PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
a. Tujuan umum
Menjelaskan Asuhan Keperawatan pasien dengan inkontnensia urin.
b. Tujuan khusus
1. Untuk memahami pengertian dari inkontinesia urine.
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari inkontinensia urin.
3. Untuk mengetahui etiologi inkontinensia urin.
4. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin.
5. Untuk mengetahui maninfestasi klinis inkontinensia urin.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan inkontinensia urin
BAB II
PEMBAHASAN
Kandung kemih terdiri dari dua bagian yaitu fundus dan leher kandung
kemih yang juga disebut uretra posterior. Mukosa kandung kemih dilapisi
oleh epitel transisional yang mengandung ujung-ujung saraf sensoris. Di
bawahnya terdapat lapisan submukosa yang sebagian besar tersusun dari
jaringan ikat dan jaringan elastin. Otot polos kandung kemih disebut otot
detrusor, membentuk lapisan di luar submukosa terdiri dari tiga lapisan
otot longitudinal di lapisan luar dan dalam serta otot sirkuler di bagian
tengahnya. Otot detrusor meluas ke uretra membentuk dinding uretra.
Pada lapisan ini ototnya banyak mengandung jaringan elastin (Junizaf
(2002) dalam Sinaga (2011)).
b. Uretra
Uretra merupakan tabung muskularis yang kompleks yang memanjang
dari batas bawah dasar kandung kemih. Panjang uretra berkisar antara 3-4
cm dengan dinding yang terdiri dari beberapa lapisan. Pada lapisan paling
luar adalah otot lurik spinkter urogenital yang juga dikenal dengan sebutan
otot lurik sirkuler, spinkter lurik, atau rhabdosphincter. Otot lurik ini
melingkari selapis tipis otot polos sirkuler yang juga melingkari otot-otot
polos longitudinal. Diantara otot polos dan mukosa terdapat submukosa
yang sangat kaya suplai vaskuler (Syukur (2010) dalam Sinaga (2011)).
2.2 Pengertian
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan menahan kemih
dalam vesika urinaria yang bisa terjadi karena gangguan neurologis atau
mekanis pada sistem yang mengontrol fungsi berkemih normal (Isselbacher,
1999).
The International Continence Society (ICS) medefinisikan
inkontinensia urin adalah keadaan dimana urin keluar secara involunter yang
tampak jelas dan obyektif dan menjadi masalah sosial dan hygiene. Secara
epidemiologi inkotinensia urin adalah adanya pengeluaran urin yang tidak
dapat dikontrol dalam jangka waktu setahun atau lebih dari episode dalam
sebulan (Sinaga, 2011).
Menurut Dmochowsky (2003) dalam Sinaga (2011) Stres
inkontinensia urin adalah pengeluaran urin yang tidak dapat dikontrol,
disebabkan oleh tekanan intravesika cenderung melebihi tekanan penutupan
uretra yang berhubungan dengan aktivitas tubuh (batuk, tertawa, aktivitas
fisik) sedangkan kandung kemih tidak berkontraksi.
3) Teori Integral
Teori ini menyatakan bahwa lemasnya dinding anterior vagina
menimbulkan aktivasi reseptor regang pada leher kandung kemih dan
uretra proksimal, sehingga memicu refleks mikturisi, dan menimbulkan
aktivitas detrusor. Lemasnya dinding vagina juga menimbulkan stres
inkontinensia urin karena hilangnya tekanan penutupan uretra (Daneshgari
& Moore, 2007).
4) Teori Hammock
Teori hammock menjelaskan bahwa uretra berada di atas lapisan
penyokong yang terdiri atas fasia endopelvik dan dinding vagina anterior.
Lapisan penyokong ini memperoleh stabilitas melalui perlekatannya di
bagian lateral dengan fasia arkus tendineus dan otot levator ani, sehingga
dapat disimpulkan dalam sebuah teori bahwa tekanan intraabdomen
diteruskan ke leher kandung kemih dan uretra proksimal, menutup lubang
keluar karena lubang ini tertekan kearah penyokong kaku yaitu fasia
puboservikal dan dinding anterior vagina (Daneshgari & Moore, 2007).
2.4 WOC
2.5 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dari inkontinensia urin dapat kita temukan berdasarkan jenisnya.
1. Inkontinensia stress
Inkontinensia stress adalah keluarnya urin secara tidak disadari selama
melakukan kegiatan yang meningkatkan tekanan intra abdominal, seperti
batuk. (Budi Iman Santoso, 2008)
2. Inkontinensia urgensi
Inkontinensia urgensi ialah IU yang disebabkan karena ketidakstabilan
otot destrusor idiopatik yang menyebabkan peningkatan tekanan
intravesika dan kebocoran urin sehingga klien tidak mampu untuk
menahan keluarnya urin dengan gambaran sering terburu-buru untuk
berkemih. (Budi Iman Santoso, 2008 dan Pierce A. Grace dan Neil R.
Borley, 2007)
3. Inkontinensia overflow
Inkontinensia overflow adalah hilangnya kendali miksi involunter yang
berhubungan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. (Budi Iman
Santoso, 2008) Kandung kemih terisi oleh urin dan menjadi sangat
membesar dengan menetesnya urin yang kostan, misalnya distensi
kandung kemih kronis akibat obstruksi (Pierce A. Grace dan Neil R.
Borley,2007)
4. Inkonrinensia detrusor
Inkonrinensia detrusor adalah IU total yang merupakan hilangnya kendali
miksi secara menetap dengan pengosongan kandung yang tidak lengkap
akibat gangguan kontraktilitas destrusor atau obstruksi kandung kemih.
Kebocoran urin biasanya sedikit dan volume residual pascakemih
(postvoid) biasanya meningkat. (Budi Iman Santoso, 2008)
2.6 Penatalaksanaan
Prinsip dasar penatalaksanaan pada inkontinensia urine adalah terapi perilaku,
pasien di anjurkan untuk segera ke kamar mandi jika ada perasaan berkemih.
(Harrison, 1999)
a. Peran perawat dalam hal ini yaitu untuk:
1) Pelatihan kandung kemih.
Menetukan edukasi, berkemih yang terjadwal. Tindakan menghambat
berkemih harus dilakukan sampai suatu waktu tertentu dan jumlah waktu
yang ditentukan in harus ditingkatkan secara progresif. Mulai dengan 2
sampai 3 jam dan tingkatkan. 12% pasien dapat menjadi kontinen total,
dan 75% dapat mengalami penurunan episode inkontinensia sebesar 50%.
Paling baik dilakukan pada inkontinensia dorongan, tetapi juga dapat
dilakukan ada inkontinensia tekanan.
2) Pelatihan kebiasaan
Dorong pasien utnuk berkemih disaat yang normalseperti dipagi hari,
sebelum tidur, setelah makan, dll.
3) Berkemih atas desakan/dorongan
Terutama baik bagi orang dengan gangguan koognitif. Menurunkan
episode inkontinensia sebesaar 50%
4) Latihan dasar panggul (senam kegel)
5) Terutama berguna pada inkontinensia tekanan. Angka kesembuhan 16%
dan 54% membaik.
6) Kateterisasi intermiten juga dapat digunakan
7) Menganjurkan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter untuk
penggunaan obat-obatan
8) Penkes mengenai bagaimana cara untuk mencegah inkontinensia urine:
Berhenti merokok, berolahraga secara rutin, jauhkan diri dari alkohol,
menjaga berat badan yang sehat dan menjaga diet tinggi serat.
b. Managemen Keperawatan Kolaboratif
1) Uji diagnostik
Diagnosis inkontinensia urine dapat ditentukan dengan berbagai
pemeriksaan urodinamik. Sistometrogram dan elektromiogram
dilakukan untuk mengevaluasi otot detrusor, sfingter, dan kegiatan
otot perineum. Ultrasonografi kandung kemih, sistoskopi, dan IVP
juga dapat dilakukan untuk mengkaji struktur dan fungsi saluran
kemih.
2) Medikasi
Obat yang diberikan sesuai dengan etiologi inkontinensia urine.
Beberapa obat yang digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Obat Kerja Intervensi
keperawatan
Estrogen Mengurangi atropik - Jelaskan risiko
Primarin vanigitis uretra dan pembekuan
Quinestradiol memulihkan uretra darah
Estriol yang supel - Pantau tanda
trombofiebitis
- Anjurkan untuk
tidak merokok
Antikolinergik Mengurangi
Pro-banthene spastisitas kandung
kemih
Oksibutinin
Bentyl
3) Pembedahan
Pada inkontinensia stres berat, pembedahan yang disebut
vesikouretropeksi (prosedur Marshall-Marchetti) dapat
dilaksanakan. Pada vesiko-uretropeksi fiksasi uretra pada fasia otot
rektus abdominis dengan sokongan pada leher kandung kemih.
Dokter melakukan insisi suprapubik. Kateter uretra dipasang dan
dipertahankan selama 5-6 hari paska operasi. Setelah kateter retra
dilepas, pasien dapat mengalami kesulitan untuk berkemih. Pasien
tidak boleh melakukan manuver Valsava sehingga obat laksatif
diberikan untuk mencegah konstipasi.
