1016004142
©2012 Kanisius
PENERBIT PT KANISIUS
Anggota SEKSAMA (Sekretariat Bersama) Penerbit Katolik Indonesia Anggota IKAPI (Ikatan
Penerbit Indonesia)
Prakata
F I L S A FAT ANTI-KORUPSI
ini, di Indonesia, dan juga di seluruh dunia, korupsi telah menjadi
tema yang sering didiskusikan, dicari akar penyebab serta jalan
keluar untuk melenyapkannya. Namun, terhubung dengan The
Beatles, saya belum menemukan satu buku pun terkait dengan
upaya memahami perilaku korupsi manusia dengan melihat dari
kondisi-kondisi manusia yang melakukannya. Tak satu pun!
Bagaimana dengan Anda?
Pendahuluan: Korupsi______________________________________9
Bab 1: Korupsi dan Hasrat Berkuasa Manusia______________29
1. Friedrich Nietzsche 30
2. Kehendak untuk Berkuasa_________________________32
3. Penutup___________________________________________42
Bab 2: Korupsi dan Pemburuan Kenikmatan________________47
1. De Sade, Hidup dan Metode Berfilsafatnya_________50
2. Filsafat yang Menyimpang_________________________57
3. Kesimpulan dan Catatan 65
Daftar Acuan.................................................................205
Biodata Penulis 209
Pendahuluan:
Korupsi
B
uku ini mengupas akar-akar korupsi dari sudut pan dang filsafat
dengan tujuan untuk mencegah dan melenyapkannya. Pada ranah
filsafat buku ini dapat dianggap sebagai sebuah proyek filsafat
transendental untuk memahami kondisi-kondisi kemungkinan
( conditions of possibilité yang bersifat apriori (sebelum pengalaman),
yang membuat manusia bertindak korup. Buku ini memiliki me tode
pendekatan serupa yang dilakukan I Iabermas dengan proyek teori
komunikasinya, yakni menemukan kondisi- kondisi kemungkinan
[conditions of possibility) yang bersifat apriori yang memungkinkan
manusia berkomunikasi,' dan proyek filsafat transendental Kant
yang hendak menemukan kondisi-kondisi kemungkinan ( conditions
of possibilité) dari pengetahuan manusia. 2
Wattimena, Reza A.A., Filsafat Kritis Immanuel Kant, Evoli- tera, Jakarta,
2010.
Untuk berikutnya saya mengikuti uraian dari wikipedia tentang
corruptioru http://en.wikipedia.org/wiki/Corruption diakses 20 Februari
2012 WIB.
A
1 Bagian ini diinspirasikan dari Uslaner, Eric, Corruption, Inequality,
and Rule of Law, Cambridge University Press, Cambridge, 2008, him.
4. "Corruption, in turn, leads to less triist in
2 Ibid, hlm. 6. ""Corruption" is a term whose meaning shifts with the
speaker .... / use the common definition of corruption as the "misuse of
public power for private or political gain."
tersebut. Namun pada level yang lebih kecil, masalahnya menjadi
semakin rumit. Misalnya apakah pemberian hadiah pada seseorang
(karena jabatannya) adalah suap yang berarti adalah korupsi?
Bagaimana dengan hadiah Lebaran atau hadiah Natal, apakah tidak
boleh juga?
Uslaner, sampai saat ini hanya ada 18 negara yang memi liki data
lengkap terkait dengan korupsi. 3 Dengan kata lain hanya ada 18
negara di dunia ini yang sungguh peduli pada pemberantasan
korupsi. Mereka adalah Argentina, Australia, Belgia, Kanada,
Denmark, Finlandia, Hungaria, Irlandia, Italia, Jepang, Meksiko,
Belanda, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Inggris, Amerika Serikat,
dan Jerman. Sementara yang lainnya entah berjalan setengah hati,
sehingga data tak lengkap, yang berarti pola pemberantasan
korupsi juga tak berjalan mulus, atau tak peduli sama sekali.
3 Ibid, him. 241. "The big question remains: How might we reduce
corruption? To answer this, we would need time series data on corruption,
inequality, trust, legal fairness, and institutional quality (among other
variables) for a large number of countries."
4 Ibid, him. 246. "The key to reducing corruption seems to involve making
people less dependent upon it."
ini tetap dibutuhkan sosok pemimpin negara yang tegas dan berani
mengambil keputusan untuk memberantas korupsi, dan menghukum
para koruptor.
Ibid, hlm. 247. "The key mechanism to make people less depen- dent
upon corrupt leaders is a universal social welfare regime - and
especially one based upon education for ali"
pengalaman-pengalaman Singapura, Ilongkong, dan Korea Selatan,
pendidikan gratis untuk semua orang bisa mendorong pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. 10
Sade di dalam bab ini (Bab 2). Kemudian saya akan menco ba
menempatkan korupsi sebagai bentuk konkret dari sisi hewani
manusia. Sebagai pijakan teoritis, saya mengguna kan pemikiran
Ellias Canetti (Bab 3). Pada bagian berikutnya saya akan mencoba
memahami korupsi sebagai bentuk dari ketidakpekaan kita atas
kejahatan. Hannah Arcndt menyebutnya sebagai banalitas
kejahatan, yakni kejahatan yang tidak lagi dilihat sebagai kejahatan,
tetapi semata sebagai sesuatu yang wajar (Bab 4). Kemudian saya
akan mencoba memahami korupsi dalam kaitannya dengan simbol-
simbol kejahatan yang tersebar di dalam sejarah manusia. Saya
menggunakan pemikiran Paul Ricocur dalam bab ini (Bab 5).
Berikutnya saya akan mencoba memahami korupsi sebagai suatu
bentuk kejahatan sistemik. Pemikiran Adorno amat membantu saya
dalam hal ini (Bab 6). Terakhir saya akan mencoba memahami
korupsi sebagai suatu bentuk kekosongan jiwa manusia. Pemikiran
Slavoj Zizek membantu saya dalam hal ini (Bab 7). Seluruh buku ini
akan ditutup dengan beberapa butir pemikiran saya terkait dengan
upaya-upaya "melampaui" korupsi. Selamat membaca.
Bab 1
1. Friedrich Nietzsche
Konsep kehendak untuk berkuasa adalah salah satu kon sep yang
paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. 8
Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan seba- gai seorang
pemikir naturalistik ( naturalistic thinker), yakni yang melihat
manusia tidak lebih dari sekedar insting-in- sting alamiahnya
( natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun makhluk
hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya
pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas
[free wilt), substansi C substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya.
Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia
dengan cara- cara baru. Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada
tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche,
yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup (i), proses transen -
densi insting-insting alamiah manusia (2), dan cara meman dang
realitas yang menyeluruh ( wholism) (3). 20 Pemikiran tentang
kehendak untuk berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisan-
tulisannya sebagai fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah
tak punya hubungan yang cukup jelas. Dari semua fragmen
tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian dasar
tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk
berkuasa sebagai abstraksi dari realitas (1), sebagai aspek
terdalam sekaligus tertinggi dari realitas ( the nature of reality) (2),
dan sebagai realitas itu sendiri apa adanya ( reality as such) (3).
Ibid, "It calls for a radical revision of our concepts of self and reality, in
ways that will become clear below. Concepts like the sublimation of
the instincts, the affirmation of life, and holism float across its surface
like so many bright images of a life better conceived. And yet, for all
its brilliance, the will to power près-
t . />S\ I . / . » f f I ..
"Jika tubuh ini hidup dan tidak mati, tubuh ini tetap harus
memperlakukan tubuh-tubuh lain sama seperti ia
memperlakukan tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri tetap
merupakan pembadanan dari kehendak untuk berkuasa,
tubuh itu akan ingin tumbuh, menyebar, memegang, me-
menangkan dominasi - bukan karena soal moralitas atau
imoralitas, melainkan karena tubuh itu hidup, dan karena
hidup itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa." 10
Ini adalah gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan
manusia, dan kehidupan alam semesta pada um umnya. Dorongan ini
tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan, karena segala sesuatu
yang ada berasal dari padanya. Jadi seluruh realitas ini, dan segala
yang ada di dalamnya, adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari
kehendak untuk berkuasa. Ia ada di dalam kesadaran sekaligus
ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus
insting- tual manusia. Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan
yang mempengaruhi sekaligus membentuk apa pun yang ada,
sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu
sendiri. 23 Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut
sebagai pencipta, atau subjek agung. Semua ini adalah gerak
realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa
arah.
Porter, James. I., "Nietzsche's Theory of The Will to Power", him. 550. "the
will to power is then an activity that affects and in fact constitutes the
character of everything in the world and that is itself the result of
such effects"
25
Ibid, "as a joyous affirmation of life".
tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk
menerima dan merayakannya sepenuh hati.
orang yang memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau
melarikan diri ke berbagai "candu". Namun ada pula orang yang
menanggapi semua itu dengan berani, dan bahkan merayakan
absurditas kehidupan itu sendiri. Sikap yang terakhir inilah yang
disarankan oleh Nietzsche.
* Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, hlm. 70. "Objec- tions,
minor infidelities, cheerful mistrust, a delight in mockery - these are
symptoms of health. Everything unconditional be-
34 Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, him. 65. "The great epochs
of our lives come when we gather the courage to recon- ceive our
evils as what is best in us."
35 Ibid, him. 69. "Whoever fights with monsters should see to it that he
does not become one himself. And when you stare for a
I_____. ....................... . _/________ _ _/_*____I I.___ » ingkari kehendak
untuk berkuasa atas nama moralitas. Ia bertarung melawan
kejahatan atas nama kebaikan, namun dalam perjalanan, ia sendiri
berubah menjadi kejahatan itu sendiri, yang, mungkin sekali, lebih
parah dari kejahatan yang ia perangi. Ketika ia mengutuk kejahatan,
maka kejahatan kembali menatapnya, dan menjadi satu dengan di -
rinya. Pengakuan pada sisi-sisi jahat diri membawa manusia pada
kebijaksanaan, bahwa ia adalah ketidaksempurnaan itu sendiri.
Hidup yang dirayakan tidak akan pernah jatuh ke dalam
pemutlakkan tertentu yang mencekik, termasuk pada pemutlakkan
nilai-nilai kebaikan itu sendiri.
3. Penutup
Berhadapan dengan semua itu, apa yang mesti kita laku kan
sebagai manusia? Menurut Nietzsche sejauh tafsiran saya, yang
perlu dilakukan oleh setiap orang adalah menge nali dan menerima
kehendak untuk berkuasa sebagai bagian dari dirinya. Jangan
pernah menyangkal bahwa diri kita semua, lepas dari sebaik apa
pribadi kita, memiliki kehendak untuk berkuasa atas orang lain, dan
atas alam semesta. Penyangkalan hanya berbuah pada ketakutan
dan kemunafikan, yang nantinya bermuara pada kejahatan. Tipe
moralitas yang mengakui dan merayakan kehendak untuk berkuasa
adalah moralitas Dionisian (berasal dari dewa di dalam mi tologi
Yunani Kuno, yakni dewa kemabukan).
Ibid, him. 162. "The noble sold accepts this fact of its egoism without any
question-mark, and also without feeling any harshness, compulsion,
or caprice in it, but rather as something that may well be grounded in
the primordial law of things. If the noble soul were to frv to name this
phenomenon, it would call it
P ada bagian sebelumnya kita sudah melihat makna terda lam dari
kehendak untuk berkuasa manusia, dan kaitan nya dengan sikap
korup manusia. Bagi Nietzsche itu adalah akar dari kejahatan
manusia, sekaligus akar bagi kemampuan manusia untuk mencipta.
Pada bagian ini saya akan mencoba melihat pemburuan kenikmatan
sebagai akar dari kejahatan manusia, dan perilaku korupnya. Filsuf
yang pada hemat saya paling cocok untuk meneropong persoalan
ini adalah Marquis de Sade, seorang filsuf Prancis yang hidup pada
abad 18.
Begitu pula dengan budaya tato dan budaya tindik. Ke tika jarum
tusuk menyentuh kulit, yang terasa adalah sakit. Namun beberapa
orang melihatnya sebagai suatu proses yang nikmat, suatu proses
karya seni yang unik dan menggairahkan. Tato dan tindik pun
seringkah dilakukan di tempat-tempat yang menyimpang, mulai dari
mulut, hidung, puting payudara, sampai dengan alat kelamin. Rasa
sakit berbarengan dengan rasa nikmat muncul, ketika jarum tusuk
mengukir dan membolongi kulit. Di kalangan anak- anak muda,
budaya ini sudah lama ada, dan semakin populer.
38 http://www.detiknews.com/read/2011/09/19/123201/172 5329/10/pelaku-
sodomi-di-cirebon-ditangkap-korban-lebih- dari-io-orang diakses pada 9
Desember 2011 pk. 13.35.
39 http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_robotge-
juga akan saya jabarkan di dalam tulisan ini. Untuk menjelaskan
argumen ini, saya membagi tulisan ke dalam tiga bagian. Awalnya
saya akan memperkenalkan sosok hidup dan pemikiran Marquis de
Sade (i). Lalu saya menjabarkan beberapa argumen penting di dalam
pemikirannya, termasuk etika, metafisika, dan kosmologi dari de Sade
(2). Pada bagian akhir saya akan menyimpulkan pemikiran de Sade
dalam kaitannya dengan pemburuan rasa nikmat, dan memberikan
beberapa catatan kritis atas pemikirannya (3).
45 Ibid, "Were it not for his explicit use of language and complete
disregard for the artificially constructed taboos of a religious morality
he despised, the novelty and profundity of Sade's thought, and,
above all, its fundamental modernity, would have long since secured
him a place alongside the greatest authors and thinkers of the
European Enlightenment."
49
Ibid, him. 2. "This library contained works by all the great classical
authors, but it also included major volumes of Enlightenment
philosophy, and significantly, a wide range of libertine
2. Filsafat yang Menyimpang
kan hasil dari benturan keras alat kelamin dan tubuh ma nusia. Di
balik benturan tersebut, hanya ada kekosongan [emptiness] itu
sendiri. Dan kematian dipandang sebagai benturan tertinggi yang
mengantar manusia pada kekosongan yang sejati. Konflik adalah
benturan keras yang merangsang manusia untuk berpikir secara
baru, secara kreatif. Dalam arti ini metafisika de Sade menurut
Airaksinen adalah metafisika natural yang bersifat nihilistik, dan,
pada waktu yang sama, kreatif. Inilah dasar epistemologis
pemikirannya yang bermuara pada penjelasannya soal kenikmatan
diri sekaligus kejahatan manusia. 23
23 Ibid, him. 12 . "The main laws of nature prescribe destruction - that is,
violent collisions - which are again connected to the psychology of
pleasure via the orgiastic experience of nothingness. Murder is the
passion which Sade wants to justify in this context. He claims that
conflicts irritate and stimulate the mind. Metaphysics is an important part
of Sade's philosophy, simply because it explains his psychology of
pleasure and leads us to
harus terlebih dahulu mengerti, apa itu kejahatan. Dan untuk me-
mahami apa itu kejahatan, kita juga terlebih dahulu harus tahu, apa
itu kebaikan, karena kejahatan adalah segala se suatu yang
bertentangan dengan kebaikan. Dalam arti ini secara logis dapatlah
dikatakan, bahwa kejahatan memerlukan kebaikan, dan kebaikan
sendiri memerlukan kejahatan untuk menegaskan dirinya. Dan pada
kenikmatan tertinggi, yang merupakan tujuan hidup manusia,
kejahatan dan kebaikan menjadi utuh dan satu. 56 Tidak ada yang
jahat dan tidak ada yang baik, karena keduanya adalah sama.
Yang kelima ada sisi estetik ( aesthetics) dari isi maupun gaya
penulisan de Sade. Dilihat sekilas orang akan mengira tulisan-
tulisannya sebagai pornografi. Para pencinta novel akan melihatnya
sebagai tulisan-tulisan vulgar tanpa gaya. Dan para filsuf akademik
akan melihatnya sebagai buku filsafat yang amat tidak koheren.
Namun menurut Airaksinen ada sesuatu yang lebih dari itu semua
dari tulisan-tulisan de Sade, yakni niatnya untuk menghibur dan
membangunkan pembaca dari keterlenaan moralitas tradisional
yang mencekik melalui tulisan-tulisannya yang vulgar dan penuh
dengan gambaran hubungan seks, maupun penyiksaan. Tulisan-
tulisan de Sade memiliki gaya tertentu yang mem berikan pengaruh
unik bagi para pembacanya. Yang terpenting bukan hanya isi dari
tulisannya, tetapi gaya menulisnya,
Ibid, "Curiosity, faseination, and sexual arousal will first draw the reader
in. bu t i f he is successful Sade will retAace t hem in the
ling primitif, dan paling alami, sambil menerjang batas-batas nilai
moral yang ditetapkan masyarakat. 58
Ibid, him. 16. "Even if these topics are partially disconnected, Sade's
ultimate anarchist message comes through: there are no real values
or religious truths, social life is a veritable hell, and man is,
accordingly, a beast by nature."
Yang juga cukup menarik, pada hemat saya, adalah filsa fat alam
yang dirumuskan de Sade. Ia tidak percaya dengan ajaran klasik,
bahwa alam semesta diciptakan dalam enam hari, seperti dalam
Kitab Suci Kristiani, ajaran yang dominan pada jaman de Sade
hidup. Ia melihat alam semesta sebagai hasil dari konflik dan
benturan keras dari berbagai elemen yang ada. Gesekan
menghasilkan energi, dan dengan energi, alam semesta tercipta.
Bahkan kehidupan pun lahir dari benturan serta gesekan tubuh dari
dua spesies yang berbeda kelamin. Hal ini berlaku untuk hewan,
dan juga, terutama, untuk manusia. Saya menyebutnya sebagai
kosmologi konflik ( cosmology of conflict), di mana segala sesuatu
lahir dari konflik. Pandangan de Sade ini sebenarnya searah dengan
pandangan Herakleitos, seorang filsuf Yunani kuno sebelum
Sokrates, bahwa perang adalah bapak dari segalanya.
P
ada bagian sebelumnya kita sudah melihat, bahwa pemburuan
kenikmatan adalah akar dari kejahatan, sisi gelap manusia, dan
amat terkait dengan sikap korup manusia. Bagi de Sade kenikmatan
tertinggi yang bisa diraih manusia adalah kenikmatan yang
menyimpang, yakni kenikmatan yang disertai dengan rasa sakit.
Manusia bersedia melakukan apa pun, termasuk berbuat kejam
menyakiti sesamanya, serta bertindak korup dengan merugikan
rakyat yang sudah menderita hidupnya, guna mendapatkan
kenikmatan tertinggi semacam ini. Kehendak untuk berkuasa,
bertindak korup, dan menaklukan, serta pemburuan kenikmatan
bisa dianggap sebagai ekspresi dari sisi-sisi hewani manusia, dan
akar antropologis dari perilaku korupsi. Pada bagian ini saya akan
menjelaskan argumen tersebut dengan menggunakan pemikiran
Elias Canetti.
Ibid, hlm. 3.
Bagi Canetti manusia adalah makhluk yang tak pernah bisa lepas
dari massa, atau kerumunan. Dalam konteks agama Canetti,
menurut Budi Hardiman, melihat bahwa komunitas surgawi yang
terdiri dari orang-orang kudus dan para nabi juga merupakan suatu
bentuk massa atau kerumunan, walaupun tak tampak oleh mata.
Bahkan manusia sendiri juga dapat dilihat sebagai kumpulan dari
sel, atau massa/kerumunan sel. Proses terciptanya massa juga lahir
dari kerumuman sperma yang hendak menembus sel telur
perempuan. Hanya sel sperma yang kuat, sel survivor, yang pada
akhirnya berbuah menjadi kehidupan baru. Tak hanya itu Canetti
juga banyak berbicara mengenai fenomena kerasukan, ritual,
topeng, dan inses yang selalu terkait dengan kekuasaan. Baginya
itu semua adalah bagian tak terpisahkan dari kodrat manusia itu
sendiri. Pertanyaan dasar Canetti adalah, "Apa artinya menjadi
manusia di tengah-tengah keniscayaan naluri-naluri rimbanya?" 71
pakaian pun tak juga cukup. Setelah pakaian itu disobek, maka
manusia kembali telanjang, dan rapuh pada hal-hal asing yang siap
menyentuh dirinya. 73
73
Canetti, Elias, Qrowds and Power, Farrar, Straus & Giroux,
Buku C rowds and Power juga dapat dibaca sebagai sebuah upaya
sistematis untuk memahami hakekat manusia dan masyarakat
dalam kaca mata naturalisme Darwinian. 76 Dalam arti ini
naturalisme adalah paham yang mencoba memahami manusia
sebagai bagian dari alam natural yang tidak memiliki kaitan dengan
segala sesuatu yang berbau transenden, seperti ciptaan Tuhan
misalnya. 77 Naturalisme banyak menimba pemikiran dari kemajuan
ilmu-ilmu alam, seperti biologi, di dalam memahami manusia.
Robertson - di da-
» Ibid.
J
Ibid, him. 204. "Laughter, in which we bare our teeth, is associated with
food. Originally it expressed pleasure at the prospect of food; now it
expresses our sense of power over a helpless being- dan selalu
bernafsu untuk menaklukan manusia lainnya. 83 Ia adalah
makhluk yang selalu siap berperang melawan semua. Dalam arti
ini seperti dicatat oleh Robertson, kehidupan sosial manusia
adalah upaya sementara untuk meredam naf su manusia untuk
menaklukan sesamanya. Bahkan Canetti menulis begini, bahwa
kita perlu untuk menjadi seorang kanibal, karena tindakan
tersebut adalah simbol yang paling memuaskan dari upaya
menguasai orang lain. 84
Menurut analisis yang dibuat Robertson, Canetti amat
mengagumi satu jenis kekuatan psikologis yang dimiliki ma nusia.
Kekuatan itu adalah kekuatan seorang survivor, yakni orang yang
selamat dari tragedi besar yang menimpanya. Canetti
membayangkan seorang pria tua yang tetap hidup melewati
berbagai tragedi hidup, walaupun semua teman dan keluarganya
telah mati. Ia hidup melewati berbagai perang dan wabah yang
menimpa komunitasnya. Sosok seorang survivor juga dapat dilihat
pada seorang penguasa yang berhasil menghancurkan musuh-
musuhnya. Sebagai contoh empiris Canetti menyebut nama dua
orang, yakni Muhammad Tughlak dan Daniel Schreber. Tughlak
adalah penguasa kota Delhi di India. Ia benci pada semua penghuni
kota itu, dan berfantasi mengusir mereka semua. Ia merasa bahagia
membayangkan hidup sendiri bersama keluarganya di kota yang
besar itu. Sementara Daniel Schreber adalah seorang hakim yang
memiliki fantasi mengerikan, yakni menjadi
Ibid, him. 205. "For our purposes, the most interesting survivor
Namun bisakah karakter ganjil dari Tughlak, Josephus, dan Schreber
dianggap sebagai karakter umum dari umat manusia? Bukankah
dengan pola berpikir semacam ini, Canetti jatuh pada generalisasi
yang semena-mena tentang kodrat dan hakekat manusia? Jika ditanya
begitu saya kira Canetti akan menjawab begini, ketiga orang itu
memang memiliki karakter ganjil. Namun di balik keganjilan tersebut,
kita bisa melihat dorongan alamiah yang ada di dalam diri setiap
orang, yakni dorongan untuk menyelamatkan diri. Di dalam peradaban
modern, dorongan untuk menyelamatkan diri ini seolah menjadi jinak,
karena dimediasi oleh institusi hukum modern.8" Masyarakat modern
beroperasi dengan pengandaian dasar, bahwa setiap orang bisa
mempercayai setiap orang. Dan dengan kepercayaan yang bersifat
kolektif tersebut, setiap orang diuntungkan. Artinya setiap orang
berhasil menyelamatkan dirinya. Institusi modern dianggap mampu
mengangkat naluri purba manusia ke level yang lebih beradab, dan
dengan demikian menguntungkan semua pihak yang terlibat.88 Namun
ini semua tidak menutupi fakta gamblang, bahwa institusi modern tak
selalu berhasil meredam gejolak naluri primitif manusia.
Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa Canetti ada lah seorang
pemikir yang berhasil melepaskan diri dari pola berpikir Eurosentrik,
yakni melihat dan menilai seluruh peradaban dunia dengan
menggunakan standar yang ada di Eropa. Di sisi lain seperti dicatat
oleh Robertson, Canetti juga berhasil melepaskan diri dari pola pikir,
bahwa apa yang primitif itu tidak berguna, maka tak perlu
dipelajari. Justru di dalam berbagai analisisnya, ia berhasil
mendapatkan pemahaman yang amat mendalam dan alamiah
tentang manusia dengan melihat bagaimana manusia hidup dan
bersikap di dalam peradaban primitif. Menarik jika kita mencermati
catatan yang dibuat Robertson tentang Canetti, "Dengan membuka
mekanisme kerja kekuatan dan kekuasaan di berbagai kebudayaan
yang berbeda, analisisnya membuka semacam kesamaan. Canetti
menyatakan bahwa ia berhasil menunjukkan kepada kita tentang
substansi yang keras kepala dari kodrat manusia." 30 Dengan kata
lain melalui pengamatannya terhadap kehidupan binatang dan suku-
suku primitif di berbagai kebudayaan dunia, Canetti berha sil
menemukan hakekat terdalam dari manusia.
Buku Canetti berjudul Crowds and Power, yang berarti Massa dan
Kekuasaan. Dalam arti ini kekuasaan berarti kekuatan yang dimiliki
oleh setiap individu dengan tubuh dan kodratnya, bukan semata
kekuasaan politik maupun ekonomi. Sebelumnya kita sudah melihat
pendapatnya soal kekuasaan. Lalu bagaimana dengan massa? Bagi
Canetti massa amat terkait dengan mekanisme kekuasaan yang
berlangsung. Dalam arti ini massa justru merupakan penyeimbang
dari kekuasaan, dalam arti yang mengubah kekuasaan men jadi
harapan. 31 Sebelum masuk untuk mendalami argumen ini, ada
baiknya kita melihat dulu beragam teori tentang massa yang telah
ada sebelum Canetti menulis bukunya. Para filsuf sudah lama
tertarik untuk mendalami fenomena massa. Di dalam berbagai
peperangan sampai dengan revolusi modern, peran massa amatlah
menonjol dan penting. Coba simak penyerbuan penjara Bastille
pada saat Revolusi Perancis, atau pertempuran berdarah antara
tentara Belan- da-Inggris dengan rakyat Surabaya pada 1945.
Salah satu pemikir yang banyak diacu, ketika berbi cara tentang
massa adalah Gustave Le Bon. Baginya ketika bersatu dengan
massa, orang kehilangan rasionalitas, dan kembali menjadi manusia
"purba" yang tak punya pertimbangan kritis ataupun rasional atas
apa yang terjadi. Ketika tergabung dengan massa, orang kehilangan
kepribadiannya, menyatu dengan massa, dan seolah menjadi tak
beradab. Orang seperti terhipnotis dan berubah menjadi kejam, tak
mampu berpikir mandiri, dan mudah terbawa arus. 95 Mc- reka
seolah turun ke tingkat evolusi yang lebih rendah, ser ta berperilaku
seperti binatang dan orang biadab. Di dalam masyarakat modern, di
mana akal budi menjadi aturan utama, munculnya massa adalah
simbol dari penurunan kualitas keberadaban dari suatu
masyarakat. 32
Ibid, him. 210. "In the pack, Canetti sees a basic social formation.
Instead of the Nietzschean dyad of creditor and debtor, or Ca- netti's
dyad of commander and subordinate, we have here a formation in
which all are equal. Even if different members of the pack have
different functions, each one is indispensable, and they operate
jointly, not under the direction of a leader."
Ibid, "At the outset of his book, Canetti draws attention to a widely
shared feeling, the fear of being touched, which com- pels us to
maintain our personal space and only allow our intimates to pene-
trate it. In the crowd, we gladly surrender our personal space and
merge into the mass."
