Anda di halaman 1dari 14

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP- 2.7)
KURIKULUM 2013

Sekolah : SMA Swasta Harapan 1 Medan


Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam
Kelas/Semester : XI/ 1
AlokasiWaktu : 2 X 3 Jam Pelajaran

A. KompetensiInti (KI)

KI3 :Memahami dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural


dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan
wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada
bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk
memecahkan masalah
KI4 :Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

B. KompetensiDasar (KD) dan Indikator


KompetensiDasar Indikator

3.1 Memahami bahaya perilaku tindak 3.1.1 Mampu Memahami bahaya


kekerasan dalam kehidupan. perilaku tindak kekerasan dalam
kehidupan.

4.1 Medeskripsikan bahaya tindak 4.1.1 Mampu Medeskripsikan bahaya


kekerasan dalam kehidupan. tindak kekerasan dalam kehidupan.

C. MateriPembelajaran
Bahaya perilaku tindak kekerasan dalam kehidupan

D. KegiatanPembelajaran

Alokasi
Kegiatan Deskripsi
waktu

Pendahuluan  Memberikan salam 10 menit


 Menanyakan kepada siswa kesiapan dan
kenyamanan untuk belajar
 Menanyakan kehadiran siswa
Alokasi
Kegiatan Deskripsi
waktu
 Mempersilakan salah satu siswa memimpin doa
 Tanya jawab materi sebelumnya
 Menyampaikan tujuan pembelajaran melalui power
point.

 Mengamati
Inti 70 menit
- Menyimak bacaan al-Qur’an yang terkait
denganbahaya perilaku tindak kekerasan dalam
kehidupan secara individu maupun kelompok.
- Mengamati tayangan video Atau mengamati langsung
bahaya perilaku tindak kekerasan dalam kehidupan
 Menanya
- Mengajukan pertanyaan tentang bahaya perilaku
tindak kekerasan dalam kehidupan sehari-hari baik di
rumah, sekolah maupun masyarakat, Apakah hikmah
yang terkandung didalamnya?
 Eksperimen/eksplor
- Menelaah bentuk, memahami bahaya perilaku tindak
kekerasan dalam kehidupan sehari-hari baik di
rumah, sekolah maupun masyarakat
- Diskusi tentang memahami bahaya perilaku tindak
kekerasan dalam kehidupan sehari-hari baik di
rumah, sekolah maupun masyarakat
- Melakukan simulasi bentuk perilaku dalammemahami
bahaya perilaku tindak kekerasan dalam kehidupan
sehari-hari baik di rumah, sekolah maupun
masyarakat dengan baik dan benar
 Assosiasi
- Menyimpulkan ketentuan dan dasar hukum
dalammemahami bahaya perilaku tindak kekerasan
dalam kehidupan dengan baik dan benar,
berdasarkan al-Qur’an dan Hadits
- Menyimpul bentuk perilaku dalammemahami bahaya
perilaku tindak kekerasan dalam kehidupan sehari-
hari baik di rumah, sekolah maupun masyarakat
- Menyimpulkan bahaya perilaku tindak kekerasan
dalam kehidupan dalam kehidupan sehari-hari baik
di rumah, sekolah maupun masyarakat
 Komunikasi
- Menyajikan/melaporkan hasil diskusi tentang
memahami bahaya perilaku tindak kekerasan dalam
kehidupan
- Menanggapi hasil presentasi (melengkapi,
mengkonformasi, dan menyanggah).
- Membuat resume pembelajaran di bawah bimbingan
guru.
Alokasi
Kegiatan Deskripsi
waktu
- Menanggapi simulasi bentuk memahami bahaya
perilaku tindak kekerasan dalam kehidupan dalam
kehidupan sehari-hari baik di rumah, sekolah maupun
masyarakat
 Refleksi
Menghindari prilakumemahami bahaya perilaku tindak
kekerasanbaik di sekolah, rumah, maupun masyarakat

Penutup  Klarifikasi/kesimpulan siswa dibantu oleh guru 10 menit


menyimpulkan materi
 Evaluasi untuk mengukur ketercapaian tujuan
pembelajaran
 Siswa melakukan refleksi tentang pelaksanaan
pembelajaran
 Mengucapkan salam

E. TeknikPenilaian

1. Prosedur :
a. Penilaian proses belajar mengajar oleh guru

b. Penilaian hasil belajar (tes lisan/ tertulis berbentuk Esay)

2. Alat Penilaian (Soal terlampir).

F. Media/Alat, Bahan, dan Sumber Belajar

a. Alat / Bahan : Al Qur’an

Power point, Video, LCD, Laptop

b. Sumber Belajar : Buku PAI Kls XI Kemdikbud


 Al-Quran dan Al-Hadits
 Buku tajwid
 Kitab tafsir Al-Qur’an
 Buku lain yang menunjang
 Multimedia interaktif dan Internet
Medan, Juli 2019

Mengetahui, Guru Mata Pelajaran

Kepala SMA Swasta Harapan 1 Medan Pendidikan Agama Islam

Drs. A n w a r Supriyadi, S. Ag
NIP - NIP -

Lampiran
TARTILAN
Bacalah ayat-ayat berikut dengan tartil dan renungkanlah maknanya serta
perhatikan adab dan sopan santun membaca Al Qur’an.

