Anda di halaman 1dari 176

FILSAFAT ANTI-KORUPSI

Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia


di Balik Korupsi

Oleh: Reza A.A Wattimcna

1016004142

©2012 Kanisius

PENERBIT PT KANISIUS

Anggota SEKSAMA (Sekretariat Bersama) Penerbit Katolik Indonesia Anggota IKAPI (Ikatan
Penerbit Indonesia)

Jl. Cempaka 9, Dcrcsan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta


55281, INDONESIA Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349 E-mail:
office(2>kanisiusmedia.com Website: www.kanisiusmedia.com

Editor: Dwiko Desain sampul: Sungging

Ilustrasi sampul: Sleep Walking Well, www.mihaicriste.blogspot. com/2007/01 / slep-walking-


well.html

Edisi elektronik diproduksi oleh Divisi Digital Kanisius tahun 2016.

ISBN 978-979-21-3847-4 (pdf)


ISBN 978-979-21-3362-2 (cetak)

Prakata

S ewaktu menulis buku ini, saya sedang menggemari band The


Beatles. Seperti kita semua tahu, band ini amat terkenal, mulai
dari dekade 1960-an, sampai sekarang. Bahkan menurut beberapa
pemusik Indonesia ternama, The Beatles adalah band pertama yang
mendefinisikan apa artinya menjadi sebuah band! Artinya kita tidak
bisa membayangkan apa itu "band", sampai era The Beatles lahir.
Menarik bukan? Pertanyaan yang menggantung di benak saya
adalah, apa yang membuat The Beatles bisa menjadi begitu terkenal
dan berpengaruh di seluruh dunia?

Sebagai band mereka amat solid, sebelum akhirnya pecah,


karena beragam sebab. Lagu-lagu mereka bermutu tinggi, dan tetap
digemari, bahkan sampai sekarang, sekitar 20 tahun setelah band
itu bubar. Menurut saya The Beatles menjadi legenda, karena lagu-
lagu mereka bermutu tinggi. Dan lagu-lagu mereka bermutu tinggi,
karena mereka secara mendalam merefleksikan kondisi-kondisi
manusia ( human conditions), mulai dari cinta, kesedihan, imajinasi,
kesendirian, revolusi, politik, dan sebagainya, serta berhasil menu -
angkannya dalam rumusan syair serta musik yang indah.

Jadi The Beatles menjadi legenda abadi dunia, karena mereka


berbicara dan bernyanyi tentang "kondisi-kondisi manusia" ( human
conditions). Beberapa waktu belakangan

F I L S A FAT ANTI-KORUPSI
ini, di Indonesia, dan juga di seluruh dunia, korupsi telah menjadi
tema yang sering didiskusikan, dicari akar penyebab serta jalan
keluar untuk melenyapkannya. Namun, terhubung dengan The
Beatles, saya belum menemukan satu buku pun terkait dengan
upaya memahami perilaku korupsi manusia dengan melihat dari
kondisi-kondisi manusia yang melakukannya. Tak satu pun!
Bagaimana dengan Anda?

Padahal pelaku korupsi adalah manusia dengan segala kerumitan


dan dinamika jiwanya yang amat unik. Dan kita perlu untuk
memahami kerumitan dinamika jiwa manusia tersebut. Sejauh saya
pahami, ini adalah buku pertama yang tidak secara teknis
mendekati korupsi dari aspek hukum, politik, ataupun ekonomi,
melainkan dari sisi-sisi terdalam manusia yang melakukannya. Inilah
yang menurut saya menjadi nilai unik sekaligus kelebihan dari buku
ini. Buku ini ditujukan untuk para praktisi hukum, politisi, maha -
siswa dari berbagai perguruan tinggi, dan orang-orang yang peduli
pada upaya bangsa untuk menghancurkan korupsi di berbagai
bidang. Terima kasih terbesar saya ucapkan pada Keuskupan
Surabaya dan Universitas Katolik Widya Man dala Surabaya yang
telah menjadi rumah yang membahagiakan untuk saya selama ini.
Selamat membaca dan selamat tercerahkan.
Daftar Isi
Daftar Isi 7

Pendahuluan: Korupsi______________________________________9
Bab 1: Korupsi dan Hasrat Berkuasa Manusia______________29
1. Friedrich Nietzsche 30
2. Kehendak untuk Berkuasa_________________________32
3. Penutup___________________________________________42
Bab 2: Korupsi dan Pemburuan Kenikmatan________________47
1. De Sade, Hidup dan Metode Berfilsafatnya_________50
2. Filsafat yang Menyimpang_________________________57
3. Kesimpulan dan Catatan 65

Bab 3: Korupsi dan Sisi Hewani Manusia___________________69


1. Elias Canetti dan Destruksi Filsafat Tradisional ...._...72
2. Massa dan Kekuasaan_____________________________80
3. Beberapa Catatan 103
Bab 4: Korupsi dan Sifat Wajar Kejahatan__________________109
1. Hannah Arendt__________________________________1 1 0
2. Banalitas Kejahatan_____________________________1 1 1
3. Arendt dan Konteks Indonesia ........... ...............1 1 7
Bab 5: Korupsi dan Simbolisme Kejahatan______________1 2 1
1. Symbolism of Evil 124
2. Tentang Noda Jiwa________________________________126
1. Tentang Dosa___________________________________129

2. Tentang Rasa Bersalah_________________________133

Bab 6: Korupsi sebagai Kejahatan Sistemik __________139

Bab 7: Korupsi dan Kekosongan Jiwa Manusia________157


1. Slavoj Zizek 159
2. Manusia sebagai Subjek Dialektis______________166
3. Penutup: Subjek Dialektis______________________195

Kesimpulan: Melampaui Korupsi______________________199

Daftar Acuan.................................................................205
Biodata Penulis 209
Pendahuluan:

Korupsi

B
uku ini mengupas akar-akar korupsi dari sudut pan dang filsafat
dengan tujuan untuk mencegah dan melenyapkannya. Pada ranah
filsafat buku ini dapat dianggap sebagai sebuah proyek filsafat
transendental untuk memahami kondisi-kondisi kemungkinan
( conditions of possibilité yang bersifat apriori (sebelum pengalaman),
yang membuat manusia bertindak korup. Buku ini memiliki me tode
pendekatan serupa yang dilakukan I Iabermas dengan proyek teori
komunikasinya, yakni menemukan kondisi- kondisi kemungkinan
[conditions of possibility) yang bersifat apriori yang memungkinkan
manusia berkomunikasi,' dan proyek filsafat transendental Kant
yang hendak menemukan kondisi-kondisi kemungkinan ( conditions
of possibilité) dari pengetahuan manusia. 2

Akar dari korupsi ada bermacam-macam. Wacana ten tang


korupsi pun bertebaran di berbagai bidang keilmuan, mulai dari
filsafat, teologi, hukum, sampai dengan ekono mi. 3 Pada ranah moral
korupsi dapat diartikan sebagai se-

Wattimena, Reza A.A., Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius,


Yogyakarta, 2007.

Wattimena, Reza A.A., Filsafat Kritis Immanuel Kant, Evoli- tera, Jakarta,
2010.
Untuk berikutnya saya mengikuti uraian dari wikipedia tentang
corruptioru http://en.wikipedia.org/wiki/Corruption diakses 20 Februari
2012 WIB.

gala sesuatu yang merusak moral, atau yang mencerminkan


kerusakan moral. Tindakan korup adalah tindakan yang menjauh
dari yang baik, dari yang ideal. Di dalam wacana ekonomi dan
hukum, korupsi adalah pembayaran atau pengeluaran yang
mengangkangi aturan hukum yang berlaku. Ada beragam sebutan
untuk tindakan ini, mulai dari menyuap, main belakang, sampai
sebutan unik di daerah Timur Tengah, yakni bakseesh. Secara
etimologis kata korupsi berasal dari kata Latin, yakni corruptus.
Artinya adalah tindakan yang merusak, atau menghancurkan. Ketika
digunakan sebagai kata benda, korupsi berarti sesuatu yang su dah
hancur, sudah patah.

Bentuk korupsi pertama adalah korupsi politik. Artinya adalah


penyalahgunaan kekuasaan publik (politik) untuk memperoleh
keuntungan pribadi. Misalnya anda dipercaya mengelola anggaran
DPR, namun anda menggunakan sebagian anggaran itu untuk
memperkaya diri anda sendiri, atau untuk kepentingan pribadi
lainnya. Penggunaan kekuasaan sebagai pejabat negara yang tidak
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku juga dapat disebut
sebagai korupsi. Pada level yang paling parah, korupsi sudah
menjadi penyakit sistemik, sehingga sudah dianggap biasa, dan
orang sudah tak lagi punya harapan untuk memberantasnya. Bia -
sanya korupsi amat luas tersebar dan tertanam amat dalam di
sistem politik dan ekonomi negara-negara berkembang. Ini terjadi
karena sistem pembagian kekuasaan antara eksekutif (pelaksana
kebijakan), legislatif (pembuat kebijakan), dan yudikatif (pemantau
kebijakan) tidak berjalan dengan lancar. Akhirnya sistem hukum tak
memiliki kekuatan dan kemandirian yang cukup untuk menjamin
bersihnya pemerintahan dari korupsi.

Di dalam filsafat klasik, korupsi dianggap sebagai sega la hal


yang bertentangan dengan kemurnian. Dalam arti ini jiwa adalah
sesuatu yang murni, sementara tubuh, dan semua materi fisik,
adalah hal-hal yang korup. Yang diperlukan untuk mencapai
kebijaksanaan dan pencerahan adalah menyangkal fisik dan materi,
serta mencari kebenaran di dalam jiwa. Di sisi lain, sebagaimana
dinyatakan oleh Aristoteles, korupsi juga bisa identik dengan dua
hal, yakni kematian dan dekadensi moral yang disamakan olehnya
dengan hedonisme, yakni hidup yang tujuan utamanya adalah
mencari nikmat badaniah semata. Pada level politik yang cukup ter -
lihat adalah karena kesenjangan ekonomi yang terlalu ting gi, dan
rusaknya kepercayaan yang mengikat antar anggota masyarakat. Ini
bergerak seperti lingkaran setan. Penyebab korupsi dalam konteks
ini adalah krisis kepercayaan. Namun karena korupsi krisis
kepercayaan pun meningkat, kesenjangan ekonomi semakin besar,
dan akhirnya merusak berbagai dimensi kehidupan bersama. Inilah
yang menurut Uslaner menjadi penyebab, mengapa korupsi mampu
bertahan lama, dan sulit sekali untuk dibasmi. 1 Korupsi adalah
penyakit universal negara yang bisa ditemukan di mana pun.
Penyebabnya amat mendalam sehingga upaya untuk mengganti
sistem pemerintahan, misalnya dari totaliter ke demokrasi, seperti
di Indonesia, tidak akan cukup untuk menaklukan korupsi sampai ke
akarnya. Justru sebaliknya negara-negara yang notabene berhasil
melenyapkan korupsi, seperti Singapura dan Hongkong (Cina),
bukanlah negara demokratis.

Di sisi lain masalah utama menyebarnya korupsi adalah karena


orang tidak tahu persis apa arti kata korupsi. Pada dasarnya korupsi
adalah suatu konsep yang amat sulit untuk dijelaskan, apalagi
dipahami. Setiap definisi menurut Uslaner selalu bermasalah, dalam
arti tidak cukup mewakili kerumitan arti kata tersebut. Secara
umum dapat dikatakan, bahwa korupsi adalah penggunaan
kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Kekuasaan publik
adalah kekuasaan yang diberikan oleh publik, dan publik bisa ber -
arti masyarakat, ataupun organisasi-organisasi yang ada di
dalamnya. 2 Pada level ini banyak orang sepakat dengan defi nisi

A
1 Bagian ini diinspirasikan dari Uslaner, Eric, Corruption, Inequality,
and Rule of Law, Cambridge University Press, Cambridge, 2008, him.
4. "Corruption, in turn, leads to less triist in
2 Ibid, hlm. 6. ""Corruption" is a term whose meaning shifts with the
speaker .... / use the common definition of corruption as the "misuse of
public power for private or political gain."
tersebut. Namun pada level yang lebih kecil, masalahnya menjadi
semakin rumit. Misalnya apakah pemberian hadiah pada seseorang
(karena jabatannya) adalah suap yang berarti adalah korupsi?
Bagaimana dengan hadiah Lebaran atau hadiah Natal, apakah tidak
boleh juga?

Inilah masalah utamanya. Korupsi seringkah didefinisi kan dengan


mengacu pada standar nilai masyarakat tertentu yang tidak selalu
bisa diterima oleh masyarakat lainnya. Artinya apa yang bagiku
merupakan korupsi, bagi orang lain merupakan silaturahmi, atau
tindakan wajar. Bahkan sebagaimana diamati oleh Uslaner, ada
beberapa masyarakat yang mengangap tindak korupsi adalah suatu
keharusan, karena merupakan bagian dari kultur masyarakat
tersebut/' Pada hemat saya pola berpikir semacam ini amatlah
sesat, karena mengabaikan begitu saja akibat-akibat yang meru sak
dari praktek korupsi dengan menggunakan alasan-alasan kultural
yang seolah luhur, namun sebenarnya busuk. Sum ber daya yang
seharusnya digunakan untuk kebaikan bersama dihisap oleh orang-
orang yang duduk di kursi kekuasaan untuk mempergendut rekening
pribadinya. Akibatnya orang-orang yang seharusnya mendapat
pertolongan justru semakin terpuruk di dalam sulitnya kehidupan.

Kultur korupsi di masyarakat bisa tercipta, karena adanya


lingkaran setan kesenjangan ekonomi, tidak adanya keper cayaan,
adanya korupsi yang berkelanjutan, dan mulai lagi menciptakan
kesenjangan ekonomi yang lebih besar, begitu seterusnya. Di dalam
kultur semacam ini, perbuatan korup, seperti menyuap dan mencuri,
adalah sesuatu yang biasa, bagian dari rutinitas. Dengan kata lain
orang harus korupsi, kalau mau selamat. Orang-orang yang tidak
korup justru menjadi korban, dan dikucilkan. Korupsi menjadi
sebentuk hegemoni, yakni kekuasaan yang menindas, namun dilihat
sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, danjustru malah diang gap
wajar dan bernilai baik. Orang menyuap karena tidak ada jalan lain
untuk melakukan pekerjaan, selain menyuap. Orang mencuri karena
tidak ada jalan lain untuk hidup, selain mencuri. Sementara tindak
menyuap dan mencuri

Ibid, "The controversy goes further, as sotne soeieties are de-


seribed as having a culture in which corruption is acceptable."
justru malah mengembangkan kultur korupsi yang telah ada
sebelumnya. Inilah lingkaran setan korupsi.

Yang juga perlu ditegaskan adalah, bahwa korupsi bu kan hanya


soal hukum, tetapi lebih dalam dari itu, yakni soal kultur. Jika urusan
korupsi hanya diserahkan pada para penegak hukum, maka di
negara-negara yang memiliki kultur korupsi kuat, orang-orang yang
kaya dan berkuasa tidak akan pernah dituntut secara hukum,
apalagi dihukum. Juga jika korupsi hanya dilihat sebagai soal
hukum, maka pasal-pasal yang multitafsir dapat digunakan oleh
para koruptor untuk melakukan korupsi. Dan di Indonesia pasal-
pasal yang multitafsir dan saling bertentangan satu sama lain
amatlah banyak. Dua hal ini akan membuat pemberantasan korupsi
menjadi semakin sulit, dan kultur korupsi akan se makin kuat. Maka
kita tidak boleh secara sempit melihat korupsi semata sebagai
masalah hukum saja.

Di dalam buku ini, saya akan mencoba meneropong fenomena


korupsi dari kaca mata filsafat. Dalam arti ini korupsi adalah
ekspresi dari situasi manusiawi kita sebagai manusia, yakni karena
kita memiliki hasrat berkuasa, gemar berburu kenikmatan, memiliki
sisi-sisi hewani yang brutal, sehingga korupsi seolah menjadi
tindakan wajar yang tak lagi dilihat sebagai kejahatan. Saya akan
jelaskan ini lebih jauh nanti. Namun sebelumnya kita sudah melihat,
bagaimana korupsi amat terkait dengan kesenjangan ekonomi dan
rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat. Pertanyaan besarnya
tetap bagaimana cara kita membasmi korupsi? Secara empiris yang
pertama-tama kita butuhkan adalah basis data yang kokoh dan
akurat. Sebagaimana dikutip oleh

Uslaner, sampai saat ini hanya ada 18 negara yang memi liki data
lengkap terkait dengan korupsi. 3 Dengan kata lain hanya ada 18
negara di dunia ini yang sungguh peduli pada pemberantasan
korupsi. Mereka adalah Argentina, Australia, Belgia, Kanada,
Denmark, Finlandia, Hungaria, Irlandia, Italia, Jepang, Meksiko,
Belanda, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Inggris, Amerika Serikat,
dan Jerman. Sementara yang lainnya entah berjalan setengah hati,
sehingga data tak lengkap, yang berarti pola pemberantasan
korupsi juga tak berjalan mulus, atau tak peduli sama sekali.

Uslaner juga menegaskan bahwa kunci untuk memberantas


korupsi adalah dengan membuat masyarakat tidak lagi tergantung
pada cara-cara korup untuk mencapai sukses, atau sekedar
menjalani hidup. 4 Artinya orang berdagang tidak harus menyuap.
Orang mendirikan perusahaan tidak harus menyogok. Orang
mengejar tender tidak harus menjilat sang pembuat tender. Orang
masuk sekolah elit tidak perlu harus menyogok si kepala sekolah.
Orang bisa menjadi pemimpin negara, tanpa harus menjilat
pengusaha rakus, atau menipu rakyat dengan slogan-slogan penuh
kebohongan. Tindak menyuap polisi untuk meloloskan diri dari surat
tilang memang terlihat sebagai tindakan kecil. Namun itu tetaplah
tindakan korupsi. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya,
korupsi kecil itu berpartisipasi di dalam memperbesar kultur
korupsi, yang nantinya bisa merusak seluruh sistem masyarakat,
dan menghancurkan masyarakat tersebut. Di dalam seluruh proses

3 Ibid, him. 241. "The big question remains: How might we reduce
corruption? To answer this, we would need time series data on corruption,
inequality, trust, legal fairness, and institutional quality (among other
variables) for a large number of countries."
4 Ibid, him. 246. "The key to reducing corruption seems to involve making
people less dependent upon it."
ini tetap dibutuhkan sosok pemimpin negara yang tegas dan berani
mengambil keputusan untuk memberantas korupsi, dan menghukum
para koruptor.

Supaya masyarakat tak perlu lagi bergantung pada cara- cara


korup untuk hidup, maka perlu ada sistem jaminan sosial yang
bermutu, yang mampu menopang hidup mereka sebagai manusia
yang memiliki martabat. Dalam konteks ini menurut Uslaner, yang
terpenting adalah adanya sistem pendidikan yang mampu
menjangkau semua warga masyarakat, tanpa kecuali. 9 Artinya
pendidikan gratis untuk rakyat, mulai dari taman kanak-kanak,
sampai dengan universitas. Tidak mungkin? Swedia, Denmark,
Botswana, Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan sudah
menjalankan proses ini, walaupun memang masih ada cacat di
dalamnya. Dengan adanya pendidikan yang bermutu pada semua
orang, maka mereka bisa lebih kritis di dalam memahami praktek-
praktek apa yang bisa diterima secara moral, dan mana yang tidak.
Adanya kesadaran kritis tersebut membuat perilaku korup menjadi
problem yang dipertanyakan dan dipikirkan. Perilaku korup menjadi
masalah, dan bukan lagi sesuatu yang wajar. Ini adalah langkah
awal untuk memberantas korupsi. Dan yang kedua dengan
menyimak

Ibid, hlm. 247. "The key mechanism to make people less depen- dent
upon corrupt leaders is a universal social welfare regime - and
especially one based upon education for ali"
pengalaman-pengalaman Singapura, Ilongkong, dan Korea Selatan,
pendidikan gratis untuk semua orang bisa mendorong pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. 10

Tantangannya juga cukup besar. Di negara-negara yang "sehat",


orang membayar pajak dengan gembira, karena mereka tahu,
bahwa uang itu akan digunakan untuk membiayai program-program
pemerintah yang menjamin terciptanya masyarakat yang adil dan
makmur untuk semua. Salah satu program itu adalah pendidikan
gratis untuk semua, tanpa kecuali. Namun di negara-negara yang
korup, orang akan enggan untuk membayar pajak, karena mereka
tahu, uang pajak akan lari ke kantong-kantong penguasa dan orang-
orang dekatnya untuk mempertahankan dan bahkan mem perbesar
kekuasaannya, sementara kesejahteraan rakyat, terutama mereka
yang miskin, akan terbengkalai. Tidak hanya itu mereka juga tahu,
jika sakit, rumah sakit akan meminta bayaran tinggi. Jika masuk
sekolah mereka akan diminta membayar mahal. Di dalam
rutinitasnya mereka juga berpikir, bahwa mencuri hal-hal yang
berada di bawah otoritas mereka adalah hal wajar. Jika sudah
seperti itu, kultur korupsi akan semakin besar, dan akan semakin
sulit untuk dilenyapkan. Semakin besar kultur korupsi, maka
semakin besar pula kemungkinan suatu negara untuk hancur, atau
jatuh dalam perang saudara yang menelan banyak korban, baik
korban jiwa, maupun korban harta benda.
Ibid, "Singapore, Ilong Kong, and South Korea all pro- vide free
education to all children and this has been a key component in their
economic growth."

Namun bukankah pendidikan bagi semua warga tanpa kecuali itu


membutuhkan biaya besar? Mampukah kita? Kekhawatiran yang ada
biasanya berpijak pada argumen berikut, bahwa uang yang
digunakan untuk pendidikan bisa digunakan untuk keperluan
mendesak jangka pendek, yakni peningkatan ekonomi dalam bentuk
pembukaan lapangan kerja. Bukankah kerja (jangka pendek) lebih
penting dari pada pendidikan (jangka panjang)? Ahli manajemen
ternama asal Harvard University, AS, Michael Porter, ber pendapat,
bahwa strategi perusahaan harus selalu mempertimbangkan aspek
jangka pendek dan jangka panjang pada saat bersamaan. Pendapat
ini diungkapkannya ketika dimintai pendapat soal strategi bisnis di
tengah resesi ekonomi yang melanda AS pada 2008 lalu. Saya
sepakat dengan Porter. Ada beberapa data yang mendukung
argumennya.

Pada pertengahan abad 19, Swedia membuat kebijakan


pendidikan universal, yakni pendidikan untuk semua warga, tanpa
kecuali. Sampai sekarang para pengambil kebijakan di Swedia amat
yakin, bahwa itu adalah langkah terbaik untuk melenyapkan korupsi
dan menjamin pertumbuhan ekonomi yang mantap dalam jangka
panjang sampai sekarang ini. 5 Belajar dari pengalaman Swedia,
pada hemat saya, untuk bisa memberantas korupsi sampai ke
akarnya, serta menjamin pertumbuhan ekonomi yang mantap mulai
dari sekarang sampai masa datang, sistem jaminan sosial, dalam
bentuk pendidikan bermutu serta pelayanan kesehatan yang memadai
untuk semua rakyat, harus dimulai. Dana untuk itu memang besar,
tetapi bisa diperoleh dengan pembuatan pajak progresif (semakin
besar harta seseorang, maka semakin besar pajaknya), dan
membentuk sistem hukum yang kokoh, yang menjamin tata laksana
sistem tersebut berjalan sebersih mungkin.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, korupsi selalu melibatkan
pengkhianatan atas kepercayaan yang diberikan publik, baik publik
rakyat ataupun publik organisasi. Secara positif korupsi juga dapat
dilihat sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik yang diarahkan
untuk memenuhi kepentingan-kepentingan privat.6 Misalnya mobil
dinas kementrian (kepercayaan publik) yang digunakan untuk berlibur
ke luar kota (kepentingan privat-keluarga). Sebagian korupsi dilakukan
untuk memperoleh uang untuk kepentingan pribadi dari sumber-
sumber yang seharusnya untuk kepentingan publik. Di balik konsep ini
tertanam pengandaian dasar, bahwa ada perbedaan yang cukup
mendasar antara barang publik dan barang privat di dalam
masyarakat. Korupsi mengaburkan pembedaan ini, dan
memperlakukan barang publik sebagai barang privat. Pengaburan ini
tidak selalu harus identik dengan kehendak jahat ataupun kerakusan
manusia, tetapi juga oleh ideologi yang sedang kuat berpengaruh di
dalam masyarakat.

5 Ibid, "Rothstein (2007) argues that the adoption of universal education in


Sweden in the mid-nineteenth century was central to the long-term
decline in corruption."
6 Untuk berikutnya saya terinspirasi dari Johnston, Michael, Syndromes
of Corruption, Cambridge University Press, Cambridge, 2005.
Di dalam gejala liberalisasi ekonomi, di mana semua un sur bisnis
dan ekonomi masyarakat dijadikan milik swasta, orang menjadi
amat sulit membedakan antara milik publik dan milik privat. Inilah
yang saya maksud, ketika menyatakan, bahwa ideologi bisa amat
mempengaruhi kemampuan orang untuk sungguh membedakan
barang privat dan barang publik. Johnston mencatat, bahwa
perubahan kebijakan pemerintah juga membuat orang sulit
membedakan barang privat dan barang publik. Kesulitan yang
bermuara pada kebingungan ini merupakan peluang terjadinya
korupsi yang tak disadari. Pada level yang paling parah, menurut
Johnston, perilaku korup tidak lagi dilihat sebagai korupsi,
melainkan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, yakni bagian dari
rutinitas. Korupsi menjadi udara yang kita hirup sehari- hari,
sehingga kita tidak lagi menyadari keberadaannya.' 3

Berbicara tentang korupsi kita selalu berbicara tentang dua hal,


yakni pengkhianatan dan penyalahgunaan. Pertanyaan yang lebih
kritis adalah, bagaimana kita mengartikan "penyalahgunaan"
secara tepat, secara persis? Seperti dicatat oleh Johnston,
biasanya orang mengartikan "penyalahgunaan" sebagai hal-hal
yang secara langsung bertentangan dengan hukum formal yang
berlaku. Hal ini dianggap menguntungkan, karena hukum formal
dianggap cukup stabil, dan mengikat.' 4 Namun ada kelemahan
yang cukup mendasar dari argumen ini. Jika sang penguasa itu
korup, maka ia pasti akan membuat hukum-hukum yang juga
korup, yang membenarkan kekuasaannya. Inilah lingkaran setan
korupsi yang akan muncul, jika kita menyandarkan definisi hukum
semata-mata secara legal formal. Lalu apa pilihan yang kita
punya?

Altenatif lain sebagaimana dicatat oleh Johnston adalah ukuran


kultural sebagai ukuran korupsi. Artinya korup atau tidaknya suatu
tindakan diukur dari "pandangan dunia" yang berlaku di tempat
tersebut. Argumen ini juga amat lemah, karena cara pandang suatu
masyarakat seringkah amat kabur, dan mengundang beragam
tafsiran yang berbeda, sehingga menciptakan kebingungan. Juga
muncul bahaya relativisme, di mana satu orang mengira satu
tindakan sebagai korupsi, sementara orang yang berasal dari
tempat yang lain melihat itu sebagai tindakan yang wajar, bahkan
baik. Pada hemat saya ketika mencoba mendefinisikan korupsi, kita
perlu selalu berpijak pada beberapa nilai dasar, yakni nilai keadilan,
perdamaian, dan akuntabilitas, atau pertanggungjawaban. Jadi apa
pun tolok ukur normatifnya, entah itu hukum formal ataupun sistem
nilai budaya, prinsip keadilan, perdamaian, dan akuntabilitas tetap
harus terkandung di dalamnya.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, pada hemat saya, korupsi


adalah suatu tindak penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
kepentingan pribadi. Beberapa konsep yang perlu ditekankan,
sebagaimana dicatat oleh Johnston, ada-

and other formal rules because of their relative précision, stabil-

ity, and broad application."

lah konsep "penyalahgunaan", "publik", "privat", dan bahkan


"keuntungan". Banyak orang memiliki pemahaman yang berbeda
tentang konsep-konsep tersebut. Masyarakat yang satu memiliki
pemahaman yang amat bertentangan dengan masyarakat lainnya
tentang konsep-konsep itu. Saya rasa di titik inilah kita memiliki
kesulitan besar untuk memahami arti tindakan korupsi, dan
bagaimana cara mencegah, ataupun menghancurkannya. Di
masyarakat Indonesia, pembedaan antara ruang publik maupun
ruang privat pun masih tidak jelas. Misalnya ketika saya parkir di
pinggir jalan untuk membeli buah, apakah itu melanggar
kepentingan publik, atau tidak? Biasanya orang akan menjawab iya,
walaupun tindakannya tetap melanggar apa yang ia katakan.
Intinya ia tetap melanggar kepentingan publik.' 5

Di Indonesia sebagaimana saya amati, korupsi tidak lagi


dijalankan secara perorangan, tetapi sudah memben tuk sistem
persekongkolan orang-orang korup. Akibatnya sistem
persekongkolan yang korup tersebut menghambat kemajuan
mentalitas maupun institusi-institusi yang menopang masyarakat,
dan menghambat gairah partisipasi rakyat untuk terlibat dalam
proses pembangunan. Dan juga
sudah kita lihat sebelumnya, bagaimana suatu tindakan yang
mengikuti aturan dan hukum yang ada pun juga bisa merugikan
masyarakat, yakni menghambat perkembangan institusi dan
partisipasi rakyat. Hal ini bisa terjadi, ketika pemerintah yang ada,
terutama lembaga legislatif, membuat peraturan undang-undang
yang korup, yakni undang-undang yang memungkinkan terjadinya
perilaku korup. Inilah yang menurut Johnston terjadi di negara-
negara maju sekarang ini. Parlemen menghasilkan undang-undang
yang tidak adil, sehingga memicu terciptanya kebijakan-kebijakan
pemerintah yang korup dan merugikan rakyat.' 6

Menurut saya salah satu solusi yang bisa diambil untuk


menanggapi masalah ini adalah dengan membuat pembe daan yang
tegas antara kepentingan publik dan kepentingan privat.
Pembedaan ini kemudian disosialisasikan secara masif dan intensif
kepada seluruh rakyat melalui pendidikan, maupun media-media
lainnya. Memang harus diakui pembedaan itu tidaklah mutlak, dan
bisa berubah sesuai dengan situasi. Segala urusan publik harus
diputuskan dengan menggunakan mekanisme publik pula yang
mengikutsertakan, sedapat mungkin, semua pihak terkait. Jangan
sampai keputusan-keputusan publik dibuat dengan mekanisme-
mekanisme kepentingan privat yang seringkah berten tangan
dengan kepentingan bersama. Inilah yang sekarang ini terjadi.
Keputusan-keputusan yang terkait dengan ke-

lbid, "Some systemic corruption problems might involve uses of


wealth and power that are legal but still impair institutions and
preempt the participation ofothers. Indeed, I will argue in chap- ter 4
that such is the case in the United States and many other market
democracies."

pentingan bersama dibuat melalui mekanisme-mekanisme yang


hanya melibatkan sekelompok orang dengan kepen tingan
pribadinya masing-masing.' 7 Akibatnya tidak ada
pertanggungjawaban yang bersifat publik. Ketidakadilan pun
tercipta. Pada hemat saya ini juga bisa digolongkan se bagai korupsi,
karena terjadi percampuran yang ganjil antara kepentingan publik
dan kepentingan privat.

Maka keputusan yang bersifat publik harus dilempar ke publik,


dan tidak pernah boleh dibuat di dalam ruang- ruang rahasia yang
bersifat privat. Di dalam proses ini, peran pemerintah amatlah
besar, terutama dalam dua hal, yakni sungguh menerapkan proses-
proses publik di dalam setiap pembuatan kebijakan, serta
memberikan hukuman yang proporsional pada setiap percampuran
ganjil antara ruang publik dan ruan privat. Kegagalan untuk
menjalan dua peran itu bisa melahirkan sistem korupsi yang luas
dan dalam, sehingga amat sulit untuk dibongkar. Lalu bagaimana
dengan sektor privat, seperti bisnis dan beragam jenis perusahaan
lainnya yang dimiliki perorangan? Bagaimana proses akuntabilitas di
dalam organisasi-organisasi yang memang bukan milik publik?
Sebenarnya sejauh saya paham, proses-proses hukum semacam itu
memang sudah ada. Hukum sudah mengenali beragam bentuk
penipuan di lingkungan perusahaan bisnis, mulai dari pemalsuan,
penipuan, dan monopoli pasar yang juga bisa dikategorikan sebagai
korupsi, sehingga bisa dijerat dengan pasal-pasal hukum yang ada.
Walaupun begitu tetaplah harus dipahami, bahwa korupsi-korupsi
yang terjadi di Indonesia, baik di sektor privat maupun sek tor
publik, sudah bersifat sistemik dan kultural. Maka anali sis dan
intervensi yang dilakukan tetap harus menggunakan pendekatan
yang juga bersifat sistemik dan kultural. Inilah yang akan coba saya
lakukan di dalam buku ini.
Selepas perang ideologi yang ditandai dengan runtuhnya rezim
totaliter di Uni Soviet pada awal dekade 1990-an lalu, masyarakat
dunia berharap, bahwa proses-proses pasar bebas dan demokrasi
politis akan mengantarkan pada ter- ciptanya masyarakat yang adil
dan makmur. Komunisme dan sosialisme, yang dianggap sebagai
satu-satunya penghalang untuk mencapai kesejahteraan dan
keadilan, kini sudah tidak lagi laku sebagai ideologi tata kelola
politik dan ekonomi masyarakat. Namun harapan memang tak selalu
sejalan dengan kenyataan. Ideologi pasar bebas yang
mengedepankan kompetisi, dicabutnya berbagai aturan yang
mengekang gerak modal, dan dicabutnya berbagai subsidi untuk
rakyat justru malah mengancam proses-proses demokrasi itu
sendiri. Bisa dibilang kini demokrasi sudah berubah menjadi
aristokrasi, yakni pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok
elit. Dalam konteks ini elit bisnislah yang memegang kekuasaan
sesungguhnya. Dengan kata lain ideologi pasar bebas justru malah
mengangkangi demokrasi, dan menjauhkan rakyat dari keadilan
yang diimpikan bersama.

Ideologi pasar bebas juga telah mengubah pandangan dunia


manusia-manusia abad 21. Singkat kata, solidaritas sosial
komunitas digantikan oleh kompetisi ekonomi, nilai- nilai ideal hidup
digantikan semata-mata oleh kekayaan ekonomi, dan partisipasi
politik digantikan semata-mata oleh membayar pajak, tak lebih dan
tak kurang. Dengan kata lain menurut saya kini terjadi privatisasi
kehidupan publik, yang berdampak pada rusaknya tata komunitas
yang telah ada sebelumnya, dan menjadi sumber identitas sosial
masyarakat tersebut. Di era pasar bebas ini, bagi ba nyak orang,
kata demokrasi dan ekonomi membawa nada negatif, yakni semakin
lebarnya jurang antara yang kaya dan yang miskin, serta semakin
besarnya kecemasan orang akan kehilangan pekerjaan yang telah
menopang dia dan keluarganya selama ini. Pada sisi politik gerak
pasar bebas telah menghisap idealisme kepemimpinan yang telah
membawa Indonesia pada kemerdekaan lebih dari 60 tahun yang
lalu. Kepemimpinan politis sekarang ini pun tak luput dari nilai- nilai
kompetisi ekonomi yang jauh dari cita-cita solidaritas maupun
keadilan sosial.

Akibatnya terjadi berbagai anomali politik di berbagai negara di


dunia. Banyak lahir negara-negara yang maju se cara ekonomi,
namun terbelakang secara demokrasi, seperti Cina, Singapura, dan
Kuwait. Di sisi lain negara-negara yang mencoba untuk
meningkatkan kualitas demokrasinya justru terjebak dalam hutang
luar negeri yang begitu besar, dan mengalami krisis di berbagai
bidang, seperti AS, Eropa, dan Indonesia. Pada hemat saya putusnya
hubungan harmonis antara pasar bebas dan demokrasi bisa terjadi,
karena tingkat korupsi yang begitu dalam, yang terjadi di negara-
negara demokratis. Korupsi terjadi di sektor publik, maupun di
sektor privat dalam bentuk monopoli pasar, praktek suap, dan
manipulasi harga produk yang juga berarti penipuan masyarakat
luas demi meraup keuntungan finansial. Maka pembongkaran dan
pemusnahan korupsi menjadi tugas kita bersama, karena korupsi
menjadi (satu-satunya) penghalang kita untuk sampai pada keadilan
sosial dan kebaikan bersama untuk semua.

Sekarang ini banyak orang hanya melihat korupsi sema ta


sebagai persoalan ekonomi dan politik. Padahal akar dari korupsi
adalah situasi manusia itu sendiri, dan mengakar amat dalam di
dalam kultur masyarakat terkait. Diperlukan kehendak politik yang
amat besar dari seluruh masyarakat, terutama pimpinannya, untuk
menciptakan tata kelola demokratis yang bebas dari korupsi, serta
menciptakan aturan-aturan yang menata ekonomi, supaya bisa
memastikan sumber daya yang ada bisa tersebar secara merata,
dan keadilan sosial bisa tercipta. Buku ini ingin membantu terjadi -
nya proses-proses tersebut dari sudut pandang filsafat. Buku ini
hendak melihat korupsi sebagai fenomena manusiawi, kultural, dan
sistemik, serta menjauhi kebiasaan masyarakat untuk melihat
korupsi semata sebagai persoalan politik maupun ekonomi belaka.
Harapannya jelas supaya kita semua bisa memahami akar dari
korupsi yang tertanam di dalam diri kita masing-masing, dan belajar
untuk menjinakkannya. Untuk itu buku ini akan dibagi ke dalam
tujuh bagian.

Pada bagian awal saya akan mencoba melihat korup si sebagai


bentuk konkret dari kehendak untuk berkuasa yang tertanam di
dalam diri manusia. Untuk ini saya banyak terbantu oleh pemikiran
Friedrich Nietzsche (Bab i). Pada bagian berikutnya saya akan
mencoba memahami korupsi sebagai bentuk konkret dari
pemburuan kenikmatan yang khas manusia. Saya menggunakan
pemikiran Marquis de

Sade di dalam bab ini (Bab 2). Kemudian saya akan menco ba
menempatkan korupsi sebagai bentuk konkret dari sisi hewani
manusia. Sebagai pijakan teoritis, saya mengguna kan pemikiran
Ellias Canetti (Bab 3). Pada bagian berikutnya saya akan mencoba
memahami korupsi sebagai bentuk dari ketidakpekaan kita atas
kejahatan. Hannah Arcndt menyebutnya sebagai banalitas
kejahatan, yakni kejahatan yang tidak lagi dilihat sebagai kejahatan,
tetapi semata sebagai sesuatu yang wajar (Bab 4). Kemudian saya
akan mencoba memahami korupsi dalam kaitannya dengan simbol-
simbol kejahatan yang tersebar di dalam sejarah manusia. Saya
menggunakan pemikiran Paul Ricocur dalam bab ini (Bab 5).
Berikutnya saya akan mencoba memahami korupsi sebagai suatu
bentuk kejahatan sistemik. Pemikiran Adorno amat membantu saya
dalam hal ini (Bab 6). Terakhir saya akan mencoba memahami
korupsi sebagai suatu bentuk kekosongan jiwa manusia. Pemikiran
Slavoj Zizek membantu saya dalam hal ini (Bab 7). Seluruh buku ini
akan ditutup dengan beberapa butir pemikiran saya terkait dengan
upaya-upaya "melampaui" korupsi. Selamat membaca.
Bab 1

Korupsi dan Hasrat Berkuasa Manusia

D unia politik di Indonesia diwarnai kemunafikan dan korupsi.


Para politisi mengumbar janji pada masa pemilu, guna
mendapatkan suara dari rakyat. Namun setelah menduduki
kursi kekuasaan, mereka lupa, dan menelantarkan rakyatnya. Tak
hanya itu ketika menjabat, mereka melakukan korupsi atas uang
rakyat, demi memperkaya diri mereka sendiri, atau menutup
pengeluaran mereka, ketika pemilu. Seringkah uang hasil korupsi
dibagi ke teman-teman dekat, bahkan ke institusi agama, untuk
mencuci tangan. Jika sudah begitu mereka lalu mendapatkan
dukungan moral dan politik dari teman-teman yang "kecipratan"
uang, dan bahkan dukungan moral-religius dari institusi agama.
Bukan rahasia lagi inilah pemandangan sehari-hari situasi politik di
Indonesia. Kekuasaan diselubungi kemunafikan dan korupsi yang
bermuara pada penghancuran kehidupan rakyat jelata.

Membaca dan mendengar fenomena ini, saya teringat pemikiran


Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman. Ia berpendapat bahwa
manusia dan alam semesta didorong oleh suatu kekuatan purba,
yakni kehendak untuk berkua-
sa [the will to power). Apa yang dimaksud dengan kehendak untuk
berkuasa ini? Apa kaitan dari kehendak untuk berkuasa dengan
kehidupan manusia secara khusus, dan alam semesta secara
umum? Apa yang membuat kehendak untuk berkuasa akhirnya
bermuara pada kemunafikan-kemu- nafikan hidup, seperti yang
seringkah dialami dunia politik Indonesia? Dengan berpijak pada
pemikiran Nietzsche, saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Untuk itu tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bagian.
Awalnya saya akan memperkenalkan siapa itu Friedrich Nietzsche
secara singkat (i). Lalu saya akan menjabarkan pemikiran Nietz sche
tentang kehendak untuk berkuasa, terutama yang ter cantum di
dalam bukunya yang berjudul Between Good and Evil. Pada bagian
ini saya juga terbantu oleh tulisan James I. Porter tentang Nietzsche
(2). Pada bagian akhir saya akan memberikan kesimpulan, sekaligus
mengajukan satu tanggapan terhadap pemikiran Nietzsche (3).

1. Friedrich Nietzsche

Friedrich Nietzsche lahir pada 1844, 7 dan meninggal pada 1900. Ia


adalah seorang filsuf Jerman di akhir abad ke-19, dan dikenal
sebagai seorang pemikir yang melakukan serang an terhadap
Kristianitas dan moralitas tradisional di Eropa pada jamannya. Fokus
filsafatnya adalah pengembangan diri manusia semaksimal
mungkin, dan analisis kebudayaan di jamannya. Ia menekankan
sikap menerima dan merayakan kehidupan, kreativitas, kekuasaan,
segala kontradiksi, serta absurditas hidup manusia. Ia menolak
untuk mengakui adanya dunia lain di luar dunia ini. Ide paling
penting di dalam filsafat Nietzsche, menurut saya, adalah ide
penerimaan pada hidup. Konsekuensinya semua ajaran dan
pemikiran di dalam peradaban manusia yang menolak kehidupan
ditolak olehnya. Dengan pemikirannya ini ia memberikan inspirasi
besar bagi para penyair, psikolog, filsuf, sosiolog, artis, dan para
pemikir progresif di kemudian hari.

Di abad ke-20 lalu, pengaruh pemikiran Nietzsche amat terasa di


daratan Eropa. Di mata para pemikir progresif, pembaharu-

7 Bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya atas http://


plato.stanford.edu/entries/nietzsche/ diakses 19 Desember 2011 pk.
8.44
pembaharu keilmuwan, maupun seniman, Nietzsche dianggap
sebagai seorang "nabi". Beragam bidang kehidupan mulai dari
arsistektur, metodologi penelitian ilmiah, filsafat, seni, sampai
dengan fashion mengambil inspirasi dari ide-idenya yang kreatif dan
mencerahkan. Percikan-percikan pemikirannya selalu terasa segar,
baru, dan inspiratif. Di dalam bidang psikologi, Nietzsche berpetu -
alang mengangkat aspek-aspek hewani dan ketidaksadaran
manusia, yang kemudian memberikan inspirasi bagi Freud untuk
mengembangkan psikoanalisisnya. Tak jarang pula pemikiran-
pemikiran Nietzsche digunakan untuk membenarkan hal-hal kejam,
seperti perang, penaklukan, diskriminasi, seperti yang dilakukan
oleh NAZI Jerman dan partai fasis Italia.

Pada era 1960-an, pengaruh filsafat Nietzsche hanya terasa di


kalangan seniman dan penulis. Pada masa-masa itu dunia akademik
belum mengangkat kekayaan pemikirannya. Dunia filsafat sendiri
masih terpesona pada pemikiran- pemikiran Hegel, Husserl, dan
Heidegger. Strukturalisme Saussure dan Lévi-Strauss haru mulai
berkembang. Namun pada akhir dekade 1960-an, terutama di
Prancis, para filsuf mulai menengok ke filsafat Nietzsche untuk
mengembangkan tradisi filsafat mereka sendiri. Inilah yang
nantinya mengental menjadi posmodernisme yang menantang cara
berpikir lama, dan melakukan kritik sosial yang bersifat me nyeluruh
(dari kritik ekonomi sampai gaya hidup) pada ja mannya. Di negara-
negara berbahasa Inggris, karena kaitannya dengan fasisme dan
NAZI Jerman, para filsuf baru mulai membuka diskusi tentang
pemikirannya setelah 1970-an.

Walaupun hidup sakit-sakitan, Nietzsche tetap mampu menulis


dengan amat baik dan kreatif selama bertahun-ta hun di masa
hidupnya. Rasa sakit tubuh pun terus datang dan pergi. Ini semua
menggambarkan kekuatan mental yang ia miliki di dalam berpikir
dan mencipta. Bahkan menurut saya rasa sakit dan penderitaan
itulah yang menjadi sumber inspirasi dari tulisan-tulisan filsafatnya.
Dari rasa sakit dan ketabahannya, ia menuliskan gagasan-gagasan
pencerahan yang mempengaruhi peradaban manusia, sampai
sekarang ini.
2. Kehendak untuk Berkuasa

Konsep kehendak untuk berkuasa adalah salah satu kon sep yang
paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. 8
Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan seba- gai seorang
pemikir naturalistik ( naturalistic thinker), yakni yang melihat
manusia tidak lebih dari sekedar insting-in- sting alamiahnya
( natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun makhluk
hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya
pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas
[free wilt), substansi C substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya.
Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia
dengan cara- cara baru. Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada
tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche,
yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup (i), proses transen -
densi insting-insting alamiah manusia (2), dan cara meman dang
realitas yang menyeluruh ( wholism) (3). 20 Pemikiran tentang
kehendak untuk berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisan-
tulisannya sebagai fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah
tak punya hubungan yang cukup jelas. Dari semua fragmen
tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian dasar
tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk
berkuasa sebagai abstraksi dari realitas (1), sebagai aspek
terdalam sekaligus tertinggi dari realitas ( the nature of reality) (2),
dan sebagai realitas itu sendiri apa adanya ( reality as such) (3).

contested aspects of Nietzsche's writings, and rightly so. The theory


presses the idea of a naturalistic moral psychology to startling
extremes. "

Ibid, "It calls for a radical revision of our concepts of self and reality, in
ways that will become clear below. Concepts like the sublimation of
the instincts, the affirmation of life, and holism float across its surface
like so many bright images of a life better conceived. And yet, for all
its brilliance, the will to power près-
t . />S\ I . / . » f f I ..

Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai


hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang
dilihat dari sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa Nietzsche

8 Bagian ini diinspirasikan dari Porte r, James. L, "Nietzsches


Theory of The Will to Power", A Companion to Nietzsche,
Pearson, Keith, Ansell, (ed), Blackwell, London, 2006, hlm.
r- . Q " T U / t U / i n v ì i r» ii»»// i r\ ^/»m^iv » c /»m/i /»/" 11i/» /»ri
kehendak untuk berkuasa adalah "klaim kekuasaan yang paling
tiranik, tak punya pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan." 9 Bisa
dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa,
Nietzsche berubah menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat
realitas tersusun dari satu unsur terdalam [fundamental aspect) yang
menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang disebutnya
sebagai kehendak untuk berkuasa.

"Jika tubuh ini hidup dan tidak mati, tubuh ini tetap harus
memperlakukan tubuh-tubuh lain sama seperti ia
memperlakukan tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri tetap
merupakan pembadanan dari kehendak untuk berkuasa,
tubuh itu akan ingin tumbuh, menyebar, memegang, me-
menangkan dominasi - bukan karena soal moralitas atau
imoralitas, melainkan karena tubuh itu hidup, dan karena
hidup itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa." 10
Ini adalah gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan
manusia, dan kehidupan alam semesta pada um umnya. Dorongan ini
tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan, karena segala sesuatu
yang ada berasal dari padanya. Jadi seluruh realitas ini, dan segala
yang ada di dalamnya, adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari
kehendak untuk berkuasa. Ia ada di dalam kesadaran sekaligus
ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus
insting- tual manusia. Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan
yang mempengaruhi sekaligus membentuk apa pun yang ada,
sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu
sendiri. 23 Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut
sebagai pencipta, atau subjek agung. Semua ini adalah gerak
realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa
arah.

9 Ibid, him. 550. "the tyrannically inconsiderate and relentless


enforcement of claims of power,"
10 Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, Cambridge University
Press, Cambridge, 2002, him. 153. "if this body is living and not dying,
it will have to treat other bodies in just those ways that the individuals it
contains refrain from treating each other. It will have to be the
embodiment of will to power, it will want to grow, spread, grab, win
dominance, — not out of any morality or immorality, but because it is
alive, and because life is precisely will to power."
Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak
memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan
kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada
pengetahuan objektif. Yang diperlukan untuk memperoleh
pengetahuan adalah subjektivitas [subjectivity) dan kemampuan
untuk menafsir ( interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche lahir
dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri. 24 Dengan subjektivitas
dan kemampuan untuk

Porter, James. I., "Nietzsche's Theory of The Will to Power", him. 550. "the
will to power is then an activity that affects and in fact constitutes the
character of everything in the world and that is itself the result of
such effects"

Ibid, him. 551. "Interpretation and subjectivity are essential; they


furnish the world with relations, and therefore endow it with features -
or so Nietzsche seems willing to concede at least some of the time
(e.g., WP 560 and 564). But where do these activities occur? The
answer is in the will to power, the activity that selects and arranges
things from a perspective, and whose effects condition the whole."

menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat [causality) di


dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa
menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada
di dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk
berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subjek yang aktif di
dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang
memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk
berkuasa, manusia bisa mcnciptakan dan menata dunia. Dalam arti
ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia
menjadi bermakna karena manusia, dengan subjektivi tas serta
kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya
"manusiawi" (human).

Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia se cara


positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala
aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah
suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki
awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia
bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan,
melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain
dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia
harus belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri,
tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari ka camata alam,
kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka
kehendak berkuasa adalah "afirmasi yang penuh suka cita pada
hidup itu sendiri." 25 Hidup memang

25
Ibid, "as a joyous affirmation of life".

tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk
menerima dan merayakannya sepenuh hati.

Sebagai bagian dari dunia yang dimotori kehendak untuk


berkuasa, manusia pun tidak lagi dipandang sebagai makhluk
rasional, melainkan sebagai makhluk yang hidup dengan rasa dan
sensasi-sensasi (sensational being) yang diterimanya dari dunia.
Sensasi itu mendorong manusia untuk mencipta dunia [world-
creating activity). Jadi karena dikelilingi oleh kehendak untuk
berkuasa, manusia pun terdorong untuk mencipta dunia. Tindak
mencipta dianggap sebagai dorongan alamiah, dan bahkan
kebutuhan eksistensial manusia. Dalam arti ini manusia bukanlah
subjek seutuhnya, karena ia adalah bentuk konkret saja dari
kehendak untuk berkuasa. Manusia adalah subjek yang bukan
subjek. Manusia dan dunia adalah cerminan dari kehendak untuk
berkuasa.

"Para ahli fisiologi", demikian tulis Nietzsche, "harus berpikir


dua kali sebelum menempatkan dorongan untuk
mempertahankan diri sebagai dorongan paling utama dari
makhluk hidup. Di atas semua itu, makhluk hidup mau
mengeluarkan kekuatannya - hidup itu sendiri adalah ke-
hendak untuk berkuasa -: mempertahankan diri hanya salah
satu konsekuensi yang tidak langsung dan paling sering
muncul dari ini." 11

Pemahaman Nietzsche tentang ini didapatkan dari pola berpikir


metafisisnya, bahwa hakekat dari sesuatu bisa dili hat dari efek-efek
yang ditimbulkannya. Hakekat dari dunia dan manusia adalah efek-
efek yang ditimbulkannya, yakni penciptaan. Penciptaan hanya
mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa.

Pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah


sebuah pandangan dunia yang sistematis ( systematic worldiriew).
Konsep ini lebih merupakan upayanya untuk menyibak berbagai
situasi di dalam dunia, dan menemukan apa yang menjadi dasar
dari semuanya. Maka konsep ini tidak bisa diperlakukan sebagai
konsep metafisika tradisional, entah sebagai arche di dalam filsafat
Yunani Kuno, atau substansi. 12 Menurut Porter konsep kehendak
berkuasa, yang dirumuskan oleh Nietzsche, adalah sebuah simbol
dari kegagalan manusia untuk memahami hakekat terdalam dari
realitas. Artinya pengetahuan manusia itu terbatas, sehingga tak
mampu untuk memahami dunia seutuhnya. Dalam konteks ini
Nietzsche kemudian menawarkan sebuah pemahaman yang lebih
"puitis" tentang hakekat dunia yang memang tak bisa sepenuhnya
tertangkap oleh akal budi manusia. 13 Konsep kehendak untuk
berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari imajinasi
manusia yang melihat dan tinggal di dalam dunia. Bisa dibilang bahwa
Nietzsche hendak melepaskan logos sebagai alat utama manusia
untuk memahami dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis
11 Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, him. 15. "Physiologists
should think twice before positioning the drive for self- preservation as
the cardinal drive of an organic being. Above all, a living thing wants to
discharge its strength — life itself is will to power —: self- preservation is
only one of the indirect and most frequent consequences of this."
12 Wattimena, Rcza A.A., Metodologi Penelitian Filsafat, Kani- sius,
Yogyakarta, 2011, him. 67.
13 Porter, "Nietzsche's Theory of The Will to Power", him. 553. "The
will to power; I will be proposing, does not describe the nature of the
world, or rather of the reality that underlies everyday appearances.
Rather, it describes a process of misrecognition, the poetic
manufacture of the world; and it does this by rendering
»fr/» If /»»v/'i» / /»v /-»-v»/-/ »•.»/•/»/-»/»•'/»•vif /»*<»// »fr /»ln/»/-f r im/*/»m/*/»««»/i
(mythological explanation) yang lebih imajinatif, deskriptif, dan kaya di
dalam memahami dunia. Akal budi (reason) menyempitkan dunia,
sementara imajinasi dan rasa menangkap kerumitannya, dan
merayakannya.
Nietzsche sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa konsepnya
tentang kehendak untuk berkuasa adalah suatu mitos. Konsep ini lahir
dan berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer,
bahwa dunia adalah representasi dari kehendak dan ide manusia
(world as will and representation).14 Walaupun begitu kita tetap harus
membedakan model berpikir dari dua filsuf besar ini. Nietzsche
melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, namun bersikap
optimis, dan memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala
kerumitannya. Sementara Schopenhauer melihat dunia sebagai
kehendak buta, bersikap pesimis, serta memilih untuk melarikan diri
darinya.15 Dua sikap ini pada hemat saya juga dapat digunakan untuk
memahami mentalitas manusia jaman ini di dalam memandang
kehidupan.3' Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada

orang yang memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau
melarikan diri ke berbagai "candu". Namun ada pula orang yang
menanggapi semua itu dengan berani, dan bahkan merayakan
absurditas kehidupan itu sendiri. Sikap yang terakhir inilah yang
disarankan oleh Nietzsche.

Konsep kehendak untuk berkuasa memang bersifat ambigu, dan


mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk berkuasa
adalah inti sari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan
hidup dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan
keberpihakan ada energi- energi mabuk khas Dionysian yang
selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di sisi lain

14 Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004, him.


219.
15 Ibid. him. 220.
3
' Porter, "Nietzsche's Theory of The Will to Power", him. 554. "And
although there are marked differences in their respective views of the
world, at least on the surface (for instance, Scho- penhauerian
pessimism and Nietzschean optimism, to cite the most familiar
contrast), taking note of these still leaves intact the premise of the
will's primacy as the key to the intelligibility
t U n .nnv/zi"
konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritiknya terhadap
modernitas, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri
manusia semata pada akal budinya, dan telah memasung manusia
menjadi subjek yang patuh pada tata hukum dan moral yang
mengikat daya-daya hidupnya. Pada hemat saya dengan konsep
kehendak untuk berkuasa, Nietzsche ingin membongkar
kemunafikan manusia modern, yang walaupun merindukan dan
menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya, karena alasan-
alasan moral. "Keberatan-keberatan, ketidaksetiaan-ketidaksetiaan
kecil, ketidakpercayaan yang gembira, rasa senang di dalam sikap
menghina", demikian tulisnya, "adalah tanda-tanda kesehatan.
Segala sesuatu yang tanpa pamrih berasal dari patologi
(ketidaknormalan, atau sakit yang bermuara pada kejahatan -
Reza)." 32

* Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, hlm. 70. "Objec- tions,
minor infidelities, cheerful mistrust, a delight in mockery - these are
symptoms of health. Everything unconditional be-

Penolakan terhadap kehendak untuk berkuasa mencip- takan


ketegangan di dalam diri manusia, karena ia sedang melawan
dorongan alamiahnya sendiri. Ia menolak kekuasaan namun
menghasratinya. Tegangan yang tak terselesaikan ini menghasilkan
kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam
kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche mengajak kita untuk
menerima diri kita apa adanya, tidak menolak, atau bahkan
mengutuk, apa yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah
kita sebagai manusia, yakni kekuasaan. 33 "Masa-masa hebat dalam
hidup kita", demikian tulisnya, "datang ketika kita mendapatkan
keberanian untuk melihat kejahatan-kejahatan di dalam diri kita
sebagai bagian terbaik dari kita." 34 Dengan penerimaan semacam
ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong
sebagai kekuatan untuk mencipta.

"Siapa yang bertarung dengan monster", demikian tulis


Nietzsche, "harus melihat bahwa ia sendiri tidak menjadi monster.
Dan ketika kamu melihat dalam waktu lama ke dalam jurang yang
kosong, jurang tersebut melihat kembali kepadamu." 35 Inilah orang-
orang yang munafik, yang meng-
33 Porter, "Nietzsche's Theory of The Will to Power", him. 556. "Thus,
Nietzsche's account of the will to power actually functions something
like an allegory of the modern subject. As I have argued elsewhere
(Porter 1998), the will to power is a faintly disguised genealogy of the
modern subject and its fascination with the one trait it absolutely
lacks: power."

34 Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, him. 65. "The great epochs
of our lives come when we gather the courage to recon- ceive our
evils as what is best in us."

35 Ibid, him. 69. "Whoever fights with monsters should see to it that he
does not become one himself. And when you stare for a
I_____. ....................... . _/________ _ _/_*____I I.___ » ingkari kehendak
untuk berkuasa atas nama moralitas. Ia bertarung melawan
kejahatan atas nama kebaikan, namun dalam perjalanan, ia sendiri
berubah menjadi kejahatan itu sendiri, yang, mungkin sekali, lebih
parah dari kejahatan yang ia perangi. Ketika ia mengutuk kejahatan,
maka kejahatan kembali menatapnya, dan menjadi satu dengan di -
rinya. Pengakuan pada sisi-sisi jahat diri membawa manusia pada
kebijaksanaan, bahwa ia adalah ketidaksempurnaan itu sendiri.
Hidup yang dirayakan tidak akan pernah jatuh ke dalam
pemutlakkan tertentu yang mencekik, termasuk pada pemutlakkan
nilai-nilai kebaikan itu sendiri.

3. Penutup

Nietzsche menggunakan konsep kehendak untuk berkua sa


sebagai model untuk menjelaskan alam semesta beserta manusia
yang ada di dalamnya. Bisa dibilang menurut saya, konsep
kehendak untuk berkuasa adalah kosmologi sebagai ontologi
Nietzsche, ketika ia berbicara tentang kehidupan. Artinya kehendak
untuk berkuasa adalah alam itu sendiri, sekaligus unsur terdasar
dari kehidupan. Tentu saja kita tidak bisa membayangkan, bahwa
konsep ini adalah penjelasan sistematik tentang alam. Yang lebih
tepat menurut saya, kita menempatkan konsep kehendak untuk
berkuasa sebagai upaya deskriptif dan mitologis untuk menjelaskan
alam, tanpa membunuh beragam kekayaan, kerumitan, serta
kontradiksi yang ada di dalamnya. Penjelasan saintifik tentang
alam, menurut Nietzsche, terlalu kering, dan tak mampu
menangkap kerumitan, kekayaan, serta kontradiksi kehidupan itu
sendiri.
Kehendak untuk berkuasa bagi Nietzsche juga merupa kan akar
dari semua proses destruksi yang dilakukan manusia. Perang, intrik
politik, serta beragam pelanggaran HAM mengakar pada nafsu
manusia, yang merupakan bagian dari alam, untuk mendapatkan
kekuasaan. Untuk memperoleh kuasa manusia bersedia untuk
melakukan apa pun, termasuk merugikan orang lain, atau merusak
alam. Dengan kekuasaan yang ia punya, manusia bisa memaksakan
kehendaknya pada dunia. Namun di sisi lain, sejauh saya pa hami,
Nietzsche juga mengatakan, bahwa kehendak untuk berkuasa juga
merupakan akar dari kehendak manusia untuk mcncipta. Dengan
kata lain kehendak untuk berkuasa adalah energi yang mendorong
manusia untuk menciptakan peradaban, mulai dari penciptaan
masyarakat, teknologi, sains, filsafat. Di balik semua ciptaan
manusia tersebut, ada kehendak untuk berkuasa (menguasai
manusia lain, menguasai alam) yang tersembunyi di baliknya.
Kehendak untuk berkuasa bagi Nietzsche adalah akar dari destruksi
dan kreasi.

Berbicara tentang sisi gelap manusia, kehendak untuk berkuasa


memang bisa langsung diacu. Dengan kata lain akar dari sisi gelap
manusia, yang bersifat merusak, menurut Nietzsche, adalah
kehendak untuk berkuasa yang ada di dalam diri setiap manusia,
sekaligus merupakan daya gerak dari dunia dan kehidupan itu
sendiri. Namun pada hemat saya, akar dari sisi gelap manusia
bukanlah kehendak untuk berkuasa semata, tetapi penyangkalan
atas kehendak tersebut atas nama moralitas tradisional.
Penyangkalan tersebut menghasilkan kemunafikan-kemunafikan
yang dengan mudah kita temukan pada orang-orang yang berkata-
kata luhur, namun bertindak jahat dan kejam. Jadi akar dari ke -
jahatan adalah kemunafikan, yakni penolakan naif terhadap
kehendak untuk berkuasa atas nama moralitas.

Berhadapan dengan semua itu, apa yang mesti kita laku kan
sebagai manusia? Menurut Nietzsche sejauh tafsiran saya, yang
perlu dilakukan oleh setiap orang adalah menge nali dan menerima
kehendak untuk berkuasa sebagai bagian dari dirinya. Jangan
pernah menyangkal bahwa diri kita semua, lepas dari sebaik apa
pribadi kita, memiliki kehendak untuk berkuasa atas orang lain, dan
atas alam semesta. Penyangkalan hanya berbuah pada ketakutan
dan kemunafikan, yang nantinya bermuara pada kejahatan. Tipe
moralitas yang mengakui dan merayakan kehendak untuk berkuasa
adalah moralitas Dionisian (berasal dari dewa di dalam mi tologi
Yunani Kuno, yakni dewa kemabukan).

"Jiwa yang luhur", demikian tulis Nietzsche, "menerima fakta


egoismenya sendiri tanpa tanda tanya, dan juga tanpa merasa kasar,
terpaksa, ataupun sikap berubah-ubah di dalamnya, tetapi sebagai
sesuatu yang berpijak pada hukum- hukum primordial dari segala
sesuatu. Jika jiwa yang luhur mencoba untuk memberi nama
fenomena ini, ia akan menyebutnya sebagai "keadilan itu sendiri.""36

Orang yang menganut moralitas semacam ini tidak munafik


menolak kekuasaan, melainkan merayakan dan me-

Ibid, him. 162. "The noble sold accepts this fact of its egoism without any
question-mark, and also without feeling any harshness, compulsion,
or caprice in it, but rather as something that may well be grounded in
the primordial law of things. If the noble soul were to frv to name this
phenomenon, it would call it

ngendarai kekuasaan di dalam hidupnya. Ia mengakui dan


menerima kehidupan sebagai sebuah kontradiksi yang tiada akhir. Ia
merayakan daya-daya hidup, dan menjalaninya dengan penuh
semangat serta antusiasme.

Saya sepakat dengan Nietzsche. Kekuasaan bukan untuk


diingkari, melainkan untuk diraih, dirayakan, dan diguna kan untuk
mencipta, bukan untuk bertindak korup. Catatan saya bukanlah
ketidaksetujuan, melainkan sekedar pemikiran untuk
mengekspresikan kehendak untuk berkuasa secara kontekstual.
Yang pertama tentu kita harus mengakui, bahwa diri kita
merindukan kekuasaan, dalam segala bentuknya. Yang kedua, fakta
alamiah ini kita tafsirkan dan pahami dengan kerangka berpikir
humanistik Kantian, yang menjadikan manusia sebagai tujuan dari
segala sesuatu. Inilah prinsip imperatif kategoris Immanucl Kant di
dalam filsafat moralnya. Orang tak boleh hanya jadi alat, melainkan
harus selalu menjadi tujuan dari segala sesuatu. 37 Yang ketiga,
kehendak untuk berkuasa, setelah ditafsirkan secara hu manistik,
harus diterapkan secara indah. Artinya penerapan kehendak untuk
berkuasa di dalam kehidupan harus memiliki aspek estetik yang
tepat dan mendalam. Keindahan ini mencakup mulai desain
penerapan kekuasaan (termasuk rencana, tata kelola, evaluasi,
sampai ciri fisik), sampai dengan fungsi kontrol yang sudah ada di
dalam kekuasaan itu sendiri. Hanya begini kekuasaan yang
dirindukan manusia tidak bermuara pada kemunafikan maupun
korupsi, dan semakin membantu kita merayakan kehidupan.***
Bab 2

Korupsi dan Pemburuan Kenikmatan

P ada bagian sebelumnya kita sudah melihat makna terda lam dari
kehendak untuk berkuasa manusia, dan kaitan nya dengan sikap
korup manusia. Bagi Nietzsche itu adalah akar dari kejahatan
manusia, sekaligus akar bagi kemampuan manusia untuk mencipta.
Pada bagian ini saya akan mencoba melihat pemburuan kenikmatan
sebagai akar dari kejahatan manusia, dan perilaku korupnya. Filsuf
yang pada hemat saya paling cocok untuk meneropong persoalan
ini adalah Marquis de Sade, seorang filsuf Prancis yang hidup pada
abad 18.

Ada satu fenomena menarik yang terjadi di berbagai ko ta-kota


besar di Indonesia, yakni balapan motor di malam hari. Di Jakarta
setiap malam, terutama di daerah Kemayoran, sekumpulan anak
muda berkumpul, membawa kendaran bermotor mereka, dan mulai
balapan. Motifnya beragam mulai dari mencari tambahan uang
(yang biasanya juga untuk mempercanggih motor mereka), sampai
dengan sekedar iseng menghabiskan waktu semata. Yang menarik
adalah setiap malam pasti ada korban jiwa dari balapan tersebut.

Membaca buku Jakarta Undercover, anda akan takjub melihat


bagaimana aktivitas seksual justru semakin menyenangkan, ketika
itu dilakukan di tempat-tempat yang tidak biasa, mulai dari di dalam
mobil berkecepatan tinggi, kapal layar, ataupun dengan gaya-gaya
yang menyimpang. Sebagian orang bilang itu hanyalah variasi,
supaya seks lebih terasa nikmat, dan hubungan percintaan bisa
lebih berkualitas. Apakah begitu? Bukankah berhubungan seks
dengan menyerempet maut (di dalam mobil berkecepatan tinggi),
atau dengan cambuk yang secara rutin menyentuh kulit dengan
keras, adalah suatu tanda sederhana, bahwa rasa nikmat itu amat
dekat dengan rasa sakit?

Begitu pula dengan budaya tato dan budaya tindik. Ke tika jarum
tusuk menyentuh kulit, yang terasa adalah sakit. Namun beberapa
orang melihatnya sebagai suatu proses yang nikmat, suatu proses
karya seni yang unik dan menggairahkan. Tato dan tindik pun
seringkah dilakukan di tempat-tempat yang menyimpang, mulai dari
mulut, hidung, puting payudara, sampai dengan alat kelamin. Rasa
sakit berbarengan dengan rasa nikmat muncul, ketika jarum tusuk
mengukir dan membolongi kulit. Di kalangan anak- anak muda,
budaya ini sudah lama ada, dan semakin populer.

Apa yang anda rasakan, ketika anda berolahraga? Pasti anda


merasa lelah, sakit di bagian-bagian tubuh tertentu. Keringat
bercucuran. Bau badan pun menyengat tak terta hankan. Namun
mengapa anda terus melakukannya? Anda tidak sendiri. Banyak
orang pun melakukannya. Ketika berolahraga ada semacam batas
yang tipis antara rasa sakit aki- bat mengolah otot dan rasa nikmat
yang ditimbulkannya. Bahkan kesehatan pun identik dengan
tegangan abadi antara rasa sakit dan sekaligus nikmat yang
ditimbulkan oleh olah raga ataupun berdiet ketat.

Di dalam konteks aktivitas berhubungan seks, kasus sodomi,


yakni berhubungan seks melalui lubang anus, seringkah dengan
paksaan, masih terus terjadi. Pada bulan September 2011 lalu,
Polsek Utara Barat Cirebon Kota menangkap Wiwid. Ia dilaporkan
telah melakukan sodomi kepada sekitar 10 orang, dan kesemuanya
di bawah umur. 38 Kita juga masih ingat kasus Robot Gedek yang
melakukan sodomi pada 12 orang anak pada era 1994-1996. 39
Mengapa mereka melakukan sodomi? Biasanya pelaku sodomi
dianggap menderita gangguan jiwa. Namun bukankah sodomi juga
bisa dianggap sebagai suatu kenikmatan yang menyimpang, yakni
kenikmatan tinggi yang dibarengi dengan rasa sakit?

Di dalam tulisan ini, saya ingin mendiskusikan berbagai macam


fenomena "kenikmatan yang menyimpang" di atas dengan
menggunakan pemikiran Marquis de Sade, seorang pemikir
Perancis, dan mencoba mengaitkannya dengan perilaku korupsi
manusia. Argumen utamanya adalah bahwa manusia merupakan
makhluk-makhluk seksual yang tujuan hidupnya mendapatkan
kenikmatan tertinggi, walaupun kenikmatan itu membutuhkan rasa
sakit di dalamnya. Argumen ini didukung oleh beberapa penjelasan
de Sade yang

38 http://www.detiknews.com/read/2011/09/19/123201/172 5329/10/pelaku-
sodomi-di-cirebon-ditangkap-korban-lebih- dari-io-orang diakses pada 9
Desember 2011 pk. 13.35.

39 http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_robotge-
juga akan saya jabarkan di dalam tulisan ini. Untuk menjelaskan
argumen ini, saya membagi tulisan ke dalam tiga bagian. Awalnya
saya akan memperkenalkan sosok hidup dan pemikiran Marquis de
Sade (i). Lalu saya menjabarkan beberapa argumen penting di dalam
pemikirannya, termasuk etika, metafisika, dan kosmologi dari de Sade
(2). Pada bagian akhir saya akan menyimpulkan pemikiran de Sade
dalam kaitannya dengan pemburuan rasa nikmat, dan memberikan
beberapa catatan kritis atas pemikirannya (3).

1. De Sade, Hidup dan Metode


Berfilsafatnya
Motif utama dari filsafat Marquis de Sade adalah untuk memahami
kejahatan (Vice and Wickedness] di dalam diri dan kehendak manusia.
Metode yang digunakan adalah pengamatan dan refleksi diri (self-
reflection), yakni melihat ke dalam dirinya sendiri. Cara
penyampaiannya juga beragam, mulai dari narasi cerita (story
narrative) sampai dengan spekulasi teoritik (theoretical speculation).
Karena berada di dalam tegangan dua model penyampaian itu, banyak
orang merasa sulit memahami maksud sesungguhnya dari de Sade. 16

16 Airaksinen, Timo, The Philosophy of Marquis de Sade, Rout- ledge,


London, 1991, him. 5. "Such a project, which combines narrative form
Bahkan Airaksincn, salah satu komentator pemikiran de Sade,
berpendapat, bahwa ia, de Sade, adalah seorang filsuf yang
tersembunyi [philosopher in disguise).

Etikanya adalah anti-etika, dan metafisikanya adalah anti- metafisika.


Ia hendak membalik semuanya, dan mengajak kita memikirkan hal-hal
lama secara baru.

Guillaume Apollinaire, seorang penyair Prancis abad kedua puluh,


berpendapat, bahwa ia adalah "jiwa terbebas yang pernah ada." 17 Di
sisi lain mungkin karena sikap hidupnya yang menjunjung kebebasan
tanpa batas, de Sade dianggap sebagai penjelmaan setan, seorang
penulis porno, pencipta sadisme (menemukan kenikmatan dengan
menyiksa orang lain), dan bahkan seorang budak hasrat serta pelayan
utama nafsu-nafsu rendah manusia. Tak heran seperti dicatat oleh
Phillips, de Sade adalah makhluk yang diselubungi oleh mitos
(creature of myth).18 Salah satu anggapan yang banyak beredar di
masyarakat adalah bahwa de Sade adalah orang yang menemukan
kenikmatan dengan menyiksa orang, atau menyaksikan orang lain
tersiksa. Ia dianggap sebagai pemikir sadistik. 13 Bahkan kata sadis pun
diambil dari namanya. Namun dengan membaca pemikiran-pemikiran
de Sade yang tertuang di dalam novel, cerita pendek, naskah drama,
esei-esei kritis, dan surat menyurat pribadinya, kita akan berubah
pikiran, dan sadar, bahwa anggapan banyak orang tentangnya itu
salah.

De Sade memang terkenal, karena ia menulis empat novel


kontroversial. Di dalam novel-novel itu, ia memaparkan hal-hal yang
akan menggetarkan serta mengagetkan "orang baik-baik". Juga di
dalam novel-novel itu, kita akan menemukan jiwa pemberontakan
total yang terdapat di dalam diri de Sade. Di balik semua itu, kita juga
bisa menemukan pemahaman yang amat kaya, yang merentang dari
seksualitas sampai moralitas, dari politik sampai agama, dari estetika

and theoretical speculation, may be too complicated to be perspicuous.


Indeed, if the subject matter tends to be Paradoxical. Sade's texts
themselves are enigmatic."
17 •»' Untuk selanjutnya saya mengikuti Phillips John, The Marquis de
Sade, Oxford University Press, Oxford, 2005, Bagian preface "the
freest spirit who ever lived".
18 Ibid, "Ilailed by the early 20th-century French poet Guillaume Apollinaire
as 'the freest spirit who ever lived', but demonized throughout the last
two hundred years as a misogynistic por- nographer, and as the original
proponent of sexual sadism and lustmurder, the Marquis de Sade is a
creature of myth."
sampai metafisika, dari kritik sastra sampai dengan persoalan hidup
dan mati.4'' Ini semua membuat ia menjadi salah satu tokoh besar di
dalam sejarah filsafat Barat. Dengan pemikirannya yang kontroversial
dan tajam, ia bisa dibilang adalah satu-satunya orang yang sungguh
mengalami revolusi Prancis dari sisinya yang paling hitam, dan
mengajukan komentar yang cukup mendalam tentangnya.

Ia menulis dengan berani dan dengan stamina yang menakjubkan.


Karena itu pula ia ditangkap, dan kemudian dipenjara. Ide-idenya
mendalam karena ia berhasil meng-

Donatien de Sade (1740-1814), a French aristocrat who became


notorious for writing novels around the theme of inflicting pain as a
source of sexual pleasure" (30 November 2011 15.30). M Phillips John,
The Marquis de Sade, 2005, Bagian preface "The sheer breadth and
intellectual complexity of Sade's creative output encompasses the
whole range of human experience, from sexuality to morality, from
politics to religion, from metaphysics to aesthetics, from literature to
life and death."

ungkapkan dan menyatakan dengan lugas siapa dan apa itu


manusia sesungguhnya tanpa ragu, yakni sebagai makhluk yang
memiliki tubuh seksual ( sexual body). Kodrat manusia bukanlah akal
budi ataupun jiwanya, tetapi di dalam tubuh seksualnya. Di jaman
ketika moralitas agama-agama begitu kuat mencekram masyarakat,
ia menulis dengan bahasa yang vulgar, dan dengan kebencian yang
tak ditutup-tutupi terhadap moralitas tradisional yang dicapnya
sebagai munafik. Dengan gairah semacam itu, Foucault, seorang
filsuf besar asal Prancis di abad ke dua puluh, menempatkan de
Sade sebagai salah satu filsuf terbesar di masa Pencerahan Eropa. 45
Nama lengkap de Sade adalah Donatien Alphonse François de
Sade. Ia lahir pada 1740. Ayahnya bernama Comte de Sade,
seorang pemilik tanah di sebelah selatan kota Provence. Ia adalah
seorang bangsawan yang memiliki nenek moyang jauh kembali ke
abad pertengahan. Sementara ibunya adalah wanita sederhana
yang merupakan saudara jauh dari seorang bangsawan yang
bernama Princesse de Condé. Di masa kecilnya de Sade amat
terpengaruh oleh gaya hidup paman dan ayahnya yang memang
agak ganjil, yakni gaya hidup seorang libertin. Kata libertin sendiri
berasal dari bahasa Prancis yang berarti "pemikir bebas tentang
agama." 46 Paham ini berkembang pada abad 17 dan 18 di Prancis.

45 Ibid, "Were it not for his explicit use of language and complete
disregard for the artificially constructed taboos of a religious morality
he despised, the novelty and profundity of Sade's thought, and,
above all, its fundamental modernity, would have long since secured
him a place alongside the greatest authors and thinkers of the
European Enlightenment."

46 Ibid, him. 2. "free thinker on religion".

Namun pada pertengahan abad 18, kata ini mengalami


perubahan arti menjadi paham yang membenarkan gaya hidup yang
menyimpang [peruerse lifestyle). Bentuk nyatanya adalah dalam
perilaku seks yang menyimpang, yang menjadi tanda dari seorang
libertin yang sejati. Tujuan dasarnya adalah menyerang secara
brutal ajaran-ajaran moral tradisional yang mencekik kebebasan
manusia untuk mengembangkan daya-daya seksual tubuhnya. Para
pemikir libertin menulis novel-novel maupun cerita pendek yang
melukiskan secara vulgar aktivitas seks menyimpang di rumah-
rumah bordil, maupun di penjara. Seperti dicatat oleh Phillips,
paman de Sade memiliki banyak sekali karya dari pemikir-pemikir
libertin ini. Di dalam perjalanan waktu, libertinisme disa makan
begitu saja dengan pornografi. Namun di baliknya sebagaimana
dicatat oleh Phillips, libertinisme sebenarnya membawa agenda-
agenda perubahan politik, dan kritik satir terhadap para pejabat
Gereja maupun monarki Eropa yang korup serta munafik. 47
Jelaslah bahwa de Sade memang hidup dalam pengaruh tradisi
libertin pada masanya. Pada usia 10 sampai dengan 14 tahun, ia
sekolah di sebuah institusi pendidikan milik Jcsuit yang bernama
Louis-le-Grand di Paris. Di sana ia mendapatkan pendidikan yang
menyeluruh, mulai dari aritmatika,

Ibid, "Libertinism and pornography thus became closely associated.


By the mid-i8th century, both served an increasingly political agenda,
satirizing a corrupt and unpopular church, aristocracy, and monarchy.
Sade's own contribution to this tradition is significant with regard to
the graphic and, at times, obscene representation of liber- tine
debauchery for the purposes of politi- geografi, sejarah, dan seni
retorika. Juga menurut Phillips, de Sade juga menyadari, bahwa
ia suka dicambuk dan disodomi di sekolah tersebut. Para guru
Ycsuit seringkah menghukum anak dengan mencambuknya di
bagian pantat. Pola semacam ini memang dianggap mampu
menciptakan rangsangan seksual, baik bagi pcncambuk, maupun
pihak yang dicambuk. Konon Jean-Jacques Rousseau, seorang
filsuf besar asal Prancis yang hidup pada abad ke-18, juga
merasakan sensasi seksual yang meningkat tinggi, ketika ibu
kosnya memukul pantatnya. 48

Memang harus diakui bahwa pada masa itu, praktek sodomi


adalah sesuatu yang biasa di berbagai komunitas homogen (pria).
De Sade pun tertarik pada semua praktek- praktek "menyimpang"
itu, karena dia sedari kecil sudah membaca berbagai novel-novel
dan cerita pendek libertin di perpustakaan pamannya yang memang
amat besar. Perlu juga dicatat bahwa perpustakaan milik paman de
Sade tidak hanya berisi buku-buku libertin, tetapi juga tulisan-
tulisan para filsuf pencerahan ( enlightenment) Prancis. Dua penga-
ruh ini, yakni antara pemikiran libertin dan ide pencerahan tentang
kebebasan {freedom) nantinya akan amat mempe-
148
Ibid, him. 1. "Between the ages of 10 and 14, Donatien attended the
Jesuit school of Louis-le-Grand in Paris. He also had a young preceptor,
the gentle and highly intelligent Abbé Amblet, who taught him
reading, arithmetic, geography, and history, and who was the only
male member of the child's entourage who was not a libertine. At
school, the young Marquis was rigorously trained in the skills of
classical rhetoric and debating. From the Jesuits, he may also have
acquired a liking for whipping and sodomy. The Jesuits regularly
whipped the posteriors of their charges to discipline them, and it is
well known that this form of corporal punishment can arouse the
victim."

ngaruhi pola berpikir de Sade. 49 Ia juga pernah menjadi prajurit


tempur di Perang Tujuh Tahun. Ia pun dianggap sebagai salah
seorang tentara yang baik, dan mendapatkan beberapa
penghargaan. Setelah itu ia pergi ke Paris, dan memulai
petualangannya sebagai seorang pemikir libertin.

Di Paris ia menjalani hidup dengan bersenang-senang, menonton


teater, bercinta dengan para aktris, termasuk menikmati tubuh-
tubuh pelacur di rumah bordil Paris. Ia beruntung karena wajahnya
tampan. Keinginannya untuk memikat perempuan juga amat besar.
Tak heran niatnya itu tak bertepuk sebelah tangan. Banyak
perempuan jatuh hati padanya. Keluarganya melihat hal ini, dan tak
suka. De Sade pun dipanggil kembali oleh ayahnya untuk pulang,
dan menikah dengan gadis bangsawan pilihan ayahnya, yakni dari
keluarga Montreuil. Namanya adalah Renée- Pélagie de Montreuil.
Walaupun tidak terlalu cantik, ia adalah perempuan yang memiliki
banyak karakter baik, seperti tabah menghadapi penderitaan hidup,
dan amat setia. Dialah yang nantinya mendampingi de Sade, ketika
masa-masa gelap hidupnya di penjara pada dekade 1770-1780-an.
Ia terus menghasilkan karya-karya yang kontroversial dalam hidup -
nya, mayoritas ditulis di dalam rumah sakit jiwa dan pen jara,
sampai meninggal pada 1814.

49
Ibid, him. 2. "This library contained works by all the great classical
authors, but it also included major volumes of Enlightenment
philosophy, and significantly, a wide range of libertine
2. Filsafat yang Menyimpang

Pemikiran de Sade sebagaimana ditafsirkan oleh Airak- sincn


dapat dilihat pada lima tingkatan. Yang pertama de Sade hendak
membuat semacam lelucon dari teori sosial kontrak ( contract social
theory).19 Ia pun menertawakan konsep tata sosial ( social order) dan
situasi alamiah (state of nature) manusia yang menjadi objek kajian
dari para filsuf politik modern. 20 ' Bagi de Sade yang sungguh nyata
adalah tata sosial yang sifatnya anarkis, yang diisi oleh ketidakadil -
an sosial, kesenjangan yang tinggi antara yang kaya dan mis kin,
serta eksploitasi manusia oleh manusia lainnya. Dunia hidup
bersama manusia sejatinya adalah ketidakadilan itu sendiri, dan
karena itu selalu dalam keadaan jahat. Itulah situasi alamiah dan
permanen dari kehidupan bersama manusia. Yang harus dilakukan
oleh manusia adalah belajar menikmati semua penyimpangan
tersebut, dan menertawakannya sebagai bagian dari lelucon
kehidupan. Bahkan de Sade dengan jelas menegaskan, bahwa hidup
sosial selalu akan berisi penindasan pada pihak-pihak yang lemah,
dan pemulihan mereka-mereka yang memiliki uang serta kuasa.
Teori kontrak sosial yang menyatakan, bahwa kehidupan bersama
adalah hasil dari perjanjian sadar yang membuat semua pihak puas,
adalah sebuah "cerita indah" tentang tata hidup yang selalu
terkutuk ( good story concerning wicked order of things).21
Yang kedua de Sade hendak memahami, dan mengalami langsung,
pola berpikir orang yang hidupnya melulu mengejar kenikmatan-
kenikmatan inderawipleasure), dan motivasi hidupnya adalah murni
untuk memuaskan seluruh hasrat dirinya.22 Manusia ideal Sadean
adalah manusia pemburu kenikmatan ekstrem yang tak peduli,
apakah kenikmatan yang ia dapatkan itu sementara atau selamanya.
Tujuan utama hidup manusia, menurut de Sade, adalah mencapai
kenikmatan setinggi mungkin, dan sesering mungkin. Manusia adalah
makhluk pemburu segalanya, dan seringkah tak peduli dengan akibat

19Wattimena, Reza A.A., Melampaui Negara Hukum Klasik,


Kanisius, Yogyakarta, 2007.
20 Wattimena Reza A.A., (ed), Filsafat Politik untuk Indonesia,
21 Pustakamas, Surabaya, 2011.
22"According to Sade's syllogism, the civilized life is part of the state
of nature, because of its inherent violence; our social world is already
evil and society unjust; one should therefore make all this explicit and
learn how to enjoy its possibilities. To form a social context fit for the
cruel exploitation of the weaker by the stronger is the ultimate role of
civilization. The social contract crystallizes a medium, explicating a
chronique scandaleuse, or a good story of the wicked order of things."
53
Untuk selanjutnya saya mengikuti uraian Airaksinen, Timo,
dari pemburuannya. Dan yang menarik bagi dc Sade, kenikmatan
seringkali identik dengan penyimpangan (perversity) dan kejahatan.
Seks yang paling nikmat adalah seks yang diikuti dengan tindak
kekerasan (violent sex), seperti mencekik, memukul, dan penggunaan
alat-alat brutal. Bahkan dapat dikatakan bahwa semakin brutal suatu
aktivitas seksual, maka semakin besar pula kenikmatan yang
diperoleh. Kenikmatan puncak adalah suatu kenikmatan yang
menyimpang {perverse pleasure), atau kenikmatan yang gila (crazy
pleasure). Pada hemat saya manusia de Sade adalah manusia hedonis
dalam artinya yang paling ekstrem, yakni pencari kenikmatan tubuh
dengan melampaui batas-batas normalitas ( normality), dan me-
masuki area-area yang menyimpang serta brutal, yang justru
semakin meningkatkan kualitas dan intensitas kenikmatan tubuh
yang didapatkan. 54

Yang ketiga bagi dc Sade, dunia adalah energi dan ma teri


semata. Semua bentuk kehancuran dan kematian dapat dipandang
sebagai perubahan energi dan materi semata. Di dalam model alam
semacam itu, kebenaran dan kejahatan hanyalah semata soal
perubahan energi yang terjadi, akibat benturan-benturan atom
[atomic collisions) di alam semesta. Dalam arti ini de Sade adalah
seorang ateis naturalis. Tidak ada Tuhan yang menciptakan hukum
tentang yang baik dan buruk, serta mencipta dan menata alam
semesta. Yang ada hanyalah alam ( nature) itu sendiri dengan
hukum-hukum- nya. Yang perlu dilakukan manusia adalah
menghargai dan menghayati hukum-hukum alam yang ada. Itulah
yang disebut dc Sade sebagai sikap kepahlawanan ( heroism), yakni
sikap menerima dan menghayati alam sebagaimana adanya.

