Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN TINGKAT SOSIAL EKONOMI

DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA


DANISH RAFI SURENDA (18051334051)
PENDAHULUAN

Stunting adalah pertumbuhan yang rendah dan efek kumulatif dari ketidakcukupan asupan energi, zat gizi makro
dan zat gizi mikro dalam jangka waktu panjang, atau hasil dari infeksi kronis/infeksi yang terjadi berulang kali
(Umeta et al., 2003).Kejadian stunting muncul sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti
kemiskinan, perilaku pola asuh yang tidak tepat, dan sering menderita penyakit secara berulang karena higiene
maupun sanitasi yang kurang baik. Stunting pada anak balita merupakan salah satu indikator status gizi kronis yang
dapat memberikan gambaran gangguan keadaan sosial ekonomi secara keseluruhan di masa lampau dan tinggi
semakin besar peluangnya untuk mendapatkan penghasilan yang cukup supaya bisa berkesempatan untuk hidup
dalam lingkungan yang baik dan sehat, sedangkan pekerjaan yang lebih baik orang tua selalu sibuk bekerja sehingga
tidak tertarik untuk memperhatikan masalah yang dihadapi anakanaknya, padahal sebenarnya anak-anak tersebut
benar-benar membutuhkan kasih sayang orang tua (Adriani, 2012).
Data Riset Kesehatan Dasar (2013) menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 37,3%, yang
terdiri atas sangat pendek 18,1% dan pendek 19,2%. Hal ini menunjukkan data stunting mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2010 sebesar 35,6% dan tahun 2007 sebesar 36,8%. Jumlah balita di Indonesia sebanyak
23.708.844 maka dapat diperkirakan terdapat lebih dari empat juta balita sangat pendek.
PENDAHULUAN

Dampak yang diakibatkan oleh stunting menurut WHO (2013) terbagi menjadi dua yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Dampak
jangka pendek diantaranya dapat menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, di bidang perkembangan berupa penurunan
kognitif, motorik, dan bahasa pada balita, dan di bidang ekonomi berupa peningkatan pengeluaran biaya kesehatan. Stunting juga
dapat menyebabkan dampak jangka panjang di bidang kesehatan berupa perawakan pendek, peningkatan risiko obesitas, penurunan
kesehatan reproduksi, di bidang perkembangan berupa penurunan prestasi dan kapasitas belajar, serta di bidang ekonomi berupa
penurunan kemampuan dan kapasitas kerja.
Kejadian stunting secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi, seperti tingkat pendidikan, pendapatan keluarga,
dan ketersediaan pangan. Tingkat sosial ekonomi mempengaruhi kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan zat gizi balita,
disamping itu keadaan sosial ekonomi juga berpegaruh pada pemilihan macam makanan tambahan dan waktu pemberian makananya
serta kebiasan hidup sehat. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kejadian stunting pada balita. Status sosial ekonomi juga sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga, apabila akses pangan ditingkat rumah tangga terganggu, terutama akibat kemiskinan,
maka penyakit kurang gizi (malnutrisi) salah satunya stunting pasti akan muncul. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk
melakukan riview artikel mengenai hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian stunting pada Balita untuk mengetahui
hasil dari hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian stunting.
PEMBAHASAN
 Pada hasil perbandingan hasil penelitian beberapa jurnal tedapat bahwa pada hubungan pendidikan dengan kejadian stunting
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah dengan kejadian stunting. Keadaan ini senada dengan teori
bahwa orang tua yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan lebih berorientasi pada tindakan preventif, tahu lebih banyak
tentang masalah kesehatan, memahami pengetahuan gizi dan kesehatan. Hal ini berkaitan erat dengan wawasan pengetahuan
mengenai sumber gizi dan jenis makanan yang baik untuk konsumsi keluarga. Kondisi demikian ini menyebabkan orang tua kurang
optimal dalam memenuhi kebutuhan gizi anak, sehingga menyebabkan anak mengalami stunting. Tingkat pendidikan orang tua juga
berkaitan dengan kesadaran untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan. Menurut penelitian sebelumnya dijelaskan bahwa wanita yang
berpendidikan cenderung lebih baik dalam pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan, lebih banyak dapat berinteraksi secara efektif
dengan memberi pelayanan kesehatan serta lebih mudah mematuhi saran yang diberikan kepadanya.
 Pada penelitian yang dilakukan di desa kanigoro, gunung kidul dan kuala kampar terlihat bahwa sebagian besar tingkat pendidikan
ayah pada kelompok stunting memiliki tingkat pendidikan dasar yakni sebanyak 104 responden (30,6%). Proporsi tersebut jauh lebih
banyak jika dibandingkan dengan pendidikan ayah pada tingkat lanjut, yakni hanya 8 responden (15,4%). Sedangkan, pada
penelitian yang dilakukan di Desa Karangrejek Wonosari dapat diketahui bahwa pada ibu yang berpendidikan rendah terdapat
sebanyak 30 balita (24,8%) mengalami stunting dan sebanyak 31 balita (25,6%) tidak mengalami stunting. Sedangkan ibu dengan
pendidikan tinggi sebanyak 60 responden didapatkan sebagian besar balitanya tidak mengalami stunting sebanyak 43 balita (35,5%)
dan balita yang mengalami stunting sebanyak 17 balita (14%). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara Pendidikan orang
tua dengan kejadian stunting.
PEMBAHASAN

 Pada Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Stunting menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
pekerjaan ayah dengan kejadian stunting. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di
Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Banten menunjukkan tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan status gizi pada
balita. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan status gizi balita.
Selain itu, penelitian di India menemukan bahwa di kalangan ibu bekerja, ternyata mereka yang mendapat
penghasilan lebih banyak mempunyai anak dengan status gizi lebih baik. Berdasarkan teori dapat dijelaskan bahwa
orang tua yang bekerja akan mempunyai kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan gizi pada anak. Sebagian
besar orang tua yang memiliki pekerjaan sebagai petani kecenderungan memiliki penghasilan yang terbatas dan pada
umumnya tidak menentu, sehingga menyebabkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak menjadi
kurang, kondisi demikian jika berlanjut akan menyebabkan kejadian stunting pada Balita. Hal diatas didukung data
Riset Kesehatan Dasar disebutkan bahwa penyebab terjadinya penderita Stunting antara lain dikarenakan
ketidakcukupan pangan dalam rumah tangga yang menyebabkan kekurangan asupan gizi makanan terutama pada
anak Balita. Kondisi demikian ini diperlukan peran tenaga kesehatan khususnya petugas gizi Puskesmas dengan cara
melakukan penyuluhan mengenai cara menyusun menu sehat dari bahan makanan lokal yang ada untuk membantu
keluarga dalam mengatasi masalah gizi keluarga, serta melakukan pengawasan terhadap balita yang berisiko
mengalami stunting terutama pada keluarga yang kurang mampu.
PEMBAHASAN
 Pada Hubungan Pendapatan dengan Kejadian Stunting terdapat hubungan yang signifikan yaitu bahwa pada
kelompok stunting lebih banyak pendapatannya adalah dibawah UMR, sedangkan yang memiliki pendapatan
diatas UMR hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan pendapat Sulistyoningsih bahwa meningkatnya pendapatan akan
meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik, sebaliknya
penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan yang baik secara kualitas maupun
kuantitas. Tingginya penghasilan yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan
seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola makannya sehari-hari, sehingga pemilihan suatu bahan makanan
lebih didasarkan kepada pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi.Keadaan yang tidak stunting terjadi bila
tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
pertumbuhan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi
kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat lebih esensial. Menurut peneliti
sebelumnya bahwa apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk akan meningkat
mutunya.Sebaliknya, penghasilan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah pula, sehingga tidak mampu
membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan
KESIMPULAN

 Berdasarkah hasil analisis riview jurnal, pendidikan orang tua sangat berpengaruh dalam kejadian stunting pada
anak Balita karena orang tua yang berpendidikan tinggi akan lebih berorientasi pada tindakan preventif, tahu lebih
banyak tentang masalah kesehatan, memahami pengetahuan gizi dan kesehatan. Hal ini berkaitan erat dengan
wawasan pengetahuan mengenai sumber gizi dan jenis makanan yang baik untuk konsumsi keluarga. Pada
Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian Stunting menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
pekerjaan ayah dengan kejadian stunting. Berdasarkan teori dapat dijelaskan bahwa orang tua yang bekerja akan
mempunyai kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan gizi pada anak. Pada Hubungan Pendapatan dengan
Kejadian Stunting terdapat hubungan yang signifikan yaitu bahwa pada kelompok stunting lebih banyak
pendapatannya adalah dibawah UMR, sedangkan yang memiliki pendapatan diatas UMR hanya sedikit. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sulistyoningsih bahwa meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang untuk
membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan akan
menyebabkan menurunnya daya beli pangan yang baik secara kualitas maupun kuantitas.
SARAN

 1. Bagi Responden

Diharapkan para orang tua yang memiliki balita stunting agar berkonsultasi pada tenaga kesehatan untuk pemberian gizi yang dibutuhkan pada anak,
meningkatkan pengetahuannya tentang status gizi balita yang normal, serta meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat. Apabila anak sakit maka segera
periksakan ke tenaga kesehatan agar mendapatkan pertolongan yang tepat.
 2. Bagi Kepala Desa seluruh indonesia

Hasil penelitian ini menunjukkan masih terdapat balita stunting di wilayah tertentu, sehingga diharapkan kepala desa berkoordinasi dengan petugas puskesmas
untuk bersama-sama menangani masalah stunting, seperti mengadakan penyuluhan atau sosialisasi penanganan dan pencegahan stunting untuk orang tua balita.
 3. Bagi Kader Posyandu seluruh indonesia

Diharapkan para kader dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya berkaitan dengan masalah stunting terutama pada standar penilaian stunting
(TB/U) untuk melakukan pemantauan tinggi badan balita sehingga dapat melakukan screening awal pada balita yang berisiko mengalami stunting. Disamping
itu kader juga harus melakukan pendampingan pada balita yang mengalami stunting dan berkoordinasi dengan petugas puskesmas untuk penanganannya.
 4. Bagi Universitas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan wacana dan referensi belajar bagi mahasiswa ataupun pengajar terutama masalah stunting pada
balita.
 5. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini tidak meneliti terkait pola asuh orang tua, sehingga diharapkan agar peneliti selanjutnya meneliti tentang pola asuh pada balita seperti pada
pemberian makan, praktek kebersihan, dan praktek pengobatan atau perawatan ketika anak sakit

Anda mungkin juga menyukai