Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


WHO menyatakan bahwa inkontinensia urin merupakan salah satu topik
kesehatan cukup besar dan diperkirakan lebih dari 200 juta orang diseluruh
dunia mempunyai masalah dalam pengontrolan berkemih (Sinaga, 2011).
Konferensi Konsensus Kesehatan Nasional Amerika (1998) dalam Sinaga
(2011) menyatakan bahwa dua per tiga dari 10 juta orang dewasa yang
mengalami inkontinensia adalah wanita.
Masalah inkontinensia urin saat ini belum mendapatkan perhatian penuh
di dunia, termasuk di Indonesia. Di Amerika Serikat jumlah penderita
inkontinensia urin mencapai 13 juta dengan 85% diantaranya perempuan,
sebenarnya jumlah ini masih sangat sedikit dikarenakan banyak kasus dengan
inkontinensia urin yang belum dilaporkan (Syaifudin, 2001). Prevalensi
inkontinensia urin bervariasi di setiap negara yang disebabkan oleh berbagai
faktor, diantaranya yaitu perbedaan definisi, populasi, sampel penelitian, dan
metodologi penelitian (Sinaga, 2011)
Menurut Baduaji (2004) dalam Sinaga (2011) di Indonesia prevalensi
angka kejadian inkontinensia urin belum dapat terdeteksi secara pasti
dikarenakan banyak orang yang menganggap inkontinensia urin merupakan
hal yang wajar setelah wanita melahirkan dan kebanyakan merasa malu untuk
memeriksakannya ke tenaga kesehatan. Inkontinensia urin erat hubungannya
dengan penurunan kualitas hidup pasien seperti isolasi sosial, kesendirian dan
kesedihan, gangguan psikiatri seperti depresi; rasa malu yang mempengaruhi
aktivitas sehari-hari; stigmatisasi; gangguan pada hubungan seksual; dan
gangguan tidur. Hal tersebut dikarenakan banyak orang yang mengidap
inkontinensia urin namun mereka merasa enggan untuk berkonsultasi dengan
tenaga kesehatan agar bisa mencegah bahkan mengobati inkontinensia urin
tersebut agar tidak menjadi semakin parah. Menurut tendean dalam Sinaga
(2011) faktor-fakor risiko timbulnya inkontinensia urin adalah usia,
kehamilan dan paritas dimana dampak jangka panjangnya masih dalam
penelitian.

1.2. Tujuan
a. Tujuan umum
Menjelaskan Asuhan Keperawatan pasien dengan inkontnensia urin.

b. Tujuan khusus
1. Untuk memahami pengertian dari inkontinesia urine.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin.
3. Untuk mengetahui etiologi inkontinensia urin.
4. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin.
5. Untuk mengetahui maninfestasi klinis inkontinensia urin.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan inkontinensia urin
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Saluran Kemih


a. Kandung Kemih

Kandung kemih terdiri dari dua bagian yaitu fundus dan leher kandung
kemih yang juga disebut uretra posterior. Mukosa kandung kemih dilapisi
oleh epitel transisional yang mengandung ujung-ujung saraf sensoris. Di
bawahnya terdapat lapisan submukosa yang sebagian besar tersusun dari
jaringan ikat dan jaringan elastin. Otot polos kandung kemih disebut otot
detrusor, membentuk lapisan di luar submukosa terdiri dari tiga lapisan
otot longitudinal di lapisan luar dan dalam serta otot sirkuler di bagian
tengahnya. Otot detrusor meluas ke uretra membentuk dinding uretra.
Pada lapisan ini ototnya banyak mengandung jaringan elastin (Junizaf
(2002) dalam Sinaga (2011)).

Gambar 2.1 Struktur Anatomis Kandung Kemih


(Sumber: Daneshgari & Moore (2007) dalam Sinaga (2011))

b. Uretra
Uretra merupakan tabung muskularis yang kompleks yang memanjang
dari batas bawah dasar kandung kemih. Panjang uretra berkisar antara 3-4
cm dengan dinding yang terdiri dari beberapa lapisan. Pada lapisan paling
luar adalah otot lurik spinkter urogenital yang juga dikenal dengan sebutan
otot lurik sirkuler, spinkter lurik, atau rhabdosphincter. Otot lurik ini
melingkari selapis tipis otot polos sirkuler yang juga melingkari otot-otot
polos longitudinal. Diantara otot polos dan mukosa terdapat submukosa
yang sangat kaya suplai vaskuler (Syukur (2010) dalam Sinaga (2011)).

Gambar 2.2 Potongan Melintang Skematik Struktur Uretra

(Sumber: Daneshgari & Moore (2007) dalam Sinaga (2011))

Kontraksi otot lurik spinkter urogenital akan menyebabkan


konstriksi lumen uretra bagian atas. Otot ini mempunyai peranan penting
ditunjukkan dengan peran sebagai back up mekanisme berkemih normal
dimana pada 50% wanita dengan leher kandung kemih yang inkompeten
masih berkemih secara normal fungsi otot ini juga terlihat ketika kandung
kemih penuh dan terjadi peningkatan tekanan detrusor, seorang wanita
harus mengkontraksikan dasar panggulnya sampai saat dia memiliki
kesempatan untuk berkemih. Penyokong uretra terdiri dari ligamentum
puboservikalus, ligamentum pubouretralis, M. Levator ani (M.
Illeokoksigeus, M. Pubokoksigeus), dinding anterior vagina. Otot-otot
lurik periuretra (M. Levator ani) tersususun dari serabut kejut cepat (fast
twitch) dan serabut kejut lambat (slow twitch) sehingga dasar panggul
dapat menjaga tonus istirahat dalam waktu lama dan menghasilkan
kontraksi cepat seketika (Syukur (2010) dalam Sinaga (2011)) .
c. Fisiologi Berkemih
Saluran kemih bawah terdiri dari kandung kemih dan uretra yang
merupakan satu kesatuan fungsional yaitu penyimpanan dan pengeluaran
selama siklus berkemih. Pada fase penyimpanan, uretra bertindak sebagai
penutup dan kandung kemih sebagai penampung, pada saat pengeluaran,
uretra bertindak sebagai pipa dan kandung kemih sebagai pompa. Untuk
menjaga kontinensia urin, tekanan penutupan uretra harus melebihi
tekanan di dalam kandung kemih baik saat istirahat maupun kondisi stres.
Faktor yang terpenting dalam mekanisme ini adalah kontrol detrusor,
stuktur anatomi yang utuh, dan posisi bladder neck yang normal (Yuliana
(2011) dalam Sinaga (2011))

2.2 Pengertian
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan menahan kemih
dalam vesika urinaria yang bisa terjadi karena gangguan neurologis atau
mekanis pada sistem yang mengontrol fungsi berkemih normal (Isselbacher,
1999).
The International Continence Society (ICS) medefinisikan
inkontinensia urin adalah keadaan dimana urin keluar secara involunter yang
tampak jelas dan obyektif dan menjadi masalah sosial dan hygiene. Secara
epidemiologi inkotinensia urin adalah adanya pengeluaran urin yang tidak
dapat dikontrol dalam jangka waktu setahun atau lebih dari episode dalam
sebulan (Sinaga, 2011).
Menurut Dmochowsky (2003) dalam Sinaga (2011) Stres
inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tidak dapat dikontrol,
disebabkan oleh tekanan intravesika cenderung melebihi tekanan penutupan
uretra yang berhubungan dengan aktivitas tubuh (batuk, tertawa, aktivitas
fisik) sedangkan kandung kemih tidak berkontraksi.