Di dalam pandangan tentang alam semacam ini, hukum yang


paling penting adalah hukum benturan keras ( strong collisions).
Sejarah manusia dibentuk melalui konflik keras. Bahkan kenikmatan
tertinggi adalah orgasme yang merupa-

Ibid, him. u. "die Sadean person wants everything at once, regardless of


consequences. Such pleasure is related to deliberate cruelty, perverse
sex, and the climax of sexual excitement which is crazy pleasure, that
is orgasm - understood as the simple act and fact of discharging.
Obviously, a serious effort must be made to explicate such a strange
pseudo-psychological theory whose key metaphor refers to military
life and its guns."

kan hasil dari benturan keras alat kelamin dan tubuh ma nusia. Di
balik benturan tersebut, hanya ada kekosongan [emptiness] itu
sendiri. Dan kematian dipandang sebagai benturan tertinggi yang
mengantar manusia pada kekosongan yang sejati. Konflik adalah
benturan keras yang merangsang manusia untuk berpikir secara
baru, secara kreatif. Dalam arti ini metafisika de Sade menurut
Airaksinen adalah metafisika natural yang bersifat nihilistik, dan,
pada waktu yang sama, kreatif. Inilah dasar epistemologis
pemikirannya yang bermuara pada penjelasannya soal kenikmatan
diri sekaligus kejahatan manusia. 23

Yang keempat bagi de Sade, etika adalah soal pemba- likan-


pembalikan. Apa yang dianggap masyarakat sebagai baik justru
dipandangnya sebagai sesuatu yang jahat (vice), dan sebaliknya.
Airaksinen memberikan tafsiran yang menarik soal ini. Nilai
tertinggi yang diagungkan oleh de Sade adalah kenikmatan ekstrem
(extreme pleasure). Inilah nilai objektif yang dipegangnya. Dan
kenikmatan ekstrem pada titik yang paling menyimpang seringkah
amat dekat dengan kejahatan. Anggaplah ada seorang jahat yang
berbuat jahat. Untuk bisa memahami apa itu perbuatan jahat, kita

23 Ibid, him. 12 . "The main laws of nature prescribe destruction - that is,
violent collisions - which are again connected to the psychology of
pleasure via the orgiastic experience of nothingness. Murder is the
passion which Sade wants to justify in this context. He claims that
conflicts irritate and stimulate the mind. Metaphysics is an important part
of Sade's philosophy, simply because it explains his psychology of
pleasure and leads us to
harus terlebih dahulu mengerti, apa itu kejahatan. Dan untuk me-
mahami apa itu kejahatan, kita juga terlebih dahulu harus tahu, apa
itu kebaikan, karena kejahatan adalah segala se suatu yang
bertentangan dengan kebaikan. Dalam arti ini secara logis dapatlah
dikatakan, bahwa kejahatan memerlukan kebaikan, dan kebaikan
sendiri memerlukan kejahatan untuk menegaskan dirinya. Dan pada
kenikmatan tertinggi, yang merupakan tujuan hidup manusia,
kejahatan dan kebaikan menjadi utuh dan satu. 56 Tidak ada yang
jahat dan tidak ada yang baik, karena keduanya adalah sama.

Yang kelima ada sisi estetik ( aesthetics) dari isi maupun gaya
penulisan de Sade. Dilihat sekilas orang akan mengira tulisan-
tulisannya sebagai pornografi. Para pencinta novel akan melihatnya
sebagai tulisan-tulisan vulgar tanpa gaya. Dan para filsuf akademik
akan melihatnya sebagai buku filsafat yang amat tidak koheren.
Namun menurut Airaksinen ada sesuatu yang lebih dari itu semua
dari tulisan-tulisan de Sade, yakni niatnya untuk menghibur dan
membangunkan pembaca dari keterlenaan moralitas tradisional
yang mencekik melalui tulisan-tulisannya yang vulgar dan penuh
dengan gambaran hubungan seks, maupun penyiksaan. Tulisan-
tulisan de Sade memiliki gaya tertentu yang mem berikan pengaruh
unik bagi para pembacanya. Yang terpenting bukan hanya isi dari
tulisannya, tetapi gaya menulisnya,

Ibid, hi m. 13 . "Therefore, two conflicting sets of genuine values must


exist: those which one transgresses and those which one really aims
at. How is this possible? That is the problem that faces us when we try
to understand the nature of evil and the wickedness of the will. In
order to answer it, we must turn to Sade's idea of style, by means of
which he attempts to bridge the
.£ ^ . _ » » . . . • ..._ 7.1......................_/ .......................w
termasuk pilihan katanya, yang lincah sekaligus kontrover sial. Ia
menghanyutkan pembacanya dalam rasa penasaran, kekaguman,
sekaligus rangsangan seksual pada awalnya, namun semua itu pada
akhirnya bermuara pada rasa jijik sekaligus takut pada seluruh plot
cerita yang dibuat. 57 Pada akhirnya si pembaca akan merasa terhina
dengan seluruh tulisan yang ada. Namun perlu diingat mayoritas
karya de Sade adalah fiksi yang penuh dengan metafora serta
gambaran-gambaran yang tidak nyata. Kegagalan menyadari hal ini
akan bermuara pada kegagalan kita memahami arti penting
pemikiran de Sade.

Di dalam tulisan-tulisannya, de Sade banyak mengupas tema-


tema terkait dengan filsafat politik, metafisika, dan etika. Memang
harus diakui tema-tema tersebut tidak terkait dalam satu benang
merah yang koheren dan jelas, sehingga pembaca harus melakukan
tafsiran atasnya. Namun di balik semua itu, menurut Airaksinen,
ada satu argumen yang cukup tegas, yang mewarnai seluruh
tulisannya, bahwa tidak ada satu nilai universal yang berlaku untuk
semua konteks (i), bahwa hidup sosial manusia pada dasarnya
adalah suatu neraka terselubung (2), dan manusia adalah makhluk
yang tak bisa lepas dari kodrat hewaninya untuk mencari
kenikmatan sempurna di dalam hidupnya (3). Inilah yang saya sebut
sebagai filsafat yang menyimpang ( the perversity of philosophy),
yakni filsafat yang menguak daya-daya tubuh manusia sampai
aspeknya yang paling mendasar, pa-

Ibid, "Curiosity, faseination, and sexual arousal will first draw the reader
in. bu t i f he is successful Sade will retAace t hem in the
ling primitif, dan paling alami, sambil menerjang batas-batas nilai
moral yang ditetapkan masyarakat. 58

Niat menerjang itu tak ditutupi sama sekali, sehingga se luruh


pandangannya, dilihat dari sudut pandang moralitas tradisional,
terlihat amat menyimpang dan subversif. Bahkan bagi para
komentatornya, seperti Airaksinen, de Sade dapat dikategorikan
sebagai seorang pemikir anarkis ( anarchist). Ia tidak mau
memperbarui tata moral yang sudah korup. Ia justru ingin
menghancurkannya sama sekali. Ia tidak menawarkan jalan keluar
dari kebobrokan moral. Ia ingin menghancurkan moralitas sama
sekali, dan mengajak manusia untuk jujur pada dirinya sendiri
sebagai makhluk seksual yang amat mencintai kenikmatan-
kenikmatan yang menyimpang [perverse pleasures). Justru dengan
menyadari hasrat-hasrat menyimpang di dalam diri manusia, dan
tidak menekannya dengan ajaran-ajaran moral tradisional yang
mencekik, manusia bisa merasa lebih merdeka dan bahagia di
dalam hidupnya, dan kebaikan pun nantinya akan ter- cipta. Inilah
yang saya sebut sebagai paradoks penyimpangan (the paradox of
perversity). Dengan cerita-cerita dan tulisannya yang bernada
menertawakan dan meremehkan, ia menantang kekuasaan
tradisional, dan mengungkap kodrat terdalam dari manusia yang
disangkal oleh ajaran moralitas tradisional. 59

Ibid, him. 16. "Even if these topics are partially disconnected, Sade's
ultimate anarchist message comes through: there are no real values
or religious truths, social life is a veritable hell, and man is,
accordingly, a beast by nature."

Ibid, This worldview is coherent enough in its own way, but


De Sade menawarkan cermin pada kita semua. Membaca tulisan-
tulisanya orang akan diajak untuk melihat dirinya sendiri, bersama
dengan pikiran-pikiran maupun motivasi-motivasi tersembunyinya. Ia
mengajak kita untuk jujur pada dorongan-dorongan hewani primitif di
dalam diri kita, dan menatanya dengan sehat serta proporsional.
Sebagai seorang pemikir dan penulis yang hidup lama di rumah sakit
jiwa dan penjara, de Sade menulis tentang sisi-sisi gelap dirinya, yang
sebenarnya juga merupakan sisi-sisi gelap kita semua. Itulah yang
membuat buku-bukunya laku keras terjual semasa ia hidup, sampai
sekarang. Cara ia menulis dan isi tulisannya menggambarkan sisi-sisi
menyimpang dari manusia. Ia mengubah cara pandang kita tentang
apa itu yang jahat, apa itu yang menyimpang, dan apa artinya
menjadi manusia. Tergantung pada kita, apakah kita ingin
mencercanya sebagai seorang pemikir porno, atau sebagai orang yang
dengan berani dan gigih menyadarkan kita dari keterlcnaan kita
sendiri. Tergantung pada kita.

known in the tradition of the good life and religious salvation. He is


not a reformist; he possesses no alternative values. Some
commentators, of course, have tried to portray him as a reformer. For
instance, Lawrence W. Lynch remarks: "In defense of Sade, he
seemed genuinely sincere when he claimed that by portraying vice
with elans and 'wrapped in the colors of hell', he was contributing to
the subsequent avoidance of vice. "12 Rut Sade's expression of his
goals is too equivocal to justify such an apologetic interpretation. He
may claim that he has some educational ends in mind when he writes
a purely negative parody of all things human and shows how
ambiguous our goals are; but this

is mostly either irony or self-protection against the censorship


1....«
3. Kesimpulan dan Catatan

De Sade adalah seorang pemikir Libertin ( libertine thinker).


Dalam arti ini libertinisme adalah paham yang menyatakan, bahwa
orang haruslah melepaskan semua ajaran- ajaran moral yang
mengikatnya, dan membebaskan tubuh serta jiwanya untuk
mendapatkan kenikmatan, walaupun kenikmatan itu terlarang dan
menyakitkan. Seorang libertin akan mengolah dan merangsang
indera-indera di dalam dirinya semaksimal mungkin, sehingga ia
bisa mencapai kenikmatan yang tertinggi. Hal ini tampak di dalam
tulisan- tulisan maupun gaya hidupnya yang berupaya menyebarkan
nilai-nilai libertinisme ke masyarakat luas.

De Sade juga mendefinisikan ulang makna kenikmatan. Baginya


kenikmatan tertinggi tidak dapat dilepaskan dari rasa sakit. Bahkan
ia menyatakan bahwa seks ternikmat ada lah seks yang diikuti
dengan pukulan dan siksaan. Momen orgasme maupun ejakulasi
yang dirasakan oleh orang yang tengah berhubungan seks
sebenarnya amat dekat dengan momen kesakitan, akibat benturan
dan gesekan yang berlangsung lama dan keras. Saya menyebutnya
sebagai paradoks kenikmatan ( paradox of pleasure), yakni pada titik
yang paling ekstrem, kenikmatan tak dapat lagi dibedakan dari rasa
sakit.

Dengan tulisan-tulisan serta gaya hidupnya, de Sade hendak


menantang moralitas tradisional pada jamannya. Ia mau
membongkar sekaligus menertawakan moralitas tradisional yang
munafik. Ia mengejek orang-orang yang tampak baik di mata
masyarakat, walaupun secara diam-diam, ia melakukan semua yang
ia kutuk. De Sade menertawakan dan menge jek habis-habisan para
pemuka agama pada masa ia hidup yang selalu berbicara hal-hal
baik, namun melakukan semua hal-hal buruk yang ia sendiri kutuk.
Ia juga mengejek para penguasa politik yang tampak terhormat,
namun di belakang berperilaku korup dan mesum seperti hewan.
Yang de Sade agungkan adalah ketulusan dan kejujuran sejati yang
mengakui, bahwa manusia tidak pernah sepenuhnya baik, dan
bahwa manusia tak dapat lepas dari kodrat-kodrat he waninya yang
cenderung korup dan menyimpang.

Di balik semua karya tulisnya, baik novel maupun esei- eseinya,


de Sade sebenarnya berbicara tentang kodrat manusia, yakni
tentang apa yang menjadi dimensi terdalam dari manusia. Ia tidak
melihat akal budi sebagai kodrat manusia. Ia juga tidak melihat
perasaan, emosi, ataupun afeksi sebagai kodrat manusia. Yang ia
temukan ketika melihat manusia adalah tubuh dan hasrat-hasrat
yang bergerak di belakang tubuh itu. Dari sini ia pun mengambil
kesimpulan, bahwa kodrat terdalam manusia adalah tubuh-tubuh
penuh hasrat yang dimiliknya. Ia menyebutnya sebagai tubuh
seksual dari manusia. Argumen de Sade ini tentu saja menyimpang
dengan moralitas tradisional. Maka dapatlah dikatakan bahwa
konsepsi manusia de Sade adalah manusia yang menyim pang;
manusia dengan kodrat menyimpang.

Yang juga cukup menarik, pada hemat saya, adalah filsa fat alam
yang dirumuskan de Sade. Ia tidak percaya dengan ajaran klasik,
bahwa alam semesta diciptakan dalam enam hari, seperti dalam
Kitab Suci Kristiani, ajaran yang dominan pada jaman de Sade
hidup. Ia melihat alam semesta sebagai hasil dari konflik dan
benturan keras dari berbagai elemen yang ada. Gesekan
menghasilkan energi, dan dengan energi, alam semesta tercipta.
Bahkan kehidupan pun lahir dari benturan serta gesekan tubuh dari
dua spesies yang berbeda kelamin. Hal ini berlaku untuk hewan,
dan juga, terutama, untuk manusia. Saya menyebutnya sebagai
kosmologi konflik ( cosmology of conflict), di mana segala sesuatu
lahir dari konflik. Pandangan de Sade ini sebenarnya searah dengan
pandangan Herakleitos, seorang filsuf Yunani kuno sebelum
Sokrates, bahwa perang adalah bapak dari segalanya.

Lepas dari sikap lugas, keberanian, serta argumen-argu- mennya


yang provokatif manusia dan perilakunya, de Sade, pada hemat
saya, tetap berat sebelah. Jika saya perhatikan ini tampaknya
kecenderungan para filsuf yang berbicara tentang manusia, yakni
menyempitkan manusia melulu pada satu bidang, dan menganggap
hal-hal di luar bidang itu hanya sebagai tampilan belaka yang
mudah berubah, atau justru tipuan indera saja. De Sade
berpendapat bahwa kodrat terdalam manusia terkait dengan tubuh
dan hasrat- hasrat seksual primitifnya semata. Sisi-sisi lain dari
manusia hanyalah selubung yang menutupi kodrat tersebut. Apakah
ini tepat?

De Sade benar bahwa manusia punya hasrat untuk me nyimpang,


dan semua hasrat itu harus disadari, diakui, dan dikelola dengan
bijak, sehingga tidak bermuara pada perilaku-perilaku korup, seperti
yang kita saksikan sekarang ini. Namun bukan berarti hasrat untuk
menyimpang itu adalah kodrat terdalam manusia. Itu sama saja
dengan mengatakan, bahwa karena ada beberapa efek tidak sehat
dari memakan nasi, maka nasi itu adalah racun. Itu argumen yang
berlebihan, dan tidak taat pada asas-asas penarikan kesimpulan.
Sisi gelap manusia dan peradaban yang diciptakannya harus
diakui sepenuhnya, dan secara bijak dikendalikan, atau di arahkan
untuk menghasilkan hal-hal baik bagi semua. Dc Sade tidak
berbicara sampai ke situ. Namun menurut saya ia seharusnya mulai
dari sisi gelap manusia, dan merumuskan filsafatnya mulai dari situ.
Hasrat-hasrat seksual dan menyimpang manusia bukanlah
kesimpulan dari suatu refleksi filsafat, tetapi justru merupakan titik
tolak untuk membangun filsafat yang baru, yang lebih
membebaskan dan mencerahkan.

Pertanyaan kunci berikutnya adalah, bagaimana kita bisa


memahami fenomena korupsi dari sudut pandang filsafat de Sade?
Tentu saja ia tidak secara langsung membahas tema korupsi. Namun
dari karya-karyanya, kita bisa menarik semacam argumen tentang
korupsi. Bagi de Sade korupsi adalah bentuk konkret dari
pemburuan kenikmatan tanpa batas yang dilakukan oleh manusia,
yang selalu diselubungi oleh kemunafikan penampilan dan
pencitraan. Dengan kata lain kecenderungan untuk bersikap korup
sudah tertanam di dalam hasrat manusia untuk merenggut
kenikmatan ekstrem tanpa batas, dan sikap mendua atas
kenikmatan itu sendiri, bahwa manusia selalu malu atas hasrat-
hasrat pemburuan kenikmatan yang ada di dalam dirinya, namun
secara diam-diam menjadikannya bagian dari aktivitas keseharian -
nya. De Sade dengan tajam membedah hal ini, dan ini, pada hemat
saya, menjadi salah satu argumen tajam dari de Sade untuk
membantu kita membantu memahami situasi-situasi manusiawi
yang bercokol di dalam diri kita sendiri, yang seringkah tidak kita
sadari.
Bab 3

Korupsi dan Sisi Hewani Manusia

P
ada bagian sebelumnya kita sudah melihat, bahwa pemburuan
kenikmatan adalah akar dari kejahatan, sisi gelap manusia, dan
amat terkait dengan sikap korup manusia. Bagi de Sade kenikmatan
tertinggi yang bisa diraih manusia adalah kenikmatan yang
menyimpang, yakni kenikmatan yang disertai dengan rasa sakit.
Manusia bersedia melakukan apa pun, termasuk berbuat kejam
menyakiti sesamanya, serta bertindak korup dengan merugikan
rakyat yang sudah menderita hidupnya, guna mendapatkan
kenikmatan tertinggi semacam ini. Kehendak untuk berkuasa,
bertindak korup, dan menaklukan, serta pemburuan kenikmatan
bisa dianggap sebagai ekspresi dari sisi-sisi hewani manusia, dan
akar antropologis dari perilaku korupsi. Pada bagian ini saya akan
menjelaskan argumen tersebut dengan menggunakan pemikiran
Elias Canetti.

Indonesia adalah tanah yang penuh dengan korupsi dan konflik


sosial. Ungkapan itu tidak berlebihan. Dalam kon teks konflik sosial,
seperti dicatat oleh Imparsial, lembaga swadaya masyarakat yang
berfokus pada pengembangan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia,
pada 2008 lalu saja, ada setidaknya 1.136 konflik kekerasan massal
di Indonesia, dengan rata-rata 3 kejadian setiap harinya. Detilnya
sebagai berikut: Penghakiman massa terjadi 338 kali [30 %),
tawuran massal terjadi 240 kali (21 %), konflik massal

bernuasa politik terjadi 180 kali (16%), konflik bernuansa perebutan


sumber daya ekonomi terjadi 123 kali (11%), konflik perebutan
sumber daya alam terjadi 109 kali (io%), pengeroyokan massal
terjadi 47 kali (4%), konflik bernuansa agama dan etnis terjadi 28
kali (2 %), dan konflik massal lainnya terjadi 56 kali (5%). Dari
semua konflik tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh Rusdi
Marpaung, Direktur Im- parsial, ada 1 1 2 orang meninggal, dan
1736 orang mengalami luka-luka/' Kita masih belum menyimak
beragam konflik massal lainnya yang lolos dari pengamatan
Imparsial.

Mundur sedikit pada 21 Mei 1991 terjadi konflik keras antara


pemerintah dengan organisasi Islam di Algcria terkait diskriminasi
yang terjadi di sana. Awalnya adalah sebuah demonstrasi damai,
namun dalam sekejap mata berubah menjadi konflik berdarah yang
ditanggapi dengan amat kejam oleh militer. Konflik dengan pola
sama berulang sepanjang 1991. Jika ditotal sebagaimana dicatat
oleh The Robert Strauss Ccntcr for International Sccurity and La w,
ada lebih dari 400 konflik massal yang terjadi di Afrika. Beberapa di
antaranya memakan korban ratusan ribu jiwa. 24 ' Dapat dikatakan
bahwa fenomena kekerasaan massa, dalam bentuk konflik sosial
yang melahirkan korban jiwa, adalah fenomena yang cukup umum
di dalam sejarah manusia, mulai dari pemberontakan budak pada
masa Romawi Kuno, perang salib, pembantaian massal orang-orang
Yahudi pada masa perang dunia kedua, pembantaian orang-orang
yang dituduh PKI pada 1965-1972 di Indonesia, sampai kerusuhan
maupun konflik massal yang terjadi sepanjang 1998-1999 di
Indonesia. Bagaimana kita bisa memahami fenomena mengerikan
ini, dan berbagai perilaku korup para pejabat publik kita, yang
beritanya sudah amat sering kita dengar baik di media cetak,
maupun media elektronik?

Saya akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan


menggunakan pemikiran Elias Canetti di dalam buku Crowds and
Power (Massa dan Kekuasaan). Ia memberikan argumen menarik,
bahwa lepas dari segala sifat luhurnya, manusia memiliki kodrat
hewani yang tertanam jauh di dalam dirinya. Kodrat hewani inilah
yang memungkinkan manusia, lepas dari semua sebab ekonomi dan
politis, berubah, bertindak korup, berkumpul sebagai massa, dan
bertindak kejam terhadap manusia lainnya.

Untuk menjelaskan argumen tersebut, tulisan ini akan dibagi ke


dalam tiga bagian. Awalnya saya akan memperke nalkan sosok

24 ' http:// ccaps.strausscenter.org/ scad/conflicts/search?page=4


&querv=discrimination&x=o&v=o diakses pada 10 Novem-
pribadi dan karya dari Elias Canetti (1). Lalu saya akan menjabarkan
beberapa konsep dasar di dalam pemikiran Canetti, terutama yang
terdapat di dalam karya magnum opus-nya, yakni Crowds and Power
terkait dengan hubungan antara manusia dan massa (2). Tulisan ini
akan ditutup dengan beberapa butir kesimpulan penting terkait
dengan beberapa argumen Canetti, serta tanggapan kritis atasnya
(3). Sebagai dasar teoritis saya mengacu pada pe mikiran Ritchie
Robertson, F. Budi Hardiman, dan, tentu saja, Elias Canetti sendiri.

1. Elias Canetti25 dan Destruksi Filsafat Tradisional

Elias Canetti (1905-1994) adalah orang Jerman ketu runan


Bulgaria. Ia dikenal sebagai seorang filsuf, penulis novel, penulis
esei, sosiolog, dan penulis naskah drama. Pada 1981 ia meraih
hadiah Nobel untuk kategori sastra dan literatur. Karyanya yang
paling terkenal adalah Crowds and Power yang diterbitkan pada
i960. Buku itulah hendak saya jabarkan dan tanggapi di dalam
tulisan ini. Di dalam buku itu, ia mencoba memahami fenomena
gerakan massa, dan aspek-aspek yang mengitarinya. Untuk itu ia
membaca berbagai peristiwa sejarah, mitos, dan karya-karya sastra
yang tersebar di berbagai kebudayaan dunia.

Menurut beberapa komentator pemikiran Canetti, buku itu


sendiri lahir dari keprihatinan Canetti, ketika melihat pembakaran
Palace of Justice di Wina, Austria pada 1927. Buku itu sendiri
nantinya terbit pada 1930-an, namun baru menarik perhatian
banyak orang pada dekade 1960-an, tepatnya setelah Canetti
6j
25 Seluruh bagian ini diinspirasikan dan diringkas dari http://
kirjasto.sci.fi/ecanetti.htm (2 november 2011 jam 12.14).
memperoleh hadiah Nobel untuk kategori sastra dan literatur.
Sebagian besar hidupnya dihabiskan di London. Namun begitu ia
tidak banyak mengembangkan hubungan dengan para penulis
maupun pemikir dari Inggris.

Elias Canetti lahir di Ruse, Bulgaria, dari keluarga peda gang


Yahudi. Dari keluarga itu, ayah seorang pengusaha dan ibu seorang
pecinta sastra, Canetti memperoleh ketrampil- an berbahasa
Jerman, Spanyol (kuno), Bulgaria, dan Inggris. Namun pada akhirnya
ia memilih untuk menulis di dalam bahasa Jerman, terutama karena
cinta dan simpatinya pada kebudayaan Jerman. Pada masa muda ia
pernah belajar di Zuerich, dan berhasil menghasilkan karya
pertamanya, yakni naskah drama yang berjudul Junius Brutus. Pada
masa- masa ini pula, ia berjumpa dengan Bertolt Brecht, dan mu lai
menulis karya-karya drama dengan tema dasar kegilaan manusia.

Pada 1929 Canetti memperoleh gelar doktor dalam bi dang kimia


dari Universitas Wina. Pada masa-masa inilah ia mengalami
peristiwa yang nantinya membekas dalam di dalam pikirannya,
yakni pembakaran Palace of Justice oleh massa demonstran. Ketika
pembakaran terjadi ia tepat berada di antara massa, dan merasakan
betul apa yang terjadi, ketika orang hanyut dalam dinamika massa.
Rupanya Canetti cukup peka. Ia melihat gejala kebencian dan
diskriminasi pada orang-orang Yahudi oleh Nazi Jerman, partai
politik yang pada masa itu mulai berkuasa. Ia pun pergi ke Inggris,
dan tinggal di sana sampai mati. Ketakutan pada fenomena
kekerasan massa dan trauma yang dialaminya, akibat diskriminasi
Nazi Jerman, mendorongnya untuk menulis buku Crowds and Power.

Di dalam buku tersebut, Canetti memulai analisisnya dengan


pengandaian dasar, bahwa setiap orang memiliki insting alamiah
untuk tergabung di dalam massa. Dan salah satu ciri mendasar dari
massa adalah kemampuannya untuk menghancurkan. "Bentuk
terendah dari upaya penyelamat-

an diri", demikian tulisnya, "adalah membunuh." 63 Buku itu terbagi


dua. Bagian pertama adalah analisis Canetti tentang beragam
bentuk massa yang ada di dalam peradaban manusia. Sementara
bagian kedua lebih bergulat dengan persoalan berikut, mengapa
massa, yang begitu liar dan destruktif, seringkah terkait dengan
fenomena kekuasaan tertentu? Pada bagian kedua ini, walaupun
tersembunyi, Canetti berbicara tentang Hitler dan bentuk kekuasaan
yang ia punya di Jerman, sebelum era perang dunia kedua. Pada
hemat saya yang menjadi tujuan dari buku Crowds and Power adalah
mengajak orang menyadari hadirnya gerak massa dan penguasa to -
taliter di masyarakat, serta berupaya untuk menanggulangi sisi
merusak dari dua fenomena itu.

Sebelum ia menjadi terkenal di dunia, karena meraih hadiah


Nobel, Canetti hidup dengan amat sederhana di kota kecil bernama
Hampstead. Sebagai seorang pribadi ia terkenal amat nyentrik. Ia
tak suka mendengarkan orang lain berbicara. Bahkan ia menulis
buku hariannya dengan bahasa sandi, sehingga orang lain tidak
mengerti. Ia juga terkenal sebagai orang yang sombong. Pada suatu
waktu ia diminta untuk menulis esei pendek tentang salah satu
buku yang baru terbit di Jerman. Namun ia menolaknya karena ia
merasa, bahwa buku itu tidak cukup bagus untuk dikomentari.
Berbagai penghargaan diterimanya, seperti Foreign Book Prize
(1949, I rance), Vienna Prize (1966), Critics Prize (1967, Germany),
Great Austrian State Prize (1967), Bavarien Academy of Fine Arts
Prize (1969), Biih- ner Prize (1972), Nelly Sachs Prize (1975), Order
of Merit (1979, Germany), Europa Prato Prize (1980, Italy), Hebbel
Prize (1980), Kafka Prize (1981), Great Service Cross (1983,
Germany). Selain itu Canetti juga mendapatkan gelar dok tor
kehormatan dari dua universitas. Pada 13 Agustus 1994, ia
meninggal di Zuerich, Swiss.

Pemikiran Canetti yang paling menonjol adalah soal psikologi dan


sosiologi massa. 26 Di dalam biografinya sebagaimana dicatat oleh
Budi Hardiman, Canetti pernah menulis begini, "Sekarang aku
mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku berhasil membungkus
abad ini ke dalam tenggorokan." 27 Untuk memahami arti dari
pernyataan ini, kita perlu membaca bukunya yang berjudul C rowds
ancl Power. Buku ini memiliki isi yang amat pelik, bukan karena
kesulitan bahasanya, karena Canetti justru menulis dengan bahasa
yang amat enak dibaca, namun karena pemaparan
fenomenologisnya tentang manusia dan massa. Ada 10 bab dalam
buku itu yang terdiri 105 pemaparan- pemaparan pendek. Di
dalamnya kita juga bisa melihat berbagai lukisan-lukisan hewani
26 Untuk berikutnya saya terinspirasi dari Budi I Iardiman, "Elias
27 Canetti dan Filsafat Zoologis", Jurnal Driyarkara, Th. XXIX
yang sering dimaksudkan oleh Canetti untuk menggambarkan
manusia. "Canetti", demikian tulis Budi Hardiman, "tampaknya
berbicara tentang perilaku hewan, namun sesungguhnya yang
dimaksudkannya adalah perilaku manusia." ,> "

Namun sebaliknya juga benar. Canetti hendak menggam barkan


perilaku manusia sambil menjelaskan mekanisme perilaku hewan-
hewan. Dan dengan itu ia ingin membongkar perasaan-perasaan
hewani di dalam diri manusia. Menurut Budi Hardiman tujuan buku
itu adalah mengamati perilaku manusia di dalam rezim totaliter.
Secara spesifik Canetti memaksudkan rezim NAZI Jerman yang
berkuasa pada masa perang dunia kedua. Ada satu pertanyaan yang
menggantung di dalam keseluruhan buku itu, yakni mengapa ma -
nusia, lepas dari segala pencapaian luhur dari peradaban dan ilmu
pengetahuan, tetap melakukan kekerasaan brutal pada manusia
lainnya? Jawaban Canetti cukup jelas, karena manusia tidak juga
beranjak dari kodrat hewaninya yang brutal dan merusak. Inilah
yang kiranya terjadi sepanjang abad ke 20, yakni pembantaian
massal dan konflik massal berdarah yang dilakukan oleh
pemerintahan totaliter.

Buku Crowds and Power lebih banyak berisi deskripsi- deskripsi,


dan bukan analisis gamblang yang biasa ditemu kan di dalam buku-
buku filsafat. Dapat dikatakan sebagaimana ditegaskan oleh Budi
Hardiman, buku itu adalah suatu fenomenologi tentang massa dan
kekuasaan. 1 ' 7 Bahkan ia mengatakan bahwa buku itu amat tepat
disebut sebagai buku filsafat zoologis, karena banyak berisi tentang
pengamatan atas beragam perilaku hewan di habitatnya masing-
masing. Dengan kekuatan analisis dan penggamba rannya, Canetti
menghancurkan pandangan tentang manusia yang amat luhur, yang
dijaga dengan amat ketat oleh teologi maupun filsafat tradisional. 1,8

Ibid, hlm. 3.

Filsafat zoologis menurut Budi Hardiman hendak menantang


pemahaman-pemahaman tradisional di dalam filsa fat, terutama
filsafat manusia. Posisi yang diambilnya adalah rasa heran,
mengapa setelah majunya ilmu pengetahuan, filsafat, dan
teknologi, manusia tetap tidak mampu menjinakkan naluri-naluri
hewaninya yang seringkah brutal dan merusak? Maka upaya untuk
memahami manusia tidaklah disebut sebagai antropologi (ilmu
tentang manusia), melainkan zoologi, yakni ilmu tentang perilaku
hewan-hewan. Pengandaian dasar filsafat zoologis, menurut Budi
Hardiman, adalah epistemologi naturalistik, bahwa semua perilaku
dan tindakan manusia didasari oleh suatu motif primitif yang dapat
ditemukan pada hewan-hewan yang hidup di hutan rimba. 69

Di dalam filsafat modern, manusia dianggap sebagai subjek yang


memiliki kesadaran. Dengan kesadarannya tersebut manusia
memisahkan diri dari alam, dan menciptakan dunianya sendiri yang
cukup diri, yakni masyarakat, desa, dan kota. Canetti dengan
filsafat zoologisnya curiga dengan argumen ini. Baginya kesadaran
manusia modern adalah jalan berputar yang ujungnya adalah
pemuasan naluri-naluri hewani semata. Bahkan saya berani
mengatakan, bahwa kesadaran subjek yang rasional khas filsafat
modern pada hakekatnya hanya selubung yang menutupi naluri-
naluri hewani yang tertanam di dalam kodrat manusia yang, jika
kita mau jeli, dapat dengan mudah terlihat di dalam peri laku
hidupnya sehari-hari.

Di dalam agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam),


manusia dianggap memiliki suara hati. Bahkan juga dikatakan
bahwa suara hati adalah "suara Tuhan" yang berbicara kepada
manusia, dan membantunya membuat kepu- tusan-keputusan dalam
hidupnya. Dengan pengandaian dasar ini, manusia dianggap
sebagai makhluk transendental. Namun sebagaimana dinyatakan
oleh Budi Hardiman, Ca- netti memiliki pendapat yang berbeda.
Baginya suara hati itu seperti sengatan dari dalam diri manusia
untuk memutuskan sesuatu. Sengatan itu seringkah datang dari
perintah luar yang diinternalisasi, dan kemudian mengendap di da -
lam pikiran manusia. 70 Perintah itu datang pihak yang lebih kuat,
seperti layaknya singa si raja hutan punya hak untuk memangsa
hewan-hewan yang lebih lemah, begitu pula di dalam masyarakat,
orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi berhak mendikte
perintah pada mereka yang lebih lemah. Maka sebagaimana
dinyatakan oleh Budi Hardiman, suara hati manusia bukanlah suara
Tuhan, melainkan suara naluri hewani kita yang bisa dirunut
panjang ke nenek moyang hewani manusia itu sendiri yang selalu
takut pada pemangsa yang lebih kuat.

Bagi Canetti manusia adalah makhluk yang tak pernah bisa lepas
dari massa, atau kerumunan. Dalam konteks agama Canetti,
menurut Budi Hardiman, melihat bahwa komunitas surgawi yang
terdiri dari orang-orang kudus dan para nabi juga merupakan suatu
bentuk massa atau kerumunan, walaupun tak tampak oleh mata.
Bahkan manusia sendiri juga dapat dilihat sebagai kumpulan dari
sel, atau massa/kerumunan sel. Proses terciptanya massa juga lahir
dari kerumuman sperma yang hendak menembus sel telur
perempuan. Hanya sel sperma yang kuat, sel survivor, yang pada
akhirnya berbuah menjadi kehidupan baru. Tak hanya itu Canetti
juga banyak berbicara mengenai fenomena kerasukan, ritual,
topeng, dan inses yang selalu terkait dengan kekuasaan. Baginya
itu semua adalah bagian tak terpisahkan dari kodrat manusia itu
sendiri. Pertanyaan dasar Canetti adalah, "Apa artinya menjadi
manusia di tengah-tengah keniscayaan naluri-naluri rimbanya?" 71

Budi Hardiman melanjutkan bahwa ada dua argumen dasar di


dalam buku Crowds and Power tulisan Elias Canetti. Pertama, ia
menulis tentang konsep "rasa takut untuk persentuhan". Intinya
begini bahwa tatanan sosial, seperti masyarakat, bangsa, dan
negara, tidak lahir karena kebutuhan ataupun kontrak sosial
semata, tetapi karena warga takut untuk saling bersentuhan dengan
warga lainnya. Karena takut bersentuh warga negara menciptakan
ruang jarak antara satu sama lain. Inilah logika terciptanya beragam
strata sosial di masyarakat. Pada satu titik rasa takut un tuk
bersentuhan itu tak lagi tertahankan, lalu terciptalah sebaliknya,
yakni massa atau kerumunan yang merupakan persentuhan total
antara berbagai warga negara menjadi satu keutuhan. Dalam
bahasa Budi Hardiman, di dalam tafsirannya tentang pemikiran
Canetti, massa adalah ketagihan atas persentuhan.
Kedua, argumen penting Canetti yang kedua adalah soal
metamorfosis, atau perubahan. Baginya manusia adalah se-
jenis hewan yang amat mampu melakukan proses metamorfosis. Di
dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, sebagaimana dinyatakan oleh
Dilthey, kunci utama adalah kemampuan peneliti untuk melakukan
empati, yakni mengambil posisi orang lain, lalu melihat dunia dari
sudut pandangnya. Dengan cara inilah manusia bisa sampai pada
pemahaman. Namun bagi Canetti empati adalah kemampuan utama
manusia untuk bersikap "seolah-olah berbeda dengan dirinya
sendiri",72 dan menjadi sesuatu yang lain. Dengan empati ini manusia
bisa berpura-pura menjadi orang lain. Ia bisa mengubah dirinya,
meniru makhluk lain, dan menyelamatkan dirinya. Mirip seperti
bunglon manusia bisa berkamuflase, dan bahkan bermimikri, seperti
hewan, untuk memenuhi kebutuhannya. Seluruh buku Canetti dapat
dipandang sebagai upaya untuk melakukan studi sistematis
fenomenologi kekuasaan dalam kaitannya dengan massa dan
kemampuan manusia untuk mengubah dirinya sendiri.

2. Massa dan Kekuasaan


Canetti memulai buku Crowds and Power dengan pemaparan
fenomenologis, bahwa manusia takut pada segala sesuatu yang asing
dari dirinya. Keasingan itu menakutkan dan meningkatkan kecemasan.
Untuk itu manusia kemudian memberi nama, dan
mengkategorikannya. Terlebih manusia tak mau bersentuhan secara
fisik dengan benda-benda yang asing baginya. Jika itu terjadi maka
reaksi spontannya adalah rasa panik. Salah satu mekanisme
perlindungan diri manusia, menurut Canetti, adalah pakaian. Namun
begitu

pakaian pun tak juga cukup. Setelah pakaian itu disobek, maka
manusia kembali telanjang, dan rapuh pada hal-hal asing yang siap
menyentuh dirinya. 73

Sebagai mekanisme perlindungan dirinya, manusia juga


menciptakan jarak dari sekitarnya. Jarak dengan demikian menurut
Canetti adalah hasil dari rasa takut dan cemas terhadap
persentuhan dengan manusia lain, atau dengan benda-benda lain.
Misalnya di kota-kota besar, kita dengan mudah dapat menemukan
adanya orang-orang yang mengunci diri mereka di rumahnya
masing-masing, membangun pagar tinggi, memelihara anjing
penjaga, dan, seolah semua itu tak cukup, memasang alarm anti
maling. Hanya dengan begitu ia akan merasa aman, walaupun tak
pernah sungguh-sungguh aman. "Ketakutan pada perampok", demi -
kian tulis Canetti, "bukanlah hanya ketakutan akan dirampok, tetapi
juga ketakutan atas hal-hal yang tiba-tiba yang berasal dari
kegelapan." 74 Dengan kata lain pagar dan segala macam alat
pengaman yang terpasang di rumah-rumah besar di kota-kota besar
tidak murni merupakan perlindungan dari perampokan, tetapi lebih
pada ketakutan pada yang tak terduga dan yang asing itu sendiri.

Dapat kita simpulkan bahwa pengandaian antropologis Canetti


adalah manusia sebagai makhluk yang takut bersentuhan dengan
yang asing dari dirinya. Namun pemahaman ini berubah, setelah
manusia mengubah dirinya, dan masuk menjadi massa bersama
manusia-manusia lainnya. Di

73
Canetti, Elias, Qrowds and Power, Farrar, Straus & Giroux,

New York, 1984, hlm. 15. 7< Ibid

dalam massa manusia tak takut untuk bersentuhan dengan manusia


lain, walaupun ia tak mengenalnya secara priba di. Sebaliknya
manusia juga merasa nikmat bersentuhan dengan manusia lainya,
ketika ia menjelma menjadi massa. Dalam arti ini massa, menurut
Canetti, adalah massa yang padat, yakni massa yang terdiri dari
tubuh-tubuh manusia yang saling berdesakan. Tubuh itu anonim
dalam arti tidak mengenal satu sama lain, namun mereka menjelma
menjadi satu gerak, yaitu gerak massa. "Tepat setelah manusia me -
nyerahkan dirinya ke dalam massa," demikian tulisnya, "ia tidak
lagi takut untuk disentuh." 75 Di dalam massa manusia berubah
menjadi apa yang bukan dirinya, dan menjadi sesuatu yang lain,
yang memiliki cara berpikir maupun pola perilaku yang amat
berbeda dari sebelumnya.

Buku C rowds and Power juga dapat dibaca sebagai sebuah upaya
sistematis untuk memahami hakekat manusia dan masyarakat
dalam kaca mata naturalisme Darwinian. 76 Dalam arti ini
naturalisme adalah paham yang mencoba memahami manusia
sebagai bagian dari alam natural yang tidak memiliki kaitan dengan
segala sesuatu yang berbau transenden, seperti ciptaan Tuhan
misalnya. 77 Naturalisme banyak menimba pemikiran dari kemajuan
ilmu-ilmu alam, seperti biologi, di dalam memahami manusia.
Robertson - di da-

» Ibid.

76 Pada bagian ini saya mengikuti uraian dari Robertson, Ritchie,


"Canetti and Nietzsche", dalam A Companion to the Works of Elias
Canetti, Lorenz, Dagmar (cd), Camden House, New York, 2004,
him. 201-216.

77 Ruse, Michael, Evolutionary Naturalism, Routledge, London,

lam pemaparannya tentang pemikiran Canetti - menulis dengan


amat menarik tentang ini, "Naturalisme Darwinian adalah upaya
agung...untuk membawa manusia kembali kepada alam, untuk
menyingkirkan semua bentuk rumusan idealistik yang telah
mengganggu rumusan asli, yakni homo natura."*
Semua ini dimulai ketika Darwin mempublikasikan karyanya yang
berjudul The Origin of Species (1859) dan The Descent of Man
(1871). 79 Kesimpulan kontroversial dari kedua karya itu adalah,
bahwa manusia bukanlah makhluk yang diciptakan menurut citra
Tuhan yang agung dan sempurna, melainkan hanya "sejenis hewan
yang spesial". 80 Dengan pemahaman ini para filsuf mulai menyusun
sebuah teori tentang lahirnya masyarakat dan berbagai komunitas
sosial yang ada di dunia. Caranya tidak lagi melihat ke alam
transenden-ilahi, melainkan dengan mengamati apa yang terjadi di
dalam dunia binatang. Di dalam buku Crowds and Power
(selanjutnya saya singkat menjadi CP), Canetti banyak mengamati
praktek-praktek yang terjadi di dalam

Robertson, Ritchie, "Canetti and Nietzsche", him. 201. "Darwinian


naturalism is a grandiose attempt, in Nietzsche's words, to translate
man bach into nature, to remove the idealistic scrib- blings that had
disfigured the original text "homo natura."

Stamos, David, Darwin and the Nature of Species, State University


of New York Press, New York, 2007, him. x.

Robertson, Ritchie, "Canetti and Nietzsche", him. 201. "The


theory of evolution set out in The Origin of Species (1859) and
explicitly applied to humanity in The Descent of Man (1871), though
contested in its time, eventually pulled together many previous
explorations of man's place within the natural world and confirmed
that man was to be understood not as divinely

peradaban primitif manusia, dan juga perilaku binatang. Dua


fenomena ini menjadi titik tolak refleksinya tentang manusia dan
peradaban.
Di balik upaya Canetti untuk memahami manusia mela lui
pengamatannya pada perilaku binatang dan perilaku suku-suku
primitif, terletak satu motif sederhana, yakni menjadikan manusia
sebagai bagian integral dari dunia, dan menjadikan dunia sebagai
rumah manusia. Manusia bukanlah makhluk yang lebih tinggi, lebih
luhur, atau lebih suci, melainkan merupakan bagian integral dari
alam itu sendiri dengan segala keganasan dan ambivalensinya.
Namun di sisi lain, seperti dicatat oleh Robertson, perilaku binatang
seringkah amat kejam. Ada beberapa binatang yang memakan
anaknya sendiri. Beberapa membunuh saudara kandungnya sendiri.
Dan sama seperti binatang manusia pun memiliki kekuatan. Bagi
Canotti kekuatan manusia adalah sesuatu yang amat individual dan
sifatnya alamiah, yakni dalam bentuk kekuatan fisik, seperti juga
pada binatang. "Bentuk kekuatan yang paling dasar", demikian tulis
Robertson tentang Canotti, "adalah membunuh mangsa."*' Alat
yang digunakan untuk membunuh adalah tubuh, yakni organ-organ
pelumat yang kuat, yang dimiliki manusia, seperti mulut,
cengkraman, gigi untuk mengunyah, dan sebagainya. Semua ini
adalah tanda kekuatan alamiah manusia yang bersifat amat primitif.
Teror primitif yang sifatnya hewani, seperti kijang yang siap
dimangsa oleh singa, bisa muncul, ketika bahu kita dicengkram oleh
perampok, atau oleh tatapan ganas dan liar dari pemerkosa.

Namun sebagaimana dibaca oleh Robertson, kekuatan diri


manusia tidaklah identik dengan kekuatan fisik semata. Manusia
juga bisa memiliki keunggulan psikologis dari lawan ataupun
mangsanya. Misalnya ketika kita melihat perjamuan makan malam
para politisi yang sebenarnya saling membenci dan bermusuhan.
Tentang ini Canetti punya sudut pandang menarik. Baginya makan
malam bersama antara politisi yang saling bermusuhan memiliki
makna tersembunyi yang tak terkatakan, bahwa mereka tidak akan
saling menghancurkan satu sama lain. Lebih tepatnya bahwa
mereka tidak akan saling memakan satu sama lain, lepas dari
garpu, pisau, dan sendok yang ada di tangan mereka, ketika mereka
makan bersama. Di dalam percakapan biasanya ada tawa. Di dalam
dunia binatang, tawa adalah pengganti ma kanan. Bahkan hyena
tertawa jika makanannya direbut. Para politisi pun juga tertawa
untuk menutupi fakta kotor, bahwa mereka bisa memakan dan
menghancurkan lawan politiknya yang sedang makan bersama
mereka. 82 Tawa adalah simbol kekuasaan dan kemampuan untuk
menaklukkan.

Kekuatan penjelasan Canetti tentang makna kekuatan


(kekuasaan) adalah kedekatannya dengan pengalaman kita sehari-
hari yang bersifat alamiah. Dengan kegamblangan yang amat
hewani, ia melihat unsur hewani manusia di dalam tindakan
bernafas dan mengunyah. Di balik semua ini, kita bisa melihat
pengandaian antropologis Canetti. Baginya manusia adalah makhluk
yang cinta menyendiri (soliter),

J
Ibid, him. 204. "Laughter, in which we bare our teeth, is associated with
food. Originally it expressed pleasure at the prospect of food; now it
expresses our sense of power over a helpless being- dan selalu
bernafsu untuk menaklukan manusia lainnya. 83 Ia adalah
makhluk yang selalu siap berperang melawan semua. Dalam arti
ini seperti dicatat oleh Robertson, kehidupan sosial manusia
adalah upaya sementara untuk meredam naf su manusia untuk
menaklukan sesamanya. Bahkan Canetti menulis begini, bahwa
kita perlu untuk menjadi seorang kanibal, karena tindakan
tersebut adalah simbol yang paling memuaskan dari upaya
menguasai orang lain. 84
Menurut analisis yang dibuat Robertson, Canetti amat
mengagumi satu jenis kekuatan psikologis yang dimiliki ma nusia.
Kekuatan itu adalah kekuatan seorang survivor, yakni orang yang
selamat dari tragedi besar yang menimpanya. Canetti
membayangkan seorang pria tua yang tetap hidup melewati
berbagai tragedi hidup, walaupun semua teman dan keluarganya
telah mati. Ia hidup melewati berbagai perang dan wabah yang
menimpa komunitasnya. Sosok seorang survivor juga dapat dilihat
pada seorang penguasa yang berhasil menghancurkan musuh-
musuhnya. Sebagai contoh empiris Canetti menyebut nama dua
orang, yakni Muhammad Tughlak dan Daniel Schreber. Tughlak
adalah penguasa kota Delhi di India. Ia benci pada semua penghuni
kota itu, dan berfantasi mengusir mereka semua. Ia merasa bahagia
membayangkan hidup sendiri bersama keluarganya di kota yang
besar itu. Sementara Daniel Schreber adalah seorang hakim yang
memiliki fantasi mengerikan, yakni menjadi

Newey, Glen, Hobbes and Leviathan, Routledge, London, 2008, hlm.


57.

Robertson, Ritchie, "Canetti and Nietzsche", hlm. 204. "Ac-


cording to Canetti's account, indeed, we ought all to be canni- bals,
because to incorporate another person by eating him should

manusia terakhir yang hidup, dan kemudian diminta oleh Tuhan


untuk memulai terbentuknya spesies yang baru. Se mua ini menurut
Robertson adalah upaya Canetti untuk memahami Hitler yang
secara terselubung menjadi tema utama kajiannya di buku CP.® 5
Di dalam salah satu bagian buku CP, Canetti mengupas kisah
hidup seorang sejarahwan Romawi yang bernama Josephus. Ia
sempat membantu orang-orang Yahudi untuk memberontak
terhadap pemerintah Romawi. Upaya itu berakhir dengan jatuhnya
Yerusalem ke tangan tentara Romawi pada 70 tahun setelah Masehi.
Bersama empat puluh pengikutnya, Josephus bersembunyi di gua.
Setelah berdiskusi mereka pun sampai pada kesepakatan untuk
melakukan bunuh diri bersama, daripada jatuh ke tangan
Kekaisaran Romawi. Sejujurnya Josephus tidak mau bunuh diri.
Namun kesepakatan kelompok menderanya. Ia pun mengajukan
usul, supaya dibuat semacam undian, bahwa orang yang kedua
yang mendapatkan undian harus membunuh orang pertama, orang
ketiga membunuh orang kedua, dan seterusnya. Orang terakhir
haruslah membunuh dirinya sendiri. Dengan berbagai cara yang
licik, Josephus akhirnya mendapatkan undian terakhir. Namun ia
tidak membunuh dirinya sendiri. Ia pun kabur dari gua, dan
kemudian kembali hidup menjadi orang Romawi di dalam kekayaan
dan kemakmuran. 86

Ibid, Canetti's exploration of these cases is not only fascinating in


itself but provides an indirect way of talking about Hitler; the
paranoid despot who is scarcely ever named in Crowds and Power but
makes his presence felt throughout."

Ibid, him. 205. "For our purposes, the most interesting survivor
Namun bisakah karakter ganjil dari Tughlak, Josephus, dan Schreber
dianggap sebagai karakter umum dari umat manusia? Bukankah
dengan pola berpikir semacam ini, Canetti jatuh pada generalisasi
yang semena-mena tentang kodrat dan hakekat manusia? Jika ditanya
begitu saya kira Canetti akan menjawab begini, ketiga orang itu
memang memiliki karakter ganjil. Namun di balik keganjilan tersebut,
kita bisa melihat dorongan alamiah yang ada di dalam diri setiap
orang, yakni dorongan untuk menyelamatkan diri. Di dalam peradaban
modern, dorongan untuk menyelamatkan diri ini seolah menjadi jinak,
karena dimediasi oleh institusi hukum modern.8" Masyarakat modern
beroperasi dengan pengandaian dasar, bahwa setiap orang bisa
mempercayai setiap orang. Dan dengan kepercayaan yang bersifat
kolektif tersebut, setiap orang diuntungkan. Artinya setiap orang
berhasil menyelamatkan dirinya. Institusi modern dianggap mampu
mengangkat naluri purba manusia ke level yang lebih beradab, dan
dengan demikian menguntungkan semua pihak yang terlibat.88 Namun
ini semua tidak menutupi fakta gamblang, bahwa institusi modern tak
selalu berhasil meredam gejolak naluri primitif manusia.

Canetti curiga pada institusi. Bahkan menurut Robertson pandangan


Canetti tentang hidup sosial amatlah suram. Dalam arti ini hidup
sosial, menurut Canetti, adalah "situasi di mana satu orang
memberikan perintah pada orang lainnya." 28 Situasi ini mirip dengan
kehidupan dunia hewan, di mana mangsa melarikan diri, karena takut
akan dimangsa oleh hewan lain yang lebih kuat. Di dalam kehidupan
sosial, setiap perintah yang diberikan oleh penguasa, entah itu bos
ataupun penguasa politik, selalu didukung oleh ancaman yang
tersembunyi di belakangnya. Ancaman yang paling mengerikan, tentu
saja, adalah ancaman akan kematian dan pembunuhan. Sebagaimana
dicatat oleh Robertson, Canetti berpendapat, bahwa setiap bentuk
perintah terdiri dari dua aspek. Aspek pertama adalah momen, ketika
si penerima perintah dipaksa untuk patuh. Aspek kedua adalah
ancaman menusuk yang mendukung dan tersembunyi di balik
perintah tersebut.29 Dalam arti ini ketika setiap perintah dipatuhi,
peristiwa tidak selesai. Si penerima dan pelaksana perintah selalu
memendam dengki di dalam hatinya, karena merasa dianggap lebih
rendah. Dengki ini adalah potensi bagi tindak pemberontakan. Namun
potensi semacam ini tidak selalu menjadi nyata.

Rasa dengki ketika terpaksa menerima perintah paling terlihat di


dalam keluarga. Anak dipaksa untuk patuh pada perintah orang tua
dengan beragam ancaman yang tersembunyi di balik perintah
tersebut. Dalam arti ini tak berlebihan jika dikatakan, bahwa keluarga
adalah rumah bagi trio penyiksa manusia, yakni perintah, paksaan,
28 Ibid, "As a fundamental relation between people, h e posits the situation
where one gives another an order."
29 Ibid, "The command has two parts: the momentum that forees the
recipient to obey, and the sting that stays behind in him."
dan dc- ngki. Pada titik ini Canetti, sebagaimana ditafsirkan oleh
Robertson, mulai meneliti tentang fenomena pembantaian massal
yang marak ditemukan pada abad kc-20, baik dalam bentuk kamp
konsentrasi, maupun pembunuhan massal. Seperti yang banyak
dicatat oleh ahli sejarah, terutama di Indonesia, pelaku
pembantaian massal seringkah bukanlah orang yang faktual jahat
dan kejam, melainkan orang-orang biasa. Orang-orang biasa inilah
yang, menurut Canetti, mampu menerima perintah untuk
membantai, sekaligus mampu menahan rasa dengki yang
berkecamuk di hatinya. Rasa dengki itu tidak semata ditahan,
melainkan disalurkan untuk membantai musuhnya, atau dengan
kata lain, dengan menjalankan perintah yang diberikan. Pada
akhirnya si orang biasa melakukan pembantaian massal terhadap
manusia lainnya, dan tetap tidak terganggu hati nuraninya, karena
ia telah melaksanakan perintah, merasa dengki, dan menyalur kan
dengki itu dengan membunuh. 9 ' Ia tetap menjadi orang biasa.

Setiap orang punya kuasa. Dan logika kekuasaan tetaplah sama


sejak jaman purba, bahwa apa yang saya rebut dan da patkan
merupakan kerugian dari pihak lain. Dengan logika yang bersifat
hewani inilah, menurut Canetti, masyarakat manusia terbentuk.
Masyarakat bukanlah komunitas moral maupun keutamaan,
melainkan sekumpulan massa yang diperintah oleh satu diktum,
entah itu diktum itu terlihat jelas, atau tersembunyi di balik
mekanisme-mekanisme yang lebih rumit. Analogi untuk itu adalah
massa peziarah di Mekkah yang menantikan tanda dan sabda dari
Allah yang diimaninya. Allah adalah pemberi diktum. Sementara
manusia adalah hamba yang mesti patuh, atau terkena hukum an
yang menyiksa dirinya. Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa
Canetti melihat manusia, dan segala ciptaannya, sebagai entitas
yang kelam dan suram di satu sisi, namun amat variatif di sisi lain.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, Canetti ber pendapat,


bahwa kekuatan manusia sudah tercetak di da lam struktur
tubuhnya, yakni di dalam bentuk organ yang dimiliki manusia
secara alamiah. Dengan kekuatannya ma nusia menciptakan peran
yang amat alamiah, yakni peran pemangsa dan mangsanya. Inilah
esensi dari kehidupan sosial, menurut Canetti. "Kehidupan sosial",
demikian tulis Robertson tentang Canetti, "hanyalah penunda dari
permusuhan manusia." 92 Pandangan ini tidak semata keluar dari
spekulasinya, melainkan dari penelitian yang dilakukannya selama
bertahun-tahun tentang kehidupan sosial yang ada di berbagai
peradaban manusia, dulu maupun sekarang.

^ Ibid, him. 208. "Social lif^ltlat best a suspension of hostili-


ties".

Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa Canetti ada lah seorang
pemikir yang berhasil melepaskan diri dari pola berpikir Eurosentrik,
yakni melihat dan menilai seluruh peradaban dunia dengan
menggunakan standar yang ada di Eropa. Di sisi lain seperti dicatat
oleh Robertson, Canetti juga berhasil melepaskan diri dari pola pikir,
bahwa apa yang primitif itu tidak berguna, maka tak perlu
dipelajari. Justru di dalam berbagai analisisnya, ia berhasil
mendapatkan pemahaman yang amat mendalam dan alamiah
tentang manusia dengan melihat bagaimana manusia hidup dan
bersikap di dalam peradaban primitif. Menarik jika kita mencermati
catatan yang dibuat Robertson tentang Canetti, "Dengan membuka
mekanisme kerja kekuatan dan kekuasaan di berbagai kebudayaan
yang berbeda, analisisnya membuka semacam kesamaan. Canetti
menyatakan bahwa ia berhasil menunjukkan kepada kita tentang
substansi yang keras kepala dari kodrat manusia." 30 Dengan kata
lain melalui pengamatannya terhadap kehidupan binatang dan suku-
suku primitif di berbagai kebudayaan dunia, Canetti berha sil
menemukan hakekat terdalam dari manusia.

Buku Canetti berjudul Crowds and Power, yang berarti Massa dan
Kekuasaan. Dalam arti ini kekuasaan berarti kekuatan yang dimiliki
oleh setiap individu dengan tubuh dan kodratnya, bukan semata
kekuasaan politik maupun ekonomi. Sebelumnya kita sudah melihat
pendapatnya soal kekuasaan. Lalu bagaimana dengan massa? Bagi
Canetti massa amat terkait dengan mekanisme kekuasaan yang
berlangsung. Dalam arti ini massa justru merupakan penyeimbang
dari kekuasaan, dalam arti yang mengubah kekuasaan men jadi
harapan. 31 Sebelum masuk untuk mendalami argumen ini, ada
baiknya kita melihat dulu beragam teori tentang massa yang telah
ada sebelum Canetti menulis bukunya. Para filsuf sudah lama
tertarik untuk mendalami fenomena massa. Di dalam berbagai
peperangan sampai dengan revolusi modern, peran massa amatlah
menonjol dan penting. Coba simak penyerbuan penjara Bastille
pada saat Revolusi Perancis, atau pertempuran berdarah antara
tentara Belan- da-Inggris dengan rakyat Surabaya pada 1945.

Salah satu pemikir yang banyak diacu, ketika berbi cara tentang
massa adalah Gustave Le Bon. Baginya ketika bersatu dengan
massa, orang kehilangan rasionalitas, dan kembali menjadi manusia
"purba" yang tak punya pertimbangan kritis ataupun rasional atas
apa yang terjadi. Ketika tergabung dengan massa, orang kehilangan
kepribadiannya, menyatu dengan massa, dan seolah menjadi tak
beradab. Orang seperti terhipnotis dan berubah menjadi kejam, tak
mampu berpikir mandiri, dan mudah terbawa arus. 95 Mc- reka
seolah turun ke tingkat evolusi yang lebih rendah, ser ta berperilaku
seperti binatang dan orang biadab. Di dalam masyarakat modern, di
mana akal budi menjadi aturan utama, munculnya massa adalah
simbol dari penurunan kualitas keberadaban dari suatu
masyarakat. 32

30 Ibid, "By disclosing t ke opera- t ion of power in many different


cultures, it produces a kind of simultaneity. Canetti professes to
i i . » i » i c t »
31 cial concept that emerges late in his trea- tise."
32 Le Bon, Gustave, The Crowd, Dover Publications, New York, 1895,
hlm. 33.
Di dalam bukunya yang berjudul Group Psychology and The
Analysis o f Ego, yang diterbitkan pada 1959, Sigmund Freud, yang
banyak dikenal sebagai bapak psikoanalisis, mencoba menerapkan
pemikiran Le Bon pada analisisnya tentang psikologi kepemimpinan.
Bagi Freud setiap anggota massa selalu memiliki pemimpin, dan
ikatan di antara mereka adalah ikatan libidinal, dalam arti anggota
massa mencintai dan menginginkan cinta pemimpinnya, namun tak
mendapatkannya. 33 Sang pemimpin menyadari ini, dan
mempermainkan perasaan itu. Salah satu bentuk permainan
perasaan yang dilakukannya adalah dengan membuat anggota
massa merasa senasib sepenanggungan satu sama lain. "Massa",
demikian tulis Robertson tentang Canctti, "dengan demikian
mewakili kemunduran kepada struktur emosional dari suku primitif,
di mana sekumpulan orang bersatu karena keterikatan ambivalen
dengan ayah mereka." 34 Dalam arti ini dapatlah dikatakan,
sebagaimana dinyatakan oleh Freud, bahwa karya Le Bon tidak
hanya menggambarkan tentang apa itu massa, tetapi juga
menjelaskan tentang cara-cara untuk memanipulasi massa.

Pemikiran Le Bon dan Freud tentang massa nantinya akan amat


mempengaruhi Canetti. Bagi Canetti sendiri massa tidaklah muncul
begitu saja, melainkan bertumbuh secara perlahan. Awalnya ada
kumpulan orang, yang biasanya terdiri dari 12-15 orang. Mereka
tidak berkumpul secara acak, melainkan memiliki satu tujuan yang
sama, misalnya untuk bermain golf, berburu di hutan sebagai
rekreasi, dan sebagainya. Namun sebagaimana dicatat Robertson,
kumpulan orang, menurut Canetti, juga bisa merusak, misalnya
untuk tawuran antar pelajar, tawuran antar suporter sepak bola,
dan sebagainya. Ia mengamati sesuatu yang menarik di dalam
fenomena kumpulan orang, yakni bahwa kumpulan orang adalah
bentuk paling purba dari masyarakat, dan seluruh anggotanya
berperan sebagai orang-orang yang setara. Tidak ada pemimpin
dan tidak ada yang dipimpin."

33 Neu, Jeromen (ed), Cambridge Companion to Freud, Cam- bridge


University Press, Cambridge, 2006. hlm. 276-277.
34 Robertson, Ritchie, "Canetti and Nietzsche", hlm. 209. "The crowd
therefore represents a regression to the emotional structure of the
supposed primal horde, in which a band of brothers were unit.fid Irv their
nmhivaipnt nttarhment tn their father "
Kumpulan lalu berkembang menjadi massa. Massa sen diri
menurut Canetti lebih besar dan ikatan sosialnya jauh lebih longgar,
daripada kumpulan. Namun keduanya memiliki kesamaan
mendasar, yakni perasaan nikmat di dalam padatnya kerumunan
orang. Di dalam massa menurut Canetti, orang-orang modern yang
cenderung individualistik kehilangan individualitasnya, dan melebur
menjadi tubuh

Ibid, him. 210. "In the pack, Canetti sees a basic social formation.
Instead of the Nietzschean dyad of creditor and debtor, or Ca- netti's
dyad of commander and subordinate, we have here a formation in
which all are equal. Even if different members of the pack have
different functions, each one is indispensable, and they operate
jointly, not under the direction of a leader."

kolektif. Di dalam massa orang dengan senang hati menye rahkan


otonomi dirinya, ruang privatnya, dan ruang intimnya kepada
kolektivitas. Di dalam bukunya Canetti, sebagaimana ditafsirkan
oleh Robertson, menyatakan, bahwa manusia, pada dasarnya, takut
untuk bersentuh dengan yang berbeda darinya, yang asing
darinya. 100 Namun semua ketakutan itu lenyap, ketika manusia
terhisap di dalam massa.

Massa juga memiliki beragam bentuk. Ada massa penonton


sepak bola, massa penonton konser musik, massa yang
menghancurkan toko-toko dan bangunan, serta massa yang panik,
karena ada kebakaran, atau bencana alam. Na mun menurut Canetti
ada yang sama dari semua bentuk massa itu, yakni bahwa
anggotanya selalu berdiri sebagai manusia-manusia yang setara,
lepas dari tingkat ekonominya, sukunya, agamanya, ataupun status
kebangsawanannya. Kesetaraan yang sejati tidak terletak di dalam
pemerintahan demokrasi, namun di dalam fenomena massa. Inilah
perbedaan Canetti dengan Le Bon dan Frcud. Bagi Le Bon dan Freud,
massa memiliki sosok pemimpin yang dianggap lebih tinggi dari
anggota massa lainnya. Sementara bagi Canetti seperti sudah
ditulis sebelumnya, massa tidak memiliki, dan tidak memerlukan,
pimpinan. 101

Ibid, "At the outset of his book, Canetti draws attention to a widely
shared feeling, the fear of being touched, which com- pels us to
maintain our personal space and only allow our intimates to pene-
trate it. In the crowd, we gladly surrender our personal space and
merge into the mass."

Ibid, him. 211. "Crowds may come into being for many different
purposes: to watch a spectacle, to attack or destroy, or to flee from a
danger in collective panic. Rut whatever the purpose, every member
of the crowd is equal. Here Canetti differs sharply

Bagi Canetti massa juga merupakan sebuah momen pembebasan


dan pembaruan. Di dalam massa orang-orang yang di dalam
kesehariannya menyendiri, atau dikucilkan dari masyarakat, dan
orang-orang yang ditindas serta mengalami diskriminasi dari
komunitasnya, akan menemukan kebebasan yang seutuhnya, yakni
kebebasan primitif untuk menjadi bagian dari massa itu sendiri,
untuk menjadi setara dengan orang-orang di sekitarnya. 102 Di sisi
lain massa juga memiliki potensi revolusioner. Di dalam
pemerintahan totaliter, massa adalah bentuk harapan untuk
menjatuhkan penguasa totaliter tersebut, dan melahirkan tata
politik yang baru. Setiap revolusi di dalam sejarah, baik itu revolusi
damai ataupun berdarah, selalu melibatkan massa di dalam nya.

Dalam arti ini massa adalah sesuatu yang ambivalen. Di satu sisi
massa mampu menciptakan pembaruan. Di sisi lain massa mampu
menciptakan kehancuran besar yang tak terduga. 103 Keduanya
adalah suatu bentuk kekuatan. Oleh karena itu diperlukan suatu
cara untuk mengendalikan massa, sehingga aspek destruktifnya
bisa diatur. Menurut Canetti itulah tujuan dasar dari agama, yakni
menjinakkan massa. Rupanya seperti dicatat oleh Robertson, ketika
membicarakan soal hubungan antara massa dan agama, Canetti
masih

from Le Ron and Freud, who thought that the crowd had to be kept in
being by a leader. " 101 Ibid, "The crowd can free the indi- vidual both
from his gloomy isolation and from the zero-sum relations of power
and subordination that otherwise form the structure of social life. "
Ibid, "The crowd is of course ambivalent. It can bring renewal,
/iti/I it r/ivi nicn hrinc destruction "
terpengaruh oleh Nietzsche dan Marx, yang melihat agama sebagai
tanda kelemahan manusia, bahwa manusia memerlukan "pegangan"
yang, walaupun rapuh, berguna untuk berjalan di ketidakpastian
hidup. 104 Dengan ritual dan aturannya, agama berupaya membuat
massa menjadi jinak, yakni dengan membuat anggota-anggota
massa tersebut tunduk pada pimpinan agama terkait, seperti
kambing tunduk pada gembalanya. 105

Argumen Canotti adalah bahwa manusia bisa tergabung ke


dalam massa, dan melakukan hal-hal yang tak mungkin
dilakukannya sendirian, karena ia memiliki kodrat hewani di dalam
dirinya. Kodrat hewani tersebut menurut Canotti juga tampak dalam
kemampuan manusia untuk berubah. Untuk menggambarkan
fenomena ini, ia mengambil contoh kehidupan suku primitif di
Afrika. Mereka memiliki apa yang disebut sebagai kecerdasan
tubuh, yang berguna untuk merasakan kedatangan orang ataupun
binatang, bahkan sebelum binatang ataupun orang tersebut tampak
oleh mata. Menurut Canetti orang dari suku primitif Afrika

Wood, Alien, Karl Marx, Routledge, New York, 1981, hlm.

Robertson, Ritchie, "Canetti and Nietzsche", him. 211. "And for this
reason many institutions try to tame the crowd: this has been the
goal of all the great religions of the world. ... in which the faithful are
regarded as sheep and praised for their submis- siveness. Some of his
most memorable and persuasive passages, however, are
phenomenologi- cal accounts of religious ceremonies: the mourning
for Hussein at Karbala, which is central to Shi'a Islam, the "standing
on Arafat" undertaken by pilgrims to Mecca, the descent of the IToly
Fire in the Greek Chapel of the Sepulchre at Jerusalem, and the ritual
of the Roman Catholic mass."

tersebut berubah menjadi makhluk lainnya yang memiliki kepekaan


tinggi (bukan lagi manusia), tepat ketika ia meng gunakan tubuhnya
untuk merasakan kehadiran makhluk di sekitarnya. 35 Ia mengubah
identitas dirinya, dan menjadi serupa dengan hewan.

Jadi manusia mampu mengubah dirinya. Ia mampu melepas


identitas kemanusiaannya, dan menjadi sesuatu yang "lain". Hal ini
pula yang terjadi, ketika manusia terhisap ke dalam massa. Ia tidak
lagi menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi sesuatu yang "lain"
dari dirinya, yang menyerupai hewan. Canetti memperoleh
pemahaman ini dengan membaca berbagai legenda yang terdapat
di hampir semua peradaban manusia, seperti legenda Proteus yang
mengubah dirinya untuk menghindari musuh-musuh yang hendak
menangkapnya, atau pada agama-agama kuno yang yakin, bahwa
seorang pendeta bisa mengubah dirinya menjadi "kendaraan dewa",
dan memiliki kesaktiannya. 36 Dengan kemampuan untuk berubah
dan beradaptasi mengikuti lingkungannya, manusia memiliki
kekuatan yang amat luar biasa untuk menyelamatkan dan
mengembangkan dirinya. Itulah sebabnya mengapa negara dan
agama berupaya menjinakkan kemampuan manusia untuk berubah,
dan mengaturnya untuk kepentingan mereka.

Kontrol terhadap kemampuan manusia untuk berubah dilakukan


oleh agama dan negara melalui penggunaan simbol-simbol. Simbol
tersebut biasanya berupa gambar hewan, seperti pada dewa-dewa
Mesir Kuno, atau gambar-gambar lainnya yang dianggap memiliki
nilai mistik. Di dalam pemerintahan monarki absolut, raja, dengam
simbol-simbol monarkinya yang terlihat agung dan megah, hendak
menghipnotis warga, supaya mereka selalu dalam situasi mendua
antara takut dan kagum terhadap penguasa. Lebih ekstrem dari ini,
pemerintahan monarki absolut, atau bentuk pemerintahan totaliter
lainnya, justru kerap kali memasung kemampuan manusia untuk
berubah dengan mengubah warga negara menjadi budak. Hakekat

35 Ibid, him. 212. "In these transformations, the bushman becomes the
other being, and feels the other's sensations in his oum body. But he does
not become the other so entirely as to surrender his own iden- tity. He
remains himself, and the transformations he experiences are "saube- re
Verwandlungen".
36 Ibid, him. 213. "Canetti discovers traces of transformation in many
myths and ceremonies: in legends where beings like Proteus
metamor- phose themselves in order to escape their captors; and in
the belief that shamans transform themselves into other
1 •1 . 1 • . . 1 • • 1 a
dari status sebagai budak adalah orang yang dipaksa untuk menger -
jakan satu hal selama berulang-ulang dengan cara yang seefisien
mungkin, tanpa pernah ada pilihan dari pihaknya. Status sebagai
budak memasung manusia pada satu bentuk, dan mencegahnya
untuk berubah. Dalam hal ini seperti dicatat Robertson, Canotti
amat setuju dengan argumen Marx, 108 bahwa di dalam masyarakat
kapitalis industrial, manusia diubah menjadi semata "tangan".
Manusia dihargai oleh karena produktivitas kerjanya, dan bukan
karena kemanusiaannya. Manusia diubah menjadi semata benda,
dan dikunci di situ. 109

,o8
Wood, Alien, Karl Marx, hlm. 130.

Robertson, Ritchie, "Canetti and Nietzsche", hlm. 213. "Far, in

Menurut Robertson buku Crowds and Power terdiri dari dua


bentuk narasi. Di dalam kedua narasi tersebut, Canetti merumuskan
teorinya tentang hakekat dari manusia. Seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, menurut Canetti, manusia adalah makhluk yang
aktivitasnya amat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologisnya.
Bahkan dengan dorongan-dorongan biologis itu, manusia
menciptakan masyarakat dan peradaban. Ia pun menambahkan
bahwa peradaban manusia itu bergerak dengan hukum rimba, yakni
siapa yang kuat, dialah yang memerintah dan menguasai segalanya.
Ini berlaku untuk memahami era kekaisaran dan monarki absolut di
masa lalu, maupun era kapitalisme sekarang ini, di mana para
pemilik modal memandang buruh semata sebagai budak, yakni
sebagai alat untuk meraup keuntungan. Ter- ciptanya massa adalah
suatu bentuk perlawanan terhadap semua bentuk kekuasaan
totaliter semacam ini. Walaupun bisa bersifat anarkis dan merusak,
massa juga adalah simbol dari harapan akan perubahan tata
sosial. 37

37 limit him to a single kind of work and oblige him to do as much as possi-
ble in the least possible time: in other words, when we oblige him to be
"productive." Canetti's polemical allusion here is to the division of labor in
modem industrial society, which, as Marx charged, reduces workers from
whole human beings to mere "hands," valued only for their productivity.
Narasi kedua adalah tentang kemampuan manusia untuk
berubah. Seperti ditunjukkan oleh Canetti, orang-orang primitif di
Afrika memiliki kemampuan untuk merasakan kedatangan makhluk
lain dari kejauhan. Mereka juga dapat mengubah dirinya untuk
melindungi dirinya dari serangan ganas makhluk lain. Dengan kata
lain manusia, menurut Canetti, adalah makhluk yang cair. Oleh
sebab itu ia tidak akan pernah bisa dipasung sepenuhnya oleh
kekuasaan, sekuat apa pun kekuasaan itu. Setiap penguasa totaliter
selalu menghendaki rakyatnya untuk patuh, dan tidak berubah.
Sikap jinak dan patuh rakyat justru akan memperkuat kekuasaan
pemimpin totaliter. Namun menurut Canetti manusia adalah
makhluk yang dinamis. Maka manusia tidak akan pernah bisa
sungguh dikuasai. Pada satu titik ia akan memberontak, dan
pemberontakan itu biasanya dilakukan oleh manusia-manusia yang
membentuk massa.

Maka massa hadir untuk menantang dan meredam kekuasaan


totaliter. Dengan kemampuannya untuk berubah, manusia
melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan totali ter, dan
membentuk massa untuk memberontak. Semua ini terjadi karena
manusia memiliki kodrat hewani di dalam dirinya, yang
membuatnya mampu berkumpul, merusak, dan mencipta peradaban
sebagai massa. Dengan membaca buku C rowds and Power, menurut
Robertson, kita disadarkan, bahwa kita, manusia, adalah makhluk
yang bertubuh dan terbuka. Sama seperti hewan kita bisa merusak,
dan bersikap kejam, jika diri kita terancam. Dengan melihat ke -
hidupan manusia yang tersebar di berbagai peradaban, dan di
pelbagian untaian waktu, Canetti mengajak kita untuk menyadari
kodrat alamiah kita sebagai makhluk hidup yang tak jauh berbeda
dengan makhluk-makhluk hidup lainnya, bahwa kita sama-sama
berproses dengan hewan dan tumbuhan untuk bisa bertahan, dan
berkembang di alam yang selalu tak pasti ini. Itulah kebijaksanaan
yang ditawarkan oleh Canetti. 111

The political thrust of Masse und Macht is directed against capitalism as


well as communism, liberalism as well as fascism." uo Ibid, "The essential
solitude of the individual reaches its extreme in the paranoid dictator. An
uncertain hope lies in the periodical outbursts of the crowd, which,
though anarchic and often destructive, liberates its members from
solitude into coherence in a single mass, and from subjection to power
into a state of eaualitv."
3. Beberapa Catatan

Sebagai seorang pemikir Canetti berhasil mengungkap dimensi-


dimensi yang sebelumnya terlupakan di dalam memandang
manusia terkait dengan fenomena massa serta kekerasan massa.
Ada lima kesimpulan yang kiranya bisa ditarik dari pemikirannya.
Pertama, manusia adalah makhluk yang memiliki aspek-aspek
hewani di dalam dirinya. Aspek ini tidak tersembunyi, melainkan
amat tampak di dalam perilaku sehari-harinya, seperti perilaku
massa yang menyerbu barang diskon (lebah mengejar madu),
berubah sikap sesuai konteks (bunglon yang menyesuaikan warna
dengan habitat), membunuh dan menaklukan musuhnya (singa
menerkam kijang), membangun perumahan liar di himpitan kota
besar (tanaman liar yang hidup di sela-sela tanaman lainnya),
bersikap korup ketika berada dalam kerumunan para koruptor, dan
sebagainya. Dengan kata lain manusia jauh lebih mirip dengan
hewan dari yang disangkanya sen-

Ibid, him. 214. "And since Canetti insists so much on bodily experiences
of the crowd and of power, to read his book sympathetically is to gain
an increased awareness of one's body, and to be brought back to the
bedrock of human nature and evolutionary continuity with other
natural beings, that are among the presuppositions of Canetti's
Darwinian naturalism."

diri. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa untuk memaha mi manusia


secara tepat, kita justru harus berpaling melihat ke dunia hewan-
hewan.

Kedua, manusia bisa mengalami perubahan. Mirip seperti tombol


on dan off, manusia bisa mengubah dirinya sekejap mata menjadi
massa. Di dalam massa ia memiliki karakter yang jauh berbeda
dengan diri pribadinya. Ia bisa membenci musuh dari massa,
walaupun sebenarnya tak punya masalah pribadi sama sekali.
Fenomena tawuran pelajar yang terjadi di Jakarta dan tawuran antar
pendukung klub sepak bola tertentu adalah contoh-contoh nyata
dari semua ini. Kemampuan manusia untuk berubah dalam sekejap
mata juga tampak dari aksi penghakiman massa terhadap, misal -
nya, pencopet di terminal. Sebagai pribadi sang penghakim adalah
orang yang santun dan sabar. Namun sebagai massa ia menjadi
brutal, kejam, dan merusak, termasuk tanpa ragu merenggut nyawa
manusia lain. Orang bisa memiliki karakter pribadi yang lembut,
namun, dalam sekejap mata, ia bisa berubah menjadi ganas
sekaligus korup, ketika tergabung di dalam massa, misalnya massa
yang terjadi, akibat persekongkolan para koruptor.

Ketiga, massa yang merupakan produk dari kemampuan manusia


untuk mengubah dirinya memiliki dua sisi. Sisi pertama adalah sisi
merusak. Massa hadir untuk mengguncang dan merusak, seperti
dalam perang, pemberontakan, kerusuhan massa, konflik antar
kelompok, massa para koruptor, dan sebagainya. Di dalam
fenomena-fenomena ini, kita bisa lihat dengan jelas sisi hewani
yang merusak dari manusia. Sisi kedua adalah sisi mencipta.
Kehadiran massa juga sering menjadi tanda lahirnya era baru,
seperti revolusi damai di Mesir pada 2011 dengan massa rakyat
yang hendak menurunkan penguasa, massa demonstran yang
menuntut turunnya Suharto pada 1998, dan sebagainya. Dengan
menjadi bagian dari massa, manusia mengubah tata sosial, dan,
pada akhirnya, mengubah dunia itu sendiri.

Keempat, Canetti melihat adanya hubungan internal antara


massa dan kekuasaan. Pendek kata massa adalah kekuasaan itu
sendiri. Massa bisa menghancurkan atau jus tru menciptakan
sesuatu yang baru. Biasanya kedua proses itu berjalan berbarengan,
supaya sesuatu itu bisa mencipta dirinya ulang sebagai sesuatu
yang baru, ia harus hancur terlebih dahulu. Kekuasaan massa
dimungkinkan karena manusia itu sendiri memang pada dasarnya
berkuasa. Ia memiliki kekuatan fisik untuk menghancurkan, dan
kekuatan psikis untuk menipu serta menjerat musuh, sehingga ia
menghancurkan dirinya sendiri. Itulah kekuatan manipulasi yang
digunakan oleh politisi untuk bertahan di dunia politik praktis yang
seringkah tak manusiawi.

Dan kelima, konflik massa bisa terjadi, menurut saya, ka rena


akumulasi dari kodrat hewani manusia untuk berubah, perubahan
manusia menjadi massa yang memiliki dua muka (kreatif dan
destruktif), serta penerapan kekuasaan fisik dan psikologis untuk
menggapai tujuan-tujuan yang diinginkan. Inilah yang saya sebut,
dengan meminjam ide-ide dari pemikiran Canetti, sebagai conditio
humana (situasi manusiawi) dari korupsi, konflik, dan aksi kekerasan
massa. Tiga hal ini bisa dilihat dengan mudah pada berbagai
fenomena kekerasan massa maupun perilaku korup manusia yang
terjadi dulu maupun sekarang. Dengan memahami ketiga conditio
humana ini, kita bisa membangun kesadaran diri, bahwa diri kita
pun memiliki kemungkinan untuk berubah menjadi ganas,
berkumpul untuk merangsek dan mengubah situasi (potensi
revolusioner), serta menjadi makhluk manipulatif yang
menghalalkan beragam cara untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Dengan adanya kesadaran diri semacam ini, kita bisa
mulai meredam dampak-dampak merusak dari tiga hal tersebut.

Pemikiran Canetti memang unik. Ia mencoba mengamati manusia


sebagai bagian dari dunia makhluk-makhluk, dan tidak jatuh pada
kebiasaan umum untuk melihat manusia sebagai makhluk yang
lebih tinggi dari makhluk hidup lainnya. Dengan kata lain
pandangannya tentang manusia dan perilakunya lebih bersifat
natural. Walaupun begitu saya memiliki dua catatan kritis untuk
pemikirannya. Yang pertama pada hemat saya, Canetti jatuh pada
generalisasi, ketika memandang manusia. Fakta bahwa manusia
memiliki aspek hewani memang tidak dapat dibantah. Namun itu
tidak berarti, bahwa seluruh perilakunya bersifat hewani. Melalui
pengamatan sederhana kita bisa melihat, bahwa manusia memiliki
dimensi-dimensi luhur, seperti kemauan dan sikap rela untuk
berbagi, bahkan mati, demi manusia, cita-cita tertentu, ataupun
makhluk hidup lainnya. Hal ini tidak akan pernah dapat dilakukan
secara sadar oleh hewan.
Dua, Canetti memang mengajukan pemikiran menarik, bahwa massa bisa tercipta, karena
manusia memiliki kemampuan untuk mengubah dirinya, seperti pada hewan dan tumbuhan.
Namun ia rupanya lupa, bahwa massa juga ter- cipta untuk mewujudkan cita-cita yang lebih
tinggi, seperti keadilan bagi kaum tertindas, atau meruntuhkan pemerintahan totaliter yang
telah lama menyiksa rakyatnya. Dengan kata lain massa bukan hanya konsekuensi logis dari
kodrat hewani manusia yang tak punya arah, tetapi justru organisasi rasional yang
menjalankan suatu misi tertentu yang seringkah memuliakan martabat manusia. Saya rasa
Canetti pasti sudah mengira ini, namun memilih untuk mengabaikannya, karena ia tak mau
jatuh ke dalam analisis umum yang sudah banyak dilakukan. Namun analisis umum tidak
berarti tidak benar. Justru pada hemat saya, sebaiknya Canetti menampung analisis umum ini,
dan mengangkatnya ke level yang lebih tinggi dan luhur dari sebelumnya, bukan justru
malah mengabaikannya
.Bab 4
Korupsi dan Sifat Wajar Kejahatan

P
ada bagian sebelumnya kita sudah menyimak argumen Canetti,
bahwa akar dari kejahatan dan sikap korup manusia adalah sisi-sisi
hewani yang bercokol di dalam dirinya, serta kemampuannya untuk
berubah, atau bermeta- morfosis. Pada bagian ini dengan berpijak
pada pemikiran Hannah Arendt, saya akan menjelaskan, mengapa
kejahatan, termasuk sikap-sikap korup, dianggap menjadi sesuatu
yang biasa (banal), akibat dari kemiskinan imajinasi dan
ketidakberpikiran manusia.

Para pelaku kejahatan tidaklah harus orang-orang jahat berhati


kejam penuh dendam. Orang-orang biasa pun bisa melakukan
kejahatan besar, ketika ia tidak memiliki imajinasi untuk
membayangkan posisi orang lain, dan tidak berpikir kritis di dalam
melihat keadaan secara lebih luas. Pada bab ini dengan berpijak
pada pemikiran Hannah Arendt, saya akan mencoba menjelaskan
argumen tersebut, dan menggunakannya untuk memahami situasi
Indonesia. Awalnya saya akan memperkenalkan secara singkat
sosok Hannah Arendt (i), menjabarkan pemikirannya tentang
banalitas kejahatan yang tertulis di dalam bukunya yang berjudul
Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (2), dan
menunjukkan relevansi pemikiran Arendt untuk memahami situasi di
Indonesia (3). Saya banyak terbantu dari tulisan Sevla Benhabib
tentang Arendt.

buatan jurnal ilmu-ilmu sosial yang amat berpengaruh pada masa


itu, yakni Partisan Review. Setelah perang dunia kedua berakhir, ia
menjadi dosen, dan mengajar di beberapa universitas di Amerika. Di
antaranya adalah Princeton, Berke- ley, dan Chicago. Namun Arendt
sendiri lebih dikenal sebagai salah satu pemikir New School of
Social Research. Ia menjadi professor filsafat politik di sana sampai
pada 1975. Ia juga menghasilkan buku-buku filsafat yang amat
inspi- ratif, mulai dari The Origins of Totalitarianism, Eichrnann in
Jerusalem (yang menjadi fokus kajian tulisan ini), dan The l luman
Condition.
2. Banalitas Kejahatan

11 Mei 1960 anggota intel Israel menangkap Adolf Eich rnann,


seorang tentara Nazi yang melarikan diri di Argen tina." 3 Ia dibawa
ke Israel untuk diadili atas kejahatannya selama perang dunia kedua
terkait dengan pembunuhan orang-orang Yahudi di kamp-kamp
konsentrasi Jerman. Tugas utamanya sebagai prajurit adalah
mengatur transportasi jutaan orang Yahudi dari seluruh Eropa ke
dalam kamp- kamp konsentrasi buatan Nazi. Dan dalam hal ini, ia
menjalankan tugasnya dengan amat baik. Setelah perang usai ia
pergi ke Argentina, dan hidup sebagai orang biasa dengan

1,3
Bagian ini diinspirasikan dari Seyla Benhabib, "Arendts Eich rnann
in Jerusalem", Cambridge Companion to Hannah Arendt, Villa, Dana
(ed), Cambridge University Press, Cambridge, 2000, hlm. 66. "O n
May u, /960, members of the Israeli Secret Service kidnapped the
Nazi fugitive Adolf Eichrnann in Argentina, spiriting him out of the
country so h e could stand trial in Israel for eritnes he had committed
in the course of the "Final Solution.""

identitas palsu. Konon pemerintah setempat mengetahui hal ini, dan


tetap bersikap diam. Pemerintah Israel tidak berhasil melakukan
perundingan terkait dengan extradisi tahanan dari Argentina. Intel
mereka pun bermain. Setelah Eichmann sampai Israel, pemerintah
Israel membuka sebuah sidang publik yang bersifat terbuka. Ketika
diminta memberikan pendapat tentang persidangan ini, David Ben-
Gurion, perdana menteri Israel pada masa itu, berpendapat, bahwa
sidang terbuka ini untuk menarik perhatian dunia pada "peristiwa
yang paling tragis di dalam sejarah kami, fakta paling tragis di
dalam sejarah manusia." 114
Menurut Benhabib ada dua tujuan dari tindakan ini. Yang
pertama adalah untuk mencari keadilan kejahatan ter hadap
kemanusiaan ( crime against humanity) yang dilakukan oleh
Eichmann selama perang dunia kedua terhadap orang-orang Yahudi.
Yang kedua adalah untuk menegaskan kepada dunia, betapa besar
skala kejahatan yang dilakukan kepada orang-orang Yahudi pada
masa perang dunia kedua. Memang pada masa itu, sudah ada cerita
tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Nazi
Jerman. Namun belum ada suatu pengadilan resmi yang mengung -
kapkan aspek-aspek legal dan moral atasnya. Harapannya dengan
pengadilan ini bisa muncul diskusi-diskusi publik yang lebih luas
atas holocaust yang terjadi pada masa perang dunia kedua. 115
Sampai saat ini pengadilan terhadap Eich-

lbid, ""the most tragic in our history, the most tragic facts in world
history."

1,5
lbid, hlm. 67. "From the beginning, then, the Israelis saw the trial of
Eichmann as Sewing a dual funetion. First, and most

mann dianggap sebagai salah satu peristiwa yang telah me netapkan


standar untuk menyatakan bahwa suatu kejahatan dapat dianggap
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Hannah Arendt mendengar berita itu. Ia pun mengajukan diri


sebagai reporter atas pengadilan itu kepada editor kepalanya di The
New Yorker, William Shawn. Shawn menyetujuinya. Arendt pun pergi
ke Yerusalem untuk meliput sidang Eichmann tersebut mulai dari 11
April 1961 sampai 14 Agustus 1961. Ketika mendarat di Yerusalem,
Arendt begitu kaget, karena ternyata Eichmann, pelaku kejam ke -
jahatan terhadap kemanusiaan selama perang dunia kedua, adalah
orang biasa yang sama sekali tak tampak kejam. Se baliknya ia
adalah "warga negara yang patuh pada hukum." 1 ' 6 Tidak ada tanda-
tanda kejahatan di dalam dirinya. Ia hanya menjawab dengan
pernyataan-pernyataan baik yang normatif. Rupanya seperti ditulis
oleh Benhabib, pikiran yang kejam tidak diperlukan untuk
melakukan suatu kejahatan yang brutal. Kejahatan yang brutal bisa
mengambil rupa wajah orang baik-baik, orang-orang biasa.

against humanity he had committed in helping to implement the


Nazis' "Final Solution" to the "Jewish question." Second (and almost
equally important from the Israeli point of view) was the education of
public opinion, in Israel and the rest of the world, about the nature
and extent of the Nazi extermination of European Jewry. The enormity
of the crime was known, but - until the Eichmann trial — there had
been rela- tively little public discussion of the legal, moral, and
political dimensions of the genocide."
1,6
Ibid, "She was taken aback by what she later described as the sheer
ordinariness of the man who had been party to such enormous
crimes: Eichmann spoke in endless cliches, gave little evidence of
being motivated by a fanatical hatred of the Jews, and was most
proud of being a "law-abiding citizen."

Sebelumnya banyak orang menganggap, bahwa Eich- mann


adalah orang yang kejam dan biadab. Pikirannya pasti dipenuhi
fanatisme terhadap Nazi, dan kebencian mendalam pada orang-
orang Yahudi. Persepsi semacam inilah yang dikembangkan oleh
para jaksa Israel, ketika mereka melakukan tuntutan resmi kepada
Eichmann. Arendt sendiri sebenarnya amat kesal dengan pola ini. Ia
merasa jaksa-jaksa Israel tersebut terlalu berlebihan di dalam
menggambarkan Eichmann. Padahal seperti sudah disinggung
sebelumnya, di mata Arendt, terutama setelah mengikuti sidang
tersebut sampai selesai, orang-orang biasa, dengan wajah dan
pikiran yang seringkah amat lurus, mampu melakukan kejahatan
brutal terhadap manusia lainnya, tanpa merasa benci, atau pun
merasa bersalah. Pandangannya ini ditulisnya di dalam publikasi
hasil laporan terhadap sidang tersebut yang diter bitkan pada 1963
dengan judul Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil

Argumen Arendt di dalam buku disebutnya sebagai ba- nalitas


dari kejahatan, yakni suatu situasi, dimana kejahatan tidak lagi
dirasa sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa
saja, sesuatu yang wajar. Argumen ini ia dapatkan dari
pengamatannya terhadap orang-orang Jerman biasa, yang tidak
memiliki pikiran jahat, namun mampu berpartisipasi aktif di dalam
suatu tindak kejahatan brutal. Argumen ini jugalah yang
mengagetkan para pembaca laporan Arendt tersebut. Apakah
argumen ini berlaku untuk konteks di luar Jerman? Coba kita
perhatikan argumen Arendt berikut ini. Eichmann adalah seorang
perwira militer yang patuh. Dan sikap patuh di dalam militer adalah
suatu keutamaan, bukan kejahatan. Ia tidak akan pernah berkhianat
atau bahkan membunuh orang lain demi me muaskan kepentingan
pribadinya. Bahkan menurut Arendt sebagai seorang perwira militer,
Eichmann sama sekali tidak sadar tentang akibat dari tindakan
patuhnya tersebut." 7

Yang kurang dari Eichmann adalah imajinasi. Bahkan ketika ia


diinterogasi oleh dua orang polisi, ia berkata, bahwa penyesalannya
terbesarnya adalah tidak dipromosikan ke pangkat yang lebih tinggi
di SS Nazi Jerman pada masa itu. Karena itu ia kemudian
menyarankan dilakukannya evaluasi ulang atas nilai-nilai yang
dianut oleh militer. Jelaslah sebagaimana diamati Arendt, Eichmann
bukanlah orang bodoh. Yang menjadi "penyakit" utamanya adalah
ketidak- berpikiran. 1 ' 8 Tidak berpikir berbeda sama sekali dengan
bodoh. Orang bisa saja amat cerdas, namun tak meng gunakan
kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara
menyeluruh, berpikir secara sistemik (bukan sistematis). Dan
karena tak berpikir, ia seringkah tak sadar,

1.7 Untuk berikutnya saya mengikuti uraian Arendt, Hannah,


Eichmann in Jerusalem, Macmillan Company, New York, 1963, him.
135. "Except for an extraordinary diligence in looking out for his
personal advancement, he had no motives at all. And this diligence in
itself was in no way criminal; he certainly would never have murdered
his superior in order to inherit his post. lie merely, to put the matter
colloquially, never realized what he was doing."

1.8 Ibid, "He was not stupid. It was sheer thoughtlessness - something by
no means identical with stupidity - that predisposed him to become
one of the greatest criminals of that period. And if this is "banal" and
even funny, if with the best will in the world one cannot extract any
diabolical or demonic profundity from Eichmann, that is still far from
calling it commonplace."
bahwa tindakannya itu merupakan suatu kejahatan brutal. Maka
salah satu hal mendasar yang dibutuhkan untuk men jadi penjahat
brutal adalah ketidakberpikiran.

Ketidakberpikiran membuat suatu tindakan menjadi terasa wajar,


termasuk tindakan yang mengerikan. Orang- orang biasa seperti
Eichmann bukanlah orang jahat atau kejam. Banyak orang
menganggap bahwa pelaku kejahatan brutal adalah penjelmaan
setan. Wajahnya pasti sangar. Matanya kejam. Badannya besar.
Namun faktanya tidaklah seperti itu. Sebaliknya Eichmann adalah
orang biasa, cerdas, dan patuh. Tidak ada niat jahat ataupun kejam
di dalam dirinya. "Ketercabutan dari realitas semacam itu dan
ketidakberpikiran semacam itu", demikian tulis Arendt, "dapat jauh
lebih merusak dari semua insting jahat dijadikan satu., dan semua
ini ada di dalam diri manusia." 119 Inilah yang kiranya menjadi
pelajaran dari pengadilan Eichmann di Yerusalem, sebagaimana
dianalisis oleh Arendt. Ketidakberpikiran adalah sisi gelap manusia
yang menjadi sumber dari lahirnya kejahatan. Inilah kejahatan khas
abad keduapuluh yang, menurut Arendt, tidak pernah ditemukan
sebelumnya. Saya yakin banyak orang seperti Eichmann. Mereka
bukan orang gila. Mereka bukan orang kejam. Mereka hanyalah
orang- orang yang amat normal, dan karena normalitasnya, mereka
menjadi menakutkan. Mereka adalah orang-orang yang tak berpikir
kritis.

1,9
Ibid, That such remoteness from reality and such thoughtlessness can
wreak more havoc than all the evil instincts taken to-

3. Arendt dan Konteks Indonesia

Analisis Arendt pada hemat saya bisa digunakan untuk


memahami berbagai tragedi di Indonesia. Salah satunya yang
terbesar adalah penangkapan dan pembantaian orang-orang yang
dituduh PK I pada 1965-1969. Pelaku penangkapan dan
pembantaian tersebut adalah militer dan sipil di berbagai penjuru di
Indonesia. Para pelaku tersebut bukanlah orang- orang jahat yang
berhati kejam. Sebaliknya sama seperti Eichmann, mereka adalah
orang-orang biasa, yakni rakyat kebanyakan, dan militer yang patuh
pada perintah atasan. Dan sama seperti Eichmann, mereka adalah
orang-orang yang miskin imajinasi, sehingga tak mampu
membayangkan perasaan orang-orang yang mereka tangkap atau
bantai pada masa-masa itu. Mereka adalah orang-orang yang tak
berpikir, karena hanya asal menjalankan perintah dan mengikuti
trend umum masyarakat (menangkap dan membantai), sehingga
pembantaian pun dilihat sebagai suatu tindakan yang biasa-biasa
saja.

Hal yang sama kiranya terjadi pada era 1996-1999 di Indonesia,


yakni penculikan aktivis pro demokrasi di masa rezim otoriter Orde
Baru. Pelaku penculik kebanyakan adalah anggota militer, walaupun
ini masih bisa diperdebatkan. Mereka menangkap, menculik,
menyiksa, dan bahkan membunuh aktivis-aktivis pro demokrasi
yang pada waktu itu mayoritas adalah mahasiswa. Mereka tak
peduli akan ketakutan dan penderitaan yang dialami oleh korban
penculikan. Yang ada di pikiran mereka hanya satu, yakni men -
jalankan perintah, tanpa pernah sungguh bertanya, apakah perintah
itu masuk akal atau tidak? Apakah perintah itu manusiawi atau
tidak? Sama seperti Eichmann para pelaku penculikan aktivis
tersebut bukanlah orang-orang yang kejam dan jahat, namun hanya
orang-orang biasa yang miskin imajinasi dan tak berpikir kritis, yang
melihat tindakan jahat sebagai suatu tindakan yang wajar (banal).
Fenomena penculikan, korupsi, penyiksaan, pembunuhan, dan
pembantaian massal adalah fenomena universal umat manusia.
Artinya kita bisa menemukan peristiwa-peristiwa semacam ini di
berbagai peradaban di berbagai lintasan waktu. Belajar dari Arendt
kita bisa menemukan dua ciri mendasar dari fenomena ini. Yang
pertama adalah distorsi persepsi dari pelaku tentang korbannya.
Orang bisa menculik, menyiksa, menipu, mencuri, dan membunuh
orang lain, karena ia tidak melihat orang lain tersebut sebagai
manusia, melainkan semata sebagai benda yang bisa diabaikan,
atau bahkan musuh yang harus dihancurkan. Distorsi persepsi
mengaburkan pandangan orang tentang dunia, dan ini jelas amat
mempengaruhi tindakannya. Yang kedua adalah ketidakberpikiran.
Ketika bertindak jahat orang menutup imajinasinya, sehingga ia
tidak bisa membayangkan perasaan dan ketakutan korbannya. Dan
belajar dari Arendt, kita bisa tahu, bahwa orang-orang biasa pun
bisa melakukannya, tidak hanya orang-orang yang memang berhati
kejam. Dua ciri ini bisa kita temukan di berbagai peristiwa
penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pembantaian massal di
berbagai peradaban di berbagai lintasan waktu.

Dari pemikiran Arendt kita bisa mengajukan satu argu men


kontroversial, bahwa kejahatan terbesar justru dilakukan oleh
orang-orang biasa yang tidak merasa melakukan tindakan jahat,
tetapi melihat kejahatan semata sebagai sesuatu yang wajar. Dalam
konteks ini ada satu penyakit sosial yang telah lama diderita oleh
masyarakat Indonesia, yakni diskriminasi sistemik. Diskriminasi
sistemik adalah tindakan meniadakan atau mengecilkan peran
seseorang di masyarakat, karena latar belakang suku, agama, rasa,
ataupun golongannya di masyarakat. Misalnya etnis minoritas yang
tidak akan pernah menjabat sebagai presiden, sulitnya kelompok
minoritas memasuki perguruan tinggi negeri, sulitnya penganut
agama minoritas mendirikan rumah ibadah, dan berbagai
diskriminasi lainnya. Disebut bersifat sistemik karena kejahatan ini
telah begitu mengakar pada budaya maupun sistem birokrasi di
Indonesia, sehingga tidak lagi dilihat sebagai suatu tindakan jahat,
namun sebagai tindakan yang sewajarnya dilakukan (banal). Pada
titik ini analisis Arendt jelas amat relevan untuk memahami
permasalahan diskriminasi sistemik di Indonesia. Para pelaku dari
kejahatan ini bukanlah orang-orang kejam, melainkan orang-orang
yang tidak berpikir secara mendalam, dan tak punya imajinasi untuk
membayangkan penderitaan orang lain.
Dengan berpijak pada pemikiran Arendt, kita bisa me nyimpulkan
satu argumen sederhana, bahwa akar kejahatan tidak melulu
kebencian, dendam, ataupun pikiran kejam, melainkan sikap patuh
buta pada sistem dan aturan, yang tidak disertai dengan sikap kritis
maupun reflektif. Kejahatan semacam ini memiliki dampak amat
besar, namun pelakunya adalah orang-orang biasa yang tidak
merasa berbuat jahat. Mirip seperti seekor monyet yang menyela -
matkan ikan, karena ia mengira, ikan itu tenggelam di air.

F I L S A FAT A N T I - KO R U P S I

Akhirnya si monyet justru membunuh si ikan, walaupun niat awalnya adalah menolong si
ikan. Yang perlu dilakukan kemudian adalah pendidikan untuk berpikir kritis dan reflektif di
dalam bertindak dan memahami pelbagai hal di dunia. Berpikir kritis berarti orang mampu
mengambil jarak dari peristiwa yang dialaminya, bersikap skeptik, lalu membuat penilaian
secara tepat atas peristiwa tersebut. Berpikir reflektif berarti melihat ke dalam diri sendiri,
lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan, apakah jalan yang ditempuhnya sudah tepat. Pola
semacam ini tidak hanya diterapkan di sekolah, tetapi juga di dalam keluarga. Hanya dengan
mengembangkan pola berpikir kritis dan reflektif di berbagai segi kehidupan bangsa,
Indonesia bisa terhindar dari penyakit tak berpikir dan kemiskinan imajinasi yang mematikan
.Bab 5

Korupsi dan Simbolisme Kejahatan

P ada bab sebelumnya kita sudah melihat argumen I Ian- nah


Arendt, bahwa orang-orang biasa yang berhati lurus pun bisa
menjadi pelaku kejahatan brutal, termasuk korupsi yang memakan
hak rakyat, jika mereka tak menggunakan imajinasi mereka untuk
membayangkan penderitaan orang lain, dan tidak berpikir di dalam
bertindak ataupun membuat keputusan. Pada bab ini dengan
berbekal pemikiran Paul Ricoeur, saya akan meneliti simbol-simbol
kejahatan yang ada di dalam diri sejarah manusia.

Pertanyaan terpenting yang menggantung di sekujur buku ini


adalah, apakah manusia memiliki sisi gelap yang mendorongnya
untuk bertindak korup, jahat, dan kejam? Apa kah kejahatan
bermukim di dalam diri manusia, walaupun menurut tradisi religius,
manusia itu adalah makhluk yang diciptakan sesuai dengan citra
Tuhan? Jawabannya jelas dan lugas, yakni YA! Pengandaian bahwa
manusia itu makhluk yang baik, yang ramah, yang jinak, seperti
pada konsep kondisi alamiahnya Jean-Jacques Rousseau, ataupun
pengandaian antropologis tradisi-tradisi religius, tampak terlalu
berlebihan, jika dihadapkan pada fakta begitu banyaknya kejahatan
terjadi setiap detiknya di muka bumi ini. Di da lam tulisannya di
rubrik Bentara Kompas beberapa tahun

lalu, Thomas I Iidya Tjaya berupaya memaparkan argumen-


argumen yang menunjukkan bahwa setiap orang itu punya sisi
imoral. Sisi imoral itulah yang merupakan ruang-ruang kosong
tempat kejahatan bermukim. Kejahatan itu sendiri bisa mengambil
beragam rupa, mulai dari pembunuhan massal sampai pencurian
ayam, pemerkosaan sampai pencurian roti. Ada kejahatan yang
sudah direncanakan, dan ada yang terjadi secara spontan. Tindak
pembobolan bank-bank besar adalah kejahatan yang sudah
direncanakan. Hal ini, menurut Hidya Tjaya, menunjukkan
bagaimana manusia mampu merencanakan secara nyaris sempurna
kejahatan mereka.

Setiap orang, siapa pun dia, jika dihadapkan pada keka yaan dan
kekuasaan, seolah menjadi tidak berdaya. Inilah yang disebut
godaan (temptatiori), dan godaan ini tampaknya merupakan pintu
gerbang pertama menuju kejahatan. Godaan ini menyerang siapa
pun, dan bisa menaklukkan siapa pun, mulai dari pemuka agama
yang paling saleh, sampai orang yang memang pada dasarnya haus
akan kekuasaan. Menanggapi hal ini, Aristoteles pernah
berpendapat bahwa pada hakekatnya, kejahatan itu merusak jiwa
pelakunya. Jadi, jika orang berbuat jahat, hanya tampaknya sajalah
ia menang dan berkuasa, sebenarnya, jiwanya menderita. De ngan
kata lain, orang yang berbuat jahat sebenarnya telah
menghancurkan jiwanya sendiri. Oleh karena itu, jika orang ingin
jiwanya selamat, maka mereka harus memilih menderita daripada
melakukan kejahatan.
Rumusan ini memang positif dan ideal, tetapi apakah sesuai
dengan kenyataan? Jika anda ditawari kekuasaan dan kekayaan
yang meliputi seluruh dunia ini, apakah anda de ngan mudah akan
menolak tawaran itu? Untuk membedah masalah ini, Thomas Hidya
Tjaya menggunakan contoh kisah Dr. Faust yang ditulis oleh Johann
Wolfgang von Goethe. Di dalam kisah ini, Setan mengunjungi Faust,
dan berniat membuat perjanjian dengannya. Setan berjanji
memberikan kepada Faust semua pengetahuan dan kekuatan magis
yang tidak dimiliki manusia lainnya. Dengan ini, Faust bisa
memenuhi semua keinginannya, yakni menjadi berkuasa dan kaya
raya. Setan pun mengajukan satu syarat, setelah meninggal, Faust
harus menyerahkan jiwanya kepada Setan. Untuk memenuhi tujuan
itu, Setan mengirimkan anak buahnya yang bernama
Mephistopheles. Anak buahnya inilah yang akan memberikan
pengetahuan serta kekuasaan kepada Faust. Memang, pada
akhirnya, Faust rela menyerahkan jiwanya kepada Setan demi
keinginan duniawinya.

Hidya Tjaya pun mengajukan pertanyaan, mengapa manusia bisa


dengan mudah menjual harga diri, integritas, dan bahkan jiwanya
demi kekayaan dan keuntungan material? Singkat kata, mengapa
manusia begitu mudah terjerumus ke dalam kejahatan, walaupun
kejahatan itu pada akhirnya menyiksa jiwanya sendiri? Tulisan kecil
ini tidak berpretensi untuk menjawab pertanyaan besar tersebut,
melainkan lebih ingin mendekati problem persentuhan manusia
dengan kejahatan dari sudut pandang pemikiran Paul Ricoeur, teru -
tama di dalam bukunya yang berjudul Symbolism of Evil Argumen
yang ingin diajukan adalah bahwa akar kejahatan di dalam diri
manusia terletak pada persentuhan dirinya dengan kejahatan itu
sendiri. Pengalaman bersentuhan dengan kejahatan itu dijabarkan
Ricoeur dengan menggunakan tiga simbolisme, yakni simbolisme
noda jiwa [defilement), simbolisme dosa (sm), dan simbolisme rasa
bersalah ( guilt). Di dalam tiga pengalaman primordial inilah
kejahatan di dalam diri manusia bermukim.

1. Symbolism o f Evil

Ricoeur menulis karyanya yang termasyhur berjudul The


Symbolism of Evil pada 1960. Ini adalah karya awalnya yang
berkaitan dengan hcrmeneutika. Saya menggunakan buku The
Symbolism o f Evil terjemahan Emerson Buchanan yang
diterbitkan pada 1967. Sebagai teks pembantu, saya
menggunakan tulisan Theodoor Marius Van Leeuwen yang
berjudul The Surplus of Meaning. Di dalam Symbolism of Evil,
Ricoeur banyak menulis tentang hakekat dari bahasa. Baginya,
bahasa simbolik adalah "bahasa yang paling mungkin untuk
terjadinya kejahatan" (S E 9; fr. 16). Artinya, bahasa selalu dalam
tegangan dialektis dengan realitas. Bahasa tidak mampu
mengungkapkan realitas seakurat-akuratnya. Di sinilah celah dari
bahasa yang akhirnya justru menjadi ruang bagi kejahatan. Hal
yang sama juga terjadi dengan hakekat dari kejahatan itu sendiri.
Bagi Ricoeur, hakekat dari kejahatan bersifat konfliktual, dan
tidak pernah stabil. Dimensi konttiktual dari kejahatan tersebut
paling tampak memang di dalam bahasa simbol. Ia pun
menambahkan bahwa ada tiga metafor simbolik yang menjadi
fondasi dari semua kejahatan, yakni Noda jiwa ( defilement), dosa
(siri), dan rasa bersalah [guilt). "Di sini", demikian tulis Ricoeur,
"kita berbicara kejahatan dalam arti metaforik, yakni sebagai ket-
erasingan [estrangement), perbudakan (bondage), dan beban
hidup (bu r den)." (seperti dikutip Leeuwen, 1981, 136.) Nah, ia
kemudian berpendapat bahwa symbolism of evil merupakan
totalitas dari tiga fondasi itu. Yang paling mendasar di sebutnya
sebagai simbol-simbol primer ( primary symbols). Pada level kedua
adalah narasi-narasi ( narratives), di mana berbagai mitos tentang
dosa, noda jiwa manusia, dan rasa bersalah ditafsirkan. Yang
ketiga disebutnya sebagai simbol- simbol spekulatif ( spéculative
symbols), di mana berbagai argumen teologis-religius yang ada di
dalam tradisi diangkat ke level reflektif, dan kemudian ditafsirkan.

Di dalam melihat berbagai mitos dan cerita tentang keja hatan di


berbagai tradisi, Ricoeur membedakan tiga macam level tafsiran.
Yang pertama adalah simbol-simbol primordial (primordial symbols).
Yang kedua adalah tafsiran level pertama (first degree
hermeneuties), dan yang ketiga adalah tafsiran level kedua (second
degree hermeneuties). Leeuwen memberikan contoh tentang hal ini.
Misalnya, kita berupaya memahami hakekat dari dosa di dalam
agama Kristen. Dari sudut pandang Ricoeur, kita bisa membagi tiga
hal. Yang pertama adalah simbol-simbol primordial tentang dosa. Ini
disebut sebagai simbol-simbol primordial, yakni level pertama
tafsiran. Yang kedua adalah bagaimana simbol-simbol dosa tersebut
ditafsirkan di dalam kitab Kejadian sebagai jatuhnya Adam ke dalam
dosa. Ini adalah tafsiran level pertama. Yang ketiga adalah tentang
bagaimana dosa Adam tersebut ditafsirkan sebagai dosa asali
manusia, yakni sua- tu tafsiran yang melekat erat pada tradisi
maupun otoritas religius Gereja Katolik abad pertengahan. Ini yang
disebut sebagai tafsiran level kedua. Nah, argumen yang diajukan
Ricoeur adalah, bahwa tiga level tafsiran tersebut haruslah
dimengerti sebagai suatu tafsiran yang saling terkait. "Ada lah
keseluruhan lingkaran," demikian tulisnya, "yang terdiri dari
pengakuan, mitos, dan spekulasilah yang harus kita me ngerti." (SE
9; fr. 17, seperti dikutip Leeuwen, ibicl). Artinya, mitos dan spekulasi
teologis-religius harus selalu dimengerti dalam kaitannya dengan
bahasa simbolik-metaforik yang ada di dalam tradisi, terutama
tradisi tulisan. Ini salah satu kontribusi penting pemikiran Ricoeur,
yakni mengajak kita untuk menempatkan kembali berbagai mitos
maupun spekulasi teologis di dalam konteks yang lebih luas, yak ni
dalam arti simbolik-metaforik. Jadi, buku Symbolism of Evil mau
menganalisis berbagai simbol kejahatan di dalam tradisi teologis-
religius yang diturunkan di dalam bentuk tulisan. Kelebihan dari
tafsiran ini adalah kemampuannya untuk kurang lebih dapat
mencapai objektivitas penafsiran, terutama tentang pengalaman
akan kejahatan yang dialami manusia di dalam sejarah. Tafsiran
tersebut dapat didasarkan langsung pada teks, di mana makna dan
tafsiran baru dapat memperkaya pemahaman manusia akan dirinya
sendiri secara otoritatif.

2. Tentang Noda Jiwa

Seperti sudah disinggung sebelumnya, pengalaman pri mordial


manusia bersentuhan langsung dengan kejahatan dapat dilihat
dalam tiga simbolisme mendasar, yakni Noda jiwa, dosa, dan rasa
bersalah. Noda jiwa berkaitan dengan kejahatan sebagai sesuatu
yang ditularkan dari luar diri manusia ke dalam jiwanya. Dosa
berkaitan dengan kejahatan sebagai rusaknya hubungan manusia
dengan Tuhan. Dan rasa bersalah sebagai rasa tanggung jawab
manusia terhadap kesalahan personalnya.

Tiga pengalaman ini juga menyangkut tiga dimensi men dasar


kehidupan manusia, yakni dimensi kosmik ( cosmic cii- mension) yang
merupakan pengalaman akan yang kudus ( sa- cred), dimensi on-
eirec (on-eirec dimension) yang merupakan suatu bentuk reaksi fisik
terhadap kejahatan, dan dimensi puitis (poetic dimension) yang
merupakan reaksi manusia terhadap metafor-metafor, gambar-
gambar, dan kata-kata di dalam tradisi mitologis. (Leeuwen, 138).
Simbolisme ( sym- bolism) pertama adalah simbolisme yang
berkaitan dengan dimensi kosmik dari diri manusia. Simbolisme ini
berakar pada budaya-budaya mitis di dalam sejarah peradaban.
Dari sudut pandang ini, kejahatan dipandang sebagai pelanggar an
objektif yang dilakukan manusia terhadap yang kudus. Manusia pun
dianggap telah menjadi bagian dari yang "tidak murni" [the impure).
Kejahatan pun dipandang sebagai sesuatu yang bersifat pra-etis,
yakni belum mendapatkan penilaian baik ataupun buruk. Kesalahan
manusia yang bersifat aktif maupun ketidakberuntungan manusia
yang bersifat pasif pun belum dibedakan. Reaksi manusia atas hal
ini pun masih singular, yakni ketakutan. Setiap tindakan yang me -
ngacaukan tatanan yang telah diciptakan yang kudus diang gap akan
menciptakan ketidakberuntungan. Oleh karena itu, manusia mulai
membuat ritus-ritus, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang
dianggap tabu. Ritus diperlukan, supaya manusia bisa memurnikan
dirinya. Ritus adalah suatu tindak purifikasi manusia terhadap Noda
jiwanya. Di sini, purifikasi kejahatan pun diartikan secara simbolik,
yakni sebagai ritus simbolik untuk membersihkan manusia dari
kejahatan, yakni kejahatan yang dianggap sebagai sesuatu yang
datang dari luar.

Simbol-simbol dari kejahatan dapat dilihat langsung di dalam


kebudayaan manusia. Kejahatan pun dianggap se suatu yang datang
dari luar. Anggapan ini masih ada di da lam pemahaman kolektif
masyarakat kita. Untuk itu pulalah manusia membuat ritual, yakni
untuk melawan dan membersihkan diri dari kejahatan. Freud
menyebut ini sebagai suatu momen neurotik obsesional. Jadi, di
satu sisi, simbolisme menjadi suatu bentuk pengalaman langsung
manusia bersentuhan dengan kejahatan. Di sisi lain, sim bolisme
juga merupakan suatu tanda adanya keinginan di dalam diri
manusia untuk bergerak dari level pra-etis ke level etis. Menurut
Leeuwen, pergerakan ini terjadi, ketika manusia mencoba
menterjemahkan pelanggaran dan ketakutannya ke dalam bentuk
kata-kata. 'Adalah mulai dari kata-kata/' demikian Ricouer,
"kejahatan menampakan sisi etisnya daripada dalam bentuk fisik."
(SE 42; fr. 46) Di titik ini, manusia mulai menimbang-nimbang
kembali semua kemalangan yang ia derita. Ia pun mulai melihat
kemalangan sebagai suatu hukuman dari kejahatan yang ia lakukan.
"Jika manusia dihukum karena ia berdosa," demikian tambahnya,
"maka ia haruslah dihukum karena ia memang berdosa." [ibid, 42, fr.
47) Dengan argumen ini, Ricoeur tampak mau berpendapat, bahwa
setiap kemalangan dan penderitaan pasti memiliki alasan, yakni
sebagai suatu peringatan untuk kembali memulihkan apa yang
sebelumnya tidak tertata. Artinya, ada perubahan pemahaman di
sini. Kekuatan kosmik, yakni relasi manusia dengan yang kudus,
tidak lagi dianggap menakutkan, melainkan dianggap sebagai
sesuatu yang agung dan bermakna.
3. Tentang Dosa

Walaupun memiliki kaitan dengan Noda jiwa, konsep dosa


sebagai pengalaman primordial manusia berhadapan dengan
kejahatan tetap harus ditafsirkan secara independen. Sebelumnya,
yakni di dalam konsep Noda jiwa, kejahatan dianggap sebagai
sesuatu yang objektif. Manusia hidup di dalam kosmos yang
memiliki perbedaan yang jelas antara apa yang murni dan apa yang
tidak murni ( impure). Kejahatan dianggap memiliki status ontologis
yang jelas dan berada di luar manusia. Di dalam simbolisme dosa
(stn), kategori sentral yang digunakan Ricoeur sebagai pisau
analisis adalah bahwa manusia merupakan "makhluk-ciptaan-
Tuhan". Tuhan berbicara kepada manusia, dan manusia harus men -
jawab. Di sini, kejahatan diartikan secara religius, dan bukan secara
moral (Leeuwen, hlm. 139). Salah satu contoh paling jelas tentang
simbolisme kedua ini adalah tradisi Perjanjian Lama di dalam Kitab
Suci Kristen. Di dalam perjanjian lama, cinta Tuhan kepada manusia
haruslah dibalas dengan kesetiaan serta kepercayaan manusia
kepada Tuhan. Menurut Leeuwen, Ricoeur di sini hendak
memaparkan simbolisme tentang dosa ( symbolism of sin) dengan
dua cara. Pertama, manifestasi dari yang kudus tidak lagi dipahami
sebagai sesuatu yang ada di dalam alam, tetapi berada di dalam se-
jarah antara Tuhan dan manusia. Seluruh tradisi Yudaisme
didasarkan pada satu pengandaian bahwa Tuhan bekerja di dalam
sejarah manusia. Kedua, kejahatan lalu dipahami se bagai tanggung
jawab manusia. Akan tetapi, kejahatan ini belum dianggap sebagai
sesuatu yang personal, sehingga belum menciptakan rasa bersalah.
Sejarah, dengan demikian, dipandang sebagai sejarah Tuhan dan
umatNya. Dosa pun dipahami sebagai "ketidakpatuhan umat" (ibid).

Di dalam tradisi Yudaisme, cinta Tuhan kepada manu sia haruslah


dibalas dengan komitmen penuh. Di sini, cinta Tuhan itu mengambil
dua bentuk, yakni aspek ketidakter- batasannya, dan aspek
keterbatasannya yang terwujud dalam bentuk hukum-hukum. Di
dalam hukum-hukum itu, Tuhan menuntut kepatuhan total dan
kesetiaan penuh dari manusia. Seorang pendosa adalah seseorang
yang melanggar hukum-hukum Tuhan. Pelanggaran itulah yang
menciptakan rasa takut di dalam diri manusia. Awalnya, di dalam
simbolisme Noda jiwa, manusia takut akan kejahatan yang berada di
luar dirinya. Kini, di dalam simbolisme dosa, manusia takut akan
Tuhan yang begitu mencintainya. Manusia takut akan murka tuhan.
Nabi-nabi Yudaisme mengklaim bahwa pada hari terakhir, Tuhan
akan datang ke bumi dan membalas semua ketidakadilan yang
dilakukan manusia dengan murka-Nya. "Kesedihan yang mendalam",
demikian tulis Ricoeur, "mendramatisir Perjanjian tanpa pernah
mencapai tahap patahan di mana yang lain absolut akan hilang dari
relasi" (SE 69, fr. 71). Dunia akan mengalami hari terak hir. Hari
terakhir ini tidaklah terelakkan. Walaupun begitu,

manusia masih bisa berperan aktif. Jadi, manusia masih pu nya


pilihan, bahkan ketika hari terakhir akan terjadi. Dalam hal ini,
Leeuwen mengutip tulisan Amos dari kitab suci, "jika kamu
bertindak adil, mungkin Tuhan akan mengampuni kamu" (Amos
5:15, seperti dikutip Leeuwen, 140, dan Ricoeur SE 68;fr. 70).

Dengan demikian, ada dua hal yang menandai pemaparan


Ricoeur tentang dosa. Di satu sisi, pengakuan dosa dianggapnya
sebagai transisi dari pemahaman pra-etis menuju ke pemahaman
etis. Di sisi lain, kesadaran akan dosa belumlah menjadi bagian dari
refleksi personal individu, melainkan masih di level kesadaran
kolektif. Pendosa adalah bagian dari orang-orang yang ternyata juga
"berdosa". Pada titik ini, yang pertama-tama harus disadari adalah,
dosa merupakan sebuah patahan relasi ( rupture of relation). Dosa
adalah suatu bentuk pemberontakan manusia terhadap Tuhannya.
Di dalam dosa, manusia terasing dari Tuhan. Manusia men jadi lupa
akan Tuhan penciptanya.

Pada hakekatnya, dosa bukanlah suatu bentuk ketiadaan


(nothingness). Ricoeur justru melihat dosa sebagai sesuatu yang
positif, yakni di mana manusia menemukan dirinya sendiri. Manusia
selalu hidup di dalam komunitas-komunitas pendosa. Oleh karena
itu, dosa adalah sesuatu yang "sudah-ada-di sana". Ini menujukkan
adanya kontinuitas antara simbolisme noda jiwa dan simbolisme
dosa. Pada titik ini, kejahatan dapat dipahami sebagai kekerasan
hati ( hard- heartedness) dan rasa sakit [pain). "Imaji dari dosa",
demikian Ricoeur, "menunjukkan pengalaman pasivitas, keterasing"
an, yang secara paradoks bercampur dengan pengalaman
penyimpangan, yakni sesuatu yang didorong oleh inisiatif kejahatan
itu sendiri" (SE 89; fr. 90 dalam Lccuwen, 140).

Bagi Ricoeur, bentuk pengalaman paling ekstrem dari pasivitas


dosa adalah keterkurungan [capitivity). "Keterkurungan", demikian
tulisnya, "adalah simbol yang paling kuat dari kondisi manusia
dalam pengaruh dari kejahatan" (ibid, 93;fr. 93). Sejarah
menunjukkan hal ini, terutama dalam konteks penahanan bangsa
Israel di Mesir dan Babilonia. Oleh karena itu, di dalam bahasa
Ibrani, dosa juga berarti "dalam keadaan terikat" [ibid]. Ricoeur juga
menambahkan bahwa pengalaman akan dosa memiliki aspek yang
bersifat supra- personal. Dosa dianggap sebagai "simbol dari
penebusan" (SE 91; fr 91). "Manusia yang berada di dalam
penahanan", demikian tulisnya, "adalah manusia yang akan
dibebaskan" [ibid 93; fr 94). Dengan demikian, pemahaman tentang
dosa sebagai "aktivitas" juga didukung oleh pengalaman kolektif di
dalam sejarah manusia. Orang yang berdosa adalah orang yang
terkurung. Sementara, orang yang terkurung adalah orang yang
sedang membayar denda-denda dosanya. Jadi, orang itu
sebenarnya berada di ambang kebebasan. Pengam punan dari Tuhan
dan aktivitas penebusan dosa dari manusia berjalan searah, yakni
sama-sama sebagai tanda kembalinya manusia dari jalan yang
salah (Leeuwen, hlm. 141)
Pada akhirnya, dosa tetaplah merupakan bagian dari fenomena di
dalam ranah teologis-religius. Dosa kepada Tuhan pada akhirnya
dilampaui dengan momen kembalinya manusia kepada Tuhan. Tuhan
memberikan maaf. "Dosa", demikian Ricoeur, "adalah dosa di bawah
sudut pandang absolut dari Tuhan" (SE 84; fr. 85). Kriteria dari dosa
adalah apakah perbuatan itu sesuai dengan kehendak Tuhan atau
tidak. Akan tetapi, manusia tetap harus berefleksi terhadap
tindakan-tindakannya, terutama terhadap dosa- dosanya, motif-
motif tindakannya, sehingga ia bisa sampai pada kesadaran diri.
"Pengamatan terhadap diriku sendiri," demikian tulisnya, "adalah
suatu upaya dari kesadaran diri untuk mendapatkan sudut pandang
yang absolut" (SE 85; fr. 86 dalam Leeuwen, 141). Dengan
demikian, pengakuan dosa selalu sudah melibatkan kesadaran akan
adanya tanggung jawab personal.

4. Tentang Rasa Bersalah

Seperti sudah disinggung sebelumnya, noda jiwa men dominasi


dimensi kosmik ( cosmic dimension) manusia, sementara dimensi
manusiawi ( human dimension) manusia didominasi oleh 'rasa
bersalah'. Jika noda jiwa dan dosa masih berada di level pra-etis,
maka menurut Ricoeur, rasa bersalah sudah berada di tahap etis.
Rasa bersalah tidak lagi berkaitan dengan Tuhan yang menuduh
manusia atas kejahatannya. Pada titik ini, manusia sadar akan
tanggung jawab pribadinya. Ia pun menuduh dirinya sendiri. Krite ria
pengukuran rasa bersalah adalah kesadarannya sendiri. Dengan
demikian, perasaan bersalah adalah sesuatu yang bersifat
individualistik. "Sementara manusia secara radikal dan menyeluruh
adalah seorang pendosa," demikian tulis Ricoeur, " ia kurang lebih
juga seorang yang bersalah." (SE 108; fr. 106) Di sini, Ricoeur
memberikan satu contoh tentang orang-orang Farisi di dalam tradisi
Yudaisme. Di dalam etika Yudaisme, ia melihat adanya tegangan
antara hukum- hukum positif di satu sisi, dan tuntutan yang tidak
mungkin dicapai dari hukum-hukum tersebut. Setiap nabi di dalam
Yudaisme selalu menekankan tuntutan mutlak dari Tuhan. Akan
tetapi, di dalam prosesnya, terutama pada masa-masa pengasingan
di Babilon dan penahanan di Mesir, iman dan kepercayaan rakyat
Israel kepada Tuhan sudah hancur. Etika pun tidak lagi diatur dalam
suatu rumusan positif, tetapi menjadi masalah individual saja. "Jika
salah dan dosa adalah masalah individual," demikian tulis Ricoeur,
"maka penyelamatan juga merupakan masalah individual" (SE 105;
fr. 104 dalam Leeuwen, 142). Pada titik ini, dosa tidak lagi menjadi
masalah kolektif, tetapi menjadi masalah individual.
Tujuan dasar dari Pharisaisme adalah untuk mematuhi perintah
Tuhan yang terdapat di dalam Torah secara mutlak. Torah pun
menjadi panduan hidup yang mengatur semua dimensi kehidupan
manusia. "Hukum itu", demikian Ricoeur, "bukanlah suatu batas
ideal, melainkan suatu program praktis untuk orang-orang yang
hidup" (SE 129; fr. 125). Taurat ditafsirkan, dipecah ke dalam
beragam aturan, dan aturan-aturan inilah yang menjadi panduan
praktis kehidupan. Dalam proses analisisnya, Ricoeur melihat sekali -
gus kelebihan maupun kekurangan dari etika semacam ini. Di satu
sisi, etika Yudaisme ini mengandaikan bahwa pada hakekatnya,
semua manusia bisa berbuat baik. Artinya, kebaikan bisa dan
sangat mungkin untuk dilakukan. Setiap orang memiliki kebebasan
untuk memilih apakah ia akan berbuat baik atau tidak. Etika yang
didasarkan pada kebebasan ini pun menjadi awal bagi etika suara
hati. Di sisi lain,

fanatisme di dalam mengikuti aturan dan hukum justru menciptakan


bahaya. Niat untuk mematuhi aturan menjadi satu-satunya tujuan.
Orang pun jatuh ke dalam ritualisme dan formalisme etika, di mana
aturan menjadi satu-satunya tolok ukur. Bahaya pertama ini
menciptakan bahaya kedua, yakni eksklusivisme, di mana orang-
orang tertentu menciptakan kelompok-kelompok orang-orang murni
[pure mari) yang mengikuti aturan, dan orang-orang tidak murni [im-
pure mari) yang dianggap tidak patuh pada aturan.

Jadi menurut Ricoeur, pengalaman akan kejahatan da lam


simbolisme rasa bersalah mencapai puncaknya pada kesadaran
yang bersifat skrupel, yakni kesadaran yang terlalu patuh pada
aturan. Di sini, rasa bersalah adalah konsekuensi dari pilihan, yakni
konsekuensi dari suatu tindakan bebas. Tindakan manusia pun tidak
lagi didorong oleh rasa takut terjadai kekuatan jahat ataupun rasa
takut kepada Tuhan, seperti pada dua simbolisme sebelumnya.
Suara hati menjadi satu-satunya panduan bagi manusia. Rasa
bersalah menjadi pengalaman yang sepenuhnya individual. Pada ti -
tik ini, sifat individualistik dari pengalaman rasa bersalah bisa
menuntun orang pada sifat individualistik etis, yakni ketika orang
hidup sepenuhnya demi kemurnian dirinya sendiri. Hukum menjadi
jalan bagi manusia untuk mencapai kejahatan baru, yakni kehendak
untuk menyelamatkan diri sendiri demi kepentingan diri sendiri
pula. Hal ini terjadi pada orang-orang yang skrupel. Di dalam diri
orang yang skrupel, hukum menjadi penjajah bagi kebebasannya.
Karena kelemahan dan ketidakmampuannya mematuhi hukum, ia
mulai merasa bersalah pada dirinya sendiri. Ia

seolah menjadi hakim bagi dirinya sendiri, dan secara kon stan
mengecek tindakannya, apakah sudah sesuai hukum atau belum
(Leeuwen, 143). Di sinilah paradoksnya tam pak, orang yang hendak
hidup dengan mempraktekkan hukum setepat-tepatnya justru
menjadi menjadi korban dari teror hukum itu sendiri. Ia telah
terjajah oleh hukum. Oleh karena itu, ia memiliki rasa bersalah yang
besar, karena bagaimanapun ia berusaha, ia tidak akan bisa
mematuhi hukum sepenuh-penuhnya. "Orang semacam ini",
demikian Ricoeur, "mengalami momen penuduhan-diri, ia terjebak
di dalam dosa dari semua dosa, yakni kesedihan karena telah
diselamatkan" (SE 146; fr. 141, dalam Leeuwen, ibid).

Jadi, pretensi untuk mematuhi hukum secara mutlak, menurut


Ricoeur, adalah suatu bentuk kebohongan. Pretensi ini juga
sekaligus merupakan akar dari semua kejahatan (root of all evit). Di
sini, manusia lebih percaya pada dirinya sendiri ketimbang percaya
kepada Tuhan. Apa yang tadinya merupakan bentuk dedikasi kepada
Tuhan justru pada akhirnya menjadi penghinaan kepadaNya. "Bukan
hukum", demikian Leeuwen, "tetapi kepercayaan pada keadilanlah
yang membuat kita bebas." (Leeuwen, ibid) Membaca ini, saya jadi
teringat argumen menarik yang pernah dipaparkan Budi Hardiman
di dalam bukunya yang berjudul Memahami Negativitas. Di dalam
buku itu, ia mengutip dari C.P Snow begini, "Bila orang menelusuri
sejarah umat manusia yang panjang dan kelabu", demikian Snow,"
orang akan menemukan bahwa lebih banyak kejahatan yang
menjijikkan dilakukan atas nama kepatuhan daripada atas nama
pembangkangan" (Budi Hardiman, hlm. 115). Kiranya, kutipan ini
mempertegas apa yang ingin disampaikan Ricoeur dengan
simbolisme rasa bersalahnya ( symbolism of guilt).

Saya hendak menyimpulkan beberapa hal tentang sim bolisme


kejahatan yang dirumuskan Ricoeur untuk menjelaskan akar-akar
kejahatan. Untuk bagian ini, saya terin- spirasi dari pemaparan Kecs
Bertens di dalam bukunya yang berjudul Filsafat Barat Kontemporer:
Prancis. Simbolisme pertama adalah noda jiwa. Di dalam simbolisme
ini, kejahatan dihayati sebagai sesuatu yang ada pada dirinya
sendiri. Kejahatan dilihat sebagai sesuatu yang datang dari luar,
dan dengan begitu menciptakan penderitaan bagi manusia. Pada
titik ini, kejahatan masih merupakan sesuatu yang objektif.
Bertindak jahat berarti bertindak merusak tatanan dan har moni
yang ada. Di dalam pemikiran Ricoeur, kejahatan di dalam
simbolisme noda jiwa ini masih berada di tahap pra- etis.
Simbolisme kedua yang ia rumuskan adalah simbolisme dosa
( symbolism of sin), yakni ketika manusia melakukan kejahatan di
hadapan Tuhan. Pada titik ini, bertindak jahat bukanlah berarti
melakukan tindakan yang merusak tatanan, melainkan melakukan
tindakan yang melanggar perintah Tuhan. Simbol ini pertama kali
tampak di dalam kesadaran religius bangsa Israel pada jaman nabi-
nabi (Bertens, 264).

Dosa merupakan tanda pengkhianatan orang pada Tuhannya.


Oleh karena itu, hukuman bagi seorang pendosa adalah murka dari
Tuhan. Dosa adalah momen, ketika hati seseorang menjadi keras,
dan tidak lagi mampu mendengar sapaan Tuhan. Simbolisme ketiga
adalah rasa bersalah. Rasa bersalah ini muncul, karena manusia
menjadi fanatik terhadap hukum-hukum dan aturan-aturan. Melalui
sikap fanatiknya itu, ia menjadikan hukum sebagai Tuhan. Padahal,
manusia itu pada dasarnya selalu tidak mampu mematuhi hukum
secara mutlak. Ia selalu mempunyai kelemahan. Maka, ketika ia
tidak mampu mematuhi hukum, ia menjadi merasa bersalah pada
dirinya sendiri. Ia mengutuk dirinya sendiri. Niat awalnya adalah
patuh pada hukum. Akan tetapi, hasil akhirnya adalah kejahatan itu
sendiri. Dengan tiga simbolisme kejahatan ini, Ricoeur mencoba
mengangkat akar-akar dari kejahatan itu sendiri, baik sebagai
kejahatan objektif, kejahatan terhadap Tuhan, maupun kejahatan
personal manusia terhadap dirinya sendiri. Apakah pemaparannya
ini cukup memadai? Jawabannya bisa beragam. Mungkin, sisi gelap
manusia merupakan bagian dari diri manusia yang terus menjadi
misteri, dan karena itu selalu disebut sebagai "gelap", karena pada
dasarnya, kita hanya bisa meraba dan mengais, tanpa bisa
memahaminya secara mutlak. Mungkin ...***
Bab 6

Korupsi sebagai Kejahatan Sistemik

K orupsi di Indonesia bukan hanya persoalan ekonomi, politik,


ataupun hukum semata, tetapi lebih dalam dari itu, yakni soal
kultural, dan soal "kondisi manusiawi" kita sebagai manusia
(human condition). Ini membuat korupsi akhirnya bersifat sistemik.
Artinya yang korup bukan hanya manusianya, tetapi juga sistem
yang dibuat oleh manusia tersebut yang memiliki skala lebih luas,
dan dampak lebih besar. Pada bab ini dengan berbekal pemikiran
Theodor Adorno, saya akan mencoba melihat korupsi sebagai suatu
bentuk kejahatan sistemik. Sebagai acuan saya meng gunakan
pemikiran Peter Dcws.' 20
Holocaust pada perang dunia kedua adalah latar belakang yang
membayangi pemikiran Adorno. Tulisannya dipenuhi dengan analisis
yang dibayangi oleh suatu warna trauma terhadap holocaust.
"Untuk menulis puisi setelah Auschwitz", demikian tulisnya, "adalah
suatu tindakan biadab". 12 ' Dalam konteks filsafat ia berpendapat,
bahwa seluruh sejarah filsafat barat ditandai oleh satu ciri tunggal,
yakni ketakutan

,2
° Pada bab ini, saya mengacu pada Peter Dews, The Idea of Evil,
Oxford, Blackwell, 2008.

terhadap yang lain. Yang lain diserap ke dalam yang sama. Adorno
menyebut yang lain ini sebagai yang tidak identik (non-identical).
Seluruh peradaban Barat, seperti kita pahami sekarang ini di Eropa,
Amerika, dan pengaruhnya di berbagai belahan dunia, dibentuk oleh
suatu cara berpikir yang disebut sebagai cara berpikir identitas
( identity think- ing). "Pemikiran Semacam itu", demikian tulis Dews
tentang Adorno, "memusnahkan secara pragmatis segala sesuatu
yang tidak relevan, ... dan semua pembedaan kualitatif." 122 Cara
berpikir ini mencerminkan dorongan subjek, yakni manusia, untuk
mengontrol segala sesuatu yang berada di luar dirinya, dan
mencurigai segala sesuatu yang tidak bisa dikontrolnya. Kamp
konsentrasi yang didirikan NAZI Jerman adalah puncak dari cara
berpikir ini. "Filsafat dengan identitas murni", demikian Adorno,
"adalah kematian." 123

Menurut Adorno subjek, yakni manusia yang aktif menghadapi


dunia, adalah subjek yang terputus dari alam keseluruhan, lalu
secara sadar diri menjadi subjek yang melulu bersifat kalkulatif
terhadap dunia. Keterputusan dan kalkulasi atas alam itu semata-
mata dilakukan untuk mempertahankan keberadaan dirinya.
"Manusia", demikian tulis Dews tentang Adorno, "secara progresif
mengambil jarak dari dirinya sndiri secara reflektif demi
kepentingan mempertahankan dirinya." 124 Kemampuan inilah yang
membuat makhluk lemah seperti manusia mampu bertahan hidup
menghadapi kekuatan alam. Bentuk pengambilan jarak itu
Ibid.
123
Dikutip oleh Dews, ibid. «2-« lUiA
Klm i««

pada akhirnya membuahkan kontrol terhadap alam, yang paling


konkret terlihat dalam perkembangan teknologi dan ilmu-ilmu alam.
Dalam arti ini subjek, yakni manusia yang aktif, adalah sesuatu
yang sangat konkret, dan bukan sekedar ilusi, seperti yang
dikatakan oleh salah seorang filsuf besar abad ke-19, Nietzsche.

Bagi Adorno subjek adalah sesuatu yang sungguh konkret.


Subjek baru jatuh menjadi ilusi belaka, ketika ia menganggap
dirinya sebagai suatu entitas yang tidak material, yang sungguh
terpisah dari alam. Subjek yang imaterial ini dianggap berada pada
status yang lebih tinggi dari pada dunia eksternal, sehingga seluruh
realitas pun pada akhirnya dipandang sebagai eksternalisasi dari
subjek. Realitas ada sejauh realitas tersebut dipikirkan dan
dipersepsikan oleh subjek. Padahal menurut Adorno apa yang
ditangkap oleh subjek adalah konsep dari realitas, dan bukan
realitas itu sendiri. Di dalam proses konseptualisasi ini, segala
sesuatu yang bersifat plural di dalam realitas diabaikan. Inilah yang
disebut Adorno sebagai pemikiran identitas ( identity think- ing).

Para filsuf, menurut Adorno, memiliki kecenderungan cara


berpikir identitas semacam ini. Ia menunjuk langsung pada Hegel.
Menurutnya Hegel telah mereduksikan makna kerja dan aktivitas
manusia melulu pada kerja akal budi. Bisa dibilang Hegel hendak
menghisap seluruh realitas ke dalam pikirannya. Padahal, seperti
sudah disinggung sebelumnya, realitas itu begitu plural dan
kompleks. Banyak aspek di dalam realitas yang tidak bisa
sepenuhnya ditangkap oleh konsep akal budi manusia. Aspek inilah
yang disebut non identik dari realitas dunia filsafat merupakan
aspek yang selama berabad-abad selalu terpinggirkan.
Mirip dengan Karl Marx, Adorno berpendapat bahwa pikiran
manusia tidaklah bersifat mandiri terhadap realitas, melainkan
justru terkait dengannya. Akan tetapi pengaruh Marx tidak hanya
sampai di situ. Sama seperti Karl Marx, Adorno juga berpendapat
bahwa sejarah manusia haruslah dipandang sebagai sejarah natural
( natural history). Konsep ini digunakan oleh Marx untuk menekankan
pengaruh kuat dari relasi-relasi ekonomi di masyarakat terhadap diri
individu. Pengaruh ini menekan kesadaran dan kehendak individu
sedemikian rupa, sehingga ia tidak menyadarinya. Akan tetapi
pengaruh itu, menurut Adorno, tidaklah bisa dianggap sebagai
hukum baja gerak sejarah manusia. Sebaliknya konsep sejarah
natural itu adalah suatu konsep yang kritis, yakni bahwa pengaruh
kuat dari relasi sosial ekonomi tersebut dapat dibatasi, sehingga
kebebasan manusia dapat timbul. Aspek kritis dari sejarah natural
inilah yang luput dari mata para filsuf sebelumnya.

Adorno juga tidak setuju dengan Marx, terutama jika dikatakan


bahwa akar dari semua krisis peradaban terletak pada relasi sosial
ekonomi kapitalisme. Fakta bahwa setelah Uni Soviet
menghancurkan kapitalisme dan mendirikan tata sosial komunisme
tidak menghilangkan dominasi dan keterasingan di sana
menandakan, bahwa analisis Marx tidaklah tepat pada sasaran.
Peradaban modern ditandai dengan keterkaitan erat antara dunia
politik dan ekonomi yang menghasilkan ranah baru, yakni ekonomi
politik. Ranah ini mengaitkan pertukaran komoditi di bidang
ekonomi dengan dengan dominasi di bidang politik.' 25

Pengandaian dasar dari seluruh filsafat Adorno adalah bahwa


masyarakat modern semakin didominasi oleh sistem. Dominasi
tersebut terwujud di dalam kontrol terhadap tubuh, perilaku, dan
pikiran dari individu, sehingga individu tidak lagi bisa menjadi
subjek. Kontrol itu dilakukan melalui manipulasi media, iklan, dan
kultur industrial yang mendikte manusia, dan pada akhirnya
memangkas otonomi manusia sebagai subjek. Dalam konteks
filsafat semua aspek non identik di dalam realitas direduksi melulu
menjadi identitas absolut, serupa seperti di dalam filsafat Hegel.
Semua perbedaan dan kontradiksi di dalam realitas ingin dilampaui
dengan pikiran, walaupun pelampauan itu dilakukan dalam bentuk
kontrol dan pemaksaan.

Pertanyaan mendasar berikutnya adalah, apa yang men jadi daya


dorong dari sejarah, yang pada akhirnya mencip- takan dunia
terkontrol, seperti yang menjadi buah analisis Adorno? Hegel
berpendapat bahwa daya dorong sejarah adalah roh yang mencari
dirinya sendiri, dan pada akhirnya mencapai level absolut di akhir
sejarah. Sementara Marx berpendapat bahwa daya dorong sejarah
adalah proses- proses ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat.
Apa yang menjadi pendapat Adorno? 38 Pendapat Adorno, menurut
Dews, terdapat di dalam eseinya yang berjudul The Iclea of Natural
History, dan nantinya akan semakin berkembang di dalam The
Dialectic of Enlightment, buku yang ditulis bersama koleganya, Max
Horkheimer.

Argumennya begini; manusia memisahkan dirinya secara reflektif


dari alam. Itu dilakukannya demi mempertahankan keberadaan
dirinya. Pemisahan itu membuahkan jarak. Jarak menciptakan
pengetahuan, dan pengetahuan pada akhirnya menciptakan kontrol.
Dalam bahasa filsafat, manusia sampai pada logos sejarah yang
rasional dengan pertama- tama menolak mitos dari alam yang
cenderung tidak rasional. Akan tetapi penggunaan akal budi untuk
menciptakan kontrol atas alam berakhir pada musnahnya kekuatan-
kekuatan spontan kehidupan, yang justru membuat akal budi itu
berkembang pada awalnya. Artinya kekuatan akal budi, yang pada
awalnya digunakan untuk memperbesar kebebasan manusia atas
alam, kini justru pada akhirnya memangsa kebebasan itu sendiri.
Proses ini terjadi akibat tindakan manusia yang melulu diatur
dengan logika rasionalitas instrumental. Di dalam logika ini, alam
kehilangan ciri mistiknya, dan melulu menjadi profan. "Ciri alam",

38 IJS
Lihat, Dews, 2008, hlm. 191. 1:6
Lihat, ibid, hlm. 192.
demikian tulis Dews tentang Adorno, "kini dibekukan sebagai objek
dari dominasi." 127

Dengan demikian bagi Adorno, akar kejahatan sebenarnya


terletak pada pembentukan kebebasan manusia dengan menempuh
cara oposisi terhadap alam. Artinya manusia justru menjadi subjek
bebas, tetapi dengan menjadikan alam sebagai korbannya. Inilah
akar kejahatan yang terletak di level sosial. Di dalam bukunya Dews
menyebut ini sebagai Radicai Evil as Social Category, jadi kejahatan
127
Ibid.

yang berakar pada kategori epistemologis yang bergerak di ranah


sosial. Alam di sini bukan hanya dipahami sebagai alam natural, itu
juga, tetapi sebagai alam sosial, yakni alam yang merupakan
produk dari aktivitas manusia. Di dalamnya termasuk budaya,
pendidikan, ekonomi, politik, dan seni. Semua ranah itu, menurut
Adorno, sudah dijajah oleh cara berpikir instrumental yang bersifat
berjarak, dominatif, dan kalkulatif. Kekuatan-kekuatan spontan
kehidupan dihancurkan atas nama efisiensi dan efektivitas.

Dengan demikian terjadi kontradiksi di dalam usaha manusia


untuk menjadi subjek yang bebas. Manusia mengambil jarak dari
alam, memahaminya, menguasainya, dan meng hancurkannya.
Padahal manusia bisa berkembang ke arah kebebasan, berkat
pengetahuannya atas alam. Akan tetapi kini alam tersebut hancur,
karena ulah manusia sendiri. Sekali lagi alam itu bukan hanya alam
natural, tetapi juga alam sosial. Puncak dari "kejahatan" manusia ini
adalah ho- locaust.

Semua gejala ini disebut Adorno sebagai suatu kejahatan radikal,


yakni kejahatan yang telah menjadi total. Kejahatan telah
menggejala secara luas di dalam masyarakat, sehingga tidak lagi
dikenali sebagai kejahatan. "Di dalam masyarakat total", demikian
tulisnya, "totalitas telah menjadi kejahatan radikal". 128 Kejahatan
telah beradaptasi dengan kesadaran dan dunia manusia, sehingga
tidak lagi dikenali sebagai kejahatan. Hannah Arendt, seorang filsuf
perempuan Jerman abad kc-20, berpendapat bahwa di era sekarang,
kejahatan telah menjadi banal. Kejahatan telah menjadi sesuatu
yang
1:8
Ibid, hlm. 195.

biasa, yang rutin, sehingga kehilangan ciri jahatnya. Akan tetapi


pernyataan tersebut kurang tepat, menurut Adorno. Baginya
bukanlah kejahatan yang telah menjadi banal, tetapi kategori kita
mengenai banal atau tidaknya kejahatanlah yang telah menjadi
jahat. Inilah akibat dari kejahatan yang telah menjadi total di dalam
masyarakat yang disebutnya sebagai kejahatan radikal ( radical evil).
Dalam arti ini kejahatan yang radikal adalah kejahatan yang sah.
Pertanyaan kemudian adalah apa relevansi dari analisis dan refleksi
Adorno ini?

Menjawab pertanyaan ini ia mengacu pada holocaust di Jerman


pada masa perang dunia kedua. Ia tidak berkata secara ekspisit,
bahwa holocaust adalah puncak dari kejahatan radikal yang dialami
manusia. Akan tetapi ia berkata, bahwa holocaust menunjukkan
potensi kekejaman yang mungkin dialami oleh masyarakat modern.
Potensi ini tidaklah lenyap, karena banyak orang belum menyadari
bahayanya. Akibatnya kemungkinan akan terulang lagi pun juga
besar. Pada saat holocaust jutaan orang mati di dalam proses pem -
bunuhan yang sangat sistematis. Fakta ini langsung berten tangan
dengan argumen para pemikir pencerahan, yang berpendapat
bahwa sejarah bergerak ke arah kemajuan, yakni kemajuan akan
semakin besarnya kemanusiaan.

Fenomena holocaust, menurut Adorno, haruslah dilihat dengan


pemahaman teoritis yang memadai dan kepekaan moral yang
tajam. Keduanya tidaklah bisa dipisahkan. Analisis yang bersifat
sosiologis dan historis semata tidaklah mencukupi untuk memahami
fenomena itu. Perpisahan pemahaman teoritis dan kepekaan moral
terjadi, karena kejahatan telah menjadi total, dan bercokol di pikiran
manusia. Inilah akibat dari dunia yang telah ditata melulu dengan
cara-cara administratif yang impersonal, efisien, dan efek tif. Adorno
menyebutnya sebagai administered world yang mencakup jaringan
delusi yang bersifat menyeluruh ( cam- prehensive network of
delusion) dan jaringan rasa bersalah yang menyeluruh
( comprehensive network of guilt) sebagai akibat dari holocaust.
Ketiga konsep itu, yakni administered world, jaringan delusi yang
bersifat menyeluruh, dan jaringan rasa bersalah yang bersifat
menyeluruh, sering ditulisnya dalam satu kalimat. Menurut Dews ia
melakukan ini, supaya para pembaca dan pendengarnya tetap sadar
akan kesatuan antara pemahaman teoritis yang memadai di satu
sisi, dan kepekaan moral yang tajam di sisi lain. 129

Salah satu krisis di dalam masyarakat modern adalah pemisahan


yang tajam antara kepedulian serta kepekaan moral di satu sisi, dan
pemahaman teoritis ilmiah di sisi lain. "Kita", demikian tulisnya,
"terjebak antara apa yang benar dan apa yang baik."' 3 ° Ilmu tanpa
kepekaan moral bagaikan preman yang bisa digunakan untuk
kepentingan apa pun, bahkan termasuk kepentingan yang paling
jahat.' 31 Sebaliknya moral tanpa ilmu dengan mudah jatuh pada
dogmatisme yang seringkah tidak bisa dipertanggungjawabkan

" 9 Lihat, ibid, hlm. 196.

130 Seperti dikutip Dews, ibid.

131 Salah satu kalimat yang paling sering diucapkan oleh B. Herry
Priyono di dalam berbagai kuliahnya di STF Driyarkara, Ja karta.

secara masuk akal. Keduanya, sesuai dengan semangat teori kritis


yang diajukan oleh Adorno, tidaklah terpisahkan.

Dunia manusia terdiri dari kelompok yang mendominasi, dan


kelompok yang didominasi. Seolah-olah itulah kondisi alami dari
peradaban manusia. Akan tetapi Adorno rupanya tidak setuju
dengan pendapat ini. Memang sejarah dibentuk melalui konflik,
dominasi, dan kekerasan. Banyak peristiwa-peristiwa penting di
dalam sejarah dimulai dan ditutup dengan konHik. Di titik ini ia
bertanya, apakah konflik satu-satunya cara untuk memulai suatu
perubahan? Apakah konflik, dominasi, dan kekerasan merupakan
suatu keniscayaan sejarah yang tidak dapat dihindari? Mungkinkah
manusia meraih kebebasan tanpa konflik?

Menjawab pertanyaan itu Adorno tampak medua. Awalnya ia


merasa optimis. "Kita", demikian tulisnya, "dapat berbicara tentang
kebebasan secara bermakna karena ada kemungkinan konkret akan
kebebasan, karena kebebasan dapat dicapai di dalam realitas . .."' 32
Kemudian ia menegaskan pendapatnya. "Kemungkinan untuk
membuat suatu lompatan yang jauh, untuk melakukan sesuatu
secara berbeda", demikian tulisnya, "selalu ada, bahkan pada masa
ketika produktivitas belum terbentuk, suatu kesempatan yang terus
menerus terlewatkan." 133 Namun ia kemudian mengubah
pendapatnya. Baginya kerumitan sejarah manusia telah membuat
segala usaha untuk meraih kebebasan menjadi sia-sia.

Sejarah seolah telah mengutuk manusia untuk memilih jalan-


jalan yang bersifat destruktif untuk dirinya sendiri.

Dikutip oleh Dews, 2008, hlm. 197.


Ibid.

Dalam arti ini kejahatan adalah sesuatu yang bercokol di dalam


kategori sosial peradaban. Hanya dengan memahami kejahatan
sebagai kategori sosial yang bersifat total, kita dapat memahami
berbagai tindakan manusia yang bersifat destruktif. Kejahatan
sudah bersifat total. Maka realitas sebagai totalitas pun kini telah
menjadi sangat represif terhadap kebebasan individu. Sejarah
manusia adalah suatu cerita yang dibingkai dengan bencana, yang
pada akhirnya menjadikan individu sebagai korban.

Jadi kejahatan bukanlah sesuatu yang personal, apalagi dianggap


sebagai godaan setan, melainkan kejahatan dipa hami sebagai suatu
kejahatan radikal yang berakar pada dunia sosial. Inilah tesis dari
pemikiran Adorno yang ditafsirkan oleh Peter Dews. Dengan tesis ini
Adorno ingin mengatakan, bahwa kejahatan bukanlah suatu momen
temporal perjalanan roh absolut menuju kebebasan ma nusia,
seperti yang dikatakan Hegel. Kejahatan juga bukan hasil dari
relasi-relasi produksi dan ekonomi di dalam masyarakat, seperti
yang kiranya menjadi argumen Marx. Kejahatan bukanlah suatu
keniscayaan sejarah. Karena bila kejahatan adalah keniscayaan
sejarah, maka ia tidak akan dapat dikenai penilaian moral, dan
orang tidak akan mengenalinya sebagai kejahatan. Kejahatan
adalah hasil dari perbuatan manusia. Maka manusia haruslah
bertanggung jawab terhadap perbuatannya, baik secara individual,
maupun secara kolektif. 39

Akan tetapi Adorno tidak mau mengatakan, bahwa manusia


dengan sengaja untuk memilih jatuh ke dalam kejahatan. Kejahatan
bukanlah hasil dari kebebasan. Seperti sudah disinggung
sebelumnya, kejahatan tidaklah terletak di dalam diri manusia,

39 Bdk, Reza A.A Wattimena, "Ingatan Sosial, Trauma, dan Maaf",


dalam Jurnal Respons Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma
Java. Jakarta. Volume n. No. 2. Desember 2008.
tetapi di dalam dunia sosialnya. Dan karena manusia sangatlah
dipengaruhi dunia sosialnya, maka ia semakin sulit melawan
kejahatan di dalamnya. Kepribadian manusia sudah dijajah oleh
dunia sosial. Padahal dunia sosial adalah tempat kejahatan yang
bersifat radikal dan total bercokol. Manusia tidak lagi berperan
sebagai subjek, karena kebebasannya sudah direifikasi oleh dunia
sosial yang mengandung kejahatan radikal. Kemampuan manusia
untuk bersikap reflektif terhadap dunianya memang tidak hilang
sama sekali, tetapi justru telah kehilangan daya kritisnya.

Lalu apa solusi menghadapi kejahatan radikal yang telah bersifat


total ini? Pada hemat saya jawaban Adorno atas per tanyaan ini
masihlah mengambang. Ia berpendapat bahwa "keselamatan" dari
kejahatan radikal tidaklah mungkin ada di dunia ini, melainkan di
tempat lain yang belum ada, namun nantinya akan ada. Dews
sendiri menyebut pendapat Adorno ini sebagai eskatologi yang
tcrsckularisasi ( secular- ized eschatology). Karena kejahatan sudah
bersifat total, maka peluang untuk lari darinya sangatlah kecil.
Manusia seolah telah terkena jampi-jampi yang membuatnya tidak
bisa lagi melihat kebebasan. Kebebasan hanya bisa muncul pada
momen "yang lain yang belum datang." 40 Pada hemat saya jawaban
yang bersifat eskatologis ini merupakan kon sekuensi logis dari
argumen Adorno sendiri, yang mengatakan bahwa akal budi
manusia telah dijajah secara total, dan tidak lagi memiliki
kemampuan kritis. Situasi "yang lain yang belum datang" ini seolah
merupakan jalan keluar pesimistik dari ketidakmampuan manusia
untuk mencapai kebebasan di dunia sekarang.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa kejahatan,


menurut Adorno, adalah sesuatu yang berakar di dunia sosial, dan
memiliki sifat total. Akar dari kejahatan ini, menurutnya, adalah
kebebasan manusia yang terperangkap di dalam dunia sosial.
Dalam arti ini kejahatan adalah ketidakbebasan manusia, di mana
masyarakat menentukan secara mutlak apa yang harus dilakukan
individu. Subjektivitas lenyap dan digantikan oleh diktum
masyarakat yang bersifat mutlak.

40 Tulisan Adorno yang dikutip oleh Dews, 2008, hlm. 200.


M
° Reza A. A Wattimena, SLavoj Zizek dan Fenomena Kesurupan Otak,
dalam http:// www.dapunta.com/ slavoj-Zizek-dan-
fenomena-"kesurupan-otak".html diunduh 21 Januari 08.30.
Menurut Dcws di balik oposisi kebebasan dan ketidakbebasan
terdapat masalah yang lebih mendasar, yakni bahwa relasi manusia
telah ditentukan secara instrumental. Artinya orang bergaul dengan
orang lain bukan didasarkan pada ketulusan pergaulan, tetapi
karena pergaulan itu menghasilkan sesuatu bagi masing-masing
orang. Ketidaktulusan mencip- takan penindasan, dan penindasan
adalah akar kejahatan. Dews menuliskan satu kalimat yang, pada
hemat saya, dapat mewakili maksud Adorno ini, yakni bahwa
godaan terbesar manusia di dalam dunia yang sudah korup oleh
kejahatan adalah untuk berbuat baik. Orang yang berbuat baik ha -
ruslah siap dengan konsekuensi, bahwa dia akan mengalami bahaya
serta kesulitan besar.

Di dalam bukunya yang berjudul Negative Dialectics, Adorno


berpendapat bahwa manusia kehilangan kekuatannya untuk
menentukan dan memilih tujuan-tujuan baik. "Semakin masyarakat
yang tidak punya pengampunan dan bersifat objektif antagonistik
menyesuaikan diri di dalam setiap situasi", demikian tulis Dews
dengan mengutip Adorno, "semakin kecil kemampuan kita untuk
membuat suatu keputusan moral tunggal yang benar."' 36 Situasi
kejahatan total ini, menurut Adorno, adalah fenomena dosa asal
yang telah dilucuti aura religiusnya, dan menjadi sepenuhnya
sekular. Manusia tidak bisa lepas darinya, apa pun usaha yang
dilakukannya.

Pada era yang dipenuhi dosa asal sekular ini, orang tidak bisa
lagi mengalami kebebasan secara penuh. Kebebasan yang dialami
manusia terkurung di dalam kategori-kategori sebab akibat dunia
sosial. Inilah ciri pesimis dari filsafat Adorno. Kebebasan dan
moralitas, menurutnya, adalah fenomena sosial historis. Makna dan
keabsahannya pun ditentukan oleh konteks sosial, yang berayun
berubah di dalam pendulum peradaban yang kita sebut sebagai
sejarah.

Keprihatinan ini sebenarnya juga bisa ditemukan di dalam


filsafat moral Kant, filsuf Jerman abad ke 17. Kant berpendapat
bahwa motif moral tidaklah bisa disandarkan pada sesuatu yang
empiris, tetapi harus pada motif-motif apriori akal budi manusia.
Pada hemat Adorno sesuatu yang empiris itu berarti sesuatu yang
secara konkret bisa ditemukan di dalam dunia. Sementara dunia
adalah suatu totalitas yang berisi kejahatan radikal. Maka motif-
motif yang berasal dari dunia pun juga sebenarnya mencerminkan
kejahatan radikal, sehingga tidak pernah bisa menjadi landasan
yang kuat untuk bertindak baik.

Ibid, hlm. 202.

Pesimisme Adorno dibalut dengan konsepnya tentang


pengalaman metafisis yang melampaui akal budi instru mental.
Inilah solusi yang ditawarkan untuk menanggapi problem akal budi
instrumental yang menjajah peradaban manusia. Pengalaman
metafisis adalah momen kepenuhan total dan kebahagiaan, yang
biasanya ditemukan orang pada masa kecilnya. Pengalaman itu
bersifat langsung, intim, dan tidak bisa dinamai, apalagi
didefinisikan. Pengalaman itu hilang ketika kita mulai
merefleksikannya secara rasional. Pengalaman metafisis adalah
momen patahan dari kehidupan rutin. "Pengalaman metafisis", tulis
Adorno seperti dikutip oleh Dews, "adalah pengalaman akan
mungkinnya kebebasan,.."' 37 Berbeda dengan Nictzschc yang sangat
menekankan kehidupan sebagai arena pusat, Adorno justru
menekankan penyangkalan terhadap kehidupan, supaya orang bisa
sampai pada pengalaman metafisis yang bersifat transenden.

Dengan kata lain manusia tidak pernah boleh melupa kan cita-
citanya tentang yang transenden. "Hanya dengan berpegang pada
dimensi yang tidak empiris", demikian tulis Dews, "kita dapat
mempertahankan harapan bahwa bencana permanen di dalam
sejarah manusia, yakni penderitaan yang tak tertanggungkan,
bukanlah kata terakhir."' 38 Cita- cita akan yang transenden memberi
harapan pada manusia, ketika ia terdampar dalam dunia yang
penuh bencana ini. Cita-cita ini bukanlah pelarian, melainkan
tonggak harapan, bahwa segala sesuatu masih bisa berubah. Masih
ada harapan bahwa penderitaan dan kejahatan bukanlah kata akhir.

137 Ibid, hlm. 206.


138 Ibid, hlm. 208.

Kiranya yang dikatakan Adorno ini tepat, bahwa manusia sekarang


justru krisis akan transendensi. Akibatnya mereka terdampar dalam
kultur konsumtivisme, materialisme, dan tidak lagi memiliki tonggak
harapan akan masa depan yang lebih baik.

Yang transenden ini, menurut Adorno, bukanlah sesuatu yang


mistik dan irasional, melainkan kapasitas manusia un tuk melampaui
rasionalitas itu sendiri. Justru akal budi kita lah yang seringkah
menghalangi untuk sampai pada transendensi ini. Di jaman
sekarang ini, metafisika telah menjadi apa yang disebutnya sebagai
mikrologi, yakni refleksi atas segala sesuatu yang terabaikan
( neglected things), dan dianggap tidak penting. Perubahan di level
sosial masih mungkin, tetapi tidak lagi di level makro, melainkan di
level yang mikro. Intensi terdalam dari filsafat Adorno adalah
supaya manusia mencintai semua yang terabaikan, yang dianggap
tidak penting, yang dianggap anomali dari totalitas, dan yang
dianggap tidak identik dengan mayoritas. Karena di dalam yang
terabaikan itulah seringkah kebaikan dan cinta ditemukan.

Menurut saya, berpijak pada pemikiran Adorno, korupsi juga lahir dari
fokus manusia yang terlalu berlebihan pada akal budi instrumental.
Akal budi instrumental berfokus pada efisiensi dan efektivitas cara
untuk mencapai tujuan. Di dalam proses itu, segala aspek lainnya di
luar upaya untuk mencapai efektivitas dan efiensi diabaikan,
dianggap tak relevan. Aspek moralitas dan empati pada penderitaan
serta kesulitan rakyat dianggap tak relevan bagi akal budi instru -
mental yang secara buta ingin mencapai tujuan, apa pun bentuk
tujuan itu. Oleh karena pola berpikir ini, korupsi lalu menjadi
"semangat jaman" yang berjalan secara perlahan menjadi suatu
bentuk kejahatan sistemik, sebagaimana dipahami oleh Adorno.
Bab 7

Korupsi dan Kekosongan Jiwa Manusia

P ada bagian sebelumnya kita sudah melihat argumen Adorno


tentang kejahatan yang sudah berubah menjadi sistem.
Kejahatan dan korupsi sudah bersifat total, sehingga tak
mungkin lagi untuk ditentang secara langsung. Kejahatan dan
korupsi bukanlah sesuatu yang sifatnya individual semata, tetapi
sudah menjadi kategori sosial yang bersifat total mencengkram
individu-individu yang ada di dalamnya. Pada bagian ini dengan
berbekal pemikiran Slavoj Zizek, saya akan mengajukan
argumentasi, bahwa sisi gelap manusia terletak pada statusnya
sebagai subjek dialektis, yang berarti subjek yang dinamis dan
memiliki berbagai kemungkinan tak terduga. Namun sebelum itu,
ada baiknya kita mengenal siapa itu Slavoj Zizek, dan beberapa
argumen yang diajukannya.
"Aku bermimpi. Mimpiku indah. Aku terbang di ang kasa, bertemu
putri cantik, lalu kita berdua terbang me ngelilingi langit malam
penuh bintang. Tiba-tiba aku merasa ingin jatuh. Aku pun
terbangun. Ah, ternyata aku jatuh dari tempat tidur. Aku pun
bergegas kembali naik ke kasur, guna melanjutkan mimpi indahku
tadi. Tetapi apa daya mimpi itu tidak berlanjut. Aku justru terjebak
dalam mimpi lain yang nyaris tak kuingat lagi."

Mungkin anda pernah mengalami hal yang sama dengan saya.


Pandangan umum akan mengatakan, bahwa mimpi itu ilusi (terbang
bersama putri cantik), dan terbangun itu nyata [jatuh dari tempat
tidur). Melihat fenomena ini Zizek berpendapat lain. Baginya
peristiwa jatuh dari tempat tidur adalah the Real yang mengganggu
stabilitas tata simbolik manusia, ketika ia terhanyut di dalam
mimpinya. The Real itu menyakitkan, traumatis, dan tidak ada orang
yang menginginkannya. Namun orang niscaya mengalaminya, tanpa
ada tawar menawar. Sementara mimpi indah adalah tata simbolik
( symbolic order) yang membuat nyaman dan terlena. Orang tidak
ingin lepas darinya. Tetapi kehidupan memaksa orang melepas diri
dari keterlcnaan tata simbolik tersebut. Orang ingin bermimpi
karena mereka tidak tahan dengan realitas. Jika sudah begitu mana
sebenarnya yang bisa disebut realitas? Terbang bersama putri atau
jatuh dari tempat tidur?

Inilah khas gaya analisis Zizek. Ia menantang dan mem balik


pandangan umum. Ia pun melakukannya dengan penjelasan
rasional, dan bukan sekedar argumen tanpa dasar. Begitu pula
ketika ia mencoba mengajukan pandangannya soal manusia. Pada
hemat saya argumen Zizek tentang manusia dapat ditempatkan
untuk menanggapi perdebatan filosofis tentang manusia, yakni
antara konsep subjek Cartesian di satu sisi, dan konsep subjek
posmodernisme di sisi lain.

Yang pertama berpendapat bahwa subjek, manusia, adalah


makhluk yang rasional, otonom, atomistik, dan bebas dalam
berhadapan dengan dunia. Para filsuf modernis dan pencerahan
berada di barisan ini. Kelompok kedua melihat bahwa subjek adalah
semata bentukan dari kekuatan- kekuatan eksternal di luar
kesadaran dirinya, seperti pengaruh ekonomi, struktur, politik, teks,
ketidaksadaran, dan sebagainya. Konsep manusia sebagai subjek
dialektis yang dirumuskan Zizek tepat ingin mengajukan kontribusi
di dalam perdebatan tersebut.' 39

Untuk menjelaskan argumen Zizek tersebut, saya akan membagi


tulisan ini ke dalam tiga bagian. Awalnya saya akan menjelaskan
dulu sosok pribadi maupun pemikiran Zizek (i). Pada bagian ini saya
banyak terbantu oleh uraian Tony Myers di dalam bukunya tentang
Zizek. Lalu saya akan menjelaskan pandangan Zizek tentang
manusia, terutama yang termuat di dalam buku utamanya The
Sublime Object of Ideology (2). Bagian ini merupakan penelusuran
saya terhadap teks-teks asli tulisan Zizek tentang manusia,
terutama melihat pengaruh filsafat Llegel dan Lacan pada
perkembangan pemikiran Zizek tentang manusia. Pada akhirnya
saya akan mengajukan kesimpulan dari seluruh tulisan ini (3).

1. Slavoj Zizek
Zizek adalah seorang filsuf kontemporer yang ternama sekarang
ini. Walaupun begitu cara berpikir dan gaya hi dupnya jauh dari
kesan seorang filsuf yang kering dan membosankan. Ia menulis dan
berpikir dengan cara yang sangat unik, bahkan menghibur. Ia
bahkan membuat filsafat men-

«39 T ere Vaden, "Zizeks phenomenology of the subject: transeen-


dental or materialist?," International Journal of Zizek Studies, vol. 2,
no. 2, 2010, hlm. 2.

jadi menyenangkan, seperti layaknya komedi. Argumennya


mengagetkan. Cara ia menyampaikannya selalu dengan jelas dan
meledak-ledak. MO Beberapa tema yang pernah dibicarakannya,
"lelucon tentang siapa yang akan dimakan oleh ayam berikutnya,
lalu ia menjelaskan sikap etis heroik Kea- nu Reeves di dalam film
Speed, menjelaskan dasar filosofis dari Viagra, lalu berakhir dengan
penjelasan nilai paradoksal Kristianitas dan Marxisme." MI

Dalam salah satu wawancaranya, Zizek pernah bertanya,


"mengapa segala sesuatu seperti itu?" 142 Sikap penasaran yang
dikembangkan Zizek adalah suatu taktik untuk meng ajak orang
berpikir lebih mendalam tentang segala sesuatu. "Filsafat dimulai",
demikian kata Zizek, "pada saat kita tidak lagi menerima apa yang
ada sebagai yang begitu saja diberikan." 143 Terkadang ia bertanya
seperti anak kecil, mengapa langit berwarna biru? Di saat lain ia
bertanya tentang siapa sesungguhnya manusia, apa yang sedang
kita lakukan, dan mengapa kita melakukannya. Ia bertanya seperti
anak kecil, namun menjawab dengan ketajaman argumentasi
seorang filsuf besar.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, Zizek hendak me lakukan


analisis terhadap budaya populer dan pengalaman sehari-hari
manusia. "Ia sendiri mengakui", demikian Myers mengutip
wawancara dengan Zizek, "argumentasi teoritis diperkuat dengan
berbagai contoh dari sinema dan buda ya populer, dari lelucon dan
anekdot politik yang seringka- li secara berbahaya mendekati batas-
batas dari selera yang bagus."' 44 Semua hal itu membuat filsafatnya
semakin kaya dan bahkan menghibur. Dengan perspektif dialektika
Hege- lian dan psikoanalisis Lacan, ia hendak membongkar segala
sesuatu yang tidak disadari di dalam kehidupan sehari-hari orang
modern, mulai dari perilaku di toilet, selera film, sam pai soal utopia
komunisme yang terlupakan.

Bagi Myers karya-karya Zizek juga memiliki nilai pui tis yang
tinggi. Di dalam tulisan-tulisannya, Zizek menjahit berbagai bentuk
pemikiran yang kelihatan tidak berhubungan menjadi satu kesatuan
sistematika ide yang indah dan mencerahkan.
"Zizek", demikian tulis Myers, "membangun hubungan-
hubungan tekstual yang kaya dan ketat, yang kemudian
berputar mengelilingi kebenaran dari objek, sampai, akhirnya,
mengelilinginya seperti suku asli Amerika yang mengelilingi
kemah api John Wayne seperti dalam salah satu film yang sering
dikutip oleh Zizek."'45

Myers juga berpendapat bahwa jika membaca buku Zizek, anda


tidak bisa langsung melompat ke halaman terakhir untuk
memahami inti argumennya. Setiap kalimat dan para graf selalu
memiliki ide yang unik yang mungkin saja ter lepas dari ide
keseluruhan buku. Maka anda harus secara perlahan mengunyah
setiap paragraf dan bab untuk sungguh memahami kekayaan
analisis Zizek yang unik.

lbid. .45 1L:J UI


Keunikan Zizek menurut Myers juga tampak di dalam gayanya di
dalam menjawab pertanyaan yang diajukannya sendiri. Bagi banyak
orang gaya Zizek tersebut membuat pusing dan bingung. Ia pernah
bertanya di dalam salah satu bab bukunya, "Mengapa wanita adalah
gejala dari Manusia?"' 46 Namun jawaban atas pertanyaan tersebut
tidak juga muncul. Ia memilih untuk membahas isu tersebut dengan
gaya apophasis, yakni meninggalkan lubang diskursus yang mem-
buat penasaran pembacanya. Jawaban atas pertanyaan gan jil
tersebut akan diberikan pada bagian buku lainnya, dan sekaligus
digunakan untuk menjawab pertanyaan lainnya yang juga ganjil.

Apa kiranya tujuan Zizek menulis dengan cara seperti ini?


Menurut Myers, Zizek sama sekali tidak mau membuat pembacanya
bingung. Tujuan sesungguhnya adalah untuk menunjukkan, bahwa
segala sesuatu yang dibicarakan, atau ditulisnya, saling
berhubungan tanpa bisa terpisahkan. "Alasan ia melakukan ini,"
demikian tulis Myers, "bukanlah keinginan ganjil untuk
mementalkan harapan pembacanya, tetapi untuk menetapkan
hubungan antara pelbagai hal."' 47 Lebih lanjut Myers menegaskan,
"Ini bukan hanya upaya untuk menunjukkan bagaimana segala
sesuatu cocok satu sama lain, tetapi juga menegaskan tesis dasar
Zizekian bahwa kebenaran adalah sesuatu yang ada di tempat
lain."' 48

Zizek lahir pada 21 Maret 1949 di Ljubljana, Slovenia, yang pada


waktu itu masih merupakan bagian dari Yugosla-

146 Ibid. hlm. 5.


147 Ibid.
148 Ibid

via. Ia lahir dan berkembang di keluarga kelas menengah. Ke -


luarganya sendiri berharap Zizek akan menjadi seorang ahli
ekonomi. Pada waktu itu Yugoslavia dipimpin oleh Marshal Tito.
Pemerintahannya terkenal dengan corak komunisme liberal. Artinya
rezim Tito memberikan kebebasan, namun dengan aturan-aturan
yang begitu ketat dan mengekang. Myers menjelaskan bahwa salah
satu peraturan yang cukup unik adalah bahwa pada waktu itu,
semua film yang akan diputarkan di publik haruslah diberikan
kepada universitas terlebih dahulu untuk dievaluasi. Hal ini
menguntungkan Zizek. Ia bisa menonton film Amerika dan Eropa
Barat yang akan di putar di sinema setempat. Film-film tersebut
nantinya akan menjadi ilustrasi yang menarik bagi filsafatnya di
kemudian hari.' 49

Myers juga menegaskan bahwa walaupun Zizek selalu berada di


luar kesepakatan umum tentang apa itu berfil safat, dan ini
mengakibatkan ia sulit untuk memperoleh posisi resmi di dalam
lingkaran dalam para filsuf Eropa, ia tetap menegaskan dirinya, dan
justru memperoleh posisinya sebagai filsuf. Dengan kata lain
menurut Myers, "ia mendefinisikan posisinya hanya dalam
perlawanannya terhadap institusi-institusi resmi itu." 15 ° Filsafat
Zizek "justru berkembang dari kegagalan institusi-institusi filsafat
tradisional untuk mengakomodir pemikirannya." 15 ' Pemikiran Zizek
justru mampu berkembang, karena ia berhasil membedakan dirinya
dari sistem sosial tempat ia hidup dan berkarya. Ia

149
Ibid. hlm. 6. •5° Ibid,
hlm. 9. •5' Ibid.

bukan pemberontak. Ia hanya lain dari yang umum. Dan dengan


kelainannya itu, ia membentuk tradisi berpikirnya sendiri setelah
menempuh proses yang lama dan melelahkan.

Fenomena Zizek menurut Myers menunjukkan, ba gaimana


keterasingan justru bisa membentuk dan menegaskan identitas.
Dalam arti ini identitas terkait erat dengan kapasitas manusia
sebagai subjek. Dan memang seperti di nyatakan secara tegas oleh
Myers, konsep manusia sebagai subjek juga menjadi tema utama
filsafat Zizek. Tema ini jugalah yang menjadi fokus utama kajian
tulisan ini. Jika dirumuskan secara singkat, Zizek kiranya akan
menjawab begini.
"Jika anda melepaskan semua karakteristik, semua ke butuhan
partikular anda, kepentingan, dan kepercayaan- kepercayaan,
maka yang tertinggal adalah subjek. Subjek adalah bentuk
dari kesadaranmu, yang berlawanan dari isi kesadaran yang
spesifik kepadamu."' 52

Subjek adalah kesadaran yang kosong, lepas dari semua ke -


pentingan dan kualitas-kualitas diri lainnya. Subjek itu ko song di
dalam keutuhannya, dan utuh di dalam kekosongannya. Subjek
adalah dialektika itu sendiri.

Bagi orang awam yang tidak mendalami filsafat, argumen Zizek


tentu terdengar absurd. Ia tidak menawarkan pence rahan apa pun.
Namun Zizek sendiri menegaskan, sebagaimana dicatat oleh Myers,
subjek dialektis, yang hanya merupakan sebentuk kesadaran dan
kosong dari kualitas lainnya, justru merupakan subjek demokratis,
yakni warga negara

,Si
Ibid, hlm. 10.

masyarakat demokratis itu sendiri. Bagi Zizek masyarakat


demokratis terdiri dari warga-warga yang abstrak. "Demo krasi",
demikian tulis Myers tentang Zizek, "adalah hubungan formal antara
individu-individu abstrak." 153 Demokrasi tidak mengenal individu
konkret yang historis, berdarah, dan berdaging. Oleh karena itu di
hadapan sistem pemerintahan demokrasi, menurut Zizek, setiap
orang itu setara.
"Demokrasi tidak mencatat ras, gender, seksualitas, agama,
kekayaan, etiket di meja makan, atau kebiasaan tidur warganya.
Demokrasi hanya tertarik ketika segala karakteristik ini sudah
dihilangkan.."' 54 Dalam definisi inilah argumentasi Zizek tentang
subjek menjadi pas. Dengan mengosongkan subjek Zizek justru
hendak memberi tempat yang lebih besar bagi mentalitas
demokratis, di mana setiap warga setara di hadapan sistem, hukum,
dan tradisi. Pada titik ini ia memberikan analogi, subjek adalah
sebagai suatu cara pandang terhadap dunia. Dalam bahasa Myers
subjek adalah, "suatu tempat di mana dunia itu dilihat." 155 Dengan
kata lain subjek itu terbentuk dan menjadi jelas identitas nya, ketika
ia menjaga jarak dari dunia. Myers menawarkan analogi yang
menarik. Kita tidak dapat melihat retina kita sendiri, ketika kita
menggunakannya, sama dengan manusia tidak dapat memahami
dirinya sendiri, selama ia masih tenggelam dalam dunia
kesehariannya.

Subjek dengan demikian adalah bagian dari dunia yang


kemudian memisahkan diri, dan mencoba memahami

153
Ibid.
Ibid. •55 Ibid.

hakekat dari dunia itu sendiri. Subjek dalam arti ini bukan hanya
merupakan manusia, tetapi juga sebuah cara pandang, atau sebuah
posisi epistemologis. "Subjek", demikian tulis Myers tentang Zizek,
"adalah pandangan individual atau partikular atas dunia."' 56
Rupanya pemikiran Zizek juga konsisten dengan pilihan-pilihan
hidupnya. Seperti sudah dilihat sebelumnya, ia selalu menjaga jarak
dengan dunianya. Misalnya ia berfilsafat secara tidak umum,
berbeda dengan para filsuf Slovenia lainnya. Ia juga meneliti
tentang Lacan tidak sejalan dengan tafsiran Lacan ortodoks yang
berkembang di Perancis. Ia juga menjaga jarak dari gaya berfilsafat
para filsuf pada umumnya, dan memilih untuk menjadikan budaya
populer sebagai titik tolak filsafatnya. Myers menulis hal ini dengan
sangat bagus. "Dan hanya dengan mempertahankan keterasingan
dari sistem di dalam atau melawan sistem di mana ia bekerja ia
(Zizek) mampu membentuk identitasnya sendiri sebagai seorang
pemikir."' 57

2. Manusia sebagai Subjek Dialektis

Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat latar be lakang


sekaligus pengantar singkat untuk memahami pemikiran Zizek,
sebagaimana ditafsirkan dan dipaparkan oleh Tony Myers. Pengaruh
Marx, Hegel, dan Lacan begitu terasa di dalam tulisan-tulisan
maupun argumennya. Pada bagian ini saya ingin mengajak anda
mencecap tafsiran langsung saya terhadap buku magnum opus
Zizek yang berjudul

,$6
Ibid, hlm. n.

.i . i

The Sublime Object of Ideology, terutama dalam analisisnya soal


manusia, atau subjek.' 58
Seperti ditulis oleh Zizek, buku The Sublime Object of Ideology
memiliki tiga tujuan dasar. Pertama, ia hendak menjelaskan
beberapa konsep dasar di dalam psikoanalisis yang dirumuskan
Lacan. Tujuan dasar Zizek adalah untuk mengubah pendapat umum,
bahwa Lacan adalah salah satu pemikir post-strukturalisme. Bagi
Zizek psikoanalisis Lacan adalah "versi paling radikal dari
Pencerahan."' 59 Dalam arti ini Zizek ingin menempatkan Lacan
sebagai salah seorang pemikir rasionalis.

Dua, Zizek hendak memahami pemikiran Lacan dengan


menggunakan kaca mata filsafat Hegel. "Tujuan buku ini", demikian
tulisnya, "untuk mengaktualisasikan ulang dialektika Hegelian
dengan memberinya pembacaan baru dengan dasar pada
psikoanalisis Lacan." ,6 ° Selama ini I Iegel dipandang sebagai
seorang filsuf idealis yang memusatkan refleksi filsafatnya pada
satu konsep, yakni roh absolut. Dalam arti ini ia juga dikenal
sebagai seorang filsuf monistik, yakni yang mendasarkan realitas
pada satu konsep dasar.

Zizek menolak pandangan itu. Baginya filsafat Hegel justru


memberikan tempat sangat besar bagi setiap bentuk perbedaan
( difference) dan kontingensi (contingency) dari dunia. Konsep roh
dan pengetahuan absolut bukanlah konsep yang tetap, melainkan
"bukan apa-apa tetapi hanya nama dari pengakuan terhadap
kehilangan yang radikal."' 6 ' Artinya konsep roh absolut bukanlah
dasar, melainkan hanya ekses dari realitas itu sendiri. Ia hanyalah
konsep sam- pingan di balik penekanan I legel terhadap kontingensi
(perubahan dan ketidakpastian), serta perbedaan.
Tiga, dengan buku itu, Zizek ingin merumuskan teori tentang
ideologi dengan berpijak pada teori-teori Marxis, seperti fetisisme
komoditas, dan beberapa konsep dasar di dalam psikoanalisis
Lacan. Ia ingin mengubah pandangan umum, bahwa teori Lacan
sama sekali tidak membicarakan tentang ideologi. Beberapa konsep
dasar di dalam psikoanalisis Lacan yang hendak diolah oleh Zizek
adalah teori tentang objek sublim (sublime object) dan teori tentang
kenikmatan berlebih ( surplus enjoyment).

Tiga tujuan penulisan The Sublime Object of Ideology ini


sebenarnya saling terkait. Filsafat dialektika Hegel perlu untuk
diangkat kembali. Itu hanya dapat dilakukan dengan baik, jika Hegel
dapat dimengerti dengan menggunakan kerangka berpikir Lacanian.
Dengan membaca Hegel dari sudut pandang Lacan, Zizek hendak
memahami manusia dan semua permasalahannya tanpa terjatuh
pada pengko- takan postmodernis, poststrukturalis, dan ideologi-
ideologi lainnya. Itulah kiranya tujuan Zizek di dalam The Sublime
Object o f Ideology.

2.1 Subjek Hegelian

Zizek sangat dipengaruhi oleh filsafat I legel. Ini tidak da pat


diragukan lagi. Seturut tafsiran Zizek filsafat Hegel sa ngat
dipengaruhi oleh tradisi Kristianitas, terutama di dalam konsepnya
tentang manusia sebagai subjek. "Tidak heran Hegel melihat dirinya
sebagai seorang Kristen," tulis Zizek, "baginya, ritual memakan roti
yang mengalami perubahan menjadi tubuh Kristus menandakan
bahwa subjek Kristen bisa menyatu dan mengunyah Tuhan
sendiri.."' 62 Hegel melihat dialektika dalam ritual ini. Tuhan dan
manusia menyatu menjadi sosok yang berbeda sekaligus melebihi
keduanya.

Salah satu kutipan dari tulisan Hegel yang sangat berke san
untuk Zizek adalah berikut, "Ketika saya memakan apel, saya
menghancurkan identitas diri organik dan menyatukannya dengan
diri saya sendiri... membuatnya menyatu dengan organ pencernaan
saya sehingga saya dapat menjadikannya satu dengan diri saya."' 63
Inilah esensi dialektika subjek dari Hegel. Subjek menyatukan diri
dengan sesuatu di dunia, dan menjadikan sesuatu itu sebagai
bagian dari dirinya. Subjek adalah subjek yang menelan, dan
menyatukan diri dengan objeknya itu. Subjek yang berdialektika
dengan dunia.

Namun konsep Hegel tentang subjek tidaklah tunggal. Seperti


disinggung sebelumnya subjek Hegelian adalah subjek yang
menelan yang lain. Subjek I Iegelian memiliki pretensi untuk mampu
melakukan itu secara total, tanpa sisa. Bisa ditarik kesimpulan
bahwa subjek Hegelian memiliki dimensi absolut. Subjek Hegelian
memang berdialektika dengan dunia. Namun subjek itu tetap
memiliki status berjarak dan lebih tinggi dari dunia. Subjek Hegelian
memiliki

,6j
Jbid, hlm. xii.

status sebagai pengamat murni, menurut Zizek. Ilegel sebagaimana


dibaca Zizek, menulis begini, "Subjek adalah ... kepribadian murni
yang, melulu melalui dialektika absolut yang merupakan hakekat
alamiahnya, ... dan kemudian memegang segala sesuatu di
dalamnya."' 64

Dalam arti ini subjek Hegclian adalah suatu substansi yang utuh
dan absolut. Karena keutuhannya begitu murni, subjek Hegelian
sekaligus adalah kekosongan murni, karena kekosongan dan absolut
murni tidak dapat dibedakan, setu- rut dengan logika dialektis I
Iegelian. Subjek adalah kepribadian yang telah dikosongkan dari
segala bentuk kepribadian dan karakter. Kekosongan ini adalah
suatu pengorbanan. Bukan pengorbanan fisik semata, melainkan
pengorbanan subjek sebagai bagian dari sejarah yang dialektis.
Zizek dengan liar menafsirkan subjek Hegclian sebagai "substansi
yang berkontraksi",' 1 ' 5 seperti ketika orang hendak buang air besar.
Subjek Hegclian adalah subjek yang berjarak dari alam. Subjek
Hegelian adalah pengamat murni yang terpisah sebagai substansi
dari alam. Zizek menulis, "Bagi Hegel, filsafat alam bukanlah
pemberian ulang yang kejam dari eksternalitas semacam ini;
melainkan melibatkan sikap pasif dari seorang pengamat."' 66 Subjek
Hegelian terlibat sekaligus berjarak dari alam, serta mengamati
gerak alam sebagai seorang pengamat murni. Subjek adalah
substansi yang sekaligus tertanam dan berbeda dengan alam. Itulah
konsep sub-

,fM
lbid, hlm. xiii. '«s lbid.
jek Hegelian di dalam filsafat alamnya yang memang berciri paradoks,
sebagaimana dibaca dan ditafsirkan oleh Zizek.

Di sisi lain subjek Hegelian, menurut Zizek, adalah subjek yang


sekaligus aktif dan pasif. Bagi Hegel subjek selalu terkait dengan
pengetahuan absolut. Maka subjek bersifat otonom sekaligus terlibat
aktif di dalam dunia. "Subjek dengan demikian", tulis Zizek, "pada
sisinya yang paling radikal, bukanlah agen dari proses: agen dari
proses adalah sistem."'67 Proses itu sendiri adalah sistem yang tidak
membutuhkan dorongan dari luar dirinya. Subjek tidak juga bisa
dipahami sebagai subjek pasif murni. Tindak pengosongan diri subjek
di dalam proses adalah suatu tindakan aktif itu sendiri. Dengan kata
lain pengosongan subjek ke dalam sistem adalah suatu tindakan aktif;
suatu tindakan bebas.

Ada beragam tafsiran terhadap konsep subjek di dalam filsafat


Hegel.I(,s Salah satu tafsiran yang paling dominan adalah subjek
sebagai esensi yang mendorong seluruh gerak realitas. Subjek adalah
kesadaran diri yang menjadi aktor di balik segala fenomen yang ada.
Namun Zizek tidak setuju dengan tafsiran dominan tersebut.
"... Pembacaan semacam itu", demikian tulisnya, "yang
secara langsung menyamakan subjek dengan esensi yang ada
di balik layar, kehilangan fakta penting bahwa paragraf
Hegelian dari kesadaran menuju kesadaran diri menyata kan
secara tersembunyi pengalaman kegagalan radikal dari
subjek (kesadaran).."' 69

Artinya subjek hendak mencari aktor penggerak realitas. Namun


yang ditemukannya hanyalah kekosongan, ketiadaan. Dalam proses
itu subjek juga menemukan, bahwa dirinya sendiri adalah
kekosongan. Inilah yang dengan tegas disebut Zizek sebagai subjek
dari the Real.

The Real adalah patahan yang menarik manusia untuk


berhadapan dengan realitas yang seringkah tidak sesuai harapan. Di
dalam the Real, tidak ada perbedaan antara yang nyata dan yang
fantasi. Keduanya sama. Tidak ada perbedaan antara subjek aktif
dan subjek pasif. Keduanya identik. "Subjek", demikian Zizek,
"adalah kekosongan; semacam lubang di dalam Yang Lain, dan ... isi
dari subjek adalah fantasi itu sendiri." 170 Dalam tafsiran ini Zizek
hendak menggabungkan konsep subjek Hegelian dengan
psikoanalisis Lacanian. Hasilnya adalah subjek yang kosong di
dalam kepenuhannya, atau subjek dialektis.

Maka ada perbedaan tegas antara substansi dan subjek di dalam


filsafat Hcgcl. Kita tidak bisa menyamakan keduanya begitu saja,
seperti yang dilakukan oleh para penafsir filsafat I legel. Bagi Hegel
sebagaimana dibaca oleh Zizek, substansi adalah esensi yang
transenden, yakni yang terpisah dari ke hidupan konkret sehari-hari.
Artinya substansi adalah sesuatu yang tersembunyi dari
pengetahuan inderawi manusia. Ia berada di balik layar segala
fenomena. "Mengalami substansi sebagai subjek," demikian tulis
Zizek, "berarti hendak menggenggam layar dari fenomena di atas
lepas dari fakta bahwa tidak ada yang perlu disibak." 171 Dengan
kata
,7 ,7
° Ibid, hlm. 223. ' Ibid. hlm.
22a.

lain bagi Zizek, tidak ada sesuatu apa pun di balik fenomena. Tidak
ada substansi. Tidak ada pula subjek. Yang ada adalah kekosongan
di balik segala fenomena yang tampak.

Zizek menegaskan bahwa tidak ada penampakan. Penampakan


adalah esensi itu sendiri. Tidak ada fantasi. Fan tasi adalah
kenyataan itu sendiri. Tidak ada esensi. Eksistensi adalah esensi itu
sendiri. Tidak ada pembedaan antara yang asli dan yang palsu.
Keduanya sama dan tak terbedakan. Penampakan adalah apa yang
disebut Zizek sebagai entitas yang "berpura-pura untuk menipu -
dengan menampilkan seolah-seolah ada sesuatu yang hendak
ditutupi."' 72 Tampilan luar menipu. Dalam arti tampilan luar berpura-
pura menutupi sesuatu, padahal tidak ada yang ditutupi. Zizek
menulis dengan bagus sekali, "(tampilan luar - eksistensi-
penampakan) ... berpura-pura menyatakan kebohongan pa dahal ia
menyatakan yang sesungguhnya - yakni, ia menipu dengan berpura-
pura menipu." 173

Walaupun subjek adalah kekosongan itu sendiri, Zizek juga


menyatakan dengan tegas, bahwa subjek itu dialektis. Dalam arti
subjek itu berproses. Ia memberikan sebuah metafor begini. Subjek
itu bagaikan sepotong besi yang dipegang oleh manusia. Ia bisa
begitu mudah dibuang, namun juga bisa tetap dipakai. Besi itu
bukanlah besi baru, melainkan besi sisa. Subjek atau manusia
adalah sisa dari kekosongan itu sendiri. Yang berarti subjek itu ada,
walaupun ia tidak penuh. Dialektika subjek Hegelian yang dihayati
Zizek terletak pada argumen ini, bahwa subjek adalah tampilan

171
Ibid.
Ihid.
luar yang tidak memiliki esensi. Tampilan luar itu adalah sisa dari
kekosongan esensi itu sendiri. Zizek memang memandang manusia
secara pesimis, yakni manusia sebagai sisa dari ketiadaan,
terutama dalam bukunya The Sublime O b- ject o f Ideo logy.174

Subjek Hegelian sebagaimana ditafsirkan Zizek adalah subjek


absolut dalam arti yang unik. Artinya subjek tersebut bukanlah
sebuah konsep substansial metafisik, melainkan subjek absolut
sebagai pengandaian dasar dari seluruh gerak dialektis sejarah.
"Konsep Hegelian tentang subjek absolut", demikian tulisnya, "tidak
lagi menempel pada isi substansial tetap memposisikan dirinya
sebagai pengandaian-pengandai- an substansial."' 75 Apa perbedaan
konsep pengandaian dasar dengan konsep substansial? Konsep
substansial berarti subjek menjadi motor sekaligus esensi dari gerak
dialektis sejarah itu sendiri. Hegel sejauh dibaca Zizek tidak
memaksudkan hal tersebut. Gerak dialektis sejarah itu sendiri
adalah subjek absolut. Maka dikatakan secara lebih logis, subjek
absolut adalah pengandaian dasar gerak dialektis sejarah, se kaligus
adalah gerak dialektis sejarah tersebut.

Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan gerak dialektis


sejarah? Untuk menjawab pertanyaan ini, Zizek membandingkan
pemikiran Marx dengan Hegel. Di dalam pemikiran Marx,
sebagaimana dibaca oleh Zizek, subjek adalah subjek kolektif, yang
berarti masyarakat itu sendiri. Subjek kolektif tersebut berkembang
dalam kerangka ekonomis- material dan relasi-relasi produksi.
Subjek kolektif (masya-
174
Ibid, hlm. 234. Ibid. hlm. 244.

rakat) dipengaruhi oleh pola-pola produksi ekonomi yang berlaku.


Sementara pada filsafat Hegel, menurut Zizek, yang terjadi adalah
sebaliknya. Subjek sebagai gerak dialektis sejarah justru yang
mempengaruhi pola relasi ekonomi produksi material masyarakat.
"Subjek," demikian tulisnya, "secara nyata mengintervensi realitas,
dia harus secara formal menggapai dirinya sebagai pihak yang
bertanggung jawab.'" 76

Subjek adalah gerak dialektis sejarah itu sendiri. Maka ia


bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi. Dalam arti ini
menurut Zizek, subjek Hcgclian adalah subjek yang menciptakan
realitas. Realitas adalah hasil dari kesadaran subjek kolektif. Lebih
dari itu realitas itu sendiri nantinya mempengaruhi perkembangan
subjek. Subjek adalah imitasi dari realitas, dan sebaliknya, realitas
pun adalah cip- taan dari kesadaran subjek, terutama subjek
kolektif, yakni masyarakat itu sendiri. Inilah dimensi paradoks dari
subjek Hegelian, sebagaimana dibaca oleh Zizek. Subjek Hegelian
adalah subjek dialektis yang bersifat paradoksal.

Pada bukunya tentang filsafat agama, sebagaimana di tafsirkan


oleh Zizek, Hegel membahas konsep subjek seba gai manusia yang
jatuh dari surga di dalam tradisi Kristiani- tas. Bagi Hegel kejatuhan
manusia dari surga di dalam tradisi Kristianitas adalah simbol dari
sisi jahat di dalam diri manusia. Pada awalnya manusia itu baik
adanya. Kodrat manusia secara alamiah baik. Namun setelah
kejatuhan dari surga, seperti dikisahkan di dalam kitab Kejadian,
manusia jatuh ke dunia, karena dosa. Dosa tersebut timbul karena
manusia

176
Ibid, hlm. 248.

memiliki kebebasan. Padahal kebebasan itulah yang mem buat ia


menjadi subjek yang aktif. Pada titik ini Zizek me ngembangkan
tafsirannya terhadap filsafat Hegel. 177

Bagi Zizek kebebasan itu sendiri selalu merupakan bagian dari


kodrat manusia, maka baik adanya. Dengan kebebasan nya manusia
berkomunitas, dan menciptakan masyarakat. Masyarakat dan
komunitas tersebut diikat dengan kultur. Dalam arti ini bagi Zizek,
kodrat adalah ciptaan dari kebebasan manusia. Maka setiap
tindakan manusia selalu merupakan tanggung jawab pribadinya. "...
Segera setelah kita memasuki kultur", demikian tulisnya, "manusia
menjadi, ..., bertanggung jawab atas kodratnya sendiri, pada hasrat-
hasrat dan insting-insting alamiahnya sendiri." 178 Kodrat bukanlah
sesuatu yang alamiah, melainkan diciptakan oleh subjek itu sendiri.
Dan karena kodrat itu baik, dan kodrat adalah kebebasan, maka
kebebasan itu pula baik adanya. Dalam konteks ini subjek Hegelian
ditafsirkan oleh Zizek sebagai subjek yang bebas secara kodrati.

Di dalam filsafat sebelum Hegel, menurut Zizek, subjek masih


terbatas. Subjek masih terikat pada kondisi-kondisi di luar dirinya.
Namun bagi Hegel sebagaimana dibaca oleh Zizek, subjek adalah
absolut. Ia tidak terikat pada kondisi- kondisi di luar dirinya. Ia tidak
membutuhkan pengandaian apa pun. "Subjek itu sendiri", demikian
tulisnya, "adalah pengandaian-pengandaian itu sendiri." 179 Subjek
tidak mengandaikan apa pun, karena ia sendiri adalah pengandai-

177 Ibid, hlm. 249.


178 Ibid, hlm. 250.

iTo i i».' K1 an bagi dialektika sejarah itu sendiri. Subjek dengan kebe -
basannya membuat keputusan. Ia memilih dan kemudian
bertanggung jawab penuh atas pilihannya. Inilah yang mem buat
subjek tersebut menjadi absolut, sebagaimana dimak sudkan oleh
Zizek.

Ia lebih jauh melanjutkan, bahwa walaupun bebas dan


bertanggung jawab atas tindakannya, subjek itu pada hakekatnya
kosong. Di dalam kepenuhannya yang absolut, subjek itu justru
kosong, juga secara absolut. Subjek Zizekian adalah subjek sisa
yang lahir dari aktivitasnya di dunia. Dalam kaca mata filsafat
Lacan, sebagaimana dibaca oleh Zizek, subjek adalah penanda.
Subjek adalah simbol dari sesuatu yang lain dari dirinya. Subjek
adalah sisa dari sesuatu yang lain dari dirinya. Yang lain dari dirinya
itulah yang disebut sebagai aktivitas, atau intervensinya ke dunia.

Sebagai subjek yang absolut sekaligus kosong, subjek juga


berkembang secara dialektis. Subjek selalu mengalami apa yang
sebelumnya telah ia alami. Subjek selalu tiba pada suatu kondisi
yang juga sebelumnya telah ia jalani. Subjek mengulang dirinya
sendiri. Inilah bagian proses dialektika subjek, sebagaimana
dirumuskan oleh Zizek. "Di dalam proses ini", demikian tulisnya,
"kita dapat mengatakan bahwa dalam arti tertentu segala sesuatu
yang terjadi ... dan kita alami... adalah tempat di mana kita sudah
selalu ada." ,8 ° Subjek dialektis dengan demikian adalah sesuatu
yang kosong, karena ia mengulang dirinya sendiri, dan berarti ia bu -
kan apa-apa selain kekosongan itu sendiri.
Ibid, hlm. 251.

Di dalam tulisannya tentang subjek, Zizek juga banyak mengacu


pada tradisi agama-agama besar. Misalnya ia sangat mengagumi
Protestanisme, karena walaupun mengenali konsep takdir manusia
yang telah ditentukan, agama tersebut tetap menekankan peran
aktif manusia di dalam memahami hidup sebagai suatu perjalanan
yang penuh dengan pilihan-pilihan penting. Di samping itu ia juga
membahas soal agama Yunani Kuno, agama Yahudi, dan agama
Kristen secara keseluruhan. Dalam hal ini ia terinspirasi dari
pandangan Hegel. Agama Yunani Kuno adalah agama seni. Dewa
dan Dewi dianggap sebagai konsep yang indah, se hingga banyak
monumen dan kuil indah untuk memuja mereka. Di dalam agama
Yahudi, subjek terkait dengan sesuatu yang transenden dan berada
secara mutlak di luar diri subjek itu sendiri. Itulah yang disebut
Yahwe. Sementara di dalam agama Kristen, subjek adalah subjek
yang bebas, karena merupakan cerminan langsung dari Tuhan itu
sendiri. 41

Subjek adalah subjek yang bebas, sekaligus absolut dan kosong


pada waktu bersamaan. Inilah paradoks subjek. Ini lah konsep subjek
dialektis, sebagaimana dirumuskan oleh Zizek. Apa konsekuensi dari
pandangan ini? Bagi Zizek kekosongan subjek itu nanti haruslah
diisi. Ia menempatkan The Big Other, atau Tuhan, untuk mengisi
kekosongan tersebut. Keberadaan subjek pada hematnya sudah
selalu mengandaikan keberadaan Tuhan, ' The Big Other. Ia menulis
begini:

"Kita dapat secara harafiah mengatakan bahwa langkah


kosong ini mengandaikan adanya The Big Other, membuatnya
secara formal murni membentuk langkah ini menjadi secara
sederhana merupakan perubahan dari pra real simbolik ke
realitas simbolik - ke yang real ditangkap di dalam jaring-
jaring jaringan penanda. Dengan kata lain, melalui langkah
,8t
41 Ibid, hlm. 262.
kosong ini, subjek mengandaikan keberadaan dari the Big
Other."1*2

Di satu sisi ia menyadari cara berpikir ini sebagai suatu ideologi.


Namun di sisi lain, ia juga menyadari, bahwa cara berpikir ini
tidaklah dapat dihindarkan.

2.2 Subjek Lacanian

Ketika membahas tentang pemikiran Lacan, Zizek memberi


contoh soal kaitan antara tidur dan mimpi. Ia membedakan dua
tafsiran atas mimpi, yakni tafsiran tradisional dan tafsiran
psikoanalisis-dialektis. Di dalam tafsiran tradisional, mimpi
dianggap berfungsi sebagai bumbu tidur. Maka fungsi mimpi adalah
memperpanjang waktu tidur. Namun ketika tidur biasanya akan
muncul gangguan, seperti suara hujan, dan nantinya suara hujan
tersebut akan tercampur dengan mimpi orang yang sedang tidur,
seperti misalnya ia bermimpi sedang naik motor, ketika cuaca
hujan. Jika gangguan semakin besar, maka ia akan terbangun. 183

Namun bagi Zizek tafsiran tradisional ini tidaklah tepat. Dalam


menafsir mimpi ia sendiri banyak menggunakan pemikiran Lacan.
Bagi Zizek logika terbangunnya subjek

182
Ibid.
,8
> Ibid, hlm. 45.

adalah begini: si pemimpi mulai menciptakan mimpi yang


melibatkan gangguan luar dari tidurnya. Tujuannya adalah supaya ia
tetap tertidur, dan tidak terbangun dari mimpinya. Kita bisa
membayangkan ini sebagai mekanisme pertahanan diri dari mimpi
untuk membantu manusia tetap terlelap di dalamnya. Namun tak
beberapa lama, mimpi tersebut menjadi begitu menakutkan, jauh
lebih menakutkan daripada realitas itu sendiri. Pada saat itulah
orang tersebut bangun dari tidurnya.

Maka orang terbangun bukan karena gangguan ekster nal atas


tidurnya, melainkan justru karena mimpinya terlalu buruk untuk
dilanjutkan, dan ia kemudian terbangun. Dalam arti ini Zizek
menggunakan logika dialektis. "Ia", demikian tulisnya, "melarikan
diri ke dalam realitas untuk bisa melanjutkan tidurnya,
mempertahankan kebutaan- nya, untuk menghindari kesadarannya
kepada the Real dari hasratnya."' 84 Pada titik ini Zizek mengutip
slogan lama, bahwa realitas hanyalah untuk orang-orang yang tidak
mampu mencapai mimpinya. Dengan kata lain "Realitas adalah ben -
tukan fantasi yang memungkinkan kita menutupi the Real dari
hasrat kita!"' 85

Analisis ini bisa digunakan untuk memahami arti ideolo gi.


Pandangan lama mengatakan bahwa ideologi adalah ilusi yang
dibangun oleh seseorang, karena ia tidak mampu mema hami atau
menanggulangi realitas yang terlalu menyakitkan. Bagi Zizek
pandangan semacam ini tidaklah tepat. Ideologi adalah bentuk
realitas yang ditawarkan untuk menutupi

Jbid, hlm. 46.


Ibid.

manusia dari the Real yang penuh dengan trauma. 42 "Fungsi dari
ideologi", demikian tulis Zizek, "adalah tidak untuk menawarkan
kita titip untuk melarikan diri dari realitas kita tetapi untuk
menawarkan kita realitas sosial itu sendiri sebagai pelarian dari dari
the Real yang traumatik."' 87

42 Matthew Sharpc, Slavoj Zizek: A Little Piece of The Real, him. 23-
,87
Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology, him. 46. ■88 Jhid
Untuk menegaskan pandangannya soal manusia, Zizek mengutip
penelitian yang pernah dibuat oleh Lacan, yakni paradoks Zhuang
Zi. Zhuang Zi bermimpi bahwa ia adalah seekor kupu-kupu. Ketika
terbangun ia bertanya sendiri pada dirinya, darimana saya tahu,
bahwa saya adalah kupu- kupu yang sedang bermimpi sebagai
Zhuang Zi? Untuk menganalisis pernyataan ini, Lacan, sebagaimana
dibaca oleh Zizek, mengajukan dua argumen. Pertama, bagi Zizek
Zhuang Zi bukanlah orang yang naif dan bodoh. Dalam arti ini orang
bodoh dan naif adalah orang yang berpikir status dirinya sungguh-
sungguh mencerminkan hakekat dari dirinya. Orang bodoh semacam
ini tidak menyadari, bahwa status dirinya sangat bergantung pada
pengakuan dari orang- orang sekitarnya yang membentuk suatu
jaringan makna simbolik tertentu. "Siapa orang itu", demikian tulis
Zizek, "akan ditentukan oleh jaringan penanda eksterior yang me -
nawarkan dia simbol-simbol identifikasi.."' 88

Lalu apakah manusia itu melulu ciptaan dari tata simbo lik di luar
dirinya? Bagi Zizek sebagaimana didapatkannya dari pemikiran
Lacan, subjek memiliki isi internal pada dirinya sendiri di luar
jaringan-jaringan makna eksterior, atau yang disebutnya sebagai
The Big Other. Isi internal ini adalah sebuah kemungkinan dalam
bentuk fantasi. Ketika Zhuang Zi berpikir, bahwa ia adalah kupu-
kupu yang sedang bermimpi menjadi Zhuang Zi, bagi Zizek,
pernyataan ini memiliki kebenaran sendiri. "Di dalam kenyataan
simbolik", demikian Zizek, "ia adalah Zhuang Zi, namun di dalam
the Real dari hasratnya ia adalah seekor kupu-kupu."' 89 Dengan kata
lain menjadi seekor kupu-kupu adalah the Real dari Zhuang Zi, dan
itu semua berada di luar jaringan tata simbolik the Big Other, atau
masyarakat itu sendiri.

Tafsiran umum atas pemikiran Lacan berputar pada diskusi soal


hubungan antaran manusia sebagai subjek, bahasa, dan dunia itu
sendiri. Dalam arti ini ia, sebagaimana ditafsirkan Zizek, dianggap
sebagai filsuf penanda absolut. Artinya Lacan digolongkan sebagai
filsuf yang berfokus menganalisis simbol, dan bukan dunia itu
sendiri. Pengandaian Lacan adalah bahwa dunia itu tidak ada,
karena itu hanya merupakan ciptaan simbolik semata. Inilah tafsiran
umum tentang pemikiran Lacan yang banyak beredar di
masyarakat. Namun di mata Zizek, Lacan justru lebih radikal
daripada itu. Tidak hanya dunia yang tidak ada, bahasa dan
manusia pun sesungguhnya tidaklah ada. Subjek selalu dalam
keadaan coret, yakni kosong.' 90

Pertanyaan sederhana bisa langsung diajukan pada ar gumen ini,


lalu apa yang ada? Lacan - sebagaimana dibaca Zizek- akan
menjawab, yang ada adalah gejala (symptotri) itu

189
Ibid.
Ibid, hlm. 77.

sendiri. Gejala itu sendiri bukan hanya sekedar konsep, me lainkan


apa yang disebut Lacan sebagai penutupan [foreclosure) itu sendiri.
Foreclosure sendiri bagi Lacan, sebagaimana ditafsirkan Zizek,
adalah penyingkiran atas penanda utama itu sendiri dari tata
simbolik yang ada. Artinya esensi dari tata simbolik itu dilenyapkan.
Yang tercipta adalah proses psikosis, yakni neurotis itu sendiri. Pada
momen penutupan tersebut, yang terjadi adalah kembalinya the
Real ke dalam ranah tata simbolik masyarakat (the symbolicj. 43

Sebagaimana ditafsirkan oleh Zizek, pada tahun-tahun


terakhirnya, Lacan mengajukan pemahaman yang cukup berbeda
tentang apa itu penutupan. Baginya penutupan sudah selalu ada di
dalam tata simbolik itu sendiri. Di dalam jantung tata simbolik
sudah selalu ada semacam kekosongan penanda. Artinya potensi
kehancuran tata simbolik itu sudah selalu ada di dalam dirinya
sendiri, yakni dalam bentuk kekosongan yang ada di jantung
hatinya. Zizek ketika membaca Lacan mengajukan satu contoh
menarik tentang seksualitas.

Ketika berbicara tentang seksualitas, kita selalu menga lami


kekosongan makna tentang apa itu seksualitas sesung guhnya.

43 Ibid. him. 78.


Artinya di dalam wacana tentang seksualitas, kita selalu
mengalamai penutupan. Ini juga berarti tidak ada itu yang disebut
seksualitas. Wacana tentang seksualitas berpotensi untuk
menghancurkan dirinya sendiri. Kehancuran wacana seksualitas itu
terjadi, karena "relasi seksual tidak dapat disimbolisasi - itu adalah
sesuatu ketidakmungkinan, relasi yang antagonistik." 44 Dengan
demikian penutupan adalah hadirnya the Real yang memecah dan
menggoyang stabilitas tata simbolik yang ada. Wacana tentang
politik juga berpotensi untuk menghancurkan dirinya sendiri, ka rena
politik sejati adalah the Real yang selamaya tidak akan mampu
tertampung di dalam wacana simbolik. 45

Di dalam membahas soal Lacan, Zizek juga berbicara soal gejala


(symptom). Untuk itu ia mengajukan pertanyaan berikut, mengapa
gejala tidak pernah hilang dari diri subjek? 46 Perlu ditekankan
terlebih dahulu, bahwa, menurut Zizek, gejala adalah simbol dari
the Real itu sendiri di tengah lautan tata simbolik yang ada.
Menanggapi ini menurut Zizek, Lacan akan mengajukan argumen
berikut, gejala menghasilkan kenikmatan. Dalam arti ini gejala
bukan hanya sekedar tampilan luar semata, melainkan kesempatan
subjek untuk mendapatkan kenikmatan di dalam penderitaan dalam
pecahnya tata simbolik yang dialaminya. Oleh karena itu gejala
tidak akan pernah hilang, bukan karena tidak bisa hi lang, tetapi
karena manusia tidak ingin menghilangkannya. "Ia (manusia),"
demikian tulis Zizek, "mencintai gejalanya lebih dari cinta pada
dirinya sendiri." 195

Namun dimana letak kenikmatan dari gejala? Gejala menawarkan


fantasi pada manusia. Fantasi ini begitu liar. Ia menolak berbagai
tafsiran dan simbolisasi. Fantasi ini tidak memiliki keteraturan,
inkonsisten, dan memberikan semacam maKna oagi manusia yang
cenaerung niaup aa- lam tata simbolik yang serba mendekati
kepastian mekanis. Sebuah gejala seperti bersin misalnya selalu
menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang sekitar. Akibatnya
mereka jadi memperhatikan kita. Mereka bertanya mengapa kita
bersin? Pertanyaan ini menunjukkan adanya perhatian, atau yang
disebut Zizek sebagai pengakuan intersubjektif [intersubjec- tive
recognition), dan ini tentunya menciptakan kenikmatan tersendiri. 196
44 Ibid.
45 Ibid, him. 79.
46 ,iM Ibid, him. 80
Orang akan menemukan kenikmatan, ketika ia terputus dari
rantai seharian, dan hanyut dalam fantasinya. Fantasi memberikan
efek ganda. Di satu sisi ia memberikan kenik matan. Namun di sisi
lain, orang malu mengutarakan fantasi terdalamnya pada orang
lain. Fantasi adalah sebab utama, mengapa gejala yang tampak
tidak akan sepenuhnya hilang. Maka untuk memahami gejala, orang
perlu memahami fantasi macam apa yang ada di belakang gejala
tersebut, yang membuat segalanya menjadi nikmat, bahkan adiktif.
Fantasi ini pada hemat Zizek lahirnya dari ketidakpuasan orang da -
lam hubungannya dengan orang lain. Fantasi tercipta untuk
menutup lubang yang tidak bisa bisa diisi oleh orang itu sendiri.

Namun Zizek berpendapat bahwa masalahnya jauh lebih


mendasar daripada fantasi itu sendiri. Di dalam praktek terapi,
walaupun orang telah menghadapi dan melampaui fantasinya, ia
tetap saja hidup dalam gejala tertentu. Apa se benarnya yang
terjadi? Menurut Lacan - sebagaimana dibaca oleh Zizek - penyebab
akar lebih dari sekedar fantasi yang

•9® Ibid.

membawa nikmat sendiri, yakni apa yang disebutnya seba gai


sinthome. Sinthome sendiri adalah sekumpulan asosiasi yang
melibatkan lebih dari satu konsep, seperti kombinasi antara gejala,
fantasi, dan penderitaan. Dalam bahasa Zizek sinthome adalah
enjoyment-in-sense.197 Inilah kenikmatan yang sesungguhnya, karena
ini tidak melibatkan hanya satu rasa, yakni nikmat, tetapi juga
penderitaan, dan berbagai variasi emosi lainnya, semacam
kesengsaraan berpadu dengan humor yang kesemuanya membawa
kenikmatan sekaligus penderitaan pada waktu yang sama.

Di dalam deskripsinya soal Lacan, Zizek membahas soal


pembedaan antara keinginan dan hasrat. Manusia selalu
mengutarakan keinginannya. Namun hasrat adalah sesuatu yang
tersembunyi di balik kata-kata dan ungkapan keingin an tersebut.
Dalam arti ini manusia adalah subjek histeris, karena ia terbelah di
antara keinginan dan hasrat. 198 "Menurut teori Lacanian klasik",
demikian Zizek, "logika dari keinginan yang histerical adalah saya
menginginkan ini da- rimu, tetapi apa yang sungguh saya inginkan
adalah kamu menolak keinginanku, karena itu bukanlah
keinginanku!" 199 Untuk menjelaskan hal ini, Zizek memberikan
contoh makian kasar seorang pria pada wanita.

Ketika seorang laki-laki bergerak penuh gairah untuk bercinta


dengan seorang wanita, namun tiba-tiba sang wa nita menolak,
maka laki-laki itu akan memaki kasar, "Dasar pelacur!" Dalam
bahasa Zizek wanita ini menjadi subjek

197 Ibid, hlm. 8i.


198 Ibid, hlm. 125. i<w l U i A
histeris. Ia berkata "Tidak!", namun tidak ada yang sungguh tahu,
apakah "tidak" itu sungguh-sungguh, atau menunggu untuk dirayu
secara agresif, supaya kegiatan bercinta bisa dimulai. Jika itu benar
maka, seperti ditulis oleh Zizek, hasrat sebenarnya dari wanita itu
sangat bertentangan dengan keinginannya.

Pola berpikir semacam ini juga bisa digunakan untuk memahami


dinamika politik. Bahkan Zizek menegaskan politik juga sama seperti
"pelacur". "Faktanya tidak sesederhana bahwa politik itu korup, tidak
bermoral, dan se- bagainya," demikian tulisnya, "poinnya adalah
bahwa setiap tuntutan politik selalu terjebak di dalam dialektika di
mana ia menghasratkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang
dinyatakannya."200 Sama seperti wanita sebagai subjek histeris, politik
pun juga adalah subjek histeris, yakni subjek yang menyatakan apa
yang berkebalikan dari hasratnya. Atau dalam kosa kata Lacan, subjek
yang menginginkan apa yang sesungguhnya tidak diinginkannya.

Maka keinginan sesungguhnya adalah fiksi, karena tidak ada orang


yang sungguh menyatakan apa yang menjadi hasrat terdalamnya.
Maka dapat juga dikatakan, bahwa setiap orang adalah subjek histeris,
yakni subjek yang dirinya terbelah dalam dialektika antara keinginan
dan hasrat. Pada hemat saya keinginan adalah fiksi, karena masih
berada di level tata simbolik. Keinginan itu teratur sehingga bisa
diartikulasikan dengan kata-kata. Sementara hasrat itu tidak dapat
terkatakan, dan bahkan manusia seringkah tidak menyadari, bahwa ia
menghasrati sesuatu. Maka hasrat adalah the Real
200
Ibid, hlm. 126.
itu sendiri. Hasrat memutus keinginan sama seperti the Real
merupakan goncangan bagi tata simbolik.

Seperti sudah ditulis sebelumnya, Zizek sangat dipengaruhi oleh


pemikiran Lacan. Hal yang sama juga secara jelas terlihat di dalam
pemikirannya tentang manusia, yakni manusia sebagai subjek yang
terbelah, dan memiliki rasa kurang yang terus menggerogoti dirinya.
Namun Zizek sendiri menekankan, bahwa itu bukanlah aspek paling
mendalam dari manusia. Yang paling radikal dari seluruh pemikiran
Lacan, menurut Zizek, adalah kesadaran, bahwa the Big Other, yakni
tata simbolik yang mendominasi hidup manusia, juga merupakan
sesuatu yang terbelah, penuh kontradiksi, traumatis, dan 'tidak
mungkin' yang mengelilingi manusia yang memiliki rasa kurang
ontologis di dalam dirinya. Inilah argumentasi Lacan yang, menurut
Zizek, paling radikal menggambarkan situasi manusia dan dunianya.201

Di sisi lain rasa kurang yang menggerogoti manusia ini ternyata


memiliki sisi positif. "Tampak rasa kurang terhadap yang lain ini",
demikian tulis Zizek, "yang lain akan menjadi struktur yang
tertutup."202 Dengan kata lain rasa kurang dalam diri inilah yang
membuat kita keluar dari isolasi diri, dan kemudian terbuka pada
orang lain. Sikap terbuka pada orang lain ini disebut Zizek sebagai
"dealienasi". Maka hasrat kurang yang ada di dalam diri manusia
bukan semata hanya hasrat tanpa arah, tetapi juga hasrat untuk dekat
dengan yang lain, yang berarti adalah manusia lain. Hasrat ini
mendorong manusia untuk melepaskan diri dari situasi to-

201 Ibid, hlm. 137.


202 Ibid.
tal alienasi, atau situasi keterasingan total, dengan pertama- tama
mengikuti dorongan purbanya, yakni dorongan untuk selalu merasa
kurang, tanpa pernah sungguh terpuaskan.

Di dalam hidupnya manusia selalu menjumpai the Real. Tentang


konsep ini Zizek, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, banyak
dipengaruhi oleh Lacan. Namun apa sesungguhnya yang dimaksud
dengan the ReaU Pada dasarnya the Real itu tidak bisa dijabarkan.
Bahkan seperti dikutip Zizek, Lacan pernah menulis, "The Real dapat
dilukiskan hanya melalui formalisasi yang telah mengalami
kebuntuan."203 Dengan kata lain the Real hanya mampu dijelaskan,
ketika semua penjelasan tidak mampu menjelaskannya lagi. "Hanya
melalui kegagalan ini", demikian tulis Zizek, "kita dapat menempatkan
tempat kosong dari the Real."204 The Real yang muncul secara rutin
dalam hidup manusia adalah sebuah ketidakmungkinan itu sendiri
yang bersifat traumatis.
The Real menurut Zizek bukanlah suatu realitas konkret. Ia ada
untuk memutuskan sekaligus melampaui tata simbolik yang
mengepung hidup manusia. The Real itu tidak dapat diketahui, mirip
dengan benda-pada-dirinya- sendiri di dalam epistemologi Kant.
Walaupun begitu the Real itu adalah kosong, lebih tepatnya suatu
kekosongan di dalam tata simbolik yang ada. Manusia di dalam
hidupnya bisa hanyut dalam rutinitas tata simbolik. Namun ia pada
akhirnya harus menjawab panggilan dari the Real itu sendiri. Dapat
juga ditegaskan bahwa manusia, pada esensinya, adalah the Real itu
sendiri, karena ia selalu lolos dari genggaman

204
Ibid, hlm. 194. Ibid, hlm.
195.

definisi dan simbolisasi konpsetual. "Subjek", demikian tulis Zizek,"...


adalah titik kegagalan dari proses representasi simboliknya sendiri."47

Subjek dan objek selalu berada dalam kesatuan, ketika keduanya


mengalami the Real. Pada titik ini Zizek mencatat sebuah paradoks,
"manusia dapat melindasnya, meninggalkannya, tetapi tidak dapat
meraihnya."48 Ia memberi contoh salah satu argumen Brecht, bahwa
orang tidak dapat berjuang keras untuk meraih kebahagiaan, karena
dengan begitu, ia akan melindasnya, dan kebahagiaan tidak pernah
dapat diraih. Pola ini mirip dengan the Real di dalam pemikiran Lacan.
The Real dapat didekati (hampir meraih) atau terlewati, tetapi tidak
pernah dapat tepat disentuh. Pada hemat saya ini mirip dengan upaya
manusia untuk sampai pada kebenaran. Manusia dapat mendekati
atau justru melindasnya dengan sikap fundamentalis-fanatik, tetapi ia
tidak pernah dapat tepat menyentuhnya.

Lebih lanjut Zizek menegaskan, bahwa manusia pada dasarnya


memiliki dimensi anomali di dalam dirinya. Dimensi anomali ini
memungkinkan, subjek, manusia, itu membutuhkan yang lain dari
dirinya sendiri, justru untuk menjadi dirinya sendiri. Yang lain dari
subjek itu adalah objek. Maka kehadiran objek sangatlah penting
untuk pembentukan sekaligus pelestarian keberadaan subjek, atau
manusia. Namun apakah yang dimaksud oleh Zizek dengan objek?
Objek adalah benda-benda di dunia. Yang menarik dari argumennya
adalah, bahwa relasi antara manusia dengan benda-benda di dunia
adalah relasi yang pada dasarnya merupakan rasa bersalah.

Namun rasa bersalah itulah yang justru membuat manusia menjadi


subjek, dalam arti menjadi manusia yang aktif. "Tidak ada subjek,"
47 i0* Jbid.
48 lUiA
demikian tulis Zizek, "tanpa rasa bersalah." 49 Rasa bersalah itulah
yang menciptakan subjek, sekaligus yang membuat manusia, subjek,
selalu terbelah di dalam dirinya sendiri. Keterbelahan itu tampak di da-
lam hubungan manusia dengan dunia yang selalu berada di dalam
tegangan antara tarikan dan penolakan. Manusia memerlukan benda-
benda dunia. Namun jauh di dalam hatinya, ia membenci semua itu.
Dilema ini menghasilkan rasa bersalah yang pada akhirnya justru
menjadi esensi dari subjek itu sendiri. Memang ini bukanlah esensi
yang rasional. Namun esensi semacam ini, yakni rasa bersalah, me-
nunjukkan bahwa subjek pada hakekatnya merupakan the Real itu
sendiri.

Subjek mengalami rasa bersalah di dalam relasinya dengan dunia.


Rasa bersalah itulah yang justru melahirkan subjek. Dalam arti ini
menurut Zizek, rasa bersalah adalah suatu histeria. "Status dari
subjek", demikian tulisnya, "adalah histerikal."50 Histeria ini membuat
subjek menjadi terbelah. Situasi keterbelahan itu bersifat sangat
traumatis. Di dalam konteks psikoanalisis, situasi terbelah di dalam diri
manusia ini seringkah disebut dorongan kematian, ketidakseimbangan
traumatik, dan sebagainya. Manusia bukanlah entitas yang stabil,
tetapi sangat dinamis, bahkan dalam arti yang paling traumatis.
Situasi harmoni hanyalah ilusi yang merupakan simbol pelarian dari
diri dari dinamika jiwa yang traumatik ini.

Dimensi traumatik subjek juga dipertegas oleh ideologi "sudah ada


di sana". Artinya manusia sebagai subjek sudah selalu dituntut untuk
tahu apa yang mesti ia lakukan. Manusia diandaikan sudah selalu
tahu, apa yang masyarakat harapkan dari dirinya. Padahal
pengandaian ini tidak selalu terpenuhi. Kegagalan memenuhi
pengandaian ini, hemat Zizek, jelas menciptakan trauma baru di
dalam diri manusia. "Prosedur yang memberatkan", demikian tulisnya,
"adalah menempatkan subjek pada posisi orang yang diasumsikan
sudah tahu."51

Untuk menjelaskan ini Zizek memberikan contoh situasi barak


militer. Para pelatih seringkah berteriak, "Kenapa kamu diam saja!
Bukankah kamu tahu apa yang harus dilakukan!" Setelah berteriak

49 Ibid, hlm. 204.


50 108 Ibid.
51 109 Ibid, hlm. 206".
keras dengan nada tinggi, sang pelatih baru mulai menjabarkan
instruksi tentang apa yang harus dilakukan. Ini adalah ilustrasi tentang
dimensi traumatis subjek, manusia, di mana ia seringkah terlempar ke
dalam situasi yang mengandaikan ia sudah selalu harus tahu apa yang
mesti dilakukan.

Tidak hanya itu Zizek, dengan berpijak pada pemikiran Lacan, juga
menjabarkan dimensi aspiratif dari subjek, yakni subjek yang
diharapkan (subject presumed to). Kita sudah melihat yang pertama,
yakni subjek yang diharapkan untuk tahu. Yang kedua adalah apa
yang disebut Zizek sebagai subjek yang diharapkan untuk percaya.
Di dalam situasi sehari-hari, manusia diharapkan untuk percaya. 210

Ketika ada gosip yang mengatakan, bahwa BBM menipis, maka


manusia diharapkan percaya. Akan ada banyak orang yang antri di
pom bensin untuk membeli bensin, karena mereka takut kehabisan.
Namun ada beberapa orang yang tidak percaya akan gosip tersebut,
namun karena mereka juga takut kehabisan bensin, karena dibeli
oleh orang-orang yang percaya gosip, maka mereka pun turut antri
untuk membeli bensin. Maka dampak akhirnya adalah sama, baik
bagi untuk orang yang percaya, maupun yang tidak, yakni mereka
akan membeli bensin juga, walaupun dengan pola berpikir yang
berbeda.

Zizek juga yakin bahwa konsep subjek yang diharapkan untuk


percaya ini juga memiliki kegunaan klinis, terutama dalam konteks
lahirnya praktek-praktek neo-psikoanalisis. 211 Beginilah pola berpikir
yang diajukan Zizek, ketika orang datang ke seorang terapis neo-
psikoanalisis, "Saya memiliki masalah psikis, saya neurotik, jadi
saya ingin seorang analis menyembuhkan saya. Masalahnya adalah
saya tidak percaya dengan phallus maternal, kastrasi simbolik, dan
semua kotoran itu - bagi saya itu semua tidak masuk akal. Namun
berbahagialah saya karena ada analis yang percaya pada itu semua,
dan mengapa tidak, mungkin ia dapat menyembuh kan saya dengan
kepercayaannya itu." Kepercayaan bisa menyembuhkan. Walaupun
tentu saja kita bisa mencium bau sikap sinis Zizek pada
psikoanalisis di dalam paragraf ini.

2.0 Ibid, hlm. 21 o.


2.1 Jhid hlm

Masih berpijak pada pemikiran Lacan, Zizek juga menegaskan,


bahwa manusia selalu memiliki tulang dan kerangka di dalam
dirinya. Fungsi tulang dan kerangka itu tidak semata biologis, tetapi
juga mengisi kekosongan yang ada di dalam mental subjek. Di
dalam pemikiran Lacan, manusia selalu memiliki kekosongan
tertentu. Dan kekosongan itu selalu menuntut untuk diisi, oleh apa
pun. Di dalam perjalanan kekosongan itu kemudian diisi oleh fantasi
akan keberadaan yang lain, yakni orang lain. Proses dialektika hidup
manusia tidak akan bisa mengisi kekosongan ini. Selalu ada ruang-
ruang kosong yang menanti untuk diisi, tanpa bisa diisi sepenuhnya.
Ruang kosong inilah yang menandakan status subjek sebagai
ketidamungkinan itu sendiri. 212

Zizek lebih lanjut berpendapat, bahwa subjek pada ti tik


terakhirnya akan mengalami apa yang disebut sebagai kemiskinan
subjektif (subjective destitution). Dalam arti ini subjek membatalkan
dirinya sendiri, dan berserah sepenuhnya pada the Real itu sendiri.
Subjek mengosongkan dirinya sendiri, dan kemudian berserah
sepenuhnya pada ketidakpastian realitas. Padahal seperti yang
pernah dinyatakan oleh Hegel, subjek baru dapat menjadi subjek,
jika ia menganggap dirinya sendiri adalah sesuatu yang absolut.
Ketika ia berhenti memahami dirinya sebagai absolut, subjek pun
kehilangan dirinya sendiri, dan menjadi kosong. 2 ' 3

2.2 Ibid, hlm. 236.

1.3 Ibid. hlm. 26^.

3. Penutup: Subjek Dialektis


Pengaruh filsafat Lacan sangatlah besar pada Zizek. Konsep-konsep
kunci Lacan, seperti the irnaginary, tata simbolik, dan the Real, banyak
digunakan oleh Zizek untuk menafsirkan pemikiran filsuf lainnya. 2'4
"Akar dari semua karya saya", demikian tulis Zizek sebagaimana
dikutip oleh Myers, "adalah usaha untuk menggunakan Lacan sebagai
alat intelektual yang berharga untuk membangkitkan idealisme
Jerman."2'5 Apa sebenarnya arti penting dari idealisme Jerman bagi
jaman kita sekarang ini?

Kata Idealisme Jerman mengacu pada karya beberapa filsuf Jerman.


Diantaranya adalah Immanucl Kant, Johann Gottlieb Fichte, Schelling,
dan Hegel. Bagi Zizek karya- karya mereka telah banyak
disalahpahami. Yang diperlukan adalah suatu tafsiran segar atas
karya-karya para filsuf Jerman untuk memahami jaman ini. Tafsiran
tradisional atas idealisme Jerman adalah, bahwa kebenaran dari suatu
benda dapat ditemukan di dalam benda itu sendiri. Namun Zizek
berpendapat sebaliknya. Baginya kebenaran dari sesuatu selalu
berada di luar sesuatu itu. "Kebenaran dari pengalaman kita sebagai
manusia," demikian tulis Myers tentang Zizek, "berada di luar diri kita,
yakni di dalam tata simbolik dan the Real, dan tidak tertanam di dalam
diri kita sendiri."2'6

Esensi dari diri tidak terletak di dalam diri, melainkan justru di luar
diri kita sendiri, yakni di dalam tata simbolik
2M
Untuk bagian ini saya kembali mengikuti uraian Myers ten tang
Zizek dalam Tony Myers, Slavoj Zizek, 2003. Ibid, hlm. 42. 2,6 Ibid.
yang turut membentuk jati diri, dan juga the Real yang terus menerus
datang di dalam aktivitas sehari-hari. Zizek sejalan dengan Lacan,
ketika keduanya berpendapat, bahwa pengenalan atas identitas diri
adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena identitas selalu terbelah.
Jika kita mencoba untuk mengenali identitas diri kita, maka kita akan
selalu merasa kurang. Contoh lainnya yang diberikan Myers adalah
soal arti dari sebuah kata. Arti kata tidak pernah ditemukan di dalam
kata itu sendiri, melainkan justru di dalam kata yang lain. 217 Ambil
contoh arti kata kaleng. Apa itu kaleng? Arti dari kata kaleng tidak
pernah bisa ditemukan di dalam kaleng, melainkan di dalam kata
"benda terbuat dari besi dan keras". Maka makna dari kaleng tidak
dapat ditemukan di dalam kaleng itu sendiri, melainkan di luarnya.
Dengan pola ini Zizek kemudian membaca dan menafsirkan ulang pe-
mikiran para filsuf Idealisme Jerman.

Di sisi lain Zizek juga banyak menulis soal proses sub- jektivasi.
Dengan paham ini ia ingin menegaskan, bahwa subjek selalu tertanam
pada bahasa dan tata simbolik lainnya yang telah ada di masyarakat.
Sekilas argumen ini mirip sekali dengan argumen para filsuf
posmodernisme tentang subjek. Namun menurut Myers konsep
subjektivasi Zizekian memiliki perbedaan khusus. 218 Bagi Zizek setiap
proses subjektivasi yang dialami manusia selalu menempuh dua
proses yang saling bersilangan. Di satu sisi tata simbolik masyarakat,
atau yang biasa disebut Zizek sebagai the Big Other, telah ada
sebelumnya, dan membentuk setiap orang.

2.7 Ibid, hlm. 43.


1.8 Ibid. hlm. ¿i.
Contohnya amatlah sederhana. Setiap orang lahir dalam konteks
keluarga tertentu, maka ia harus memakai nama keluarga tertentu,
dengan tingkat ekonomi, status sosial, maupun kultural yang juga
sudah ada sebelumnya.

Di sisi lain namun tata simbolik tidak pernah sungguh sempurna,


dan selalu terkandung kekurangan di dalamnya. Ketidaksempurnaan
maupun kekurangan dari tata simbolik tersebut justru disebabkan oleh
adanya subjek. Artinya subjek -yakni kita semua- memiliki kemampuan
untuk memahami tata simbolik yang ada, dan memaknainya seturut
dengan subjektivitas yang kita miliki. Misalnya kita bisa saja
mengganti nama, pindah agama, pindah tempat tinggal, dan
sebagainya. Tata simbolik tidak pernah total mempengaruhi manusia.
Tata simbolik selalu mengalami ambiguitas, dan pada akhirnya
berubah, akibat ambiguitas tersebut. Subjeklah yang mengakibatkan
terjadinya ambiguitas. Subjek mampu menciptakan narasi dari tata
simbolik yang telah mereka terima sebelumnya. Dalam arti ini
menurut Zizek, sebagaimana dibaca oleh Myers, subjek dengan jati
dirinya adalah pusat dari gravitasi naratif (center of narra- tive
gravity) .2l° Seperti sudah disinggung sebelumnya, subjek sendiri
adalah kekosongan itu sendiri. Subjek selalu merasa kurang di dalam
dirinya sendiri. Jati diri adalah entitas yang mengisi kekosongan subjek
tersebut. Dalam arti ini jati diri teruslah berubah dan berproses dalam
gerak realitas.

Jelaslah bahwa Zizek searah dengan Descartes, ketika ia


menyatakan, bahwa esensi dari subjek adalah tindak berpikir, atau
cogito. Pandangan ini jelas bertentangan dengan

2,9
Ibid, hlm. 44.
kritik yang telah diajukan oleh para filsuf posmodernisme tentang
konsep subjek Cartesian tersebut. Namun sebagaimana dibaca Myers,
konsep cogito, yakni aku berpikir, bagi Zizek, bukanlah simbol dari
kesadaran subjek yang bersifat substansial dan utuh, melainkan justru
sesuatu yang kosong, dan terbentuk melalui proses subjektivasi,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Proses subjektivasi itu
terjadi melalui hubungan timbal balik antara subjek dengan tata
simbolik yang telah ada sebelumnya. "Proses subjektivasi", demikian
tulis Myers dalam tafsirannya tentang pemikiran Zizek, "adalah proses
dimana subjek mendapatkan identitas, dan juga identitas itu dapat
diubah oleh jati diri subjek tersebut." 220 Subjek Zizekian adalah subjek
yang kosong sekaligus dialektis. Di dalam proses dialektis itu, ia
seringkah merasa kosong. Dan untuk mengisi rasa kosong itu, serta
untuk mengimbangi sisi dialektis di dalam dirinya, manusia bisa
berbuat apa pun, termasuk hal-hal jahat dan korup yang tak terkira
sebelumnya.

Kesimpulan

Melampaui Korupsi

i dalam buku ini, saya telah mengajukan argumen,


bahwa akar dari sikap korup adalah sisi-sisi gelap manusia
sendiri yang telah ditolak dan disangkal, sehingga kini merangsek
keluar tanpa bisa dikontrol, bahkan oleh manusia itu sendiri. Untuk itu
dihadapan fenomena korupsi, saya ingin mengajukan empat hal yang
bisa dilakukan, supaya sebagai bangsa, kita bisa "melampaui" korupsi.
Sebelum itu saya akan memetakan masalah korupsi yang menjadi tan-
tangan utama banyak negara sekarang ini.

Di Indonesia kita sudah cukup sadar, bahwa korupsi terus terjadi,


karena sistem hukum kita amat lemah. I Iukum berpihak pada siapa
yang kuat secara politis dan ekonomi. Bagi yang rakyat kebanyakan,
keadilan hanya berupa janji yang tak kunjung terwujud. Mereka pun
jadi korban korupsi, korban ketidakadilan, dan semakin sulit hidupnya
dari hari ke hari.

Partai politik pun memiliki perilaku serupa. Menjelang Pemilu


mereka mengumbar janji pada rakyat. Rakyat yang mayoritas tak
mampu berpikir kritis pun percaya, dan mendukung mereka. Namun
setelah dipilih dan didukung oleh rakyat, partai politik bersikap korup,
dan mengkhianati janji mereka pada rakyat. Kekecewaan dan
ketidakpercayaan pada pemerintah yang berkuasa telah menjadi
atmosfer yang melingkupi masyarakat Indonesia sekarang ini.

Sebagai bangsa kita amat sulit mengontrol hasrat berkuasa dan


naluri-naluri gelap dalam diri kita. Kekuasaan meracuni motivasi
banyak orang, sehingga mereka tidak lagi bekerja dan berkarya
dengan tulus, namun dengan sikap korup dan tipu daya. Kenikmatan
memikat kita untuk mengejarnya, walaupun dengan meninggalkan
nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Perilaku kita tak jauh berbeda
dengan perilaku hewan-hewan yang tak punya pertimbangan rasional,
dan semata tunduk pada hasrat-hasrat dasariahnya.

Semua itu dibarengi dengan penyangkalan diri sosial yang terjadi di


masyarakat kita. Kita merasa semua baik-baik saja. Pejabat korup
datang dan kita menyambutnya dengan gegap gempita. Nasihat-
nasihat moral agamis dilontarkan untuk membius kita dari realitas
gelap diri dan masyarakat kita. Kita malu mengakui bahwa kita
bersikap munafik di dalam berbagai bidang kehidupan.

Kita bahkan tidak mengenal diri kita lagi. Apa atau siapa itu bangsa
Indonesia? Kita malu mengakui bahwa kita punya banyak sekali
kesalahan di dalam menata bangsa ini. Masa lalu yang gelap kita
lupakan; kita anggap tidak ada. Orang-orang berlomba untuk sekolah
dan bekerja di luar negeri, karena malu tinggal di negeri ini. Bangsa
kita menyangkal diri terus menerus, dan kehilangan dirinya sendiri di
dalam penyangkalan tersebut.

Karena menyangkal diri, maka kita sendiri amat asing dengan diri
kita sendiri. Berbagai solusi untuk menyelesaikan masalah bangsa
hanya menyentuh permukaan belaka. Akar masalah tetap tak
tersentuh, bahkan diabaikan atas nama stabilitas dan harmoni semu.
Masalah-masalah mendesak seperti korupsi di berbagai bidang pun
tak lagi terkontrol, dan skalanya semakin luas serta semakin dalam.

Kita terjebak dalam lingkaran setan dekadensi diri. Dalam banyak


hal kita tidak lagi beraspirasi untuk menjadi luhur dan agung, namun
justru menjadi semakin rakus dan jahat. Orang merasa bangga jika
bisa kaya dalam sesaat, karena menipu atau korupsi. Kita seakan
terjebak pada perlombaan untuk menjadi yang paling bejat. Dalam
situasi yang amat hitam ini, apa yang mesti dilakukan?

Langkah pertama adalah dengan melakukan pembenahan secara


agresif pada dua lembaga publik di Indonesia, yakni partai politik dan
sistem hukum. Dua lembaga publik tersebut harus dipaksa untuk
mengikuti kaidah etik mereka sebagai pelayan rakyat untuk mencapai
keadilan dan kemakmuran bersama. Dalam hal ini rakyat harus berani
mengorganisir diri, dan memaksakan agenda tersebut ke berbagai
partai politik maupun sistem hukum yang ada, mulai dari polisi,
kejaksaan, pengadilan, sampai dengan Mahkamah Agung. Maka
partisipasi politik yang konsisten amat diperlukan.

Pada level yang lebih individual, menurut saya, kita perlu mengenali
dan mengakui sisi-sisi gelap yang ada di dalam diri kita, sekaligus yang
ada di dalam diri setiap manusia. Di dalam buku ini, saya sudah
menjabarkan setidaknya lima sisi gelap manusia, yakni hasrat
berkuasa yang bercokol di dalam dirinya, nafsu untuk meraup
kenikmatan, sisi hewani yang tak tertata, kemalasan dan
ketidakberpikiran manusia
,
dan kekosongan jiwa manusia. Dari lima sisi gelap ini, kita bisa
melihat bagaimana kejahatan menorehkan jejaknya dalam sejarah
manusia, dan akhirnya berubah menjadi kejahatan sistemik yang
mengakar begitu dalam dan begitu luas dalam masyarakat.

Berikutnya kita harus mampu mengelola beragam sisi gelap


tersebut. Tata kelola dimulai dengan pengenalan. Orang yang
menyangkal bahwa dirinya memiliki kemungkinan untuk berbuat
jahat justru biasanya akan menjadi pelaku kejahatan. Maka untuk
bisa mengelola dirinya dengan baik, orang perlu mengenali sisi-sisi
jahat yang bercokol di dalam dirinya. Kemunafikan adalah akar
terdalam dari kejahatan.

Cara mengelola adalah dengan mengangkat dorongan- dorongan


gelap manusia itu menjadi sesuatu yang bisa diterima oleh
masyarakat. Misalnya dorongan untuk berkuasa bisa diangkat
menjadi dorongan untuk mencipta hal-hal yang berguna untuk
masyarakat luas. Dorongan untuk mencapai kenikmatan diangkat
dari dorongan untuk menunda kenikmatan-kenikmatan rendah
jangka pendek menjadi kenikmatan yang bersifat jangka panjang,
dan memberikan kebaikan pada orang lain. Inilah yang saya sebut
sebagai transendensi diri.
y

© ■ 12:23
Transendensi diri juga dapat dilihat sebagai upaya manusia untuk bergerak melampaui sisi-
sisi gelapnya, dan membiarkan dirinya dibimbing oleh nilai-nilai luhur kehidupan yang lahir
dari konteks komunitas hidupnya. Transendensi diri setiap pribadi adalah kunci utama untuk
sungguh melenyapkan korupsi sampai ke akarnya. Pelbagai upaya politik, hukum, dan
ekonomi untuk melenyapkan korupsi aka
n

sia-sia, jika rakyat di suatu negara tunduk pada sisi-sisi gelap


dirinya.

Transendensi diri juga berarti membiarkan diri dibim bing oleh


kesadaran dan akal budi. Dengan proses ini orang tidak lagi menjadi
budak dari sisi-sisi gelapnya, dan dipermainkan oleh hasrat manusia
yang memang tak pernah terpuaskan. Tentu saja untuk hidup, kita
perlu hasrat. I lasrat adalah sumber energi yang mendorong kita
untuk hidup dan mencipta. Namun hasrat bukanlah binatang jinak
yang bisa dibiarkan tanpa kontrol

Di dalam buku ini, saya menyarankan, agar kita semua belajar


untuk mengenali dorongan-dorongan berkuasa, berburu nikmat,
gejolak sisi-sisi hewani, kemalasan berpikir, dan kekosongan jiwa
kita sebagai manusia. Semua itu harus diakui dan dikenali. Setelah
itu kita perlu untuk membangun niat, komitmen, serta teknik untuk
menata dan melampaui sisi-sisi gelap yang bercokol di dalam diri
kita, maupun diri semua manusia tersebut.
Teknik yang saya tawarkan adalah transendensi diri. Awalnya
adalah pengenalan dan berakhir pada pelampauan. Hanya dengan
begini korupsi bisa kita tumpas sampai ke akar-akarnya. Saya
bermimpi suatu saat nanti, masyarakat dunia akan sungguh
terbebas dari permasalahan korupsi. Semoga ini bukan mimpi
belaka. Semoga."*

Daftar Acuan

Airaksinen, Timo, The Philosophy of Marquis de Sade, Routledge,


London, 1991.

Arendt, Hannah, Eichmann in Jerusalem, Macmillan Com pany, New


York, 1963.

Bertens, Kees, Filsafat Barat Kontemporer: Francis, Grame- dia,


Jakarta, 2001.

Benhabib, Seyla, "Arendt's Eichmann in Jerusalem", Cam bridge


Companion to Hannah Arendt, Villa, Dana (ed), Cambridge
University Press, Cambridge, 2000.

Budi Hardiman, Fransisco, Memahami Negativitas, Kompas, Jakarta,


2005.
Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004.

Budi Hardiman, F., "Elias Canetti dan Filsafat Zoologis", Jurnal


Driyarkara, Th. XXIX no. 1/2007, Jakarta.

Canetti, Elias, Crowds and Power, Farrar, Straus & Giroux, New York,
1984.

Dews, Peter, The Idea of Evil, Oxford, Blackwell, 2008.

Hidya Tjaya, Thomas, Imoralisme dan Kodrat Manusia, Harian


Kompas, Rabu, 2 Juni 2004.

Johnston, Michael, Syndromes of Corruption, Cambridge University


Press, Cambridge, 2005.

Le Bon, Gustave, The Crowd, Dover Publications, New York, 1895.


Marius Van Leeuwen, Theodoor, The Surplus of Meaning, Rodopi,
Amsterdam, 1981.

Myers, Tony, Slavoj Zizek, Routledge, London, 2003.

Neu, Jeromen (ed), Cambridge Companion to Freud, Cambridge


University Press, Cambridge, 2006.

Newey, Glen, Hobbes and Leviathan, Routledge, London, 2008.

Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, Cambridge University


Press, Cambridge, 2002.

Porter, James. I., "Nietzsche's Theory of The Will to Power", A


Companion to Nietzsche, Pearson, Keith, Ansell, (ed),
Blackwell, London, 2006.

Phillips John, The Marquis de Sade, Oxford University Press, Oxford,


2005.
Ricoeur, Paul, Symbolism of Evil, New York, 1967.

Robertson, Ritchie, "Canetti and Nietzsche", dalam A Com panion to


the Works of Elias Canetti, Lorenz, Dag- mar (ed), Camden
House, New York, 2004.

Ruse, Michael, Evolutionary Naturalism, Routledge, Lon don, 1995.

Stamos, David, Darwin and the Nature of Species, State University


of New York Press, New York, 2007.

Sindhunata, Kambing Hitam, Gramedia, Jakarta, 2006.

Sharpe, Matthew, Slavoj Zizek: A Little Piece of The Real, Ashgate,


England, 2004.

Sinnerbrink, Robert, "The I Iegelian "Night of the World": Zizek on


Subjectivity, Negativity, and Universality," International
Journal of Zizek Studies, Vol.2, No. 2, 2010.
Uslaner, Eric, Corruption, Inequality, and Rule of Law, Cambridge
University Press, Cambridge, 2008.

Vaden, Tere, "Zizek's phenomenology of the subject: tran scendental


or materialist?," International Journal of Zizek Studies, Vol. 2,
No. 2, 2010.

Wattimena, Reza A.A., "Upaya Mengupas Duri-duri Trauma", Jurnal


Driyarkara, Th. XXIX no. 1/2007, J a ~ karta.

Wattimena, Reza A.A., Metodologi Penelitian Filsafat, Ka- nisius,


Yogyakarta, 2011.

Wattimena, Reza A.A., Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius,


Yogyakarta, 2007.

Wattimena Reza A.A., (ed), Filsafat Politik untuk Indone sia,


Pustakamas, Surabaya, 2011.
Wattimena, Reza A.A., Filsafat Kritis Immanuel Kant, Evo- litera,
Jakarta, 2010.

Wood, Allen, Karl Marx, Routlcdge, New York, 1981.

Zizek, Slavoj, The Sublime Object of Ideology, Verso, London, 1989.

Internet:

http://en.wikipedia.org/wiki/Corruption diakses 20 Februari 2012


15.30 WIB.

http:// plato.stanford.edu/ entries/nietzsche/ diakses 19 Desember


2011 pk. 8.44.

http:// www.minddisorders.com/Py-Z/Sexual-sadism . html diakses


pada 9 Desember 2011 pk. 13.35.
http:// www.detiknews.com/ read/2011/09/123201/
1725329/10/pelaku-sodomi-di-cirebon-ditangkap- korban-
lebih-dari-io-orang diakses pada 9 Desember 2011 pk. 13.35.

http:// www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_robot- gedek.html


diakses pada 9 Desember 2011 pk. 13.35.

http:// raja1987.blogspot.com/ 2009/01/imparsial-men- gungkap-


data-data-konflik.html diakses pada 10 November 2011 pk.
11.00.

http:// ccaps.strausscenter.org/ scad/confhcts/search?page


=4&query=discrimination&x=o&y=o diakses pada 10
November 2011 pk. 11.23.

http://kirjasto.sci.fi/ecanetti.htm (2 november 2011 jam 12.14).


http://plato.stanford.edu/entries/arendt/#Int diakses pada 20 Desember 2011 pk. 14.46
.
Biodata Penulis

Reza A .A Wattimena (Reza Alexander Antonius Watti- mena),


Pengajar di Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya.
Alumnus Program Magister Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta. Buku yang telah diterbitkan:
1. Melampaui Negara Hukum Klasik (2007)
2. Filsafat dan Sains (2008)
3. Filsafat Kritis Immanuel Kant (2010)
4. Bangsa Pengumbar Hasrat (2010)
5. Filsafat Perselingkuhan sampai Anorexia Kudus (2011)
6. Filsafat Kata (2011)

7. "Ruang Publik" (artikel dalam buku, 2010)

8. "Menebar Garam di atas Pelangi" (artikel dalam buku, 2010)


9. Membongkar Rahasia Manusia (editor, 2010)

10. Metodologi Penelitian Filsafat (editor dan penulis, 2011)


Filsafat Ilmu Pengetahuan (editor, 2011
)
11.
1. Filsafat Politik untuk Indonesia (editor dan penulis, 2011)
2. Penelitian Ilmiah dan Martabat Manusia (2011)

3. "Etika Komunikasi Politik' 1 (artikel dalam buku, 2011)

4. Treasured Heritage (Buku Autobiografi Soetikno Ta- noko, co-


writer, eksklusif, 2012).

Juga aktif menulis di majalah Basis, jurnal-jurnal filsafat, koran Jubileum


Surabaya, dan artikel populer di www.ru- mahfilsafat.com13 Ibid, him.
li. "Benefits and costs may be intangible, long-term, broadly
dispersed, or difficult to distin- guish from the routine operation of the
political system (Thompson, 1993). Particularly where the problem is
severe, corrupt demands and expectations can be so ingrained into a
system that they go unspoken." M Ibid, "One school of thought
advocates definitions based on laws
15
Ibid, him. 12. "I define corruption as the abuse of public roles or
resources for private benefit, but emphasize that "abuse," "public,"
"private," and even "benefit" are matters of contention in many
societies and of varying degrees of ambiguity in most. If our goal
were to categorize specific actions as corrupt those complications
would be a serious difficulty; indeed they are reasons for the
inconclusive nature of the definitions debate. But at a systemic level,
particularly where the problem is severe, such contention or
ambiguity can be useful indicators of difficulties or change at the level
of participation and institutions."
17
Ibid, hlm. 13. "Even where institutions are strong, tnore aetivities and
key decisions are taking place in essentially private arenas through
markets, or market-like processes, subject to less restric- tive rules
and mechanisms of accountability."
43
http://www.Minddisorders.Com/py-z/sexual-sadism.Html "The
essential feature of sexual sadism is a feeling of sexual excitement
resulting from administering pain, suffering, or humiliation to another
person. The pain, suffering, or humiliation inflicted on the other is
real; it is not imagined and may be either physical or psychological in
nature. A person with a diagnosis of sexual sadism is sometimes
called a sadist. The name of the disorder is derived from the proper
name of the Marquis
60
http:// raja1987.bl0gsp0t.c0m/2009/01/imparsial-mengung- kap-
data-data-konfiik.html diakses pada 10 November 2011 pk.
11.00.
no. 1/2007, Jakarta, hlm. 1. lbid.
87
Sindhunata, Kambing Hitam, Gramedia, Jakarta, 2006.
8S
Robertson, Ritchie, "Canetti and Nietzsche", hlm. 206. "Social
institutions depencl on mutual trust. I need to assume that my
spouse, my colleagues, my lawyer, my accountant, and so forth
are normally going to deal honestly with me.
91
Ibid, him. 207. "Having shown how the command structures family life
as the transmis- sion of power, Canetti makes a yet more radical
move by linking this trans- mission with one of the most agonizing
problems thrown up by twentieth- century history: the problem of how
ordinary people can commit atrocities. The only person who can
receive a command without feeling its sting, Ca- netti says, is the
executioner. The command he receives is to kill someone else. Hence
the threat of death that underlies the command does not apply to
him, for he can instantly divert it onto the person whom he kills.
Hence, he kills with the coori conscience n f someone who is dninc his
dutv "
91
Ibid, "For in the crowd Canetti sees a countenveight to the exer
cise of power and hence a curious kind of hope. His other source
of hope is in transformation (Verwandlung), an elusive but cru
141
Pada bagian ini saya mengikuti pemaparan Tony Myers, Slavoj
Zizek, Routledge, London, 2003. ,4} Ibid.
M3 J Iri/J Mm 1
158
Untuk selanjutnya saya mengacu pada uraian Zizek dalam
Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology, 1989. ,J»
Ibid, hlm. xxx.
«60 j f, j , j
,6?
Ibid, hlm. xv.
168
Robert Sinnerhrink, "The Hegelian "Night of the World": Zizek on
Subjectivity, Negativity, and Universality," International Journal of
Zizek Studies, Vol.2, No. 2, 2010, hlm. 13.

Anda mungkin juga menyukai