Anda di halaman 1dari 15

LI 5 : PENGERTIAN ABORSI

A. Pengertian dan Tatacara Aborsi


1. Pengertian Aborsi
Aborsi diserap dari bahasa Inggris yaitu abortion yang berasal dari
bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan atau keguguran. 1 Namun,
aborsi dalam literatur fikih berasal dari bahasa Arab al-ijhahd,
,merupakan mashdar dari ajhadha atau juga dalam istilah lain bisa disebut
dengan isqath al-haml, keduanya mempunyai arti perempuan yang melahirkan
secara paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaanya. Secara bahasa
disebut juga lahirnya janin karena dipaksa atau dengan sendirinya sebelum
waktunya. Sedangkan makna gugurnya kandungan, menurut ahli fikih tidak
keluar dari makna bahasa, diungkapkan dengan istilah menjatuhkan (isqath),
membuang (tharh), melempar (ilqaa’), dan melahirkan dalam keadaan mati
(imlaash).2
Sementara dalam kamus besar Bahasa Indonesia sendiri aborsi adalah
terpencarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup sebelum habis bulan
keempat dari kehamilan atau aborsi bisa didenfinisikan pengguran janin atau
embrio setelah melebihi masa dua bulan kehamilan.3
Sedangkan definisi aborsi menurut kedokteran sebagaimana dikatakan Dr.
Gulardi: ”Aborsi ialah berhentinya (mati) dan dikeluarkannya kehamilan sebelum
20 minggu (dihitung dari haid terakhir) atau berat janin kurang dari 500 gram
atau panjang janin kurang dari 25 cm. Pada umumnya abortus terjadi sebelum
kehamilan tiga bulan”.4

1 Maria Ulfah Anshor. Fikih Aborsi (Wacana Penguatan Hak Reproduksi


Perempuan). (Jakarta: Kompas, 2006), h. 32.

2 Ibid., h. 32-33
Pengertian aborsi menurut kedokteran tersebut berbeda dengan ahli fikih, karena
tidak menetapkan usia maksimal, baik pengguran kandungan dilakukan dalam usia
kehamilan nol minggui, 20 minggu maupun lebih dari itu dianggap sama sebagai aborsi.
Pengertian aborsi menurut para ahli fikih seperti yang dijelaskan oleh al-Ghazali, aborsi
adalah pelenyapan nyawa yang ada di dalam janin, atau merusak sesuatu yang sudah
terkonsepsi, jika tes urine ternyata hasilnya positif, itulah awal dari suatu kehidupan. Dan,
jika dirusak, maka hal itu merupakan pelanggaran pidana (jinayah), sebagaimana beliau
mengatakan :
Pengguguran setelah terjadi pembuahan adalah merupakan perbuatan jinayah,
dikarenakan fase kehidupan janin tersebut bertingkat. Fase pertama adalah terpencarnya
sperma ke dalam vagina yang kemudian bertemu dengan ovum perempuan. Setelah
terjadi konsepsi, berarti sudah mulai ada kehidupan (sel-sel tersebut terus berkembang),
dan jika dirusak, maka tergolong Jinayah.5
2. Tatacara Aborsi
Banyak cara yang dilakukan orang di dalam melakukan aborsi. Eckholm melihat
ada 4 hal yang sering dilakukan dalam melakukan aborsi, yaitu:
1. Menggunakan jasa medis di rumah sakit atau tempat-tempat praktek;
2. Menggunakan jasa dukun pijat;
3. Menggugurkan sendiri kandunganya dengan alat-alat kasar; dan
4. Menggunakan obat-obatan tertentu.
Kehamilan yang diperoleh melalui pasangan suami-isteri yang sah lebih banyak
menggunakan jasa yang pertama, sedangkan kehamilan sebagai hasil hubungan gelap
pada umumnya menggunakan cara kedua, ketiga, atau keempat.6

B. Alasan dan Motivasi Aborsi


1. Alasan Aborsi
Menurut Husein Muhammad, Pengguguran kandungan hanya dapat dibolehkan
karena sejumlah alasan. Beberapa di antaranya adalah keringnya air susu ibu yang
disebabkan kehamilan, sementara ia sendiri sedang menyusui bayinya. Dalam keadaan
demikian, dia atau suaminya tidak mampu membayar air susu lain. Alasan lain adalah
ketidakmampuan ibu menanggung beban hamil, karena tubuhnya yang kurus dan rapuh.7
Pada kalangan wanita yang sudah menikah, alasan melakukan aborsi juga
bermacam-macam, diantaranya adalah karena kegagalan KB/ alat kontrasepsi, jarak
kelahiran yang terlalu rapat, jumlah anak yang terlalu banyak, terlalu tua untuk
melahirkan, faktor sosial-ekonomi (tidak sanggup membiayai lagi anak-anaknya/khawatir
masa depan anak tak terjamin), alasan medis, sedang dalam proses perceraian dengan
suaminya, ataupun karena berstatus sebagai istri kedua dan suaminya tidak menginginkan
kelahiran anak dari istri kedua tersebut. 8 Prof. Sudraji Supraja menyatakan ”99,7%
perempuan yang melakukan aborsi adalah ibu-ibu yang sudah menikah”.9
Sedangkan pada wanita yang belum/ tidak menikah ditemukan bahwa alasan-
alasan mereka melakukan aborsi adalah diantaranya karena masih berusia remaja, pacar
tidak mau bertanggung jawab, takut pada orang tua, berstatus janda yang hamil di luar
nikah, berstatus sebagai simpanan seseorang dan dilarang hamil oleh pasangannya. 10
Menurut Lysa Angrayni, Aborsi sebagai suatu pengguguran kandungan yang
dilakukan oleh wanita akhir-akhir ini mempunyai

3 Maria Ulfah Ansor, Wan Nedra, dan Sururin (editor). Aborsi Dalam
Perspektif Fiqh Kontemporer., h. 76..

4 Maria Ulfah Ansor, Wan Nedra, dan Sururin (editor), Aborsi Dalam
Perspektif Fiqh Kontemporer., h. 126-127.

8 Ibid., h. 187

9 Ibid., h. 184

10 Ibid., h. 187
sejumlah alasan yang berbeda-beda. Banyak alasan mengapa wanita melakukan aborsi,
diantaranya disebabkan oleh hal-hal yaitu :
a Alasan sosial ekonomi untuk mengakhiri kehamilan dikarenakan tidak
mampu membiayai atau membesarkan anak.
b Adanya alasan bahwa seorang wanita tersebut ingin membatasi atau
menangguhkan perawatan anak karena ingin melanjutkan pendidikan atau
ingin mencapai suatu karir tertentu.
c Alasan usia terlalu muda atau terlalu tua untuk mempunyai bayi.
d Akibat adanya hubungan yang bermasalah (hamil diluar nikah) atau
kehamilan karena perkosaan dan incest sehingga seorang wanita
melakukan aborsi karena menganggap kehamilan
tersebut merupakan aib yang harus ditutupi.
e Alasan bahwa kehamilan akan dapat mempengaruhi kesehatan baik bagi si ibu
maupun bayinya. Mungkin untuk alasan ini aborsi dapat dibenarkan.11
2. Motivasi Aborsi
Dalam hal ini yang akan dilihat dari perspektif hukum Islam adalah hanya aborsi
yang disengaja yaitu abortus provocatus, lebih khusus lagi mengacu pada abortus
provocatus criminalis karena dapat menimbulkan konsekuensi hukum, sementara aborsi
spontan kita anggap sebagai kejadian di luar kemampuan manusia. Alasan-alasan
seseorang perempuan melakukan abortus provocatus criminalis. Menurut Huzaemah
T. Yanggo abortus provocatus criminalis ini didorong oleh beberapa hal, antara lain:12

1 Dorongan ekonomi/ dorongan individual: Dorongan ini timbul karena


kekhawatiran terhadap kemiskinan, tidak ingin mempunyai keluarga
besar. Hal ini biasanya terjadi juga pada Banyak pasangan muda yang
tergesa-gesa menikah