2.3 Etiologi dan Klasifikasi


Penyebab inkontinensia transien adalah delirium, infeksi (uretritis atau
vaginitis), obat obatan seperti sedatif, hipnotik, diuretik, opiar, penghambat
saluran kalsium, antikolinergik (antidepresan, antihistamin), dekongestan, dan
lain-lain. Penyebab lain yang lebih jarang adalah depresi, pembentukan urin
berlebih (diabetes), mobilisasi yang terbatas (Graber, 2006).
Berikut jenis inkontinensia dan penyebabnya yang spesifik menurut Graber
(2006)
a. Inkontinensia dorongan
Pengeluaran urine involunter yang disebabkan oleh dorongan dan
keinginan mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan dengan
kontraksi detrusor secara involunter. Penyebabnya adalah gangguan
neurologik (misalnya stroke, sklerosis multipel) serta infeksi saluran
kemih.
b. Inkontinensia tekanan
Pengeluaran urin involunter selama batuk, bersin, tertawa, atau
peningkatan tekanan intraabdomen lainnya. Paling lazim terjadi pada
wanita setelah usia setengah baya (dengan kehamilan dan pelahiran per
vaginam berulang); inkontinensia tekanan sering disebabkan oleh
kelemahan dasar panggul dan kurangnya dukungan unit sfingter
vesikouretra. Penyebab lainnya adalah kelemahan sfingter uretra
intrinsik seperti akibat mielomeningokel, epispadia, prostatektomi,
trauma, radiasi, atau lesi medula spunalis bagian sakral.
c. Inkontinensia aliran berlebih
Pengeluaran urine involunter akibat distensi kandung kemih yang
berlebihan. Bisa terdapat penetasan urine yang sering atau berupa
inkontinensia dorongan atau tekanan. Dapat disertai dengan kandung
kemih yang yang kurang aktif, obstruksijalan keluar kandung kemih
(seperti tumor, hipertrofi prostat), obat-obatan (seperti deuretik),
nefropati diabetik, atau defisiensi vitamin B12.
d. Inkontinensia fungsional
Imobilitas, defisist koognitif, paraplegia, atau daya kembang kandung
kemih buruk.
Berikut dibawah ini akan dijelaskan jenis inkontinensia dan
etiologinya menurut Baradero dkk,
a. Inkontinensia overflow. Dapat disebabkan oleh overdistensi kandung
kemih.Infeksi saluran kemih juga mengakibatkan inkontinensia karena
bakteri dalam urine mengiritasi mukosa kandung kemih. Inflamasi
akan menstimulasi refleks urethro-bladder. Demikian juga dengan
kerusakan jaringan pada sfingter kandung kemih akibat pembedahan,
trauma, parut uretra karena infeksi, dan relaksasi perineum dapat
mengakibatkan inkontinensia.
b. Inkontinensia stress. Terlihat terutama pada ibu yang mempunyai otot
pelvik yang relaks. Hal ini dapat juga tampak pada individu yang
mengalami prostatektomi. Patofisiologi Inkontinensia Urin
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari
penyakit infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya
perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat
permanen misalnya pada spinal cord trauma atau bersifat temporer pada
wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat berakibat
terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi
pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan
masalah bagi lanjut usia.
Teori-teori inkontinensia urin berdasarkan pada pemahaman
mengenal fisiologi kontinensia yang direkomendasikan untuk pengobatan
stres inkontinensia urin.
1) Teori Perubahan Sumbu Uretrovesika
Teori awal mengenai stres inkontinensia urin berfokus pada
berkurangnya penekanan fisik dan adanya perubahan posisi uretra.
Berdasarkan observasi dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
untuk uretra yang kompeten, uretra harus terletak di atas dasar pelvik
sehingga tekanan yang diteruskan ke kandung kemih diteruskan dalam
besar yang sama ke uretra, yang menyebabkan peningkatan kompensatorik
tekanan penutupan (Daneshgari & Moore, 2007).
Gambar 2.3 Perubahan Sumbu Urethrovesika

(Sumber: Daneshgari & Moore (2007) dalam Sinaga (2011))

2) Teori Intrinsic Sphincter Deficiency


Teori ini mengenalkan konsep alternatif bahwa stres inkontinensia
urin disebabkan bukan hanya sekedar perubahan posisi uretra melainkan
juga peran Intrinsic Sphincter Deficiency (ISD) dalam patofisiologi stres
inkontinensia urin. Teori ini menyatakan bahwa rizotomi nervus sakralis
yang dilakukan pada tiga wanita paraplegi menimbulkan denervasi nervus
pudendus sehingga terjadi denervasi sfingter eksternal. Denervasi komplit
nervus sakralis menyebabkan hilangnya aktivitas otot lurik sfingter ani dan
uretra, tetapi tidak demikian dengan tonus istirahat otot polos uretra.
Rizotomi sakral tidak berefek terhadap tekanan uretra istirahat atau fungsi
otot polos uretra. Temuan ini mengonfirmasi pentingnya otot polos uretra
dalam mempertahankan kontinensia (Daneshgari & Moore (2007) dalam
Sinaga (2011)).
Gambar 2.4 Intrinsic Sphincter Deficiency

(Sumber: Daneshgari & Moore (2007) dalam Sinaga (2011))

3) Teori Integral
Teori ini menyatakan bahwa lemasnya dinding anterior vagina
menimbulkan aktivasi reseptor regang pada leher kandung kemih dan
uretra proksimal, sehingga memicu refleks mikturisi, dan menimbulkan
aktivitas detrusor. Lemasnya dinding vagina juga menimbulkan stres
inkontinensia urin karena hilangnya tekanan penutupan uretra (Daneshgari
& Moore, 2007).
4) Teori Hammock
Teori hammock menjelaskan bahwa uretra berada di atas lapisan
penyokong yang terdiri atas fasia endopelvik dan dinding vagina anterior.
Lapisan penyokong ini memperoleh stabilitas melalui perlekatannya di
bagian lateral dengan fasia arkus tendineus dan otot levator ani, sehingga
dapat disimpulkan dalam sebuah teori bahwa tekanan intraabdomen
diteruskan ke leher kandung kemih dan uretra proksimal, menutup lubang
keluar karena lubang ini tertekan kearah penyokong kaku yaitu fasia
puboservikal dan dinding anterior vagina (Daneshgari & Moore, 2007).

(Sumber: Daneshgari & Moore (2007) dalam Sinaga (2011)

2.4 WOC
2.5 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis dari inkontinensia urin dapat kita temukan berdasarkan jenisnya.

1. Inkontinensia stress
Inkontinensia stress adalah keluarnya urin secara tidak disadari selama
melakukan kegiatan yang meningkatkan tekanan intra abdominal, seperti
batuk. (Budi Iman Santoso, 2008)
2. Inkontinensia urgensi
Inkontinensia urgensi ialah IU yang disebabkan karena ketidakstabilan
otot destrusor idiopatik yang menyebabkan peningkatan tekanan
intravesika dan kebocoran urin sehingga klien tidak mampu untuk
menahan keluarnya urin dengan gambaran sering terburu-buru untuk
berkemih. (Budi Iman Santoso, 2008 dan Pierce A. Grace dan Neil R.
Borley, 2007)
3. Inkontinensia overflow
Inkontinensia overflow adalah hilangnya kendali miksi involunter yang
berhubungan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. (Budi Iman
Santoso, 2008) Kandung kemih terisi oleh urin dan menjadi sangat
membesar dengan menetesnya urin yang kostan, misalnya distensi
kandung kemih kronis akibat obstruksi (Pierce A. Grace dan Neil R.
Borley,2007)
4. Inkonrinensia detrusor
Inkonrinensia detrusor adalah IU total yang merupakan hilangnya kendali
miksi secara menetap dengan pengosongan kandung yang tidak lengkap
akibat gangguan kontraktilitas destrusor atau obstruksi kandung kemih.
Kebocoran urin biasanya sedikit dan volume residual pascakemih
(postvoid) biasanya meningkat. (Budi Iman Santoso, 2008)

