Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ILEUS


DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) RSD dr. SOEBANDI
JEMBER

Oleh
Lidya Amal Huda, S.Kep
192311101137

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2020

1
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Review Antomi Fisiologi Saluran Pencernaan


Menurut Bolon dkk, (2020), anatomi dan fisiologi saluran pencernaan
sebagai berikut;
a) Mulut
Mulut merupakan rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air.
Atau jalan masuknya sistem pencernaan, bagian dari mulut dilapisi lendir.
Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat dipermukaan lidah,
terdiri atas manis, asin dan pahit. Gigi adalah bagian terpenting bagi
pencernaan yang berfungsi mengunyah makanan sehingga menjadi halus.

Gambar 1. Gigi manusia tampak depan dan penampang lapisan gigi


(Bolon dkk, 2020)

b) Tenggorokan (Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan.
Didalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe
yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan
terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan
jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung,
c) Kerongkongan (Esofagus)
Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan
proses peristaltic. Yang meliputi gerakan melebar, menyempit,
bergelombang dan meremas-remas agar maknaan terdorong ke

2
lambung. Di kerongkongan makanan didorong ke esophagus menuju
lambung secara peristaltic, terdapat dua otot lingkar (sfingter) bagian
atas esofsagus dan otot lingkar kardia (otot lingkar esophagus bawah)
di dasar esophagus.

Gambar 2. Kerongkongan/esofagus (Bolon dkk, 2020)

d) Lambung
Lambung merupakan organ berbentuk seperti kantong terdiri dari
dinding berotot. Di lambung makanan di aduk dan diremas jadi satu
dilakukan oleh otot polos. Lambung dibagi menjadi tiga daerah yaitu;
a. Fundus ; suatu bagian lambung tengah yang berfungsi sebagai
penampung makanan serta proses pencernaan secara kimiawi
dengan bantuan enzim.
b. Pilorus; bagian akhir lambung yang berfungsi sebagai jalan keluar
makanan menuju usus halus.

Gambar 3. Lambung (Bolon dkk, 2020)

3
Adapun beberapa fungsi lambung diantaranya;
a. Penyimpanan makanan. Kapasitas lambung normal
memungkinkan adanya interval waktu yang panjang antara saat
makan dan kemampuan menyimpan makanan dalam jumlah
besar sampai makanan in dapat terakomodasi dibagian bawah
saluran.
b. Memproduksi kimus. Jika lambung beraktivitas akan
mengakibatkan terbentuknya kimus/massa homogeny setengan
cair mmepunyai kadar asam yang tinggi yang berasal dari bolus
dan mendorong kedalam duodenum.
c. Digesti protein. saat lambung memulai digesti protein melalui
sekresi tripsin dan asam klirida.
d. Prodeuksi mucus. Mucus berasal dari penghasilan dari kelenjar
membentuk barier setebal 1mm melindungi lambung dari aksi
pencernaan dari sekresinya sendiri.
e. Produksi faktor intrinsic; glikoprotein yang disekresi sel
parietal dan vitamin B12 yang dapat dari makanan yang
dicerna lambung
f. Absorpsi. Absorpsi di nutrient yang berjalan dilambung hanya
sedikit.
Getah lambung mengandung asam lambung (HCL), pepsin yaitu
enzim yang dapat mengubah protein menjadi molekul yang lebih
kecil, musin yaitu mukosa protein yang dapat melicinkan makanan,
Renin yaitu berberan sebagai kaseinogen menjadi kasein, HCl
asam klorida berfungsi sebagai enzim yang berguna untuk
memunuh kuman bakteri pada makanan.

4
e) Usus Halus (Ileus)

Gambar 4. Anatomi Usus Halus (Bolon dkk, 2020)

Usus halus disebut juga usus kecil yang merupakan bagian dari
saluran cerna terletak diantara lambung dan usus besar. Panjangnya
kira-kira 2-8 m dengan diameter 2,5 cm. Berentang dari sphinchter
pylorus ke katup ileocecal. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu
usus dua belas jari (duodenum) panjangnya 25 cm, terdapat dua muara
saluran pada duodenum yaitu pankreas dan kantung empedu. Dinding
usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap
ke hati mellaui vena aorta. usus kosong (jejunum) 1-2 m, dan usus
penyerapan (ileum) 2-4 m.
1. Usus dua belas jari (duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus
halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke
usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan
bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan
berakhir di ligamentum Treitz.
Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang
tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua
belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus
dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan
kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin

5
duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.
Usus dua belas jari menghasilkan enzim-enzim membantu
proses pencernaan antar lain; Enterokinase fungsinya untuk
mengaktifkan peptidase. Tripsin fungsinya untuk mengubah pepton
menjadi asam amino dan gliserol. Erepsin fungsinya untuk
mengubah dipeptida atau pepton menjadi asam amino. Disakarase
fungsinya mengubah disakarida menajdi monosakarida yang
terbagi atas maltose (glukosa +glukosa), sukrose
(fruktosa+glukosa), laktose (galaktosa+glukosa). Lipase mengubah
trigeliserida menjadi gliserol dan asam lemak
2. Usus kosong (jejunum)
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis
yeyunum) adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua
belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada orang
dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter
adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan
digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Jejunum diturunkan
dari kata sifat jejune yang berarti “lapar” dalam bahasa inggris
modern. Arti aslinya berasal dari bahasa latin, jejunum yang berarti
kosong.
3. Usus penyerapan (ileum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari
usus halus. Pada sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang
sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan
dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8
(netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan
garam-garam empedu.

6
f) Usus Besar (Kolon)

Gambar 5. Usus Besar (Bolon dkk, 2020)

Pada proses pencernaan makanan telah berlangsung di usus kecil


dan hanya air dan penyerapan garam yang terjadi di usus besar. Hal
tersebut jelas bahwa usus besar hanya membantu dalam menjaga
keseimbangan cairan darah.
Fungsi dari usus besar manusia antara lain;
a. Sebagai penyimpanan dan eliminasi sisa makanan
b. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dengan cara menyerap
air
c. Untuk mengradasi bakteri.
g) Rectum dan Anus

Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung


usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini
berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya
rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi,
yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja
masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar
(BAB)

7
B. Definisi
Ileus merupakan penyumbatan total atau sebagian pada usus yang
mengakibatkan gangguan aliran isi usus (Handaya, 2017). Sebagian besar
obstruksi usus terjadi pada usus halus, dimana obstruksi total yang terjadi di usus
halus dianggap sebagai keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan
tindakan pembedahan darurat (Nurarif dan Kusuma, 2015).

C. Etiologi
Menurut Sari dkk, (2015) dan Adikhari et al (2010) terjadinya ileus
dikarenakan beberaa hal diantaranya ;
a. Hernia
Protusi usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot
abdomen.
b. Tumor
Tumor yang berada pada dinding usus dapat meluas ke lumen usus atau tumor
di luar usus dapat menyebabkan tekanan pada dinding usus
c. Adanya perlengketan / Adhesi
Lengkung usus melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pada
jaringan parut setelah pembedahan abdomen.
d. Volvulus
Usus besar yang memiliki mesocolon dapat terpuntir sendiri sehingga
menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya gelungan usus yang
berakibat timbulnya distensi. Keadaan ini dapat terjadi pada usus halus yag
berputar pada mesntriumnya.
e. Intusepsi
Suatu keadaan dimana salah satu bagian usus menyusup ke dalam bagian lain
yang ada di bawahnya yang terjadi akibat penyempitan lumen usus. Segmen
usus tertarik ke dalam segmen berikutnya oleh gerakan peristaltik yang
memperlakukan segmen tersebut seperti usus. Hal ini sering terjadi pada anak-
anak dimana kelenjar limfe mendorong dinding ileum ke dalam dan terpijat
disepanjang bagian usus tersebut (ileocaecal) melewati coecum ke dalam usus
besar (colon) dan bahkan sampai sejauh rectum dan anus.

1
D. Manifestasi Klinis
Menurut Ansari (2020) dan Handaya (2017) ada beberapa tanda dan gejala
dari ileus, antara lain;
a. Kram perut yang berpusat pada umbilicus atau epigastrium
b. Muntah
c. Nyeri hebat
d. Tidak bisa BAB dan tidak ada flatus
e. Obtipasi pada pasien dengan obstruksi lengkap
f. Diare terjadi pada pasien dengan obstruksi parsial
g. Peristaltic usus yang hiperaktif dengan suara keras dan dengan gerakan
cepat bersamaan dengan kram
h. Syok dan oliguria in merupakan tanda serius yang mengindikasikan
obstruksi sederhana lanjut
i. Foto polos memperlihatkan loop usus halus yang berdilatasi dengan batas
udara-cairan

