Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) adalah istilah umum yang

menjelaskan berbagai gejala saluran kemih bagian bawah. Lower Urinary

Tract Symptoms (LUTS) merupakan kompleks gejala yang terjadi akibat

penekanan atau obstruksi pada urethra. Menurut International Continence

Society (ICS), LUTS memberikan gejala obstruksi dan gejala iritasi. Banyak

faktor yang dapat menyebabkan LUTS, salah satunya ialah hiperplasia prostat

jinak (BPH). Hiperplasia prostat jinak didefinisikan sebagai proliferasi sel

stroma pada prostat yang menyebabkan pembesaran pada kelenjar prostat

(ICUD, 2012).

LUTS merupakan masalah umum, terutama bagi pria usia lanjut. LUTS yang

memberikan keluhan berupa sulit memulai miksi, pancaran miksi yang lemah,

miksi terputus-putus, dan sering miksi dimalam hari dapat berdampak negatif.

LUTS dapat memberikan efek negatif untuk kesehatan sehubungan dengan

kualitas hidup penderita dan membutuhkan biaya perawatan kesehatan yang

tinggi. Banyak faktor yang dapat menyebabkan LUTS pada pria. Salah satu

penyebab yang paling sering menyebabkan LUTS pada pria lanjut usia adalah

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), yang BPH merupakan istilah


histopatologi yang digunakan untuk menggambarkan adanya pembesaran

prostat. BPE merupakan pembesaran prostat jinak yang tidak menyebabkan

penyumbatan pada saluran kemih, sedangkan BPO merupakan pembesaran

prostat jinak yang dapat menyebabkan penyumbatan pada saluran kemih. BPO

ini adalah contoh dari Bladder Outlet Obstruction (BOO). BOO dapat

mengganggu aliran urin dan mempunyai peranan penting terjadinya retensi

saluran kemih, infeksi saluran kemih, batu kandung kemih, hidronefrosis atau

gagal ginjal. BOO juga berhubungan dengan disfungsi kandung kemih

termasuk detrusor overactivity, detrusor underactivity dan hipersensitifitas

kandung kemih (Sampekalo et. al, 2015).

Gambar 1. Contoh penyebab LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms)

4
2.2 Epidemiologi

Menurut survei Kesehatan Masyarakat di Boston (In Boston Area

Community Health survey), kejadian LUTS meningkat dari 8% pada pria

dengan usia 30-39 tahun hingga 35% usia 60-69 tahun, 56% usia 70-79 tahun,

70% usia 80-89 tahun dan mencapai 90% pada pria dengan usia 90

tahun.Telah dilaporkan bahwa 90% dari pria yang berusia 50 sampai 80 tahun

menderita LUTS dengan prevalensi gejala penyimpanan meningkat 3% pada

pria yang berusia 40 hingga 44 tahun dan menjadi 42% pada mereka dengan

usia diatas 75 tahun. Satu studi menemukan bahwa prevalensi nokturia pada

pria dengan usia di atas 85 tahun adalah sekitar 69% dibandingkan dengan

49% pada wanita. Di Amerika Serikat hampir 1/3 laki-laki berusia 40-79

tahun memiliki gejala LUTS sedang sampai berat dengan penyebab utama

adalah Hiperplasia Prostat (Sampekalo et. al, 2015).

Penduduk Indonesia yang berusia tua jumlahnya meningkat, diperkirakan

sekitar 5% atau kiria-kira 5 juta pria di Indonesia berusia 60 tahun lebih dan

2,5 juta pria diantaranya menderita LUTS akibat hiperplasia prostat yang

mempengaruhi kualitas hidup pada hampir 1/3 populasi pria berusia > 50

tahun (Sampekalo et. al, 2015).

Gejala-gejala LUTS dibagi menjadi gejala iritatif dan gejala obstruktif.

1. Gejala iritatif

a. Urinary frequency, yaitu adanya peningkatan frekuensi micturition

lebih banyak dari biasanya.

b. Nocturia, yaitu bangun di malam hari untuk buang air kecil.

5
c. Dysuria, yaitu adanya perasaan sakit ketika buang air kecil.

d. Incontinence, yaitu ketidakmampuan untuk menahan buang air kecil.

2. Gejala obtruktif

a. Decreased force of urination, yaitu berkurangnya kekuatan pancaran

urine ketika buang air kecil.

b. Urinary hesitancy,yaitu ketidakmampuan untuk memulai buang air

kecil.

c. Intermittency,yaitu buang air kecil dalam volume yang sedikit-sedikit.

d. Terminal dribbling,yaitu adanya tetesan ketika akan mengakhiri buang

air kecil.

e. Straining,yaitu mengejan ketika akan buang air kecil agar urine bisa

keluar (ICUD, 2012).

2.3 Faktor resiko

Faktor risiko LUTS, antara lain:

1. Usia dan gaya hidup

LUTS telah lama dikaitkan dengan perubahan usia (aging). Namun dapat

ditemukan beberapa faktor yang dapat dimodifikasi didalamnya. Aktivitas

fisik yang rutin dapat menurunkan angka kejadian simtomp LUTS.

Obesitas abdominal dan berat badan lahir rendah dapat meningkatkan

resiko terjadinya LUTS.

2. Inflamasi

Inflamasi dapat memicu terjadinya patogenesis LUTS. Adanya marker

inflamasi mungkin dapat menjadi faktor risiko objektif terjadinya LUTS.

6
3. Hormonal

Ditemukan adanya hubungan antara pengaruh testosteron dengan LUTS.

Namun , hal ini belum dapat dibuktikan sepenuhnya

4. Disfungsi Ereksi

5. Genetik (ICUD, 2012; Sampekalo et. al, 2015).

2.4 Klasifikasi

Komponen LUTS dibagi menjadi dua, yaitu komponen obstruktif dan iritatif.

Obstruktif, dibagi lagi menjadi:

 Mekanikal. Terjadi akibat adanya intrusion ke urethral lumen atau

bladder neck.

 Dinamik. Terjadi karena adanya stimulasi autonomic ke prostate

stroma yang kaya akan adrenergic nerve supply yang akan

menghasilkan tonus ke prostatic urethra.

Iritatif, Terjadi karena adanya respons sekunder dari kandung kemih karena

peningkatan outlet resistance sehingga terjadi hipertrofi dan hyperplasia

detrusor muscle yang mengakibatkan terjadi mucosal herniation antara

detrusor muscle bundle sehingga membentuk diverticula (ICUD, 2012).

2.5 Symptoms dari LUTS

2.5.1 Storage Symptoms

Storage symptoms dialam selama fase penyimpanan urin dalam

kandung kemih, termasuk peningkatan frekuensi kencing dan nokturia

(Kwon, 2012).

7
 Increased daytime urinary frequency

Merupakan peningkatan frekuensi BAK pada siang hari, atau

sering disebut dengan polakisuria

 Nocturia

Nokturia merupakan keluhan dimana seseorang terbangun satu

atau beberapa kali pada malam har untuk berkemih

 Urgency

Urgensi adalah timbulnya dorongan mendesak secara tiba-tiba

untuk berkemih yang sulit untu ditunda

 Urinary incontinence

Inkontinensia urin merupakan keluhan dari kebocoran urin

tanpa disengaja. Dalam setiap situasi, inkontinensia urin harus

dijelaskan lebih lanjut dengan menentukan factor-faktor yang

relevan seperti jenis, frekuensi, tingkat keparahan, factor

presipitasi, dampak sosial, dll.

 Stress Urinary Incontinence

Stress UI merupakan keluhan kebocoran yang tidak disengaja

saat ada usaha atau tenaga ketika bersin dan/atau batuk

 Urgency Urinary Incontinence

Urgensi UI adalah keluhan kebocoran tanpa disengaja disertai

atau didahului oleh urgensi

 Mixed Urinary Incontinence

UI campuran adalah keluhan kebocoran tanpa disengaja yang

terkait dengan urgensi, dan tenaga/usaha saat bersin dan batuk.

8
 Enuresis

Enuresis adalah keluarnya urin tanpa disengaja.

 Nocturnal enuresis

Enuresis nokturnal merupakan isilah untuk menunjukan

keluarnya air kemih yang terjadi saat tidur. Hal tersebut

penting, meskipun jarang, pada pria yang lebih tua, arena hal

ini dapat mengindikasikan retensi kronis tekanan tinggi

 Continuos Urinary Incontinence

Keluhan kebocoran terus menerus, hanya diteman setelah

prostatektomi (Kwon et. al, 2012)

Patofisiologi Urgency detrusor overavctivuty andoveractve bladder

Dibawah ini merupakan beberapa teori yang berkaitan dengan

patofisiologi Overactivity Bladder (OAB), Detrusor Overactivity

(DO), dan urgensi. Beberapa hal tersebut berpotensi relevan terhadap

kejadian BPH, BPE, dan/atau BPO.

Neurogenik

Menghambat suprapontine inhibition, kerusakan jalur aksonal pada

spinal chord, kehilangan inhbisi perifer, peningkatan input lower

urinary tract afferent, dan/atau meningkatkan rangsangan

neurotransmisi jalur reflek mikturisi.

Miogenik

Obstruksi parsial menyebabkan denervasi detrusor berkepanjangan,

peningkaanspontan potensial aksi dan aktivitas, dan peningkatan

9
peningkatan konduksi sel yang memungkinkan aktivitas fokal kecil

menyebar secara lokal menimbulkan kontraksi dinding kandung

kemih, meningkatkan tekanan intravesikal, dan/atau menstimulasi

reseptor sensoris

Struktural

Overaktiftas detrusor telah dilaporkan berhubungan dengan

ultrastructural yang berbeda (mikroskop eletktron) yang dikenal

dengan disjungsi komplit. Hal ini dihipotesiskan terjadi seiring

dengan penuaan pada beberapa individu dan bertanggung jawab

terhadap terjadinya overaktifitas detrusor tanpa penyumbatan

Gangguan Aliran Darah Detrusor

Gangguan aliran darah di kandung kemih yang disebabkan oleh

overdistensi kandung kemih berhubungan dengan Bladder Outlet

Obstruction (BOO). Iskemia kandung kemih kronis yang disebabkan

oleh trauma pada arteri iliaka, meningkatkan aktifitas dan respon

carbachol-induced kontraktil dari otot polos detrusor (ICUD,2012)..

2.5.2 Voiding Symptoms

Istilah voiding symptoms mengacu pada gejala yang dialami oleh

pasien selama berkemih, seperti slow stream, splitting or spraying of

the stream, intermitensi, hesitansi, sulit untuk memulai ata

mengendalikan aliran urun, serta terminal dribble. Istilah-istilah gejala

obstruktif dan prostatismeterkadang masih dislahgunakan, naman

10
dalam terminology modern, terminology dalam voiding symptoms

sebagai bagian dari LUTS harus digunakan (Djulbegovic, 2010).

Perbedaan harus dibuat antara storage symptoms dan voiding

symptoms, yang pada akhirnya berhubungan dengan waktu saat urin

dievakuasi. Terdapat korelasi yang tidak signifikan antara voiding

symptoms dan obstruksi, sehingga dianjurkan untuk tidak menyebukan

lagi gejala tersebut dengan gejala obstruktif. Istilah gejala

pengosongan sama dengan gejala voiding. Gejala pengosongan dapat

dikaitkan dengan BOO, gangguan kontraksi detrusor, atau kombinasi

keduanya (Djulbegovic, 2010; Kwon, 2012).

Pada kebanyakan pasien, tidak mungkin menghubungkan gejala

terhadap mekanisme patofisiologi atau temuan urodinamik. Untuk

terminologi penilaian urodinamik objektif, signifikan secara statistik

namun tidak signifikan secara klinis. Korelasi antara gejala dan

parameter urodinamik dari obstruksi hanya dapat digunakan untuk

gejala hesitansi dan pancaran lemah (ICUD, 2012).

Post-void dribble sangat umum terjadi pada laki-laki tanpa masalah

prostat yang sedikit mendiskriminasi. Hal tersebut tidak termasuk ke

dalam voiding symptoms, melainkan termasuk ke dalam perasaan

tidak puas setelah urin keluar (gejala post-mikturisi). Gejala

penyempitan memliki relasi yang kecil dengan obstruksi. Secara

11
umum, dalam sebagian besar literatur yang relevan bahwa gejala

pengosongan LUTS tidak dapat diprediksi dengan gambaran patologi

(Kwon, 2012).

Kurangnya signifikansi paa voiding symptoms tidak mengejutkan,

karena pada kasus yang terbatas pada kapasita kandung kemih, gejala

pengosongan dapat menjadi konsekuensi dari jumlah urin yang

sedikit. Pada pasien dengan detrusor overactivity, kontraksi involunter

yang tertekan dapat menyebabkan gejala pengosongan akibat dari

ketidakmampuan otot polos detrusor untuk berkontraksi secara umum

uuntuk mengosongkan kandung kemih. Misalnya, pada kasus urin

dengan pancaran yang lemah akibat dari volume pengosongan yang

sedikit (Djulbegovic, 2010).

2.5.3 Post-micturition symptoms

Gejala post-mikturisi merupakan gejala yang dialami pasien segera

setelah pasien berkemih, seperti perasaan tidak puas dan post

micturition dribble. Meski terminology baru telah mendefinisikan

gejala post-mikturisi, secara keseluruhan penelitian urologi sampai

saat ini berfokus pada storage atau voiding symptoms. Gejala post-

mikturisi hanya mendapat sedikit perhatian(Djulbegovic, 2010).

Perasaan pengosongan yang tidak lengkap adalah istilah yang jelas

untuk perasaan yang dialami oleh seorang individu setelah BAK.

12
Gejala ini dianggap sebagai gejala penyimpanan atau pengosongan

sebelum dikategorikan kedalam gejala post-mikturisi pada ICS

terminology report tahun 2002.

Post-micturition dribble merupakan istilah yang digunakan saat

seseorang mengeluarkan urin dengan tanpa disengaja segera setelah

individu tersebut BAK, biasanya menetes di pakaiannya setelah keluar

dari toilet. Gejala ini dianggap sebagai gejala pengosongan sebelum

dikategorikan pada ICS terminology report tahun 2002.

Sedikit penelitian yang menyelidiki patofisiologi dari gejala post

mikturisi. Pada laki-laki, kelainan organik pada uretra, seperti striktur

uretra dan kelainan katup uretral yang berhubungan dengan gejala

post-micturition dribble atau inkontinensia post micturition. Penyebab

gejala fungsional tersebut sulit ditemukan dalam banyak kasus.

2.6 Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Tanyakan keluhan utama pasien dan berapa lama keluhan telah dirasakan

mengganggu. Seluruh gejala iritasi dan obstruksi perlu ditanyakan secara

lengkap. Tanyakan pula riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran

urogenital. Obat obatan tertentu dapat menyebabkan keluhan miksi. Alat

diagnostik yang luas digunakan untuk menilai gejala pada penderita BPH

adalah sistem skor yang dikeluarkan oleh WHO dengan nama International

Prostate Symptom Score (IPSS) (Oelke et. al; 2013).

13
Gambar 2. Skoring IPSS

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan colok dubur.

Colok dubur merupakan pemeriksaan yang sangat penting pada kasus BPH.

Pelaporan yang dilakukan adalah adanya pembesaran prostat, konsistensinya,

dan ada/tidaknya nodul. Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan regio

suprapubik untuk menilai distensi vesika dan fungsi neuromuskular

ekstremitas bawah (Samsuhidajat et. al, 2010).