2.6 Penatalaksanaan
Prinsip dasar penatalaksanaan pada inkontinensia urine adalah terapi perilaku,
pasien di anjurkan untuk segera ke kamar mandi jika ada perasaan berkemih.
(Harrison, 1999)
a. Peran perawat dalam hal ini yaitu untuk:
1) Pelatihan kandung kemih.
Menetukan edukasi, berkemih yang terjadwal. Tindakan menghambat
berkemih harus dilakukan sampai suatu waktu tertentu dan jumlah waktu
yang ditentukan in harus ditingkatkan secara progresif. Mulai dengan 2
sampai 3 jam dan tingkatkan. 12% pasien dapat menjadi kontinen total,
dan 75% dapat mengalami penurunan episode inkontinensia sebesar 50%.
Paling baik dilakukan pada inkontinensia dorongan, tetapi juga dapat
dilakukan ada inkontinensia tekanan.
2) Pelatihan kebiasaan
Dorong pasien utnuk berkemih disaat yang normalseperti dipagi hari,
sebelum tidur, setelah makan, dll.
3) Berkemih atas desakan/dorongan
Terutama baik bagi orang dengan gangguan koognitif. Menurunkan
episode inkontinensia sebesaar 50%
4) Latihan dasar panggul (senam kegel)
5) Terutama berguna pada inkontinensia tekanan. Angka kesembuhan 16%
dan 54% membaik.
6) Kateterisasi intermiten juga dapat digunakan
7) Menganjurkan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter untuk
penggunaan obat-obatan
8) Penkes mengenai bagaimana cara untuk mencegah inkontinensia urine:
Berhenti merokok, berolahraga secara rutin, jauhkan diri dari alkohol,
menjaga berat badan yang sehat dan menjaga diet tinggi serat.
b. Managemen Keperawatan Kolaboratif
1) Uji diagnostik
Diagnosis inkontinensia urine dapat ditentukan dengan berbagai
pemeriksaan urodinamik. Sistometrogram dan elektromiogram
dilakukan untuk mengevaluasi otot detrusor, sfingter, dan kegiatan
otot perineum. Ultrasonografi kandung kemih, sistoskopi, dan IVP
juga dapat dilakukan untuk mengkaji struktur dan fungsi saluran
kemih.
2) Medikasi
Obat yang diberikan sesuai dengan etiologi inkontinensia urine.
Beberapa obat yang digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Obat Kerja Intervensi
keperawatan
Estrogen Mengurangi atropik - Jelaskan risiko
Primarin vanigitis uretra dan pembekuan
Quinestradiol memulihkan uretra darah
Estriol yang supel - Pantau tanda
trombofiebitis
- Anjurkan untuk
tidak merokok
Antikolinergik Mengurangi
Pro-banthene spastisitas kandung
kemih
Oksibutinin
Bentyl

3) Pembedahan
Pada inkontinensia stres berat, pembedahan yang disebut
vesikouretropeksi (prosedur Marshall-Marchetti) dapat
dilaksanakan. Pada vesiko-uretropeksi fiksasi uretra pada fasia otot
rektus abdominis dengan sokongan pada leher kandung kemih.
Dokter melakukan insisi suprapubik. Kateter uretra dipasang dan
dipertahankan selama 5-6 hari paska operasi. Setelah kateter retra
dilepas, pasien dapat mengalami kesulitan untuk berkemih. Pasien
tidak boleh melakukan manuver Valsava sehingga obat laksatif
diberikan untuk mencegah konstipasi.
4) Diet
Modifikasi diet terdiri dari penjadwalan asupan cairan. Asupan
cairan setelah makan malam perlu dikurangi. Makanan yang dapat
menstimulasi kandung kemih perlu dihindari, misalnya kopi, teh,
alkohol, dan cokelat.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan bagian pertama untuk mengelola UI, dari pengkajian
kita dapat menyimpulkan penyebab utama UI dan menejemen yang tepat
untuk setiap klien.
1. Riwayat Kesehatan Klien
Pengkajian riwayat kesehatan pada pasien dengan UI meliputi :
a. Keluhan utama terkait dengan perasaan subjektif klien terhadap
masalah saat berkemih, ketidak mampuan menahan kencing,
kebocoran urin, penggunaan absorbent.
b. Storage Lower Urinary Symtoms (LUTS), untuk mengetahui ini
pertanyaan yang harus di jawab klien adalah berapa kali klien BAK
dalam satu hari, berapa lama klien dapat melakuka aktivitas antara
waktu berkemih.
c. Riwayat penyakit, operasi, gangguan obstetri dan ginekologi
d. Obat-obatan yang dikonsumsi
e. Kapan UI mulai terjadi, durasi atau lama mengalami UI
f. Kondisi yang memicu UI seperti batuk, mengejan, keinginan
berkemih yang kuat
g. Tanda gejala yang menunjukkan kemampuan penampungan bladder
seperti frequency, urgency, nocturia
h. Tanda gejala pada setiap berkemih seperti intermittency, pancaran
kencing lemah, tetesan urin pada akhir berkemih, mengejan
i. Riwayat psikologi dan Sosial, dalam pengkjian ini fungsi seksual juga
menjadi unsur yang harus dikaji pada klien untuk mengetahui
kemungkinan kebocoran uring saat melakukan hubungan seksual
(Chin, 2001).
2. Pengkajian Fisik
a. Pengkajian umum dan kemampuan fungsional, kemampuan
fungsional meliputi kemampuan klien untuk melakukan mobilisasi,
kesadaran dan ketangkasan. Metode yang dapat digunakan untuk
menguji klien adalah dengan meminta klien berjalan dari meja
periksa ke tempat tidur, meminta klien berkemih untuk pemeriksaan
spesimen urin.
b. Lakukan pengkajian untuk melihat adanya abnormalitas yang
berpengaruh langsung terhadap UI
c. Pengkajian Kekuatan otot pelvis, tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
melihat fungsi neuromuskular dan kemampuan otot dasar panggul
yang sangat berperan saat berkemih. Metode yang digunakan adalah
dengan meminta klien mengkontraksikan dan merilekskan bagaian
otot dasar panggul. Pengkajian ini juga dapat dilakukan dengan
komputer yaitu dengan elektomyography dan pemeriksaan tekanan
dengan menggunakan Probe yang sensitif dengan memasukkan
probe pada vagina atau rektal dan meminta klien untuk
mengkontraksikan otot dasat panggul kekuatan normalnya adalah
antara 35-42 cm H2O (Hay-Smith et al. 2002).
d. Pengkajian terhadap kulit sekitar perineal untuk melihat adanya lesi
atau ekskoriasi terkait dengan seringnya kebocoran berkemih.
e. Pengkajian rektal, pada wanita kepentingan pengkajian rektal untuk
memvalidasi penyebabk terjadinya UI yaitu mengkaji adanya massa
atau tumor. Sedangkan pada laki-laki digital rektal examibation
(DRE) berfungsi untuk mengetahui adanya massa atau pembesaran
prostat (Chin, 2001).
3. Observasi kebocoran urin secara langsung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta klien untuk batuk saat
bladder dalam keadaan penuh sehingga dapat diamati terjadinya UI.
Kebocoran urin saat batuk dapat diamati pada saat klien dalam posisi
supine atau berdiri.
4. Mengukur volume residu bladder Pengukuran dilakukan setelah klien
berkemih atau Post Voided Residual (PVR) dengan mengeluarkan sisa
urin dengan menggunakan kateter atau dengan menggunakan scan
bladder. Residu bladder normal adalah kurang dari 50 ml, residu yang
lebih dari 100 ml menunjukkan adanya
pengosongan bladder ang tidak adekuat (Hocking, 1999)
5. Voiding Diary (Bladder Chart) Voiding diary sangat penting untuk
mencatat pola eliminasi urin dan pola kebocoran urin. Voiding diary
harus dilakukan pada klien yang sedang dalam perawatan UI. Terdapat
berbagai macam bentuk voiding diary, penggunaannya tergantung pada
informasi yang diinginkan saat pengkajian, kemampuan dan kepatuhan
klien untuk mengisi. Semakin detail dan lengkap isi diary maka data
yang didapat semakin akurat namun biasanya klien merasa lebih rumit
dalam pengisian dan menjadi tidak patuh dalam mengisi voiding diary.
Voiding diary sebaiknya berupa catatan yang mudah dibawa klien
dalam setiap aktivitas. Pencatatan dilakukan antara 7-14 hari sehingga
dapat memberikan hasil yang reliabel. Dalam beberapa praktik yang
dilakukan pencatatan selama 1-3 hari cukup untuk merekam masalah UI
pada. Dalam beberapa voiding diary selain waktu berkemih dan
kebocoran urin, intake cairan klien juga dicatat sebagai data dasar
mengukur kapasitas bladder dan jumlah intake cairan per 24 jam klien
(Gray & Moore dalam Doughty,2006).
Tabel 1. Contoh voiding diary untuk melihat fungsi dan kapasitas
Bladder:
Waktu Jumlah Urin Kebocoran Konsumsi
Jumlah

Tabel 2. Contoh Voiding Diary versi simpel


waktu Senin selasa Rabu kamis
BAK

BOCOR

BAK

BOCOR

BAK

BOCOR

BAK

BOCOR
6. Tes Laboratorium
a. Urinalysis
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang esensial untuk klien dengan
UI. Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui substansi yang terdapat
dalam urin yang dapat berhubungan UI seperti darah, glukosa,
pus,bakteri,protein. Pemeriksaan lain yang harus disertakan untuk
menyingkirkan adanya infeksi saluran kemih adalah kultur urin
(Chan, 1999).
b. Pemeriksaan serum
Pemeriksaan serum darah diindikasi untuk melihat adanya
komplikasi sistemik. Seperti kemungkinan terjadinya peningkatan
BUN dan Ureum Creatinin pada klien dengan obstruksi dan
memiliki komplikasi hidronefrosis (Chan, 1999).
7. Pengkajian efek UI pada Quality Of Life (QOL)
Pengkajian efek UI terhadap QOL klien dapat direkam dengan
menggunakan berbagai instrument pengkajian Incontinence Impact
Quostionare (IIQ) dikelurakan oleh Kennedy (1992), instrumen ini
sudah mengalami beberap revisi. Instrumen yang lain UDI (Urogenital
distress Inventory) berisi 19 pertanyaan yang terkait dengan 1)
hubungan LUTS dengan Overactive Bladder; 2) hubungan LUTS denga
Stress UI; 3) hubungan ketidaknyamanan pada saat berkemih dan kodisi
Pelvis. Instrumen yang sering digunakan adalah International Prostate
Symtom Score (IPPS), instrumen ini disusun untuk mengetahui sejauh
mana klien BPH mengalami perubahan pola urinasinya bukan untuk
mengetahui derajat pembesaran prostat. Pada beberapa kasus IPPA
dapat digunakan pada wanita.
8. Pengkajian lingkungan dan Fasilitas
Pengkajian fasilitas terkait dengan kemudahan klien mencapai
toilet,pencahayaan, kondisi lantai, alat bantu klien untuk mencapai
tempat tidur. Fasilitas yang dapat dikaji adalah ketersediaan alat bantu
UI seperti Absorbent, kateter, padding dan penggunaan urinal
(Kennedy, 1992).
9. Urodinamik adalah pemeriksaan untuk melihat
transportasi,penyimpanan dan eliminasi urin pada saluran kemih bagian
tengan atau bawah.
10.Endoskopi dan Pencitraan
Endoskopi untuk melihat kemungkinan adanya tumor epitel, divertikel
yang dapat menyebabkan sumbatan pada saluran kemih.

b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai
berikut:
1. Inkontensia fungsional bd.ganguan mobilitas
2. Inkontensia refleks bd. kerusakan konduksi implus diatas level arkus
refleks.
3. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis
c. INTERVENSI

Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional


keperawatan kriteria hasil keperawatan (NIC)
(NOC)
Inkontensia Setelah NIC : Bantuan 1. memonitor
diberikan
fungsional berkemih secara sfesifik
intervensi
bd.ganguan kepera- pengeluaran
watan 3 x 24
mobilitas Aktifitas urine
jam, diharapkan
pasien mampu Keperawatan : 2. menjadwalkan
TD Mayor menunju-kkan :
1. lakukan dalam proses
NOC : pencatatan membantu
Data Subjektif:
Kontinensia urin
mengenai berkemih
1.Mengompol
 Dipertahatank spesifikasi 3. sebagai jadwal
sebelum
an pada level
selama 3 hari waktu dalam
mencapai atau  Ditingkatkan
pada level untuk berkemih
selama usaha
1. Tidak
mendapatkan 4. mempertimban
mencapai toilet pernah
menunjukk pola gkan kesadaran
Data objektif: -
an
pengeluaran 5. karena untuk
2. Jarang
TD Minor menunjukk urine membiasakan
an
Data subjektif: 2. tetapkan menahan urine
3. Cukup
1.mengompol di menunjukk interval untuk
an
waktu pagi hari jadwal
4. Sering
2.mampu menunjukk membantu
an
mengosongkan berkemih,
5. Secara
kandung kemih konsisten berdasarkan
menunjukk
lengkap. pada pola
an
Data objektif:- Dengan kriteria pengeluaran
hasil :
 Urine urine
merembes
3. tetapkan waktu
ketika
berkemih untuk memulai
 Sisa urin paska
dan mengakhiri
berkemih >
100-200 ml berkemih dalam
 Infeksi saluran
jadwal bantuan
kemih
berkemih jika
tidak berkemih
24 jam
4. pertimbangkan
kesadaran
pasien
mengenai status
kontinensia
dengan
menanyakan
apakah pasien
basah atau
kering
5. ajarkan pasien
untuk secara
sengja untuk
menahan urine
diantara sesi
eliminasi

Inkontensia Setelah NIC : 1. Menjeniskan


diberikan
refleks bd. Perawatan faktor
intervensi
kerusakan kepera- Inkontinensia urin penyebab dari
watan 3 x 24
konduksi implus jam, diharapkan inkontensia
pasien mampu
diatas level arkus Aktifitas urine
menunju-kkan :
refleks. Keperawatan : 2. Menjaga
NOC:
privasi agar
Kontinensia urin
TD Mayor 1. Identifikasi faktor
pasien merasa
 Dipertahatank penyebab
nyaman
Data Subjektif: an pada level
inkontensia pada
 Ditingkatkan 3. Agar pasien
pada level pasien
1.tidak mengetahui
1. Tidak pernah
2. Jaga privasi
mengalami sensai menunjukkan peyebab dari
2. Jarang pasien saat
berkemih inkontensia
menunjukkan
berkemih
2.Dribbling 3. Cukup urine
menunjukkan 3. Jelaskan
3.Sering buang 4. Memberikan
4. Sering
penyebab
air kecil menunjukkan motivasi
5. Secara terjadinya
4.Hestancy terhadap
konsisten
inkontensia
5.Nokturia menunjukkan pasien
4. Bantu untuk
6.Enurusis 5. Agar
Dengan kriteria
meningkatkan
hasil : mengetahui
Data objektif  Urine harapan pasien
ouput dan
merembes
5. Monitor eliminasi
ketika frekuensi dari
1.volume residu berkemih urine
urine
urin meningkat  Sisa urin paska
berkemih >
100-200 ml
TD minor:  Infeksi saluran
kemih
Data minor: -

Data objektif:-

Inkontensia urin Setelah NIC : Latihan Otot 1. Mengkaji


diberikan
stres bd.saluran Pelvis kemampuan
intervensi
kluar kanung kepera- pasien dalam
watan 3 x 24
kmih yang Aktifitas menyelesai-
jam, diharapkan
inkompenten pasien mampu Keperawatan : kan sesuatu
menunju-kkan :
1. Kaji 2. Melatih otot-
NOC : kemampuan otot di sekitar
Kontinensia urin
urgensi pasien uretra dan
 Dipertahatank 2. Intruksi pasien anus
an pada level
TD Mayorr untuk menahan 3. Agar tidak
 Ditingkatkan
pada level otot-otot sekitar terjadi proses
Data Subjektif: 1. Tidak pernah
uretra dan anus mengedan
menunjukka
1.mengeluh
2. Jarang kemudian 4. Edukasi
keluar urin <50 menunjukkan
relaksasikan kepada pasien
3. Cukup
ml saat tekanan menunjukkan 3. Intruksi pasien untuk
abdominal 4. Sering
untuk tidak melakukan
menunjukkan
meningkat 5. Secara mengkontraksi- tindakan
(mis.saat konsisten
kan perut, keperawatan
menunjukkan
berdiri,bersin,tert
pangkal paha 5. Feed back
awa,berlari atau Dengan kriteria
dan pinggul terhadap
hasil :
mengakat benda  Urine 4. Informasikan pasien
berat) merembes
kepada pasien
ketika
berkemih bahwa latihan
Data objektif:-  Sisa urin paska
ini akan efektif
berkemih >
Td Minor 100-200 ml jika di lakukan
 Infeksi saluran
6-12 minggu
kemih
Data subjektif : 5. Berikan umpan
1.pengeluaran balik positif
urin tidak tuntas selama latihan
2.urgenensi mikis dilakukan
3.frekuensi urin
meningkat

Data objektif :
1.overdistensi
abdomen
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan menahan kemih
dalam vesika urinaria yang bisa terjadi karena gangguan neurologis atau
mekanis pada sistem yang mengontrol fungsi berkemih normal (Isselbacher,
1999).
Etiologi, patofisiologi dan manifestasi klinis Inkontinensi Urin ada
beberapa macam berdasarkan jenisnya. Inkontinensi Urin dibagi menjadi
beberapa jenis berdasarkan golongannya, yakni Inkontinensia dorongan,
Inkontinensia tekanan, Inkontinensia aliran berlebih(overflow) dan
Inkontinensia fungsional.

4.2 Saran
Sebagai perawat tentunya kita harus melaksanakan asuhan
keperawatan yang tepat untuk menangani kasus urinary incontinency agar
nantinya tidak terjadi komplikasi lebih lanjut pada ginjal dan organ tubuh
yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai