Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstra
kranium. Perlu diperhatikan bahwa demam harus terjadi mendahului kejang.
Umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan-5 tahun.1 Menurut consensus statement
of febrile seizures kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi dan anak
biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam
tetapi tidak terbukti adanya infeksi intracranial atau penyebab tertentu.2
Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di
bidang neurologi khususnya anak. Kejang demam pada umumnya dianggap tidak
berbahaya dan sering tidak menimbulkan gejala sisa akan tetapi bila kejang
berlangsung lama sehingga menimbulkan hipoksia pada jaringan Susunan Saraf
Pusat (SSP), dapat menyebabkan adanya gejala sisa di kemudian hari.
Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata
laksana kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama
kali terjadi atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan
waktu anak berumur berapa . Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang
bersifat klonik, tonik, umum atau fokal. Ditanya pula lama serangan, kesadaran
pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang menyertai diteliti, termasuk
demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau kemunduran kepandaian.
Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi.1
Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang paling lazim pada
masa anak, dengan pragnosa baik secara seragam.2 Jumlah penderita kejang
demam diperkirakan mencapai 2 – 4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika
Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi.
Sekitar 20% di antara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang
harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang
demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki.3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama penderita : An. H
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 1 tahun 1 bulan
Nama Ayah : Tn. D
Nama Ibu : Ny. I
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : jl. Sari Bakti RT 10 lrg Garuda III
MRS tanggal : 17 Januari 2020

2.2 Anamnesis
Alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien, pada hari Senin, tanggal 17
Januari 2020

Keluhan Utama : Kejang


Keluhan Tambahan : Demam, batuk, pilek

Riwayat perjalanan penyakit :


Pasien datang dengan keluhan kejang -+ 3 jam SMRS. +- 2 minggu
SMRS pasien mulai batu pilek, sudah diberi obat tetapi tidak sembuh. +- 7
jam SMRS pasien tiba-tiba demam tinggi, +- 3 jam SMRS pasien tiba-tiba
kejang sebanyak 1x selama <5 menit,kejang pada kedua tangan dengan mata
melihat ke atas, ibu pasien tidak memperhatikan kaki pasien dan setelah
kejang berhenti pasien kembali sadar. Pada saat kejang suhu tubuh pasien
tinggi. Mencret (-), muntah (-), batuk (+), pilek (+), BAK dan BAB tidak
ada keluhan.

2
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien mengalami kejang pertama kali di usia ±9 bulan, kejang 1x, kejang
terjadi di seluruh tubuh dan selama < 5 menit, mata melihat ke atas, pada
saat dipanggil pasien tidak merespon dan setelah kejang berhenti pasien
kembali sadar. Sebelum kejang pasien mengalami demam tinggi.

Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat keluarga dengan penyakit kejang demam (-)

Riwayat sosial ekonomi :


 Pekerjaan Ayah : Swasta
 Pekerjaan Ibu : IRT

Riwayat imunisasi :
Menurut ibu pasien, imunisasi pasien lengkap dan sesuai dengan jadwal
namun ibu tidak membawa buku imunisasi. Pada bahu kanan pasien tampak
jelas bekas imunisasi.

2.3 Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


 Riwayat kehamilan dan kelahiran
Masa kehamilan : Aterm (37-38 minggu)
Partus : SC
Ditolong oleh : Dokter
Tanggal : 14 Desember 2018
Berat badan lahir : 2800 gram
Panjang badan : 47 cm
 Riwayat makanan
ASI : Asi eksklusif sampai usia 6 bulan
Susu formula : Saat usia 7 bulan sampai sekarang
Bubur nasi : Mulai dari usia 7 bulan
Nasi tim/lembek : mulai dari 1 tahun

3
 Riwayat imunisasi
a. BCG :-
b. Polio :-
c. DTP :-
d. Campak :-
e. Hepatitis :-
Kesan : belum bisa dikatakan lengkap karena ibu tidak membawa buku
KMS

 Riwayat perkembangan
Gigi pertama : 8 bulan
Tengkurap : 6 bulan
Merangkak : 8 bulan
Duduk : 9 bulan
Berdiri : 12 bulan
Aktifitas : Aktif
Kesan : Perkembangan normal

 Status gizi
Usia 3 tahun 3 bulan dengan berat badan 13 kg dan panjang badan 102 cm
- BB/U = 0 SD s/d 2 SD Kesan: Normal
- PB/U = -2 s/d 0 SD Kesan: Normal
- BB/PB = tepat di 2SD Kesan: Gizi Baik
 Riwayat penyakit yang pernah diderita
Parotitis :- Muntah berak : -
Pertusis :- Asma :-
Difteri :- Cacingan :-
Tetanus :- Patah tulang :-
Campak :- Jantung :-
Varicella :- Sendi bengkak: -

4
Thypoid :- Kecelakaan :-
Malaria :- Operasi :-
DBD :- Keracunan :-
Demam menahun : - Sakit kencing : -
Radang paru :- Sakit ginjal :-
TBC :- Alergi :-
Kejang :+ Perut kembung: -
Lumpuh :- Otitis Media : -
Batuk/pilek :+
2.4 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5 = 15
b. Pengukuran
Tanda vital  TD :-
Nadi : 130 x/menit, kuat angkat
RR : 52 x/menit, teratur
Suhu : 38,7 °C
SpO2 : 89 %
Berat badan : 11 kg
Panjang badan : 74 cm
c. Kulit
Sianosis :-
Turgor : Baik
Lain-lain : Petekie (-), Purpura (-)
d. Kepala
Bentuk : Normochepal, tanda-tanda trauma (-)
 Rambut
Warna : Hitam, merata, tidak mudah dicabut
Alopesia :-
Lain-lain :-

5
 Mata
Palpebra : Edema (-), cekung (-)
Alis dan bulu mata : Hitam
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Isokor, refleks cahaya langsung (+/+)
 Telinga
Bentuk : Simetris
Sekret : Tidak ada
Serumen : (+/+) minimal
Nyeri tekan : (-/-)
 Hidung
Bentuk : Simetris
Sekret : +/+
Epistaksis : - /-
Lain-lain :-
 Mulut dan Gigi
Bentuk : Simetris
Bibir : Sianosis (-)
Karies :-
 Faring
Hiperemis :-
Edema :-
Membran / pseudomembran : -
 Tonsil
Warna : hiperemis / kemerahan
Pembesaran : +/+ (T1/T1)
Abses / tidak :-
Membran / pseudomembran : -
e. Leher
Pembesaran kelenjar leher : -

6
Kaku kuduk :-
Massa :-
f. Thoraks
 Paru
Inspeksi  Bentuk : Simetris
Retraksi :-
Pernapasan : Abdominothorakal
Sternum : ditengah
Palpasi  Fokal fremitus : getaran sama kiri dan kanan
Perkusi  Sonor
Auskultasi  Suara nafas dasar : Vesikuler (+/+)
Suara nafas tambahan : Ronkhi (+/+) basah kasar,
wheezing (-/-).
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicular sinistra
Perkusi : Batas kiri : ICS V linea mid klavikularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Suara dasar : S1-S2 reguler,
Bising : murmur (-), gallop (-)
g. Abdomen
Inspeksi  Bentuk : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi  Nyeri tekan :-
Nyeri lepas :-
Defans muskular : -
Turgor : Baik
Hati : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba

7
Massa :-
Perkusi  Timpani :+
Ascites :-

h. Ekstremitas
Dextra Sinistra
Superior Look : Jejas (-), hematom (-) Look : Jejas (-), hematom (-)
edema (-) edema (-)
Feel : Nyeri tekan (-), sensibilitas Feel : Nyeri tekan (-), sensibilitas
(+), akral hangat, CRT<2detik (+), akral hangat,CRT<2detik
Move : Nyeri gerak aktif (-), pasif(-), Move : Nyeri gerak aktif (-), pasif
gerak aktif dan pasif dalam (-), gerak aktif dan pasif
batas normal dalam batas normal
Inferior Look : Jejas (-), hematom (-) Look : Jejas (-), hematom (-)
edema (-) edema (-)
Feel : Nyeri tekan (-), sensibilitas Feel : Nyeri tekan (-), sensibilitas
(+), akral hangat, CRT<2detik (+), akral hangat,CRT<2detik
Move :Nyeri gerak aktif (-), pasif (-), Move : Nyeri gerak aktif (-), pasif
gerak aktif dan pasif dalam (-), gerak aktif dan pasif
batas normal dalam batas normal

i. Genitalia : Tidak di periksa

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Tanda perangsang selaput otak:
Kaku kuduk : (-)
Brudzinsky I : (-)

8
Brudzinsky II : (-)
Kernig : (-)
Tonus : eutoni
Kekuatan : 5/5/5/5
Refleks fisiologis:
Refleks tendon biseps : (+/+)
Refleks tendon triseps : (+/+)
Patella : (+/+)
Achilles : (+/+)
Refleks patologis:
Babinsky : (-/-)
Chadook : (-/-)
Gordon : (-/-)
Oppenheim : (-/-)

2.5 Pemeriksaan Laboratorium


Tabel 2.1 Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi (17 Januari 2020)
Hemoglobin 12,2 g/dL 11 - 16
Hematokrit 36,6 % 36 - 48
Leukosit 20,88 10 mm3
3/
4 – 10,0
Trombosit 320 103/mm3 150 - 400
Eritrosit 4,77 103/mm3 3,5 - 5,5
GDS 121 Mg/dl 70-140
Elektrolit (17 Januari 2020)
Natrium 137,10 Mmol/L 135-148
Kalium 4,22 Mmol/L 3,5-5,3
Chloride 107,57 Mmol/L 98-110
Calcium 1,13 Mmol/L 1,19-1,23

2.6 Diagnosis Banding


1. Kejang Demam Kompleks :
- Kejang demam simplek
- Kejang demam komplek

9
2. Batuk akut :
- Bronkitis
- Bronkiolitis
-
3. gizi kurang :
- Gizi baik
- Gizi buruk
2.7 Diagnosis Kerja
Kejang Demam simplek + bronkitis+ gizi baik

2.8 PENATALAKSANAAN
1. IVFD D5 ¼ NS 1000 cc/24 jam
2. Inj. Dexamethason 3x1,5 mg
3. Inj. Ceftriaxone 1 x 1gr + NS 100 cc
4. Po. Paracetamol 5cc jika T >38 C
5. Po. Diazepam 2 mg jika T > 38,5o C
6. Nebuliter pulmicort/8jam
7. Ambroxol 3x1 amp
8. O2 2Lpm NC

2.9 Pemeriksaan Anjuran


- Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)

2.10 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. 1
Kejang demam adalah kejang yang berhubungan dengan demam (suhu diatas 39o
C per rektal) tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit
akut, terjadi pada anak berusia 1 bulan dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya.
Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam
merupakan kejang selama masa kanak-kanak setelah usia 1 bulan, yang
berhubungan dengan penyakit demam tanpa disebabkan infeksi sistem saraf pusat,
tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak berhubungan dengan kejang simptomatik
lainnya.3
Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan
elektrolit atau metabolik lainnya. Bila ada riwayat kejang tanpa demam
sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam. Anak berumur antara 1-6
bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali. National
Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan
Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE (1993) menggunakan batasan usia
lebih dari 1 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf
pusat. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini
melainkan termasuk dalam kejang neonatus.4

Kejang yang disertai demam terjadi selama lebih dari 30 menit baik satu
kali atau multiple tanpa kesadaran penuh diantara kejang maka diklasifikasikan
sebagai status epileptikus yang diprovokasi demam. Kejadian ini berkisar 5% dari
keseluruhan kejang yang disertai demam.5

11
Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu
kejang demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsy yang
diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered of by fever).
Ciri-ciri kejang demam sederhana menurut Livingston adalah:
1) Kejang bersifat umum
2) Lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
3) Usia waktu kejang demam pertama muncul kurang dari 6 tahun
4) Frekuensi serangan 1-4 kali dalam satu tahun
5) EEG normal
Kejang demam yang tidak sesuai dengan ciri tersebut diatas digolongkan
sebagai epilepsy yang dicetuskan oleh demam.6

3.2 Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.4 Kejang
demam merupakan jenis kejang yang paling sering, biasanya merupakan kejadian
tunggal dan tidak berbahaya. Berdasarkan studi populasi, angka kejadian kejang
demam di Amerika Serikat dan Eropa 2–7%, sedangkan di Jepang 9–10%. Dua
puluh satu persen kejang demam durasinya kurang dari 1 jam, 57% terjadi antara
1-24 jam berlangsungnya demam, dan 22% lebih dari 24 jam.2 Sekitar 30%
pasien akan mengalami kejang demam berulang dan kemudian meningkat menjadi
50% jika kejang pertama terjadi usia kurang dari 1 tahun. Sejumlah 9–35% kejang

12
demam pertama kali adalah kompleks, 25% kejang demam kompleks tersebut
berkembang ke arah epilepsi.3

3.3 Etiologi dan Patofisiologi


Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan
aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin yang
merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian
demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya
dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau
lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS
menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL-
1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian
menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu
tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen
endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal
(glutamatergic) dan menghambat GABA-ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal
ini yang menimbulkan kejang.3

Table 3.1 Etiologi kejang pada anak

13
Beberapa teori dikemukakan mengenai penyebab terjadinya kejang
demam, dua diantaranya adalah karena lepasnya sitokin inflamasi (IL-1-beta),
atau hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis dan meningkatkan pH otak
sehingga terjadi kejang.1
Kejang demam juga diturunkan secara genetic sehingga eksitasi neuron
terjadi lebih mudah. Pola penurunan genetic masih belum jelas, namun beberapa
studi menunjukka keterkaitan dengan kromosom tertentu seperti 19p dan 18q13-
21, sementara studi lain menunjukkan pola autosomal dominan.
Demam yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial, paling
sering disebakan karena infeksi saluran napas akut, otitis media akut, roseola,
infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran cerna.1,7
Faktor yang dapat menjelaskan mekanisme terjadinya kejang yaitu zat
yang dikenal sebagai gama-aminobutyric acid (GABA). GABA adalah salah satu
jenis neurotransmitter inhibisi utama di susunan saraf pusat. Ketidakseimbangan
antara eksitasi dan inhibisi di otak serta penurunan fungsi GABA dapat
menimbulkan terjadinya kejang.6,7 Menurunnya hambatan potensial aksi oleh
GABA disebabkan karena beberapa faktor tertentu, yang meliputi :7
1. Menurunnya kecepatan pelepasan GABA, misalnya karena menurunnya
enzim pembentuk GABA
2. Menurunnya efisiensi GABA oleh karena perubahan lingkungan seperti
demam atau anoksia.
3. Meningkatnya bahan eksogen dan endogen yang memblok aksi pasca
sinaps GABA dan hambatan lepas muatan
Hambatan atau penurunan dari GABA dapat secara langsung menginduksi
terjadinya ledakan lepas muatan yang menyebabkan kejang. Neurotransmitter
eksitatori akan membuka saluran ion natrium sehingga meningkatkan pemasukan
natrium, hal ini menyebabkan depolarisasi dan meningkatkan kecepatan lepas
muatan. Neurotransmitter inhibitori, dalam hal ini GABA akan membuka saluran
ion klorida, menyebabkan pemasukan ion klorida, menimbulkan hiperpolarisasi
dan menurunkan kecepatan lepas muatan neuron. Kenaikan suhu 10C pada
keadaan demam akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal10-15% dan

14
kebutuhan oksigen 20%. Akibatnya terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel otak. Dalam waktu singkat terjadi lepasan muatan listrik. Lepasnya
muatan listrik yang cukup besar dapat meluas keseluruh sel di dekatnya dengan
bantuan neurotransmitter, sehingga terjadi kejang. Di tingkat membran sel, fokus
kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, seperti berikut:
 Instabilitas membrane sel saraf sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
 Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
 Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi GABA.
Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang menggangu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbanagn ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter eksitatori atau deplesi neurotransmiter inhibitorik.6,7

3.4 Klasifikasi
3.4.1 Kejang Demam Sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit),
bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam
waktu 24 jam.4 Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh
kejang demam.3

3.4.2 Kejang Demam Kompleks (complex febrile seizure)4


Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:
a. Kejang lama (>15 menit)
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak
tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi

15
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial.
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada
16% anak yang mengalami kejang demam

3.5 Manifestasi Klinis


Kejang selalu didahului oleh naiknya suhu tubuh dengan cepat. Pada
kejang demam sederhana, tipe kejang berupa kejang umum klonik atau tonik-
klonik. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit
anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Adanya tanda kejang
demam fokal atau parsial selama maupun sesudah kejang (misalnya pergerakan
satu tungkai saja, atau satu tungkai terlihat lebih lemah dibanding yang lain)
menunjukkan kejang demam kompleks, dapat diikuti oleh hemiparesis sementara
(hemiparesis todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.2,7

Perbedaan kejang demam demam sederhana (KDS) dan kompleks (KDK)


dapat dilihat pada tabel berikut.4
Tabel 3.2 Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks
No Klinis KDS KDK
1 Durasi < 15 menit > 15 menit
2 Tipe kejang umum Umum/fokal
3 Berulang dalam satu episode 1 kali >1 kali
4 Defisit neurologis - ±
5 Riwayat keluarga kejang demam ± ±
6 Riwayat keluarga kejang tanpa ± ±
demam
7 Abnormalitas neurologis ± ±
sebelumnya

16
3.6 Diagnosis
Diagnosis kejang demam ditegakkan setelah penyebab kejang yang lain
dapat disingkirkan yaitu meliputi meningitis, ensefalitis, trauma kepala, ketidak
seimbangan elektrolit, dan penyebab kejang akut lainnya. Dari beberapa diagnosis
banding tersebut, meningitis merupakan penyebab kejang demam yang lebih
mendapat perhatian. Angka kejadian meningitis pada kejang yang disertai demam
yaitu 2-5%.2

Kejang disertai demam adalah hal yang sering terjadi pada anak. Banyak
diantaranya disebabkan proses intrakranium yang yang berbahaya ataupun proses
sistemik. Kondisi-kondisi ini harus dapat dibedakan dengan segera dari kejang
demam.

3.6.1 Anamnesis
 Waktu terjadi kejang durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang, sifat
kejang (fokal atau umum)
 Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
 Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
 Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau
naik turun)
 Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
 Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai
demam atau epilepsy)
 Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsy)
 Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
 Trauma kepala

3.6.2 Pemeriksaan Fisik


 Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran
 Tanda vital terutama suhu

17
 Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah ataukejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya
kelainan struktur otak
 Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi,
henti nafas, kejangtonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya
negatif, dan terdapatnya kuadriparesisflasid mencurigakan terjadinya
perdarahan intraventikular
 Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi,
henti nafas, kejangtonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya
negatif, dan terdapatnya kuadriparesisflasid mencurigakan terjadinya
perdarahan intraventikular
 Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan
yang disebabkan oleh trauma
 Ubun-ubun besar yang tegang dan membenjol menunjukkan adanya
peninggian tekananintrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan
sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi yanglahir dengan kesadaran menurun,
perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanelenterior yang
disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu
 Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial
yang mungkindisertai gangguan perkembangan kortex serebri
 Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan cairan
subdural ataukelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus
 Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam
(ISPA, OMA, GE)
 Pemeriksaan refleks patologis
 Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)

18
3.6.3 Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah
perifer, elektrolit, dan gula darah.4
 Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru,
saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak
berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan
keadaan umum baik.4 Risiko meningitis bakterialis adalah 0,6–6,7%. Pada
bayi, sering sulit menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas.

Indikasi pungsi lumbal:


1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis.
Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut
dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis. Oleh karena itu, pungsi
lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan – sangat dianjurkan
2. Bayi antara 12-18 bulan – dianjurkan
3. Bayi >18 bulan – tidak rutin
Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.3

 Elektroensefalografi (EEG)

19
Indikasi pemeriksaan EEG:
- Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI
apabila bangkitan bersifat fokal.4
Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak
direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang
tidak khas, misalnya pada kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6
tahun, atau kejang demam fokal.3

 PENCITRAAN
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin
dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut
dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang
menetap, misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis.4
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat
darurat. CT scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik
yang bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray kepala dan
pencitraan seperti Computed Tomography scan (CT-scan) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:3
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema

3.7 Diagnosis Banding


Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang harus
dipikirkan penyebab kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat. Kelainan
di dalam otak biasanya karena infeksi misalnya meningitis, ensefalitis, abses
otak, dan lain-lain.oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu
apakah ada kelainan organis di otak. Menegakkan diagnosa meningitis tidak
selalu mudah terutama pada bayi dan anak yang masih muda. Pada kelompok ini

20
gejala meningitis sering tidak khas dan gangguan neurologisnya kurang
nyata.Oleh karena itu agar tidak terjadi kekhilafan yang berakibat fatal dapat
dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal yang umumnya diambil melalui
pungsi lumbal. Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong
dalam kejang demam atau epilepsi yang diprovokasi oleh demam. 2,6

Tabel 3.3 diagnosis banding


No Kriteria Kejang demam Epillepsi Meningitis
banding Ensefalitis
1 Demam Pencetusnya Tidak Salah satu
demam berkaitan gejalanya demam
(Peningkatan suhu dengan (Demam terjadi
tubuh secara cepat demam bersamaan atau
diikuti oleh setelah kejang)
kejang)
2. Defisit (-) (+) (+)
neurologi
3. Kejang (+) (+) (+)
berulang
4. Penurunan (-) (-) (+)
kesadaran

3.8 Penatalaksaan
3.8.1 Tatalaksana saat kejang

Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada


waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam
keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-
lahan dengan kecepatan 1- 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan
dosis maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya.4

21
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-
0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan
kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam
intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status
epileptikus.4

3.8.2 Pemberian obat pada saat demam


1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol
yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis
ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.4
2. Antikonvulsan
a. Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu
faktor risiko di bawah ini:
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.4
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per

22
oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10
mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis
maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan
selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua
bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia,
iritabilitas, serta sedasi.4
b. Pemberian obat antikonvulsan rumat
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus
selektif dan dalam jangka pendek.4
Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang.

Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan


perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini
adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang
berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan
gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.

Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan


rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun
dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.4

Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:3

23
 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam kurun waktu 24 jam.
 Kejang demam terjadi pada bayi usia kurang dari 12 bulan.
 Kejang demam dengan frekuensi >4 kali per tahun.

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >15 menit


merupakan indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata,
misalnya keterlambatan perkembangan ringan, bukan merupakan indikasi
pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan
bahwa anak mempunyai fokus organik.

c. Pemeriksaan dan Observasi

24
Pada kejang demam sederhana, anak <18 bulan sangat disarankan untuk
dilakukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut seperti pungsi lumbal,
sedangkan pada anak >18 bulan tidak harus observasi di rumah sakit jika
kondisi stabil, keluarga perlu diberitahu jika terjadi kejang berulang maka
harus dibawa ke rumah sakit. Pada kejang demam sederhana, pemeriksaan
darah rutin, elektroensefalografi, dan neuroimaging tidak selalu dilakukan.
Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan pada pasien umur <18 bulan, dengan
meningeal sign serta pasien dengan kecurigaan infeksi SSP.3
Pada kejang demam kompleks, pemeriksaan difokuskan untuk mencari
etiologi demam. Semua kejang demam kompleks membutuhkan observasi
lebih lanjut di rumah sakit.8,9 Pungsi lumbal serta beberapa tindakan seperti
elektroensefalografi dan CT scan mungkin diperlukan.3
d. Vaksinasi
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada
anak dengan riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi
sangat jarang. Suatu studi kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang
demam terkait vaksin (vaccine-associated febrile seizure) dibandingkan
dengan kejang demam tidak terkait vaksin (non vaccine-associated febrile
seizure) adalah 1,6 (IK95% 1,27 sampai 2,11). Angka kejadian kejang demam
pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,
sedangkan setelah vaksin MMR adalah 25-34 kasus per 100.000 anak. Pada
keadaan tersebut, dianjurkan pemberian diazepam intermiten dan parasetamol
profilaksis.4
e. Edukasi
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada
saat kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan
meninggal. Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai
prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.

25
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang
efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.4

3.9 Prognosis

1. Kecacatan atau kelainan neurologis


Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan
mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang
sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang
lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi
melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang
mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi
kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama.4
2. Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya
kejang.
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut
kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan
berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.4

3. Faktor risiko terjadinya epilepsy

Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:


1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum

26
kejang demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam
satu tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi
tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.4

4. Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka
kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana
dengan perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.4

27
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pada pasien An. H perempuan berumur 1 tahun 1 bulan, berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang ditegakkan diagnosa
Kejang Demam Simplek + bronkitis + gizi baik.
Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan utama kejang yang diawali
dengan demam tinggi mendadak ± 7 jam SMRS, pada saat itu demam sedikit
turun ketika diberikan sanmol oleh ibu pasien. +- 3 jam SMRS pasien tiba-tiba
kejang sebanyak 1x selama <5 menit,kejang pada kedua tangan dengan mata
melihat ke atas, ibu pasien tidak memperhatikan kaki pasien dan setelah kejang
berhenti pasien sadar.
Kira-kira +- 2 minggu SMRS pasien mulai batu pilek, sudah diberi
obat tetapi tidak sembuh.. Pasien kemudian dibawa ke IGD RS. Raden Mattaher
Jambi. Pada saat di IGD pasien tampak lemah. Pada saat di IGD pasien diberikan
paracetamol sirup 5cc karena suhu tubuh pasien 38,7 C . Hari ini pasien tidak ada
muntah, diare (-), BAK tidak ada keluhan, batuk (+), pilek (+), nafsu makan dan
minum pasien menurun namun masih mau makan dan minum.
Pada pemeriksaan fisik di bangsal RSUD Raden Mattaher didapatkan suhu
38,70 C, nadi 130 kali/menit, frekuensi napas 52 kali/menit dan saturasi oksigen
89%. Pada pemeriksaan fisik generalisata tidak didapatkan kelainan. Pada
pemeriksaan neurologis tidak didapatkan defisit neurologis.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dapat ditegakkan diagnosis
Kejang Demam Simplek. Dimana hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan
bahwa kejang demam simplek adalah kejang demam yang berlangsung singkat
(kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta
tidak berulang dalam waktu 24 jam

Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului dengan demam pikirkan kemungkinan terjadinya infeksi susunan saraf

28
pusat atau epilepsy yang disertai demam. Pada kasus ini di dadapatkan anak baru
berusia 3 tahun 3 bulan dimana masih dikategorikan sebagai kejang demam.

Menurut beberapa literature suhu rata-rata yang didapatkan pada kejadian


kejang demam adalah 39o C dengan rentangan suhu 37,8 oC – 41,5 oC , dan kejang
demam biasanya terjadi dalam kurun waktu 24 jam pertama saat mulainya
demam, dimana pada kasus didapatkan anak mempunyai riwayat demam tinggi 1
hari sebelum muncul kejang.

Tatalaksana pada pasien ini pada saat masuk IGD, IVFD RL diberikan
untuk mempermudah akses pemberian obat intravena serta pemberian cairan.
Pemberian Diazepam injek untuk antikonvulsan pada saat demam dan
mengurangi resiko berulang nya kejang. Pemberian paracetamol untuk
menurunkan panas, berdasarkan konsensus IDAI mengenai penatalaksanaan
kejang demam, pemberian antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun
tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam, antipiretik pilihan adalah parasetamol dengan dosis 10-
15 mg/kgbb/kali diberikan 3-4 kali sehari.

Pengobatan profilaksis dengan antikonvulsan segera diberikan pada waktu


pasien demam ( suhu rectal >38oC). Pemberian antikonvulsan, yaitu pemakaian
diazepam oral dosis 0,3mg/hari pada saat demam menurunkan resiko berulangnya
kejang, begitu pula dengan diazepam rectal 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu
>38oC. Pada pasien ini diberikan Diazepam 3,9 mg (pulv) 3x1. Pada pasien ini
juga di berikan antibiotic Injeksi Ceftriaxone dosis 30-50 mg/kgbb/hari 1x sehari
dikarenakan dicurigai infeksi pada tubuh pasien yang merupakan penyebab dari
demam. Focus infeksi yang dicurigai berasal dari infeksi saluran pernapasan atas
berdasarkan hasil anamnesis keluhan berawal dari batuk dan pilek sejak 2 minggu
SMRS yang kemudian diikuti demam 7 jam SMRS, pada pemeriksaan fisik
ditemukan hiperemis pada tonsil dan ronki basah kasar pada auskultasi paru,
kemudian dikonfirmasi dengan hasil laboratorium darah rutin dan didapatkan
leukositosis (20,88 103/mm3)

29
BAB V

KESIMPULAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal lebih dari 38oC) akibat suatu proses ekstrakranial. Kejang
demam merupakan jenis kejang yang sering terjadi, terbagi atas kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks.

Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang lama kejangnya


kurang dari 15 menit, general dan tidak berulang pada satu episode demam.
Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit
baik bersifat fokal atau general. Umumnya kejang demam pada anak berlangsung
pada permulaan demam akut, berupa serangan kejang klonik umum atau tonik
klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi post iktal.

1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau fungsi
vital tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat pilihan
utama, oleh karena mempunyai masa kerja yang singkat.

2. Pengobatan profilaksis.

a. Intermittent : anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam


(suhu rektal lebih dari 38,5oC) dengan menggunakan diazepam oral /
rektal.

b. Rumatan selama 1 tahun dengan memberikan fenobarbital atau asam


valproat tiap hari untuk mencegah berulangnya kejang demam. Pemberian
obat-obatan untuk penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus
dipertimbangkan antara khasiat tarapeutik obat dan efek sampingnya

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Widyasari J. Kejang. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Muhammadiyah; 2010.
2. Arief RF. Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: RS Cempaka Putih,
CDK-232. 42-9. 2015
3. Unit Kerja Koordinasi Neurologi dan IDAI. Rekomendasi
Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: IDAI, 2016
4. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit, WHO, IDAI, dan
Bakti Husada; 2008.
5. Vestergaard M, Pedersen MG, Ostergaard JR, Pedersen CB, Olsen J,
Christensen J. Death in children with febrile seizures: a population-based
cohort study. Lancet.2008;372(9637):457-63.
6. Panduan Praktik Klinik. Divisi Infeksi. Palembang; Departemen
Kesehatan Anak RSUP Dr.Mohammad Hosein, 2016
7. Unit Kerja Koordinasi Neurologi dan IDAI. Rekomendasi
Penatalaksanaan Status Epileptikus. Jakarta: IDAI, 2016

31

Anda mungkin juga menyukai