Anda di halaman 1dari 26

Lysa Angrayni Hukum Islam. Vol. VII No. 5.

Juli 2007 535 Lysa Angrayni


ABORSI DALAM PANDANGAN ISLAM DAN HUKUM POSITIF DI
INDONESIA Abstract : Abortion or foetus which more knowledgeable at the moment,
there are two version of its differentiation. there is aborsi classified by into the crime and
there is aborsi agreed by because medical reason. See from condition of height practice
aborsi illegal conducted by clinic under cover and also height of mortality from aborsi
which isn‟t peaceful and even endanger the patient and also can cause death, considered
necessary for real elimination practice aborsi illegal represent badness to soul of human
being. To study the problems, we can trace to return how in fact about aborsi in the
positive law and Islam in Indonesia.
A. PENDAHULUAN
Membahas persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan hal yang tabu
untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal
yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan oleh
berbagai kalangan, apakah hal itu dilakukan oleh remaja yang terlibat pergaulan bebas
ataupun para orang dewasa yang tidak mau dibebani tanggung jawab dan tidak
menginginkan kelahiran sang bayi ke dunia ini. Kelahiran anak yang seharusnya
dianggap sebagai suatu anugerah yang tidak terhingga dari Allah SWT sebagai Sang
Pencipta justru dianggap sebagai suatu beban yang kehadirannya tidak diinginkan. Ironis
sekali, karena di satu sisi sekian banyak pasangan suami isteri yang mendambakan
kehadiran seorang anak selama bertahun-tahun masa perkawinan, namun di sisi lain ada
pasangan yang membuang anaknya bahkan janin yang masih dalam kandungan tanpa
pertimbangan nurani kemanusiaan.
Lysa Angrayni Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007 536
Dalam memandang bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu dilihat
kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini, persoalan
aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak pidana.
Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada sejumlah kasus tertentu
dapat dibenarkan apabila merupakan abortus provokatus medicialis. Sedangkan aborsi
yang digeneralisasi menjadi suatu tindak pidana lebih dikenal sebagai abortus provokatus
criminalis. Terlepas dari persoalan apakah pelaku aborsi melakukannya atas dasar
pertimbangan kesehatan (abortus provokatus medicialis) atau memang melakukannya
atas dasar alasan lain yang kadang kala tidak dapat diterima oleh akal sehat, seperti
kehamilan yang tidak dikehendaki (hamil diluar nikah) atau takut melahirkan ataupun
karena takut tidak mampu membesarkan anak karena minimnya kondisi perekonomian
keluarga, tetap saja angka kematian akibat aborsi begitu mencengangkan dan sangat
memprihatinkan. Data WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa 15-50%
kematian ibu disebabkan oleh pengguguran kandungan yang tidak aman. Dari 20 juta
pengguguran kandungan tidak aman yang dilakukan tiap tahun, ditemukan 70.000
perempuan meninggal dunia. Dengan kata lain, 1 dari 8 ibu meninggal dunia akibat
aborsi yang tidak aman.1 Membahas persoalan aborsi di Indonesia dikaitkan dengan
profesi medis atau dunia kedokteran serta dunia hukum, sepertinya belum ada titik terang
dalam sistem penegakan hukum. Dunia hukum seakan menutup mata atas persoalan ini
sekaligus diperparah lagi oleh dunia kedokteran yang seolah-olah menyelubungi praktek-
praktek aborsi yang nyata-nyata bertentangan dengan sumpah jabatan. Untuk membahas
permasalahan tersebut, ada baiknya kita menelusuri kembali bagaimana sebenarnya
kedudukan aborsi dalam pandangan Islam dan hukum positif di Indonesia.
Lysa Angrayni Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007 537
B. PENGERTIAN DAN ALASAN ABORSI Dalam mendefenisikan aborsi, terdapat
sejumlah pendapat yang berbeda satu sama lain, diantaranya adalah: Pertama, menurut
Fact About Abortion, info Kit on Woman‟s Health, aborsi didefenisikan sebagai
penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim
(uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai usia 20 minggu. Kedua, terjadinya
keguguran janin; melakukan abortus sebagai melakukan pengguguran (dengan sengaja
karena tidak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu).2 Secara umum istilah aborsi
diartikan sebagai pengguguran kandungan, yaitu dikeluarkannya janin sebelum
waktunya, baik itu secara sengaja ataupun tidak. Biasanya dilakukan saat janin masih
berusia muda (sebelum bulan keempat masa kehamilan). Sedangkan di dalam hukum
pidana Islam, aborsi yang dikenal sebagai tindak pidana atas janin atau pengguguran
kandungan terjadi apabila terdapat suatu perbuatan maksiat yang mengakibatkan
terpisahnya janin dari ibunya.3 Aborsi sebagai suatu pengguguran kandungan yang
dilakukan oleh wanita akhir-akhir ini mempunyai sejumlah alasan yang berbeda-beda.
Banyak alasan mengapa wanita melakukan aborsi, diantaranya disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :
1 1. Alasan sosial ekonomi untuk mengakhiri kehamilan dikarenakan tidak mampu
membiayai atau membesarkan anak.
2 2. Adanya alasan bahwa seorang wanita tersebut ingin membatasi atau
menangguhkan perawatan anak karena ingin melanjutkan pendidikan atau ingin
mencapai suatu karir tertentu.
3 3. Alasan usia terlalu muda atau terlalu tua untuk mempunyai bayi.
4 4. Akibat adanya hubungan yang bermasalah (hamil diluar nikah) atau kehamilan
karena perkosaan dan incest sehingga seorang wanita melakukan aborsi karena
menganggap kehamilan tersebut merupakan aib yang harus ditutupi.
5 5. Alasan bahwa kehamilan akan dapat mempengaruhi kesehatan baik bagi si ibu
maupun bayinya. Mungkin untuk alasan ini aborsi dapat dibenarkan.
Lysa Angrayni Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007 538
C. ABORSI DALAM PANDANGAN ISLAM Aborsi yang merupakan suatu
pembunuhan terhadap hak hidup seorang manusia, jelas merupakan suatu dosa besar.
Merujuk pada ayat-ayat Al-Quran yaitu pada Surat Al Maidah ayat 32, setiap muslim
meyakini bahwa siapapun membunuh manusia, hal ini merupakan membunuh semua
umat manusia. Selanjutnya Allah juga memperingatkan bahwa janganlah kamu
membunuh anakmu karena takut akan kemiskinan atau tidak mampu membesarkannya
secara layak. Dalam studi hukum Islam, terdapat perbedaan satu sama lain dari keempat
mazhab Hukum Islam yang ada dalam memandang persoalan aborsi, yaitu:4
1 1. Mazhab Hanafi merupakan paham yang paling fleksibel, dimana sebelum masa
empat bulan kehamilan, aborsi bisa dilakukan apabila mengancam kehidupan si
perempuan (pengandung).
2 2. Mazhab Maliki melarang aborsi setelah terjadinya pembuahan.
3 3. Menurut mazhab Syafii, apabila setelah terjadi fertilisasi zygote tidak boleh
diganggu, dan intervensi terhadapnya adalah sebagai kejahatan.
4 4. Mazhab Hambali menetapkan bahwa dengan adanya pendarahan yang
menyebabkan miskram menunjukkan bahwa aborsi adalah suatu dosa.

Dengan melihat perbandingan keempat mazhab diatas, secara garis besar bahwa
perbuatan aborsi tanpa alasan yang jelas, dalam pandangan hukum Islam tidak
diperbolehkan dan merupakan suatu dosa besar karena dianggap telah membunuh nyawa
manusia yang tidak bersalah dan terhadap pelakunya dapat diminta pertanggungjawaban
atas perbuatannya tersebut. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, ketentuannya lebih
fleksibel yang mana aborsi hanya dapat dilakukan apabila kehamilan tersebut benar-benar
mengancam atau membahayakan nyawa si wanita hamil dan hal ini hanya dibenarkan
untuk dilakukan terhadap kehamilan yang belum berumur empat bulan.
Lysa Angrayni Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007 539
D. ABORSI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA Dalam hukum positif di
Indonesia, ketentuan yang mengatur masalah aborsi terdapat di dalam KUHP dan
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Ketentuan di dalam KUHP
yang mengatur masalah tindak pidana aborsi terdapat di dalam Pasal 299, 346, 347, 348,
dan 349. Pasal 299 KUHP : “(1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita
atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan,
bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah; (2) Jika yang
bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan
tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru
obat, pidananya dapat ditambah sepertiga; (3) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan
tersebut, dalam menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan
pencarian itu”. Pasal 346 KUHP : “Seorang wanita yang dengan sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun penjara”. Pasal 347 KUHP : “(1) Barangsiapa
dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas bulan; (2) Jika
perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling
lama lima belas tahun”. Pasal 348 KUHP :
“(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang
wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
enam bulan; (2) Jika perbuatan
Lysa Angrayni Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007 540
itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh
tahun”. Pasal 349 KUHP : “Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang tersebut Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu
melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana
yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak
untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan itu dilakukan”. Di dalam KUHP
sendiri, istilah „aborsi‟ lebih dikenal dengan sebutan “pengguguran dan pembunuhan
kandungan” yang merupakan perbuatan aborsi yang bersifat kriminal (abortus
provokatus criminalis). Istilah kandungan dalam konteks tindak pidana ini menunjuk
pada pengertian kandungan yang sudah berbentuk manusia maupun kandungan yang
belum berbentuk manusia. Karena adanya dua kemungkinan bentuk kandungan tersebut
maka tindak pidana yang terjadi dapat berupa :
1 1. pengguguran yang berarti digugurkannya atau dibatalkannya kandungan yang
belum berbentuk manusia; atau
2 2. pembunuhan yang berarti dibunuhnya atau dimatikannya kandungan yang
sudah berbentuk manusia

Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan sebagaimana yang diatur dalam
KUHP terdiri dari 4 (empat) macam tindak pidana, yaitu:5
1 1. Tindak pidana pengguguran atau pembunuhan kandungan yang dilakukan
sendiri, yang diatur dalam Pasal 346 KUHP.
2 2. Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan yang dilakukan oleh
orang lain tanpa persetujuan dari wanita itu sendiri, yang diatur dalam Pasal 347 KUHP.
3 3. Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan yang dilakukan oleh
orang lain dengan persetujuan wanita yang mengandung, yang diatur dalam Pasal 348
KUHP.
Lysa Angrayni Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007 541
1 4. Tindak pidana pengguguran dan pembunuhan kandungan yang dilakukan oleh
orang lain yang mempunyai kualitas tertentu, yaitu dokter, bidan, atau juru obat baik
yang dilakukan atas persetujuan dari wanita itu atau tidak atas persetujuan dari wanita
tersebut, yang diatur dalam Pasal 349 KUHP.

Berdasarkan aturan-aturan yang terdapat dalam KUHP terlihat jelas bahwa tindakan
aborsi disini merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum karena perbuatan aborsi
yang dilakukan tanpa alasan kesehatan/alasan medis yang jelas. Pelaku melakukan
perbuatan aborsi karena memang sejak awal tidak menginginkan keberadaan bayi yang
akan dilahirkan, biasanya hal ini dilakukan karena kehamilan yang terjadi di luar nikah
atau karena takut akan kemiskinan dan tidak mampu membiayai hidup anak tersebut
kelak apabila telah lahir ke dunia. Selain itu, jika melihat pada ketentuan yang terdapat
dalam KUHP, perbuatan aborsi (baik pengguguran maupun pembunuhan kandungan)
harus dapat dipertanggungjawabkan secara pidana oleh wanita hamil yang melakukan
aborsi maupun orang yang membantu proses aborsi tersebut. Dengan demikian, baik
pelaku maupun yang membantu perbuatan aborsi dapat dikenakan sanksi pidana.
Sedangkan di dalam undang-undang kesehatan tidak dijelaskan apa yang disebut aborsi
tetapi menggunakan istilah “tindakan medis tertentu”. Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa dalam keadaan
darurat upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan
tindakan medis tertentu. Sedangkan apa yang dimaksud dengan “tindakan medis tertentu”
tidak dijelaskan dalam undang-undang tersebut.
Apabila dicermati, ketentuan Pasal 15 undang-undang tersebut diatas merupakan suatu
rumusan yang “mendua hati” atau ambigu dan bertentangan dengan prinsip pembuatan
suatu undang-undang, yaitu clear, complete, and coherent (jelas, lengkap dan terpadu).
Dari ketentuan Pasal 15 ini terlihat tidak adanya kejelasan, keserbatercakupan dan
keterpaduan antara ketentuan yang satu dengan
Lysa Angrayni Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007 542
yang lainnya. Penggunaan istilah “tindakan medis tertentu” dapat dijadikan justifikasi
bagi para dokter yang melakukan tindakan yang secara materil merupakan tindakan
aborsi sehingga ia dapat berlindung dibalik Pasal 15 Undang-Undang Kesehatan.
Ketentuan ini sangat membuka peluang semakin maraknya praktik aborsi yang terjadi
akhir-akhir ini. Karena ketentuan yang ambigu tadi, seorang dokter atau bidan bisa saja
membantu seorang wanita hamil untuk menggugurkan kandungannya dengan alasan
kesehatan, padahal alasan tersebut tidak masuk akal. Misalnya seorang wanita yang hamil
diluar nikah karena takut kehamilannya diketahui oleh orang lain atau ia beranggapan
bahwa kehamilannya merupakan suatu aib sehingga harus digugurkan, bisa saja
mendatangi klinik dokter terselubung yang mau melakukan aborsi. Bila dilihat dari
ketentuan Pasal 349 KUHP, perbuatan yang demikian patut diduga dan sangat berindikasi
kuat bahwa hal yang dilakukan tersebut merupakan perbuatan pidana. Namun karena
adanya ambiguitas undang-undang kesehatan yang menghindari penyebutan aborsi dan
hanya menggunakan istilah “tindakan medis tertentu”, para tenaga medis lebih cenderung
berlindung dibalik undang-undang tersebut dengan mengedepankan azas “lex specialis
derogat lex generalis” (aturan hukum yang lebih khusus dapat mengenyampingkan aturan
hukum yang lebih bersifat umum) agar terbebas dari jerat hukum. Dengan kata lain,
apabila seorang tenaga medis membantu perbuatan aborsi dan perbuatannya tersebut
diduga sebagai tindak pidana, maka orang yang mempunyai kualitas tertentu tadi (dalam
hal ini tenaga medis tersebut) dapat saja berlindung dibalik Undang-Undang Kesehatan
dengan mengedepankan prinsip “lex specialis” agar tidak dihukum.
Sejalan dengan hal diatas, tidak tegasnya pengaturan masalah aborsi dalam hukum positif
di Indonesia juga memberi peluang menjamurnya praktik-praktik aborsi yang illegal.
Seharusnya pemerintah tidak menutup mata menempatkan persoalan aborsi pada kondisi
yang tidak jelas, baik dari segi penegakan hukum maupun dari
Lysa Angrayni Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007 543
segi pelayanan medis yang legal dalam memfasilitasi pasien yang akan melakukan aborsi.
Melihat dari kondisi tingginya praktek aborsi illegal yang dilakukan oleh klinik-klinik
terselubung serta tingginya angka kematian akibat aborsi yang tidak aman dan bahkan
membahayakan si pasien serta dapat menyebabkan kematian, dipandang perlu untuk
mengeliminasi praktik-praktik terselubung yang nyata-nyata merupakan kejahatan
terhadap nyawa manusia. Namun sejauh ini razia atau sweeping terhadap praktik-praktik
terselubung aborsi hampir tidak pernah ada. Beratus bahkan beribu nyawa janin
melayang ditangan para medis dan di ujung tajamnya jarum suntik yang dapat
mempercepat proses aborsi. Dengan mudahnya para pelaku aborsi bergelimang darah
menghabisi hak hidup ciptaan Allah Yang Maha Kuasa. Tidaklah adil apabila
pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia hanya ditujukan kepada prajurit yang
mengusung misi integritas demi bersatunya Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sementara para pelaku aborsi tangannya bergelimang darah menghabisi nyawa manusia
yang tidak berdosa tanpa tersentuh hukuman yang setimpal. Apabila hukum positif sudah
tidak berdaya lagi untuk mengeliminasi tingkat aborsi yang ada di Indonesia, sudah tentu
kita perlu membuka kembali hukum kodrat yang menegaskan bahwa hukum harus
sejalan dengan akal budi dan nurani setiap individu. Selain itu harus ditambah dengan
meningkatkan penanaman nilai-nilai moral dan agama, baik itu bagi para pelaku maupun
pembantu aborsi yang terpelajar (dalam hal ini dokter atau bidan) maupun kepada dukun
pijat atau dukun bayi.
Apabila hukum positif sudah tidak bisa sejalan lagi dengan akal budi dan nurani setiap
individu maka sudah seharusnyalah hukum positif tersebut disandingkan dengan hukum
agama agar para penegak hukum dapat bertindak tegas terhadap pelaku aborsi, baik itu
terhadap si wanita hamil itu sendiri yang nyata-nyata mengizinkan kehamilannya
dihentikan maupun terhadap pembantu aborsi yang terpelajar. Dengan demikian, apabila
kepastian hukum telah terwujud,
Lysa Angrayni Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007 544
maka diharapkan tindakan aborsi maupun praktek-praktek aborsi illegal pada klinik-
klinik terselubung dapat dieliminasi sehingga nyawa-nyawa janin yang tidak berdosa
dapat terselamatkan dari perbuatan yang tidak bertanggung jawab. E. PENUTUP
Membahas persoalan aborsi, apakah itu tergolong aborsi yang dibenarkan berdasarkan
alasan medis maupun aborsi tanpa alasan yang jelas, perlu dilihat dulu benang merah akar
permasalahannya. Aborsi yang dibenarkan berdasarkan alasan medis, baik itu menurut
hukum positif maupun hukum Islam adalah tindakan pengguguran kandungan yang
dilakukan apabila kehamilan tersebut dapat membahayakan nyawa wanita hamil dan hal
itu hanya dapat dilakukan sebelum kandungan berusia empat bulan. Sedangkan aborsi
yang merupakan suatu perbuatan criminal (abortus provokatus criminalis) merupakan
perbuatan aborsi yang dilakukan tanpa alasan yang jelas, misalnya takut akan kemiskinan
atau takut karena kehamilan tersebut merupakan aib. Aborsi yang merupakan suatu
perbuatan kriminal perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, khususnya
bagi para penegak hukum. Selain dengan mengadakan sweeping secara berkala ke
berbagai klinik-klinik terselubung yang diduga melegalkan praktek aborsi, diperlukan
juga adanya aturan tentang aborsi yang tegas dan tidak mendua hati untuk menjerat
pelaku maupun pembantu aborsi sehingga dapat mengeliminir perbuatan aborsi serta
korban nyawa-nyawa yang tidak berdosa. Dengan demikian, apabila pemerintah melalui
penegak hukum yang menjalankan undang-undang atau peraturan telah serius untuk
mengeliminir perbuatan aborsi yang tidak jelas, diharapkan kepastian dan penegakan
hukum tentang aborsi di Indonesia dapat memenuhi tuntutan hati nurani masyarakat pada
umumnya.
Lysa Angrayni Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007 545
Lysa Angrayni, Dosen Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru.
Alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang (2001).
Endnotes : 1 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2004, hlm. 224. 2 Ibid, hlm. 225. 3 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika,
Jakarta, 2005, hlm. 221. 4 Http:www.lcl.cmu.edu/caae/Home/Forum/ethics.htm. 5 Tongat, Hukum Pidana
Materil Tinjauan atas Tindak Pidana Terhadap Subyek Hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 53.
Aborsi Dalam Pandangan Hukum Islam
Publikasi 25/08/2004

hayatulislam.net - Soal: Ustadz yang terhormat, saya ingin bertanya. Apa


hukumnya aborsi dalam pandangan Islam? Jika boleh, saat kapan kita bisa
melakukan aborsi? Soalnya ada sebagian orang yang mengatakan bahwa sejak sel
sperma ketemu dengan ovum (sel telur), hukum aborsi haram. Tetapi ada sebagian
orang yang mengatakan bahwa sebelum 40 hari, hukum aborsi mubah. Yang mana yang
benar? Mohon penjelasannya.

Jawab: Pendahuluan

Pertama-tama harus dideklarasikan bahwa aborsi bukanlah semata masalah medis


atau kesehatan masyarakat, melainkan juga problem sosial yang terkait dengan
paham kebebasan (freedom/liberalism) yang dianut suatu masyarakat. Paham asing
ini tak diragukan lagi telah menjadi pintu masuk bagi merajalelanya kasus-kasus
aborsi, dalam masyarakat mana pun. Data-data statistik yang ada telah
membuktikannya. Di luar negeri, khususnya di Amerika Serikat, dua badan utama,
yaitu Federal Centers for Disease Control (FCDC) dan Alan Guttmacher Institute
(AGI), telah mengumpulkan data aborsi yang menunjukkan bahwa jumlah nyawa yang
dibunuh dalam kasus aborsi di Amerika -- yaitu hampir 2 juta jiwa -- lebih
banyak dari jumlah nyawa manusia yang dibunuh dalam perang mana pun dalam
sejarah negara itu. Sebagai gambaran, jumlah kematian orang Amerika Serikat
dari tiap-tiap perang adalah: Perang Vietnam 58.151 jiwa, Perang Korea 54.246
jiwa, Perang Dunia II 407.316 jiwa, Perang Dunia I 116.708 jiwa, Civil War
(Perang Sipil) 498.332 jiwa. Secara total, dalam sejarah dunia, jumlah
kematian karena aborsi jauh melebihi jumlah orang yang meninggal dalam semua
perang jika digabungkan sekaligus (www.genetik2000.com).

Data tersebut ternyata sejalan dengan data statistik yang menunjukkan bahwa
mayoritas orang Amerika (62 %) berpendirian bahwa hubungan seksual dengan
pasangan lain, sah-sah saja dilakukan. Mereka beralasan toh orang lain
melakukan hal yang serupa dan semua orang melakukannya (James Patterson dan
Peter Kim, 1991, The Day America Told The Thruth dalam Dr. Muhammad Bin Saud Al
Basyr, Amerika di Ambang Keruntuhan, 1995, hal. 19).

Bagaimana di Indonesia? Di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini, sayang


sekali ada gejala-gejala memprihatinkan yang menunjukkan bahwa pelaku aborsi
jumlahnya juga cukup signifikan. Memang frekuensi terjadinya aborsi sangat
sulit dihitung secara akurat, karena aborsi buatan sangat sering terjadi tanpa
dilaporkan kecuali jika terjadi komplikasi, sehingga perlu perawatan di rumah
sakit. Akan tetapi, berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000
kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Berarti ada 2.000.000
nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu
(Aborsi.net). Pada 9 Mei 2001 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (waktu itu)
Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa dalam Seminar ?Upaya Cegah Tangkal terhadap
Kekerasan Seksual Pada Anak Perempuan? yang diadakan Lembaga Perlindungan Anak
(LPA) Jatim di FISIP Universitas Airlangga Surabaya menyatakan, ?Angka aborsi
saat ini mencapai 2,3 juta dan setiap tahun ada trend meningkat.?
(www.indokini.com). Ginekolog dan Konsultan Seks, dr. Boyke Dian Nugraha,
dalam seminar ?Pendidikan Seks bagi Mahasiswa? di Universitas Nasional Jakarta,
akhir bulan April 2001 lalu menyatakan, setiap tahun terjadi 750.000 sampai 1,5
juta aborsi di Indonesia (www.suarapembaruan.com).

Dan ternyata pula, data tersebut selaras dengan data-data pergaulan bebas di
Indonesia yang mencerminkan dianutnya nilai-nilai kebebasan yang sekularistik.
Mengutip hasil survei yang dilakukan Chandi Salmon Conrad di Rumah Gaul binaan
Yayasan Pelita Ilmu Jakarta, Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis pada Simposium Menuju
Era Baru Gerakan Keluarga Berencana Nasional, di Hotel Sahid Jakarta
mengungkapkan ada 42 % remaja yang menyatakan pernah berhubungan seks; 52 % di
antaranya masih aktif menjalaninya. Survei ini dilakukan di Rumah Gaul Blok M,
melibatkan 117 remaja berusia sekitar 13 hingga 20 tahun. Kebanyakan dari
mereka (60 %) adalah wanita. Sebagian besar dari kalangan menengah ke atas yang
berdomisili di Jakarta Selatan (www.kompas.com).

Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa aborsi memang merupakan problem
sosial yang terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang lahir dari
paham sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (Abdul Qadim Zallum,
1998).

Terlepas dari masalah ini, hukum aborsi itu sendiri memang wajib dipahami
dengan baik oleh kaum muslimin, baik kalangan medis maupun masyarakat umumnya.
Sebab bagi seorang muslim, hukum-hukum Syariat Islam merupakan standar bagi
seluruh perbuatannya. Selain itu keterikatan dengan hukum-hukum Syariat Islam
adalah kewajiban seorang muslim sebagai konsekuensi keimanannya terhadap Islam.
Allah SWT berfirman:

?Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai pemutus perkara yang mereka perselisihkan di
antara mereka.? (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).

?Dan tidak patut bagi seorang mu`min laki-laki dan mu`min perempuan, jika Allah
dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka.? (Qs. al-Ahzab [33]: 36).

Sekilas Fakta Aborsi

Aborsi secara umum adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat


tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan.
(JNPK-KR, 1999) (www.jender.or.id) Secara lebih spesifik, Ensiklopedia
Indonesia memberikan pengertian aborsi sebagai berikut: ?Pengakhiran kehamilan
sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.?
Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi
merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan
untuk bertumbuh (Kapita Seleksi Kedokteran, Edisi 3, halaman 260).

Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:


1. Aborsi Spontan/ Alamiah atau Abortus Spontaneus
2. Aborsi Buatan/ Sengaja atau Abortus Provocatus Criminalis
3. Aborsi Terapeutik/ Medis atau Abortus Provocatus Therapeuticum

Aborsi spontan/ alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan


disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.

Aborsi buatan/ sengaja/ Abortus Provocatus Criminalis adalah pengakhiran


kehamilan sebelum usia kandungan 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu
maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).

Aborsi terapeutik / Abortus Provocatus therapeuticum adalah pengguguran


kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu
yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit
jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang
dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak
tergesa-gesa (www.genetik2000.com).

Pelaksanaan aborsi adalah sebagai berikut. Kalau kehamilan lebih muda, lebih
mudah dilakukan. Makin besar makin lebih sulit dan resikonya makin banyak bagi
si ibu, cara-cara yang dilakukan di kilnik-klinik aborsi itu bermacam-macam,
biasanya tergantung dari besar kecilnya janinnya.

1. Abortus untuk kehamilan sampai 12 minggu biasanya dilakukan dengan MR/


Menstrual Regulation yaitu dengan penyedotan (semacam alat penghisap debu yang
biasa, tetapi 2 kali lebih kuat).

2. Pada janin yang lebih besar (sampai 16 minggu) dengan cara Dilatasi &
Curetage.

3. Sampai 24 minggu. Di sini bayi sudah besar sekali, sebab itu biasanya harus
dibunuh lebih dahulu dengan meracuni dia. Misalnya dengan cairan garam yang
pekat seperti saline. Dengan jarum khusus, obat itu langsung disuntikkan ke
dalam rahim, ke dalam air ketuban, sehingga anaknya keracunan, kulitnya
terbakar, lalu mati.

4. Di atas 28 minggu biasanya dilakukan dengan suntikan prostaglandin sehingga


terjadi proses kelahiran buatan dan anak itu dipaksakan untuk keluar dari
tempat pemeliharaan dan perlindungannya.

5. Juga dipakai cara operasi Sesaria seperti pada kehamilan yang biasa
(www.genetik2000.com).

Dengan berbagai alasan seseorang melakukan aborsi tetapi alasan yang paling
utama adalah alasan-alasan non-medis. Di Amerika Serikat alasan aborsi antara
lain:

1. Tidak ingin memiliki anak karena khawatir menggangu karir, sekolah, atau
tanggung jawab yang lain (75%)

2. Tidak memiliki cukup uang untuk merawat anak (66%)

3. Tidak ingin memiliki anak tanpa ayah (50%)

Alasan lain yang sering dilontarkan adalah masih terlalu muda (terutama mereka
yang hamil di luar nikah), aib keluarga, atau sudah memiliki banyak anak. Ada
orang yang menggugurkan kandungan karena tidak mengerti apa yang mereka
lakukan. Mereka tidak tahu akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan seorang
calon ibu, saat merasakan gerakan dan geliatan anak dalam kandungannya.

Alasan-alasan seperti ini juga diberikan oleh para wanita di Indonesia yang
mencoba meyakinkan dirinya bahwa membunuh janin yang ada di dalam kandungannya
adalah boleh dan benar. Semua alasan-alasan ini tidak berdasar.

Sebaliknya, alasan-alasan ini hanya menunjukkan ketidak pedulian seorang


wanita,
yang hanya mementingkan dirinya sendiri (www.genetik2000.com).

Data ini juga didukung oleh studi dari Aida Torres dan Jacqueline Sarroch
Forrest (1998) yang menyatakan bahwa hanya 1% kasus aborsi karena perkosaan
atau incest (hubungan intim satu darah), 3% karena membahayakan nyawa calon
ibu, dan 3% karena janin akan bertumbuh dengan cacat tubuh yang serius.
Sedangkan 93% kasus aborsi adalah karena alasan-alasan yang sifatnya untuk
kepentingan diri sendiri termasuk takut tidak mampu membiayai, takut
dikucilkan, malu, atau gengsi (www.genetik2000.com).

Aborsi Menurut Hukum Islam

Dr. Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam
halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah
ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu
setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha)
sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi
dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya
mengharamkannya.

Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w.
1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang
bernyawa. Ada pula yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang
mengalami pertumbuhan.

Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567
M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin.
Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat
bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah
haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami
pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama
manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan
besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih
besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang
atau dibunuh (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam,
halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada
Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil Uman, 1994, Agama
Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990,
Masailul
Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman
77-79).

Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi
setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa
peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin
Mas?ud berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:

?Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40


hari dalam bentuk ?nuthfah?, kemudian dalam bentuk ?alaqah? selama itu pula,
kemudian dalam bentuk ?mudghah? selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh
kepadanya.? [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi].

Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena
berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori
pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar?i
berikut. Firman Allah SWT:

?Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.? (Qs. al-An?aam [6]: 151).

?Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan
memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.? (Qs. al-Isra` [17]: 31).
?Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan
dengan (alasan) yang benar (menurut syara?).? (Qs. al-Isra` [17]: 33).

?Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah
ia dibunuh.? (Qs. at-Takwiir [81]: 8-9)

Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang
bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti
aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.

Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di


atas, para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini. Akan tetapi menurut
pendapat Syaikh Abdul Qadim Zallum (1998) dan Dr. Abdurrahman Al Baghdadi
(1998), hukum syara? yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika
aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari
dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya
haram. Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah
peniu¬pan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya
belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja?iz) dan tidak apa-apa. (Abdul
Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam:
Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh
Buatan, Definisi Hidup dan Mati, halaman 45-56; Dr. Abdurrahman Al Baghdadi,
1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, halaman 129 ).

Dalil syar?i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau
40 malam adalah hadits Nabi Saw berikut:

?Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah
mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia
membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang
belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya (kepada Allah), ?Ya Tuhanku, apakah dia
(akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan?? Maka Allah kemudian
memberi keputusan...? [HR. Muslim dari Ibnu Mas?ud r.a.].

Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda:

?(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam...?

Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan


anggota-anggota tubuhnya, adalah sete¬lah melewati 40 atau 42 malam. Dengan
demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin
yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya
(ma'shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan
terhadapnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter,
diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur
40 hari.

Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah
berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran
diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau
sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah
diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah Saw bersabda
:

?Rasulullah Saw memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan
Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang
budak laki-laki atau perempuan...? [HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah
r.a.] (Abdul Qadim Zallum, 1998).

Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya
boleh (ja?iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim
belum menjadi janin karena dia masih berada dalam tahapan sebagai nutfah
(gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri
minimal sebagai manusia.

Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat
disamakan dengan ?azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya kehamilan. ?Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak
menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab ?azl merupakan tindakan
mengeluarkan sperma di luar vagina perem¬puan. Tindakan ini akan mengakibatkan
kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga
akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu
tidak akan menimbulkan kehamilan.

Rasulullah Saw telah membolehkan ?azl kepada seorang laki-laki yang bertanya
kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia
tidak mengingin¬kan budak perempuannya hamil. Rasulullah Saw bersabda
kepa¬danya:

?Lakukanlah ?azl padanya jika kamu suka!? [HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud].

Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin,
ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan
bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan
janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan
mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah
sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT:
?Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya.? (Qs. al-Maa?idah [5]: 32) .

Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan.
Sedangkan Rasulullah Saw telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah
Saw bersabda:

?Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia


ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!? [HR. Ahmad].

Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan:

?Idza ta?aradha mafsadatani ru?iya a?zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima?

?Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih
ringan madharatnya.? (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al
Fiqh wa Al Qawa?id Al Fiqhiyah, halaman 35).

Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya


jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti
membunuh janinnya. Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu

pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu
mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih
ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan
kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut (Dr. Abdurrahman Al
Baghdadi, 1998).

Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur
dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan,
adalah pendapat yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud
setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma
itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel
itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya
Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah ?sesuatu yang ada
pada organisme hidup.? (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri
adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan
nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini,
maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya
sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada
kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel
sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel
sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.

Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi setelah


pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, adalah
pendapat yang lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat
akan pengertian kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit
menyatakan bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti
tidak ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak
demikian. Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala sesuatu
aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk ?azl. Sebab dalam
aktivitas ?azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu
maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum bertemu). Padahal
?azl telah dibolehkan oleh Rasulullah Saw. Dengan kata lain, pendapat yang
menyatakan haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan
alasan sudah adanya kehidupan, akan bertentangan dengan hadits-hadits yang
membolehkan ?azl.

Kesimpulan

Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun juga
problem sosial yang muncul karena manusia mengekor pada peradaban Barat. Maka
pemecahannya haruslah dilakukan secara komprehensif-fundamental-radikal, yang
intinya adalah dengan mencabut sikap taqlid kepada peradaban Barat dengan
menghancurkan segala nilai dan institusi peradaban Barat yang bertentangan
dengan Islam, untuk kemudian digantikan dengan peradaban Islam yang manusiawi
dan adil.

Hukum aborsi dalam pandangan Islam menegaskan keharaman aborsi jika umur
kehamilannya sudah 4 (empat) bulan, yakni sudah ditiupkan ruh pada janin. Untuk
janin yang berumur di bawah 4 bulan, para ulama telah berbeda pendapat. Jadi
ini memang masalah khilafiyah. Namun menurut pemahaman kami, pendapat yang
rajih (kuat) adalah jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau
42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan
pembentukan janin, maka hukumnya haram. Sedangkan pengguguran kandungan yang
usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja'iz) dan tidak apa-apa.
Wallahu a?lam [M. Shiddiq al-Jawi]

aborsi diperbolehkan dalam islam?

ada berita bagus dari Republika ttg diperbolehkannya aborsi bagi wanita
korban pemerkosaan.berikut beritanya:

KAIRO -- Fatwa yang disampaikan Grand Syekh Al-Azhar Dr. Muhammad Sayyed
Tantawi tentang bolehnya aborsi bagi wanita korban pemerkosaan telah menuai pro dan
kontra.
Fatwa tersebut disampaikannya minggu lalu dalam sebuah pertemuan ilmiyah diniyah
untuk menjawab pertanyaan sekitar hukum aborsi bagi wanita korban perkosaan dan
dinyatakan hamil. Syekh Al-Azhar menjawab, "Aborsi diperbolehkan dengan syarat
wanita tersebut mempunyai track record yang baik dan persetubuhan yang terjadi di luar
keinginannya."

Dr. Musthofa Sak'ah, anggota Majma' al-Buhust al-Islamiyah Al-Azhar, mendukung


fatwa Syekh Al-Azhar tersebut. Menurutnya, diperbolehkannya aborsi dari hasil
persetubuhan yang tidak diinginkan oleh pihak wanita (pemerkosaan) bersifat dharurat.
Dan kaidah Fiqih mengatakan bahwa dalam kondisi dharurat sesuatu yang dilarang
menjadi diperbolehkan.

Syarat diperbolehkannya aborsi tersebut adalah usia kehamilan akibat pemerkosaan


tersebut tidak lebih 120 hari. Jika aborsi dilakukan setelah batas ini maka terhitung
sebagai pembunuhan, dan ini tidak diperbolehkan dalam syariat Islam.

Sepakat dengan hal ini, Syekh Mahmud Asyur, mantan wakil Syekh Al-Azhar,
mengatakan bahwa diperbolehkannya aborsi bagi wanita korban pemerkosaan sebelum
usia kehamilan memasuki 120 hari adalah hukum yang telah disepakati ulama Majma' al-
Buhuts al-Islamiyah dalam fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan dalam beberapa bulan
lalu.

Sementara itu, menurut Dr. Muhamad Dasuqi, Profesor Syariat Islamiyah, Kulyat Dar
Ulum Universitas Kairo, hitungan 120 hari yang dianggap sebagai permulaan kehidupan,
merupakan pernyatan yang berlawanan dengan realita sebagaimana dinyatakan oleh
kedokteran.

"Kehidupan dimulai ketika sperma telah bertemu dengan indung telur, karenanya aborsi
hukumnya haram sejak pembuahan tersebut terjadi. Dan setelah 120 hari baru janin mulai
bergerak yang dirasakan oleh sang ibu," ujarnya.

Senada dengan hal ini, Dr. Abdul fatah Idries, Kepala Bidang Fiqih Muqarin Kuliah
Syariah AL-Azhar, menyatakan bahwa aborsi bagi wanita korban pemerkosaan tidak
diperbolehkan baik stelah amaupun sebelum 120 hari. hal ini menurutnya, berdasarkan
hadis Nabi, " Jika sperma telah lewat 42 malam, Allah mengutus malikat untuk
menuruhnya membuat daging dan tulang."

Aborsi atau menggugurkan bayi ternyata masih menjadi praktek yang banyak terjadi di
Indonesia. Dari salah satu sumber menyebutkan bahwa jumlah aborsi dalam satu tahun di
Indonesia mencapai 2 sampai 3 juta kasus aborsi. Dimana 50% aborsi tersebut dilakukan
oleh remaja. Sungguh data yang sangat menyesakkan dada melihat tingginya
‘pembunuhan’ bayi ini. Hal ini bisa merefleksikan semakin rendahnya moral anak muda
bangsa dalam menyikapi budaya free sex dari Barat.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperbolehkan praktek aborsi atau menggugurkan
bayi dalam kandungan dengan sejumlah syarat tertentu. Korban perkosaan dan kondisi
kandungan yang membahayakan ibu hamil merupakan serta kondisi bayi yang sudah
diketahui akan cacat yang tidak bisa disembuhkan yang memberikan hukum aborsi boleh
dilakukan. Dengan catatan bahwa aborsi ini dilakukan sebelum usia kandungan 40 hari.

Demikian disampaikan Ketua Komisi Fatwa MUI, Ali Mustafa Yaqub, kepada wartawan
menjelang ijtima di Perguruan Dinniyah Puteri, Jalan Abdul Hamid Hakim, Kota Padang
Panjang, Sumatera Barat, Sabtu (24/1/2009).

Dikatakan, meski diperbolehkan dengan berlandaskan pada ajaran Islam, praktek aborsi
itu tidak dapat dilakukan dengan mudah melainkan harus memiliki alasan yang kuat dan
meyakinkan. “Aborsi boleh dilakukan misalnya oleh perempuan Bosnia yang diperkosa
oleh para serdadu Amerika. Pada kasus perzinaan aborsi tidak diperbolehkan. Hanya saja
bila ada kondisi dan syarat tertentu kandungan hasil perzinaan terpaksa harus digugurkan
maka ada ketentuannya,” kata dia. “Untuk aborsi kasus perzinaan, usia kandungan tidak
boleh melebihi 5 pekan. Bila sudah di atas lima pekan kandungan itu sudah memiliki roh
dan harus dipelihara,” tukasnya. (Disarikan dari Detiknews dan berbagai sumber)

Menurut Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam komisi fatwa yang ditetapkan
pada tanggal 21 Mei 2005. Dewan pimpinan majelis ulama memfatwakan sebagai
berikut:

1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding


rahim ibu (nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun
hajat.

a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilah yang membolehkan aborsi adalah:
1. Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC
dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim
Dokter.
2. Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.

b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi
adalah:
1. Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang kalau lahir kelak sulit
disembuhkan.
2. Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang yang
didalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama.
c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin
berusia 40 hari.

3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.

Selain itu kami juga akan membahas hal ini dari segi dan sudut pandang yang berbeda
untuk menggambarkan pemahaman lebih lanjut mengenai aborsi dan agama. Umat Islam
percaya bahwa Al-Quran adalah Undang-Undang paling utama bagi kehidupan manusia.
Allah berfirman: “Kami menurunkan Al-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala
sesuatu.” (QS 16:89) Jadi, jelaslah bahwa ayat-ayat yang terkandung didalam Al-Quran
mengajarkan semua umat tentang hukum yang mengendalikan perbuatan manusia.
Tidak ada satupun ayat didalam Al-Quran yang menyatakan bahwa aborsi boleh
dilakukan oleh umat Islam. Sebaliknya, banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan bahwa
janin dalam kandungan sangat mulia. Dan banyak ayat-ayat yang menyatakan bahwa
hukuman bagi orang-orang yang membunuh sesama manusia adalah sangat
mengerikan,berikut diantaranya.

• Pertama: Manusia - berapapun kecilnya - adalah ciptaan Allah yang mulia.


Agama Islam sangat menjunjung tinggi kesucian kehidupan. Banyak sekali ayat-ayat
dalam Al-Quran yang bersaksi akan hal ini. Salah satunya, Allah berfirman: “Dan
sesungguhnya Kami telah memuliakan umat manusia.”(QS 17:70).

• Kedua: Membunuh satu nyawa sama artinya dengan membunuh semua orang.
Menyelamatkan satu nyawa sama artinya dengan menyelamatkan semua orang.
Didalam agama Islam, setiap tingkah laku kita terhadap nyawa orang lain, memiliki
dampak yang sangat besar. Firman Allah: “Barang siapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena sebab-sebab yang mewajibkan hukum qishash, atau bukan karena
kerusuhan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.
Dan barang siapa yang memelihara keselamatan nyawa seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara keselamatan nyawa manusia semuanya.” (QS 5:32).

• Ketiga: Umat Islam dilarang melakukan aborsi dengan alasan tidak memiliki uang yang
cukup atau takut akan kekurangan uang.Banyak calon ibu yang masih muda beralasan
bahwa karena penghasilannya masih belum stabil atau tabungannya belum memadai,
kemudian ia merencanakan untuk menggugurkan kandungannya. Alangkah salah
pemikirannya. Ayat Al-Quran mengingatkan akan firman Allah yang bunyinya: “Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilah yang memberi
rezeki kepada mereka dan kepadamu juga. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa
yang besar.” (QS 17:31).

• Keempat: Aborsi adalah membunuh. Membunuh berarti melawan terhadap perintah


Allah.
Membunuh berarti melakukan tindakan kriminal. Jenis aborsi yang dilakukan dengan
tujuan menghentikan kehidupan bayi dalam kandungan tanpa alasan medis dikenal
dengan istilah “abortus provokatus kriminalis” yang merupakan tindakan kriminal –
tindakan yang melawan Allah. Al-Quran menyatakan: “Adapun hukuman terhadap
orang-orang yang berbuat keonaran terhadap Allah dan RasulNya dan membuat bencana
kerusuhan di muka bumi ialah: dihukum mati, atau disalib, atau dipotong tangan dan
kakinya secara bersilang, atau diasingkan dari masyarakatnya. Hukuman yang demikian
itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka mendapat
siksaan yang pedih.” (QS 5:36).

• Kelima: Sejak kita masih berupa janin, Allah sudah mengenal kita. Sejak kita masih
sangat kecil dalam kandungan ibu, Allah sudah mengenal kita. Al-Quran
menyatakan:”Dia lebih mengetahui keadaanmu, sejak mulai diciptakaNya unsur tanah
dan sejak kamu masih dalam kandungan ibumu.”(QS: 53:32) Jadi, setiap janin telah
dikenal Allah, dan janin yang dikenal Allah itulah yang dibunuh dalam proses aborsi.

• Keenam: Tidak ada kehamilan yang merupakan “kecelakaan” atau kebetulan. Setiap
janin yang terbentuk adalah merupakan rencana Allah. Allah menciptakan manusia dari
tanah, kemudian menjadi segumpal darah dan menjadi janin. Semua ini tidak terjadi
secara kebetulan. Al-Quran mencatat firman Allah: “Selanjutnya Kami dudukan janin itu
dalam rahim menurut kehendak Kami selama umur kandungan. Kemudian kami
keluarkan kamu dari rahim ibumu sebagai bayi.” (QS 22:5) Dalam ayat ini malah
ditekankan akan pentingnya janin dibiarkan hidup “selama umur kandungan”. Tidak ada
ayat yang mengatakan untuk mengeluarkan janin sebelum umur kandungan apalagi
membunuh janin secara paksa.

• Ketujuh: Nabi Muhammad SAW tidak pernah menganjurkan aborsi. Bahkan dalam
kasus hamil diluar nikah sekalipun, Nabi sangat menjunjung tinggi kehidupan. Hamil
diluar nikah berarti hasil perbuatan zinah. Hukum Islam sangat tegas terhadap para
pelaku zinah. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW – seperti dikisahkan dalam Kitab Al-
Hudud – tidak memerintahkan seorang wanita yang hamil diluar nikah untuk
menggugurkan kandungannya: Datanglah kepadanya (Nabi yang suci) seorang wanita
dari Ghamid dan berkata,”Utusan Allah, aku telah berzina, sucikanlah aku.”. Dia (Nabi
yang suci) menampiknya. Esok harinya dia berkata,”Utusan Allah, mengapa engkau
menampikku? Mungkin engkau menampikku seperti engkau menampik Ma’is. Demi
Allah, aku telah hamil.” Nabi berkata,”Baiklah jika kamu bersikeras, maka pergilah
sampai anak itu lahir.” Ketika wanita itu melahirkan datang bersama anaknya
(terbungkus) kain buruk dan berkata,”Inilah anak yang kulahirkan.” Jadi, hadis ini
menceritakan bahwa walaupun kehamilan itu terjadi karena zina (diluar nikah) tetap janin
itu harus dipertahankan sampai waktunya tiba. Bukan dibunuh secara keji.

Ada berbagai pendapat ulama Islam mengenai masalah aborsi ini. Sebagian berpendapat
bahwa aborsi yang dilakukan sebelum 120 hari hukumnya haram dan sebagian lagi
berpendapat boleh. Batasan 120 hari dipakai sebagai tolok ukur boleh-tidaknya aborsi
dilakukan mengingat sebelum 120 hari janin belum ditiupkan ruhnya yang berarti belum
bernyawa. Dari ulama yang berpendapat boleh beralasan jika setelah didiagnosis oleh
dokter ahli kebidanan dan kandungan ternyata apabila kehamilan diteruskan maka akan
membahayakan keselamatan ibu, maka aborsi diperbolehkan. Bahkan bisa menjadi wajib
jika memang tidak ada alternatif lain selain aborsi. Dengan demikian, apabila dari sudut
pandang agama saja aborsi diperbolehkan dengan alasan kuat seperti indikasi medis,
maka kami berpendapat bahwa sudah sepatutnyalah apabila landasan hukum yang
menjelaskan tentang aborsi diperkuat sehingga tidak ada keraguan dan kecemasan pada
tenaga kesehatan yang berkompeten melakukannya.

Sesungguhnya pentarjihan terhadap pendapat tertentu dalam hukum pengguguran


kandungan menurut fiqih Islam, beranjak dari batas paling bawah yang disepakati oleh
para fuqaha pendahulu kita. Saya tidak yakin ada seorang pembahas muslim yang boleh
melampaui batas itu dalam membahas masalah ini, yaitu nash-nash al-Qur’an dan hadits
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang disepakati oleh ulama tentang
keshahihannya dan disepakati oleh fuqaha untuk diambil sebagai dalil, yaitu hadits
tentang peniupan ruh yang telah disebutkan berkali-kali.
Seperti yang telah kami kemukakan, para fuqaha mengambil dari hadits ini bahwa
kehidupan manusia mulai sejak peniupan ruh dan tidak dimulai sebelumnya. Sedangkan
makhluk yang diciptakan oleh Allah di dalam perut ibu sebelum peniupan ruh tidak
disebut manusia, maka tidak seharusnya dia diberi karakteristik dan hukum manusia serta
tidak harus disamakan penghormatan dan penjagaannya dengan manusia.
Dari sini, kesepakatan mereka, seperti yang dijelaskan pada bagian ketiga,

bahwa pengguguran kandungan sebelum peniupan ruh tidak dianggap sebagai


pembunuhan, melainkan merusak makhluk yang dipersiapkan menjadi manusia atas
kehendak Allah.

Ketetapan yang telah disepakati oleh para ulama pendahulu kita inilah yang akan kami
jadikan sebagai titik tolak untuk mentarjih hukum pengguguran kandungan. Karena benar
tidaknya dalam tarjih sangat tergantung kepada titik tolak dan kaidah yang dijadikan
sandaran di atasnya. Maka dari itu kami berpendapat –sebelum menetapkan pendapat
yang rajih- untuk memperkuat titik tolak tersebut, yaitu dengan menambahkan dalil-dalil
dan bukti-bukti bahwa sosok seorang manusia itu bermula setelah janin berusia empat
bulan sejak berada di dalam perut ibunya, bukan sebelumnya. Maka menurut pendapat
kami:
1. Di dalam hadits tentang peniupan ruh, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Kejadian seorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama empat puluh
hari. Setelah genap empat puluh hari kedua, terbentuklah segumpal darah beku.
Manakalah genap empat puluh hari ketiga, berbahlah menjadi segumpal daging.
Kemudian Allah Ta’ala mengutus seorang malaikat untuk meniupkan roh serta
memerintahkannya supaya menulis empat perkara, yaitu ditentukan rizki, waktu
kematian, amal serta nasibnya, baik mendapat kecelakaan atau kebahagiaan.” (Lihat
Fathul Bari, juz XI, hal. 416 dan Shahih Muslim dengan Syarah an-Nawawiy, juz XVI,
hal. 195).
Hadits Rasulullah di atas memberikan batasan tentang fase-fase penciptaan manusia
walaupun tidak menjelaskan karakteristik dari masing-masing fase. Namun yang dapat
kita ambil faedahnya –dalam pembahasan kita tentang awal kepribadian manusia ini-
adalah batas waktu yang disebutkan di dalam hadits itu menunjukkan dua hal:
Pertama, penulisan takdir yang berkaitan dengan manusia yang hendak diciptakan, baik
dari segi rezeki, ajal, amal, kesengsaraan maupun kebahagiaan.
Kedua, tentang peniupan ruh.
Maksud umum dari batasan waktu itu adalah bahwa sifat-sifat kemanusiaan tidak
diberikan oleh Allah kepada makhluk yang doletakkan oleh Allah di dalam perut ibunya
sebelum dia sampai pada umur empat bulan pertama dari umur janin.
Maksud umum seperti inilah yang dijadikan sandaran oleh para fuqaha terdahulu yang
kemudian mereka tegaskan bahwa sifat-sifat kemanusiaan pada janin itu ada setelah
ditiupkan ruh kepadanya. (Lihat Nail al-Authar, asy-Syaukani yang dinukil dari Imam
Syafi’i, pendapat yang hampir sama dengan pendapat ini di dalam juz. !V, hal. 83.
Berikut akan kami rinci maksud global yang sudah dianggap cukup oleh para ulama
terdahulu tersebut.
Takdir Allah adalah pengetahuan-Nya tentang apa yang akan terjadi pada makhluk di
masa mendatang. Dan takdir adalah undang-undang yang pasti, yang ditetapkan oleh
Allah terhadap wujud ini, serta aturan-aturan umum yang mengaitkan antara sebab dan
akibatnya, seperti yang difirmankan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar; 49).
Sedangkan qadha adalah tindakan Allah dalam mewujudkan segala sesuatu sesuai dengan
dan kehendaj-Nya.
Adapun takdir Allah , seperti yang nampak, telah ada dan tertulis di dalam Lauhul
Mahfuzh sebelum takdir terjadi dan sebelum adanya sebab musababnya, yang tidak
diketahui kecuali oleh Allah Subhaanu Wa Ta’ala. (Lihat, Ibnul Qayyim, ar-Ruh, hal.
217).
Para Malaikat adalah tentara Allah yang menjalankan takdir yang telah Allah tetapkan
dan mereka tidak mengetahui takdir itu kecuali yang telah diberitahukan oleh Allah
kepada mereka. Ketika Allah ingin menciptakan makhluk, maka dia menunjukkan
takdirnya terhadap mekhluk itu kepada malaikat agar dia melaksanakannya. Lalu para
malaikat itu mulai menjalankan takdir itu sejak awal keberadaan makhluk tersebut. Jika
pengetahuan tentang takdir itu sudah dilaksanakan, maka keluarlah dia dari wilayah
keghaiban. Hal demikian ini berlaku pada setiap makhluk. Jadi takdir manusia telah
tertulis di dalam Lauhul Mahfuzh sebelum adanya kenyataan dan sebelum dikhabarkan
kepada malaikat. Setiap manusia ada seorang malaikat yang diperintahkan oleh Allah
agar mengatur masalah masalah wujudnya pada setiap fase penciptaannya. Malaikat
itulah yang menjalankan takdir Allah yang terulis di dalam Lauhul Mahfuzh itu. Untuk
menjalankan takdir itu, Allah membekali dengan program-program takdir yang berkaitan
dengan setiap manusia sebelum terlaksananya takdir iru, agar penerapan takdir itu sesuai
dengan program yang telah direncanakan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Berdasarkan kenyataan yang telah disebutkan oleh syari’at di atas, maka tidak mungkin
ada manusia sebelum adanya malaikat yang dibekali pengetahuan tentang takdir yang
berkaitan dengannya, baik masalah ajal, rezeki, amal, kesengsaraan, maupun
kebahagiaan.
Adapun hadits yang kita mencoba perbincangkan maknanya di atas, adalah hadits shahih
yang tidak diperselisihkan kekuatannya. Hadits itu menjelaskan bahwa Allah mengutus
seorang malaikat yang menjadi wakilnya untuk menjalankan takdir-Nya pada manusia
setelah janin berusia empat bulan di dalam perut ibunya, lalu dia membekalinya dengan
rincian-rincian takdir yang berkaitan dengan orang tersebut. Malaikat tersebut akan
sebabtiasa memperhatikan nya dan akan memberikan takdirnya sejak awal kehidupannya
hingga ajalnya tiba. Lalu malaikat itu akan memberikan rezeki yang telah ditetapkan
kepadanya walaupun hanya setetes air susu yang dimunum dari tubuh ibunya hingga
akhirnya ajal menjemputnya, walaupun dia hanya sempat hidup beberapa saat di dalam
perut ibunya. Malaikat itu juga yang menulis untuk melakukan sesuatu walaupun hany
gerakan-gerakan sederhana di dalam perut ibunya.
Dari pandangan di atas, kita bisa mengatakan bahwa kehidupan manusia bermula sejak
peniupan ruh, seperti yang dijejaskan di dalam hadits, yang diwakilkan peniupannya
kepada malaikat dan untuk menetapkan serta menjalankan takdirnya pada manusia
setelah empat bulan sejak awal terbentuknya janin. Mungkin peniupan ruh ini terjadi
pada hari kesepuluh yang datang setelah empat bulan, seperti yang disebutkan oleh Ibnu
Abbas. (Tafsir al-Qurtubi, juz II, hal. 6).
Seandainya sosok seorang manusia dalam makna yang mendetil telah bermula sebelum
itu, atau sejak pembuahan sel telur misalnya, tentu Allah tidak terlambat dalam mengutus
malaikat dan malaikat tidak terlambat dalam bertanya tentang tugas-tugasnya yang
terpenting.
Kesimpulan yang diambil di atas bukan berarti menafikan adanya takdir Allah dan
pelaksanaan malaikat pada sel telur, baik yang telkah dibuahi (zigot) maupun yang
belum, sel sperma, zigot, segumpal darah dan segumpal daging, tetapi takdir yang
ditetapkan pada masa-masa itu bukanlah takdir yang ditetapkan Allah pada masa-masa
setelah janin berusia empat bulan, melainkan takdir yang ditetapkan oleh Allah pada
makhluk yang dijadikan oleh Allah sebagai opersiapan untuk menciptakan manusia. Jika
ditetapkan bahwa makhlkuk itu mati sebelum peniupan ruh, maka dia tidak disebut
manusia, dan dia belum mempunyai takdir kemanusiaan.
2. Pandangan dalam menafsirkan hadits Ibnu Mas’ud semacam ini, diperkuat oleh hadits
shahih lain yang juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, yaitu hadits Anas bin
Malik dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah
Ta’ala mengutus Malaikat ke dalam rahim. Malaikat berkata, “Wahai Tuhan! Ia sudah
berupa darah beku. Begitu juga setelah berlalu empat puluh hari, Malaikat berkata lagi,
Wahai Tuhan! Ia sudah berupa segumpal daging. Apabila Allah Ta’ala membuat
keputusan untuk menciptakaannya menjadi manusia, maka Malaikat berkata, Wahai
Tuhan!Orang ini akan diciptakan menjadi laki-laki atau perempuan? Celaka atau
bahagia?Bagaimana rezekinya serta bagaimana pula ajalnya? Semuanya dicatat semasa
dia berada di dalam perut ibunya.” (Lihat Fathul Bari, juz XI, hal. 116 dan Shahih
Muslim dengan Syarah an-Nawawiy, juz XVI, hal. 195).
Malaikat yang bertugas pada rahim –seperti yang dipaparkan dengan jelas- tidak bertanya
kepada Tuhan-Nya tentang takdir manusia kecuali setelah janin menginjak fase
perkembangan ketiga; nuthfah, ‘alaqah, muddghah dan fase setelah menginjak usia empat
bulan, seperti yang dijelaskan oleh hadits pertama. Setelah malaikat itu tahu bahwa Allah
hendak menjadikannya manusia pada fase itu, maka dia menetapkan takdirnya sebelum
manusia, yang berkaitan dengan ajal, sifat-sifat, rezeki, macam dan sebagainya.
Inilah yang dimaksudkan dengan kata “yaqdhi khalqahu” (membuat keputusan untuk
menciptakannya). Makna qadha’ secara bahasa berarti menciptakan dan menetapkan.
Dikatakan qadhahu, jika dia menciptakan dan menetapkannya. Diantaranya adalah firman
Allah di dalam surat Fushilat, artinya, “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua
masa.” (QS. al-Fushilat: 12).
3. Pemahaman terhadap hadits Ibnu Mas’ud ini akan lebih kuat lagi jika kita melihat
ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang menjelaskan tentang perkembangan penciptaan manusia
di dalam perut ibunya. Misalnya saja kita ambil ayat kelima dari surat al-Hajj, yang mana
Allah berfirman, artinya, “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan
(dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal
daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan
kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu
yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan
berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan. Dan di antara kamu ada yang
diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun,
supaya tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahui.“ (QS. al-Hajj:
5)
Penjelasan Allah di atas merupakan alas an yang kuat untuk menyerang orang-orang yang
mengingkari hari kebangkitan yang pada dasarnya adalah mengeluarkan kehidupan dari
kematian. Allah yang menciptakan Adam dari tanah –benda mati- dan yang mencitakan
keturunannya dari air mani, segumpal darah, dan segumpal daging, atau menciptakan
kehidupan manusia melalui beberapa fase yang belum memiliki kehidupan yang bersifat
manusiawi ini. Sungguh yang menciptakan semua ini, tentu mampu membangkitkannya
kembali berdasarkan hukum logika dan rasio.
Seandainya pada fase-fase pertama dalam perkembangan janin itu sudah disebut manusia,
tentu maknanya tidak relevan, baik dari segi bahasa –karena akan ditakwilkan bahwa
Allah mencipatakan manusia dari manusia-, maupun dari segi pengambilan dalilnya.
Walaupun pada dasarnya Allah mampu menciptakan kehidupan manusia, baik dari benda
mati seperti tanah, maupun dari kehidupan lain yang lebih rendah dari kehidupan
manusia.
Adapun penciptaan manusia yang sempurna dari manusia yang kurang sempurna –jika
benar ungkapan ini- juga menunjukkan atas kekuasaan Allah. Namun demikian, orang-
orang yang mengingkari hari kebangkitan itu, tetap tidak percaya karena mereka berdiri
di atas pandangan tidak mungkin membangkitkan kehidupan setelah kematian. Namun
dari pandangan di atas, jelaslah bahwa pemahaman terhadap hadits Ibnu Mas’ud itu
selaras dengan apa yang dijelaskan di dalam al-Qur’an.
Pemahaman ini juga diperkuat dengan adanya ayat-ayat lain di dalam al-Qur’an, yaitu
firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya, “Bukankah dia dahulu setetes mani yang
ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah
menciptakaannya, dan meyempurnakannya, lalu Allah menjadikan dari padanya
sepasang laki-laki dan perempuan.”(al-Qiyamah: 37-39).
Allah menjelaskan penciptaan setelah fase zigot dan segumpal darah. Urutan ayat
tersebut disambung dengan huruf fa’ yang menunjukkan atas proses penciptaan setelah
fase zigot dan segumpal darah, yaitu fase segumpal daging (mudghah) yang akhirnya
sempurnalah penciptaan janin agar siap untuk ditiupkan ruh kepadanya dan siap
menerima sifat-sifat kemanusiaan. Kehidupan, gerakan, dan awal pembentukan yang
terjadi sebelum peniupan ruh yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk
lainnya itu ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya yang berbunyi, artinya, “Segumpal
daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna,” pada ayat ke lima dari
surat al-Hajj. Adapun fase mudghah (segumpal daging), seperti yang dijelaskan di dalam
hadits, datang pada janin sebelum masa peniupan ruh.
Penjelasan ini juga didukung oleh firman Allah dalam surat al-Mukminun, artinya “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik."
(QS. al-Mukminun: 12-14).
Ibnu Abbas, Abu al-Aliyah dan adh-Dhahhak bin Zaid berkata, “Kehidupan itu terjadi
setelah peniupan ruh, padahal sebelumnya adalah benda mati. (Tafsir al-Qurtubi, juz. XII,
hal. 109). Hal ini diperkuat oleh pemahaman Umar dan Ali terhadap ayat ini, seperti yang
dijelaskan di dalam sebuah riwayat bahwa Umar, Ali, Zubair, dan Sa’ad singgah di
rumah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka
menyinggung masalah mengeluarkan mani di luar rahim. Mereka berkata, Tidak apa-
apa”. Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Mereka mengira bahwa itu sama dengan
pembunuhan kecil.” Lalu Ali berkata, “Tidak dikatakan membunuh, hingga janin itu
melewati tujuh tahap; hingga menjadi saripati tanah, menjadi air mani, lalu menjadi
segumpal darah, menjadi segumpal daging, lalu menjadi rulang-tulang, kemudian
menjadi daging dan akhirnya menjadi ciptaan yang lain.” Lalu Umar berkata, “Kamu
benar, semoga Allah memanjangkan umurmu.” (Syarah Fath al-Qadir, juz. II. Hal. 494).
Pemahaman Al;I tersebut menunjukkan bahwa menggugurkan jiwa (ruh) tidak terjadi
pada janin kecuali setelah janin itu melampui semua fase-fase perkembangan tersebut.
4. Sebagian besar Fuqaha yang mensyarah hadits Ibnu Mas’ud, menafsirkan kalimat
peniupan ruh itu dengan sebab yang dengannya Allah mengawali kehidupan yang diberi
sifat-sifat kemanusiaan pada janin, walaupun sebagian besar dari mereka tidak secara
terus terang menolak adanya kehidupan yang muthlak sebelum adanya sebab tersebut.
Al-Qurthubi di dalam tafsirnya, mengatakan, “Sesungguhnya makna sabda Rasulullah,
“Ditiupkan ruh kepadanya,” bahwa peniupan itu menjadi sebab penciptaan kehidupan
yang manusiawi pada janin dan ini terjadi karena diciptakan oleh Allah Subhaanahu wa
Ta’ala. (Tafsir al-Qurthubi, juz. XII, hal. 6)
Ibnu Hajar di dalam Fath al-Bari, menafsirkan ruh dengan mengatakan, “Pada dasarnya
peniupan berarti mengeluarkan angin dari mulut peniup agar masuk ke dalam obyek yang
ditiup. Akan tetapi yang dimaksud dengan peniupan itu bila disandarkan kepada Allah
adalah firman-Nya “kun fayakun” (jadilah, maka jadilah ia), (Fath al-Bari, juz. XI, hal. 6)
atau jadilah manusia maka jadilah dia seperti yang diperintahkan oleh Allah Subhaanahu
wa Ta’ala.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa janin mempunyai dua kehidupan:
Pertama, seperti kehidupan tumbuhan yang diciptakan Allah pada janin sebelum
peniupan ruh. Pengaruh dari kehidupan ini bahwa janin itu bisa tumbuh dan makan
walaupun tanpa kehendaknya.
Kedua, kehidupan manusiawi yang terjadi pada janin setelah ditiupkan ruh kepadanya.
Pengaruhnya, janin itu bisa merasa dan bergerak menurut kehendaknya. (Ibnul Qayyim,
at-Tibyan fi Aqsam al-Qur’an, hal. 255)
5. Di antara yang juga menguatkan argumentasi para ulama yang mengatakan bahwa
peniupan ruh pada janin merupakan sebab janin menjadi sosok seorang manusia, adalah
keadaan ruh yang pertama kali ditiupkan kepada manusia pertama yang ditempatkan oleh
Allah di muka bumi, yaitu nenek moyang manusia, Adam ‘alaihis salam.Menurut
penjelasan hadits-hadits tentang masalah ini, bahwa ketika Allah Subahaanahu wa Ta’ala
hendak menciptakan Adam , Dia mengutus Jibril, lalu Jibril mengambil sekepal tanah dan
dijadikan tanah liat, lalu dibentuk dan ditiupkan ruh kepadanya. Ketika ruh itu masuk ke
dalam tubuh Adam, jadilah tanah itu daging dan darah yang hidup dan berbicara. Itulah
maksud yang dijelaskan Allah di dalam firman-Nya, artinya, “Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan) Ku; maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS. Shaad: 72)
6. Yang juga menguatkan pendapat mereka adalah adanya kesepakatan bahwa
berpisahnya ruh dari badan menjadi sebab yang hakiki bagi habisnya kehidupan manusia
di dunia, walaupun waktu berpisahnya ruh ini tidak dapat ditentukan secara pasti.
Hakikat ini banyak dijelaskan di dalam nash-nash al-Qur’an maupun hadits Nabi. Di
antaranya adalah firman Allah, artinya, “Allah mencabut jiwa (orang) ketika matinya. “
(QS. az-Zumar: 42). Atau mencabut ruhnya ketika ajalnya tiba. Yang dimaksud dengan
jiwa pada ayat di atas adalah ruh.” (Tafsir al-Mawardi, juz. III, hal. 470, lihat juga
Mukhtashar Ibnu Katsir, juz. III, hal. 222).
Juga firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala, artinya, “Alangkah dahsyatnya sekiranya
kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalan tekanan-tekanan sakaratul
maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):
"Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang menghinakan,
karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan
(karena) kamu selalu menyombongkan diri ayat-ayat-Nya."(QS. 6:93)
Pada ayat di atas terdapat isyarat yang jelas bahwa jiwa -yaitu ruh menurut para mufassir-
jika keluar dari badan menyebabkan adanya kematian dan para malaikat mengulurkan
tangan mereka untuk menjemputnya ketika azal manusia datang. Maka kehidupan akan
habis ketika ruh keluar dari badan.” (Tafsir al-Mawardi, juz. I, hal. 545; Tafir al-
Qurthubi, juz. VII, hal. 41, Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 381).
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan masalah ini banyak sekal. Di antaranya ada yang
mengatakan bahwa ruh meninggalkan badan manusia ketika waktu kematian dan mata
mengikuti dan melihatnya pada saat itu. Sedangkan kewajiban malaikat maut adalah
mencabutnya ketika ajal tiba.
Jika telah ditetapkan bahwa berpisahnya ruh dengan badan merupakan sebab yang
ditetapkan Allah bagi habisnya kehidupan manusia, maka tidak diragukan lagi bahwa
adanya ruh menjadi sebab adanya kjematian. Karena Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam sendiri telah mengabarkan kepada kita tentang waktu peniupan ruh itu, maka tidak
ada jalan lain bagi kita untuk membatasi adanya awal kehidupan manusia itu selain yang
telah dikhabarkan oleh Rasulullah kepada kita tersebut. Wallahu a'lamu bish shawab

[Dinukil dari kitab "Abhast Fiqhiyah Fi Qadhaya Thibbiyah Mu'ashirah",edisi


Indonesia "Fikih Kedokteran", oleh Dr. Muhammad Nu'aim Yasin, pent. Pustaka al-
Kautsar].
Lysa Angrayni Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007 546

Anda mungkin juga menyukai