11 Lysa Angrayni. Juli 2007. ”Aborsi Dalam Pandangan Islam dan Hukum
Positif di Indonesia”. Hukum Islam. Vol. VII No. 5.

12 Huzaemah T. Yanggo, 2002 : 108.


tanpa persiapan terlebih dahulu. Akibat banyak diantara mereka yang
hidup masih menumpang pada orang tuanya apalagi ekonomi orang
tuanya kurang. Padahal konsekuensi logis dari sebuah perkawinan
adalah lahirnya anak. Lahirnya anak tentunya meperberat tanggung
jawab orang tuanya. Oleh karena itu mereka sepakat untuk tidak
mempunyai anak terlebih dulu dalam jangka waktu tertentu. Jika sudah
terlanjur hamil dan betul-betul tidak ada persiapan untuk menyambut
kelahiran sang anak, mereka menempuh jalan pintas dengan cara
menggurkan kandungan.
2 Dorongan fisik: Dorongan ini seperti memelihara kecantikan dan
mempertahankan status sebagai perempuan karir dan sebagainya
yang aktifitasnya harus menampilkan
kecantikan dan kemolekan tubuhnya.
3 Indikasi psikologis: Jika kehamilan diteruskan akan memberatkan
penyakit jiwa yang dibawa ibu, seperti : perempuan yang hamil akibat
perkosaan, hamil sebelum
nikah atau hamil sebab kena guna-guna.
4 Indikasi eugenetik: Dorongan ini timbul jika khawatir akan penyakit
bawaan pada keturunan seperti adanya kelainan dari buah kehamilan,
sebab trauma mekanis (benturan aktifitas fisik yang berlebihan), maupun
karena kecelakaan, kelainan pada alat kandungan, pendarahan, penyakit
yang berhubungan dengan kondisi ibu seperti penyakit syphilis, virus
toxoplasma, anemia, demam yang tinggi, penyakit
ginjal, TBC, dan sebagainya.
5 Dorongan kecantikan: Dorongan ini timbul biasanya bila ada
kekhawatiran bahwa janin dalam kandungan akan lahir dalam keadaan
cacat, akibat radiasi, obat-obatan, keracunan dan sebagainya. Keadaan
yang terjadi di dalam kandungan ibu yang menandung janin adalah
sudah
ketentuan dari Allah, baik itu keadaan yang baik dan sempurna ataupun
dalam keadaan cacat tubuhnya. Cacat dari janin yang dikandung wanita
tersebut apabila tidak mengganggu kesehatan ibu, maka aborsi dilarang,
tetapi apabila cacat tubuh tersebut mengganggu kesehatan ibu, maka
aborsi semacam ini merupakan termasuk abortus provocatus mecicialis
sehingga diperbolehkan.
6 Dorongan Sanksi moral: Dorongan ini muncul biasanya karena
perempuan yang hamil tidak sanggup menerima sanksi sosial
masyarakat, disebabkan hubungan biologis yang tidak memperhatikan
moral dan agama, seperti
kumpul kebo dan hamil di luar nikah.
7 Dorongan lingkungan: Faktor lingkungan juga mempengaruhi insiden
pengguguran kehamilan muda, misalnya kemudahan fasilitas, sikap dari
penolong (Dokter, bidan, dukun dan yang lainnya), pemakaian
kontrasepsi, norma tentang aktifitas sexual dan hubungan sexual di luar
pernikahan, norma agama dan moral.
C. Resiko Aborsi
Menurut Dadang Hawari, statistik membuktikan resiko bagi perempuan jika
melakukan Aborsi adalah :
1. Kematian Perempuan karena aborsi jauh lebih besar dari kematian ibu karena
melahirkan (bersalin) secara normal.
2. Perempuan yang melakukan aborsi berlatar belakang kriminal biasanya
banyak pertimbangan. Antara lain karena hamil akibat hubungan yang tidak
sah, lalu pacar atau keluarganya mendesaknya untuk menggurkan
kandungan, karena malu menanggung aib. Padahal perempuan yang
bersangkutan sama sekali tidak menghendakinya. Akibatnya dirinya menjadi
serba salah dan pasrah.
3. Perempuan yang melakukan aborsi akan mengalami gangguan
kejiwaan seperti stres pasca trauma aborsi.13

Jenis-jenis aborsi :