Ibid, him. 211. "Crowds may come into being for many different
purposes: to watch a spectacle, to attack or destroy, or to flee from a
danger in collective panic. Rut whatever the purpose, every member
of the crowd is equal. Here Canetti differs sharply
Dalam arti ini massa adalah sesuatu yang ambivalen. Di satu sisi
massa mampu menciptakan pembaruan. Di sisi lain massa mampu
menciptakan kehancuran besar yang tak terduga. 103 Keduanya
adalah suatu bentuk kekuatan. Oleh karena itu diperlukan suatu
cara untuk mengendalikan massa, sehingga aspek destruktifnya
bisa diatur. Menurut Canetti itulah tujuan dasar dari agama, yakni
menjinakkan massa. Rupanya seperti dicatat oleh Robertson, ketika
membicarakan soal hubungan antara massa dan agama, Canetti
masih
from Le Ron and Freud, who thought that the crowd had to be kept in
being by a leader. " 101 Ibid, "The crowd can free the indi- vidual both
from his gloomy isolation and from the zero-sum relations of power
and subordination that otherwise form the structure of social life. "
Ibid, "The crowd is of course ambivalent. It can bring renewal,
/iti/I it r/ivi nicn hrinc destruction "
terpengaruh oleh Nietzsche dan Marx, yang melihat agama sebagai
tanda kelemahan manusia, bahwa manusia memerlukan "pegangan"
yang, walaupun rapuh, berguna untuk berjalan di ketidakpastian
hidup. 104 Dengan ritual dan aturannya, agama berupaya membuat
massa menjadi jinak, yakni dengan membuat anggota-anggota
massa tersebut tunduk pada pimpinan agama terkait, seperti
kambing tunduk pada gembalanya. 105
Robertson, Ritchie, "Canetti and Nietzsche", him. 211. "And for this
reason many institutions try to tame the crowd: this has been the
goal of all the great religions of the world. ... in which the faithful are
regarded as sheep and praised for their submis- siveness. Some of his
most memorable and persuasive passages, however, are
phenomenologi- cal accounts of religious ceremonies: the mourning
for Hussein at Karbala, which is central to Shi'a Islam, the "standing
on Arafat" undertaken by pilgrims to Mecca, the descent of the IToly
Fire in the Greek Chapel of the Sepulchre at Jerusalem, and the ritual
of the Roman Catholic mass."
35 Ibid, him. 212. "In these transformations, the bushman becomes the
other being, and feels the other's sensations in his oum body. But he does
not become the other so entirely as to surrender his own iden- tity. He
remains himself, and the transformations he experiences are "saube- re
Verwandlungen".
36 Ibid, him. 213. "Canetti discovers traces of transformation in many
myths and ceremonies: in legends where beings like Proteus
metamor- phose themselves in order to escape their captors; and in
the belief that shamans transform themselves into other
1 •1 . 1 • . . 1 • • 1 a
dari status sebagai budak adalah orang yang dipaksa untuk menger -
jakan satu hal selama berulang-ulang dengan cara yang seefisien
mungkin, tanpa pernah ada pilihan dari pihaknya. Status sebagai
budak memasung manusia pada satu bentuk, dan mencegahnya
untuk berubah. Dalam hal ini seperti dicatat Robertson, Canotti
amat setuju dengan argumen Marx, 108 bahwa di dalam masyarakat
kapitalis industrial, manusia diubah menjadi semata "tangan".
Manusia dihargai oleh karena produktivitas kerjanya, dan bukan
karena kemanusiaannya. Manusia diubah menjadi semata benda,
dan dikunci di situ. 109
,o8
Wood, Alien, Karl Marx, hlm. 130.
37 limit him to a single kind of work and oblige him to do as much as possi-
ble in the least possible time: in other words, when we oblige him to be
"productive." Canetti's polemical allusion here is to the division of labor in
modem industrial society, which, as Marx charged, reduces workers from
whole human beings to mere "hands," valued only for their productivity.
Narasi kedua adalah tentang kemampuan manusia untuk
berubah. Seperti ditunjukkan oleh Canetti, orang-orang primitif di
Afrika memiliki kemampuan untuk merasakan kedatangan makhluk
lain dari kejauhan. Mereka juga dapat mengubah dirinya untuk
melindungi dirinya dari serangan ganas makhluk lain. Dengan kata
lain manusia, menurut Canetti, adalah makhluk yang cair. Oleh
sebab itu ia tidak akan pernah bisa dipasung sepenuhnya oleh
kekuasaan, sekuat apa pun kekuasaan itu. Setiap penguasa totaliter
selalu menghendaki rakyatnya untuk patuh, dan tidak berubah.
Sikap jinak dan patuh rakyat justru akan memperkuat kekuasaan
pemimpin totaliter. Namun menurut Canetti manusia adalah
makhluk yang dinamis. Maka manusia tidak akan pernah bisa
sungguh dikuasai. Pada satu titik ia akan memberontak, dan
pemberontakan itu biasanya dilakukan oleh manusia-manusia yang
membentuk massa.
Ibid, him. 214. "And since Canetti insists so much on bodily experiences
of the crowd and of power, to read his book sympathetically is to gain
an increased awareness of one's body, and to be brought back to the
bedrock of human nature and evolutionary continuity with other
natural beings, that are among the presuppositions of Canetti's
Darwinian naturalism."
P
ada bagian sebelumnya kita sudah menyimak argumen Canetti,
bahwa akar dari kejahatan dan sikap korup manusia adalah sisi-sisi
hewani yang bercokol di dalam dirinya, serta kemampuannya untuk
berubah, atau bermeta- morfosis. Pada bagian ini dengan berpijak
pada pemikiran Hannah Arendt, saya akan menjelaskan, mengapa
kejahatan, termasuk sikap-sikap korup, dianggap menjadi sesuatu
yang biasa (banal), akibat dari kemiskinan imajinasi dan
ketidakberpikiran manusia.
1,3
Bagian ini diinspirasikan dari Seyla Benhabib, "Arendts Eich rnann
in Jerusalem", Cambridge Companion to Hannah Arendt, Villa, Dana
(ed), Cambridge University Press, Cambridge, 2000, hlm. 66. "O n
May u, /960, members of the Israeli Secret Service kidnapped the
Nazi fugitive Adolf Eichrnann in Argentina, spiriting him out of the
country so h e could stand trial in Israel for eritnes he had committed
in the course of the "Final Solution.""
lbid, ""the most tragic in our history, the most tragic facts in world
history."
1,5
lbid, hlm. 67. "From the beginning, then, the Israelis saw the trial of
Eichmann as Sewing a dual funetion. First, and most
1.8 Ibid, "He was not stupid. It was sheer thoughtlessness - something by
no means identical with stupidity - that predisposed him to become
one of the greatest criminals of that period. And if this is "banal" and
even funny, if with the best will in the world one cannot extract any
diabolical or demonic profundity from Eichmann, that is still far from
calling it commonplace."
bahwa tindakannya itu merupakan suatu kejahatan brutal. Maka
salah satu hal mendasar yang dibutuhkan untuk men jadi penjahat
brutal adalah ketidakberpikiran.
1,9
Ibid, That such remoteness from reality and such thoughtlessness can
wreak more havoc than all the evil instincts taken to-
F I L S A FAT A N T I - KO R U P S I
Akhirnya si monyet justru membunuh si ikan, walaupun niat awalnya adalah menolong si
ikan. Yang perlu dilakukan kemudian adalah pendidikan untuk berpikir kritis dan reflektif di
dalam bertindak dan memahami pelbagai hal di dunia. Berpikir kritis berarti orang mampu
mengambil jarak dari peristiwa yang dialaminya, bersikap skeptik, lalu membuat penilaian
secara tepat atas peristiwa tersebut. Berpikir reflektif berarti melihat ke dalam diri sendiri,
lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan, apakah jalan yang ditempuhnya sudah tepat. Pola
semacam ini tidak hanya diterapkan di sekolah, tetapi juga di dalam keluarga. Hanya dengan
mengembangkan pola berpikir kritis dan reflektif di berbagai segi kehidupan bangsa,
Indonesia bisa terhindar dari penyakit tak berpikir dan kemiskinan imajinasi yang mematikan
.Bab 5
Setiap orang, siapa pun dia, jika dihadapkan pada keka yaan dan
kekuasaan, seolah menjadi tidak berdaya. Inilah yang disebut
godaan (temptatiori), dan godaan ini tampaknya merupakan pintu
gerbang pertama menuju kejahatan. Godaan ini menyerang siapa
pun, dan bisa menaklukkan siapa pun, mulai dari pemuka agama
yang paling saleh, sampai orang yang memang pada dasarnya haus
akan kekuasaan. Menanggapi hal ini, Aristoteles pernah
berpendapat bahwa pada hakekatnya, kejahatan itu merusak jiwa
pelakunya. Jadi, jika orang berbuat jahat, hanya tampaknya sajalah
ia menang dan berkuasa, sebenarnya, jiwanya menderita. De ngan
kata lain, orang yang berbuat jahat sebenarnya telah
menghancurkan jiwanya sendiri. Oleh karena itu, jika orang ingin
jiwanya selamat, maka mereka harus memilih menderita daripada
melakukan kejahatan.
Rumusan ini memang positif dan ideal, tetapi apakah sesuai
dengan kenyataan? Jika anda ditawari kekuasaan dan kekayaan
yang meliputi seluruh dunia ini, apakah anda de ngan mudah akan
menolak tawaran itu? Untuk membedah masalah ini, Thomas Hidya
Tjaya menggunakan contoh kisah Dr. Faust yang ditulis oleh Johann
Wolfgang von Goethe. Di dalam kisah ini, Setan mengunjungi Faust,
dan berniat membuat perjanjian dengannya. Setan berjanji
memberikan kepada Faust semua pengetahuan dan kekuatan magis
yang tidak dimiliki manusia lainnya. Dengan ini, Faust bisa
memenuhi semua keinginannya, yakni menjadi berkuasa dan kaya
raya. Setan pun mengajukan satu syarat, setelah meninggal, Faust
harus menyerahkan jiwanya kepada Setan. Untuk memenuhi tujuan
itu, Setan mengirimkan anak buahnya yang bernama
Mephistopheles. Anak buahnya inilah yang akan memberikan
pengetahuan serta kekuasaan kepada Faust. Memang, pada
akhirnya, Faust rela menyerahkan jiwanya kepada Setan demi
keinginan duniawinya.
1. Symbolism o f Evil
seolah menjadi hakim bagi dirinya sendiri, dan secara kon stan
mengecek tindakannya, apakah sudah sesuai hukum atau belum
(Leeuwen, 143). Di sinilah paradoksnya tam pak, orang yang hendak
hidup dengan mempraktekkan hukum setepat-tepatnya justru
menjadi menjadi korban dari teror hukum itu sendiri. Ia telah
terjajah oleh hukum. Oleh karena itu, ia memiliki rasa bersalah yang
besar, karena bagaimanapun ia berusaha, ia tidak akan bisa
mematuhi hukum sepenuh-penuhnya. "Orang semacam ini",
demikian Ricoeur, "mengalami momen penuduhan-diri, ia terjebak
di dalam dosa dari semua dosa, yakni kesedihan karena telah
diselamatkan" (SE 146; fr. 141, dalam Leeuwen, ibid).
,2
° Pada bab ini, saya mengacu pada Peter Dews, The Idea of Evil,
Oxford, Blackwell, 2008.
terhadap yang lain. Yang lain diserap ke dalam yang sama. Adorno
menyebut yang lain ini sebagai yang tidak identik (non-identical).
Seluruh peradaban Barat, seperti kita pahami sekarang ini di Eropa,
Amerika, dan pengaruhnya di berbagai belahan dunia, dibentuk oleh
suatu cara berpikir yang disebut sebagai cara berpikir identitas
( identity think- ing). "Pemikiran Semacam itu", demikian tulis Dews
tentang Adorno, "memusnahkan secara pragmatis segala sesuatu
yang tidak relevan, ... dan semua pembedaan kualitatif." 122 Cara
berpikir ini mencerminkan dorongan subjek, yakni manusia, untuk
mengontrol segala sesuatu yang berada di luar dirinya, dan
mencurigai segala sesuatu yang tidak bisa dikontrolnya. Kamp
konsentrasi yang didirikan NAZI Jerman adalah puncak dari cara
berpikir ini. "Filsafat dengan identitas murni", demikian Adorno,
"adalah kematian." 123
38 IJS
Lihat, Dews, 2008, hlm. 191. 1:6
Lihat, ibid, hlm. 192.
demikian tulis Dews tentang Adorno, "kini dibekukan sebagai objek
dari dominasi." 127
131 Salah satu kalimat yang paling sering diucapkan oleh B. Herry
Priyono di dalam berbagai kuliahnya di STF Driyarkara, Ja karta.
Pada era yang dipenuhi dosa asal sekular ini, orang tidak bisa
lagi mengalami kebebasan secara penuh. Kebebasan yang dialami
manusia terkurung di dalam kategori-kategori sebab akibat dunia
sosial. Inilah ciri pesimis dari filsafat Adorno. Kebebasan dan
moralitas, menurutnya, adalah fenomena sosial historis. Makna dan
keabsahannya pun ditentukan oleh konteks sosial, yang berayun
berubah di dalam pendulum peradaban yang kita sebut sebagai
sejarah.
Dengan kata lain manusia tidak pernah boleh melupa kan cita-
citanya tentang yang transenden. "Hanya dengan berpegang pada
dimensi yang tidak empiris", demikian tulis Dews, "kita dapat
mempertahankan harapan bahwa bencana permanen di dalam
sejarah manusia, yakni penderitaan yang tak tertanggungkan,
bukanlah kata terakhir."' 38 Cita- cita akan yang transenden memberi
harapan pada manusia, ketika ia terdampar dalam dunia yang
penuh bencana ini. Cita-cita ini bukanlah pelarian, melainkan
tonggak harapan, bahwa segala sesuatu masih bisa berubah. Masih
ada harapan bahwa penderitaan dan kejahatan bukanlah kata akhir.
Menurut saya, berpijak pada pemikiran Adorno, korupsi juga lahir dari
fokus manusia yang terlalu berlebihan pada akal budi instrumental.
Akal budi instrumental berfokus pada efisiensi dan efektivitas cara
untuk mencapai tujuan. Di dalam proses itu, segala aspek lainnya di
luar upaya untuk mencapai efektivitas dan efiensi diabaikan,
dianggap tak relevan. Aspek moralitas dan empati pada penderitaan
serta kesulitan rakyat dianggap tak relevan bagi akal budi instru -
mental yang secara buta ingin mencapai tujuan, apa pun bentuk
tujuan itu. Oleh karena pola berpikir ini, korupsi lalu menjadi
"semangat jaman" yang berjalan secara perlahan menjadi suatu
bentuk kejahatan sistemik, sebagaimana dipahami oleh Adorno.
Bab 7
1. Slavoj Zizek
Zizek adalah seorang filsuf kontemporer yang ternama sekarang
ini. Walaupun begitu cara berpikir dan gaya hi dupnya jauh dari
kesan seorang filsuf yang kering dan membosankan. Ia menulis dan
berpikir dengan cara yang sangat unik, bahkan menghibur. Ia
bahkan membuat filsafat men-
Bagi Myers karya-karya Zizek juga memiliki nilai pui tis yang
tinggi. Di dalam tulisan-tulisannya, Zizek menjahit berbagai bentuk
pemikiran yang kelihatan tidak berhubungan menjadi satu kesatuan
sistematika ide yang indah dan mencerahkan.
"Zizek", demikian tulis Myers, "membangun hubungan-
hubungan tekstual yang kaya dan ketat, yang kemudian
berputar mengelilingi kebenaran dari objek, sampai, akhirnya,
mengelilinginya seperti suku asli Amerika yang mengelilingi
kemah api John Wayne seperti dalam salah satu film yang sering
dikutip oleh Zizek."'45
149
Ibid. hlm. 6. •5° Ibid,
hlm. 9. •5' Ibid.
,Si
Ibid, hlm. 10.
153
Ibid.
Ibid. •55 Ibid.
hakekat dari dunia itu sendiri. Subjek dalam arti ini bukan hanya
merupakan manusia, tetapi juga sebuah cara pandang, atau sebuah
posisi epistemologis. "Subjek", demikian tulis Myers tentang Zizek,
"adalah pandangan individual atau partikular atas dunia."' 56
Rupanya pemikiran Zizek juga konsisten dengan pilihan-pilihan
hidupnya. Seperti sudah dilihat sebelumnya, ia selalu menjaga jarak
dengan dunianya. Misalnya ia berfilsafat secara tidak umum,
berbeda dengan para filsuf Slovenia lainnya. Ia juga meneliti
tentang Lacan tidak sejalan dengan tafsiran Lacan ortodoks yang
berkembang di Perancis. Ia juga menjaga jarak dari gaya berfilsafat
para filsuf pada umumnya, dan memilih untuk menjadikan budaya
populer sebagai titik tolak filsafatnya. Myers menulis hal ini dengan
sangat bagus. "Dan hanya dengan mempertahankan keterasingan
dari sistem di dalam atau melawan sistem di mana ia bekerja ia
(Zizek) mampu membentuk identitasnya sendiri sebagai seorang
pemikir."' 57
,$6
Ibid, hlm. n.
.i . i
Salah satu kutipan dari tulisan Hegel yang sangat berke san
untuk Zizek adalah berikut, "Ketika saya memakan apel, saya
menghancurkan identitas diri organik dan menyatukannya dengan
diri saya sendiri... membuatnya menyatu dengan organ pencernaan
saya sehingga saya dapat menjadikannya satu dengan diri saya."' 63
Inilah esensi dialektika subjek dari Hegel. Subjek menyatukan diri
dengan sesuatu di dunia, dan menjadikan sesuatu itu sebagai
bagian dari dirinya. Subjek adalah subjek yang menelan, dan
menyatukan diri dengan objeknya itu. Subjek yang berdialektika
dengan dunia.
,6j
Jbid, hlm. xii.
Dalam arti ini subjek Hegclian adalah suatu substansi yang utuh
dan absolut. Karena keutuhannya begitu murni, subjek Hegelian
sekaligus adalah kekosongan murni, karena kekosongan dan absolut
murni tidak dapat dibedakan, setu- rut dengan logika dialektis I
Iegelian. Subjek adalah kepribadian yang telah dikosongkan dari
segala bentuk kepribadian dan karakter. Kekosongan ini adalah
suatu pengorbanan. Bukan pengorbanan fisik semata, melainkan
pengorbanan subjek sebagai bagian dari sejarah yang dialektis.
Zizek dengan liar menafsirkan subjek Hegclian sebagai "substansi
yang berkontraksi",' 1 ' 5 seperti ketika orang hendak buang air besar.
Subjek Hegclian adalah subjek yang berjarak dari alam. Subjek
Hegelian adalah pengamat murni yang terpisah sebagai substansi
dari alam. Zizek menulis, "Bagi Hegel, filsafat alam bukanlah
pemberian ulang yang kejam dari eksternalitas semacam ini;
melainkan melibatkan sikap pasif dari seorang pengamat."' 66 Subjek
Hegelian terlibat sekaligus berjarak dari alam, serta mengamati
gerak alam sebagai seorang pengamat murni. Subjek adalah
substansi yang sekaligus tertanam dan berbeda dengan alam. Itulah
konsep sub-
,fM
lbid, hlm. xiii. '«s lbid.
jek Hegelian di dalam filsafat alamnya yang memang berciri paradoks,
sebagaimana dibaca dan ditafsirkan oleh Zizek.
lain bagi Zizek, tidak ada sesuatu apa pun di balik fenomena. Tidak
ada substansi. Tidak ada pula subjek. Yang ada adalah kekosongan
di balik segala fenomena yang tampak.
171
Ibid.
Ihid.
luar yang tidak memiliki esensi. Tampilan luar itu adalah sisa dari
kekosongan esensi itu sendiri. Zizek memang memandang manusia
secara pesimis, yakni manusia sebagai sisa dari ketiadaan,
terutama dalam bukunya The Sublime O b- ject o f Ideo logy.174
176
Ibid, hlm. 248.
iTo i i».' K1 an bagi dialektika sejarah itu sendiri. Subjek dengan kebe -
basannya membuat keputusan. Ia memilih dan kemudian
bertanggung jawab penuh atas pilihannya. Inilah yang mem buat
subjek tersebut menjadi absolut, sebagaimana dimak sudkan oleh
Zizek.
182
Ibid.
,8
> Ibid, hlm. 45.
manusia dari the Real yang penuh dengan trauma. 42 "Fungsi dari
ideologi", demikian tulis Zizek, "adalah tidak untuk menawarkan
kita titip untuk melarikan diri dari realitas kita tetapi untuk
menawarkan kita realitas sosial itu sendiri sebagai pelarian dari dari
the Real yang traumatik."' 87
42 Matthew Sharpc, Slavoj Zizek: A Little Piece of The Real, him. 23-
,87
Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology, him. 46. ■88 Jhid
Untuk menegaskan pandangannya soal manusia, Zizek mengutip
penelitian yang pernah dibuat oleh Lacan, yakni paradoks Zhuang
Zi. Zhuang Zi bermimpi bahwa ia adalah seekor kupu-kupu. Ketika
terbangun ia bertanya sendiri pada dirinya, darimana saya tahu,
bahwa saya adalah kupu- kupu yang sedang bermimpi sebagai
Zhuang Zi? Untuk menganalisis pernyataan ini, Lacan, sebagaimana
dibaca oleh Zizek, mengajukan dua argumen. Pertama, bagi Zizek
Zhuang Zi bukanlah orang yang naif dan bodoh. Dalam arti ini orang
bodoh dan naif adalah orang yang berpikir status dirinya sungguh-
sungguh mencerminkan hakekat dari dirinya. Orang bodoh semacam
ini tidak menyadari, bahwa status dirinya sangat bergantung pada
pengakuan dari orang- orang sekitarnya yang membentuk suatu
jaringan makna simbolik tertentu. "Siapa orang itu", demikian tulis
Zizek, "akan ditentukan oleh jaringan penanda eksterior yang me -
nawarkan dia simbol-simbol identifikasi.."' 88
Lalu apakah manusia itu melulu ciptaan dari tata simbo lik di luar
dirinya? Bagi Zizek sebagaimana didapatkannya dari pemikiran
Lacan, subjek memiliki isi internal pada dirinya sendiri di luar
jaringan-jaringan makna eksterior, atau yang disebutnya sebagai
The Big Other. Isi internal ini adalah sebuah kemungkinan dalam
bentuk fantasi. Ketika Zhuang Zi berpikir, bahwa ia adalah kupu-
kupu yang sedang bermimpi menjadi Zhuang Zi, bagi Zizek,
pernyataan ini memiliki kebenaran sendiri. "Di dalam kenyataan
simbolik", demikian Zizek, "ia adalah Zhuang Zi, namun di dalam
the Real dari hasratnya ia adalah seekor kupu-kupu."' 89 Dengan kata
lain menjadi seekor kupu-kupu adalah the Real dari Zhuang Zi, dan
itu semua berada di luar jaringan tata simbolik the Big Other, atau
masyarakat itu sendiri.
189
Ibid.
Ibid, hlm. 77.
•9® Ibid.
204
Ibid, hlm. 194. Ibid, hlm.
195.
Tidak hanya itu Zizek, dengan berpijak pada pemikiran Lacan, juga
menjabarkan dimensi aspiratif dari subjek, yakni subjek yang
diharapkan (subject presumed to). Kita sudah melihat yang pertama,
yakni subjek yang diharapkan untuk tahu. Yang kedua adalah apa
yang disebut Zizek sebagai subjek yang diharapkan untuk percaya.
Di dalam situasi sehari-hari, manusia diharapkan untuk percaya. 210
Esensi dari diri tidak terletak di dalam diri, melainkan justru di luar
diri kita sendiri, yakni di dalam tata simbolik
2M
Untuk bagian ini saya kembali mengikuti uraian Myers ten tang
Zizek dalam Tony Myers, Slavoj Zizek, 2003. Ibid, hlm. 42. 2,6 Ibid.
yang turut membentuk jati diri, dan juga the Real yang terus menerus
datang di dalam aktivitas sehari-hari. Zizek sejalan dengan Lacan,
ketika keduanya berpendapat, bahwa pengenalan atas identitas diri
adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena identitas selalu terbelah.
Jika kita mencoba untuk mengenali identitas diri kita, maka kita akan
selalu merasa kurang. Contoh lainnya yang diberikan Myers adalah
soal arti dari sebuah kata. Arti kata tidak pernah ditemukan di dalam
kata itu sendiri, melainkan justru di dalam kata yang lain. 217 Ambil
contoh arti kata kaleng. Apa itu kaleng? Arti dari kata kaleng tidak
pernah bisa ditemukan di dalam kaleng, melainkan di dalam kata
"benda terbuat dari besi dan keras". Maka makna dari kaleng tidak
dapat ditemukan di dalam kaleng itu sendiri, melainkan di luarnya.
Dengan pola ini Zizek kemudian membaca dan menafsirkan ulang pe-
mikiran para filsuf Idealisme Jerman.
Di sisi lain Zizek juga banyak menulis soal proses sub- jektivasi.
Dengan paham ini ia ingin menegaskan, bahwa subjek selalu tertanam
pada bahasa dan tata simbolik lainnya yang telah ada di masyarakat.
Sekilas argumen ini mirip sekali dengan argumen para filsuf
posmodernisme tentang subjek. Namun menurut Myers konsep
subjektivasi Zizekian memiliki perbedaan khusus. 218 Bagi Zizek setiap
proses subjektivasi yang dialami manusia selalu menempuh dua
proses yang saling bersilangan. Di satu sisi tata simbolik masyarakat,
atau yang biasa disebut Zizek sebagai the Big Other, telah ada
sebelumnya, dan membentuk setiap orang.
2,9
Ibid, hlm. 44.
kritik yang telah diajukan oleh para filsuf posmodernisme tentang
konsep subjek Cartesian tersebut. Namun sebagaimana dibaca Myers,
konsep cogito, yakni aku berpikir, bagi Zizek, bukanlah simbol dari
kesadaran subjek yang bersifat substansial dan utuh, melainkan justru
sesuatu yang kosong, dan terbentuk melalui proses subjektivasi,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Proses subjektivasi itu
terjadi melalui hubungan timbal balik antara subjek dengan tata
simbolik yang telah ada sebelumnya. "Proses subjektivasi", demikian
tulis Myers dalam tafsirannya tentang pemikiran Zizek, "adalah proses
dimana subjek mendapatkan identitas, dan juga identitas itu dapat
diubah oleh jati diri subjek tersebut." 220 Subjek Zizekian adalah subjek
yang kosong sekaligus dialektis. Di dalam proses dialektis itu, ia
seringkah merasa kosong. Dan untuk mengisi rasa kosong itu, serta
untuk mengimbangi sisi dialektis di dalam dirinya, manusia bisa
berbuat apa pun, termasuk hal-hal jahat dan korup yang tak terkira
sebelumnya.
Kesimpulan
Melampaui Korupsi
Kita bahkan tidak mengenal diri kita lagi. Apa atau siapa itu bangsa
Indonesia? Kita malu mengakui bahwa kita punya banyak sekali
kesalahan di dalam menata bangsa ini. Masa lalu yang gelap kita
lupakan; kita anggap tidak ada. Orang-orang berlomba untuk sekolah
dan bekerja di luar negeri, karena malu tinggal di negeri ini. Bangsa
kita menyangkal diri terus menerus, dan kehilangan dirinya sendiri di
dalam penyangkalan tersebut.
Karena menyangkal diri, maka kita sendiri amat asing dengan diri
kita sendiri. Berbagai solusi untuk menyelesaikan masalah bangsa
hanya menyentuh permukaan belaka. Akar masalah tetap tak
tersentuh, bahkan diabaikan atas nama stabilitas dan harmoni semu.
Masalah-masalah mendesak seperti korupsi di berbagai bidang pun
tak lagi terkontrol, dan skalanya semakin luas serta semakin dalam.
Pada level yang lebih individual, menurut saya, kita perlu mengenali
dan mengakui sisi-sisi gelap yang ada di dalam diri kita, sekaligus yang
ada di dalam diri setiap manusia. Di dalam buku ini, saya sudah
menjabarkan setidaknya lima sisi gelap manusia, yakni hasrat
berkuasa yang bercokol di dalam dirinya, nafsu untuk meraup
kenikmatan, sisi hewani yang tak tertata, kemalasan dan
ketidakberpikiran manusia
,
dan kekosongan jiwa manusia. Dari lima sisi gelap ini, kita bisa
melihat bagaimana kejahatan menorehkan jejaknya dalam sejarah
manusia, dan akhirnya berubah menjadi kejahatan sistemik yang
mengakar begitu dalam dan begitu luas dalam masyarakat.
© ■ 12:23
Transendensi diri juga dapat dilihat sebagai upaya manusia untuk bergerak melampaui sisi-
sisi gelapnya, dan membiarkan dirinya dibimbing oleh nilai-nilai luhur kehidupan yang lahir
dari konteks komunitas hidupnya. Transendensi diri setiap pribadi adalah kunci utama untuk
sungguh melenyapkan korupsi sampai ke akarnya. Pelbagai upaya politik, hukum, dan
ekonomi untuk melenyapkan korupsi aka
n
Daftar Acuan
Canetti, Elias, Crowds and Power, Farrar, Straus & Giroux, New York,
1984.
Internet: