Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit pada sistem pernafasan merupakan masalah yang sudah umum terjadi di masyarakat. Dan TB
paru merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematian dengan urutan atas atau angka kematian
(mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama. Penyakit
ini biasanya banyak terjadi pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi
menengah ke bawah.

Di Indonesia TB paru merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan urutan teratas
setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumlah penderita TB
paru di dunia.

Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8
juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara
berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan
pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang. Dengan munculnya
epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Hasil survey kesehatan rumah tangga
(SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I dari
golongan infeksi. Antara tahun 1979-1982 telah dilakukan survey prevalensi di 15 propinsi dengan hasil
200-400 penderita tiap 100.000 penduduk. Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana
sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik
pemerintah dan swasta, praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan.
Sedangkan kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun.

Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB kebanyakan dari
kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) atau pengawasan langsung menelan obat
jangka pendek/setiap hari baru mencapai 36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS
(1969-1994) cakupannya ioo ,0,99¶¶,,99,009(9(99(999(,,ldldl,,l,,ll,,ll,l,,,, ,< ,

@a,, sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40-60%. Karena pengobatan
yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup di masa lalu kemungkinan telah timbul
kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti tuberkulosis) secara meluas atau multi drug resistance
(MDR).

1.2 Rumusan masalah

Bagaimana TB Paru pada klien dewasa bisa terjadi ?


Apa tanda dan gejala yang muncul (manifestasi klinis) dari TB Paru pada klien dewasa ?

Apa pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?

Bagaimana cara menangani gangguan pernapasan akibat penyakit TB Paru klien dewasa ?

Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?

1.3 Tujuan

Tujuan Umum

Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan gangguan TB Paru.

Tujuan Khusus

Menjelaskan konsep dasar TB paru

Menjelaskan asuhan keperawatan klien dewasa dengan TB paru, meliputi :

o pengkajian TB paru

o Mengidentifikasi diagnosa keperawatan pada klien dewasa dengan TB paru

o Melakukan perencanaan pada klien dewasa dengan TB paru

1.4 Manfaat

Manfaat yang ingin diperoleh dalam penyusunan makalah ini adalah:

Mendapatkan pengetahuan tentang TB Paru

Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan TB Paru.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian TB Paru

TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Dep
Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan
yang disebut pula Basil Tahan Asam (BTA).

2.2 Etiologi
Penyakit TB Paru disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Kuman ini berbentuk
batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut
pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung
kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau
droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh
manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya,
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau penyebaran langsung
kebagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita
tersebut dianggap tidak menular.

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis

1. Herediter: resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara genetik.

2. Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan kesakitan lebih
banyak terjadi pada anak perempuan.

3. Usia : pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi.

4. Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat, kemungkinan infeksi cukup
tingggi karena diit yang tidak adekuat.

5. Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang nutrisi, stress emosional,
kelelahan yang kronik)

6. Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan memudahkan untuk
penyebarluasan infeksi.

7. Anak yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih mudah.

8. Nutrisi ; status nutrisi kurang

9. Infeksi berulang : HIV, Measles, pertusis.

10. Tidak mematuhi aturan pengobatan.


2.3 Patofisiologi

Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet
nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara
yang panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan
pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke
udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri
tuberkolosis. Penularan bakteri lewat udara disebut dengan air-borne infection. Bakteri yang terisap
akan melewati pertahanan mukosilier saluran pernapasan dan masuk hingga alveoli. Pada titik lokasi di
mana terjadi implantasi bakteri, bakteri akan menggandakan diri (multiplying). Bakteri tuberkolosis dan
fokus ini disebut fokus primer atau lesi primer (fokus Ghon). Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe
regional, yang bersama dengan fokus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu 3-6
minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjadi sensitif terhadap tes tuberkulin atau tes Mantoux.

Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui berbagai jalan, yaitu:

1) Percabangan bronkhus

Dapat mengenai area paru atau melalui sputum menyebar ke laring (menyebabkan ulserasi laring),
maupun ke saluran pencernaan.

2) Sistem saluran limfe

Menyebabkan adanya regional limfadenopati atau akhirnya secara tak langsung mengakibatkan
penyebaran lewat darah melalui duktus limfatikus dan menimbulkan tuberkulosis milier.

3) Aliran darah

Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau mengangkut material yang
mengandung bakteri tuberkulosis dan bakteri ini dapat mencapai berbagai organ melalui aliran darah,
yaitu tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan meningen.

4) Rektifasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)

Jika pertahanan tubuh (inang) kuat, maka infeksi primer tidak berkembang lebih jauh dan bakteri
tuberkulosis tak dapat berkembang biak lebih lanjut dan menjadi dorman atau tidur. Ketika suatu saat
kondisi inang melemah akibat sakit lama/keras atau memakai obat yang melemahkan daya tahan tubuh
terlalu lama, maka bakteri tuberkulosis yang dorman dapat aktif kembali. Inilah yang disebut reaktifasi
infeksi primer atau infeksi pasca-primer. Infeksi ini dapat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi primer
terjadi. Selain itu, infeksi pasca-primer juga dapat diakibatkan oleh bakteri tuberkulosis yang baru masuk
ke tubuh (infeksi baru), bukan bakteri dorman yang aktif kembali. Biasanya organ paru tempat
timbulnya infeksi pasca-primer terutama berada di daerah apeks paru.

5) Infeksi Primer
Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum mempunyai reaksi spesifik
terhadap bakteri TB. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier
bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman
TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di
dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini
disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks
primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk
dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh
tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan
menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan
menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai
menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

6) Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer,
misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas
dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi
pleura.

7) Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati

Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 % akan sembuh
sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap menular (WHO 1996).

8) Pengaruh Infeksi HIV

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular Immunity), sehingga
jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah
bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah horang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita
TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

2.4 Klasifikasi TB Paru

Menurut Dep.Kes (2003), klasifikasi TB Paru dibedakan atas :

Berdasarkan organ yang terinvasi


a.TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2, yaitu :

o TB Paru BTA Positif Disebut TB Paru BTA (+) apabila sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS
(Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya positif, atau 1 spesimen dahak SPS positif disertai pemeriksaan
radiologi paru menunjukan gambaran TB aktif.

o TB Paru BTA Negatif Apabila dalam 3 pemeriksaan spesimen dahak SPS BTA negatif dan pemeriksaan
radiologi dada menunjukan gambaran TB aktif. TB Paru dengan BTA (-) dan gambaran radiologi positif
dibagi berdasarkan tingkat keparahan, bila menunjukan keparahan yakni kerusakan luas dianggap berat.

b. TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing dan alat kelamin. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu :

o TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang (kecuali tulang belakang), sendi
dan kelenjar adrenal

o TB ekstra paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis, TB tulang belakang, TB saluran
kencing dan alat kelamin.

Berdasarkan tipe penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita :

Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari satu bulan.

Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan dan telah
dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif.

Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain
kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah.

Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1
bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.

PERBEDAAN TB ANAK DAN DEWASA

TB anak lokasinya pada setiap bagian paru, sedangkan pada dewasa di daerah apeks dan infra klavikuler

Terjadi pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada dewasa tanpa pembesaran kelenjar limfe
regional

Penyembuhan dengan perkapuran sedangkan pada dewasa dengan fibrosis


Lebih banyak terjadi penyebaran hematogen, pada dewasa jarang

2.5 Manifestasi Klinis

Diagnosa TB berdasarkan gejala/manifestasi klinis dibagi menjadi 3, diantaranya:

1. Gejala respiratorik, meliputi:

a. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula
bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.

b. Batuk darah

Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak
darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena
pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah
yang pecah.

c. Sesak nafas

Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai
seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.

d. Nyeri dada

Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem
persarafan di pleura terkena.

2. Gejala sistemik meliputi:

a. Demam

Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam
influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan
makin pendek.

b. Gejala sistemik lain :

Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise. Timbulnya
gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk,
panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
3. Gejala Tuberkulosis ekstra Paru

Tergantung pada organ yang terkena, misalnya : limfedanitis tuberkulosa. Meningitsis tuberkulosa, dan
pleuritis tuberkulosa.

Gejala klinis Hemoptoe :

Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara membedakan ciri-ciri sebagai
berikut :

o Batuk darah

a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan

b. Darah berbuih bercampur udara

c. Darah segar berwarna merah muda

d. Darah bersifat alkalis

e. Anemia kadang-kadang terjadi

f. Benzidin test negatif

o Muntah darah

a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual

b. Darah bercampur sisa makanan

c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung

d. Darah bersifat asam

e. Anemia seriang terjadi

f. Benzidin test positif

o Epistaksis

a. Darah menetes dari hidung

b. Batuk pelan kadang keluar

c. Darah berwarna merah segar

d. Darah bersifat alkalis


e. Anemia jarang terjadi

Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru selain TBC. Oleh sebab itu orang yang
datang dengan gejala diatas harus dianggap sebagai seorang “suspek tuberkulosis” atau tersangka
penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Selain itu, semua
kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan sputum (S-P-S)

Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan karena dengan pemeriksaan tersebut akan ditemukan
kuman BTA. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan
yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan
(puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak
batuk atau batuk yang non produktif Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum,
pasien dianjurkan minum air sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga
dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam
hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoieh dengan cara bronkos kopi
diambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (bronchn alveolar lavage). BTA dari sputum
bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka
sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin. Bila sputum
sudah didapat. kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman bant dapat dkcmukan bila
bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman
BTA mudah ke luar.

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu
sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mil sputum Hasil pemeriksaan BTA (basil
tahan asam) (+) di bawah mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum, sedangkan
untuk mendapatkan kuman (+) pada biakan yang merupakan diagnosis pasti, dibutuhkan sekitar 50 - 100
kuman/ml sputum. Hasil kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 6 - 8 minggu dengan angka
sensitiviti 18-30%.

Pemeriksaan tuberculin

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk menunjukkan
sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering digunakan dalam "Screening TBC".
Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.

Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2
tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat
dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa
cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi
penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur
diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.

Pemeriksaan Rontgen Thoraks

Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum ditemukan
adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan kelainan pada paru. Bila
pemeriksaan rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada gambaran khusus mengenai TB paru awal
kecuali di lobus bawah dan biasanya berada di sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai
daerah bergaris-garis opaque yang ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang
kabur dan gambar yang kurang jelas ini sering diduga sebagai pneumonia atau suatu proses edukatif,
yang akan tampak lebih jelas dengan pemberian kontras.

Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan ini bergantung
pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap obat antituberkulosis, apakah sama
baiknya dengan respons dari klien. Penyembuhan yang lengkap serinng kali terjadi di beberapa area dan
ini adalah observasi yang dapat terjadi pada penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak paling
menyolok pada klien dengan penyakit akut yang relatif di mana prosesnya dianggap berasal dari tingkat
eksudatif yang besar.

Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukkan
dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati,
perubahan kelengkungan beras bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emifesema perisikatriksial.
Sebagaimana pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya
berdasarkan pada temuan CT scan pada pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan dengan kultur
sputum yang negatif dan pemeriksaan secara serial setiap saat. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat
untuk mendeteksi adanya pembentukan kavasitas dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan
Rontgen thoraks biasa.

Radiologis TB Paru Milier

TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB paru milier subakut (kronis).
Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara
masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang fatal
sebelum penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah
tuberkel milier. Nodul-nodul dapat terlihat pada rontgen akibat tumpang tindih dengan lesi parenkim
sehingga cukup terlihat sebagai nodul-nodul kecil. Pada beberapa klien, didapat bentuk berupa granul-
granul halus atau nodul-nodul yang sangat kecil yang menyebar secara difus di kedua lapangan paru.
Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus yang tak terhitung banyaknya dan
masing-masing berupa garis-garis tajam.

Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui isolasi bakteri.
Untuk membedakan spesies Mycobacterium antara yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat
koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap OAT
dan kemoterapeutik, perbedaan kepekaan tehadap binatang percobaan, dan percobaan kepekaan kulit
terhadap berbagai jenis antigen Mycobacterium. Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis
TB paru walaupun kurang sensitif adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya peningkatan LED
biasanya disebabkan peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan IgA.

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tuberkulosis antara lain :

2.7.1 Pencegahan Tuberkulosis Paru

Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan penderita
tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes
tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thorax diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang.
Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan
diberikan kemoprofilaksis.

Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi tertentu misalnya:
karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan, penghuni rumah tahanan, dan siswa-siswi
pesantren.

· Vaksinasi BCG

· Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan
menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer
atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder
diperlukan bagi kelompok berikut: bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena
resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB, anak dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes
tuberkulin positif yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular, individu yang menunjukkan
konversi hasil tes tuberkulin dari negatif menjadi positif, penderita yang menerima pengobatan steroid
atau obat imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes mellitus.

· Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis kepada masyarakat di
tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah maupun petugas LSM
(misalnya Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonsia – PPTI).

2.7.2 Pengobatan Tuberkulosis Paru

Mekanisme kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :

Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat

Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri semidormant)


Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis terhadap bakteri tahan
asam.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu

1. Fase intensif (2-3 bulan) :

Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-
cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat,
terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi
dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam
waktu 2 bulan. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase awal
diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan
Etambutol 15 mg/kgBB.

2. Fase lanjutan (4-7 bulan).

Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Penggunaan 4
obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi
selektif. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society fase lanjutan selama
4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan
pada pasien dengan resistensi terhadap INH.

Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5
obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 di antara
obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.

Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang
digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan
Etambutol (Depkes RI, 2004).

Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan panduan obat sesuai dengan
kategori penyakit. Kategori didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk itu,
penderita dibagi dalam empat kategori sebagai berikut:

1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)

Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan yang berat seperti
meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral, spondiolitis dengan
gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya luas, TB usus, TB
saluran perkemihan, dan sebagainya. Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali
dalam seminggu ( tahap lanjutan ).

2. Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.

diberikan kepada :

Penderita kambuh

Penderita gagal terapi

Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat

3. Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 )

Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TB di luar paru
selain yang disebut dalam kategori I.

4. Kategori IV

Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan keberhasilan
rendah sekali.

Obat-obatan anti tuberkulostatik

1. Isoniazid (INH) : merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah. Seperti rifampisin, INH
harus diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada kontra-indikasi. Efek samping
yang sering terjadi adalah neropati perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang
mempermudah seperti diabetes, alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan
ini perlu diberikan peridoksin 10 mg/hari sebagai profilaksis sejak awal pengobatan. Efek samping lain
seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi.

2. Rifampisin : merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan. Sebagaimana halnya
INH, rifampisin juga harus selalu diikutkan kecuali bila ada kontra indikasi. Pada dua bulan pertama
pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan sementara pada fungsi hati (peningkatan
transaminase serum), tetapi biasanya tidak memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-kadang
terjadi gangguan fungsi hati yang serius yang mengharuskan penggantian obat terutama pada pasien
dengan riwayat penyakit hati. Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat
metabolisme obat lain seperti estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea, dan anti-koagulan. Penting
: efektivitas kontrasepsi oral akan berkurang sehingga perlu dipilih cara KB yang lain.

3. Pyrazinamid : bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif memlah dan
mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga bulan pertama saja. Obat ini
sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadap
Mycrobacterium bovis. Toksifitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.

4. Etambutol : digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika resiko resistensi
rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak diawasi, etambutol diberikan dengan
dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15 mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama
pengobatan). Pada pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30
mg/kg 3 kali seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang sering terjadi
adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan lapangan
pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan fungsi ginjal. Gangguan
awal penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila
segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Pasien yang tidak bisa mengerti perubahan
ini sebaiknya tidak diberi etambutol tetapi obat alternative lainnya. Pemberian pada anak-anak harus
dihindari sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu disaat mereka bisa melaporkan gangguan penglihatan.
Pemeriksaan fungsi mata harus dilakukan sebelum pengobatan.

5. Streptomisin : saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi. Obat ini diberikan
15 mg/kg, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40 tahun,
diberikan 500-700 mg/hari. Untuk pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga
kali seminggu dan diturunkan menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50 kg.
Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari atau 15-20 mg/kg tiga kali seminggu untuk pengobatan
yang diawasi. Kadar obat dalam plasma harus diukur terutama untuk pasien dengan gangguan fungsi
ginjal. Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam
keadaan yang sangat khusus. Obat-obat sekunder diberikan untuk TBC yang disebabkan oleh kuman
yang resisten atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk
obat sekunder adalah kapreomisin, sikloserin, makrolid generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), 4-
kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) dan protionamid.

2.8 Komplikasi

Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi, diantaranya :

Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, faringitis.

Komplikasi lanjut :

Obstruksi jalan nafas, seperti SOPT ( Sindrom Obstruksi Pasca Tubercolosis)

Kerusakan parenkim berat, seperti SOPT atau fibrosis paru, Cor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru,
ARDS.

2.9 pathway
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

Pengkajian dengan TB Paru pada klien dewasa, meliputi :

1. Identitas

Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan,
suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.

2. Riwayat Sakit dan Kesehatan

Keluhan utama

Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat
dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1) Keluhan respiratoris, meliputi:

§ Batuk, nonproduktif/ produktif atau sputum bercampur darah

§ Batuk darah, seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa blood streak, berupa garis, atau
bercak-bercak darah

§ Sesak napas

§ Nyeri dada

Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah berdasarkan jumlah darah yang dikeluarkan:

§ Batuk darah masif, darah yang dikeluarkan lebih dari 600 cc/24 jam.

§ Batuk darah sedang, darah yang dikeluarkan 250-600 cc/24 jam.

§ Batuk darah ringan. Darah yang dikeluarkan kurang dari 250 cc/24 jam.

2) Keluhan sistematis, meliputi:

o Demam, timbul pada sore atau malam hari mirip demam influenza, hilang timbul, dan semakin lama
semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin pendek

o Keluhan sistemis lain: keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan malaise.

Riwayat penyakit saat ini

Pengkajian ringkas dengan PQRST dapat lebih memudahkan perawat dalam melengkapi pengkajian.

Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor penyebab sesak napas, apakah sesak
napas berkurang apabila beristirahat?

Quality of Pain: seperti apa rasa sesak napas yang dirasakan atau digambarkan klien, apakah rasa
sesaknya seperti tercekik atau susah dalam melakukan inspirasi atau kesulitan dalam mencari posisi
yang enak dalam melakukan pernapasan?

Region: di mana rasa berat dalam melakukan pernapasan?

Severity of Pain: seberapa jauh rasa sesak yang dirasakan klien?

Time: berapa lama rasa nyeri berlangsung, kapan, bertambah buruk pada malam hari atau siang hari,
apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga, apakah timbul gejala secara
terus-menerus atau hilang timbul (intermitten), apa yang sedang dilakukan klien saat gejala timbul, lama
timbulnya (durasi), kapan gejala tersebut pertama kali timbul (onset).

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah menderita TB
paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah bening, dan
penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes mellitus. Tanyakan mengenai obat-obat yang
biasa diminum oleh klien pada masa lalu yang relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitusif.
Catat adanya efek samping yang terjai di masa lalu. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan
berat badan (BB) dalam enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan
erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang sering disebabkan
karena meminum OAT.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Secara patologi TB paru tidak diturunkan, tetapi perawat perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah
dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi di dalam rumah.

5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh
persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat mengumpulkan data
hasil pemeriksaan awal klien tentang kapasitas fisik dan intelektual saat ini. Data ini penting untuk
menentukan tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual yang seksama. Pada kondisi, klien dengan
TB paru sering mengalami kecemasan bertingkat sesuiai dengan keluhan yang dialaminya.

6. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemerikasaan fisik umum per system dari
observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4
(Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone) serta pemeriksaan yang focus pada B2 dengan pemeriksaan
menyeluruh system pernapasan.

Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital

Keadaan umum pada klien dengan TB paru dapat dilakukan secara selintas pandang dengan menilai
keadaaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum tentang kesadaran klien yang
terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau koma.

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan peningkatan suhu
tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya
meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah
biasanya sesuai dengan adanya penyulit seperti hipertensi.

B1 (Breathing)

Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri atas inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi.

Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya tampak kurus
sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada antero-posterior dibandingkan
proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang masif,
maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit.
TB paru yang disertai atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat
penderitanya mengalami penyempitan intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB
paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan.
Meskipun demikian, jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru
biasanya klien akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan
otot bantu napas.

Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya didapatkan
batuk produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang purulen.
Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya brokhiektasis yang membuat
klien akan mengalami peningkatan produksi sputum yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur
jumlah produksi sputum per hari sebagai penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang
telah diberikan.

Palpasi

Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada saat dilakukan
palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan dan kiri. Adanya
penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan
parenkim paru yang luas.

Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di dada klien
saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah distal sepanjang
pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan, teerutama pada bunyi
konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut taktil fremitus.

Perkusi

Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan resonan atau sonor
pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura akan
didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya akumulasi cairan di rongga
pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika
pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang sehat.

Auskultasi

Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit. Penting bagi
perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana didapatkan adanya
ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica disebut sebagai resonan vokal. Klien
dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan
penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.

B2 (Blood)

Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:

Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.

Palpasi : Denyut nadi perifer melemah.

Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi pleura masif
mendorong ke sisi sehat.

Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan biasanya tidak didapatkan.

B3 (Brain)

Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan perfusi
jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis, merintih, meregang,
dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya didapatkan adanya kengjungtiva anemis
pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.

B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu
memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien diinformasikan
agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal
masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama fifampisin.

B5 (Bowel)

Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.

B6 (Bone)

Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul antara lain
kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak teratur.
3.2. DIAGNOSA

Beberapa diagnosa yang bisa diangkat :

Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret darah, upaya batuk buruk,
dapat ditandai dengan:

o Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak normal.

o Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi ) stridor.

o Dispnoe.

Gangguan pertukaran gas berhubungan penurunan dengan permukaan efektif, atelektasis, kerusakan
membran alveolar kapiler, sekret kental, tebal, dan edema bronchial.

Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan primer tak
adekuat, penurunan kerja silia / statis sekret, penurunan pertahanan / penekanan proses imflamasi,
malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.

Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai dengan peningkatan suhu
tubuh (hypertermi).

Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi obat yang harus diminum.

3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN

Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret darah, kelemahan, upaya
batuk buruk, edema tracheal / faringeal dapat ditandai dengan:

o Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak normal.

o Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi ) stridor.

o Dispnoe.

Rencana jangka pendek :

- Membersihkan nafas pasien.

- Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.

Rencana jangka panjang : Menunjukan perilaku untuk memperbaiki / mempertahankan bersihan jalan
nafas.
Rencana keperawatan

Berikan pasien posisi semi atau fowler tinggi, bantu pasien untuk latihan nafas dalam. Rasional : Posisi
membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan, ventilasi meksimal
membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan nafas besar untuk
dikeluarkan.

Bersihkan sekret dari mulut dan trakea ; pengisapan sesuai dengan keperluan. Rasional : Pengeluaran
sulit bila sekret sangat tebal ( misalnya ; efek infeksi dan atau tidak adekuat hydrasi ) sputum berdarah
kental atau darah cerah diakibatkan oleh kerusakan ( kapitasi ) paru atau luka bronkial, dan dapat
memerlukan evaluasi / intervensi lanjut. Mencegah obstruksi / aspirasi, penghisapan dapat diperlukan
bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret

Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa / batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum dan
adanya hemoptisis.

Kaji fungsi pernafasan, contoh bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman serta penggunaan otot
aksesori. Rasional : Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan atelektasis, ronchi, mengi, menunjukan
akumulasi sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan
pengguanaan otot aksesori pernafasan dan peningkatan kerja pernafasan.

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif, atelektasis,


kerusakan membran alveolar kapiler, sekret kental, tebal, dan edema bronchial.

· Rencana jangka pendek : Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenisasi jaringan adekuat
dengan GDA dalam rentang normal.

· Rencana jangka panjang : Bebas dari gejala distres pernafasan.

Rencana tindakan.

a. Tingkatkan tirah baring / batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai dengan
keperluan.

b. Tunjukan / dorong bernafas bibir selama ekhalasi, khususnya untuk pasien dengan fibrosis atau
kerusakan parenkhim.

c. Kaji diespnoe, tachipnoe, tak normal / menurunnya bunyi nafas, peningkatan upaya pernapasan,
terbatasnya ekspansi dinding dada & kelemahan.
d. Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sianosis dan / atau perubahan pada warna kulit,
termasuk membran mukosa dan kuku.

Rasionalisasi.

Menurunkan konsumsi O2 / kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat menurunkan


beratnya gejala.

Membuat tahanan melawan udara luar, untuk mencegah kolaps / penyempitan jalan nafas, sehingga
membantu menyebarkan udara melalui paru dan menghilangkan / menurunkan nafas pendek.

TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronchopneomonia sampai inflamasi difus
luas, necrosis, effusi pleural dan fibrosis luas, efek pernafasan dapat dari ringan sampai diespnoe berat
sampai diestres pernafasan.

Akumulasi sekret / pengaruh jalan nafas dapat mengganggu oksigenisasi organ vital dan jaringan.

3. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan primer tak
adekuat, penurunan kerja silia / statis penurunan pertahanan / penekanan proses imflamasi, malnutrisi,
sekret, kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan patogen.

Tujuan jangka pendek : Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan resiko penyebaran
infeksi.

Tujuan jangka panjang : Menunjukan tehnik / melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang aman.

Rencana tindakan.

Anjurkan pasien untuk batuk / bersin dan mengeluarkan pada tissue & menghindari meludah di tempat
umum serta tehnik mencuci tangan yang tepat.

Kaji patologi / penyakit ( aktif / tak aktif diseminasi infeksi melalui bronchus untuk membatasi jaringan
atau melalui aliran darah / sistem limfatik ) dan potensial penyebaran melalui droplet udara selama
batuk, bersin, meludah,bicara, dll.

Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, anggota, sahabat karib / teman.

Rasionalisasi.

Perilaku yng diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi dapat membantu menurunkan rasa
terisolir pasien & membuang stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular.
Membantu pasien menyadari / menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk mencegah
pengaktifan berulang / komplikasi. pemahaman begaiman penyakit disebarkan & kesadaran
kemungkinan tranmisi membantu pasien / orang terdekat mengambil langkah untuk mencegah infeksi
ke orang lain.

Orang – orang yang terpajan ini perlu program therapy obat untuk mencegah penyebaran infeksi.

4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai dengan peningkatan suhu
tubuh (hypertermi).

Tujuan jangka pendek : Mengidentifikasi intervensi untuk menurunkan suhu tubuh.

Tujuan jangka panjang : Meminimalisir proses peradangan untuk meningkatkan kenyamanan.

Rencana tindakan :

Mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh dengan pemasangan infus

Monitoring perubahan suhu tubuh

Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik guna mengurangi proses peradangan (inflamasi)

Anjurkan pada pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang optimal sehingga metabolisme dalam
tubuh dapat berjalan lancar

Rasionalisasi :

Cairan dalam tubuh sangat penting guna menjaga homeostasis (keseimbangan) tubuh. Apabila suhu
tubuh meningkat maka tubuh akan kehilangan cairan lebih banyak.

Suhu tubuh harus dipantau secara efektif guna mengetahui perkembangan dan kemajuan dari pasien.

Antibiotik berperan penting dalam mengatasi proses peradangan (inflamasi)

Jika metabolisme dalam tubuh berjalan sempurna maka tingkat kekebalan/ sistem imun bisa melawan
semua benda asing (antigen) yang masuk.

5. Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi obat yang harus diminum

Tujuan jangka pendek : memperbaiki gejala, mengurangi resiko infeksi.

Tujuan jangka panjang : terapi regimen obat

Rencana tindakan :
Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian kombinasi obat.

Kaji dari efek penggunaan regimen terapi.

Berikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan tentang ketidakteraturan berobat akan menyebabkan
resistensi.

Rasionalisasi :

Pengobatan terhadap penyakit TBC memerlukan kombinasi berbagai obat (obat antituberkulosis/ OAT)
yang diberikan selama 6 bulan atau lebih untuk dinyatakan sembuh.

Efek dari penggunaan regimen terapi dapat menyebabkan berbagai komplikasi.

Kombinasi obat yang telah diberikan telah disesuaikan dengan fase TB paru. Sehingga ketidakteraturan
akan menyebabkan resiko resistensi.

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

TB paru dapat terjadi dengan peristiwa sebagai berikut:

Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet
nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara
yang panas, droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan
pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkolosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke
udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri
tuberkolosis.

SARAN

Hendaknya mewaspadai terhadap droplet yang dikeluarkan oleh klien dengan TB paru karena
merupakan media penularan bakteri tuberkulosis

Memeriksakan dengan segera apabila terjadi tanda-tanda dan gejala adanya TB paru.

Sebagai perawat hendaknya mampu memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan rencana
keperawatan pada penderita TB Paru.
DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.

Soeparman dan sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/264-tuberculosis-paru-tb-paru.html diakses pada tanggal


16 November 2010

http://jarumsuntik.com/asuhan-keperawatan-dengan-tb-paru diakses pada tanggal 16 November 2010

Anda mungkin juga menyukai