14
2.7 Pemeriksaaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam menentukan LUTS yaitu:

1. Prostat spesific antigen (PSA), bersifat spesifik organ tetapi tidak spesifik

kanker. Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk menilai bagaimana

perjalanan penyakit BPH selanjutnya. Kadar PSA yang lebih tinggi dapat

berarti laju pertumbuhan volume prostat yang lebih cepat, keluhan akibat

BPH lebih berat, atau lebih mudah terjadi retensi urine akut. Rentang

normal nilai PSA adalah :

- 40-49 th : 0-2,5 ng/mL

- 50-59 th : 0-3,5 ng/mL

- 60-69 th : 0-4,5 ng/mL

- 70-79 th : 0-6,5 ng/mL

2. Flowmetri : Qmax ( laju pancaran urin maksimal) turun, biasanya < 15 cc.

3. USG/kateter untuk menilai volume urine residual.

4. Transrectal / Transabdominal Ultrasonografi : mengukur volume prostat

dan menemukan gambaran hipoekoik.

5. Pemeriksaan atas indikasi : intravenous pyelografi (IVP) dan sistogram

(Samsuhidajat et. al, 2010).

2.8 Penatalaksanan

Menurut ICUD (2012) penatalaksanan LUTS dapat secara non-farmakoterapi

dan farmakoterapi. Dalam penalaksanaan LUTS secara non- farmakologi

dapat melalui Modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup dapat membantu

memperbaiki LUTS. Hal-hal yang dapat dilakukan seperti mengurangi

15
minum dalam 2-6 jam sebelum pergi tidur, biasakan BAK sebelum tidur,

hindari penggunaan kafein dan alkohol, serta elevasi lutut sebelum tidur.

Penatalaksanaan secara farmakoterapi:

5-alpha reductase inhibitors (5ARIs)

Laki-laki dengan LUTS yang umumnya terdapat pada pasien BPH dapat

dibantu dengan penggunaan 5ARIs. 5-alpha reductase inhibitors bekerja

dengan menurunkan volume prostat dan menurunkan “prostatic urethral

resistance”. 5ARI merupakan pilihan penatalaksanaan yang tepat dan efektif

untuk pria yang mengalami LUTS/BPH dengan pembesaran prostat yang

nyata.

5α-reductase inhibitor (5ARI) merupakan suatu jenis senyawa yang dapat

memblok proses konversi hormon steroid utama pada pria testosterone (T)

menjadi dihydrotestosterone (DHT). Proses konversi ini dapat terjadi karena

adanya enzim 5AR, yang terdiri atas dua jenis isoenzim, yakni tipe I dan tipe

II. Hormon T dan DHT berikatan pada AR, namun DHT memiliki afinitas

yang lebih besar sehingga DHT dianggap lebih poten jika dibandingkan

dengan hormon T. Komplesk T/DHT-AR yang berada pada inti sel prostat,

dapat menginisiasi mekanisme transkripsi dan translasi sehingga hal tersebut

akan mempromosikan pertumbuhan sel dan pada akhirnya akan

mengakibatkan BPH jika tidak terjadi keseimbangan antara pertumbuhan dan

apoptosis (kematian seluler fisiologis).

Ada 2 jenis 5ARI yang sering digunakan dalam pengobatan, yakni finasteride

dan dutasteride. Finasteride merupakan obat yang selektif menghambat 5AR

16
tipe II. Dengan dosis 5 mg/hari, obat ini dapat menurunkan kadar DHT

plasma sebesar 60%-70% dan kadar DHT prostat hingga sebanyak 85%.

Dutasteride berbeda dengan finasteride, karena obat ini dapat memblok 5AR

tipe I dan II. Sehingga dutasteride dapat menurunkan kadar DHT sirkulasi

hingga 90-95%. Efek samping kedua obat tersebut adalah penurunan libido,

disfungsi ereksi, penurunan volume ejakulasi, dan ginekomastia.

Selective Alpha-1 adrenergic antagonists

Selective Alpha-1 adrenergic antagonists bekerja pada relaksasi otot polos

vesika urinaria dan uretra pars prostatika, serta menurunkan BOO (bladder

outlet obstruction). Namun penggunaannya dapat menyebabkan hipotensi

ortostatik, pusing kepala, dan ejakulasi retrogard. Penggunaannya pun

tergantung pada indikasi medis dan finansial pasien. Pada pasien dengan

gejala nokturia, Selective Alpha-1 adrenergic antagonists dapat menjadi salah

satu pilihan terapinya karena dapat menurunkan episode nokturia pada pasien

dengan LUTS. Contoh Selective Alpha-1 adrenergic antagonists adalah

Alfusozin, doxazosin, naftopidil, silodosin, tamsulosin, dan terasozin.

Antikolinergik

Penggunaan obat antikolinergik dalam mengatasi BPH didasarkan atas LUTS

termasuk gejala over-active bladder (OAB) seperti frekeunsi, urgensi, dan

inkontinensia. Gejala OAB dapat timbul karena overaktivitas detrusor (DO),

yang terinduksi oleh obstruksi pintu keluar buli-buli. DO dianggap

berkontribusi pada gejala 40-70% pasien yang mengalami obstruksi pintu

17
keluar bul—buli. Kontraksi buli-buli distimulasi oleh aksi asetilkolin pada

reseptor muskarinik di otot polos buli-buli. Antikolinergik seperti tolterodine,

flavoxate, propiverine, dan oxybutynin telah digunakan secara luas untuk

mengatasi gejala OAB pada wanita.

Phosphodiesterase Type 5 Inhibitors

Penggunaan phosphodiesterase type 5 (PDE5) inhibitor untuk mengatasi

LUTS yang diakibatkan oleh BPH. Mekanisme kerjanya kemungkinan

berhubungan erat dengan nitric oxide (NO) dan cyclic guanosine

monophosphate (cGMP). Sistem NO/cGMP secara umum memiliki efek

inhibisi terhadap traktus urinarius inferior. Selain itu, pria penderita BPH

memiliki kecenderungan penurunan relaksasi otot polos prostat yang

dimediasi oleh NO. PDE5 inhibitor bekerja dengan cara meningkatkan kadar

cGMP dan NO. Sejumlah isoform PDE terdapat pada prostat, buli-buli, dan

urethra. PDE5 inhibitor dapat mengatasi LUTS dengan cara bekerja pada

organ-organ yang mengandung PDE. Penelitan telah menunjukkan bahwa

penggunaan sildenafil dan tadalafil dapat memperbaiki International Prostate

Symptom Score (IPSS) dan fungsi ereksi.

Kombinasi Terapi

Pengunaan terpai kombinasi 2 obat dapat mengakibatka peningkatan

efektivitas dari obat tersebut. Percobaan MTOPS (Medical Therapy of

Prostatic Symptoms )merupakan penelitian yang pernah dilakukan untuk

mengevaluasi terapi kombinasi α-bloker dan 5ARI. Percobaan ini

18
menemukan bahwa terapi kombinasi (finasteride dan doxazosin) dapat lebih

menurunkan progresivitas BPH jika dibandingkan dengan terapi tunggal.

Progresivitas BPH diketahui jika terjadi peningkatan skor IPSS sebanyak 4

poin dari nilai awal, terjadi retensi urin akut, insufisiensi ginjal, infeksi

traktus urinarius berulang atau inkontinensia. Resiko progresivitas BPH dapat

diturunkan sebanyak 39% pada kelompok doxazosin, 34% pada kelompok

finasteride, dan 66% pada kelompok terapi kombinasi. Selain itu, resiko

retensi urin dan kebutuhan bedah BPH dapat diturunkan pada kelompok yang

mendapat terapi tunggal finasteride dan pada kelompok terapi kombinasi.

Penelitian lain mengenai kombinasi terapi dilakukan pada PDE5 inhibitor dan

α-bloker dengan membandingkan khasiat alfuzosin, sildenafil, dan terapi

kombinasi alfuzosin-sildenafil. Hasilnya menunjukkan bahwa terapi

kombinasi dapat memberikan lebih banyak perbaikan terhadap gejala LUTS

(mencapai 24,1%) jika dibandingkan dengan terapi tunggal alfuzosin (15,6%)

dan sildenafil (11,8%) (ICUD, 2012).

19

Anda mungkin juga menyukai