4) Diet
Modifikasi diet terdiri dari penjadwalan asupan cairan. Asupan
cairan setelah makan malam perlu dikurangi. Makanan yang dapat
menstimulasi kandung kemih perlu dihindari, misalnya kopi, teh,
alkohol, dan cokelat.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan bagian pertama untuk mengelola UI, dari pengkajian
kita dapat menyimpulkan penyebab utama UI dan menejemen yang tepat
untuk setiap klien.
1. Riwayat Kesehatan Klien
Pengkajian riwayat kesehatan pada pasien dengan UI meliputi :
a. Keluhan utama terkait dengan perasaan subjektif klien terhadap
masalah saat berkemih, ketidak mampuan menahan kencing,
kebocoran urin, penggunaan absorbent.
b. Storage Lower Urinary Symtoms (LUTS), untuk mengetahui ini
pertanyaan yang harus di jawab klien adalah berapa kali klien BAK
dalam satu hari, berapa lama klien dapat melakuka aktivitas antara
waktu berkemih.
c. Riwayat penyakit, operasi, gangguan obstetri dan ginekologi
d. Obat-obatan yang dikonsumsi
e. Kapan UI mulai terjadi, durasi atau lama mengalami UI
f. Kondisi yang memicu UI seperti batuk, mengejan, keinginan
berkemih yang kuat
g. Tanda gejala yang menunjukkan kemampuan penampungan bladder
seperti frequency, urgency, nocturia
h. Tanda gejala pada setiap berkemih seperti intermittency, pancaran
kencing lemah, tetesan urin pada akhir berkemih, mengejan
i. Riwayat psikologi dan Sosial, dalam pengkjian ini fungsi seksual juga
menjadi unsur yang harus dikaji pada klien untuk mengetahui
kemungkinan kebocoran uring saat melakukan hubungan seksual
(Chin, 2001).
2. Pengkajian Fisik
a. Pengkajian umum dan kemampuan fungsional, kemampuan
fungsional meliputi kemampuan klien untuk melakukan mobilisasi,
kesadaran dan ketangkasan. Metode yang dapat digunakan untuk
menguji klien adalah dengan meminta klien berjalan dari meja
periksa ke tempat tidur, meminta klien berkemih untuk pemeriksaan
spesimen urin.
b. Lakukan pengkajian untuk melihat adanya abnormalitas yang
berpengaruh langsung terhadap UI
c. Pengkajian Kekuatan otot pelvis, tujuan pemeriksaan ini adalah untuk
melihat fungsi neuromuskular dan kemampuan otot dasar panggul
yang sangat berperan saat berkemih. Metode yang digunakan adalah
dengan meminta klien mengkontraksikan dan merilekskan bagaian
otot dasar panggul. Pengkajian ini juga dapat dilakukan dengan
komputer yaitu dengan elektomyography dan pemeriksaan tekanan
dengan menggunakan Probe yang sensitif dengan memasukkan
probe pada vagina atau rektal dan meminta klien untuk
mengkontraksikan otot dasat panggul kekuatan normalnya adalah
antara 35-42 cm H2O (Hay-Smith et al. 2002).
d. Pengkajian terhadap kulit sekitar perineal untuk melihat adanya lesi
atau ekskoriasi terkait dengan seringnya kebocoran berkemih.
e. Pengkajian rektal, pada wanita kepentingan pengkajian rektal untuk
memvalidasi penyebabk terjadinya UI yaitu mengkaji adanya massa
atau tumor. Sedangkan pada laki-laki digital rektal examibation
(DRE) berfungsi untuk mengetahui adanya massa atau pembesaran
prostat (Chin, 2001).
3. Observasi kebocoran urin secara langsung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta klien untuk batuk saat
bladder dalam keadaan penuh sehingga dapat diamati terjadinya UI.
Kebocoran urin saat batuk dapat diamati pada saat klien dalam posisi
supine atau berdiri.
4. Mengukur volume residu bladder Pengukuran dilakukan setelah klien
berkemih atau Post Voided Residual (PVR) dengan mengeluarkan sisa
urin dengan menggunakan kateter atau dengan menggunakan scan
bladder. Residu bladder normal adalah kurang dari 50 ml, residu yang
lebih dari 100 ml menunjukkan adanya
pengosongan bladder ang tidak adekuat (Hocking, 1999)
5. Voiding Diary (Bladder Chart) Voiding diary sangat penting untuk
mencatat pola eliminasi urin dan pola kebocoran urin. Voiding diary
harus dilakukan pada klien yang sedang dalam perawatan UI. Terdapat
berbagai macam bentuk voiding diary, penggunaannya tergantung pada
informasi yang diinginkan saat pengkajian, kemampuan dan kepatuhan
klien untuk mengisi. Semakin detail dan lengkap isi diary maka data
yang didapat semakin akurat namun biasanya klien merasa lebih rumit
dalam pengisian dan menjadi tidak patuh dalam mengisi voiding diary.
Voiding diary sebaiknya berupa catatan yang mudah dibawa klien
dalam setiap aktivitas. Pencatatan dilakukan antara 7-14 hari sehingga
dapat memberikan hasil yang reliabel. Dalam beberapa praktik yang
dilakukan pencatatan selama 1-3 hari cukup untuk merekam masalah UI
pada. Dalam beberapa voiding diary selain waktu berkemih dan
kebocoran urin, intake cairan klien juga dicatat sebagai data dasar
mengukur kapasitas bladder dan jumlah intake cairan per 24 jam klien
(Gray & Moore dalam Doughty,2006).
Tabel 1. Contoh voiding diary untuk melihat fungsi dan kapasitas
Bladder:
Waktu Jumlah Urin Kebocoran Konsumsi
Jumlah
BOCOR
BAK
BOCOR
BAK
BOCOR
BAK
BOCOR
6. Tes Laboratorium
a. Urinalysis
Urinalisis merupakan pemeriksaan yang esensial untuk klien dengan
UI. Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui substansi yang terdapat
dalam urin yang dapat berhubungan UI seperti darah, glukosa,
pus,bakteri,protein. Pemeriksaan lain yang harus disertakan untuk
menyingkirkan adanya infeksi saluran kemih adalah kultur urin
(Chan, 1999).
b. Pemeriksaan serum
Pemeriksaan serum darah diindikasi untuk melihat adanya
komplikasi sistemik. Seperti kemungkinan terjadinya peningkatan
BUN dan Ureum Creatinin pada klien dengan obstruksi dan
memiliki komplikasi hidronefrosis (Chan, 1999).
7. Pengkajian efek UI pada Quality Of Life (QOL)
Pengkajian efek UI terhadap QOL klien dapat direkam dengan
menggunakan berbagai instrument pengkajian Incontinence Impact
Quostionare (IIQ) dikelurakan oleh Kennedy (1992), instrumen ini
sudah mengalami beberap revisi. Instrumen yang lain UDI (Urogenital
distress Inventory) berisi 19 pertanyaan yang terkait dengan 1)
hubungan LUTS dengan Overactive Bladder; 2) hubungan LUTS denga
Stress UI; 3) hubungan ketidaknyamanan pada saat berkemih dan kodisi
Pelvis. Instrumen yang sering digunakan adalah International Prostate
Symtom Score (IPPS), instrumen ini disusun untuk mengetahui sejauh
mana klien BPH mengalami perubahan pola urinasinya bukan untuk
mengetahui derajat pembesaran prostat. Pada beberapa kasus IPPA
dapat digunakan pada wanita.
8. Pengkajian lingkungan dan Fasilitas
Pengkajian fasilitas terkait dengan kemudahan klien mencapai
toilet,pencahayaan, kondisi lantai, alat bantu klien untuk mencapai
tempat tidur. Fasilitas yang dapat dikaji adalah ketersediaan alat bantu
UI seperti Absorbent, kateter, padding dan penggunaan urinal
(Kennedy, 1992).
9. Urodinamik adalah pemeriksaan untuk melihat
transportasi,penyimpanan dan eliminasi urin pada saluran kemih bagian
tengan atau bawah.
10.Endoskopi dan Pencitraan
Endoskopi untuk melihat kemungkinan adanya tumor epitel, divertikel
yang dapat menyebabkan sumbatan pada saluran kemih.
b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai
berikut:
1. Inkontensia fungsional bd.ganguan mobilitas
2. Inkontensia refleks bd. kerusakan konduksi implus diatas level arkus
refleks.
3. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis
c. INTERVENSI
Data objektif:-
Data objektif :
1.overdistensi
abdomen
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan menahan kemih
dalam vesika urinaria yang bisa terjadi karena gangguan neurologis atau
mekanis pada sistem yang mengontrol fungsi berkemih normal (Isselbacher,
1999).
Etiologi, patofisiologi dan manifestasi klinis Inkontinensi Urin ada
beberapa macam berdasarkan jenisnya. Inkontinensi Urin dibagi menjadi
beberapa jenis berdasarkan golongannya, yakni Inkontinensia dorongan,
Inkontinensia tekanan, Inkontinensia aliran berlebih(overflow) dan
Inkontinensia fungsional.
4.2 Saran
Sebagai perawat tentunya kita harus melaksanakan asuhan
keperawatan yang tepat untuk menangani kasus urinary incontinency agar
nantinya tidak terjadi komplikasi lebih lanjut pada ginjal dan organ tubuh
yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA