperlihatkan di rumah-rumah keluarga mereka sejumlah
catatan genealogi yang disalin dari aslinya di Hadhramaut”.
Kunjungan itu terjadi pada tahun 1882 (masih banyak catatan
lainnya tentang keluarga Syeikh Abubakar dalam bukunya
itu).
Di tahun 1900, kondisi kesehatan Habib Muhammad
Mahimud sudah menurun. Matanya terkena rabun sehingga
akhirnya tak dapat melihat. Dikarenakan penyakit bawaan
yang dideritanya dalam usia lanjut, dan dengan ketetapan
Allah Yang Maha Kuasa, sampailah batas akhir umurnya
dalam tahun 1902 M. Beliau dimakamkan pada Hari Sabtu 9
Ramadhan tahun 1324 H. Pada kayu nisannya yang terbuat
dengan ukiran seperti kayu nisan Pangeran Syarif Ali, tertulis
namanya Al-Imam Al-Alim Sayyid Muhammad bin Ali.

29
AL-HABIB AHMAD
BIN MUHAMMAD MAHIMUD
bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar

A L-HABIB Ahmad adalah putra sulung dari Habib


Muhammad Mahimud. Didikan agama dan akhlak
budi pekerti diterimanya di lingkungan keluarga dan
terus berkembang sejalan dengan pertambahan umurnya.
Setelah berusia dewasa segera tampak keinginannya
untuk melakukan pelayaran niaga. Habib Ahmad mengikuti
pelayaran kapal milik ayahnya yang bernama Nasrun
Namanya kemudian terkenal menjadi Habib Ahmad Nasrun.
Tidak puas pelayarannya hanya sampai ke Jawa, Habib
Ahmad terus berlayar ke Kalimantan, Sulawesi, Ternate, dan
Ambon. Di tempat-tempat itu dijumpainya Keluarga Bin
Syeikh Abubakar, keturunan Habib Ahmad bin Husin BSA
bin Salim, Habib Mahdhar bin Ahmad, sampai ke Ternate
tahun 1812, Ayahnya Abdullah berasal dari Inat, hingga
akhirnya sampai ke Pulau Sumbawa keturunan Habib
Mahdhar dapat ditemui di Manado, Ternate, Ambon, Banda
(Des Alwi) bahkan ada pula yang di Irian.

KELUARGA HABIB AHMAD


BIN MUHAMMAD MAHIMUD
Ibunya adalah Hubabah Syarifah Muznah binti Ahmad
bin Abubakar bin Sholeh, yaitu saudara sepupu ayahnya
sendiri. Tinggal di Perumahan Pangeran 3 Ilir.
Dari perkawinan ini lahirlah :

30
1. Ali, juga seorang pelaut seperti saudaranya.
2. Zen, sewaktu kapal Nasrun sudah tidak lagi dioperasikan
keduanya menjadi pandu laut (Louds / los) pada Kapal
KPM yang akan keluar masuk Palembang melalui Sungai
Musi.
3. Syarifah Nur, istri Habib Ibrahim Syekh Abubakar asal
Ternate / Gorontalo.
4. Alwi
5. Syekh
6. Aqil
Setelah rumah-rumah mereka di Muara Sungai Karang
Bengkuang dibeli oleh Pabrik Kapal IMP maka Ali beserta
putranya Umar dan putri-putrinya pindah ke Nitipraja 4,
Jalan Dalem Kaum Bandung.
Zen beserta keluarganya pindah ke Lorong Aguscik,
Jalan Dr. M. Isa 8 Ilir Palembang. Putra-putri Zen :
Muhammad, Abubakar, Ahmad, Zainah. Alwi bersama
putrinya Zainah pindah ke 8 Ilir, Jalan Dr. M. Isa. Putra
Alwi yang bernama Shaleh telah meninggal dunia (sebelum
dinikahkan) tanggal 8 Safar 1353 H (1934 M).
Zainah sendiri adalah istri Habib Alwi bin Muhammad
bin Ahmad bin Husin Shahab Az-Zahir dan mempunyai putra
yang dikenal sebagai Ayip Minyak.
Habib Syekh pindah dan bermukim di Kampung
Sungai Mesa bersama saudarinya Syechah yang kemudian
pindah ke Surabaya bersama putrinya yang tidak lain adalah
istri dari Habib Idrus Al-‘Aydarus, alamat Nyamplungan,
Surabaya. Syechah mempunyai anak Salim dan seorang
wanita istri Habib Muhammad Al-Jufri Situbondo.

31
Sebagai amalnya Habib Syekh mendirikan sebuah
Masjid, yang dinamakan Masjid Syekh Abubakar di dekat
rumahnya.
Adapun Aqil berputra 3 orang yaitu Ahmad,
Muhammad dan Musthafa.
Habib Ahmad Nasrun meninggal dunia 17 Dzulqaidah
tahun 1326 H atau tahun 1909 M. Dimakamkan di Gubah
Pangeran 5 Ilir Palembang.
Habib Zen meninggal dunia tanggal 14 Jumadil Akhir
1375 H atau 1955 M
Habib Alwi meninggal Tahun 1967 M. Keduanya
dimakamkan di Gubah Habib Ahmad bin Syekh Shahab
(Gubah Duku) Palembang.
Habib Syekh bin
Ahmad BSA meninggal
di Banjarmasin.

Makam Habib Ahmad


bin Muhammad BSA

32
AL-HABIB ABDURRAHMAN
BIN MUHAMMAD MAHIMUD
bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar

A L-HABIB Abdurrahman lahir di Semarang, lebih


kurang tahun 1870 M. Ibunya seorang wanita
Masyaikh, Ayahnya Habib Muhammad Mahimud
bin Pangeran Syarif Ali. Setelah berusia 12 tahun dia
dijemput ayahnya untuk dididik dan dibesarkan di
Palembang.
Dalam masa selanjutnya di lingkungan keluarga
ayahnya, Habib Abdurrahman mendapat didikan agama
seperlunya dan mengikuti kegiatan usaha dan pelayaran yang

33
waktu itu merupakan mata pencarian masyarakat Alawiyyin
Palembang umumnya.
Setelah merasa siap dengan pengetahuannya dan telah
mencapai usia dewasa, maka Habib Abdurrahman dinikahkan
dengan Syarifah Zainab binti Ali bin Ahmad Al-Kaf. Dari
perkawinan ini lahirlah putra / putrinya yaitu :
1. Alwi, bersama keluarganya pindah ke Jakarta tahun 1948.
2. Muhsin, meneruskan usaha ayahnya di Palembang.
3. Syarifah Nur, istri Habib Idrus Al-Haddad.
4. Fatimah, istri Habib Hamid bin Ali BSA.
Setelah istrinya Syarifah Zainab meninggal Habib
Abdurrahman menikah kembali dengan Syarifah Nur binti
Thahir Al-Haddad, dan mendapat seorang putri yaitu
Syarifah Halima (istri Habib Musthofa bin Hamid BSA).
Untuk keperluan keluarga dan usahanya, disekitar
tahun 1925 Habib Abdurrahman membeli sebidang tanah di
Kampung Al-Kaf Sungai Buntu. Diatas tanah itu dibangun
rumah-rumah untuk anak-anaknya, gudang dan dermaga
untuk usahanya serta jalan untuk kendaraan angkutan barang
ke gudangnya. Pada waktu revolusi dalam pertempuran
Januari 1947, seluruh rumah Habib Abdurrahman habis
terbakar. Kemudian beberapa diantaranya dibangun kembali.

KEGIATAN USAHA HABIB ABDURRAHMAN


Setelah merasa cukup pengetahuan dan
pengalamannya dalam mengikuti usaha ayahnya, maka Habib
Abdurrahman memulai usahanya dengan menggunakan kapal
Jailani milik Habib Mahimud. Berdagang ke Cirebon dengan

34
membawa dagangan berupa tekstil untuk bahan kain batik,
malam (lilin), dan getah perca. Dan pulangnya membawa
kain batik dan lain-lain.
Karena Kapal Jailani dinilai sudah melewati usia
tehnisnya dan dikuatirkan akan rusak dalam perjalanan,
Habib Abdurrahman membeli Kapal Al Mas milik Habib
Ahmad bin Alwi Al-Kaf, yang dinilainya masih baik
kondisinya dan dapat dioperasikan beberapa tahun lagi.
Dalam pelayaran perdananya Habib Abdurrahman
tidak ikut dalam kapal itu. Tujuan pelayaran adalah Cirebon,
namun sesampainya di Bangka kapal itu pecah terkena badai,
bocor dan karam. Menghadapi hal ini Habib Abdurrahman
segera bertindak dan segera berangkat dengan kapal KPM ke
Cirebon dan beberapa hari kemudian dia kembali dengan
kapal sewaan dengan membawa Minyak Goreng, Gula
Merah, Kacang-kacangan dan lain-lain barang-barang
kebutuhan pokok. Barang-barang tersebut segera terjual
habis, karena stok pasar sedang kosong, sehingga tertutuplah
kerugian kapal Al Mas.

KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI


MASYARAKAT ALAWIYYIN
Habib Abdurrahman aktif berniaga sejak tahun 1890,
sedang masa kejayaan masyarakat Alawiyyin Palembang,
yaitu di masa kesultanan Palembang Darussalam pada waktu
mana tidak ada larangan untuk memilih mata dagangan dan
peraturan-peraturan yang memberatkan pelayaran kapal di
Sungai Musi sampai ke pedalaman.

35
Sejak Sultan Mahmud Badarudin II dikalahkan
Belanda, perdagangan Beras, Gula dilarang bagi pedagang
Alawiyyin. Peraturan bea cukai dan pelabuhan diatur dan
dirasa berat bagi kapal-kapal Arab. Peraturan Agraria pun
banyak membuat kecemasan bagi orang yang sudah
berdomisili di Palembang, terutama yang tanahnya luas,
karena tanah itu harus dibeli dari Pemerintah Belanda untuk
mendapat hak EIGEN DOM.
Setelah terjadi rencana pemberontakan tahun 1881,
pedagang Alawiyyin dilarang berdagang di daerah
pedalaman, hal ini berarti peluang untuk berdagang hasil
hutan, dengan hasil perkebunan yang mulai panen seperti
Karet, Kopi, Teh, tertutup.
Sebagaimana Beras, perdagangan Kopi, Teh, Karet ini
dibebaskan untuk pedagang Cina. Kendala terakhir adalah
intervensi usaha pelayaran niaga oleh pemerintah Belanda
Menghadapi hal ini Habib Abdurrahman yang luas
pandanganya dalam usaha niaga mencari jalan keluar untuk
mempertahankan perusahaannya.
Semakin meningkatnya volume perdagangan hasil
perkebunan di pedalaman dan terpusatnya perdagangan di
Palembang, pemerintah Belanda memindahkan pasar dari
Sekanak ke 16 Ilir. Untuk ini dibangun beberapa blok toko
yang pembangunannya diserahkan kepada swasta secara
investasi. Banyak pedagang Alawiyyin yang
menginvestasikan modalnya dibidang kepemilikan toko ini.
Selanjutnya jumlah orang-orang Belanda yang
bertugas di Palembang semakin bertambah, sedang tempat
tinggal mereka tersebar di berbagai tempat. Pemerintah
Belanda pun bermaksud mengumpulkan mereka disuatu

36
komplek perumahan, yaitu di Talang Semut.
Pembangunannya diatur dan dibiayai dengan investasi pihak
penguasa.
Habib Abdurrahman ikut menginvestasikan modalnya
dan memiliki beberapa rumah yang disewakan.
Habib Abdurrahman juga merasa perlu menyesuaikan
sistem perdagangan pada masa itu. Pada tahun 1918 bersama
keluarganya Habib Abdurrahman mendirikan satu bentuk
perusahaan Badan Hukum yaitu Firma S.A. Shebubakar &
Co., dengan dibantu kedua putranya Alwi dan Muhsin yang
telah mengikuti pendidikan Belanda.
Firma ini mengimpor Semen, Besi, Beton, dan Paku
dari Jepang, dan dari Australia di impor Tepung Terigu dan
Susu Kental Kaleng dengan memakai label perusahaannya
Fa. S.A. Shebubakar & Co.
pada kemasannya. Dengan
label tersebut masyarakat
Palembang memberinya
gelar Habib Abdurrahman
saudagar gandum.
Habib Abdurrahman
mempunyai hubungan baik
bukan saja dengan
kalangan pengusaha, tetapi
juga dengan beberapa
tokoh masyarakat,
termasuk pengurus Masjid
Agung Palembang.
Habib Salim bin Ahmad
bin Jindan datang ke

37
Palembang tahun 1936 dan 1938 sebagai tamu Habib
Abdurrahman. Atas inisiatifnya pula Habib Salim bin Jindan
pergi ke Singapura bersama-sama Habib Hamid bin
Muhammad Mahimud dan Habib Muhsin putra Habib
Abdurrahman tahun 1938, dalam rangka ziarah dan
silaturahmi kepada alim ulama disana.
Setelah melewati masa penjajahan Jepang dan masa
perang revolusi yang penuh penderitaan di awal tahun 1950,
usaha dagangnya dengan Australia dibuka kembali tetapi
tidak berlangsung lama, karena terbentur dengan peraturan
yang berlaku.
Dalam usianya diatas 90 tahun, Habib Abdurrahman
masih memperlihatkan perhatian dan kunjungan kepada
keluarga saudara serta anak cucunya.
Pada waktu ibundanya, Syarifah Fatimah binti Ahmad
bin Shahab meninggal
dunia di tahun 1952,
menyempatkan diri untuk
melawat dan
mendoakannya sambil
meneteskan air mata
harunya
Dari hari ke hari
kesehatannya semakin
menurun, dan matanya
semakin kabur, hingga
tidak dapat lagi keluar
rumah. Hingga akhirnya
pada suatu hari, tanggal 14
Rabiul Akhir 1376 H / 18
Nopember 1956, Habib
38
Abdurrahman berpulang ke rahmatullah. Jenazahnya
dimakamkan di tanah pemakaman keluarganya di Kandang
Kawat Duku Palembang.

Makam Habib Abdurrahman


bin Muhammad BSA

39
DAFTAR SISA KAPAL-KAPAL (SCHONEER)
MILIK MASYARAKAT ALAWIYYIN
PALEMBANG DARUSSALAM (TH. 1880)

No. Nama Kapal Pemilik


1. Nurul ‘Asyiqin S. Ahmad bin Ali Shahab
2. Al-Yusri S. Alwi bin Syeikh Shahab
3. Nurul Hasyim S. Hasyim b. Muhammad Shahab (500 Ton)
4. Thaif S. Abdurrahman bin Abdullah Al-Kaf
5. Gathmir S. Alwi bin Ahmad Al-Kaf
6. Al Mas S. Hamid Bin Alwi Al-Kaf
7. Athiatur Rahman S. Abdullah bin Salim Al-Kaf
8. Fanatur Rahman S. Ali bin Ahmad Al-Kaf (400 Ton)
9. Yusrain S. Alwi Al-Kaf Yusrain
10. Fathul Mubarok S. Ali bin Usman Baraqbah
11. Maimun S. Ahmad bin Usman Baraqbah (300 Ton)
12. Jaiyidul Bari S. Idrus bin Ahmad bin Abdullah Madihij
13. Al-Munawwar S. Abdurrahman bin Muhammad
(An-Nur) Al-Munawwar
14. Al-Fahir S. Abdullah bin Abubakar Al-Fakhar
15. Hasbul Khair S. Ahmad bin Shahabuddin
16. Fathul Razzak S. Ahmad bin Husin Jamalleil
17. Hud Huda S. Muhammad bin Abdurrahman As-
Seggaf
18. Nasrun (An-Nasr) S. Muhammad bin Ali Syekh Abubakar
(250 Ton)
S. Muhammad bin Ali Syekh Abubakar

40
19. Al-Jailan S. Muhammad bin Ali Al-Musawa
20. Athiatul Maula

Kedua puluh kapal tersebut diatas adalah sisa-sisa dari


kapal-kapal milik kaum Alawiyyin Palembang. Kapal-kapal
tersebut berjenis Schoneer atau Barkas, yaitu kapal layar
buatan Eropa dengan tiang layar 2 atau 3, dengan kapasitas
250-500 ton barang. Yang masih ada tahun 1900 Masehi,
dan sudah tidak ada lagi yang melakukan pelayaran. Sekitar
tahun 1850 jumlah kapal-kapal tersebut masih ada 60 kapal,
tahun 1885 masih ada 22 kapal yang aktif dioperasikan.
Mengapa usaha pelayaran niaga masyarakat
Alawiyyin akhirnya tidak lagi dilanjutkan ?
1. Kapal jenis Schoneer itu buatan Eropa dan sudah tidak
dibuat lagi, diganti dengan kapal Api. Kapal-kapal milik
Alawiyyin Palembang umurnya sudah melewati usia
tehnis 25 tahun, sehingga sangat besar resikonya akan
pecah bila terkena badai, ombak dan batu karang.
2. Sejak tahun 1880 telah banyak kapal-kapal api ukuran
besar (lebih dari 2000 ton) dengan rute Palembang-
Singapura, Jawa dan lain-lain. Dan lebih cepat sampai ke
tujuan. Umpamanya seorang dapat menumpang kapal ke
Singapura, setelah belanja di Singapura ia dapat
menumpang dengan membawa belanjaannya pada kapal
yang sama. Suatu cara yang lebih cepat dan lebih praktis.
3. Adanya peraturan-peraturan tentang perkapalan dan
pelabuhan yang harus dipenuhi oleh Schoneer yang cukup
merepotkan, dan biayanya tidak sedikit.
4. Adanya perbatasan bagi pemasok untuk berdagang seperti
Beras, Gula, dan hasil hutan. Yang sebelumnya

41
merupakan mata perdagangan yang menguntungkan bagi
pemilik-pemilik kapal Schoneer.
Setelah usaha pelayaran ini mengalami kemunduran,
beberapa keluarga Alawiyyin mencari jalan keluar. Antara
lain :
- Pada tahun 1884 Kongsi As-Seggaf dan
Al-Munawwar membeli kapal api kecil untuk rute
Palembang - Bangka, usaha ini sepertinya tidak
berkembang. Keluarga As-Seggaf dan Al-Munawwar
juga mengusahakan penggergajian kayu untuk
dipasarkan ke Jawa dan Singapura.
- Habib Abdurrahman Mahimud bin Muhammad bin
Pangeran Syarif Ali mendirikan Firma S.A.
Shebubakar & Co. mengimpor Gandum dan Susu
Kaleng dari Australia dan Semen, Besi, Beton, dan
Paku dari Jepang.
- Sebagian lagi pengusaha Alawiyyin menanam
modalnya dalam bangunan rumah-rumah sewaan dan
toko-toko di 16 Ilir untuk mendapatkan uang sewanya
yang cukup tinggi. Dan ada pula yang tetap bertahan
pada perdagangan Batik dan Tekstil seperti masa-
masa sebelumnya.

42
AL-HABIB ALI
BIN MUHAMMAD MAHIMUD
bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar

A L-HABIB Ali diperkirakan lahir tahun 1875 di


Palembang. Ibadah, agama dan akhlak budi pekerti
telah diajarkan sejak kecil di lingkungan keluarga
Pangeran Syarif Ali di 13 Ilir.

43
Jika kakaknya Ahmad berminat dalam pelayaran niaga
dan Abdurrahman aktif dibidang perdagangan. Maka Ali
lebih banyak waktunya di lingkungan keluarga.
Habib Ali menikah dengan Syarifah Zainah binti
Hamid bin Pangeran Syarif Ali, yang tidak lain adalah
saudara sepupunya sendiri. Dari pernikahan ini lahir : Muhammad,
Nur, Khadijah, dan Sidah. Dari perkawinannya yang kedua
di Surabaya dengan wanita setempat lahir pula Quraisy.
Habib Ali beserta keluarganya berhijrah ke Surabaya
kira-kira pada tahun 1934. di Surabaya Habib Ali segera
dikenal banyak orang, seperti para alim ulama, pengusaha
dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena keramah-tamahan
beliau, hingga sangat disegani dan dihormati.
Habib Ali berfilsafat : “Sesungguhnya harta yang kita
miliki dapat diumpamakan seperti daki yang melekat di
badan, haruslah selalu dibersihkan”.
Habib Ali pernah berkongsi dagang dengan keluarga
Bin Hadi di Surabaya, tetapi tidak lama hubungan tersebut
putus, karena perbedaan pandangan dalam kebijakan.
Setelah itu Habib Ali bekerja sendiri. Ia menjual Obat
Herbal bikinan sendiri ke desa-desa disekitar dibantu
putranya Muhammad.
Demikianlah pada tahun 1936, Habib Ali dan
keluarganya pindah pula ke Banyuwangi. Kalau di Surabaya
ia menikahkan Muhammad dan Nur dengan keluarga
Bafaqih, maka di Banyuwangi ia mengawinkan putrinya
dengan keluarga Al-Haddar. Ia tinggal beberapa tahun di
Banyuwangi. Habib Ali tertarik pada keris-keris buatan
zaman dahulu yang dapat dijumpainya, karena itu iapun
mengkoleksi keris-keris tersebut dan menyimpannya.

44
Dibelikan sebuah rumah di kota pegunungan
“Lawang” oleh cucunya yaitu Syech Bafaqih tidak jauh dari
Pesantren Darun Nasyiin, Pimpinan Habib Muhammad bin
Husin bin Ali Ba’bud. Tempat ini sepertinya lebih baik bagi
buat Habib Ali dn Hubabah Zainah istrinya yang sudah lanjut
usia, tetapi Habib Ali tidak dapat melepaskan kesukaannya
berdagang keliling kedesa-desa dan berkunjung pada alim
ulama terkemuka baik dari keluarga Al-Mahdhar maupun
Habib Shaleh Al-Hamid, atau Habib Shaleh Tanggul yang
sangat menghormati Habib Ali.
Dalam perjalanannya Habib Ali selalu diiringi oleh
Abdul Gafur, yang menyediakan diri sebagai pengawal beliau.
Sebagian orang yang mengenalnya, Habib Ali dinilai
mempunyai karomah, hal ini terlihat ketika :
1. Ketika di Lawang, Habib Ali hendak menikahkan salah
seorang cucunya dengan putra Habib Thaha Al-Atthas,
Habib Ali mengundang tiap tamu yang dikenalnya,
bahkan sampai jauh ke desa-desa di sekitar Lawang.
Padahal penghasilan Habib Ali saat itu sangat terbatas.
Demikianlah pada hari perkawinannya yang dihadiri
ribuan tamu, cukup tersedia nasi dan kelengkapannya.
Selesai upacara persediaan beras berlebih sekian karung
dan beberapa ekor ternak yang belum dipotong.
2. Pada suatu hari dimasa revolusi tahun 1945, beras di
rumahnya telah habis, tidak ada yang dapat dimakan,
keluarga telah berkeluh kesah. Sedang Habib Ali yang
tidak lepas tasbihnya hanya tertawa kecil saja, menjelang
tengah hari salah seorang cucunya dengan tidak diduga-
duga datang dari pasar dengan membawa beras satu bakul
penuh, hasil upah membantu seorang pedagang di pasar.

45
3. Pada suatu hari Habib Ali mengirim surat kepada
keluarganya di Palembang. Surat dimasukkan dalam
amplop dengan hanya ditulis alamat tujuan :
S Muhammad bin Hamid Palembang, alamat pengirim
tidak tercantum, begitupun tidak dibubuhi perangko.
Surat tersebut oleh kantor pos Lawang dikirim ke
Palembang, kantor pos Palembang mengumpulkan surat-
surat yang tidak lengkap alamatnya pada suatu tempat
yang mudah dilihat umum. Demikianlah pada suatu hari
sampai pada keluarga yang dialamatkan dengan
membayar biaya perangko dan disampaikan kepada Al-
Habib Muhammad bin Hamid Syekh Abubakar, yang
setelah membaca isi suratnya menyatakan bahwa surat itu
memang ditujukan kepadanya. Selanjutnya dibalas dengan
menyertakan perangko yang tidak lengkap tersebut.
Keluarga Habib Ali sendiri heran dengan kejadian tersebut.
Tamu-tamu yang datang ke Lawang kebanyakan
mampir ke rumah Habib Ali untuk bersilaturrahmi. Jika
yang datang para alim ulama maka Habib Ali bertutur kata
dengan adabnya, sedang tamu-tamu yang lainnya dengan
sikap yang lebih akrab diselingi dengan humor yang
membuat suasana lebih santai. Tamu-tamu itu semua dijamu
sesuai dengan keadaannya.
Pada waktu Habib Alwi bin Ali bin Muhammad bin
Husin Al-Habsyi mengadakan perjalanan ke Jawa Timur
beliau singgah pula ke rumah Habib Ali, tetapi sayang pada
waktu itu Habib Ali sendiri lagi berada di luar kota.
Habib Ali menjaga kesehatan dengan banyak berjalan.
Ia pun menjaga kelenturan badannya dengan rukuk sampai
kedua ujung tangannya menyentuh lantai. Walaupun usianya
sudah melebihi 80 tahun.
46
Zaman berganti zaman, suatu keadaan berganti dengan
keadaan yang lain. Demikianlah menjelang G/30-S/PKI,
tanah pekarangan rumahnya diambil petani penggarap
dengan dalih tanah tersebut adalah milik mereka. Pada
waktu penumpasan PKI rumah Habib Ali pun dirazia. Satu
peti keris pilihan koleksi Habib Ali dirampas oleh Komandan
Kodim setempat.
Dimasa hidupnya, Habib Ali beberapa kali berkunjung
ke Palembang. Begitu pula sanak keluarganya yang ada di
Palembang berkunjung pula ke Surabaya atau Lawang.
Keakraban yang hangat terjalin karena kunjungan tersebut.
Suatu hal yang mengesankan bahwa Habib Ali selalu
bercerita tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa
Habib Muhammad Mahimud. Salah satunya seperti yang
kami lampirkan pada akhir tulisan ini.
Sudah kehendak dari yang Maha Kuasa pada pagi hari
tanggal 15 Januari tahun 1969 Habib Ali berpulang ke
Rahmatullah di rumahnya di Lawang. Berita dukanya segera
tersebar luas, tamu-tamu berdatangan dari Malang, Pasuruan,
Surabaya, Jember, Bondowoso, Bangil dan lain-lain.
Diantara tamu, Habib Sholeh Al-Hamid dari Tanggul ikut
memandikan jenazah. Iring-iringan pengantar jenazah
sepanjang lebih kurang 2 km. Pada waktu jenazah sampai ke
tempat pemakaman di lereng Gunung Arjuna barisan terakhir
masih berada di pekarangan rumah almarhum.
Tidak lama setelah itu Istri Habib Ali yaitu Hubabah
Zainah dalam usia lebih dari 90 tahun pun sampai kepada
akhir takdir umurnya.
Setelah kepergian keduanya maka keluarga Habib Ali
pindah kembali ke Sepanjang, Surabaya.

47
Abbas bin Muhammad, cucu Habib Ali sejak
menikah, tinggal di Ampel Lonceng, Surabaya bersama
isterinya dari Keluarga Al-Jufri.

AL-HABIB HASAN
bin Pangeran Syarif Ali Syeikh Abubakar

I BUNYA adalah Masayu Laila binti Susuhunan Husin


Dhiyauddin. Karena dibesarkan di lingkungan keluarga
ibunya, maka tidak banyak diketahui tentang dirinya
hingga sampai suatu hari Hasan menyampaikan keinginannya
untuk ikut melakukan pelayaran niaga ke Jawa. Setelah
segala sesuatunya dipersiapkan, berangkatlah Hasan dan
putranya Idrus dengan menumpang sebuah kapal milik
ayahnya.
Namun seperti pribahasa : “Untung tak dapat diraih,
malang tak dapat ditolak”. Setelah berlayar beberapa hari
sampailah kapalnya di perairan Belitung, datanglah badai dan
gelombang laut yang tinggi sehingga kapalnya pecah
terhempas keatas karang. Sejak itu tidak lagi terdengar berita
tentang Habib Hasan dan putranya. Kalaupun ada disebut
namanya, masih perlu dicek kebenarannya.
Tim peneliti sejarah Sumatera Selatan menyatakan
bahwa masjid pertama di Pulau Belitung didirikan 500 tahun
yang lalu (?) oleh Hasan bin Syeikh Abubakar. Tidak ada
keterangan lebih lanjut.
Dalam tayangan Khazanah TV Trans 7 pada suatu
pagi diberitakan bahwa Islam di Pulau Belitung diajarkan
oleh Sayyid Hasan bin Abdullah (?) bin Syeikh Abubakar

48
yang berasal dari Aceh (?) Tempatnya di Desa Buding.
Bupati setempat yaitu Cakraningrat tidak membenarkan
ajaran ini, hingga timbul perselisihan. Habib Hasan akhirnya
tewas, sesuai wasiatnya jenazahnya dimakamkan di atas
bukit di Desa Air Batu Bening Belitung. Adapun Idrus
putranya tidak diketahui nasibnya. Berita mengenai Hasan di
Belitung diatas dirasa kurang akurat, untuk mendapatkan
yang lebih akurat, kesulitan untuk mendapatkan keterangan
karena kejadian sudah relatif lama, masyarakat yang masih
sederhana dan kurang mengetahui seluk beluk masyarakat
Alawiyyin dan tentang agama Islam.

49
lampiran

DENAH RUMAH-RUMAH
KELUARGA PANGERAN SYARIF ALI

JL. KARANG BENGKUANG / JL. ALI GATHMIR

14
12 10 18
15 5 4

SUNGAI KARANG BENGKUANG


SUNGAI PANGERAN
LR. KEDIPAN LAUT

20
16
2 1 3
11 6

13 7

19 17 9

SUNGAI MUSI

Keterangan :
1. Rumah Pangeran Syarif Ali
2. Rumah Husin Ambon
3. Rumah Pangeran Bakri
4. Rumah Hamid / Sholeh bin Pangeran Syarif Ali
5. Rumah Habib Abdullah bin Muhammad Mahimud
6. Rumah Syarifah Nur binti Ahmad bin Muhammad
Mahimud

50
7. Rumah Habib Ali bin Ahmad Nasrun
8. Rumah Habib Zen bin Ahmad Nasrun
9. Rumah Habib Alwi bin Ahmad Nasrun
10. Rumah Habib Umar bin Muhammad Mahimud
11. Rumah Habib Hamid bin Muhammad Mahimud
12. Rumah Habib Abubakar bin Muhammad Mahimud
13. Rumah Habib Hasan bin Muhammad Mahimud
14. Rumah Budel (Sekarang Masjid di PT. Koja)
15. Rumah Habib Zen bin Shahab
16. Rumah Habib Salim bin Husin Ambon
17. Langgar Pangeran
18. Langgar Karang Bengkuang
19. Dermaga
20. Rumah Habib Ali Lawang

51
AL-HABIB SYEIKH
BIN ALWI AL-KAF

S EBELUM dibangun perumahan Talang Semut, orang-


orang Belanda menempati rumah-rumah sewaan yang
terpencar di beberapa tempat di Kota Palembang.
Salah seorang Belanda yang baru pindah bertempat tinggal di
Kampung Kedipan 13 Ilir disebelah sebuah langgar
(mushalla). Keesokan harinya di waktu Shubuh, Habib
Syeikh bin Zein Al-Kaf memukul beduk dan kemudian azan.
Merasa tidurnya terganggu, orang Belanda tersebut
membuka jendela rumahnya, kemudian mencaci maki Habib
Syeikh yang sedang azan. Kemudian dia menutup kembali
jendelanya. Selesai azan, Habib Syeikh mengambil sebuah
batu besar, lalu melempar jendela kamar orang Belanda
tersebut.
Keesokan harinya Habib Syeikh dipanggil menghadap ke
kantor Residen. Bersama dengannya adalah Habib Muhammad
Mahimud dan beberapa orang lainnya termasuk seorang anak
muda yang bernama Ali bin Muhammad Mahimud. Habib Ali
bercerita kepada kami bahwa di depan pintu kamar residen
duduk seorang abdi untuk memberi hormat kalau yang masuk
kamar itu orang Belanda dan membuat lelucon dengan cara
menarik kaki tamu yang bukan Belanda.
Pada waktu Habib Syeikh masuk ke kamar, abdi
tersebut segera menarik kakinya sehingga hampir terjatuh.
Tidak terima dengan hal ini, Habib Syeikh kemudian
mengayun kakinya dan menyepak dengan keras muka abdi
tersebut sehingga darah mengalir dari bawah hidungnya

52
terkena bagian depan cerpu Habib Syeikh. Menanggapi
peristiwa ini, residen berkata kepada abdi tersebut bahwa dia
harus berhati-hati, lihat dahulu siapa tamu yang masuk.
Setelah pembicaraan residen dengan rombongan Habib
Syeikh, maka persoalan melempar jendela itupun dianggap
selesai. Adapun Belanda yang mencaci maki Habib Syeikh
hari itu juga pindah ke tempat lain.
Adapun Habib Syeikh adalah besan Pangeran Syarif
Ali. Dimasa mudanya Habib Syeikh terkenal karena meng-
Islam-kan penduduk Pulau Pisang (lepas pantai Krue) dan
kawin dengan putri kepala suku pulau itu.

53
54

Anda mungkin juga menyukai