Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bayi berat badan lahir rendah ialah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang
dari 2500 gram. Berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat badan kurang dari
2500 gram pada waktu lahir. (Huda dan Hardhi, NANDA NIC-NOC, 2013).

B. TUJUAN

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR
1. DEFINISI
BBLR adalah neonatus dengan berat badan lahir pada saat kelahiran kurang dari
2500 gram (sampai 2499 gram) tanpa memandang masa kehamilan (Ambarwati &
Rismintari, 2009 : 26; Maryanti, et al., 2012 : 167). Berat badan lahir rendah adalah
bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram pada waktu lahir. (Huda dan Hardhi,
NANDA NIC-NOC, 2013).
Menurut Ribek dkk. (2011), berat badan lahir rendah yaitu bayi yang lahir dengan
berat badan kurang dari 2500 gram tanpa memperhatikan usia gestasi (dihitung satu
jam setelah melahirkan). Bayi berat badan lahir rendah adalah bayi dengan berat
badan kurang dari 2500 gram pada waktu lahir. (Amru Sofian, 2012).
Berkaitan dengan penanganan dan harapan hidupnya, bayi berat lahir rendah
dibedakan menjadi :
1. Bayi berat lahir rendah ( BBLR ), berat lahir 1500 2500 gr
2. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ), berat lahir < 1500 gr
3. Bayi berat lahir ekstrem rendah ( BBLER ), berat lahir < 1000 gr

2. KLASIFIKASI BBLR
Menurut Mitayani (2013 : 172) BBLR dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Prematuritas murni
Yaitu bayi yang lahir dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat
bayi sesuai dengan gestasi atau yang disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk
masa kehamilan
b. Bayi small for gestational age (SGA)
Berat bayi lahir sesuai dengan masa kehamilan. SGA sendiri terdiri atas tiga jenis:
1) Simetris (intrauterus for gestatational age) yaitu terjadi gangguan nutrisi pada
awal kehamilan dan dalam jangka waktu yang lama
2) Asimetris (intrauterus growth retardation) yaitu terjadi defisit nutrisi pada fase
akhir kehamilan
3) Dismaturitas yaitu bayi yang lahir kurang dari berat badan yang seharusnya
untuk masa gestasi dan si bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri
serta merupakan bayi kecil untuk masa kehamilan
Selain itu, BBLR dapat juga dibagi menjadi 3 stadium yaitu :
1) Stadium 1
Bayi tampak kurus dan relatif lebih panjang, kulit longgar, kering seperti
permen karet, namun belum terdapat noda mekonium.
2) Stadium 2
Bila didapatkan tanda-tanda stadium 1 ditambah warna kehijauan pada kulit,
plasenta, dan umbilikal.
3) Stadium 3
Ditemukan tanda stadium II ditambah kulit berwarna kuning, demikian pula
kuku dan tali pusat

3. ETIOLOGI
Menurut Maryanti, et al (2012:169) faktor yang mempengaruhi terjadinya BBLR
adalah :
a. Faktor ibu
1) Faktor ibu : Riwayat kelahiran prematur sebelumnya, perdarahan antepartum,
malnutrisi, kelainan uterus, hidramnion, penyakit jantung/penyakit kronik
lainnya, hipertensi, umur ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun,
jarak dua kehamilan yang terlalu dekat, infeksi trauma , dan lain-lain.
2) Keadaan sosial ekonomi
Kejadian tertinggi terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini
disebabkan oleh keadaan gizi yang kurang baik dan pengawasan antenatal
yang kurang.
3) Sebab lain
Ibu perokok, ibu peminum alkohol dan pecandu obat narkotik.
b. Faktor janin
Hidramnion atau polihidramnion, kehamilan ganda, ketuban pecah dinidan
kelainan koromosom.
c. Faktor lingkungan
Tempat tinggal dataran tinggi radiasi dan zat-zat racun

4. PATOFISIOLOGI
Menurut Maryanti, et al (2012:169) faktor yang mempengaruhi terjadinya BBLR
terdiri dari faktor ibu yang meliputi penyakit ibu, usia ibu, keadaan sosial ekonomi
dan sebab lain berupa kebiasaan ibu, faktor janin, dan faktor lingkungan. BBLR
dengan faktor risiko paritas terjadi karena sistem reproduksi ibu sudah mengalami
penipisan akibat sering melahirkan Hal ini disebabkan oleh semakin tinggi paritas
ibu, kualitas endometrium akan semakin menurun. Kehamilan yang berulang-ulang
akan mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin dimana jumlah nutrisi akan berkurang
dibandingkan dengan kehamilan sebelumnya (Mahayana et al., 2015 : 669)
Menurut Samuel S Gidding dalam Amirudin & Hasmi (2014:85-86) mekanisme
pajanan asap rokok terhadap kejadian BBLR dan berat plasenta dengan beberapa
mekanisme yaitu kandungan tembakau seperti nikotin, CO dan polysiklik
hydrokarbon, diketahui dapat menembus plasenta. Carbonmonoksida mempunyai
afinitas berikatan dengan hemoglobin membentuk karboksihemoglobin, yang
menurunkan kapasitas darah mengangkut oksigen ke janin. Sedangkan nikotin
menyebabkan vasokontriksi arteri umbilikal dan menekan aliran darah plasenta.
Perubahan ini mempengaruhi aliran darah di plasenta. Kombinasi hypoxia
intrauterine dan plasenta yang tidak sempurna mengalirkan darah diyakini menjadi
penghambat pertumbuhan janin.
Faktor yang juga mempengaruhi terjadinya BBLR adalah penyakit pada ibu
hamil. Anemia pada ibu hamil dapat mengakibatkan penurunan suplai oksigen ke
jaringan, selain itu juga dapat merubah struktur vaskularisasi plasenta, hal ini akan
mengganggu pertumbuhan janin sehingga akan memperkuat risiko terjadinya
persalinan prematur dan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah terutama
untuk kadar hemoglobin yang rendah mulai dari trimester awal kehamilan
(Cunningham, et al., 2010). Selain anemia, implantasi plasenta abnormal seperti
plasenta previa berakibat terbatasnya ruang plasenta untuk tumbuh, sehingga akan
mempengaruhi luas permukaannya. Pada keadaan ini lepasnya tepi plasenta disertai
perdarahan dan terbentuknya jaringan parut sering terjadi, sehingga meningkatkan
risiko untuk terjadi perdarahan antepartum (Prawirohardjo, 2008). Apabila
perdarahan banyak dan kehamilan tidak dapat dipertahankan, maka terminasi
kehamilan harus dilakukan pada usia gestasi berapapun. Hal ini menyebabkan
tingginya kejadian prematuritas yang memiliki berat badan lahir rendah disertai
mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Menurut Wiknjosastro dalam Masitoh, et al. (2014 : 132) pre eklamsi ringan
jarang sekali menyebabkan kematian dan bila tidak diobati dapat menyebabkan
kerusakan yang menetap pada sistem syaraf, pembuluh darah atau ginjal dari ibu
sehingga terjadi keterbelakangan pada janin karena kurangnya aliran darah melalui
plasenta atau kurangnya oksigen pada janin yang menyebabkan BBLR.
Keadaan sosial ekonomi secara tidak langsung mempengaruhi kejadian BBLR,
karena pada umumnya ibu dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah akan
mempunyai intake makan yang lebih rendah baik secara kualitas maupun secra
kuantitas, yang berakibat kepada rendahnya status gizi pada ibu hamil (Amalia, 2011
: 258).
Selain itu, gangguan psikologis selama kehamilan berhubungan dengan
terjadinya peningkatan indeks resistensi arteri uterina. Hal ini disebabkan karena
terjadi peningkatan konsentrasi noradrenalin dalam plasma, sehingga aliran darah ke
uterus menurun dan uterus sangat sensitif terhadap noradrenalin sehingga
menimbulkan efek vasokonstriksi. Mekanisme inilah yang mengakibatkan
terhambatnya proses pertumbuhan dan perkembangan janin intra uterin sehingga
terjadi BBLR (Hapisah, et al., 2010 : 86-87).
Menurut Maryanti et al. (2012:169) penyebab BBLR dapat dipengaruhi dari
faktor janin berupa hidramnion atau polihidramnion, kehamilan ganda, dan kelainan
koromosom. Hidramnion merupakan kehamilan dengan jumlah air ketuban lebih dari
2 liter. Produksi air ketuban berlebih dapat merangsang persalinan sebelum
kehamilan 28 minggu, sehingga dapat menyebabkan kelahiran prematur dan dapat
meningkatkan kejadian BBLR. Pada kehamilan ganda berat badan kedua janin pada
kehamilan tidak sama, dapat berbeda 50-1000 gram, hal ini terjadi karena pembagian
darah pada plasenta untuk kedua janin tidak sama. Pada kehamilan kembar distensi
(peregangan) uterus berlebihan, sehingga melewati batas toleransi dan sering terjadi
persalinan prematur (Amirudin & Hasmi, 2014 : 110-111). Menurut Saifuddin dalam
Amirudin & Hasmi (2013 : 111-112) kelainan kongenital atau cacat bawaan
merupakan kelaianan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan
hasil konsepsi sel telur. Bayi yang lahir dengan kelainan kongenital, umumnya akan
dilahirkan sebagai BBLR atau bayi kecil.
Pada BBLR ditemukan tanda dan gejala berupa disproporsi berat badan
dibandingkan dengan panjang dan lingkar kepala, kulit kering pecah-pecah dan
terkelupas serta tidak adanya jaringan subkutan (Mitayani, 2013 : 176). Karena suplai
lemak subkutan terbatas dan area permukaan kulit yang besar dengan berat badan
menyebabkan bayi mudah menghantarkan panas pada lingkungan (Sondakh, 2013 :
152). Sehingga bayi dengan BBLR dengan cepat akan kehilangan panas badan dan
menjadi hipotermia (Maryanti, 2012 : 171). Selain itu tipisnya lemak subkutan
menyebabkan struktur kulit belum matang dan rapuh. Sensitivitas kulit yang akan
memudahkan terjadinya kerusakan integritas kulit, terutama pada daerah yang sering
tertekan dalam waktu yang lama (Pantiawati, 2010 : 28). Pada bayi prematuritas juga
mudah sekali terkena infeksi, karena daya tahan tubuh yang masih lemah,
kemampuan leukosit masih kurang dan pembentukan antibodi belum sempurna
(Maryanti, 2012 : 172).
Kesukaran pada pernafasan bayi prematur dapat disebabakan belum sempurnanya
pembentukan membran hialin surfaktan paru yang merupakan suatu zat yang dapat
menurunkan tegangan dinding alveoli paru. Defisiensi surfaktan menyebabkan
gangguan kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya, alveolus akan
kembali kolaps setiap akhir ekspirasi sehingga untuk pernafasan berikutnya
dibutuhkan tekanan negative intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi
yang kuat. Hal tersebut menyebakan ketidakefektifan pola nafas (Pantiawati, 2010 :
24-25).
Alat pencernaan bayi BBLR masih belum sempurna, lambung kecil, enzim
pencernaan belum matang (Maryanti et al., 2012 : 171). Selain itu jaringan lemak
subkutan yang tipis menyebabkan cadangan energi berkurang yang menyebabkan
malnutrisi dan hipoglikemi. Akibat fungsi organ-organ belum baik terutama pada
otak dapat menyebabkan imaturitas pada sentrum-sentrum vital yang menyebabkan
reflek menelan belum sempurna dan reflek menghisap lemah. Hal ini menyebabkan
diskontinuitas pemberian ASI (Nurarif & Kusuma, 2015 54-55).
5. PATHWAY

Prematuritas Dismaturitas

Faktor Gangguan:
Faktor Ibu: umur (<20th), Faktor plasenta: penyakit Faktor Janin: kelainan Pertukaran zat antara ibu
paritas, ras iinfertilitas, vaskuler,kehamilan ganda, Kromosom, malformasi, dan janin
riwayat kehamilan tak baik malformasi, tumor TORCH kehamilan ganda
Retardasi pertumbuhan
intra uteri
Dinding otot rahim Bayi lahir premature
bagian (BBLR/BBSLR)
Berat badan <2500 grm
Bawah rahim lemah

Fungsi organ belum baik


Permukaan tubuh Jaringan lemak subkutan Prematuritas
Relative lebih luas Lebih menipis Penurunan daya tahan

Penguapan berlebih Pemaparan dengan Kehilangan panas Kekurangan cadangan Resiko infeksi
Suhu luar Melalui kulit energi
Kehilangan cairan
Kehilangan panas Malnutrisi

Dehidrasi
Resiko gangguan Hipoglikemia
termoregulasi

Hiperbilirubin Konjugasi bilirubin Hepar


Resiko/ icterus neonatus
Belum baik

Sepsis Resiko infeksi epidermal Halus mudah lecet Kulit


Retinolentral fibroplasia Imaturitas lensa mata
Retinopaty skunder efek O2 Mata

Sekunder terapi Imaturitas ginjal ginjal

- Pertumbuhan dinding dada


Penyakit membrane hialin Insufisiensi pernafasan Belum sempurna Paru
- Vaskuler paru imature

Ketidakefektifan pola nafas


Imaturitas sentrum2 vital Otak

Reflek menelan belum


Regulasi pernafasan sempurna

Pernafasan periodic
Pernadasan biot
Ketidakseimbangan nutrisi Diskontinuitas pemberian
kurang dari Kebutuhan tubuh ASI

Pengosongan lambung belum baik Peristaltikbelum sempurna

Usus
Disfungsi motilitas gastrointestinal
Mudah kembung Dinding lambung lunak
6. MANIFESTASI KLINIK
a. Sebelum bayi lahir
1) Pada anamnesa sering dijumpai adanya riwayat abortus, partus prematurus
dan lahir mati.
2) Pembesaran uterus tidak sesuai tuanya kehamilan.
3) Pergerakan janin yang pertama (Queckening) terjadi lebih lambat, gerakan
janin lebih lambat walaupun kehamilannya sudah agak lanjut.
4) Pertambahan berat badan ibu lambat dan tidak sesuai menurut seharusnya .
5) Sering dijumpai kehamilan dengan oligohidramnion atau bisa pula dengan
hidramnion, hiperemesis gravidarum dan pada hamil lanjut dengan toksemia
gravidarum atau perdarahan ante partum.
b. Setelah bayi lahir
1) Berat lahir < 2500 gram
2) Panjang badan < 45 cm
3) Lingkaran dada < 30 cm
4) Lingkaran kepala < 33 cm
5) Umur kehamilan < 37 minggu
6) Kepala relatif lebih besar dari badannya
7) Kulit tipis, transparan, lanugonya banyak
8) Lemak subkutan kurang, sering tampak peristaltik usus
9) Tangisnya lemah dan jarang
10) Pernapasan tidak teratur dan sering terjadi apnea
11) Otot-otot masih hipotonik, paha selalu dalam keadaan abduksi
12) Sendi lutut dan pergelangan kaki dalam keadaan flexi atau lurus dan kepala
mengarah ke satu sisi.
13) Refleks tonik leher lemah dan refleks moro positif
14) Gerakan otot jarang akan tetapi lebih baik dari bayi cukup bulan
15) Daya isap lemah terutama dalam hari-hari per tama
16) Kulit mengkilat, licin, pitting edema
17) Frekuensi nadi berkisar 100-140 / menit.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Jumlah seldarah putih 18.000 /mm3, netrofil meningkat sampai 23.000-
24.000/mm3, hari pernama setelah lahir (menurun bila ada sepsis)
b. Hematocrit 43%- 61% (meningkat sampai 65% atau lebih menandakan
polisitemia, penurunan kadar menunjukan anamia atau hemoragic prenatal/
perinatal)
c. Hemoglobin 15-20 gr/dL,(kadar lebih rendah berhubungan dengan anemia atau
hemolysis berlebihan)
d. Bilirubin total 6 mg/dL pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dL 1-2 hari, dan 12
mg/dL pada 3 5 hari, mungkin meningkat pada polisitemia
e. Pemeriksaan pertumbuhan dan perkembangan janin intyrauterin serta menemukan
gangguan perttumbuhan, misalnya pemeriksaan USG.
f. Dekstrosik bertujuan untuk menyatakan hipoglikemi.
g. Analisa gas darah untuk menentukan derajat keparahan distres pernafasan bila
ada.
h. Elektrolit serum untuk mengkaji adanya hipokalsemia.
i. Urinalisa untuk mengkaji homeostasis.
j. EKG, EEG, USG, dan angiografi untuk mengetahui defek konginetal dan
komplikasi. (Mitayani, 2013 : 176-177).

8. PELAKSANAAN MEDIS
Menurut Rukiyah, dkk (2010) perawatan pada bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah:
a. Mempertahankan suhu tubuh dengan ketat. BBLR mudah mengalami hipotermi,
oleh karena itu suhu tubuh bayi harus dipertahankan dengan ketat
b. Mencegah infeksi. BBLR sangat rentan dengan infeksi, memperhatikan prinsip-
prinsip pencegahan infeksi termasuk cuci tangan sebelum memegang bayi
c. Pangawasan nutrisi (ASI). Reflek menelan BBLR belum sempurna, oleh sebab itu
pemberian nutrisi dilakukan dengan cermat
d. Penimbangan berat badan. Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi
bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan tubuh, oleh sebab itu penimbangan
dilakukan dengan ketat.
e. Kain yang basah segera diganti dengan kain kering dan bersih untuk
mempertahankan suhu tubuh tetap hangat
f. Tali pusat dalam keadaan bersih
g. Beri mnum dengan sonde/tetes dengan pemberian ASI

Dengan memperhatikan gambaran klinik diatas dan berbagai kemungkinan yang


dapat terjadi pada bayi BBLR, maka perawatan dan pengawasan bayi BBLR
ditujukan pada pengaturan panas badan , pemberian makanan bayi, dan menghindari
infeksi.
a. Pengaturan Suhu Tubuh Bayi BBLR
Bayi BBLR mudah dan cepat sekali menderita Hypotermia bila berada di
lingkungan yang dingin. Kehilangan panas disebabkan oleh permukaan tubuh
bayi yang relatif lebih luas bila dibandingkan dengan berat badan, kurangnya
jaringan lemak dibawah kulit dan kekurangan lemak coklat ( brown fat).
Untuk mencegah hipotermi, perlu diusahakan lingkungan yang cukup
hangat untuk bayi dan dalam keadaan istirahat komsumsi oksigen paling
sedikit, sehingga suhu tubuh bayi tetap normal. Bila bayi dirawat dalam
inkubator, maka suhunya untuk bayi dengan berat badan kurang dari 2000 gr
adalah 35 oC dan untuk bayi dengan BB 2000 gr sampai 2500 gr 34 oC , agar ia
dapat mempertahankan suhu tubuh sekitar 37 oC. Kelembaban inkubator
berkisar antara 50-60 persen . Kelembaban yang lebih tinggi di perlukan pada
bayi dengan sindroma gangguan pernapasan. Suhu inkubator dapat di turunkan
1 oC per minggu untuk bayi dengan berat badan 2000 gr dan secara berangsur
angsur ia dapat diletakkan di dalam tempat tidur bayi dengan suhu lingkungan
27 oC-29 oC.
Bila inkubator tidak ada, pemanasan dapat dilakukan dengan membungkus
bayi dan meletakkan botol-botol hangat di sekitarnya atau dengan memasang
lampu petromaks di dekat tempat tidur bayi atau dengan menggu nakan metode
kangguru.
Cara lain untuk mempertahankan suhu tubuh bayi sekiter 36 oC-37 oC
adalah dengan memakai alat perspexheat shield yang diselimuti pada bayi di
dalam inkubator. Alat ini berguna untuk mengurangi kehilangan panas karena
radiasi. Akhir-akhir ini telah mulai digunakan inkubator yang dilengkapi
dengan alat temperatur sensor (thermistor probe). Alat ini ditempelkan di kulit
bayi. Suhu inkubator di kontrol oleh alat servomechanism. Dengan cara ini
suhu kulit bayi dapat dipertahankan pada derajat yang telah ditetapkan
sebelumnya. Alat ini sangat bermanfaat untuk bayi dengan berat lahir yang
sangat rendah.
Bayi dalam inkubator hanya dipakaikan popok. Hal ini penting untuk
memudahkan pengawasan mengenai keadaan umum,perubahan tingkah laku,
warna kulit, pernapasan, kejang dan sebagainya sehingga penyakit yang
diderita dapat dikenal sedini mungkin dan tindakan serta pengobatan dapat
dilaksanakan secepat cepatnya.
b. Pencegahan Infeksi
Infeksi adalah masuknya bibit penyakit atau kuman kedalam tubuh,
khususnya mikroba. Bayi BBLR sangat mudah mendapat infeksi. Infeksi
terutama disebabkan oleh infeksi nosokomial. Kerentanan terhadap infeksi
disebabkan oleh kadar imunoglobulin serum pada bayi BBLR masih rendah,
aktifitas baktersidal neotrofil, efek sitotoksik limfosit juga masih rendah dan
fungsi imun belum berpengalaman.
Infeksi lokal bayi cepat menjalar menjadi infeksi umum. Tetapi diagnosis
dini dapt ditegakkan jika cukup waspada terhadap perubahan (kelainan)
tingkah laku bayi sering merupakan tanda infeksi umum. Perubahan tersebut
antara lain : malas menetek, gelisah, letargi, suhu tubuh meningkat, frekwensi
pernafasan meningkat, muntah, diare, berat badan mendadak turun.
Fungsi perawatan disini adalah memberi perlindungan terhadap bayi
BBLR dari infeksi. Oleh karena itu, bayi BBLR tidak boleh kontak dengan
penderita infeksi dalam bentuk apapun. Digunakan masker dan abjun khusus
dalam penanganan bayi, perawatan luka tali pusat,perawatan mata, hidung,
kulit, tindakan aseptik dan antiseptik alat alat yang digunakan, isolasi pasien,
jumlah pasien dibatasi, rasio perawat pasien yang idea, mengatur kunjungan,
menghindari perawatan yang terlalu lama, mencegah timbulnya asfiksia dan
pemberian antibiotik yang tepat.
c. Pengaturan Intake
Pengaturan intake adalah menetukan pilihan susu, cara pemberian dan
jadwal pemberian yang sesuai dengan kebutuhan bayi BBLR. ASI (Air Susu
Ibu) merupakan pilihan pertama jioka bayi mampu mengisap. ASI juga dapat
dikeluarkan dan diberikan pada bayi jika bayi tidak cukup mengisap. Jika ASI
tidak ada atau tidak mencukupi khususnya pada bayi BBLR dapat digunakan
susu formula yang komposisinya mirip mirip ASI atau susu formula khusus
bayi BBLR. Cara pemberian makanan bayi BBLR harus diikuti tindakan
pencegahan khusus untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan masuknya udara
dalam usus. Pada bayi dalam inkubator dengan kontak yang minimal, tempat
tidur atau kasur inkubator harus diangkat dan bayi dibalik pada sisi kanannya.
Sedangkan pada bayi lebih besar dapat diberi makan dalam posisi dipangku.
Pada bayi BBLR yang lebih kecil, kurang giat mengisap dan sianosis ketika
minum melalui botol atau menetek pada ibunya, makanan diberikan melalui
NGT. Jadwal pemberian makanan disesuaikan dengan kebutuhan dan berat
badan bayi BBLR. Pemberian makanan interval tiap jam dilakukan pada bayi
dengan Berat Badan lebih rendah.
Reflek menelan bayi BBRL masih belum sempurna dan sangat lemah,
sehingga pemberian nutrisi harus dilakukan dengan cernat. Sebagai langkah
awal jika bayi dapat menelan adalah tetesi ASI dan jika bayi BBLR belum bisa
menelan segera dirujuk (rujuk ke rumah sakit jika bayi BBLRnya ditangani di
puskesmas).
Selain itu pencernaan bayi BBLR masih belum sempurna, lambung kecil,
enzim pencernaan belum matang, sedangkan kebutuhan protein 3-5 gr/kgBB
dan kalori 110 kal/kgBB sehingga tumbuhnya dapat meningkat. Pemberian
minum bayi sekitar 3 jam setelah lahir dan didahului dengan menghisap cairan
lambung. Reflek menghisap masih lemah, sehingga pemberian minum
sebaiknya sedikit demi sedikit, tetapi frekuensi yang lebih sering. Permulaan
cairan diberikan sekitar 50-60 cc/kgBB/hari dan terus dinaikkan sampai
mencapai sekitar 200 cc/kgBB/hari (Maryanti et al., 2012 : 171). Perhatikan
selama pemberian minum bayi menjadi cepat lelah, menjadi biru aatu perut
membesar atau kembung (Amirudin & Hasmi, 2014 : 143).
d. Pernapasan
Jalan napas merupakan jalan udara melalui hidung, pharing, trachea,
bronchiolus, bronchiolus respiratorius, dan duktus alveeolaris ke alveoli.
Terhambatnya jalan nafas akan menimbulkan asfiksia, hipoksia dan akhirnya
kematian. Selain itu bayi BBLR tidak dapat beradaptasi dengan asfiksia yang
terjadi selama proses kelahiran sehingga dapat lahir dengan asfiska perinatal.
Bayi BBLR juga berisiko mengalami serangan apneu dan defisiensi surfakatan,
sehingga tidak dapat memperoleh oksigen yang cukup yang sebelumnya di
peroleh dari plasenta. Dalam kondisi seperti ini diperlukan pembersihan jalan
nafas segera setelah lahir (aspirasi lendir), dibaringkan pada posisi miring,
merangsang pernapasan dengan menepuk atau menjentik tumit. Bila tindakan
ini gagal , dilakukan ventilasi, intubasi endotrakheal, pijatan jantung dan
pemberian natrium bikarbonat dan pemberian oksigen dan selama pemberian
intake dicegah terjadinya aspirasi. Dengan tindakan ini dapat mencegah
sekaligus mengatasi asfiksia sehingga memperkecil kematian bayi BBLR.

9. KOMPLIKASI
a. Kerusakan bernafas : fungsi organ belum sempurna.
b. Pneumonia, aspirasi : refleks menelan dan batuk belum sempurna .
c. Perdarahan intraventrikuler : perdarahan spontan di ventrikel otak lateral
disebabkan anoksia menyebabkan hipoksia otak yang dapat menimbulkan
terjadinya kegagalan peredaran darah sistemik.

10 PROGNOSA
Prognosis BBLR ini tergantung dari berat ringannya masalah perinatal, misalnya
masa gestasi (makin muda masa gestasi/makin rendah berat bayi, makin tinggi angka
kematian), asfiksia/iskemia otak, sindroma gangguan pernapasan, perdarahan
intraventrikuler, displasia bronkopulmonal, retrolental fibro plasia, infeksi, gangguan
metabolik (asidosis,hipoglikemi,hiperbilirubinemia).
Prognosis ini juga tergantung dari keadaan sosial ekonomi, pendidikan orang tua
dan perawatan pada saat kehamilan, persalinan dan postnatal (pengaturan suhu
lingkungan, resusitasi, makanan, mencegah oinfeksi, mengatasi gangguan
pernapasan, asfiksia, hiperilirunbinemia, hipoglikemia, dan lain-lain).

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA NONATUS DENGAN BBLR


1. PENGKAJIAN
a. Identitas
Berat badan bayi biasanya kurang dari 2500 gram serta umur kehamilan biasanya
antara 24 sampai 37 minggu (Pantiawati, 2010 : 28-29). Angka kejadian tertinggi
BBLR adalah pada usia ibu dibawah 20 tahun khususnya pada multigravida
dengan jarak kehamilan yang terlalu dekat, dan pada keluarga dengan ekonomi
rendah (Masitoh et al., 2014 : 151).
b. Keluhan utama
Bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram (Mitayani, 2013 : 175).
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
Pada riwayat penyakit sekarang ditemukan umur kehamilan biasanya antara
24 sampai 37 minggu, rendahnya berat badan pada saat kelahiran, berat
biasanya kurang dari 2500 gram, kurus, lapisan lemak subkutan sedikit atau
tidak ada, kepala relative lebih besar dibandingkan badan, 3 cm lebih besar
dibandingkan lebar dada, kelainan fisik mungkin terlihat, nilai APGAR pada 1
sampai 5 menit, 0 sampai 3 menunjukkan kegawatan yang parah, 4 sampai 6
kegawatan yang sedang, dan 7 sampai 10 normal (Pantiawati, 2010 : 29).
2) Riwayat penyakit dahulu
Ibu dengan riwayat melahirkan BBLR pada partus sebelumnya mempunyai
kemungkinan untuk melahirkan anak berikutnya dengan BBLR (Amirudin &
Hasmi, 2014).
d. Riwayat kehamilan dan persalinan
1) Riwayat prenatal
Pada umumnya ibu hamil dengan pemeriksaan ANC < 4 kali berisiko bayi
lahir dengan BBLR (Amalia, 2011 : 258).
2) Riwayat natal
Umur kehamilan biasanya antara 24 sampai 37 minggu, berat biasanya kurang
dari 2500 gram, nilai APGAR pada 1 sampai 5 menit, 0 sampai 3
menunnjukkan kegawatan yang parah, 4 sampai 6 kegawatan yang sedang,
dan 7 sampai 10 normal (Pantiawati, 2010 : 29).
3) Riwayat post natal
Pada bayi BBLR, biasanya bayi pergerakannya lemah dan kurang, tangisan
lemah, pernafasan belum teratur dan sering mengalami serangan apnea, reflek
tonus leher lemah, reflek menghisap dan menelan serta reflek batuk belum
sempurna, dan tali pusat berwarna kuning kehijauan (Maryanti, et al., 2012 :
167-168).
e. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Bayi BBLR memiliki berat kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari
45 cm, pernafasan belum teratur dan sering mengalami serangan apnea, dan
bayi BBLR mudah mengalami hipotermia (Maryanti et al., 2012 : 174-175).
Penilaian keadaan umum bayi berdasarkan nilai APGAR skore
APGAR 0 1 2
Appearance (warna Pucat Badan merah, ekstremitas Seluruh tubuh kemerah-
kulit biru merahan
Pulse rate (frekuensi Tidak ada
<100 >100
nadi)
Grimace (Reaksi Tidak ada Sedikit gerakan mimic Batuk atau bersin
rangsang) (grimace)
Activity (Tonus otot) Tidak ada Ekstremitas dalam sedikit Gerakan aktif
fleksi
Respirasi (pernafasan) Tidak ada Lemah atau tidak teratur Baik atau menangis
Sumber : (Sondakh, 2013 : 158)
Keterangan :
Nilai 7-10 : Kondisi baik
Nilai 4-6 : Depresi pernafasan sedang
Nilai 0-3 : Depresi pernafasan berat
Penilaian Balard Score (Aspek Kematangan fisik)
2) Head to toe
a) Kepala dan Leher
- Inspeksi : Lingkar kepala kurang dari 33 cm, kepala lebih besar
daripada badan, dan tulang rawan dan daun telinga imatur (Maryanti et
al., 2012 : 167-168), batang hidung cekung, hidung pendek mencuat,
bibir atas tipis, dan dagu maju, serta pelebaran tampilan
mata (Mitayani, 2013 : 176).
- Palpasi : Ubun-ubun dan sutura lebar (Maryanti et al., 2012 : 167-
Adanya penonjolan tulang karena ketidakadekuatan pertumbuhan
tulang, dan dahi menonjol (Mitayani, 2013 : 176). Lingkar kepala
kurang dari 33 cm (Maryunani & Puspita, 2013 : 317).
b) Dada
- Paru-paru
Inspeksi : Jumlah pernafasan rata-rata antara 40-60 per menit
diselingi dengan periode apnea, pernafasan tidak teratu, dengan flaring
nasal melebar, adanya retraksi (intercostal, suprasternal, substernal)
(Pantiawati, 2010 : 31).
Palpasi : Lingkar dada kurang dari 30 cm (Maryunani &
Puspita, 2013 : 317).
Auskultasi : Terdengar suara gemerisik dan dengkuran.
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak.
Palpasi : Tulang rusuk lunak, ictus cordis teraba di ICS 4-5.
Auskultasi : Denyut jantung rata-rata 120-160 per menit pada
bagian apikal dengan ritme teratur pada saat kelahiran, kebisingan
jantung terdengar pada seperempat bagian interkostal (Pantiawati, 2010
: 29-30).
c) Abdomen
Inspeksi : Penonjolan abdomen, tali pusat berwarna kuning
kehijauan (Maryanti, et al., 2012 : 167).
Auskultasi : Peristaltik usus peristaltik dapat dimulai 6-12 jam setelah
kelahiran.
d) Genetalia
Inspeksi : Pada bayi perempuan ditemukan klitoris yang menonjol
dengan labia mayora yang belum berkembang, sedangkan pada bayi laki-
laki skrotum belum berkembang sempurna dengan ruga yang kecil, dan
testis tidak turun ke dalam skrotum (Pantiawati, 2010 : 31).
e) Anus
Inspeksi : Pengeluaran mekonium biasanya terjadi dalam
waktu 12 jam, terdapat anus (Maryanti, et al., 2012 : 167).
f) Ektremitas
Inspeksi : Tonus otot dapat tampak kencang dengan fleksi
ekstremitas bawah dan atas serta keterbatasan gerak, penurunan masaa
otot, khususunya pada pipi, bokong dan paha (Mitayani, 2013 : 176).
Palpasi : Tulang tengkorak lunak
g) Kulit (intergumen)
Inspeksi : Kulit berwarna merah muda atau merah, kekuning-
kuningan, sedikit venik kaseosa dengan lanugo disekujur tubuh, kulit
tampak transparan, halus dan mengkilap, kuku pendek belum melewati
ujung jari (Pantiawati, 2010 : 30).
3) Pemeriksaan neurologis
- Refleks rooting dan menghisap
Respon bayi dalam menolehkan kepala ke arah stimulus lemah,
membuka mulut membuka mulut, dan mulai menhisap lemah (Sondakh,
2013 : 154).
- Menelan
Terjadi muntah, batuk atau regurgitasi cairan (Sondakh, 2013 : 154).
- Ekstrusi
Ekstrusi lidah secara kontinue atau menjulurkan lidah yang berulang-
ulang terjadi pada kelainan SSP dan kejang (Sondakh, 2013 : 154).
- Moro
Respon asimetris pada pemeriksaan reflek moro (Sondakh, 2013 : 154),
fleksi ekstremitas bawah dan atas serta keterbatasan gerak (Mitayani,
2013 : 176).
- Tonik leher atau fencing
Reflex tonus leher lemah (Maryanti, et al., 2012 : 167).
Glabellar blink
- Terus berkedip dan gagal untuk berkedip menandakan kemungkianan
gangguan neurologis (Sondakh, 2013 : 155).
- Palmar grasp
Pada bayi normal jari bayi akan melekuk di sekeliling benda dan
menggegamnya seketika bila jari diletakkan di tangan bayi, namun pada
bayi dengan BBLR respon ini berkurang (Sondakh, 2013 : 155).
- Plantar grasp
Pada bayi normal jari bayi akan melekuk di sekeliling benda dan
menggegamnya seketika bila jari diletakkan ditelapak kaki bayi, namun
pada bayi BBLR respon ini berkurang (Sondakh, 2013 : 155).
- Tanda Babinski
Jari-jari kaki akan hiperektensi dan terpisah seperti kipas dari dorsofleksi
ibu jari kaki bila satu sisi kaki di gosok dari tumit ke atas melintasi
bantalan kaki pada respon normal bayi, namun pada defisit SSP tidak ada
respon yang terjadi pada pemeriksaan tanda babinski (Sondakh, 2013 :
155).
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan termoregulasi : hipotermi b.d disproporsi berat badan
dibandingkan dengan panjang dan lingkar kepala, kulit kering pecah-pecah dan
terkelupas serta tidak adanya jaringan subkutan.
b. Ketidakefektifan pola nafas b.d belum sempurnanya pembentukan membran
hialin surfaktan paru.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan simpanan
nutrisi, imaturitas simpanan enzim, reflek menelan dan menghisap lemah, otot
abdominal lemah.
d. Diskontinuitas pemberian ASI b.d reflek menelan dan menghisap lemah, dan
prematuritas.
e. Risiko infeksi b.d pertahanan imunologis tidak adekuat.
f. Ikterus neonatus b.d bilirubin tak terkonjugasi dalam sirkulasi.
g. Risiko kerusakan integritas kulit b.d kulit kering pecah-pecah dan terkelupas serta
tidak adanya jaringan subkutan.

3. PERENCANAAN KEPERAWATAN
a. Ketidakseimbangan termoregulasi : hipotermi b.d disproporsi berat badan
dibandingkan dengan panjang dan lingkar kepala, kulit kering pecah-pecah dan
terkelupas serta tidak adanya jaringan subkutan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu x24 jam
termoregulasi menjadi efektif sesuai perkembangannya. Kriteria hasil :
- Mempertahankan suhu kulit atau aksila (35-37,3 oC)
- Bebas rasa dingin
Intervensi :
1) Kaji suhu dengan memeriksa suhu rektal pada awalnya, selanjutnya periksa
suhu aksila atau gunakan alat termostat dengan dasar terbuka dan penyebar
hangat.
Rasional : Hipotermia membuat bayi bayi cenderung merasa stress karena
dingin, penggunaan simpanan lemak tidak dapat diperbahasrui bila ada dan
penurunan sensitivitas untuk meningkatkan kadar CO2 ataupenurunan kadar
O2.
2) Kaji haluaran dan berat jenis urine.
Rasional : Penurunan keluaran dan peningkatan berat jenis urine
berhubungan dengan penurunan perfusi ginjal selama periode sttres karena
rasa dingin.
3) Observasi perkembangan takikardi, warna kemerahan, diaforesis, apnea, atau
aktivitas kejang.
Rasional : Tanda-tanda hipertemia ini dapat berlanjut pada kerusakan otak
bila tidak teratasi.
4) Tempatkan bayi pada inkubator atau dalam keadaan hangat dengan KMC.
Rasional : Stres dingin meningkatkan kebutuhan terhadap gula glukosa dan
osigen serta dapat mengakibatkan masalah asam basa bila bayi mengalami
metabolisme anaerobik bila kadar oksigen yang cukup tidak tersedia.
Peningkatan bilirubin indirek dapat terjadi karena pelepasan asam lemak dari
metabolisme lemak coklat dengan asam lemak bersaing dengan bilirubin pada
bagian ikatan di albumin.
5) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat-obatan sesuai indikasi (natrium
bikarbonat)
Rasional : Natrium bikarbonat dapat memperbaiki asidosis yang dapat terjadi
pada hipotermia dan hipertermia.
b. Ketidakefektifan pola nafas b.d belum sempurnanya pembentukan membran
hialin surfaktan paru.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam
pola nafas kembali efektif.
Kriteria hasil :
- Neonatus akan mempertahankan pola nafas
- RR dalam batas normal (30-60 x/menit)
- Tidak ada penggunaan oto bantu pernafasn, tidak ada pernafasan
cuping hidung.
Intervensi :
1) Kaji frekuensi dan pola pernafasan, perhatikan adanya apnea dan perubahan
frekuensi jantung
Rasional : Membantu dalam membedakan periode perputaran pernafasan
normal dari serangan apnetik sejati, terutama sering terjadi pada gestasi
minggu ke-30.
2) Isap jalan nafas sesuai kebutuhan
Rasional : Menghilangkan mukus yang menyumbat jalan nafas.
3) Posisikan bayi pada abdomen atau posisi terlentang dengan gulungan popok
dibawah bahu untuk menghasilkan hiperekstensi
Rasional : Posisi ini memudahkan perbafasan dan menurunkan episode
apnea, khususunya bila ditemukan adanya hipoksia, asidosis metabolik, atau
hiperapnea.
4) Observasi hasil laboratorium sesuai indikasi
Rasional : Hipoksia, asidosis metabolik, hipoglikemi, hipokalsemi, dan
sepsis dapat memperberat serangan apnetik.
5) Kolaborasi dengan dokter pemberian oksigen
Rasional : Perbaikan kadar oksigen dan karbondioksida dapat meningkatkan
fungsi pernafasan.
6) Kolaborasi dengan dokter pemberian natrium bikarbonat dan aminopilin
Rasional : Natrium bikarbonat dapat memperbaiki asidosis, sedangkan
aminopilin dapat meningkatkan aktivitas pusat pernafasan dan menurunkan
sensitivitas terhadap CO2, menurunkan frekuensi apnea.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan simpanan
nutrisi, imaturitas simpanan enzim, reflek menelan dan menghisap lemah, otot
abdominal lemah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam
nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan
Kriteria hasil :
- Mempertahankan pertumbuhan dan peningkatan berat badan dalam kurva
normal dengan penambahan berat badan tetap.
- Peningkatan BB sedikitnya 20-30 gram/hari.
Intervensi :
1) Kaji maturitas reflek berkenaan dengan pemberian makan (misalnya
menghisap, menelan, dan batuk).
Rasional : Menentukan metode pemberian makan yang tepat untuk bayi.
2) Kaji berat badan dengan menimbang berat badan tiap hari.
Rasional : Mengidentiifikasikan adanya risiko derajat dan risiko terhadap
pola pertumbuhan.
3) Auskultasi bising usus dan kaji status fisik.
Rasional : Pemberian makan stabil memiliki peristaltik dapat dimulai 6-12
jam setelah kelahiran.
4) Observasi masukan dan penegluaran. Hitung konsumsi kalori dan elektrolit
setiap hari.
Rasional : Memberikan informasi tentang masukan aktual dalam
hubungannya dengan perkiraan kebutuhan untuk digunakan dalam
penyesuaian diet.
5) Kaji tingkat hidrasi, perhatikan fontanel, turgor kulit, kondisi membran
mukosa, fluktuasi berat badan.
Rasional : Peningkatan kebutuhan metabolik dari bayi BBLR dapat
meningkatkan kebutuhan cairan.
6) Berikan nutrisi (ASI) dalam jumlah sedikit tetapi sering dengan sendok.
Rasional : Meningkatkan asupan nutrisi yang masuk dan mengurangi usaha
menghisap yang dapat membuat bayi mudah lelah.
7) Kolaborasi dengan dokter pemberian suplemen elektrolit sesuai indikasi
misalnya kalsium glukonat 10 %.
Rasional : Ketidakstabilan metabolik pada bayi BBLR dapat memerlukan
suplemen untuk mempertahankan homeostasis.
d. Diskontinuitas pemberian ASI b.d reflek menelan dan menghisap lemah, dan
prematuritas.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam
diharapkan terjadi pemeliharaan pemberian ASI.
Kriteria hasil :
- Keberlangsungan pemberian ASI
- Peningkatan pemahaman ibu tentang laktasi
- Kemampuan ibu untuk mengumpulkan ASI
- Bayi mampu menerima pemberian ASI
Intervensi :
1) Kaji keinginan dan motivasi ibu untuk menyusui
Rasional : Identifikasi keadekuatan pemberian ASI
2) Kaji kesiapan bayi untuk transisi ke payudara (obserfasi reflek hisap,
rooting dan menelan)
Rasional : Identifikasi kesiapan bayi untuk menyusu ke ibu
3) Observasi BB harian
Rasional : Melihat perkembangan BB bayi
4) Observasi pola BAB
Rasional : Menetahui maturitas pencernaan
5) Anjurkan ibu untuk memerah ASI
Rasional : Agar pemberian ASI adekuat
6) Saat baby show lakukan penyuluhan tentang pemberian ASI
Rasional : Memberikan informasi tentang metode pemberian ASI pada
keluarga
e. Risiko infeksi b.d pertahanan imunologis tidak adekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam
tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
- Memtidak ada tanda-tanda infeksi
- Leukosit dalam batas normal
Intervensi :
1) Observasi tanda dan gejala infeksi lokal
Rasional : Bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi
2) Observasi TTV tiap 1 2 jam
Rasional : Perubahan suhu tubuh menunjukkan respon adanya Infeksi
3) Jaga kebersihan lingkungan
Rasional : Mencegah kontaminasi silang serta mengontrol infeksi diruang
perawatan
4) Gunakan teknik aseptic (mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan
sebelum interaksi dengan bayi)
Rasional : Mencuci tangan merupakan teknik yang paling penting untuk
mencegah kontaminasi silang serta mengontrol infeksi diruang perawatan
5) Lakukan perawatan tali pusat dengan teknik septik.
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi dimana tali pusat sebagai Port de
entry
6) Mandikan atau seka bayi dua kali atau hari.
Rasional : Meningkatkan hygiene bayi dan mencegah kontaminasi silang
7) Kolaborasi pemberian antibiotik yang sesuai
Rasional : Antibiotik berperan sebagai agen perlawanan infeksi enterik
f. Ikterus neonatus b.d bilirubin tak terkonjugasi dalam sirkulasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 2 x 24 jam
diharapkan tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil :
- Sensasi, elastisitas, pigmentasi kulit dalam keadaan normal
- Tidak terjadi lesi pada kulit
- Perfusi jaringan baik
Intervensi :
1) Jaga kebersihan kulit Agar tetap kering dan bersih
Rasional : Kemerahan pada kulit merupakan tanda-tanda infeksi
2) Cek kadar bilirubin tiap hari
Rasional : Mengetahui status perkembangan pasien menentukan tindakan
selanjunya
3) Anjurkan pada ibu untuk menyusui dengan ASI tiap 2 jam sekali
Rasional : Pemberian ASI atau kolostrum merupakan laksatif alami yang
membantu menurunkan kadar bilirubin.
4) Mobilisasi bayi setiap 2 jam sekali, seperti miring kanan-kiri, telungkup atau
terlentang
Rasional : Mencegah terjadinya gangguan pada kulit
5) Kolaborasi dalam pemberian fototerapi
Rasional : Membantu menurunkan bilirubin sehingga dapat menghilangkan
warna kuning pada tubuh bayi
g. Risiko kerusakan integritas kulit b.d kulit kering pecah-pecah dan terkelupas serta
tidak adanya jaringan subkutan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam
diharapkan tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil : Keutuhan kulit tetap terjaga, perfusi jaringan adekuat, tidak terjadi
lecet.
Intervensi :
1) Minimalkan penekanan pada bagian tubuh
Rasional : Membantu dalam menjaga peredaran darah tetap lancar dan
mengurangi resiko terjadinya dekubitus.
2) Kaji kulit dan membran mukosa tiap 2 4 jam
Rasional : Mengidentifikasi area potensial kerusakan dermal, yang akan
mengakibatkan sepsis.
3) Ubah atau atur posisi bayi tiap 2 4 jam
Rasional : Mengurangi penekanan pada salah satu sisi tubuh yang dapat
mengakibatkan dekubitus.
4) Lindungi bayi dari kontaminasi feses dan urine.
Rasional : Feses dan urin sebagai media berkembangnya bakteri patogen
yang menyebabkan iritasi.
5) Hindari penggunaan lotion, cream, atau powder yang berlebihan
Rasional : Kulit bersifat bakterisida, penggunaan lotion, cream, atau
powder yang berlebihan menjadi tempat berkembang bakteri patogen.

4. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan tindakan yang sesuia dengan yang telah direncanakan,
mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan mandiri adalah tindakan
keperawatan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat dan bukan atas petunjuk
tenaga kesehatan yang lain. Sedangkan tindakan kolaborasi adalah tindakan
keperawatan yang didasarkan oleh hasil keputusan bersama dengan dokter atau
petugas kesehatan yang lain (Mitayani, 2013 : 182).
5. EVALUASI
Evaluasi merupakan hasil perkembangan ibu denagn berpedoman kepada hasil dan
tujuan yang hendak dicapai (Mitayani, 2013 : 182).
6. DISCHARGE PLANNING
a. Beri asupan ASI sesering mungkin untuk meningkatkan berat badan bayi
b. Menjaga bayi tetap hangat
c. Timbang berat badan secara umum setiap minggu hingga BB bayi mencapai 2,5
kg

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, L. (2011). Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah BBLR di RSU Dr MM
Dunda Limboto Kabupaten Gorontalo. Jurnal Sainstek, 6(3), 249260. Retrieved from
http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/1/399/Faktor-Risiko-KejadianBayi-Berat-Lahir-
Rendah-BBLR-di-RSU-Dr-MM-Dunda-Limboto-Kabupaten-Gorontalo-Risk-factors-in-
the-Incidence-of-Low-Birth-Weight-Birth-at-Dr-MM-Dunda-Limboto-Gorontalo-
Regency.pdf.

Ambarwati, E. R., & Rismintari, Y. S. (2009). Asuhan Kebidanan Komunitas. Yogyakarta:


Nuha Medika.
Amirudin, R., & Hasmi. (2014). Determinan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: TIM.

Cunningham FG, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Rouse D, S. C. (2010). Obstetri Williams


(Edisi ke 2). Jakarta: EGC.

Hapisah, Dasuki, D., & Prabandari, Y. S. (2010). Depressive Symptoms Pada Ibu Hamil dan
Bayi Berat Lahir Rendah. Berita Kedokteran MasyarakatMasyarakat, 26(2), 8189.
Retrieved from http://jurnal.ugm.ac.id/bkm/article/view/3472/2999

Mahayana, S. A. S., Chundrayetti, E., & Yulistini. (2015). Artikel Penelitian Faktor Risiko
yang Berpengaruh terhadap Kejadian Berat. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(3), 664673.
Retrieved from http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/viewFile/345/300

Maryanti, D., Sujianti, & Budiarti, T. (2012). Buku Ajar Neonatus, Bayi, dan Balita. Jakarta:
Trans Info Media Mitayani. (2013). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba
Medika.

Masitoh, S., Syarifudin, & Delmaifanis. (2014). Hamil Ganda Penyebab Bermakna Berat Bayi
Lahir Rendah. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kesehatan, 1(2), 129134. Retrieved from
http://ejurnal.poltekkesjakarta3.ac.id/index.php/JITEK/article/view/55/48
Mitayani. (2013). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis NANDA NIC-NOC (Jilid 3). Yogyakarta: Media Action Publishing
Pantiawati, I. (2010). Bayi dengan BBLR. Yogyakarta: Nuha Medika.
Prawirohardjo, S. (2008). Ilmu kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Rukiyah, Ai Yeyeh & Lia Yulianti. 2010. Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan). Trans
Info Media : Jakarta
Sondakh, J. J. S. (2013). Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: Erlangga.

http://laporan-pendahuluan-bblr.blogspot.co.id/

Anda mungkin juga menyukai