Islam dan Tindak Kekerasan (1)

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi.” (QS. Al-Anfâl [8]:60)

Masih hangat dalam ingatan kita tentang ceramah yang disampaikan oleh Pope
Benedictus pada 12 Sepetember 2006 lalu. Dalam ceramahnya yang membahas
tentang relasi agama dan akal, ia menukil dialog antara imperatur Bezantium
Emanuel II dengan seorang pemikir Persia (kini Iran-red) yang terjadi pada tahun
1391 M berkaitan dengan Islam dan Kristen. Ceramah yang menimbulkan reaksi
beragam, antara pro dan kontra. Walaupun beberapa pihak –seperti Cardinal
George Paul pemimpin gereja Katolik Ortodox Australia dalam situs resminya,
Marchel (Kanselir Jerman) dalam wawancaranya dengan BBC, dan beberapa
pribadi lainnya, khususnya juru bicara Vatikan- telah berusaha menjelaskan bahwa
Pope sama sekali tidak berniat untuk melecehkan agama Islam, dengan dalih sesuai
dengan teks yang dibacakan Pope pada pertemuan kala itu. Memang, tidak ada
ungkapan Pope secara jelas yang melecehkan Islam. Dari pertanyaan imperatur
Bezantium terhadap pemikir Persia yang berbau pelecehan terhadap agama Islam
dan tidak sesuai dengan kenyataan logis maupun riil yang telah dinukil oleh Pope
dalam ceramah itu, ada satu pertanyaan yang mungkin muncul; kenapa Pope harus
menukilnya sebagai sandaran atas "Konsep Jihad" dalam Islam? Apa kaitannya hal
tersebut dengan topik pembahasannya, relasi agama dan akal? Pertanyaan inilah
yang belum juga terjawab oleh pihak Vatikan. Hal ini pulalah yang membuat gerah
kaum muslimin di segala penjuru dunia dengan reaksi yang beragam. Beberapa
pihak non-Islam pun mengungkapkan hal serupa, menyesalkan dan
mengkhawatirkan isi ceramah tersebut.

Isu Islam sebagai agama kekerasan bukan merupakan hal baru yang dilontarkan
oleh pihak-pihak tertentu dalam mendiskriditkan agama beserta pengikut agama
besar itu. Pengidentikan tersebut semakin santer khususnya pasca tragedi 11
September yang menewaskan ribuan manusia tak berdosa itu. Dampak
pengidentikan Islam dengan tindak kekerasan pada kenyataannya justru sebaliknya.
Sesuai dengan hasil penelitian yang ada, justru pasca kejadian 11 September itulah
rasa penasaran dan kecenderungan manusia Barat untuk ingin mempelajari dan
mengetahui hakekat ajaran Islam semakin besar. Bahkan dari situ, terbukti di
Amerika dan Eropa sensus perpindahan menuju agama Islam semakin meningkat.
Fenomena semacam ini sangat mengkhawatirkan beberapa pihak yang merasa
dirugikan, tidak terkecuali Kristen. Ketidakpercayaan umat Kristiani terhadap para
rohaniawan mereka semakin meningkat. Jika kita melihat di wilayah Eropa saja,
berapa banyak gereja yang sepi dan bahkan dijual untuk diubah fungsi. Di beberapa
negara Eropa berapa banyak gereja yang berubah fungsi menjadi masjid, tempat
ibadah kaum muslimin. Ini sebagai bukti bahwa propaganda Barat untuk
masyarakatnya agar anti Islam justru menyebabkan mereka tertarik mempelajari dan
sebagian dari mereka memutuskan untuk memeluk agama Islam setelah
mengetahui hakekat ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.

Manusia tercipta dengan membawa fitrah. Dan fitrah manusia selalu mengajak
kepada kesempurnaan, kebenaran dan keindahan. Sebaliknya, fitrah sangat
membenci semua hal yang bertentangan dengan ketiga hal tersebut. Atas dasar
itulah kita dapati manusia selalu berusaha untuk mencarinya dan menghindari
segala yang bertentangan dengannya. Walaupun terkadang dalam menentukan
obyek ketiga hal tadi tidak jarang seseorang terjerumus dalam kesalahan. Fitrah
manusia menyukai tindakan kebaikan, dan membenci tindakan buruk. Mayoritas
manusia, sewaktu mendengar kata kekerasan maka pikirannya langsung tertuju
pada hal buruk yang bertentangan dengan kesempurnaan, kebenaran dan
keindahan. Atas dasar itulah akhirnya mereka membenci segala macam bentuk
tindak kekerasan tersebut. Maka, haruslah kita perjelas terlebih dahulu; apa definisi
kekerasan? Adakah kekerasan selalu bersifat buruk? Adakah Islam menentang
semua jenis tindak kekerasan, atau bahkan sebaliknya, melegalkan segala bentuk
tindak kekerasan? Kapankah kita diperbolehkan melakukan tindak kekerasan, dan
kapan kita tidak diperkenankan melakukannya? Apakah tindak kekerasan yang telah
dilegalisir oleh Islam tidak bertentangan dengan konsep “rahmatan lil alamiin”
(rahmat bagi semesta alam) agama Islam? Ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan
dasar yang akan dijadikan acuan pembahasan tulisan ini, yang ingin membahas
secara global tentang hubungan antara agama Islam dengan tindak kekerasan.

Definisi Kekerasan

Tidak mungkin seseorang yang telah mengetahui banyak tentang seluk-beluk


sejarah ataupun politik ia tidak mengetahui bahwa kekerasan selalu ada dalam
setiap lembaran sejarah manusia, khususnya dalam mengatur sebuah
pemerintahan. Dalam agama Samawi, kisah tentang pembunuhan Qobil atas Habil
merupakan bukti bahwa tindak kekerasan telah ada semenjak awal penciptaan
manusia, lepas dari kekerasan itu legal ataupun tidak. Adanya paradoks dalam
melihat berbagai fenomena tindak kekerasan dalam budaya kontemporer
menyebabkan kekerasan dianggap sebagai suatu yang buruk. Namun di sisi lain,
justru kekerasan dianggap sebagai obyek menarik untuk dipraktikkan. Dengan kata
lain, banyaknya orang membenci tindak kekerasan, namun pada waktu yang sama
justru banyak pula dari pembenci hal tersebut pun memraktikkan tindakan itu, walau
dengan kemasan yang berbeda. Dikarenakan kekerasan selalu menyertai kehidupan
manusia maka walaupun secara teoritis mereka menolak praktik kekerasan, namun
secara praktis mereka tidak dapat menolaknya, bahkan terkadang mereka sering
melakukannya. Sebagai contoh, sering kita jumpai seorang ibu akan membenci
tindak pembunuhan, dikarenakan hal itu termasuk bentuk tindak kekerasan. Namun,
di pihak lain, ternyata ibu itupun terkadang melakukan pemukulan terhadap anaknya
karena kesalahan yang remeh. Padahal membunuh dan memukul keduanya adalah
bentukan dari tindak kekerasan, walau dengan kadar yang berbeda.

Dari sisi bahasa dan dari terminology penggunaannya, kata kekerasan yang dalam
bahasa Arab sering disebut dengan khusyunat, dan dalam bahasa Inggris berarti
violence sering diartikan dengan; “Suatu tindakan yang bersandar pada penggunaan
ketegasan ekstra”. Sebagian lagi mendefiniskannya sebagai; "Prilaku yang
bertentangan dengan kelembutan dan sesuatu yang natural". Tentu pendefinisian
semacam itu adalah definisi yang bersumber dari konsep abstrak yang sangat
memungkinkan adanya perbedaan redaksi dan tolok ukur kriterianya. Konsep
kekerasan tidak jauh berbeda bahkan mirip dengan konsep-konsep abstrak lainnya
seperti; kebebasan, toleransi, reformasi dan sebagainya yang dalam
pendefinisiannya sangat berbeda dengan konsep-konsep obyektif. Atas dasar itulah,
perdebatan dalam pendefinisian konsep kekerasan dalam tulisan ringkas ini lebih
baik dihindari. Tidak satupun definisi yang para pemikir lontarkan yang memenuhi
parameter ilmiah sebuah definisi, sehingga dari situ akhirnya menyebabkan mereka
pun sewaktu menyebutkan kata teror, penyiksaan, pelaksanaan hukum pidana,
reaksi kekerasan, penyitaan dan embargo pun dimasukkan sebagai ekstensi dari
tindak kekerasan.

Kesulitan pendefisian ini akhirnya menyebabkan sebagian pihak menyatakan bahwa


tindak kekerasan tidak memerlukan sebuah definisi ilmiah, karena ia telah bersifat
aksiomatis. Kelompok yang menyatakan hal ini masuk pada jajaran kelompok
aksiomatisme. Anehnya, ketidakjelasan dalam pendefinisian ini dipakai alat yang
seenaknya dipakai untuk menyerang pihak-pihak lain yang tidak sesuai dengan
pemikirannya. Sebagai contoh, mereka menganggap "hukum qishas" (vonis balasan
setimpal) dalam ajaran agama Islam dianggap praktik tindak kekerasan yang buruk
sehingga harus ada aksi nyata untuk menghapus vonis hukuman tersebut. Tentu
dalam meneliti fenomena pelaksanaan hukum qishas tadi tidak mungkin
menggunakan tolok ukur sebuah budaya yang dengan jelas tidak mampu untuk
menjelaskan hakekat hukum Islam tersebut. Jika inilah yang mereka ingin terapkan
ataupun berusaha memaksakan untuk menerapkannya maka akan menjadi bukti,
betapa sederhana cara pikir mereka tentang tindak kekerasan.

Muncul kelompok lain yang juga merasa kesulitan dalam mendefinisikan hal tadi.
Kelompok ini tidak serta merta menyebutkan definisi versi mereka, namun mereka
hanya konsentrasi dalam membahas sebab dan faktor kemunculan tindak kekerasan
saja. Kesenjangan sosial ataupun pengharapan yang berlebih adalah beberapa
faktor kemunculan praktik kekerasan, menurut mereka. Tentu kajian tersebut tidak
dapat mewakili pembahasan yang mendalam berkaitan dengan tesis tentang tindak
kekerasan.

Terdapat kelompok lain yang dikarenakan problem yang sama dalam pendefinisian
akhirnya mereka berusaha berdiri di garis tengah, namun ternyata mereka pun tidak
selamat, mereka turut terjerumus ke dalam lembah penyamarataan yang bertentang
dengan konsep keadilan dalam pembahasan ilmiah. Kemunculan kelompok ini lebih
dikarenakan mereka kesulitan dalam meneliti banyak hal yang berkaitan dengan
fenomena sosial. Selayaknya penelitian kajian sosiologis, seorang peneliti akan
mencari obyek-obyek kajian umum untuk mencari esensi secara umum. Dari situ
lantas peneliti tadi akan menganalisanya. Dikarenakan penelitian tentang tindak
kekerasan sering dianaktirikan, maka yang muncul adalah penyamarataan yang
tidak sehat oleh para peneliti dari kalangan sosiolog tersebut.

Ada beberapa bentuk penyamarataan yang tidak sehat tersebut antara lain;
Pertama, penyamarataan dalam pelontaran masalah. Seringkali, sewaktu diadakan
penelitian tentang sumber-sumber yang berkaitan dengan kekerasan, mereka hanya
meneliti dan menganalisa pada bagian tertentu dan pada obyek khusus saja. Tentu
kelemahan cara tersebut adalah generalisasi atas obyek-obyek lain, dengan kata
lain keuniversalan hasil analisanya tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga
konklusi penelitiannya masih bersifat ambigu dan tidak lebih hanya sekedar praduga
saja. Hal itu meniscayakan bahwa apa yang dihasilkan merupakan kontek doktrinal
yang tidak memiliki muatan ilmiah sama sekali.

Kedua, penyamarataan dalam penyifatan. Meskipun tindak kekerasan merupakan


fenomena riil yang bersifat obyektif dalam kehidupan manusia, namun tanpa adanya
analisa yang jelas tentang hal tersebut maka penerapan dan pensifatan secara
obyektif mustahil akan dapat diberikan. Hal tersebut sangat rawan untuk
disalahgunakan dan disimpangkan, terlebih oleh kelompok yang dianggap kuat atas
kelompok yang lemah, mayoritas atas minoritas, senior atas yunior dan seterusnya.

Ketiga, penyamarataan dalam penganalisaan. Dalam kasus ini sering terjadi vonis
hitam-putih dalam menghukumi sebuah fenomena, tanpa ada alternatif ketiga.
Ungkapan presiden Amerika Serikat G.W Bush yang mengatakan: "Barangsiapa
yang tidak bersama kami maka ia bersama teroris", adalah contoh konkrit dari tesis
ini. Penyebab dari hal tersebut dikarenakan tidak adanya hubungan yang logis
antara konsep dan analisa tentang praktik teror (baca: kekerasan). Penyamarataan
semacam inilah yang akhirnya menyeret G.W Bush ke dalam jurang radikalisme,
yang akan diperanginya.

Pada kasus ketiga -penyamarataan dalam menganalisa-, untuk menanggulangi


tindakan radikal dalam menilai fenomena semacam tindakan teror (kekerasan) maka
menempuh jalan tengah yang lebih hati-hati akan lebih menjanjikan keselamatan
dalam berpikir dan bertindak. Apa yang dilakukan oleh Donald J Hanel dan Richard
Clutterbuck dalam menganalisa fenomena peperangan dan tindakan teror
merupakan tindakan yang tepat. Ada beberapa poin dan tahapan yang mereka
berikan sebagai solusi; harus diadakan pembahasan tentang konsep dasarnya
terlebih dahulu, lantas selanjutnya dilakukan proses pemilahan berbagai penyebab
dan bentuk tindakan kekerasan tersebut. Dari situ akan muncul solusi berupa
ditemukan hukum yang berbeda-beda yang masing-masing memiliki konsekuensi
yang berbeda-beda pula.

Cara di atas juga diamini oleh Sudhir Kakar, seorang peneliti dan penulis asal India.
Ia menambahkan bahwa cara itupun dapat dijadikan pedoman dan diterapkan oleh
setiap negara di dunia. Dengan cara ini maka doktrin hitam-putih yang radikal
dengan sendirinya akan musnah. Doktrin hitam-putih semacam itu tidak akan pernah
bertahan lama, karena ia bertentang dengan rasio sehat manusia dan kejelasan
argumen rasional. Cara yang dilakukan oleh Kakar tadi akan dapat mengharuskan
akal manusia untuk membedakan antara kekerasan yang bersifat legal, kekerasan
sakral, kekerasan karena dukungan eksternal ataupun inernal negara yang
bersangkutan. Dimana semua itu memiliki konsekuensi dan vonis penghukuman
yang berbeda-beda. Sebagai contoh apa yang pernah disampaikan oleh Paul
Wilkonson berkaitan dengan tindak teror yang mendapat dukungan dari luar negeri.
Ia mengatakan: "Teror yang mendapat dukungan luar negeri selama tidak
menganggu ketentraman umum dan keamanan sumber kekayaan alam negara yang
bersangkutan, hal itu tidak menjadi masalah". Yonah Alexander menyatakan: "Tindak
intimidasi asing di Timur Tengah akan dapat dibenarkan selama tidak bertentangan
dengan hukum-hukum normatif dan dasar-dasar demokratis negara yang
bersangkutan". Ini semua hanya sebagai bukti bahwa, tidak semua tindak kekerasan
bersifat illegal.

Atas dasar ini pula dapat dijelaskan bahwa Islam sebagai agama yang ajarannya
didasari oleh ideologi dan pandangan dunia ketuhanan terhadap Sang Pencipta
alam semesta Yang Maha Esa pun tidak terlepas dari beberapa konsep tindak
kekerasan, jihad sebagai contoh konkritnya. Atas dasar itu pula maka tolok ukur
legalitas kekerasan dalam kaca mata Islam hanya bertumpu kepada konsep ke-Esa-
an Tuhan (tauhid) dengan berbagai konsekuensinya termasuk Tuhan sebagai satu-
satunya Dzat yang memiliki otoritas mutlak dalam menentukan hukum, termasuk
menentukan hukum jihad. Konsep tauhid inilah yang didukung oleh argumen
sejarah, teks, fitrah dan akal sehat manusia, bukan konsep monoteis yang telah
terpolusi dengan polyteis seperti pada doktrin Trinitas yang tidak memiliki dasar
sejarah, teks ataupun rasio sehat manusia. Dari pembahasan ini akan
menghantarkan kita pada pembahasan selanjutnya, apakah setiap tindak kekerasan
dilarang?

Kekerasan Legal dan Illegal

Manusia diciptakan memiliki perasaan emosional, baik emosional yang berkaitan


dengan mencintai dan membenci. Dikarenakan emosional dimiliki oleh setiap
manusia, maka emosional ini merupakan bagian dasar manusia. Segala macam
usaha untuk menghilangkan dan menghapus bagian dasar manusia tadi, sama
halnya dengan menghilangkan esensi kemanusiaaan manusia tersebut. Usaha
semacam ini mustahil akan terwujud. Atas dasar itulah cinta dan benci yang terdapat
dalam diri manusia adalah potensi untuk menjadikan manusia menjadi makhluk yang
sempurna. Perlu ada pengarahan yang baik dan benar terhadap potensi rasa benci
dan cinta yang dimiliki oleh setiap manusia agar potensi tersebut terealisasi dengan
baik. Pengarahan segenap potensi itu akan dapat diwakili oleh akal dan wahyu.
Penggabungan arahan akal dan wahyu dalam menuntun daya emosi manusia akan
menjadikan manusia sebagai makhluk sempurna. Jadi dengan terealisasinya semua
potensi itu, niscaya manusia akan menjadi manusia yang sempurna, 'manusia
tuhan'.

Banyak cara orang melampiaskan perasaan benci dan cinta, baik berkaitan dengan
dirinya sendiri, maupun pada pihak lain. Tentu, akal menghukumi bahwa segala
macam bentuk tindakan ekstrim dalam melampiaskan sesuatu –baik benci maupun
cinta- masuk kategori hal buruk. Segala sesuatu harus disesuaikan dengan
proporsinya. Hal itu pula yang dihukumi oleh Allah swt dalam ajaran agama-Nya
yang diturunkan kepada manusia agung, Muhammad saww dan tongkat estafet
kepemimpinan agamanya dilanjutkan oleh para manusia suci dari ahlul bayt-nya.
Ajaran akal yang selalu sesuai dengan ajaran Allah swt yang terangkum dalam
agama Islam Muhammadi menyatakan; "Seseorang boleh mencintai pihak lain
namun dengan batas-batas yang jelas". Akal manusia sehat akan menyatakan
bahwa seseorang mustahil akan mencintai musuhnya yang telah berusaha untuk
menghancurkan dirinya. Sebagaimana akal telah memberikan hukum bahwa
manusia pasti akan mencintai kekasih sejatinya. Sebaliknya, akal manusia juga akan
menghukumi bahwa mustahil seseorang akan membenci kekasih sejatinya.
Sebagaimana akal juga menghukumi bahwa manusia pasti akan membenci dan
memusuhi musuh sejatinya. Benci dan cinta tidak akan pernah bertemu dalam satu
wajah dan pada satu obyek. Ini sebagai bukti, bahwa akal menyatakan bahwa ada
sesuatu yang bernama cinta dan ada pula yang bernama benci. Setiap manusia
merasakan hal itu dengan jelas. Akal pun menyatakan bahwa kebencian dan
kecintaan harus sesuai dengan proporsinya. Jika tidak, maka manusia akan
terjerumus kedalam kesesatan dan kebinasaan. Mencampuradukkan obyek cinta
dan benci merupakan hal yang divonis salah oleh akal dan agama Islam sebagai
agama rasional. Oleh karenanya agama Islam tidak melarang orang untuk
membenci dan mencintai pihak lain. Namun agama Islam ingin mengarahkan obyek
cinta dan benci sesuai dengan realita dan bertindak sesuai dengan proporsinya.

Dengan sangat jelas dan dapat dirasakan secara langsung bahwa terdapat gradasi
dalam kualitas cinta yang disesuaikan dengan obyeknya, begitu juga dengan benci.
Kecintaan seorang ibu terhadap anaknya, sangat berbeda dengan kecintaannya
terhadap cincin pernikahan yang diberikan oleh suaminya. Kebencian seorang anak
muda terhadap orang yang pernah menipunya, tentu berbeda dengan kebenciannya
terhadap lelaki yang telah membunuh ibu kandungnya. Perbedaan kualitas benci
dan cinta pada obyek-obyek yang ada tadi sangat memberikan dampak dan
pengaruh terhadap reaksi yang berbeda pula. Reaksi beragam akibat dari kualitas
cinta dan benci yang beragam pula merupakan hal alami yang telah dilegalisir oleh
agama dan akal.

Atas dasar kualitas cinta dan benci tersebut, maka agama dan akal menyatakan
bahwa terdapat kekerasan yang legal dan ada juga yang bersifat illegal. Kekerasan
yang bersifat difensif (difa'i) merupakan contoh konkrit kekerasan yang legal. Fungsi
agama adalah menjabarkan secara detail batasan-batasan hukum praktik tindak
kekerasan. Tidak ada agama yang menjelaskan hal itu secara terperinci dan detail
melainkan Islam yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah saww yang tongkat
estafet kepemimpinannya dilanjutkan oleh para manusia suci dari keluarga beliau.
Jadi jelas sekali bahwa ada beberapa tindak kekerasan yang dilegalkan oleh akal
dan agama. Sebagaimana ada pula yang tidak mendapat legalisir agama dan akal.
Hal itu pula yang pernah disampaikan oleh Karl Poper dalam sebuah ungkapannya.
Ia menegaskan: "Jangan biarkan ada pihak-pihak yang hendak menyamakan antara
aksi penyerangan dengan melakukan pertahanan (reaktif), bahkan harus ditekankan
untuk selalu membedakannya".[mukhtarluthfi – islamalternatif)

UPAYA ISLAM DALAM MENCEGAH KEKERASAN TERHADAP ANAK

Sebuah kisah terjadi ketika Baginda Nabi Muhammad SAW ketika menjadi
Imam Shalat Jama'ah di masjid. Ketika sedang mengimami, Rasulullah SAW
mendengar tangisan bayi dari sebuah rumah dekat masjid. Maka beliau
mempercepat selesainya shalat. Setelah selesai shalat Beliau ditanya oleh
sahabatnya: Mengapa Nabi mempercepat shalat jama'ahnya? Jawaban Nabi
sederhana, "siapa tahu ibunya menjadi makmum dan butuh secepatnya
mendapat dekapan ibunya.

Kisah lain: Saat itu Nabi sedang menggendong anak dari seorang sahabat, lalu
buang air kecil. Ketika buang air kecil, bayi itu langsung ditarik oleh ibunya.
Kejadian ini dilarang oleh Nabi karena peristiwa ini akanmembekas pada hati
anak. Bahkan Nabi menganjurkan agar si bayi biar berada di gendongan
sampai buang air kecilnya habis.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa seorang anak harus terhindar dari kekerasan
sejak dini. Tetapi orang sekarang nyaris tidak bisa dan mau meneladani perilaku
RAsulullah SAW dengan berbagai alasan. Akibatnya kuantitas dan kualitas
kekerasan terhadap naka meningkat tajam.
Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan maraknya pemberitaan kekerasan
terhadap anak-anak di media. Dalam berbagai berita kekerasan terhadap anak
dalam segala bentuk dan kualitasnya telah lama terjadi di komunitas kita. Berita-
berita tersebut makin marak karena semakin baiknya kinerja wartawan. Kalau dulu
ada Arie Hanggara, sekarang muncul kasus-kasus yang sama. Bukan lagi dilakukan
oleh bapak/ibu tiri saja tetapi justru dilakukan oleh orang tua kandung.

Bentuk kekerasan bisa berupa korban kekerasan, penelantaran, eksploitasi,


perlakuan salah, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi. Semua tindakan
kekerasan kepada anak-anak direkam dalam bawah sadar mereka dan dibawa
sampai kepada masa dewasa,
dan terus sepanjang hidupnya. Tindakan-tindakan di atas dapat dikategorikan
sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak-anak. Child abuse itu
sendiri berkisar sejak pengabaian anak sampai kepada perkosaan dan
pembunuhan. Ada 4 macam child abuse, yaitu emotional abuse, terjadi ketika orang
tua setelah mengetahui
anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu membiarkan anak
basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu
itu. Si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi.
Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional
itu berlangsung konsisten. Verbal abuse, terjadi ketika si ibu, setelah mengetahui
anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan
menangis”. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan
kekerasan verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, dan
seterusnya. Physical abuse, terjadi ketika si ibu memukul anak (ketika anak
sebenarnya membutuhkan perhatian). Memukul anak dengan tangan atau kayu, kulit
atau logam akan diingat anak itu. Sexual abuse, biasanya tidak terjadi selama
delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Walaupun ada beberapa kasus
ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia enam bulan.
Center for Tourism Research & Development Universitas Gadjah Mada,
mengekspos penelitiam tentang child abuse yang terjadi dari tahun 1992–2002 di 7
kota besar yaitu, Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang
dan Kupang, ditemukan bahwa ada 3969 kasus, dengan rincian sexual abuse
65.8%, physical abuse 19.6%, emotional abuse 6.3%, dan child neglect 8.3%.

Berdasarkan kategori usia korban:

1. Kasus sexual abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah
usia 0-5 tahun (7,7%).
2. Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah
usia 13-15 tahun (16.2%).

3. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan
terendah usia 16-18 tahun (0.9%).Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga

4. Kasus child neglect: persentase teringgi usia 0-5 tahun (74.7%) dan terendah usia
16-18 tahun (6.0%).

Berdasarkan tempat terjadinya kekerasan :

1. Kasus sexual abuse: rumah (48.7%), sekolah (4.6%), tempat umum (6.1%),
tempat kerja (3.0%), dan tempat lainnya-di antaranya motel, hotel dll (37.6%).

2. Kasus physical abuse: rumah (25.5%), sekolah (10.0%), tempat umum (22.0%),
tempat kerja (5.8%), dan tempat lainnya (36.6%).

3. Kasus emotional abuse: rumah (30.1%), sekolah (13.0%), tempat umum (16.1%),
tempat kerja (2.1%), dan tempat lainnya (38.9%).

4. Kasus child neglect: rumah (18.8%), sekolah (1.9%), tempat umum (33.8%),
tempat kerja (1.9%), dan tempat lainnya (43.5%).

Data tersebut menunjukkan bahwa tiada tempat yang "aman" bagi anak.

ISLAM DAN PENGURANGAN KEKERASAN TERHADAP ANAK

Islam diturunkan ke bumi lebih ditekankan pada tindakan preventif. Maka tindakan
preventif dalam mengatasi problem kekerasan pada anak terletak pada keluarga.
Islam adalah agama yang mengharamkan segala bentuk tindakan menyakiti,
mencederai, melukai kepada diri sendiri atau kepada orang lain; baik secara verbal
maupun tindakan nyata terhadap salah satu anggota tubuh. Secara konseptual, misi
utama kenabian Muhammad saw adalah untuk kerahmatan bagi seluruh alam.
Kekerasan, sekecil apapun bertentangan secara diametral dengan misi kerahmatan
yang diemban. “Dan tidaklah Kami utus kamu (wahai Muhammad) kecuali untuk
(menyebarkan) kasih sayang terhadap seluruh alam”. (Q.S. al-Anbiyâ’ [21]: 107).
Beberapa teks hadits yang secara tegas mengecam tindak kedzaliman bisa dikutip
di bawah ini:

“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliman terhadap diri-Ku,—dan Aku


jadikan kezaliman itu juga haram di antara kamu,—maka janganlah kamu saling
mendzalimi satu sama lain.” (Hadis Qudsi, Sahih Muslim, kitab al-Birr wa ash-Shilah
wa al-Adab, no. Hadits: 4674).

“Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara satu dengan yang lain, karena
seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain, tidak diperkenankan menzalimi,
menipu, atau melecehkannya.” (Sahih Muslim, no. hadits: 2564).

Hadits an-Nu'man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, bahwa ayahnya mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, "Aku telah memberikan hadiah kepada
anakku ini berupa seorang budak laki-laki." Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata kepadanya, "Apakah semua anak-anakmu kamu berikan hadiah
seperti dia?" Ia menjawab, "Tidak." Lalu beliau berkata, "Kalau begitu, ambil kembali
hadiah itu." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Imam Nawawi pada kitab Riyadush Shalihin menyitir hadist: Dari Abu Hurairah ra, ia
berkata, “Rasulullah saw mencium cucunya, Hasan bin Ali ra. Waktu itu al-Aqra’
berkata, ‘Ya Rasulullah, saya punya sepuluh orang anak, dan belum pernah kucium
seorang pun’. Rasulullah saw menoleh ke al-Aqra seraya bersabda, ‘Siapa saja
yang tidak mau mengasihi maka tidak akan dikasihi’.” {Diriwayatkan Imam Bukhari
dan Imam Muslim.

Orang tua ungkapkan cinta-kasih ke anak dengan menciumi tidak pernah mereka
lakukan. Mencium anak dianggap lembek, tidak perkasa malah feminim. Nabi saw
pun menoleh ke al-Aqra’ seraya bersabda, “Siapa yang tidak mengasihi maka dia
tidak akan dikasihi.” Maksudnya? Siapa yang mengasihi hamba-hamba Allah swt
niscaya tidak akan di-Kasihi Allah swt. Orang yang mengasihi hamba-hamba Allah
swt niscaya dia akan di-Kasihi-Nya. Nabi saw pernah bersabda,

“Orang-orang yang mengasihi maka dia akan di-Kasihi oleh Allah swt Dzat Maha
Pengasih.” Anak-anak termasuk juga hamba Allah, mereka memiliki hak untuk
dikasihi dan dicintai. Kisah lain pada saat Nabi saw mendirikan shalat dan sedang
sujud datanglah Sayyidina Hasan ra dan Sayyidina Husein ra. Keduanya naik ke
atas punggung beliau laksana mengendarai tunggangan. Nabi saw lalu memperlama
sujudnya. Seusai shalat Nabi saw bersabda,
“Sesungguhnya cucu-cucuku tadi jadikanku sebagai tunggangan. Dan aku tidak
hendak bangkit dari sujud sampai mereka selesai melampiaskan keinginannya.”
Aduhai, betapa lembut dan kasihnya Nabi saw kepada anak-anak kecil. Hadist
Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah ra di atas terdapat dalil
bahwa manusia mesti menggunakan kasih sayang dalam menggauli anak-anaknya.

Hadis maupun Qur'an menunjukkan bahwa kekerasan bisa diatasi melalui peran
keluarga, terutama pasangan suami dan istri. (Diambil dari berbagai sumber)

Wallahu a'lam.
Lampiran 2 : Format Penilaian Proses bealajar

FORMAT PENGAMATAN SIKAP

Tanggung
Disiplin Peduli Kerja keras
No Nama Siswa jawab

a b c a B c a b c A b c

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
34
35
36
37
39
INDIKATOR KOMPETENSI INTI 1 DAN 2

1. Disiplin
a. Selalu hadir di kelas tepat waktu
b. Mengerjakan LKS sesuai petunjuk dan tepat waktu
c. Mentaati aturan main dalam kerja mandiri dan kelompok
2. Tanggung jawab
a. Berusaha menyelesaikan tugas dengan sungguh-sungguh
b. Bertanya kepada teman/guru bila menjumpai masalah
c. Menyelesaikan permasalahan yang menjadi tanggung jawabnya
d. Partisipasi dalam kelompok
3. Peduli
a. Menjaga kebersihan kelas, membantu teman yang membutuhkan
b. Menunjukkan rasa empati dan simpati untuk ikut menyelesaikan
masalah
c. Mampu memberikan ide/gagasan terhadap suatu masalah yang
ada di sekitarnya
d. Memberikan bantuan sesuai dengan kemampuannya
4. Kerja keras
a. Mengerjakan LKS dengan sungguh-sungguh
b. Menunjukkan sikap pantang menyerah
c. Berusaha menemukan solusi permasalahan yang diberikan
PEDOMAN PENILAIAN:
a. Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan karakter siswa pada
kondisi awal dengan pencapaian dalam waktu tertentu.
b. Hasil yang dicapai selanjutnya dicatat, dianalisis dan diadakan tindak
lanjut.
.
 Tugas
- Mengumpulkan bahan-bahan artikle/ tulisan sebagai data untuk pembuatan
makalah dan laporan tentang memahami bahaya perilaku tindak kekerasan
dalam kehidupan
- Melakukan obeservasi langsung terhadap memahami bahaya perilaku tindak
kekerasan baik disekolah, rumah dan masyarakat
 Observasi
- Mengamati pelaksanaan diskusi dengan menggunakan lembar observasi yang
memuat:
- Isi diskusi: Sikap menghindarkan diri dari tindak kekerasan dalam kehidupan
sehari-hari
 Portofolio
- Membuat laporan tentang bentuk, memahami bahaya perilaku tindak
kekerasan dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah, sekolah maupun
masyarakat
 Tes
 Tes kemampuan kognitif dengan bentuk tes soal – soal pilihan ganda dan uraian

Anda mungkin juga menyukai