E. Klasifikasi
Menurut Griffiths dan Damian (2017) dan Handayana (2017) bahwa terdapat
2 tipe dari ileus yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik.
a. Ileus obstruktif/ ileus dinamik merupakan kondisi saat isi lumen saluran
cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena adanya sumbatan
yang disebabkan karena adanya kelainan vaskularisasi pada suatu segmen
usus hingga membuat nekrose pada segmen usus. Tipe in apabila masih
terdapat gerakan usus (peristaltic) untuk melawan mekanisme
penyumbatan usus, baik untuk kejadian obstruksi akut maupun kronis.
b. Ileus paralitik atau adynamic merupakan kondisi ketika usus tidak mampu
melakukan kontraksi peristaltic untuk menyalurkan isinya akibat
hilangnya peristaltic usus tanpa adanya obstruksi dinamik. Tipe ini bila
tidak ada lagi gerakan usus (peristaltic), biasanya ditemukan pada
gangguan gerakan usus pada pascaoperasi, infark (kematian usus),
hirshprung (megakolon).

F. Patofisiologi
Obstruksi usus terjadi karena adanya gangguan secara mekanik dan
fungsional. Ileus dinamik disebabkan oleh perlengketan neoplasma, benda asing,

2
striktur. Sedangkan ileus paralitik dapat mengakibatkan usus tidak mampu
melakukan peristaltik untuk menyalurkan isinya (Neri, 2016). Jika peristaltik
terhenti daerah usus yang disekitarnya akan menjadi kembung dengan gas dan
cairan. Dalam satu hari kurang lebih 8 liter cairan dikeluarkan ke dalam lambung
dan usus halus, secara normal sebagian besar cairan ini direabsorbsi di dalam
kolon. Jika peristaltik terhenti, maka akan banyak cairan tertahan di dalam
lambung dan usus kecil, Cairan tersebut yang akan meningkatkan tekanan pada
dinding mukosa namun apabila tidak dikeluarkan mengakibatkan iskemic
nekrosis, invasi bakteri dan mengalami peritonitis (Catena et al, 2019).
Saat obstruksi dinamik terjadi aliran peristaltik sebelah proksimal dari daerah
obstruksi meningkat sebagai usaha untuk mendorong isi usus melewati obstruksi.
Gerakan peristaltik ini menyebabkan bising usus yang tinggi dank eras. Ileus juga
mengakibatkan distensi akibat adanya gas/udara dan air yang berasal dari
lambung, usus halus, dan pankreas. Cairan yang berada di dalam usus halus
ditarik oleh sirkulasi darah dan sebagian ke interstisial, dan dikeluarkan dengan
cara dimuntahkan secara berlebihan hal tersebut berakibat akan memperburuk
keadaan pasien akibat kehilangan cairan dan kekurangan elektrolit. (Ansari,
2020). Kondisi lain juga terjadi karena penumpukan gas dan cairan dalam lumen
usus juga dapat menyebabkan terjadinya obstruksi komplit yang dapat
meningkatkan gelombang peristaltik dapat berbalik arah dan menyebabkan isi
usus terdorong ke mulut, keadaan ini akan menimbulkan muntah-muntah yang
akan mengakibatkan dehidrasi.
Penumpukan cairan juga mengakibatkan distensi dinding usus sehingga
muncul rasa nyeri, kram dan kolik. Distensi dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Akan terjadi iskemik dinding usus, yang mengakibatkan
nekrosis, ruptur dan perforasi sehingga terjadi pelepasan bakteri dan toksin dari
usus yang nekrotik ke dalam peritoneum dan sirkulasi sistem. Saat pelepasan
bakteri dan toksin ke peritoneum akan menyebabkan peritonitis (Rabee dan Nabil,
2018).

3
Clinical Pathway
Faktor Penyebab Ileus

Mekanik (Ileus obstruktif) Fungsional (Ileus paralitik)

Perlengketan/Adhesi Intusepsi Volvulus Hernia Tumor Usus tidak mampu melakukan


peristaltik
Lengkung usus Bagian usus Tumor dalam usus
menempel pada menyusup ke Usus besar
Isi di dalam usus tidak keluar
area jaringan dalam bagian terpuntir
Aliran Meluas ke
parut pasca yang ada di sendiri
darah ke lumen usus
operasi bawahnya usus
tersumbat Tekanan pada
Perputaran Lumen usus Lumen Respon psikologis
usus dinding usus
lengkung usus menyempit (hospitalisasi)
(setelah 3-4 hari tersumbat
pasca operasi) Kurang terpapar
Ileus informasi

Tidak mampu Gangguan Refluk Respon lokal syaraf Kesalahan perawatan dan
mengabsorpsi air gastrointestinal gastrointestinal terhadap inflamasi pengobatan

Air tertampung Penurunan intake Risiko Disfungsi Distensi Gelisah, bingung, khawatir
Risiko hipovolemia
dalam lumen cairan motilitas usus abdomen

Ansietas
Risiko ketidakseimbangan cairan Nyeri akut

4
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Neri (2016) pemeriksaan penunjang ada beberapa yang dilakukan
yaitu;

a. Pemeriksaan laboratorium
Leukosit darah, kadar elektrolit, ureum, glukosa darah, dan amylase. Nilai
laboratorium awalnya normal, kemudian akan terjadi hemokonsentrasi,
leukositosis, dan gangguan elektrolit.
b. Radiografi Polos
Pemeriksaan ini untuk memastikan diagnosis dasar dari obstruksi usus yang
membedakan antara obstruksi mekanik atau dinamis. Hasilnya apabila
ditemukan beberapa level cairan udara dan dilatasi segmen usus di
proksimal obstacle dan kolaps di usus distal

Gambar 1. Radiografi polos pasien obstruksi usus


c. CT-Scan Abdominal
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi obstruksi usus dan memperjelas
loop kosong dan juga oklusi usus lengkap pemeriksaan in haryus
mendeteksi penyebab obstruksi dengan mengidentifikasi hernia internal
atau parietal, neoplastik atau inflamasi masaa dan dapat mengetahui
komplikasi seperti evolusi iskemik atau nekrotik secara keseluruhan.
d. USG Abdominal
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi adanya distensi usus, massa
abdomen dan hernia internal yang dapat menjadi situs loop usus yang
terjebak, selain juga juga dapat mengindentifikasi kadar cairan udara,
penyebab dan komplikasi obstruksi usus walaupun kemungkinan kecil
dapat dilihat dengan jelas.

5
e. Magnetic resonance imaging (MRI)
Keakuratan pemeriksaan in sama dengan pemeriksaan CT-Scan yang akan
mengetahui diagnosis dasar dari obstruksi usus, lokasi dan penyebab
obstruksi, serta dapat menunjukkan deteksi yang buruk dari massa dan
terjadinya peradangan.
H. Penatalaksanaan
Menurut Neri (2010) dan Warsinggih (2016), bahw penatalaksanaan pada
kasus ileus disesuaikan dengan tipe ileus yaitu;

a. Ileus Obstruktif
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami
obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan.
Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu
penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika
disebabkan oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus di rawat di
rumah sakit.
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda-tanda vital,
dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi
dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena
seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor
tanda-tanda vital dan jumlah urine yang keluar. Selain pemberian cairan
intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan
untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan
mengurangi distensi abdomen
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul
dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi
b. Ileus Paralitik
Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya
berupa dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati
penyebab atau penyakit primer dan pemberian nutrisi yang adekuat. Pemberian
cairan, koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral. Beberapa obat yang
dapat dicoba yaitu metoclopramide untuk gastroparesis, sisaprid untuk ileus
paralitik pasca operasi, dan klonidin untuk mengatasi ileus paralitik karena obat-
obatan.

6
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
a. Identitas klien
Identitas umum, meliputi nama, tempat tanggal lahir/umur, pendidikan, suku
bangsa, pekerjaan, agama, dan alamat rumah.
Alasan masuk RS: Pasien mengalami nyeri akut, sianosis, bibir mukosa kering,
takikardia, hipotensi (tanda hipovolemia)
b. Primary Survey
1) Airway: Lihat patensi jalan nafas, adakah suara nafas tambahan seperti
snoring, gargling.
2) Breathing:
Inspeksi : Nafas pasien, perkembangan dada, adanya penggunaan otot
bantu nafas, jejas/luka, frekuensi nafas, irama, kedalaman, simetris atau tidak.
Palpasi : Adanya nyeri tekan dan benjolan
Perkusi : Sonor, dan redup apabila ada cairan, serta hipersonor apabila
terdapat penumpukan udara di rongga paru.
Auskultasi : Apakah terdapat suara nafas tambahan berupa ronkhi atau
wheezing.
3) Circulation: Palpasi nadi karotis, frekuensi nadi, tekanan darah, observasi
adanya gangguan perfusi (CRT>3 detik,nadi perifer menurun, akral dingin,
wana kulit pucat, konjungtiva anemis, turgor kulit menurun). Ada tidaknya
perdarahan eksternal dan internal.
4) Disability: Observasi tingkat kesadaran, GCS, pupil, kemampuan motorik.
5) Exposure: Observasi adanya jejas/luka, fraktur, edema, benjolan.
c. Secondary Survey
1) Riwayat kesehatan sekarang : Pasien mengungkapkan hal yang menyebabkan
ia mencari pertolongan. Narasi singkat perjalanan pasien hingga datang ke RS
disertai hasil pengkajian yang ditemukan dan tindakan yang telah dilakukan.
2) Riwayat kesehatan dahulu : Penjelasan mengenai apakah sebelumnya pasien
pernah mengalami penyakit pada sistem pencernaan, atau adanya riwayat
operasi pada sistem pencernaan.
3) Alergi : Alergi makanan atau obat yang pernah dialami.
4) Obat yang biasa digunakan

7
d. Pemeriksaan Fisik (Head to Toe)
a. Keadaan umum, GCS
Pasien tampak lemah dan gelisah.
b. TTV dan Nyeri
Pengukuran dan observasi tekanan darah, nadi, pernafasan, saturasi oksigen, dan
suhu badan. Apabila terjadi takikardia, pucat dan pasien hipotensi merupakan
tanda syok. Pengkajian nyeri PQRST.
c. Kepala:
Inspeksi: Tidak terdapat massa (benjolan), tidak terdapat lesi, wajah simetris,
tidak terdapat lesi pada wajah, ekspresi meringis kesakitan.
Palpasi: Tidak ada nyeri kepala atau pun benjolan.
d. Mata:
Inspeksi: Mata simetris, konjungtiva anemis sebagai tanda intake cairan yang
kurang, bola mata simetris, dan tidak terdapat gangguan penglihatan
Palpasi: Nyeri tekan tidak ada
e. Telinga:
Inspeksi: Tidak terdapat lesi atau serumen yang keluar dari telinga. Bentuk daun
telinga normal dan simetris, tidak ada nyeri tekan pada tragus, tidak ada gangguan
pendengaran, tidak menggunakan alat bantu pendengaran, tidak ada benjolan dan
tanda-tanda peradangan
Palpasi: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
f. Hidung:
Inspeksi: Bentuk hidung simetris, tidak terdapat pernafasan cuping hidung,
penggunaan oksigen, tidak ada serumen atau sekret yang keluar dari hidung.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
g. Mulut:
Inspeksi: Mukosa bibir kering, sianosis, ttidak ada benjolan/tanda peradangan.
h. Leher:
Inspeksi: Bentuk leher simetris, tidak ada benjolan pada leher, trakea simetris,
tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan vena jugularis, dan tidak ada
pembesaran pada kelenjar tiroid.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan dan benjolan, teraba nadi karotis

8
i. Dada:
1) Paru-paru
Inspeksi : bentuk dada, warna kulit, pengembangan paru simetris, tidak
ada penggunaan otot bantu nafas, irama nafas tidak teratur, nafas pendek
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada krepitasi
Perkusi : perkusi paru sonor
Auskultas : tidak ada suara ronkhi, wheezing
2) Jantung
Inspeksi : tidak ada pembesaran pada dada sebelah kiri.
Palpasi : ictus cordis teraba
Perkusi : suara jantung terdengar pekak
Auskultasi : suara S1 dan S2 normal, tidak ada suara jantung abnormal.
j. Abdomen:
Inspeksi : Tidak terdapat hiperpigmentasi, bentuk asimetris (apabila ada tumor
yang menyebabkan lumen usus melebar), tidak ada benjolan atau lesi, kondisi
bersih, dan tidak ada asites, mual muntah, terlihat gerakan peristaltik
(hiperperistaltik dan dilatasi karena obstruksi lumen usus)
Auskultasi: Hiperperistaltik pada ileus obstruktif (terdengar keras dan bernada
tinggi) dan hipoperistaltik pada ileus paralitik (Indrayani, 2018). Bising usus
normal 15-30 x/menit pada dewasa (Muttaqin, 2008)
Perkusi : timpani dan pekak (adanya cairan bebeas di dalam rongga abdomen)
Palpasi : nyeri tekan dan lepas, teraba massa
k. Urogenital:
Warna kuning pekat, jumlah, frekuensi BAB dan BAK.
l. Ekstremitas:
Ekstremitas atas
Pergerakan ekstremitas, letak infus, kekuatan otot, edema
Ekstremitas bawah
Pergerakan ekstremitas, letak infus, kekuatan otot, edema
m. Kulit dan kuku:
1) Kulit
Tidak terdapat hiperpigmentasi, warna kulit pucat, akral dingin, kulit dalam
keadaan bersih, tidak ada edema

9
2) Kuku
Warna kuku pucat, kondisi kuku tidak retak/pecah, tidak ada lesi/peradangan,
CRT > 3 detik.

B. Diagnosa Keperawatan (SDKI)


1. Nyeri akut (D. 0077) berhubungan dengan agen pencedera fisiologi/ inflamasi
yang ditandai dengan pasien mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah,
takikardia, pola napas berubah
2. Risiko ketidakseimbangan cairan (D. 0034) berhubungan dengan obstruksi
intestinal
3. Risiko hipovolemik (D. 0034)berhubungan dengan gangguan absorpsi cairan
yang
4. Risiko disfungsi motilitas gastrointestinal (D. 0021) berhubungan dengan
refluks gastrointestinal ditandai dengan pasien mengeluh nyeri, distensi
abdomen, peristaltik meningkat, muntah, feses kering dan keras
5. Ansietas (D. 0080) berhubungan dengan kurang terpapar informasi yang
ditandai dengan pasien bingung, gelisah, khawatir, takipnea, takikardia,
tekanan darah meningkat

10
C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
No. SLKI SIKI
(SDKI)
1. Nyeri akut (D.0077) Tujuan: Manajemen Nyeri (1.08238)
berhubungan dengan agen Setelah dilakukan perawatan 1x2 jam klien 1. Observasi
pencedera fisik sedikit atau tidak menunjukkan nyeri a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
(pembedahan) ditandai Kriteria Hasil: kualitas, dan intensitas nyeri
dengan pasien mengeluh Tingkat Nyeri (L.08066) b. Identifikasi skala nyeri
nyeri, tampak meringis, 1. Keluhan nyeri yang dilaporkan dari 2. Terapi
gelisah, sulit tidur, skala 1 menjadi skala 4 a. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi
takikardia, pola nafas 2. Meringis dilaporkan dari skala 1 nyeri
berubah menjadi skala 3 b. Kontrol lingkungan yang dapat memperberat rasa nyeri
c. Fasilitasi istirahat tidur
Keterangan: 3. Edukasi
1: Meningkat a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2: Cukup Meningkat b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3: Sedang c. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi
4: Cukup Menurun nyeri
5: Menurun 4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgesik

Pemberian Analgesik (I.08243)


1. Observasi
a. Identifikasi karakteristik nyeri
b. Identifikasi alergi obat
c. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik dengan tingkat
keparahan nyeri
d. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian
analgesik

11
e. Monitor efektifitas pemberian analgesik
2. Edukasi
Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
3. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik
2. Risiko ketidakseimbangan Tujuan: Manajemen Cairan (I.03098)
cairan (D.0036) Setelah dilakukan perawatan 1x3 jam 1. Observasi
berhubungan dengan kebutuhan cairan pasien terpenuhi. a. Monitor status hidrasi (frekuensi nadi, kekuatan nadi,
obstruksi intestinal Kriteria Hasil: akral, CRT, kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan
Status Cairan (L.03028) darah)
1. Turgor kulit dari skala 3 menjadi skala b. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (hematokrit,
5 NA, K, Cl, BUN)
2. Output urine dari skala 2 menjadi skala c. Monitor status hemodinamik (MAP)
5 2. Terapeutik
3. Intake cairan dari skala 2 menjadi skala a. Catat intake-output dan hitung balance cairan
5 b. Berikan asupan intravena
4. Tekanan darah dari skala 2 menjadi 3. Kolaborasi
skala 3 Kolaborasi pemberian diuretik, jika perlu
5. Frekuensi nadi dari skala 1 menjadi
skala 3 Pemantauan Cairan (I.03121)
6. Membran mukosa dari skala 2 menjadi 1. Observasi
4 a. Monitor frekuensi kekuatan nadi
b. Monitor frekuensi nafas
Keseimbangan Cairan (L.03020) c. Monitor tekanan darah
1. Asupan cairan dari skala 2 menjadi d. Monitor BB
skala 4 e. Monitor elestisitas atau turgor kulit
2. Haluaran urin dari skala 2 menjadi f. Monitor kadar albumin
skala 3 g. Monitor intake dan output cairan
3. Kelembapan membran mukosa dari h. Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (takikardia, nadi

12
skala 2 menjadi skala 4 teraba lemah, hipotensi, turgor kulit menurun, membran
4. Tekanan darah dari skala 2 menjadi mukosa kering,bolume urin menurun,
skala 3 hematokritmeningkat, haus, lemah, BB menurun dalam
5. Frekuensi nadi dari skala 1 menjadi waktu singkat)
skala 3 2. Terapeutik
a. Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi
Keterangan: pasien
1: Meningkat b. Dokumentasi hasil pemantauan
2: Cukup Meningkat 3. Edukasi
3: Sedang a. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
4: Cukup Menurun b. Informasikan hasil pemantauan
5: Menurun
3. Risiko (D.0034) Tujuan Pemantauan Cairan (I.03121)
hipovolemik berhubungan Setelah dilakukan perawatan 1x3 jam pasin 1. Observasi
dengan gangguan absorpsi tidak mengalami hipovolemia. a. Monitor frekuensi kekuatan nadi
cairan yang Kriteria Hasil: b. Monitor frekuensi nafas
Status Cairan (L.03028) c. Monitor tekanan darah
1. Turgor kulit dari skala 2 menjadi skala d. Monitor BB
3 e. Monitor elestisitas atau turgor kulit
2. Output urine dari skala 2 menjadi skala f. Monitor kadar albumin
5 g. Monitor intake dan output cairan
3. Intake cairan dari skala 2 menjadi skala h. Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (takikardia, nadi
5 teraba lemah, hipotensi, turgor kulit menurun, membran
4. Tekanan darah dari skala 2 menjadi mukosa kering,bolume urin menurun,
skala 3 hematokritmeningkat, haus, lemah, BB menurun dalam
5. Frekuensi nadi dari skala 1 menjadi waktu singkat)
skala 3 2. Terapeutik
6. Membran mukosa dari skala 2 menjadi a. Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi
skala 4 pasien

13
b. Dokumentasi hasil pemantauan
Keterangan: 3. Edukasi
1: Meningkat a. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2: Cukup Meningkat b. Informasikan hasil pemantauan
3: Sedang
4: Cukup Menurun Manajemen Hipovolemia (I.03116)
5: Menurun 1. Observasi
a. Periksa tanda dan gejala hipovolemia
b. Monitor intake dan output
2. Terapeutik
a. Hitung kebutuhan cairan
b. Berikan posisi modified trendelenberg
c. Berikan asupan cairan oral
3. Edukasi
Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (NaCl, RL)
b. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (glukosa
2,5%, NaCl 0,4%)
c. Kolaborasi pemberian cairan coloid (albumin)
4. Disfungsi motilitas Tujuan: Manajemen Mual (I. 03117)
gastrointestinal Setelah dilakukan perawatan 1x2 jam klien 1. Observasi
(D.0021)berhubungan sedikit atau tidak menunjukkan gangguan a. Identifikasi pengalaman mual
dengan pembedahan motilitas usus. b. Identifikasi faktor penyebab mual (pengobatan dan
ditandai dengan pasien Kriteria Hasil: prosedur)
mengeluh nyeri, distensi Tingkat Nyeri (L.08066) c. Monitor mual (frekuensi, durasi, dan tingkat
abdomen, peristaltik 1. Keluhan nyeri yang dilaporkan dari keparahan)
meningkat, muntah feses skala 1 menjadi skala 4 d. Monitor asupan nutrisi dan kalori
keras 2. Meringis dilaporkan dari skala 1

14
menjadi skala 3 2. Terapeutik
a. Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual (bau tak
Motilitas Gastrointestinal (L. 03023) sedap, suara, rangsangan visual yang tidak
1. Nyeri yang dilaporkan dari skala 2 menyenangkan)
menjadi skala 4 b. Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab mual
2. Mual yang dilaporkan dari skala 2 (cemas, takut, lelah)
menjadi skala 3 c. Berikan makanan dengan jumlah kecil dan menarik
3. Muntah yang dilaporkan dari skala 2 3. Edukasi
menjadi skala 4 a. Anjurkan istirahat dan tidur yang cukup
4. Suara peristaltik yang dilaporkan dari b. Anjurkan sering membersihkan mulut, kecuali jika
skala 2 menjadi skala 3 merangsang mual
5. Distensi abdomen yang dilaporkan dari c. Anjurkan makanan tinggi karbohidrat dan rendah
skala 2 menjadi skala 4 lemak
d. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengatasi mual
Keterangan: (relaksasi, terapi musik, akupressur)
1: Meningkat 4. Kolaborasi
2: Cukup Meningkat Kolaborasi pemberian antlemetik, jika perlu.
3: Sedang
4: Cukup Menurun
5: Menurun
5. Ansietas (D.0080) Tujuan: Terapi Relaksasi (I. 09326)
berhubungan dengan Setelah dilakukan perawatan 1x2 jam 1. Observasi
kurang terpapar informasi ansietas pasien teratasi. a. Identifikasi frekuensi nadi, ketegangan otot, tekanan
yang ditandai dengan Kriteria Hasil: darah, suhu tubuh
pasien bingung, gelisah, Tingkat Ansietas (L.09093) b. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif
khawatir, takipnea, 1. Verbalisasi kekhawatiran yang digunakan
takikardia, tekanan darah dilaporkan dari skala 2 menjadi skala 4 2. Terapeutik
meningkat 2. Perilaku gelisah yang dilaporkan dari a. Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan
skala 2 menjadi skala 4 Tekanan darah dengan pencahayaan dan suhu ruang nyaman

15
yang dilaporkan dari skala 2 menjadi b. Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan
skala 5 prosedur teknik relaksasi
3. Frekuensi nadi yang dilaporkan dari c. gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan
skala 1 menjadi skala 3 berirama
4. Pernafasan yang dilaporkan dari skala 4. Edukasi
2 menjadi skala 4 a. jelaskan manfaat, tujuan, batasan, dan teknik relaksasi
nafas dalam
Keterangan: b. anjurkan mengambil posisi nyaman
1: Meningkat c. anjurkan sering mengulangi dan melatih teknik
2: Cukup Meningkat relaksasi nafas dalam
3: Sedang d. demonstrasikan dan latih teknik relaksasi nafas dalam
4: Cukup Menurun
5: Menurun

16
DAFTAR PUSTAKA

Adhikari, S., Mohammed, Z.H., Amitabha, D., Nilanjan, M. 2010. Obstruction : A


Review of 367 Patients in Eastern India. Saudi Journal of
Gastroenterology. 16(4): 285-7.

Ansari, P. 2020 Intestinal Obstruction. Hafstra Northwell-lenox Hill Hospital.

Bolon, C.M., Deborah S., Lia, K., Agus, S., Sarida, S., Yenni, F.S., Nurhayati, S.
Sarmida, S., Rostinah, M., Fitriana, R., Ratna D., Riama, M., Meriani, H.,
Noradina. 2020. Anatomi dan Fisiologi untuk mahasiswa kebidanan.
:Yayasan kita menulis

Cantena, F., Belinda, D.S., Federico, C., Salomone, D.S. 2019. Bowel Obstruction :
A narrative review for all physicians. World Journal Emergency Surgery.
14(1).

Handaya, A.Y. 2017. Deteksi dini & atasi 31 penyakit bedah saluran cerna
(DIGESTIF). Yogyakarta: Rapha Publishing.

Neri, V. 2016. Management of Intestinal Obstruction. Actual Probles of Emergency


Abdominal Surgery.

Nurarif, A.H. dan Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC. Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta: Penerbit
Mediaction Jogja.

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2016. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2016. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Rabee, H., and Nabil, M.A. 2018. Ileus in older people.Suporting Healthcare
professionals in 50+ medicine.

17
Sari, N., I., Elda, N. 2015. Gambaran ileus obstruktif pada anak di rsud arifin achmad
provinsi riau periode januari 2012 – desember 2014. JOM FK. 2(2).

Warsinggih. 2016. Peritonitis dan Illeus. Diakses pada tanggal 08-10-2020 dari
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/PERITONITIS-
DAN-ILUES.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai