Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH INKONTENENSIA URINE

Disusun oleh :

Baharudin Malik

NIM : 111 STYC20

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT SEKOLAH TINGGI


ILMU KEPERATAWATAN YARSI MATARAM PROGRAM KHUSUS TRANSFER S1
KEPERAWATAN TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan
pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia
lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat
berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali
lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah.
Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi
tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua
Beberapa perubahan berkaitan dengan lanjut usia dan keadaan patologik yang sering
terjadi pada lanjut usia daapat mendukung terjadinya inkontinensia. Inkontinensia urin
mempunyai kemungkinan besar untuk sembuhkan terutama pada penderita dengan mobilitas
dan status mental yang cukup baik. Bahkan bila tidak dapat diobati sempurna, inkontinensia
selalu dapat diupayakan lebih baik, sehingga kualitas hidup penderita dapat ditingkatkan dan
meringankan beban yang ditanggung oleh mereka yang merawat penderita.
Umumnya penderita usia lanjut merasa segan dan malu untuk membicarakan
inkontinensia yang mereka derita, adalah penting untuk terus memantau gejala ini.

B. TUJUAN
1. Setelah menyelesaikan tugas keperawatan gerontik diharapkan mahasiswa dapat memahami
asuhan keperawatan pada lansia.
2. Setelah menyelesaikan tugas keperawatan gerontik diharapkan mahasiswa dapat memberikan
asuhan keperawatan pada lansia dengan inkontinensia urine.
3. Setelah menyelesaikan tugas keperawatan gerontik diharapkan dapat menambah pengetahuan
bagi mahasiswa tentang penanganan pada lansia dengan gangguan inkontinensia urine.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang
cukup banyak,sehingga dapat dianggap merupakan masalah bagi seseorang.

B. ETIOLOGI
Inkontinensia urine pada umumnya disebabkan oleh komplikasi dari penyakit seperti
infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter dan perubahan tekanan yang tiba-tiba pada
abdominal.

C. KLASIFIKASI
Inkontinensia urine di klasifikasikan menjadi 3 ( Charlene J.Reeves at all )
1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toiletsehingga berkemih tidak
pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urinumumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi
yang menghambat mobilisasi pasien dapatmemicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau
memburuknya inkontinensiapersisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.Resistensi
urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pulamenyebabkan inkontinensia urin. Keadaan
inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitisdan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin.
Konstipasi juga seringmenyebabkan inkontinensia akut.Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat
memicu terjadinyainkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena
dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinyainkontinensia urin nokturnal.
Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinyainkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker,
agonist adrenergic alfa, analgesicnarcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.Untuk mempermudah
mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapatdilihat akronim di bawah ini :
- Delirium
- Restriksi mobilitas, retensi urin
- Infeksi, inflamasi, Impaksi
-Poliuria, pharmasi
2. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputianatomi, patofisiologi dan
klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinislebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi
dan intervensi klinis.Kategori klinis meliputi :
a) Inkontinensia urin stress
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, sepertipada saat batuk, bersin atau
berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnyaotot dasar panggul, merupakan penyebab tersering
inkontinensia urin pada lansia dibawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada
laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral danradiasi. Pasien mengeluh
mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri.Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
b) Inkontinensia urin urgensi
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih.Inkontinensia urin jenis ini
umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah
neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson,
demensiadan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toiletsetelah timbul
keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensiaurin. Inkontinensia tipe urgensi ini
merupakan penyebab tersering inkontinensia padalansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi
adalah hiperaktifitasdetrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksiinvolunter
tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Merekamemiliki gejala seperti inkontinensia
urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karenaitu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat
menyerupai ikontinensia urintipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.
3. Inkontinensia Aliran Yang Berlebihan ( Over Flow Inkontinensia )
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang
berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor
neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau
tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya
mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

4. Inkontinensia urin fungsional


Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat
faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah
muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar
mandi, dan faktor psikologis. Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan
berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin.
Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.
Walaupun begitu, bebrapa perubahan – perubahanberkaitan dengan bertambahnya usia, dan
faktor – faktor yang sekarang timbul sebagai akibat seorang menjadi lanjut usia dapat
mendukung terjadinya inkintinensia (kane,dkk). Faktor – faktor yang berkaitan dengan
bertambahnya usia antara lain :
a. Mobilitas yang lebih terbatas karena menurunnya panca indra dan kemunduran system
lokomosi.
b. Kondisi – kondisi medic yang patologik dan berhubungan dengan pengaturan urin, misalnya
pada penyakit DM, gagal jantung kongestif.

D. MANIFESTASI KLINIK
1. Urgensi
2. Retensi
3. Kebocoran urine
4. Frekuensi

E. PATOFISIOLOGI
Inkontinensia urine bisa disebabkan oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi
saluran kemih, kehilangan kontrol spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen
secara tiba-tiba. Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau
bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah dapat
berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine dapat terjadi pada
pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari merupakan masalah bagi lanjut usia.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSA
1. Pengkajian fungsi otot destrusor
2. Radiologi dan pemeriksaan fisik ( mengetahui tingkat keparahan / kelainan dasar
panggul )
3. Cystometrogram dan elektromyogram
4. Laboratorium : Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk
menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
5. Kultur Urine
a.Steril
b.Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml)
c.Organisme.
6. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakanuntuk mencatat waktu
dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan
inkontinensia urin. Pencatatan polaberkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat
digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena
dapatmenyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.

G. PENATALAKSANAAN MEDIK
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat
dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik
yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula
waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin,
seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi.
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti
Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada inkontinensia stress
diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik
antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non
farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya
memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
5. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia
urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia
urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan
bedpan.
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN
( INKONTINENSIA URINE )

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas
65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan lansia laki-
laki juga beresiko mengalaminya.

2. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah
frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres,
ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran
jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin
berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
b) Riwayat kesehatan klien
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat
urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius,
pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan
apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

3. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya
inkontinensia
Pemeriksaan Persistem :
• B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun.
kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
• B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
• B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
• B4(bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya
aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah
apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak
kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera
luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
• B5(bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya
ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
• B6(bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah
nyeri pada persendian.

4. Pemeriksaan Penunjang
a) Urinalisis
o Hematuria.
o Poliuria
o Bakteriuria.
b) Pemeriksaan Radiografi
o IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter.
o VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi VU, melihat
adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
c) Kultur Urine
o Steril.
o Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
o Organisme.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama
2. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
3. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik yang berhubungan dengan ketidakcukupan
pengetahuan tenttang penyebab inkontinen, penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda
dan gejala komplikasi, serta sumbekomunitas
4. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan Perubahan pola sosial sekunder akibat defisit
fungsi perawatan diri

Anda mungkin juga menyukai