Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN

MEDIKAL BEDAH II FRAKTUR DI RUMAH SAKIT


PUSRI PALEMBANG

Oleh :

Nama : Siti Nurshella Wulandari


NIM : 231000414901037

CI Akademik
Elfira Husna S.Kep.,Ners.,M.kep

CI Klinik
Zr.Yessi Arita,S.Kep

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS PRIMA NUSANTARA BUKITINGGI

2024
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
Fraktur adalah suatu diskotinuitas susunan tulang yang disebabkan oleh trauma
atau keadaan patologis. Fraktur adalah terputus kontinuitas jaringan tulang dan atau
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Vitiya dkk, 2017). Fraktur
merupakan salah satu penyebab cacat salah satunya akibat suatu trauma karena
kecelakaan (Hesti dkk, 2020).
Fraktur dibagi bedasarkan dengan kontak dunia luar, yaitu meliputi fraktur
tertutup dan terbuka. Fraktur tertutup adalah fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit
masih utuh, tulang tidak keluar melalui kulit (Juli, 2020). Fraktur femur bisa atau tanpa
dislokasi tulang dengan lingkungan eksternal (Ezra dkk, 2016). Sedangkan fraktur
terbuka adalah fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya hubungan dengan
lingkungan luar, maka fraktur terbuka sangat berpotensi menjadi infeksi (Rahmawati et
al, 2018) dalam Juli, 2020). Fraktur terbuka (menembus kulit dan terbuka dengan
lingkungan eksternal) (Ezra dkk, 2016).
Menurut garis frakturnya, patah tulang dibagi menjadi fraktur komplit atau
inkomplit (termasuk fisura atau greenstick fracture). Transversa, oblik, spiral,
kompresi, simple, kominutif, segmental, kupu-kupu, dan impaksi (termasuk impresi
dan inklavasi) (Ezra dkk, 2016). Terdapat beberapa jenis fraktur femur berdasarkan
lokasi anatomis yaitu fraktur leher femur, fraktur trokanter femur, fraktur subtrokanter
femur, fraktur diafisis femur, frektur suprakondilus femur dan fraktur kondilus femur
(Ezra dkk, 2016).
Klasifikasi fraktur femur (Muttaqin, 2015 dalam (Agus), 2019) terbagi menjadi
beberapa :
a. Fraktur leher femur
Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering di temukan pada
orang tua atau wanita usia 60 tahun keatas disertai tulang yang osteoporosis.
Fraktur leher femur pada anak-anak jarang di temukan fraktur ini lebih
sering ditemukan pada anak laki-laki dari pada anak perempuan dengan
perbandingan 3 – 2 insiden terpenting pada anak usia 11 – 12 tahun.
b. Fraktur subtrokanter
Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada semua usia, biasanya di sebabkan
trauma yang hebat. Pemeriksaan dapat menunjukan fraktur yang terjadi di
bawah trokanter minor.
c. Fraktur intertokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur. Fraktur
daerah troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter mayor dan
minor. Fraktur ini bersifat ekstraartikuler dan sering terjadi pada klien yang
jatuh dan mengalami trauma. Keretakan tulang terjadi antara trokanter mayor
dan minor tempat fragmen proksimal cenderung bergeser serta varus. Fraktur
dapat bersifat kominutif terutama pada bagian korteks bagian posteomedial.
d. Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis dapat terjadi pada daerah femur pada setiap usia dan
biasanya karena trauma hebat, misalnya kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian.
e. Fraktur suprokondilar femur
Daerah suprokondilar adalah daerah antar batas proksimal kondilus femur
dan bats metafisis dan batas diafisis femur. Trauma yang mengenai femur
terjadi karena ada tekanan varus dan vagus yang disertai kekuatan aksial dan
putaran sehingga dapat mengakibatkan fraktur pada daerah ini. Pergeseran
terjadi karena tarikan otot.

B. Etiologi
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat
berupa pemukulan, penghancuran, perubahan tempat. Bila tekanan kekuatan
langsungan, tulang dapat tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan
ikut rusak serta kerusakan pada kulit (Agus, 2019).
b. Akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat
tekanan berulang. Hal ini sering terjadi pada atlet, penari atau calon tentara yang
berbaris atau berjalan pada jarak jauh (Agus, 2019).
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal bila tulang tersebut lunak (misalnya
oleh tumor) atau tulang sangat rapuh (Agus, 2019).

C. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam
jaringan lunak di sekitar tulang tersebut, jaringan lunak yang biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat sekitar fraktur. Sel-sel darah putih
dan sel-sel anast berkamulasi mengakibatkan peningkatan aliran darah ketempat
tersebut aktifitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru amatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin di reabsorsi dan sel-sel tulang baru mengalami atau remodelling
untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut
saraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke estrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusa
darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini dinamakan sindrom compartment (Bunner dan Suddart (2015) dalam
Agus, 2019).
Pathway

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran frakmen tulang Nyeri akut

Perub jaringan sekitar Kerusakan frakmen tulang

Melepaskan katekolamin
Pergeseran fragmen Spame otot
tulang
Metabolism asam lemak
Peningkatan kapiler
Deformitas

Gangguan fungus Pelepasan histamin Bergabung dgn trombosit


ekstermitas
Protein plasma hilang
Emboli
Hambatan mobilitas fisik
Edema
Menyumbat pembuluh
Laserasi kulit darah

Kerusakan integritas
kulit resiko infeksi Ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer
Perdarahan

Kehilangan volume Resiko Syok


cairan (hipovolemik)
D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas pemendekan
ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan tambah dan bertambah beratnya sampai frakmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara alamiah (gerakan luar biasa) bukanya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan diformitas
(terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ektremitas normal. Ektremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot tergantung pada integritas tempat melengketnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat pada atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
d. Saat ektremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen 1 dengan yang
lainnya. (Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat).
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit dapat terjadi sebagai akibat
trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah terjadi cidera.

E. Penatalaksanaan
Menurut Agus (2019) tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan
lokasi serta usia. Berikut adalan tindakan pertolongan awal pada fraktur :
a. Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang terjadi karena
benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang menjadi alasan kuat pasien
mengalami fraktur.
b. Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan anti septic dan bersihkan perndarahan
dengan cara dibebat atau diperban.
c. Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini tidak boleh
dilakukan oleh para ahli bedah untuk megambilkan tilang keposisi semula.
d. Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau papan dari kedua
posisi ulang yang patah untuk mengangga agar tulang posisi tetap stabil
e. Berikan analgetik untuk mengurangi rasa nyeri pada sekitar pelukaan
f. Beri perawatan dan perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post patahan tulang
ke posisi semua (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidayat & jong (2015) dalam Agus,
2019). Penatalaksanaan adalah :
1. Fraktur terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kortaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh dilakukan pembersih luka, cuci, hecting situasi, antibiotic.
Ada beberapa prinsipnya yaitu :
 Harus di tegakkan dan di tangani terlebih dahulu akibat trauma yang
membahayakan jiwa airway, breathing, circulation. Semua penderita patah
tulang terbuka harus diingat sebagai penderita dengan kemungkinan besar
megalami cedera di tempat lain yang serius. Hal ini perlu ditekankan
mengingat bahwa untuk terjadinya patah tulang diperlukan gaya yang cukup
kuat yang sering kali dapat berakibat total, tapi berakibat multi organ. Untuk
live saving prinsip dasar yaitu : airway, breathing and circulation.
 Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat
Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera yang meliputi pembidaian, menghentikan pendarahan
segera yang meliputi pembidaian, menghentikan pendarahan dengan bebat
tekan, menghetikan jaringan lunak maka patah tulang tersebut terancam
untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah
patah tulang terbuka yang terjadi masih dalam stadium kontaminasi (golden
periode) dan setelah waktu tersebut luka berubah luka infeksi. Oleh karena
itu penaganan patah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden periode
terlampaui agar sasaran terakhir penaganan patah tulang terbuka, tercapai
dalam walaupun ditinjau dari segi prioritas penangannya. Tulang secara
primer menempati urutan prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksut adalah
mencegah sepsis, penyembuhan tulang pulih, pulihnya fungsi
 Pemberian antibiotic
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangata bervariasi
tergantungan dimana patah tulang ibu terjadi. Pemberian anti biotik yang
tepata sukar sukar untuk ditentukan hanya saja sebagai pemikiran sadar.
Sebaliknya antibiotika dengan spectrum luas untuk kuman gram positif
maupun negative.
 Debredemen dan Irigasi sempurna
Debredemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah patah terbuka
baik berupa benda asing maupun jaringan local yang mati. Irigasi untuk
mengurangi kepadatan kuman dengan cara mencuci luka dengan larutan
fisiologis dalam jumlah banyak baik dengan takanan maupun tekanan.
 Stabilisasi
Untuk penyambutan luka dan tulang sangat diperlukan stabilitas fragmen
tulang, cara stabilisasi tulang tergantung derajat patah tulang tebukanya dan
fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan
fiksasi dalam secara primer untuk derajat 3 di anjurkan pemasangan fiksasi
luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar dapat segera dilakukan langkah awal
dari rehabilitasi pengguna.
2. Seluruh Fraktur
 Rekoknisi/Pengenalan
Riwayat kajian harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
 Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang supaya kembali secara optimal
seperti semula secara optimal.
 OREF
Penanganan intraoperative pada fraktur terbuka derajat II yaitu dengan cara
reduksi di ikuti fiksasi eksternal OREF (Open Reduction External Fixation)
sehingga di peroleh stabilisasi faktur yang baik.
 ORIF
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedaan
dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur.
 Retensi/Imobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula optimun. Imobilisasi fraktur sehingga fraktur di reduksi,
fragmen tulang harus di imobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
 Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan aringan lunak.
F. Komplikasi
Fraktur dapat menyebabkan komplikasi, morbiditas yang lama dan juga
kecacatan apabila tidak mendapatkan penanganan yang baik (Padila (2012) dalam Juli,
2020). Komplikasi yang timbul akibat fraktur antara lain perdarahan, cedera organ
dalam, infeksi luka, emboli lemak dan sindroma pernafasan (Juli, 2020).
Banyaknya komplikasi yang ditimbulkan diakibatkan oleh tulang femur adalah
tulang terpanjang, terkuat, dan tulang paling berat pada tubuh manusia dimana
berfungsi sebagai penopang tubuh manusia (Agus, 2017). Selain itu pada daerah
tersebut terdapat pembuluh darah besar sehingga apabila terjadi cedera pada femur
akan berakibat fatal (Desiartama & Aryana (2017) dalam Juli, 2020).
Menurut Agus, 2019) komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat
fatal setelah beberapa jam setelah cidera, emboli lemak yang dapat terjadi dalam 48
jam atau lebih dan sindrom kompartemen yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas
permanen jika tidak di tangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur
yaitu :
 Syok
Syok hipowolemik atau traumatic akibat pendarahan (bila kehilangan darah
eksterma atau interma) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat
terjadi pada fraktur ekstremitas, torak, pelvis, dan vertebra karena tulang merupakan
orang yang sangat vaskuler, muka dapat terjadi kehilangan banyak darah dalam
jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya untuk fraktur pelvis (Agus,
2019).
 Emboli Lemak
Setelah terjadi fraktur femur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk
dapat terjadi emboli lemak, khususnya untuk pria dewasa muda usia 20-30 tahun.
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk kedalam darah karena
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena tekanan
katekolamin yang dilepaskan karena reaksi stres pasien akan memobilisasi asam
lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula
lemak akan bergabung dengan trombosit membentul emboli, yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru, ginjal dan organ lain.
Awitan dan gejalanya sangat cepat dapat terjadi beberapa jam sampai satu minggu
setelah cidera, gambaran khasnya berupa hipoksoa, takipnea, takikardi dan pireksia
(Agus, 2019)
 Sindrom Kompertemen
Sindrom kompertemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan
intrestisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu didalam kompertemen akan
mengakibatkan bekurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan,
sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruang tersebut.
Ruang tersebut terisi oleh otot-otot individual dan terbungkus oleh epinyisium.
Sindrom kompertemen di tandai dengan nyeri yang hebat, parestasi, paresis, pucat,
disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian kompertemen terletak di
anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah
tungkai bawah dan tungkai atas (Agus, 2019).
 Nekrosis Avakular Tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakiabtkan iskemia tulang
yang berujung pada nekrosis avaskuler. Nekrosis avaskuler ini sering di umpai pada
kaput femoris, bagian proksimal os scapphooid, os. Lumatum, dan os. Talus
(Suratum (2015) dalam Agus, 2019).
 Atropi Otot
Atropi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran normal.
Mengecilnya otot tersebut karena sel-sel spesifik yaitu sel-sel parnkim yang
menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat
otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot, aliran darah
tidak adekuat ke jaringan otot (Suratum dkk (2015) dalam Agus, 2019).

G. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses pengumpulan data sistematis dari berbagai sumber untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Lyer et al (1996) dalam Nursalam, 2011).
1. Identitas Klien
Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, bangsa, pendidikan, pekerjaan
tanggal MRS, diagnosa medis, nomor registrasi.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur femur adalah rasa nyeri. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri pasien, perawat dapat
menggunakan PQRST.
a. Provokating incident : hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri adalah trauma
pada bagian paha.
b. Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien, apakah seperti
terbakar, berdenyut/menusuk.
c. Region, Radiation, Relief : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar/menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (scale) of pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien, bisa
berdasarkan skala nyeri/pasien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malah hari atau siang hari.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien fraktur/patah tulang dapat disebabkan oleh trauma/kecelakaan
degenerative dan patologis yang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan
sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat/perubahan warna kulit
dan kesemutan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini (fraktur femur) atau pernah punya
penyakit yang menular/menurun sebelumnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Pada keluarga pasien ada/tidak yang menderita osteoporosis, arthritis, dan
tuberkolosis/penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular.
6. Riwayat psikososial spiritual
Kaji respons emosi pasien terhadap penyakit yang dideritanya, peran pasien dalam
kelaurga dan masyarakat, serta respons atau pengaruhnya dalam masyarakat.
7. Pola fungsi kesehatan
Dalam tahap pengkajian perawat juga perlu mengetahui pola-pola fungsi kesehatan
dalam proses keperawatan pasien fraktur femur.
8. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pasien fraktur akan merasa takut terjadi kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup pasien seperti penggunaan obat steroid
yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengonsumsian alcohol yang dapat
mengganggu metabolisme keseimbangan pasien dan apakah paisen melakukan
olahraga.
9. Pola nutrisi dan metabolisme
Pada fakur tidak akan mengalami pernurunan nafsu makan, meskipun menu berubah
misalnya makan dirumah gizi tetap sama sedangkan ketika di RS disesuaikan
dengan penyakit diem diet pasien.
10. Pola eliminasi
Kebiasaan miksi/defkasi sehari-hari, kesulitan waktu defekasi dikarenakan
imobilisasi.
11. Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas dan latihan mengalami perbuahan/gangguan akibar dari fraktur femur
sehingga kebutuhan pasien perlu di bawah.
12. Pola persepsi dan konsep diri
dampak yang timbul pada pasien fraktur adalah timbul ketakutan akan kecacatan
akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan, untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah atau
penggunaan citra diri.
13. Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan
indra yang lain dan kognitifnya tidak mengalami gangguan, selain itu timbul nyeri
akibat fraktur.
14. Pola penanggulangan stress
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas akan keadaan dirinya, yaitu ketakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh pasien
dapat tidak efektif.
15. Pola tata nilai dan keyakinan
Pasien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan baik, terutama frekuensi dan
konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat disebabkan oleh nyeri dan keterbatasan
gerak pasien.

H. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur
tulang.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive

I. Intervensi Keperawatan
No. SDKI SLKI SIKI
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi skala
dengan agen pencedera keperawatan selama 3x24 jam, nyeri
fisik. diharapkan tingkat nyeri menurun, 2. Identifikasi respon
dengan kriteria hasil: nyeri
1. Keluhana nyeri membaik 3. Berikan terapi non
2. Meringis tidak lagi farmakologis
3. Gelisah membaik 4. Berikan lingkungan
4. Mual berkurang yang nyaman
5. Kolaborasi dengan
tim medis dan dokter
2. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi adanya
fisik berhubungan keperawatan selama 3x24 jam, nyeri atau keluhan
dengan kerusakan diharapkan kemampuan dalam fisik
integritas struktur gerakan fisik meningkat, dengan 2. Identifikasi toleransi
tulang. kriteria hasil: fisik
1. Pergerakan ekstremitas 3. Monitor frekuensi
meningkat jantung dan tekanan
2. Kekuatan otot meningkat darah
3. Kecemasan menurun 4. Fasilitas aktivitas
4. Gerakan terbatas mobilisasi dengan
alat bantu
5. Ajarkan keluarga
untuk meningkatkan
pergerakan
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda dan
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam, gejala infeksi
efek prosedur invasive diharapkan derajat injeksi menurun, 2. Berikan perawatan
dengan kriteria hasil : kulit pada area
1. Kebersihan tangan edema
meningkat 3. Jelaskan tanda dan
2. Nyeri menurun gejala infeksi
3. Bengkak menurun 4. Anjurkan
meningkatkan asupan
nutrisi dan cairan
5. Kolaborasi dengan
tim medis dan dokter
DAFTAR PUSTAKA

Agus Suprianto, d. 2019. The Development of Mathematics Mobile Learning Media tio
Improve Students Autonomus and Leaming Outcomes. Journal of Primary
Education. 86.
Brunner & Suddrath. 2015. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Ezra Eigita Vigryana, dkk. 2016. Pengaruh Kompetensi Fiskus dan Kualitas Pelayanan
Terhadap Kepuasan Wajib Pajak. Jurnal Perpajakan (JEJAK) Vol. 9 No. 1 2016
Hesti Fajarsari. 2020. Pengaruh Motivasi dan Presepsi Terhadap Minat Mahasiswa Mengikuti
Pendidikan Profesi Akutansi (PPAK) di Kota Semarang. Jurnal Pamator. Vol. 13
(No. 1)
Muttaqin, Arif. 2015. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Rahmawati, Nurul Alifah dan Arif Cahyo Bachtiar. 2018. “Analisis dan Perancangan Desain
Sistem Informasi Perpustakaan Sekolah Berdasarkan Kebutuhan Sistem”. Jurnal
Berkala Ilmu Perpustakaan Informasi. Vol. 14 No. 1
Sjamsuhidajat R, de Jong W, Editors. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidayat-De Jong.
Sistem Organ dan Tindak Bedahnya (1). 4th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.

Anda mungkin juga menyukai