Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS TIPE II

KONSEP PENYAKIT
A. Definisi
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau
mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis
atau madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan
volume urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes melitus adalah
penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolute insulin atau
penurunan relative insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).
DM merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia yang disebabkan
defisiensi insulin atau akibat kerja insulin yang tidak adekuat (Smeltzer & Bare,
2009).
Diabetes Melitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai
lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron
(Mansjoer dkk, 2007).

B. Klasifikasi
Dokumen konsesus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s
Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus,
menjabarkan 4 kategori utama diabetes, yaitu: (Corwin, 2009)
1. Tipe I: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)/ Diabetes Melitus
tergantung insulin (DMTI)
Lima persen sampai sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe I.
Sel-sel beta dari pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan
oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar
gula darah. Awitannya mendadak biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun.
2. Tipe II: Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)/ Diabetes
Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Sembilan puluh persen sampai 95% penderita diabetik adalah tipe II.
Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten
insulin) atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin. Pengobatan
pertama adalah dengan diit dan olah raga, jika kenaikan kadar glukosa darah
menetap, suplemen dengan preparat hipoglikemik (suntikan insulin
dibutuhkan, jika preparat oral tidak dapat mengontrol hiperglikemia). Terjadi
paling sering pada mereka yang berusia lebih dari 30 tahun dan pada mereka
yang obesitas.

3. DM tipe lain
Karena kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik), obat,
infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan karakteristik
gangguan endokrin.
4. Diabetes Kehamilan: Gestational Diabetes Mellitus (GDM)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak
mengidap diabetes.

C. Etiologi
Penyebab dari DM Tipe II antara lain (FKUI, 2011):
1. Penurunan fungsi cell β pancreas
Penurunan fungsi cell β disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a) Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebabkan
peningkatan stress oksidatif, IL-1b DAN NF-kB dengan akibat
peningkatan apoptosis sel β.
b) Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam
proses lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi
ceramide yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis.
c) Penumpukan amyloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar
glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha
mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi
hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan sekresi
amylin dari  sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta hingga menjadi
jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri sehingga akirnya
jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi berkurang. Pada DM
Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
d) Efek incretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara
meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan
mengurangi apoptosis sel beta.
e) Usia
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah  usia 30 tahun dan semakin sering
terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut.
Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa mencapai 50 –
92%. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun
mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan
dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan ahirnya pada
tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen
tubuh yang mengalami perubahan adalah sel beta pankreas yang
mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan terget yang menghasilkan
glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
f) Genetik
2. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi
faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
a) Obesitas
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah
berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di
otot berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
b) Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c) Kurang gerak badan
d) Faktor keturunan (herediter)
e) Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf
simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress
menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Hipotalamus
mensekresi corticotropin releasing faktor yang menstimulasi pituitari
anterior memproduksi kortisol, yang akan mempengaruhi peningkatan
kadar glukosa darah 

D. Faktor Resiko
Faktor resiko yang tidak dapat diubah:
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Keturunan
Faktor resiko yang dapat diubah:
1. Hipertensi
2. Kolesterol tinggi
3. Obesitas
4. Merokok
5. Alkohol
6. Kurang aktivitas fisik
E. Patofisiologi
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi
insulin perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan
fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula
timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin
untuk mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal.
Lama kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin
hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat
itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Penurunan fungsi sel beta itu berlangsung
secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mensekresi
insulin (FKUI, 2011).
Pada diabetestipe2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan
insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2
disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi
tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk
mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukagon dalam darah
harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau
sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi diabetes mellitus tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas diabetes mellitus tipe 2, namun masih terdapat insulin
dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi
pada diabetes mellitus tipe II. Meskipun demikian, diabetes mellitus tipe 2 yang
tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan
sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK).
Pada keadaan tertentu glukosa dapat meningkat sampai dengan 1200 mg/dl
hal ini dapat menyebabkan dehidrasi pada sel yang disebabkan oleh
ketidakmampuan glukosa berdifusi melalui membran sel, hal ini akan merangsang
osmotik reseptor yang akan meningkatkan volume ekstrasel sehingga
mengakibatkan peningkatan osmolalitas sel yang akan merangsang hypothalamus
untuk mengsekresi ADH dan merangsang pusat haus di bagian lateral (Polidipsi).
Penurunan volume cairan intrasel merangsang volume reseptor di hypothalamus
menekan sekresi ADH sehingga terjadi diuresis osmosis yang akan mempercepat
pengisian vesika urinaria dan akan merangsang keinginan berkemih (Poliuria).
Penurunan transport glukosa kedalam sel menyebabkan sel kekurangan glukosa
untuk proses metabolisme sehingga mengakibatkan starvasi sel. Penurunan
penggunaan dan aktivitas glukosa dalam sel (glukosa sel) akan merangsang pusat
makan di bagian lateral hypothalamus sehingga timbul peningkatan rasa lapar
(Polipagi).
Pada Diabetes Mellitus yang telah lama dan tidak terkontrol, bisa terjadi
atherosklerosis pada arteri yang besar, penebalan membran kapiler di seluruh
tubuh, dan degeneratif pada saraf perifer. Hal ini dapat mengarah pada komplikasi
lain seperti thrombosis koroner, stroke, gangren pada kaki, kebutaan, gagal ginjal
dan neuropati.
F. PATHWAY

G. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain
(Stockslager L, Jaime & Liz Schaeffer, 2007) :
1. Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di
obati dengan insulin atau obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di
sebabkan oleh pemberian insulin yang berlebihan, asupan kalori yang tidak
adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga yang berlebihan. Gejala hipoglikemi
pada lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat dan tidak disadari sampai
kondisinya mengancam jiwa.
2. Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi
yang mengancam jiwa. Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia
dengan diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala dapat terjadi pada individu yang
menderita diabetes Tipe 2 yang mengalami stress fisik dan emosional yang
ekstrim.
3. Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosmolar
hyperglycemic syndrome, HHNS) atau koma hyperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien
yang menderita diabetes. Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai
dengan hiperglikemia berat(kadar glukosa darah di atas 800 mg/dl),
hiperosmolaritas (di atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat deuresis
osmotic. Tanda gejala mencakup kejang dan hemiparasis (yang sering kali
keliru diagnosis menjadi cidera serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat
kesadaran (biasanya koma atau hampir koma).
4. Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas
atau nyeri dan kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi
dalam berbagai cara, yang mencakup gastroparesis (keterlambatan
pengosongan lambung yang menyebabkan perasaan mual dan penuh setelah
makan), diare noktural, impotensi, dan hipotensi ortostatik.
5. Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10
kali lipat dari yang di temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes.
Hasil ini lebih meningkatkan resiko iskemik sementara dan penyakit
serebrovaskular, penyakit arteri koroner dan infark miokard, aterosklerosis
serebral, terjadinya retinopati dan neuropati progresif, kerusakan kognitif,
serta depresi sistem saraf pusat.
6. Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena
kandungan glukosa epidermis dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal
ini membuat lansia rentan terhadap infeksi kulit dan saluran kemih serta
vaginitis.

H. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan
aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi
komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes
adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes (FKUI, 2011) :
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan

I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk DM sebagai berikut (FKUI, 2011) :
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali
pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan Diabetes Mellitus:
1. Aktivitas / istirahat

Gejala    :    -   Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan

- Kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur

Tanda    :    -   Takikardia dan takipnea pada keadaan isitrahat atau dengan


aktivitas

- Letargi / disorientasi, koma


- Penurunan kekuatan otot
2. Sirkulasi

Gejala    :    -   Adanya riwayat hipertensi

- Klaudikasi, kebas dan kesemutan pada ekstremitas


- Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama

Tanda    :    -   Takikardia

- Perubahan tekanan darah postural, hipertensi


- Nadi yang menurun / tidak ada
- Disritmia
- Krekels
- Kulit panas, kering, kemerahan, bola mata cekung
3. Integritas Ego

Gejala    :    -   Stress, tergantung pada orang lain

- Masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi

Tanda    :    -   Ansietas, peka rangsang

4. Eliminasi
Gejala    :    -   Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia

- Rasa nyeri / terbakar, kesulitan berkemih (infeksi)


- Nyeri tekan abdomen
- Diare

Tanda    :    -   Urine encer, pucat, kuning : poliuri

5. Makanan / cairan

Gejala    :    -   Hilang nafsu makan

- Mual / muntah
- Tidak mengikuti diet : peningkatan masukan glukosa /
karbohidrat.
- Penurunan BB lebih dari periode beberapa hari / minggu
- Haus
- Penggunaan diuretic (tiazid)

Tanda   : -   Disorientasi : mengantuk, letargi, stupor / koma (tahap lanjut).
Ganguan memori (baru, masa lalu) kacau mental.

6. Nyeri / kenyamanan

Gejala    :    -   Abdomen yang tegang / nyeri (sedang/berat)

Tanda    :    -   Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati

7. Pernafasan

Gejala   : -  Merasa kekurangan oksigen : batuk dengan / tanpa sputum


purulen (tergantung ada tidaknya infeksi)

Tanda    :    -   Lapar udara

- Batuk, dengan / tanpa sputum purulen (infeksi)


- Frekuensi pernafasan
8. Keamanan
Gejala    :    -   Kulit kering, gatal; ulkus kulit

Tanda    :    -   Demam, diaphoresis

- Kulit rusak, lesi / ilserasi


- Menurunnya kekuatan umum / rentang gerak

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penurunan masukan oral, mual,
anoreksia, peningkatan metabolisme protein dan lemak
2. Devisit volume cairan dean elektrolit b/d diuresis osmotic
3. Intoleransi aktivitas b/d penurunan simpanan energi
4. Gangguan integritas kulit b/d gangren
5. Gangguan citra diri b/d ekstremitas gangren
6. Resiko injuri b/d gangguan penglihatan

C. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penurunan masukan oral, mual,
anoreksia, peningkatan metabolisme protein dan lemak
a. Tujuan             :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …
×24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
b. Kriteria hasil:
- Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
- BB stabil, nilai lab normal
c. Intervensi :
1) Timbang berat badan tiap hari atau sesuai dengan indikasi
Rasional   :    Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat
2) Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan
dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien
Rasional   :    Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari
kebutuhan terapeutik
3) Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrient) dan
elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya
melalui pemberian cairan melalui oral
Rasional   :    Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien
sadar dan fungsi gastroisntetinal baik
4) Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa darah, aseton, pH,
dan HCO3
Rasional   :    Gula darah akan menurun perlahan dengan
penggantian cairan dan terapi insulin terkontrol.
5) Kolaborasi dengan ahli diet
Rasional   :    Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuaian
diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
2. Devisit volume cairan dan elektorlit b/d diuresis osmotic
a. Tujuan             :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2×24
jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
b. Kriteria hasil   :    Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan
oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan
pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar
elektrolit dalam batas normal.
c. Intervensi :
1) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD orotstatik
Rasional   :    Hipovelemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi
dan takikardia.
2) Ukur berat badan setiap hari
Rasional   :    Memberikan hasil pengkajian yang terbaik di status
cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan
cairan pengganti.
3) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran
mukosa
Rasional   :    Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau
volume sirkulasi yang adekuat
4) Pantau pemeriksaan lab seperti : Hematoksit (Ht), BUN (kreatinin)
dan Osmulalitas darah, Natrium, kalium
Rasional   :
- Ht: Mengkaji tingkat hidrasi dan sering kali meningkat akibat
homokonsentrasi yang terjadi setelah dieresis osmotik
- BUN: Peningkatan nilai dapat mencerminkan kerusakan sel
karena dehidrasi atau tanda awitan kegagalan ginbjal.
- Osmolalitas darah: Meningkat sehubungan dengan adanya
hiperglikemia dan dehidrasi
- Natrium: Mungkin menurun yang dapat mencerminkan
perpindahan cairan dari intra sel (dieresis osmotik)
- Kalium: Awalnya akan terjadi hiperkalemia dalam breepons
pada asodisis
3. Intoleransi aktivitas b.d penurunan simpanan energi
a. Tujuan             :    Pada pasien tidak terjadi kelelahan dengan penurunan
produksi energi
b. Kriteria hasil:
- Mengungkapkan peningkatan tingkat energy
- Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam
aktivitas yang diinginkan
c. Intervensi :
1) Diskusi dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Membuat jadwal
perencanaan dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang
menimbulkan kelelahan.
Rasional   :    Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk
meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat
lemah.
2) Beri aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup / tanpa
diganggu.
Rasional   :    Mencegah kelelahan yang berlebihan.
3) Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan TD sebelum / sesudah
melakukan aktivitas.
Rasional   :    Mengidentifikasi tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi
secara fisiologi.
4) Mendiskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah
tempat.
Rasional   :    Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan
dengan penurunan kegiatan akan pada energi pada setiap kegiatan.
5) Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
sesuai dengan yang dapat ditoleransi.
Rasional   :    Meningkatkan kepercayan diri / harga diri positif sesuai
tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.

4. Gangguan integritas kulit b/d gangren


a. Tujuan             :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24
jam diharapkan integritas kulit dapat membaik.
b. Kriteria hasil:
- Mempertahankan integritas kulit
- Mendemonstrasikan perilaku / teknik mencegah kerusakan kulit.
c. Intervensi :
1) Lihat kulit, area sirkulasinya terganggu / pigmentasi atau kegemukan /
kurus
Rasional   :    Kulit beresiko karena gangguan sirkulasinya perifer,
imobilitas fisik dan gangguan status nutrisi.
2) Dapatkan kultur dari drainase luka saat masuk
Rasional   :    Mengidentifikasi pathogen dan terapi pilihan
3) Rendam kaki dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadine
tiga kali sehari selama 15 menit
Rasional   :    Germisidal lokal efektif untuk luka permukaan
4) Balut luka dengan kasa kering steril. Gunakan plester kertas
Rasional :      Menjaga kebersihan luka / meminimalkan kontaminasi
silang. Plester adesif dapat membuat abrasi terhadap jaringan mudah
rusak.
5) Berikan dikloksasi 500 mg per oral setiap 6 jam, mulai jam 10 malam
amati tanda-tanda hipersensitivitas, seperti : pruritus, urtikaria, ruam
Rasional   :    Pengobatan infeksi / pencegahan komplikasi. Makanan
yang mengganggu absorbsi obat memerlukan penjadwalan sekitar jam
makan. Meskipun tidak ada riwayat reaksi penicilin tetapi dapat terjadi
kapan saja.

5.    Gangguan citra diri b/d ekstremitas gangren

a. Tujuan             :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2×24 jam


pasien dapat menerima keadaannya yang sekarang.
b. Kriteria hasil   :   
- Pasien menerima keadaannya yang sekarang
- Menunjukkan pandangan yang realistis dan pemahaman diri dalam situasi.
c. Intervensi :
1) Dengarkan dengan aktif masalah dan ketakutan pasien
Rasional   :    Menyampaikan perhatian dan dapat lebih efektif
mengidentifikasi kebutuhan dan masalah dan juga strategi koping pasien
dan seberapa efektif.
2) Dorong pengungkapan perasaan, penerima apa yang dikatakannya
Rasional   :    Membantu pasien / orang terdekat untuk memulai menerima
perubahan dan mengurangi ansietas mengenai perubahan fungsi atau gaya
hidup.
3) Diskusikan pandangan klien terhadap citra diri dan efek yang ditimbulkan
dari penyakit
Rasional   :    Persepsi pasien mengenai pada perubahan citra diri mungkin
terjadi secara tiba-tiba atau kemudian atau menjadi proses halus yang
secara terus menerus.
4) Bantu pasien atau orang terdekat dengan menjelaskan hal-hal yang
diharapkan dan hal-hal tersebut mungkin diperkukan untuk dilepaskan
atau diubah.
Rasional   :    Memberi kesempatan untuk mengidentifikasi kesalahan
konsep dan mulai melihat pilihan-pilihan, meningkatkan orientasi realita.
5) Rujuk pada dukungan psikiatri atau group terapi, pelayanan sosial sesuai
petunjuk
Rasional   :    Mungkin dibutuhkan untuk membantu pasien / orang
terdekat untuk mencapai kesembuhan optimal.
5. Resiko injuri b/d gangguan penglihatan
a. Tujuan             :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2×24
jam diharapkan tidak terjadi injuri pada pasien
b. Kriteria hasil   :
- Mengidentifikasi faktor-faktor resiko injuri
- Memodifikasi lingkungan sesuai petunjuk untuk meningkatkan
keamanan dan penggunaan sumber-sumber secara tepat.
c. Intervensi :
1) Hindarkan alat-alat yang dapat menghalangi aktivitas pasien
Rasional   :    Untuk meminimalisir terjadinya cedera
2) Gunakan bed yang rendah
Rasional   :    Meminimalkan resiko cedera
3) Orientasikan untuk pemakaian alat bantu penglihatan ex. Kacamata
Rasional   :    Membantu dalam penglihatan klien
4) Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi
Rasional   :    Agar tidak terjadi injuri
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Guyton, Arthur C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Huda, Amin. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
NANDA NIC-NOC. Jakarta: Mediaction Publishing.
Smeltzer, S. C., & Bare B. G. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth (Edisi 8 Volume 1). Jakarta: EGC.
Stockslager L, Jaime dan Liz Schaeffer. 2007. Asuhan Keperawatan Geriatric.
Jakarta:EGC.

Anda mungkin juga menyukai