Disusun oleh :
FAISAL, S. Kep
oleh
FAISAL ., S. Kep
Hari :
Tanggal :
Mahasiswa
Kepala Ruangan
Kata pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan YME, karena atas segala berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat melaksanakan kegiatan yang berlangsung pada
tanggal, 27-02 Desember 2023 di Ruang Poli Anak Rumah Sakit Dr. R Soedjono
Selong, sehingga penulis dapat menyusun laporan ini yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Dengan Diagnosa Medis EPILEPSI Di Ruang Poli Anak Rsud Dr. R.
Soedjono Selong 2023 ”.
Selama pelaksanaan pembuatan Laporan ini, penulis banyak mendapatkan
dukungan dan bimbingan dari berbagai Pihak. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kepala ruangan Rumah Sakit yang telah memberi kesempatan kepada penulis
untuk melaksanakan kegiatan.
2. Clicinal Educator (CE) beserta perawat Rumah Sakit yang sudah bersedia
mendampingi dan memberikan arahan.
3. Pembimbing akademik yang telah memberi bimbingan pada penulis dalam
pelaksanaan kegiatan dan penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa hasil laporan pendahuluan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, Penulis berharap kepada semua pihak yang sekiranya
membaca laporan ini dapat memberikan saran dan kritik yang bertujuan demi
kesempurnaan laporan ini, penulis terima dengan senang hati, agar di kemudian hari
penulis dapat menyempurnakan laporan ini.
Demikianlah kata pengantar ini penulis sampaikan, semoga hasil laporan ini
bermanfaat bagi pengembangan pendidikan di Indonesia, khususnya dalam
pengembangan dan pemantapan Profesional Keperawatan.
Penyusun
LAPORAN PENDAHULUAN
SINDROM NEFROTIK
2. Etiologi
Menurut Nurarif & Kusuma (2016). Penyebab sindrom nefrotik yang pasti
belum diketahui. Akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit auto imun,
yaitu suatu reaksi antigen anti body. Umumnya etiologi dibagi menjadi:
1) Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autonom atau karena reaksi maternofetal.
Resisten terhadap suatu pengobatan. Gejala edema pada masa neonatus.
Pernah dicoba pencangkokan ginjal pada neonates tetapi tidak berhasil.
Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal pada bulan-bulan pertama
kehidupannya.
2) Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
a. Malaria quartana atau parasit lainnya
b. Penyakit kolagen seperti SLE, purpura anafilaktoid
c. Glomerulo nefritis akut atau glomerulon efritis kronis, thrombosis
vena renalis
d. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,
sengatan lebah, racun otak, air raksa. Amiloidosis, penyakit sel sabit,
hiperprolinemia, nefritis membrane proliferatif hipo komplemen
temik.
3) Sindrom nefrotik idiopatik
Sindrom nefrotik adalah Sindrom yang tidak diketahui penyebabnya
atau juga disebut sindrom nefrotik primer. Berdasarkan
histo patologis yang tampak pada biopsy ginjal dengan pemeriksaan
mikroskopi biasa dan mikroskopi electron membagi dalam 4 golongan
yaitu kelainan minimal, nefropati membranosa, glomerulo nefritis
proliferatif, glomerulo sklerosis fokal segmental.
3. Klasifikasi
Secara klinis Nefrotik sindrom dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1) Nefrotik Sindrom Primer atau Idiopatik
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini
secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada
penyebab lain. Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan
sindrom nefrotik idiopatik. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer
adalah Nefrotik sindrom kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik
yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. Penyakit
ini diturunkan secara resesif autosom atau karena reaksi fetomaternal.
Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya adalah edema pada masa
neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi
tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya (Yuliandra,2018).
2) Nefrotik Sindrom Sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat
dari berbagai sebab lain yang nyata. Penyebab yang sering dijumpai antara
lain :
a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema
b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS
c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular
d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis (Yuliandra, 2018).
4. Manifestasi Klinik
Menurut International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC),
pada SNKM ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopi, 15- 20% dengan
hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah
yang bersifat sementara. Pasien Nefrotik Sindrom biasanya datang dengan
edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura,
dan edema skrotum (pada laki-laki). Kadang-kadang disertai oligouria dan
gejala infeksi, nafsu makan berkurang dan diare. Bila disertai sakit perut,
hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis. Adapun tanda dan
gejala lainnya adalah:
1) Proteinuria
Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler
terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan
normalmembran basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang
untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama
berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan
muatan listrik (charge barrier). Pada Nefrotik Sindrom mekanisme barrier
tersebut akan terganggu. Selain itu konfigurasi molekul proteinjuga
menentukan lolos tidaknya protein melalui membran basal glomerulus
(Kharisma, 2017).
2) Hipolbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukanoleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada Nefrotik Sindrom
hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat
penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan
onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin.
Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin
hati akan tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui
urin (Kharisma, 2017).
3) Edema
Edema pada Nefrotik Sindrom dapat diterangkan dengan teori
underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa
hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada Nefrotik
sindrom. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma dan bergesernya cairan plasma sehingga terjadi hipovolemiadan
ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi air dan
natrium. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume
inravaskular tetapi juga mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia
sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek
renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler
meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasiglomerulus
akibat kerusakan ginjal akan menambah terjadinya retensi natrium dan
edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan pada pasien Nefrotik
Sindrom. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid,
derajat gangguanfungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan
dengan penyakit jantung dan hati akan menentukan mekanisme mana yang
lebih berperan.
5. Patofisiologi
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat
pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria.
Kelanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan
menurunnya albumin, tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan
intravaskular berpindah ke dalam interstisial. Perpindahan cairan tersebut
menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan
jumlah aliran darah ke renal karena hipovolemia.
Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi
dengan merangsang produksi renin angiotensin dan peningkatan sekresi
hormon ADH dan sekresi aldosteron yang kemudian terjaddi retensi natrium
dan air. Dengan retensi natrium dan air, akan menyebabkan edema.
Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari
peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin
atau penurunan onkotik plasma. Adanya hiperlipidemia juga akibat dari
meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati yang timbul oleh karena
kompensasi hilangnya protein dan lemak akan banyak dalam urin atau
lipiduria. Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan
disebabkan oleh karena hypoalbuminemia, hiperlipidemia (Kharisma, 2017).
6. Patway
Kerusakan Glomerulus
Proteinuria
Sintesis
Hiperlipidemi protein & Hipoalbuminemia
Hipertensi a Lipid
Edema
MK: Kolesterol
Nyeri
Sakit Kepala
Akut SINDROMA NEFROTIK
Asites
Cardiac Reabsorbsi
Output Na & Air Penurunan Volume Cairan Hipoalbumi
Distensi Menurun Filtrasi Vaskuler Menurun nemia
Abdomen Volume Glomerulu
Perfusi Darah Intravaskuler s Stimulasi Tekanan
Ke Otak Renin- Osmotik Plasma
Menekan Menurun Beban Kerja Protein Angiotensis Menurun
Diafragm Jantung Terfiltras
a MK: Risiko Meningkat i Sekresi ADH
Ketidakefektifa Tekanan
n Perfusi Kontraaktivitas Hidrostatik
Penurunan Jaringan Otak Ventrikel Meningkat
Penurunan Ig Reabsorbsi Na
Ekspansi Menurun G & Ig A & Air
Paru Perpindahan
Meningkat
Decompensasi Imunitas Cairan dari
Cordis Menurun Volume Intravaskuler
Dyspnea, Ke
Sekresi Urine
Takipnea, Aritmia, Intrastisial
MK : menurun
Tarikan Bradicardi, Risiko
Dinding Perubahan EKG, Infeksi MK :
Dada Edema, Gangguan
Eliminasi
Urine
MK :
Ketidakefektifa MK: Penurunan
n Pola Napas Curah Jantung
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Betz & Sowden (2017), pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1) Uji urine
a. Urinalisis: proteinuria (dapat mencapai lebih dari 2g/m2/hari), bentuk
hialin dan granular, hematuria
b. Uji dipstick urine: hasilpositif untuk protein dan darah
c. Berat jenis urine: meningkat palsu karena proteinuria
d. Osmolalitas urine: meningkat
2) Uji darah
a. Kadar albumin serum: menurun (kurang dari 2 g/dl)
b. Kadar kolesterol serum: meningkat (dapat mencapai 450 sampai 1000
mg/dl)
c. Kadar trigliserid serum: meningkat
d. Kadar hemoglobin dan hematokrit : meningkat
e. Hitung trombosit: meningkat (mencapai 500.000 sampai 1.000.000/ul)
f. Kadar elektrolit serum: bervariasi sesuai dengan keadaan penyakit
perorangan
3) Uji diagnostik
Biopsi ginjal (tidak dilakukan secara rutin)
8. Komplikasi
1) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein di dalam urin seperti
antithrombin III (AT III), protein S bebas, plasminogen dan α antiplasmin.
2) Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2.
3) Meningkatnya sintesis protein prokoagulan dan tertekannya fibrinolisis.
4) Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan
monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus
yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi
trombosit.
5) Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus,
staphylococcus, bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit
perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya
tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak
ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan.
6) Gangguan klirens renali pada pasien sindrom nefrotik mungkin
disebabkan kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan
berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan
pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin
sesudah pemberian beban asam.
7) Gagal ginjal akut terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi
berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya
tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).
8) Anemia yang disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum
yang menurun akibat proteinuria. Anemia hipokrom mikrositik, karena
defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap pengobatan preparat
Fe. Universitas Sumatera Utara
9) Peritonitis karena adanya edema di mukosa usus membentuk media yang
baik untuk perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat
infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.
10) Gangguan keseimbangan hormon dan mineral karena protein pengikat
hormon hilang melalui urin . Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG)
dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi
globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
11) Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat
menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan
menetap. Disamping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang
kembali menjadi normal dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi
kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih
besar daripada pemasukan. Hal-hal seperti di atas dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan serta mental anak pada fasa
pertumbuhan. Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan
menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan
adanya kelainan metabolisme vitamin D namun penyakit tulang yang
nyata pada penderita sindrom nefrotik jarang ditemukan (Dr.Trihono,
2012).
9. Penatalaksanaan Medis
Menurut Wong (2016), Penatalaksanaan medis untuk Sindrom nefrotik
mencakup :
1. Pemberian kortikosteroid (prednison atau prednisolon) untuk
menginduksi remisi. Dosis akan diturunkan setelah 4 sampai 8 minggu
terapi. Kekambuhan diatasi dengan kortikosteroid dosis tinggi untuk
beberapa hari.
2. Penggantian protein (albumin dari makanan atau intravena)
3. Pengurangan edema
a. Terapi diuretic (diuretic hendaknya digunakaan secara cermat untuk
mencegah terjadinya penurunan volume intra vaskular, pembentukan
trombus, dan atau ketidakseimbangan elektrolit)
b. Pembatasan natrium (mengurangi edema)
4. Mempertahankan keseimbangan elektrolit
5. Pengobatan nyeri (untuk mengatasi ketidaknyamanan yang berhubungan
dengan edema dan terapi invasif)
6. Pemberian antibiotik (penisilin oral profilaktik atau agenslain)
7. Terapi imunosupresif (siklofosfamid, klorambusil, atau siklosporin) Untuk
anak yang gagal berespons terhadap steroid
3. Implementasi
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan, kegiatannya meliputi pengumpulan data berkelanjutan,
mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan
(Purnomo, 2016).
4. Evaluasi
Setelah mendapat intervensi keperawatan, maka pasien dengan sindrom
nefrotik diharapkan sebagai berikut :
a) Kelebihan volume cairan teratasi
b) Meningkatnya asupan nutrisi
c) Meningkatnya citra tubuh
d) Bersihan jalan nafas efektif
e) Perfusi jaringan perifer efektif
f) Pola nafas efektif
g) Aktivitas dapat ditoleransi
h) Curah jantung mengalami peningkatan
DAFTAR PUSTAKA