DOSEN PENGAMPU :
PALEMBANG 2021
GANGGUAN SISTEM URINARIA (SINDROM NEFROTIK & GLOMERULO
NEFRITIS CHRONIC
Sistem urinaria adalah sistem tempat terjadinya proses penyaringan darah sehingga
darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang
masih dipergunakan oleh tubuh.
Sistem urinaria merupakan suatu sistem organ yang berfungsi untuk menyaring dan
membuang zat limbah dengan cara menghasilkan urine. Jika fungsi system ini terganggu,
limbah dan racun bisa menumpuk didalam tubuh dan menyebabkan berbagai gangguan
kesehatan.
1
membangun tulang, otot, jaringan lain, serta melawan infeksi dalam tubuh. Lalu, ketika
ginjal tidak berfungsi dengan baik, ginjal akan membiarkan protein yang disebut
albumin melewati penyaring masuk ke air kencing. Ketika tidak memiliki cukup
protein albumin di dalam darah, cairan dapat menumpuk dan menyebabkan
pembengkakan di kaki dan pergelangan kaki.
Menurut Bagga A (2015), sindrom nefrotik adalah gejala yang disebabkan oleh
adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik: proteinurea,
hypoproteinurea, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema.
Menurut dalam Mamesah (2016), sindrom nefrotik yaitu bukanlah penyakit
glomerular tertentu tetapi sekelompok temuan klinis anatara lain; peningkatan ditandai
protein (terutama albumin) dalam urin (proteinuria), penurunan albumin dalam darah
(hipoalbuminemia), edema, serum kolesterol tinggi dan low-density lipoprotein
(hiperlipidemia).
Jadi, sindrom nefrotik adalah gangguan ginjal yang menyebabkan tubuh
manusia kehilangan terlalu banyak protein yang dibuang melalui urine dan umumnya
terdeteksi pertama kali pada anak yang berusia antara 2-5 tahun.
2
Menurut Hasanah (2014), glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang
dipakai untuk menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi
dan inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis. Glomerulonefritis kronik
merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan difus yang seringkali berakhir
dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis berhubungan dengan penyakit-penyakit
sistemik seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus
Wagener. Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes
mellitus (glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit
ginjal kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering dijumpai
pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis
arthritis rheumatoid dan myeloma).
3. Etiologi
A. Nefrotik Syndrome (NS)
Menurut Alatas (2012), penyebab sindroma nefrotik ini adalah sebagai berikut.
3
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan
mikroskop biasa dan mikroskop electron. Ada 4 golongan sindrom nefrotik primer
antara lain:
1) Kelainan minimal
a) Dengan mikroskop biasa, glomerulus tampak normal
b) Mikroskop elektron tampak foot prosessus sel epitel berpadu
c) Dengan cara imunofluoressin ternyata tidak terdapat IgG atau immunoglobulin
beta-IC pada bidang kapiler glomerulus
d) Prognosis lebih baik
2) Nefropati membranosa
a) Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang terbesar
tanpa proliferasi sel
b) Prognisis kurang baik
3) Glomerulonefritik Poliferatif
a) Eslidatif difus terdapat proliferasi sel mesangial dan infaltrasi sel
polimorfonukleus, prognosis jarang baik tetapi kadang-kadang penyembuhan
setelah pengobatan yang lama
b) Penebalan batang lobural (lobural stalk thickening) terdapat proliferasi sel
mesangial yang terbesar dan penebalan batang lonural
c) Bulan sabit didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel
sampai kapsular 1 dan visceral, prognosis buruk
d) Glomeruloneferitis membranoproliferatif, proliferasi sel mesangial dan
penempatan fibratian yang menyerupai membran basalis di mesangium
e) Prognosis tidak baik
4) Glomerulosklerosis Fokal Segmental
Pada kelainan ini mencolok sclerosis glomerulus sering disertai atropi tubulus
prognosis buruk
4
Jika rusak, glomerulus tidak dapat menahan protein darah yang tersaring keluar dari
dalam tubuh, mengakibatkan sindrom nefrotik. Berbagai masalah ginjal ini mungkin
mengakibatkan sindrom nefrotik, paling umum adalah radang ginjal yang disebut
glomerulonefritis. Selain itu, diabetes adalah salah satu penyebab sindrom nefrotik.
5
d. Diabetes Melitus
Diabetes yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan lebih besar pada ginjal
sebagai akibat komplikasi.
Glomerulonefritis kronis seringkali tidak memiliki penyebab yang khusus. Salah satu
penyakit genetik, yaitu sindrom Alport dapat menyebabkan glomerulonephritis kronis.
Paparan zat kimia pelarut hidrokarbon dan riwayat kanker juga diduga memicu
terjadinya glomerulonephritis kronis (Sylvia, A, 2015)
4. Manifestasi Klinis
A. Nefrotik Syndrome (NS)
Menurut Betz & Sowden (2009), manifestasi klinis sindrom nefrotik adalah:
a. Proteinuria
b. Retensi cairan
c. Edema: edema periorbital, edema fasial, asites
d. Berat badan meningkat, distensi abdomen
e. Penurunan jumlah urin
f. Urine tampak berbusa dan gelap
g. Hematuria
h. Nafsu makan menurun
i. Pucat
j. Kesulitan pernafasan (efusi pleura)
k. Pembengkakan labial atau scrota
6
f. Urine bergelembung atau berbusa akibat kelebihan protein
g. Tekanan darah akan meningkat dikarenakan retensi natrium dan aktivasi sistem
renin angiotensin
h. Akan timbul dispnea pada saat melakukan aktivitas fisik atau dalam keadaan bekerja
i. Dispnea akan semakin berat dengan adanya anemia normositik yang berat, akibat
ginjal yang sangat kecil sehingga tidak dibentuk lagi hormon eritropoetin
j. Bila pasien memasuki fase nefrotik dari glomerulonefritis kronis, maka edema
bertambah jelas, fungsi ginjal menurun, dan anemia bertambah berat, diikuti tekanan
darah yang mendadak meninggi
k. Kadang-kadang terjadi ensefalopati hipertensif dan gagal jantung yang berakhir
dengan kematian
5. Patofisiologi
A. Nefrotik Syndrome (NS)
Menurut Betz & Sowden (2009), sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang
disebabkan oleh kerusakan glomerulus. Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler
glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi
proteinuria. Kelanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan
menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskular
berpindah ke dalam interstisial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan
intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena
hipovolemia.
Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan
merangsang produksi renin angiotensin dan peningkatan sekresi hormon ADH (Anti
Diuretic Hormone) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjaddi retensi natrium dan
air. Dengan retensi natrium dan air, akan menyebabkan edema.
Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari peningkatan
stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin atau penurunan
onkotik plasma. Adanya hiperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi
lipoprotein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein dan
lemak akan banyak dalam urin atau lipiduria. Menurunnya respon imun karena sel imun
tertekan, kemungkinan disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hyperlipidemia.
7
B. Glomerulonefritis Kronis (GNC)
Menurut Hasanah (2014), glomerulonefritis kronis awalnya seperti
glomerulonefritis akut. Setelah kejadian berulang infeksi ini, ukuran ginjal sedikit
berkurang sekitar seperlima dari ukuran normal dan terdiri dari jaringan fibrosa yang
luas, korteks mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1-2 mm atau kurang. Berkas
jaringan parut merusak sistem korteks menyebabkan permukaan ginjal kasar dan
ireguler. Sejumlah glomeruli dan tubulusnya berubah menjadi jaringan parut,dan
cabang-cabang arteri renal menebal. Akhirnya terjadi perusakan glomerulo yang parah,
menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD).
a. Penurunan GFR
Pemeriksaan klirens kreatinin dengan mendapatkan urin 24 jam untuk mendeteksi
penurunan GFR. Akibatnya, klirens kretinin akan menurun, kreatinin akan
meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan meningkat.
b. Gangguan klirens renal
Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah
glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens (substansi darah
yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal).
c. Retensi cairan dan natrium
Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin
secara normal. Terjadi penahanan cairan dan natrium sehingga meningkatkan resiko
terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi.
d. Anemia
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
terjadi perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran GI.
e. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan yang saling timbal balik,
jika salah satunya meningkat, yang lain akan turun. Dengan menurunnya GFR, maka
terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya akan terjadi penurunan kadar
kalsium. Penurunan kadar kalsium ini akan memicu sekresi paratormon, namun
dalam kondisi gagal ginjal, tubuh tidak berespon terhadap peningkatan sekresi
parathormon, akibatnya kalsium di tulang menurun menyebabkab perubahan pada
tulang dan penyakit tulang.
8
f. Penyakit tulang uremik (osteodistrofi)
Terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat, dan keseimbangan parathormon.
6. Komplikasi
A. Nefrotik Syndrome (NS)
Menurut Wong (2004), adapun komplikasi sindrom nefrotik antara lain:
a. Penurunan volume intravaskuler (syok hipovolemik)
b. Perburukan nafas (berhubungan dengan retensi cairan)
c. Kerusakan kulit
d. Efek samping steroid yang tidak diinginkan
e. Gagal ginjal akut
f. Tromboembolisme (terutama vena renal)
g. Emboli pulmoner
h. Infeksi (akibat defisiensi respon imun)
i. Malnutrisi
9
e. Gagal Ginjal Akut (GGA)
7. Pemeriksaan Diagnostik
A. Nefrotik Syndrome (NS)
Menurut Betz & Sowden (2009), pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
a. Uji Urine
1) Urinalisis : proteinuria (dapat mencapai lebih dari 2 g/m2/hari), bentuk hialin dan
granular, hematuria
2) Uji dipstick urine : hasil positif untuk protein dan darah
3) Berat jenis urine : meningkat palsu karena proteinuria
4) Osmolalitas urine : meningkat
b. Uji Darah
1) Kadar albumin serum : menurun (kurang dari 2 g/dl)
2) Kadar kolesterol serum : meningkat (dapat mencapai 450-1000 mg/dl)
3) Kadar trigliserid serum : meningkat
4) Kadar haemoglobin dan hematokrit : meningkat
5) Hitung trombosit : (mencapai 500.000-1.000.000/ul)
6) Kadar elektrolit serum : bervariasi sesuai dengan keadaan penyakit
c. Uji Diagnostic
1) Biopsi ginjal
Menurut Bagga A (2015), penegakan diagnosis sindrom nefrotik tidak
ditentukan dengan hanya penampilan klinis. Diagnosis sindrom nefrotik dapat
ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang berikut yaitu:
a. Urinalisis
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri) yang terjadi dalam
24-48 jam setelah ginjal rusak, warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, Monoglobin, Porfirin. Berat jenis kurang dari 1,020
menunjukkan penyakit ginjal. Contoh glomerulonefritis, pielonefritis dengan
kehilangan kemampuan untuk meningkatkan, menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat. pH lebih besar dari 7 ditemukan pada
infeksi saluran kencing, nekrosis tubular ginjal dan gagal ginjal kronis (GGK).
Protein urin meningkat (nilai normal negatif). Urinalisis adalah tes awal
diagnosis sindromk nefrotik. Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan
10
dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat, 3+
menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang
artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.
b. Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel
yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit,
leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.
c. Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atausingle spot
collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam,
mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada
individu sehat, total protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif
merupakan kriteria diagnosis. Single spot collection lebih mudah dilakukan.
Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada kadar
protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.
d. Albumin serum
Kualitatif : ++ sampai ++++
Kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari
e. Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
f. USG Renal, terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik
2) Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia> 8 tahun,
resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi
nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy
mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis patologi penting
dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang
berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa
dengan glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease memiliki respon
yang lebih baik terhadap steroid.
3) Pemeriksaan Darah
Hb menurun adanya anemia, Ht menurun pada gagal ginjal, natrium meningkat
tapi biasanya bervariasi, kalium meningkat sehubungan dengan retensi dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah
11
nerah). Penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan protein dan
albumin melalui urin, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan penurunan
sintesis karena kekurangan asam amino essensial. Kolesterol serum meningkat
(umur 5-14 tahun : kurang dari atau sama dengan 220 mg/dl). Pada pemeriksaan
kimia darah dijumpai Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml), Albumin
menurun (N:4-5,8 gm/100ml), α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2
globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml), β globulin normal (N: 0,5-0,9
gm/100ml), γ globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin <1
(N:3/2), komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml), ureum, kreatinin
dan klirens kreatinin normal.
12
d. Pencitraan
Pencitraan bertujuan untuk memperlihatkan gambaran kondisi ginjal secara visual.
Metode pencitraan yang dapat digunakan antara lain foto Rontgen CT scan, dan
USG.
e. Biopsi Ginjal
Dilakukan dengan mengambil sampel jaringan ginjal dan diperiksa dibawah
mikroskop untuk emmastikan pasien menderita Biopsi juga kan membantu untuk
mencari penyebab dan glomerulonephritis tersebut.
8. Penatalaksanaan
A. Nefrotik Syndrome (NS)
Menurut Wong (2004), penatalaksanaan medis untuk sindrom nefrotik mencakup:
a. Pemberian kortikosteroid (prednison atau prednisolon) untuk menginduksi remisi.
Dosis akan diturunkan setelah 4 sampai 8 minggu terapi. Kekambuhan diatasi
dengan kortikosteroid dosis tinggi untuk beberapa hari.
b. Penggantian protein (albumin dari makanan atau intravena)
c. Pengurangan edema
1) Terapi diuretik (diuretik hendaknya digunakaan secara cermat untuk mencegah
terjadinya penurunan volume intravaskular, pembentukan trombus, dan atau
ketidakseimbangan elektrolit)
2) Pembatasan natrium (mengurangi edema)
d. Mempertahankan keseimbangan elektrolit
e. Pengobatan nyeri (untuk mengatasi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan
edema dan terapi invasif)
f. Pemberian antibiotik (penisilin oral profilaktik atau agenslain)
g. Terapi imunosupresif (siklofosfamid, klorambusil, atau siklosporin) untuk anak yang
gagal berespons terhadap steroid.
13
a. Medical
Perawatan medis harus segera dilaksanakan untuk membatasi kerusakan lebih lanjut
dari jaringan glomerulus. Manajemen meliputi terapi obat, diet dan istirahat di
tempat tidur. Paparan dari klien untuk infeksi apapun harus dihindari. Transfusi
darah mungkin diperlukan untuk anemia berat. Klien mungkin perlu dipindahkan ke
fasilitas mana dialisis dan transplantasi ginjal atau dapat dilakukan. Pencegahan
kerusakan ginjal lebih lanjut atau komplikasi serebral merupakan fokus dari
perawatan.
b. Pharmacological
Obat diuretik dan antihipertensi yang diperintahkan. Terapi antimikroba umumnya
diberikan prophylactically. Side efek dari semua obat dimonitor untuk dan
dilaporkan kepada dokter segera.
c. Diet
Asupan cairan yang disesuaikan dengan output urin. Protein diperbolehkan dalam
diet akan diatur sesuai dengan BUN dan kadar kreatinin darah. Sebagai tingkat ini
meningkat, protein akan ditentukan oleh tingkat serum elektrolit. Karbohidrat
biasanya meningkat dalam makanan untuk menyediakan energi yang memadai.
d. Activity
Istirahat ditunjukkan ketika klien memiliki hematuria atau albuminuria.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Menurut Siburian (2014), adapun data pengkajian yang diperlukan adalah:
1. Identitas klien meliputi:
a. Nama klien
b. Umur
c. Pendidikan
d. Pekerjaan
e. Agama
f. Suku bangsa
g. Alamat klien
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
14
Badan bengkak, muka sembab dan nafsu makan menurun
b. Riwayat penyakit dahulu
Edema masa neonatus, malaria, riwayat GNA dan GNK, terpapar bahan kimia
c. Riwayat penyakit sekarang
Badan bengkak, muka sembab, muntah, nafsu makan menurun, konstipasi, diare,
urine menurun
d. Riwayat kesehatan keluarga
Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak dapat ditangani dengan
terapi biasa dan bayi biasanya mati pada tahun pertama atau dua tahun setelah
kelahiran.
e. Riwayat kehamilan dan persalinan
Tidak ada hubungan
f. Riwayat kesehatan lingkungan
Endemik malaria sering terjadi kasus SN
g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
1) Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school (inisiative vs rasa
bersalah) yaitu memiliki inisiatif untuk belajar mencari pengalaman baru. Jika
usahanya diomeli atau dicela anak akan merasa bersalah dan menjadi anak
peragu.
2) Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional yaitu mulai
mempresentasekan dunia dengan bahasa, bermain dan meniru, menggunakan alat-
alat sederhana.
3) Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar orang dengan
kepala, lengan dan badan, segiempat, segitiga, menghitung jari-jarinya, menyebut
hari dalam seminggu, protes bila dilarang, mengenal empat warna, membedakan
besar dan kecil, meniru aktivitas orang dewasa.
4) Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan tidur, kecemasan,
keterbatasan dalam bermain, rewel, gelisah, regresi, perasaan berpisah dari orang
tua, teman.
5) Riwayat nutrisi : Status gizinya adalah dihitung dengan rumus (BB terukur
dibagi BB standar) X 100 %, dengan interpretasi : < 60 % (gizi buruk), < 30 %
(gizi sedang) dan > 80 % (gizi baik).
15
3. Pengkajian per sistem
a. Sistem pernapasan : Frekuensi pernapasan 15 – 32 X/menit, rata-rata 18 X/menit,
efusi pleura karena distensi abdomen
b. Sistem kardiovaskuler : Nadi 70 – 110 X/mnt, tekanan darah 95/65 – 100/60 mmHg,
hipertensi ringan bisa dijumpai
c. Sistem persarafan : Dalam batas normal
d. Sistem perkemihan : Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria, oliguria
e. Sistem pencernaan : Diare, nafsu makan menurun, anoreksia, hepatomegali,
malnutrisi berat, hernia umbilikalis, prolaps anii
f. Sistem muskuloskeletal : Dalam batas normal
g. Sistem integumen : Edema periorbital, ascites
h. Sistem endokrin : Dalam batas normal
i. Sistem reproduksi : Dalam batas normal
j. Persepsi orang tua : Kecemasan orang tua terhadap kondisi anaknya
2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko gangguan integritas kulit atau jaringan berhubungan dengan kelebihan
volume cairan
Adalah berisiko mengalami kerusakan kulit (dermis dan atau epidermis) atau jaringan
(membran mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan atau
ligamen).
Anak memperlihatkan gejala kerusakan kulit yang ditandai adanya edema.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan imunosupresi
Adalah beresiko mengalami peningkatan terserang organisme patigenik.
Anak ditandai suhu tinggi tidak normal atau demam dan nyeri abdomen.
3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan darah
(hipertensi)
Adalah penurunan sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat mengganggu
metabolisme tubuh.
Anak ditandai dengan warna kulit pucat, sakit kepala, edema dan hipertensi.
4. Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis (keengganan untuk makan)
Adalah asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.
Anak ditandai dengan nafsu makan menurun
16
5. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
Adalah peningkatan volume cairan intravaskular, interstisial, dan atau intraselular.
Anak ditandai dengan dispnea, edema perifer, oliguria dan berat badan meningkat.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
Adalah ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Anak ditandai dengan mengeluh lelah, merasa lemah, dispnea saat atau setelah
melakukan aktivitas, tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat.
7. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan struktur tubuh (edema)
Adalah perubahan persepsi tentang penampilan, struktur dan fungsi fisik individu.
Anak ditandai dengan hubungan sosial berubah disebabkan karena respon non verbal
pada perubahan dan persepsi tubuh.
3) Rencana Keperawatan
1. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelebihan volume cairan
Intervensi Rasional
1. Bantu anak mengubah posisi 1. Pengubahan posisi yang sering
tubuhnya setiap 2 jam dapat mencegah kerusakan kulit,
2. Lakukan perawatan kulit yang dengan cara meniadakan tekanan di
tepat termasuk mandi harian permukaan tubuh
dengan menggunakan sabun 2. Perawatan kulit yang baik dapat
pelembab, masase, pengubahan menjaga kulit bebas dari bahan
posisi, dan penggantian linen pengiritasi dan membantu
serta pakaian kotor mencegah kerusakan kulit
3. Kaji kulit anak untuk melihat 3. Pengkajian yang sering
bukti iritasi dan kerusakan seperti memungkinkan deteksi dini dan
kerusakan, edema, dan abrasi, intervensi yang tepat ketika
setiap 4-8 jam dibutuhkan
4. Topang atau tinggikan area-area 4. Meninggikan atau menopang
yang mengalami edema, seperti daerah yabg edema dapat
lengan, tungkai, dan skrotum, mengurangi edema menggunakan
dengan menggunakan bantal atau bedak dapat mengurangi
linen tempat tidur. Gunakan kelembapan dan gesekan yang
bedak pada area ini ditimbulkan ketika permukaan
17
5. Tingkatkan jumlah aktivitas tubuh saling bergesek
anak, seiring edema mereda 5. Peningkatan aktivitas membantu
mencegah kerusakan kulit akibat
tirah baring yang lama
Intervensi Rasional
1. Jangan izinkan seorang pun yang 1. Keadaan imunosupresi membuat
mengidap infeksi akut unuk anak rentan terhadap infeksi
mengunjungi anak 2. Anak yang kekebalan tubuhnya
2. Beri obat antibiotik sesuai program menurun biasanya menerima obat
3. Pantau anak setiap hari untuk antibiotik profilaktik untuk
deteksi tanda serta gejala infeksi, mencegah infeksi
termasuk batuk, demam, hidung 3. Pemantauan memastikan
tersumbat, drainase purulen dan pengenalan dini dan terapi yang
nyeri tenggorokan tepat terhadap infeksi
18
c. Catat status kejang anak pada
catatan anak
3. Beri obat-obatan anti hipertensi
sesuai program
Intervensi Rasional
1. Timbang berat badan anak pada 1. Menimbang berat badan setiap hari,
waktu yang sama setiap hari, membantu menentukan fluktuasi
dengan menggunakan timbangan status cairan anak
dan pakaian yang sama 2. Pemantauan membantu
2. Pantau asupan dan haluaran menentukan status cairan anak
cairan anak dengan cermat 3. Suatu diet rendah natrium dapat
3. Programkan anak pada diet mencegah retensi cairan
rendah natrium selama fase 4. Obat diuretik dapat mengeliminasi
edema cairan dari tubuh anak. Namun,
4. Beri obat diuretik sesuai program obat ini kadang-kadang tidak
19
5. Pantau anak untuk melihat efektif pada penderita nefrosis
penurunan berat jenis urine 5. Penurunan berat jenis urine
6. Kaji integritas kulit dan lakukan mengindikasikan diuresis
perawatan kulit 6. Edema akibat kelebihan cairan
dapat meningkatkan resiko
kerusakan kulit.
20
usianya masalah sama. Kelompok seperti
4. Anjurkan saudara kandung dan ini juga memungkinkan anak
teman sebaya untuk berkunjung melihat bagaimana anak lain dapat
beradaptasi terhadap perubahan
citra tubuhnya
4. Kunjungan dari saudara kandung
dan teman sebaya membantu anak
untuk mempertahankan kontak
dengan orang lain yang berada di
luar RS sehingga menciptakan
keadaan normal
DAFTAR PUSTAKA
Betz & Sowden. (2009). Buku Saku Keperawatan Pediatrik Edisi 5. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
21
Hasanah, Uswatun. (2014). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika.
Mamesah, Robin S. dkk. Hubungan Aspek Klinis dan Laboratorik dengan Tipe Sindrom
Nefrotik Pada Anak. Jurnal e-Clinic (eCl). 2016; Vol. 4, No. 1.
Mansjoer, Arief et. al (2010). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Rena dan Suwitra. (2014). Nefrologi klinik, edisi II. Bandung: ITB.
Siburian, Apriliani. 2014. Analisis Praktik Klinik Keperawatan Anak Kesehatan Masyarakat
Pada Pasien Sindrom Nefrotik di Lantai 3 Selatan RSUP Fatmawati. Karya Ilmiah
Akhir Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Program Sarjana Reguler Universitas
Indonesia.
Tim Pokja SDKI DPP-PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta:
PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP-PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta:
PPNI.
22