1. Abortus Spontan
a. Abortus imminens.
Terjadi pendarahan bercak yangg menunjukan ancaman terhadap kelangsungan suatu
kehamilan. Dalam kondisi seperti ini, kehamila masih mungkin berlanjut atau
dipertahankan.

b. Abortus insipiens.
Pendarahan ringan hingga sedang pada kehamilan muda dimana hasil konsepsi masih
berada dalam kavum uteri. Kondisi ini menunjukan proses abortus sedang berlangsung
dan akan berlanjut menjadi abortus inkomplit atau komplit.

c. Abortus inkomplit.
Pendarahan pada kehamilan muda dimana sebagian dari hasil konsepsi telah keluar dari
kavum uteri melalui kanalis servikalis.

d. Abortus komplit.
Pendarahan pada kehamilan muda dimana seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan dari
kavum uteri.

2. Abortus Buatan.
Adalah abortus yang terjadi akibat intervensi tertentu yg bertujuan untuk mengakhiri
proses kehamilan. Terminologi untuk keadaan ini adalah pengguguran, aborsi atau
abortus provocatus.

3. Abortus Tidak Aman (Unsafe Abortion).


Upaya untuk terminasi kahamilan muda dimana pelaksana tindakan tersebut tidak
mempunyai cukup keahlian dan prosedur standart yang aman sehingga dapat
membahayakan keselamatan jiwa pasien.

4. Abortus Infeksiosa
Adalah abortus yang disertai komplikasi infeksi. Adanya penyebaran virus kuman atau
toksin kedalam sirkulasi dan kavum peritoneum dapat menimbulkan septikemia, sepsis
atau peritonitis.

5. Retensi Janin Mati (Missed Abortion).


Pendarahan pada kehamilan muda disertai dengan retensi hasil konsepsi yang telah mati
hingga 8 minggu atau lebih. Biasanya diagnosis tidak dapat ditentukan hanya dalam satu
kali pemeriksaan, melainkan memerlukan waktu pengamatan dan pemeriksaan ulang.
WDK 2 : UU KUHP yang menjelaskan tentang hukuman
yang melakukan aborsi

PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA


ABORSI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
Pada dasarnya masalah aborsi (pengguguran kandungan) yang dikualifikasikan
sebagai perbuatan kejahatan atau tindak pidana hanya dapat kita lihat dalam KUHP
walaupun dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memuat
juga sanksi terhadap perbuatan aborsi tersebut. KUHP mengatur berbagai kejahatan
maupun pelanggaran. Salah satu kejahatan yang diatur didalam KUHP adalah masalah
aborsi kriminalis. Ketentuan mengenai aborsi kriminalis dapat dilihat dalam Bab XIV
Buku ke-II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa (khususnya Pasal 346 – 349).
Adapun rumusan selengkapnya pasal-pasal tersebut :

Pasal 299 :
1. Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya
supaya diobati dengan sengaja memberitahukan atau ditimbulkan harapan,
bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam pidana
penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
2. Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan atau jika ia
seorang tabib, bidan, atau juru obat, pidananya tersebut ditambah sepertiga.
3. Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian.
Pasal 346 :
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau
menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

