Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

OPEN FRAKTUR FEMUR

OLEH :
ANGGUN LAILA SARI NUR, S.Tr, Kep
NIM : 23.300.0523

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


UNIVERSITAS CAHAYA BANGSA
TAHUN 2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN OPEN FRAKTUR FEMUR


DI RUANG OK RSUD DR. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA
TANGGAL 30 OKTOBER S/D 16 DESEMBER 2023

OLEH :
ANGGUN LAILA SARI NUR, S.Tr, Kep
NIM : 23.300.0523

Palangka Raya, November 2023


Mengetahui,
Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(Ns. M. Saputra, S.Kep, MM) (Tina Lusia, S.Kep., Ns)


STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)

A. PENGERTIAN
Fraktur adalah gangguan komplet atau tak komplet pada
kontinuitas struktur tulang dab didefinisikan sesuai dengan jenis
keluasannya. Fraktur terjadi ketika tulang menjadi objek tekanan yang
lebih besar dari yang dapat diserapnya.fraktur dapat disebabkan oleh
hantaman langsung, atau bahkan karena kontraksi otot yang ekstrem.
(Brunner dan Suddart, 2015 Edisi 12)
Fraktur adalah gangguan kontinuitas yang normal dari suatu
tulang. Jika terjadi fraktur, maka jaringan lunak disekitarnya juga sering
kali terganggu. Radiografi (sinar X) dapat menunjukan keberadaan cedera
tulang, tetapi tidak mampu menunjukakan otot atau ligament yang robek,
saraf putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi
komplikasi pemulihan klien.
(Black dan Hawks,2014)
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000,
diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain
menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih
(karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi.
(Handerson, M. A, 2015).
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi
fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai
adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh
darah) dan fraktur femur tertutup yang disebabkan oleh trauma langsung
pada paha .
(Helmi, 2014 : 508)
Fraktur femur adalah diskontuinitas dari femoral shaft yang bisa
terjadi akibat trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintasatau jatuh dari
ketinggin), dan biasanya lebih banyak dialami laki-laki dewasa.
(Desiartama,2017)
B. JENIS FRAKTUR
a. Fraktur komplet : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran.
b. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah
tulang
c. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit
d. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa
sampai ke patahan tulang.
e. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi
lainnya membengkak.
f. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
g. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa frakmen
h. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam
i. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada
tulang belakang)
j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau
tendon pada daerah perlekatannnya.
(Brunner dan Suddart, 2015)

C. ETIOLOGI
Menurut Buku Saku Patofisiologi Elizabeth J.Corwin (2016) penyebab
fraktur adalah sebagai berikut :
1. Trauma
a. Trauma langsung : trauma yang menyebabkan fraktur pada titik
terjadinya trauma. Sering bersifat terbuka dengan garis patah
melintang atau miring. Misalnya saat seseorang tertabrak mobil
pada tungkai atas maka di tempat trauma tersebut terjadi fraktur.
b. Trauma tidak langsung : trauma yang menyebabkan fraktur di
tempat yang jauh dari titik terjadinya trauma. Hal ini disebabkan
karena tulang yang mengalami trauma memiliki hantaran vektor
yang lemah pada kekerasan. Seperti jatuh dengan telapak tangan
sebagai penyangga, dimana telapak tangan yang mengalami trauma
namun lokasi fraktur bisa pada lengan atas.
c. Trauma akibat tarikan otot : trauma yang dapat menyebabkan
dislokasi dan patah tulang. Contohnya fraktur pada patella dan
olekranon karena kontraksi biseps dan trisep secara mendadak.
d. Stress
Kelelahan atau stress : terjadi pada orang - orang yang melakukan
aktivitas berulang - ulang pada satu daerah tulang misalnya
pebulutangkis dan pelari.
e. Patologis
Kelemahan tulang : tekanan yang normal dapat menyebaban fraktur
pada tulang yang lemah. Biasanya akibat infeksi dan penyakit
metabolisme seperti osteoporosis, osteomyelitis, dan tumor pada
tulang

D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Brunner dan Suddarth 2016 didalam buku Keperawatan Medikal
Bedah Edisi 12 menyatakan bahwa :
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema.
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
f. Tidak semua manifestasi ini terdapat dalam setiap fraktur
Tanda – tanda local :
1. Look : Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang abnormal,
angulasi, rotasi, pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang
penting adalah apakah kulit itu utuh; kalau kulit robek dan luka memiliki
hubungan dengan fraktur, cedera terbuka.
2. Feel : Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa bagian
distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji sensasi.
Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan
pembedahan.
3. Movement : Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih
penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakan sendi –
sendi dibagian distal cedera.

E. PATOFISIOLOGI
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup
bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smeltzer dan Bare,
2015).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah
atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang
tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom compartment
(Smeltzer dan Bare, 2015).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan
fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak
seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Smeltzer dan Bare,
2015). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan perawatan diri
(Carpenito, 2014).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang
di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2014).

F. PATHWAY
Trauma langsung Trauma tidak langsung kondisi patologis
FRAKTUR
nyeri
Diskontinuitas tulang pergeseran frakmen tulang

Kurang pengetahuan
Perub jaringan sekitar kerusakan frakmen tulang

Pergeseran frag Tlg laserasi kulit: spasme otot tek. Ssm tlg > tinggi dr kapiler

Kerusakan
integritas
kulit putus vena/arteri peningk tek kapiler reaksi stres klien
deformitas

perdarahan pelepasan histamin melepaskan katekolamin


gg. fungsi
protein plasma hilang memobilisai asam lemak
kehilangan volume cairan

Gg mobilitas
edema bergab dg trombosit
fisik Shok hipovolemik
emboli
penekn pem. drh
menyumbat pemb drh
penurunan perfusi jar

Tindakan pembedahan /Operasi

Pre OP intra OP post OP

deficit pengetahuan anastesi perdarahan efek anastesi lukainsisisi

nnnnnnnnn resiko cidera Resiko


Resiko Nyeri
Cemas (setela infeksi
Deficit
volume h post
cairan op)

ansietas
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang
yang cedera.
b. Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
c. Bone scans, Tomogram, atau MRI.
d. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vesikuler
e. CCTkalau banyak ada kerusakan otot
f. Pemeriksaan darah lengkap
g. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
(Muttaqin, 2014)

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipertimbangkan pada saat
menangani fraktur :
1. Rekognisi
Pengenalan riwayat kecelakaan, patah atau tidak, menentukan
perkiraan yang patah, kebutuhan pemeriksaan yang spesifik, kelainan
bentuk tulang dan ketidakstabilan, tindakan apa yang harus cepat
dilakukan misalnya pemasangan bidai.
2. Reduksi, Usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen tulang
yang patah sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya.
Cara penanganan secara reduksi :
a. Pemasangan gips
Untuk mempertahankan posisi fragmen tulang yang fraktur.
b. Reduksi tertutup (closed reduction external fixation)
Menggunakan gips sebagai fiksasi eksternal untuk memper-tahankan
posisi tulang dengan alat-alat : skrup, plate, pen, kawat, paku yang
dipasang di sisi maupun di dalam tulang. Alat ini diangkut kembali
setelah 1-12 bulan dengan pembedahan.
3. Debridemen, Untuk mempertahankan/memperbaiki keadaan jaringan
lunak sekitar fraktur pada keadaan luka sangat parah dan tidak
beraturan.
4. Rehabilitasi, Memulihkan kembali fragmen-fragmen tulang yang
patah untuk mengembalikan fungsi normal.
5. Perlu dilakukan mobilisasi Kemandirian bertahap.
(Mansjoer, 2015)

I. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Tindakan yang harus diperhatikan agar ektremitas dapat berfungsi sebaik-
baiknya maka penanganan pada trauma ektremitas meliputi 4 hal (4 R)
yaitu :
1. RECOGNITION
Untuk dapat bertindak dengan baik, maka pada trauma ektremitas
perlu diketahui kelainan yang terjadi akibat cedernya. Baik jaringan
lunak maupun tulangnya dengan cara mengenali tanda-tanda dan
gangguan fungsi jaringan yang mengalami cedera.
Fraktur merupakan akibat dari sebuah kekerasan yang dapat
menimbulkan kerusakan pada tulang ataupun jaringan lunak
sekitarnya.
Dibedakan antara trauma tumpul dan tajam. Pada umumnya trauma
tumpul akan memberikan kememaran yang “diffuse” pada jaringan
lunak termasuk gangguan neurovaskuler yang akan menentukan
ektremitas.
2. REDUCTION
Adalah tindakan mengembalikan ke posisi semula, tindakan ini
diperlukan agar sebaik mungkin kembali ke bentuk semula agar
dapat berfungsi kembali sebaik mungkin . Penyembuhan
memerlukan waktu dan untuk mempertahankan hasil
reposisi(retaining) penting dipikirkan tindakan berikutnya agar
rehabilitasi dapat memberikan hasil sebaik mungkin.
3. RETAINING
Adalah tindakan imobilisasi untuk memberi istirahat pada anggota
gerak yang sehat mendapatkan kesembuhan. Imobilisasi yang tidak
adequat dapat memberikan dampak pada penyembuhan dan
rehabilitasi.
4. REHABILLITASI
Adalah mengembalikan kemampuan dari anggota/alat yang
sakit/cedera agar dapat berfungsi kembali. Falsafah lama mengenai
rehabilitasi ialah suatu tindakan setelah kuratif dan hanya
mengatasi kendala akibat sequaele atau kecacatan; padahal untuk
mengembalikan fungsi sebaiknya rehabilitasi, yang menekankan
pada fungsi, akan lebih berhasil bila dapat dilaksanakan secara
dini, mencegah timbulnya kecacatan.
5. DISLOKASI
Dislokasi sendi perlu dilakukan reposisi segera karena akibat dari
penundaan akan dapat menimbulkan keadaan avaskuler nekrosis
dari
bonggol tulang yang menyebabkan nyeri pada persendian serta
kekakuan sendi.
Dalam fase shock lokal (antara 5-20 menit) dimana terjadi relaksasi
dari otot sekitar sendi dan rasa baal (hypestesia) reposisi dapat
dilakukan tanpa narkose, lewat dari fase shock lokal diperlukan
tindakan dengan pembiusan untuk mendapatkan relaksasi waktu
melakukan reposisi. Apabila tidak berhasil maka perlu dipikirkan
terjadi “button hole ruptur” dari kapsul (simpai) sendi yang dapat
“mencekik” sirkulasi perdarahan daerah bonggol sendi, hal ini
memerlukan tindakan reposisi terbuka. Untuk mendapatkan lingkup
gerak sendi yang baik, maka selama dilakukan imobilisasi
diberikan latihan isometrik kontraksi otot guna mencegah”disuse
Athrophy”. (Sylvia, 2009).
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat keperawatan
1. Perawat perlu menentukan : data biografi, riwayat terjadinya
trauma (bila tidak ada riwayat terjadi fraktur patologis) dimana
terjadinya trauma, jenis trauma, berat ringananya trauma.
2. Obat-obatan yang sering digunakan
3. Kebiasaan minum-minuman keras
4. Nutrisi
5. Pekerjaan atau hobby
b. Pemeriksaan fisik
Head to toe , inspeksi perubahan bentuk tulang, lokasi fraktur, gerakan
pasien, integritas kulit, nyeri.
c. Aktivitas atau istirahat
Ditujukan dengan terbatasnya atau kehilangan fungsi, yang cenderung
pada bagian tengah yang disebabkan oleh fraktur sekunder bengkak
pada jaringan dan rasa nyeri.
d. Sirkulasi
Ditunjukkan dengan : hipertensi atau hipotensi, tachicardi yang
disebabkan karena respon stress atau hipovolemik, nadi berkurang atau
menurun lebih kecil pada bagian distal perlukan disebabkan karena
keterlambatan pengikatan pembuluh darah mempengaruhi bagian
jaringan menjadi bengkok hematom pada tempat perlukaan disebabkan
adanya darah ekstravaskuler berada pada daerah perlukaan.
e. Neurosensori
Ditunjukkan dengan kehilangan gerakan atau sensasi, spasme otot :
kaku atau tak terasa (parestesi), perubahan total, pemendekan,
kekakuan abnormal, terpuntir, krepitasi, agitasi karena nyeri atau
cemas.
f. Rasa nyaman
Tiba-tiba nyeri hebat pada tempat luka (mungkin lokasi pada jaringan
atau kerusakan tulang saat immobilisasi) nyeri ini disebabkan
terputusnya saraf, otot spasme setelah immobilisasi.
g. Keamanan
Kulit laserasi, perdarahan, perlukaan, lokasi bengkak.
h. Tempat fraktur dan sistem jaringan
1. Edema
2. Perubahan warna
3. Parestesia dengan numbness dan tingling karena
ketidakseimbangan aliran darah dalam pembuluh darah yang
menuju berbagai organ atau peningkatan tekanan jaringan
4. Nyeri akibat penimbunan darah sekitar tulang yang mengakibatkan
tertekannya saraf.
5. Kulit terbuka dan tertutup
Kulit terbuka apabila tulang sampai menembus kulit-kulit tertutup
apabila tulang masih berada didalam kulit
6. Krepitasi akibat sensasi yang berkertak : bunyi yang terdengar
pada saat kedua tulang saling bergerak
7. Perdarahan terjadi karena kerusakan pembuluh darah arteri dan
vena
i. Sistem yang diperhatikan
1. Pallor atau pucat
Karena perdarahan yang banyak maka darah yang mengikat
oksigen dalam tubuh berkurang sehingga penurunan O 2 di dalam
jaringan.
2. Confusion
Perfusi darah yang ke otak menurun sehingga otak kekurangan O 2
dan mengganggu metabolisme otak yang mengakibatkan
kebingungan.
3. Dyspnea Terjadi pada fraktur terbuka, lemak berasal dari sumsum
tulang atau myelum masuk ke aliran darah terbuka sehingga dapat
terjadi embolik dan mengakibatkan sesak napas.
4. Shock
Terjadi saat hipovolemik karena kekurangan darah akibat pecahnya
arteri dari perdarahan
5. Diaphoresis atau keringat banyak
Akibat peningkatan metabolisme tubuh, untuk itu dibutuhkan
energi banyak hingga energi akan dipecah menjadi panas dan
menimbulkan banyak keringat.
6. Takut dan cemas karena perubahan status kesehatan
j. Psikososial yang perlu diperhatikan
Konsep diri karena adanya perubahan body image dan kelemahan
mobilitas fisik

2. Persiapan Pre Operasi


a) Diet
8 jam menjelang operasi pasien tidak diperbolehkan makan, 4 jam
sebelum operasi pasien tidak diperbolehkan minum, (puasa) pada
operasi dengan anestesi umum. Pada pasien dengan anestesi local atau
spinal anestesi makanan ringan diperbolehkan.
b) Persiapan perut
Pemberian leukonol/lavement sebelum operasi dilakukan pada bedah
saluran pencernaan atau pelvis daerah peripheral. Untuk pembedahan
pada saluran pencernaan dilakukan 2 kali yaitu pada waktu sore dan
pagi hari menjelang operasi.
c) Persiapan kulit
Daerah yang akan dioperasi harus bebas dari rambut. Pencukuran
dilakukan pada waktu malam menjelang operasi. Rambut pubis dicukur
bila perlu saja, lemak dan kotoran harus terbeba dari daerah kulit yang
akan dioperasi. Luas derah yang dicukur sekurang-kurangnya 10-20
cm2.
d) Pemeriksaan penunjang
Meliputi hasil laboratorium, foto rontgen, ECG,USG, dll
e) Persetujuan operasi/informend consent
Izin tertulis dari pasien atau keluarga harus tersedia. Persetujuan bila
didapat dari keluarga dekat yaitu suami/istri, anak, mertua, orang tua
dan keluarga terdekat. Pada kasus gawat darurat ahli bedah mempunyai
wewenang untuk melaksanakan operasi tanpa surat izin tertulis dari
pasien atau keluarga. Setelah dilakukan berbagai cara untuk
mendapatkan kontak dengan anggota keluarga pada sisa waktu yang
masih mungkin.

A. Pengkajian Fokus
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur
merujuk pada teori menurut Doenges (2009) dan Muttaqin (2010) ada
berbagai macam meliputi:
1. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang,
pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah
tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan,
perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainya. Adanya trauma
angulasi akan menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek,
sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama
fraktur adalah kecelakaan lalu lintas darat.
2. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker
tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes
menghambat penyembuhan tulang.
3. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
4. Pola kesehatan fungsional
a. Aktifitas atau Istirahat
Keterbatasan atau kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari
pembengkakan jaringan, nyeri)
b. Sirkulasi
1) Hipertensi ( kadang – kadang terlihat sebagai respon nyeri atau
ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
2) Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
3) Penurunan atau tidak ada nadi pada bagian distal yang
cedera, pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian yang terkena.
4) Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori
1) Hilangnya gerakan atau sensasi, spasme otot
2) Kebas atau kesemutan (parestesia)
3) Deformitas lokal: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi
(bunyi berderit) spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang fungsi.
d. Agitasi (mungkin badan nyeri atau ansietas atau trauma lain)
e. Nyeri atau kenyamanan
1) Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada
area jaringan atau kerusakan tulang pada imobilisasi ), tidak ada
nyeri akibat kerusakan syaraf .
2) Spasme atau kram otot (setelah imobilisasi)
f. Keamanan
1) Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
2) Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-
tiba).
g. Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat
karena klien harus menjalani rawat inap.
h. Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul ketakutan dan
kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktifitasnya secara normal dan
pandangan terhadap dirinya yang salah.
i. Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga timbul nyeri akibat fraktur.
j. Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi
dan konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oleh nyeri dan
keterbatasan gerak yang dialami klien.

3. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan mobilitas fisik
b. Ansietas b/d kurang terpapar informasi
K. INTERVENSI KEPERAWATAN .

No Dx NOC NIC
Keperawatan (Nursing Outcome) (Nursing Intervention Classification )
1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Observasi:
berhubungan keperawatan 2x24 jam
dengan diharapkan nutrisi klien  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
mobilitas fisik tercukupi. Dengan kriteria frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri
hasil :  Identifikasi respon non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
1. TTV dalam batas normal  Monitor keberhasilan terapi yang sudah
dilakukan
2. Skala nyeri berkurang  Monitor efek samping penggunaan
analgetic
3. Pasien dapat melakukan
Teknik relaksasi napas
dalam Terapeutik:
 Berikan tehnik non farmakologis
dalam melakukan penanganan nyeri
Indikator IR ER
 Kontrol lingkungan yang
1. Nyeri 2 5
memperberat nyeri
2. Mengenali 2 5
rasa nyeri 2 5
Edukasi:
3. Ekspresi 2 5
Ajarkan Teknik relaksasi nafas dalam
wajah
4. Gelisah
Kolaborasi:
Pemberian obat analgetik (ketorolac)
Keterangan :
1. Keluhan ekstrim
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan

2 Ansietas b/d Setalah dilakukan tindakan Reduksi ansietas


kurang keperawatan dalam 1x24 jam
terpapar diharapkan kecemasan dapat Observasi
informasi teratasi dengan kriteria hasil:  Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
Tingkat ansietas (L.09093)  Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
 Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan non
verbal)
Indikator IR ER Terapeutik
1. Verbalisasi 2 5
khawatir  Temani pasien untuk mengurangi
akibat kondisi 2 5 kecemasan, jika memungkinkan
2. Perilaku  Pahami situasi yang membuat ansietas
gelisah  Dengarkan penuh perhatian
 Gunakan pendekatan yang tenang dan
menyakinkan
 Diskusi perencanaan realistis tentang
Keterangan : peristiwa yang akan datang
1. Keluhan ekstrim
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan Edukasi
 Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang
mungkin dialami
 Informasikan secara factual mengenai
diagnosis, pengobatan, dan prognosis
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
pasien, jika perlu
 Latih teknik relaksasi

Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat antiansietas,
jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8
volume 3, Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Brunner and Suddarth (2015) Keperawatan Medical Bedah Edisi 12


Jakarta :EGC

Carpenito, Lynda Juall. 2014. Rencana Asuhan dan Pendokumentasian.


Keperawatan. Alih Bahasa Monika Ester. Edisi 2. Jakarta : EGC

Doenges, Marilyn E. 2009. Rencana Asuhan Keperwatan.Ed.3. terjemahan.


Monica Ester dkk. Jakarta: EGC
Desiartama. 2017. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC

Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi


2012-2014. Jakarta: ECG

Lestari,Puji.2014.Studi Literatur: Berbagai faktor yang berpengaruh terjadap


kejadian patah tulang pada usia lanjut [Electronic
Version].from:http://faktorresikofraktur.pdf.diakses tanggal 13 Desember 2012
Pukul 16.00 WIB

Mansjoer, arief, dkk. 2014. Kapita Selekta KedokteranEdisi 3 Jilid 2. Jakarta:


Media Esculapius.

Muttaqin, Arif. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien gangguan Sistem
Musculoskeletal. Jakarta: EGC.

Price, A. S. dan Wilson M. L., 2016. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Alih Bahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC
Smeltzer C.S & Bare Brenda.(2015). Brunner & Suddarth’s Textbook of
Medical Surgical Nursing. 10th Edition. Philadelphia: Lippincott.
Smeltzer Suzanne, C (2015). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart.
Edisi 8. Vol 3. Jakarta. EGC

Tambayong, Jan. 2010. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidat, R. dan Wim de Jong. 2009. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M. 2015. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan


NIC&NOC.ed.7. Terjemahan Widyawati dkk. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai