saw sendiri mengajarkan cara bertawadhu dengan memulai salam bila berjumpa sesama
teman, dalam sebuah hadist disebutkan:
Rasulullah saw selalu menyambut orang yang menemui beliau dengan salam.
Di sini mengucap salam menjadi kata kunci untuk melatih diri melakukan tawadhu. Bukan
sekedar doa yang terkandung dalam ucapan salam, akan tetapi bagaimana seseorang memulai
berkomunikasi dengan yang lain dan saling bertegur sapa, itulah yang terpenting. Apalagi
kehidupan di kota seperti Jakarta. Saling bersapa menjadi barang yang sangat mahal. Apalagi
berbincang.
Kalau boleh bercerita, Teman saya yang baru datang di Jakarta merasa bingung. Bagaimana
orang bisa duduk berjejer ataupun berdiri saling hadapan dalam satu angkutan kota tanpa
bertegur sapa? Ini adalah hal yang mustahil di daerah dan didesa-desa. Jangankan dengan
sesama teman, dengan orang yang belum dikenalpun akan disapa dengan berbagai ragam
pertanyaan, mau kemana pak? Turun di mana? Cari rumah siapa? Dan lain sebagainya.
Para Jamaah yang dirohmati Allah
Ternyata bertegur sapa, baik dengan mengucap salam maupun berbasa-basi sekedarnya
seperti ajaran Rasulullah saw dapat melatih orang bersikap tawadhu. Karena mereka yang
bertegur sapa biasanya bukan tipe manusia sombong. Sebuah hadits menerangkan:
Siapa yang memulai menegur dengan salam, bebas dari sifat sombong atau takabbur.
Bahkan begitu tawadhunya Rasulullah saw higga pernah suatu ketika beliau menolak
bantuan orang yang hendak membawakan bungkusan beliau. Dengan alasan pemilik barang
lebih berhak membawa barang masing-masing.
Penolakan tersebut bukanlah cerminan kesombongan, tetapi merupakan kerendahan hati
beliau saw. meskipun beliau seorang Nabi, tetapi lebih senang membawa diri sendiri. Apakah
demikian dengan pemimpin-pemipin bangsa kita? Pastilah tidak karena mereka sudah tidak
lagi mengenal tawadhu. Janganka membawa bungkusan kepalapun kalau bisa dibawakan
oleh ajudan.
Oleh karena itu, nabi membuat kriteria sendiri sebagai cirri-ciri tawadhu diantaranya duduk
bersama fakir miskin. Seperti sebuah hadits yang berbunyi:
Duduk bersama orang fakir miskin, termasuk ciri khas orang yang rendah hati (tawadhu)
(HR. Ad-Dailami).
Senada dengan hadits Nabi adalah apa yang dikatakan oleh Imam Jafar:
Sesungguhnya puncak keteguhan adalah tawadhu. Kemudian Salah seorang bertanya
kepada nya, Apakah tanda-tanda tawadhu itu? Beliau menjawab, Hendaknya kau senang
pada majlis yang tidak memuliakanmu, memberi salam kepada orang yang kau jumpai, dan
meninggalkan perdebatan sekalipun engkau di atas kebenaran.
Tidak hanya menghindar dari penghormatan orang, tetapi juga menghindar dari perdebatan
walaupun kita dalam posisi yang benar.
Bagaimanakah dengan tolkshow yang ada di televisi?. Dengan bangganya di bawah siraman
cahaya kamera para aktifis dan intelektual itu berbicara bertakik-takik seolah membicarakan
hal yang dianggapnya benar sambil sesekali menghina dan menyalahkan orang lain. Berdebat
kusir menjadi keahlian tersendiri. Mereka yang menguasai retorika dan aksentuasi yang enak
menjadi pemenangnya. Bahkan sering kali setelah acara usai mereka bertanya pada kronisejawat dan teman-temannya? Bagaimana tadi penampilanku? Bagus gak? Dan berbagai
pertanyaan lain yang menunjukkan kesombongannya. Inilah potret bangsa kita. Bagaimana
bisa Indonesia berjalan maju ke depan bila yang terjadi saling menyalahkan. Berebut di depan
bukan dalam perang, tetapi dalam pamer segala kemampuan, biar dilihat sebagai orang yang
mempunyai kemampuan dan kwalitas. Bukan seperti pendiam yang tak faham.
Jamaah Jumah Rahimakumullah
Marilah kita sadari bersama bahwa sesungguhnya tawadhu dan kerendah-hatian itu tidak
akan membuat seseorang menjadi hina. Bahkan sebaliknya. Kekhawatiran itu hanya muncul
bagi mereka yang sebenarnya berkwalitas rendah tetapi ingin dianggap seorang yang
berharga. Dalam sebuah hadits diterangkan:
Tawadhu itu tidak akan menambah seseuatu bagi seseorang kecuali nilai tinggi, maka
bertawadhulah kalian semua maka Allah akan meninggikanmu
Jamaah Jumah yang Rahimakumullah
Akhirnya, khutbah ini menyimpulkan bahwa tawadhu itu tidak hanya diejawantahkan dalam
perkataan tetapi juga dalam tingkah laku keseharian. Dalam bergaul, dalam berinteraksi
social dan dalam menanggapi persoalan yang muncul.
. . ,
.
,
,