Pasal 347 :
1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama 12 tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikarenakan pidana
penjara paling lama 15 tahun.
Dalam KUHP ini tidak diberikan penjelasan mengenai pengertian kandungan
itu sendiri dan memberikan arti yang jelas mengenai aborsi dan membunuh
(mematikan) kandungan. Dengan demikian kita mengetahui bahwa KUHP hanya
mengatur mengenai aborsi provocatus kriminalis, dimana semua jenis aborsi dilarang
dan tidak diperbolehkan oleh undang-undang apapun alasannya.
Pengaturan abortus provocatus didalam KUHP yang merupakan warisan
zaman Belanda bertentangan dengan landasan dan politik hukum yaitu “melindungi
segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 karena melarang aborsi provokatus tanpa pengecualian”. Hal
ini dirasa sangat memberatkan kalangan medis yang terpaksa harus melakukan aborsi
provokatus untuk menyelamatkan jiwa si ibu yang selama ini merupakan pengecualian
diluar undang-undang. Contohnya adalah berlakunya Pasal 349 KUHP, jika pasal ini
diterapkan secara mutlak, maka para Dokter, Bidan, Perawat, dan Tenaga Medis
lainnya dapat dituduh melanggar hukum dan mendapat ancaman pidana penjara.
Padahal bisa saja mereka melakukan aborsi provokatus untuk menyelamatkan nyawa
sang ibu. Oleh karena itu dibutuhkan untuk suatu peraturan perundang-undangan yang
baru yang mengandung aspek perlindungan hukum yang tinggi bagi para tenaga medis
dalam menjalankan kewajibannya. Kebutuhan akan peraturan perundang-undangan
baru tersebut dipenuhi dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Pada perkembangannya peraturan mengenai aborsi provokatus atau aborsi
kriminalis dapat dijumpai dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Jika pada Pasal 299 dan 346 – 349 KUHP tidak ada diatur masalah aborsi
provokatus (khususnya hukum pidana) hanya bersifat mengatur dan eksplikasitif
(menjelaskan). Asas ini
berfungsi untuk menjelaskan berlakunya Pasal 75 – 78 ketika harus dikonfrontasikan
dengan pasal-pasal KUHP yang mengatur masalah abortus provocatus.
Melihat rumusan Pasal 75 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan tampaklah bahwa dengan jelas undang-undang tersebut melarang aborsi
kecuali untuk jenis aborsi provocatus therapeuticus (aborsi yang dilakukan untuk
melnyelamatkan jiwa si ibu dan/atau janinnya). Dalam dunia kedokteran abortus
provocatus medicinalis dapat dilakukan jika nyawa si ibu terancam bahaya maut dan
juga dapat dilakukan jika anak yang akan lahir diperkirakan mengalami cacat berat dan
diindikasikan tidak dapat hidup diluar kandungan, misalnya : janin menderita kelainan
ectopia kordalis (janin yang akan dilahirkan tanpa dinding dada sehingga terlihat
jantungnya), rakiskisis (janin yang akan lahir dengan tulang punggung terbuka tanpa
ditutupi kulit), maupun anensefalus (janin akan dilahirkan tanpa otak besar). Dalam
undang-undang kesehatan juga telah mengatur mengenai aborsi yang dilakukan oleh
korban perkosaan yang diindikasikan dapat menyebabkan trauma psikis bagi si ibu.
Jika dalam undang-undang kesehatan yang lama tidak dimuat secara khusus mengenai
aborsi terhadap korban perkosaan sehingga menimbulkan perdebatan dan penafsiran
diberbagai kalangan. Dengan adanya undang-undang kesehatan yang baru maka hal
tersebut tidak diperdebatkan lagi mengenai kepastian hukumnya karena telah terdapat
pasal yang mengatur secara khusus.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Pasal 75 Undang-undang
Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur mengenai aborsi provokatus yang
diperbolehkan di Indonesia, yakni abortus provocatus atau indikasi medis atau
medicinalis. Apabila ditelaah lebih jauh, kedua peraturan tersebut berbeda satu sama
lain. KUHP mengenal larangan aborsi provokatus tanpa kecuali, termasuk abortus
provocatus medicinalis atau abortus provocatus therapeutics. Tetapi Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan justru memperbolehkan terjadinya abortus
provocatus medicinalis dengan spesifikasi therapeutics. Dalam konteks hukum pidana,
terjadilah perbedaan antara perundang-undangan yang lama (KUHP) dengan peraturan
perundang-undangan yang baru. Padahal peraturan perundang-undangan disini berlaku
asas “lex posteriori derogate legi priori”. Asas ini beranggapan bahwa jika
diundangkan peraturan baru dengan tidak mencabut peraturan lama yang mengatur
materi yang sama dan keduanya saling bertentangan satu sama lain, maka
peraturan yang baru itu mengalahkan atau
melumpuhkan peraturan yang lama.9 Dengan demikian Pasal 75 Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur tentang abortus provocatus
medicinalis tetap dapat berlaku di Indonesia meskipun sebenarnya aturan berbeda
dengan rumusan aborsi provokatus kriminalis menurut KUHP.
Berlakunya asas lex posteriori derogate legi priori sebenarnya merupakan
salah satu upaya pemerintah untuk mengembangkan hukum pidana di Indonesia.
Banyak aturan- aturan KUHP yang dalam situasi khusus tidak relevan lagi untuk
diterapkan pada masa sekarang ini. Untuk mengatasi kelemahan KUHP tersebut
pemerintah mengeluarkan undang-undang kesehatan dengan harapan dapat
memberikan suasana yang kondusif bagi dinamika masyarakat Indonesia pada masa
sekarang ini. Asas lex posteriori derogate legi priori merupakan asas hukum yang
berkembang diseluruh bidang hukum.
Suatu hal yang merupakan kelebihan dari pasal-pasal aborsi provokatus
Undang- undang Nomo 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah ketentuan pidananya.
Ancaman pidana yang diberikan terhadap pelaku abortus provocatus criminalis jauh
lebih berat daripada ancaman pidana sejenis KUHP. Dalam Pasal 194 Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pidana yang diancam adalah pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan dalam KUHP, pidana yang diancam paling
lama hanya 4 (empat) tahun penjara atau denda paling banyak tiga ribu rupiah (Pasal
299 KUHP), paling lama 4 (empat) tahun penjara (Pasal 346 KUHP), paling lama 12
(dua belas) tahun penjara (Pasal 347 KUHP), dan paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam)
bulan penjara (Pasal 348 KUHP).
Ketentuan pidana mengenai abortus provocatus criminalis dalam undang-
undang kesehatan dianggap bagus karena mengandung umum dan prevensi khusus
untuk menekan angka kejahatan aborsi kriminalis. Dengan merasakan ancaman pidana
yang demikian beratnya itu, diharapkan para pelaku aborsi menjadi jera dan tidak
mengulangi perbuatannya, dalam dunia hukum hal ini disebut sebagai prevensi khusus,
yaitu usaha pencegahannya agar pelaku aborsi provocatus kriminalis tidak lagi
mengulangi perbuatannya. Sedangkan prevensi umumnya berlaku bagi warga
masyarakat karena mempertimbangkan baik-baik sebelum melakukan aborsi dari pada
terkena sanksi pidana yang amat berat tersebut. Prevensi umum dan prevensi khusus
inilah yang diharapkan oleh para pembentuk undang-undang dapat menekan seminimal
mungkin angka kejahatan aborsi provokatus di Indonesia.
DAMPAK ABORSI TERHADAP PSIKIS DAN KESEHATAN

PENGATURAN KEDEPAN MENGENAI TINDAK PIDANA ABORSI DALAM


RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Upaya perlindungan anak perlu dilakukan sedini mungkin, yakni dari janin
dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari
konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, undang-undang
ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas non
diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan
hidup, dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu
peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia
usaha, media massa, atau lembaga pendidikan. Definisi tentang anak, perlindungan
anak, dan hak anak masing-masing diberikan pada Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka
12 Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 angka 1 menentukan yaitu : “Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan”. Pasal 1 angka 2 menentukan : “Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pasal 1 angka 12 menentukan bahwa : “Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia
yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan Negara”.
Dari penjelasan umum dan definisi-definisi tersebut diatas daoat disimak
bahwa hak anak dalam kandungan atau janin merupakan bagian dari hak asasi manusia
yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan Negara agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4. Pasal 2
menentukan : “Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undanag Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi : non diskriminasi,
kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak”. 10 Pasal 3 menentukan :
“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan
sejahtera”. Pasal 4 menyatakan bahwa : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
DAFTAR PUSTAKA

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. (2017, September -). repository.uinsu.


Diambil kembali dari KAJIAN PUSTAKA MENGENAI ABORSI:
http://repository.uinsu.ac.id/569/4/BAB_II_TESIS_M.pdf
Mardjono Reksodipuro, Pembaharuan Hukum Pengguguran Kandungan,
Departemen Kesehatan R.I, Kumpulan Naskah-naskah Ilmiah Dalam
Simposium, Jakarta, 2014, hal. 47-48. : https://osf.io/hvnuz/download/?
format=pdf

Anda mungkin juga menyukai