Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT DALAM


HIPERTENSI DENGAN ATRIAL FIBRILLATION

Disusun oleh:

Stella Pangestika
01073190132

Pembimbing:
dr. Michael Tanaka, Sp.JP, FIHA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


SILOAM HOSPITALS LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE NOVEMBER– JANUARI 2020
TANGERANG

DAFTAR ISI
BAB i
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Bapak A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 45 tahun
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal Masuk RS : 19 November 2020
Pekerjaan : Karyawan swasta
1.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 2 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari smrs. Pasien mengeluhkan sesak
hilang-timbul, lebih dirasakan saat beraktifitas dan pada malam hari. Keluhan dirasakan
membaik saat beristirahat. Pasien juga mengeluhkan adanya rasa berdebar-debar yang
hilang timbul selama 2 hari terakhir. Pasien sempat mengeluhkan badan terasa lemas
seperti mau pingsan saat datang ke RS, mual-muntah disangkal, pasien menyangkal
sempat tidak sadarkan diri. Keluhan nyeri dada seperti ditekan beban berat disertai
keringat dingin disangkal oleh pasien. Pasien menyangkal memiliki keluhan serupa
sebelumnya. Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi sejak 1 tahun yang lalu dan
jarang meminum obat secara rutin. Pasien belum meminum obat apapun selama 2 hari
terakhir.

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien menyangkal mengalami keluhan serupa


sebelumnya.

Riwayat Operasi : Pasien tidak memiliki riwayat operasi

Riwayat Pengobatan : Pasien pernah mengkonsumsi obat hipertensi yaitu


amlodipine namun tidak diminum secara rutin.

Riwayat Kebiasaan : Pasien merokok sebanyak 24 batang sehari sejak 20


tahun lalu. Pasien mengatakan tidak pernah
mengonsumsi alkohol.

Riwayat Sosial ekonomi : Pasien berstatus ekonomi menengah, tinggal di


perumahan daerah Tangerang, lingkungan tempat tinggal
bersih, ventilasi baik, tinggal bersama istri dan kedua anak.

Riwayat Penyakit Keluarga : Ayah pasien mempunyai riwayat tekanan darah tinggi dan
penyakit jantung

Riwayat Alergi : Pasien tidak memiliki alergi obat, makanan dan debu.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E4 M6 V5

Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 160/120 mmHg
Laju nafas : 24x/menit
Nadi : 118x/menit
Suhu : 36.50C
Status Gizi
Berat badan : 80 kg
Tinggi badan :170 cm
BMI : 27,6

Status Generalis

Kulit  Pigmentasi kulit seragam (sawo matang)


keseluruhan  Tidak ada sianosis/kebiruan
 Tidak ada ikteris/jaundice/kekuningan
 Tidak ada kemerahan
 Tidak terdapat edema periorbital
 Elastisitas dan turgor normal
Kepala dan Rambut  Rambut tersebar secara merata
wajah  Rambut berwarna hitam, kuat, tidak
mudah rontok
Kulit kepala  Tidak ada ruam
 Tidak terdapat bekas luka
 Tidak ada masa
 Tidak ada deformitas
 Tidak ada sianosis/kebiruan
 Tidak ada
ikteris/jaundice/kekuningan
 Tidak ada kemerahan
Fungsi  Pergerakan kepala normal
 Tidak ada keterbatasan gerak (range
of motion)
Mata  Pupil isokor 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
 Konjungtiva anemis (-/-)
 Sklera ikterik (-/-)
 Tidak ada ptosis (drooping eyelids)
 Tidak ada bekas luka
 Jarak antar mata simetris
Mulut  Bibir normal, simetris, kemerahan, lembab, tidak ada
sianosis/kebiruan
 Mukosa mulut normal, lembab, tidak ada ulkus/luka,
tidak ada nodul/masa
 Lidah normal, merah muda, bersih, gerakan normal,
indra perasa normal, tidak ada deviasi maupun atrofi
 Palatum normal, celah langit-langit tidak terlihat.
 Faring hiperemis (-)
 Uvula intak di tengah
 Tonsil T1/T1
Leher  KGB tidak membersar
 JVP 5+2
 Kaku kuduk (-)
 Tidak ada pembesaran tiroid
 Reflux hepatojugular (+)
Thorax
Jantung Inspeksi  Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi  Iktus kordis teraba di ICS V linea
anterior aksila sinistra
Perkusi  Tidak ditemukan adanya perbesaran
ukuran jantung
Auskultasi  Suara jantung normal:
- S1S2 reguler
- Murmur (-), Gallop (-)
Paru-paru Inspeksi  Tidak terdapat abnormalitas
pigmentasi kulit
 Kembang paru simetris
 Tidak ada barrel chest
 Tidak ada pectus excavatum
maupun pectus carinatum
 Tidak ada masa
 Tidak ada lesi
 Tidak ada ruam
 Tidak ada bekas luka
 Tidak ada retraksi intercostal
 Tidak ada retraksi supraclavicular
Palpasi  Tidak terdapat nyeri tekan ataupun
massa pada dinding dada pasien
 Taktil vremitus simetris
 Pengembangan dada simetris
Perkusi  Perkusi paru kanan dan kirim
normal, sonor
 Batas paru hepar normal (ICS 6
linea midklavikula kanan)
Auskultasi  Vesikuler kapada kedua lapang
paru
 wheezing (-/-) ronki (-/-)
Abdomen Inspeksi  Tidak terdapat abnormalitas
pigmentasi kulit
 Tidak ada distensi abdomen
 Tidak ada ruam
 Tidak ada bekas luka
 Tidak ada striae
 Tidak ada caput medusa
 Tidak ada spider naevi
 Tidak ada masa
Auskultasi  Bising usus normal terdengar
 Tidak ada bruit aorta abdominalis
maupun bruit arteri renalis
 Tidak ada clicking sound maupun
metallic sound
Perkusi  Perkusi normal, timpani di seluruh
bagian abdomen
Palpasi  Palpasi normal
 Tidak terdapat nyeri tekan
 Tidak ada hepatomegali
 Tidak ada splenomegali
 Ballotement test (-/-)
 Pemeriksaan nyeri ketok CVA
negatif pada kedua sisi (-/-)
Ekstremitas atas Look  Tidak terdapat abnormalitas
dan bawah pigmentasi kulit
 Ekstremitas simetris secara
orientasi anatomis dalam posisi
istirahat
 Jari-jari tidak ada tanda deformitas
 Tidak ada pucat
 Tidak sianosis/kebiruan
 Tidak ikteris/jaundice/kekuningan
 Kuku normal, tidak ada clubbing
finger
Feel  Ekstremitas hangat
 Pitting edema (-/-)
 Capillary Refill Time normal (<2
detik)
 Tidak terdapat krepitasi ataupun
nyeri tekan
1.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan Hasil Rentang Normal

Hb 15 13.20-17.30 g/dL

Ht 50 40.00-52.00 %

WBC 9.000 5.000 – 11.000 / µL

Ureum 20 <50.00 U/L

Creatinine 1.1 0.5-1.3 mg/dL

GDS 150 < 180 mg%

CK 90 5-100 U/L

CKMB 10 <24 U/L

Troponin 0 0 – 0.1 ng/ml

Choleterol Total 100 < 200 mg/dL

LDL 200 < 130 mg/dL

HDL 38 > 45 mg/dL

Trigelycerides 120 < 150 mg/dL

Na 137 135 – 145 mmol/L

K 4.0 3.5 – 5.5 mmol/L

Cl 100 96 – 112 mmol/L

Pemeriksaan penunjang:
EKG

Interpretasi :

Rate 110x/menit, normoaxis

Gel P tampak fibrillatory waves

PR interval tidak dapat dinilai

QRS sempit <0.12s

R-R irregular

ST deviation tidak ada

T inverted tidak ada

Saran pemeriksaan penunjang lainnya :

Chest-Xray, Echocardiogram, stress test

Diagnosis Kerja Sementara :

- Atrial Fibrilasi
- Hipertensi grade II

Diagnosis banding : Atrial Flutter, Atrial tachycardia

Terapi :
- Rawat Inap
- O2 3-4lpm via nasal canule
- Verapamil 2x40 mg
- Bisoprolol 1x2.5mg
- Dabigatran 2x150mg

Edukasi :

- Minum obat secara teratur


- Berhenti merokok
- Mengurangi tingkat stress
- Mengurangi aktifitas berat
- Rutin kontrol ke dokter

Prognosis :

- Quo ad vitam : dubia ad bonam


- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi
Berdasarkan jurnal ESC hipertensi didefinisikan nilai SBP (Systolic blood pressure) > 140
mmHg dan DBP (Diastolic blood pressure) > 90 mmHg.3

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah dan definisi derajat hipertensi.

2.2 Faktor risiko


Tabel 2. Faktor risiko kardiovaskular pada pasien dengan hipertensi 3

2.3 Prevalensi hipertensi

Prevalensi global di estimasikan 1.13 milyar pada tahun 2015,. Prevalensi keseluruhan pada
orang dewasa 30-45% dengan rata-rata usia 30-45%. Hipertensi sering dijumpai seiring
meningkatnya umur, dengan prevalensi >60% pada orang usia >60 tahun. 3

Meningkatnya prevalensi hipertensi telah ditunjukkan di negara berpenghasilan tinggi menengah


dan rendah. Pada survey yang dilakukan Asia Tenggara, prevalensi hipertensi di Malaysia 43,5%
(> 30 tahun pada tahun 2011) di Myanmar 301% (usia 15-64 tahun pada tahun 2009) di Sri
Lanka 23,7% (> 18 tahun pada 2005-2006) di Vietnam 25,1% (>25 tahun pada tahun 2002-
2008), 4

2.4 Etiologi

Mayoritas pasien dengan tekanan darah tinggi, penyebabnya tidak diketahui. Hal ini di
klasifikasikan sebagai primary atau essential hypertension. Hipertensi primer tidak dapat di
sembuhkan, namun dapat di control melalui terapi yang tepat(meliputi modifikasi gaya hidup,
dan obat). Hipertensi sekunder disebabkan karena adanya kondisi medis atau obat-obatan.
Penyebab utama hipertensi sekunder adalah chronic kidney disease atau renovascular disease.
Tabel 4. Penyebab hipertensi sekunder 10

2.5 Patofisiologi

Bagan 3. Patogenesis terjadinya essential hipertensi 7


Cardiac output dan peripheral resistance:
peningkatan curah jantung akibat disfungsi simpatis adalah pemicu untuk pengembangan HTN
dan peningkatan PVR pada dasarnya adalah respons fisiologis terhadap mengakomodasi
perubahan tekanan dan mempertahankan homeostasis.

Sistem saraf simpatis: aktivitas sistem saraf simpatis yang berlebihan meningkatkan hormon
norepinefrin. Pada pasien dengan HTN mengkonfirmasikan bahwa aktivitas simpatis yang
berlebihan merupakan komponen inti dalam patofisiologi penyakit ini. Sistem saraf simpatis
ginjal adalah pemain utama dalam pengembangan dan pemeliharaan HTN yang mempengaruhi
tekanan darah melalui dua jalur, yaitu jalur eferen dan aferen. Jalur eferen membawa sinyal dari
SNS ke ginjal dan meningkatkan pelepasan renin sehingga mengaktifkan sistem RAAS dan
meningkatkan retensi natrium dan air, semuanya menghasilkan peningkatan volume sirkulasi dan
karenanya meningkatkan tekanan darah. Selain proses yang disebutkan di atas, jalur eferen juga
menurunkan aliran darah ginjal dan untuk meningkatkan perfusi ginjal memicu jalur aferen yang
membawa impuls ke SNS yang memperburuk aktivitas simpatis dan dengan demikian
mempertahankan tekanan darah tinggi.

Sistem RAAS:
Sistem RAAS memainkan peran utama dalam mengatur pemeliharaan tekanan darah normal dan
diaktifkan oleh mekanisme ganda, stimulasi SNS dan glomerulus di bawah perfusi. Rangsangan
ini memicu pelepasan renin dari aparatus juxtaglomerular yang mengubah angiotensinogen
menjadi inaktifangiotensin I, yang terakhir selanjutnya dibelah oleh enzim pengubah endotelium
boundangiotensin (ACE) menjadi angiotensin II, komponen aktif dari kaskade ini dan
vasokonstriktor yang kuat.

Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II ini awalnya diyakini terjadi terutama di paru-paru,
sejak itu telah ditetapkan bahwa proses tersebut terjadi secara praktis di semua jaringan. Dalam
menanggapi penurunan asupan garam, RAAS juga memicu pelepasan aldosteron dari kelenjar
adrenal yang meningkatkan reabsorpsi garam ditambah dengan retensi air yang mengakibatkan
peningkatan lebih lanjut dari tekanan darah [22-28]. Dalam keadaan ini, pasien dengan HTN
akan selalu memiliki tingkat sirkulasi yang tinggi. renin dan angiotensin II.

Disfungsi endotel:

Mekanisme utama yang mendasari disfungsi endotel yang terlihat pada HTN adalah penurunan
ketersediaan oksida nitrat (NO), akibat peningkatan stres oksidatif pada pasien ini. Untuk hal ini,
meskipun terapi antihipertensi yang efektif memulihkan produksi oksidator nitrat yang
terganggu, vasorelaksasi yang bergantung pada endotel terus berubah sehingga menunjukkan
jalur yang tidak dapat diubah setelah HTN ditetapkan. Ini bukti serta penelitian yang
menunjukkan bahwa penghambatan sintase oksida nitrat turunan endotel (eNOS) menghasilkan
hipertensi pada manusia, menyindir disfungsi endotel sebagai faktor etiologi potensial dalam
inisiasi HTN. Selain NO faktor vasorelaxing lain seperti metabolit asam arakidonat, spesies
oksigen reaktif (ROS), peptida vasoaktif dan mikropartikel yang berasal dari endotel memainkan
peran penting dalam pemeliharaan tonus vaskular.

Faktor-faktor ini berkontribusi pada stres oksidatif vaskular yang berlebihan dan peradangan
vaskular yang mengakibatkan disfungsi endotel. Dalam beberapa tahun terakhir sel progenitor
endotel (EPC) yang berkembang untuk membentuk sel endotel yang matang telah terlibat dalam
pemeliharaan kekakuan arteri dan dengan demikian sekarang dianggap sebagai penentu fungsi
endotel Jadi disfungsi endotel adalah multifaktor dan segudang perubahan dalam lingkungan
vaskular menyebabkan perubahan struktural dan fungsional di dalam arteri dan jalur kunci target
terapi yang terlibat dalam proses tersebut telah menunjukkan penurunan remodeling vaskular,
meningkatkan fungsi vaskular dan karena itu mengurangi risiko kardiovaskular secara
keseluruhan.

Vasoactive substance:
Endotelin, vasokonstriktor poten adalah salah satu zat utama yang berperan dalam menjaga tonus
vaskular. Dia disekresikan oleh sel endotel dan memberikan pengaruhnya secara aparacrine atau
autokrin pada sel otot polos pembuluh darah dan melawan aktivitas relaksasi NO. endothelin-1
(ET-1) menghasilkan peningkatan tekanan darah
Namun, kadar ET-1 plasma normal pada pasien dengan hipertensi esensial [50] menunjukkan
bahwa aktivitas ini sistem mungkin tidak memainkan peran dalam semua jenis HTN tetapi lebih
pada keadaan penyakit tertentu seperti HTN sensitif-assalt dan HTN ginjal.
Bradikinin peptida vasodilatasi dengan autokrin dan fungsi parakrin telah lama memiliki
hubungan tidak langsung dengan HTN karena selain dari pengaruh vasodilatasi langsungnya,
bradikinin merangsang pelepasan zat vasoaktif lain seperti prostaglandin. Peptida dari sistem
thekin-kallikrein ini terbukti mengurangi tekanan darah melalui vaskular serta meningkatkan
natriuresis dan diuresis, keduanya dicapai melalui peningkatan aliran darah ginjal yang dimediasi
oleh NO dan prostaglandinrelease [51-53]. Meskipun sangat terabaikan karena efek samping dari
batuk dan angioedema, efek hipotensi dari ACE inhibitor disebabkan oleh peningkatan kadar
bradikinin karena degradasinya yang berkurang [54,55] oleh karena itu terapi yang ditargetkan
langsung pada sistem bradikinin kemungkinan besar dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Peptida natriuretik atrium (ANP) termasuk dalam keluarga hormon peptida yang terkait secara
struktural dan fungsional dengan fungsi kardiovaskular. ANP memediasi fungsinya melalui
reseptor terkait guanylatecyclase linked membran (NPR-A), yang selanjutnya mengaktifkan
proses yang dimediasi cGMP intraseluler. Dikeluarkan dari atrium sebagai respons terhadap
distensi atrium yang berasal dari kelebihan hemodinamik, ANP menyebabkan natriuresis dan
diuresis yang mengakibatkan penurunan tekanan darah dengan penurunan bersamaan dalam
renin dan aldosteron plasma. Dengan demikian, sistem peptida natriuretik dengan mengurangi
resistensi vaskular perifer menyeimbangkan aktivitas sistem SNS dan theRAAS dalam menjaga
tekanan darah.

2.6 Diagnosis

a. Evaluasi Klinis

Evaluasi klinis digunakan untuk menegakkan diagnosis dan grade hipertensi.


Mengidentifikasi faktor yang berperan dalam hipertensi (gaya hidup, obat-obatan,
Riwayat keluarga), Perlu ditanyakan apakah ada riwayat hipertensi, CVD stroke,
penyakit ginjal dalam keluarga, hiperkolestrolemia, riwayat merokok, riwayat nutrisi dan
konsumsi garam, kebiasaan minum alcohol,

b. Pemeriksaan fisik

Body habitus: tinggi badan dan berat badan diukur dengan BMI

Lingkar pinggang

Tanda HMOD: pemeriksaan neurologis dan status kognitif

pemeriksaan funduskopi untuk hypertensive retinopathy

palpasi dan auskultasi jantung dan arteri carotid

palpasi arteri perifer

Hipertensi sekunder: inspeksi kulitL ada café-au lait sebagai tanda


neurofibromatosis(pheochromocytoma)

Palpasi ginjal untuk pembesaran ginjal pada polycystic kidney disease


Auskultasi arteri jantung dan ginjal untuk murmur atau bruit

Tanda Cushing disease atau akromegali

Hipertiroid 3

c. Evaluasi tes laboratorium

Hemoglobin atau hematokrit

Gula darah puasa dan HBA1c

Total kolestrol

Creatinine dan eGFR

Fungsi liver test

Urinanalisis:

d. Penilaian hipertensi mediated organ damage

Screening test untuk HMOD Indikasi dan interpretasi


12 lead EKG Screening LVH dan abnormalitas jantung, heart rate
dan cardiac rhytm
Urin albumin creatinine test Indikasi penyakit ginjal
Kreatinin dan eGFR Deteksi penyakit ginjal
Funduscopy Deteksi hypertensive retinopati,
More detailed screening HMOD
Echocardiografi Evaluasi struktur dan fungsi jntung
Carotid ultrasound Adanya plak pada carotid atau stenosis,
Abdominal ultrasound atau Doppler Evaluasi ukuran ginjal untuk penyebab CKD dan
hipertensi

Evaluasi abdominal aorta untuk aneurysmal dilatasi


dan vascular

Memeriksa kelenjar adrenal untuk


adenoma/pheocromocytoma
PWV(Pulse wave velocity) Index aortic stiffness untuk arteriosclerosis
ABI(Ankle brachial index) Screening lower extremity artery disease
Brain imaging Evaluasi adanya iskemik atau hemmorhagic brain
injury

Tabel 5. Evaluasi screening berkaitan organ lain. 3

Bagan 1. Algoritma diagnosis 1

2.7 Tatalaksana

Non Farmakologis
Pengobatan awal semua pasien harus mencakup modifikasi gaya hidup yang dirancang untuk
menurunkan tekanan darah. Modifikasi gaya hidup berbasis bukti termasuk moderasi dalam
asupan alkohol, olahraga teratur, penurunan berat badan pada pasien kelebihan berat badan atau
pasien obesitas, penurunan asupan natrium, dan peningkatan asupan makanan kaya kalium. Diet
Pendekatan untuk Menghentikan Hipertensi (DASH) diet membatasi natrium, memasukkan
makanan tinggi kalium, dan dapat memfasilitasi penurunan berat badan. Kepatuhan pada pola
diet gaya DASH telah dikaitkan dengan penurunan SBP sekitar 11 mm Hg; efek ini diperkuat
bila dikombinasikan dengan pengurangan natrium yang lebih ketat dan / atau penurunan berat
badan.

Studi menunjukkan bahwa latihan aerobik dan ketahanan secara teratur mungkin bermanfaat
untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi.56–58 Latihan aerobik intensitas sedang (berjalan,
jogging, bersepeda, yoga, atau berenang) selama 30 menit selama 5-7 hari per minggu atau HIIT
(pelatihan interval intensitas tinggi) yang melibatkan semburan singkat aktivitas intens secara
bergantian dengan periode pemulihan berikutnya dari aktivitas yang lebih ringan. Latihan
kekuatan juga dapat membantu menurunkan tekanan darah. Performa latihan ketahanan /
kekuatan selama 2-3 hari per minggu. 9

Farmakologis

Dasar-dasar terapi farmakologis awal hipertensi tidak berubah secara signifikan dengan pedoman
ACC / AHA 2017. Pilihan yang direkomendasikan untuk terapi awal masih termasuk
penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEI) atau penghambat reseptor angiotensin II
(ARB), Calcium channel blocker (CCB), diuretik tipe thiazide, mengingat bahwa kelas-kelas ini
mengurangi risiko kardiovaskular. 9

ACEI dan ARB

Dua kelas farmakologis utama yang menargetkan sistem renin-angiotensin (RAS) adalah ACEI
dan ARB. Perawatan dengan salah satu agen ini adalah bagian penting dari terapi medis yang
diarahkan pada pedoman untuk pasien dengan gagal jantung atau proteinuria nyata (lebih dari
300 mg albumin / 24 jam atau yang setara). Pasien dengan aktivasi RAS yang lebih besar secara
teoritis memiliki respons yang lebih kuat untuk blokade RAS, dan terapi awal dengan ACEI atau
ARB adalah logis pada pasien ini. Peningkatan aktivasi RAS lebih sering terjadi pada pasien
yang membatasi asupan garam, serta pasien yang lebih muda, berkulit putih, dan / atau mereka
dengan konsentrasi renin yang terukur lebih tinggi. Konsisten dengan teori ini, bukti
menunjukkan bahwa pasien Afrika-Amerika memiliki respons tekanan darah yang berkurang
terhadap blokade RAS sebagai monoterapi. 9

Pasien yang mengalami batuk dengan ACEI dapat dengan aman diubah ke ARB.
Mereka yang mengalami angioedema yang diinduksi ACEI harus menghentikan ACEI
setidaknya selama 6 minggu. Baik ACEI dan ARB menurunkan aktivitas angioten-sin II.
Konsekuensi klinis penting dari ini termasuk pelebaran arteri dan vena, peningkatan konsentrasi
kalium, dan penurunan tekanan filtrasi glomerulus. Beberapa dari efek ini sangat bermanfaat jika
ACEI dan ARB digunakan dalam kombinasi dengan obat lini pertama lainnya. Pelebaran vena
terjadi pada kedua kelas tetapi tampak lebih jelas pada ACEI. Efek farmakodinamik ini dapat
membantu mengimbangi edema yang diinduksi CCB. Peningkatan kalium dapat membantu
mengimbangi kehilangan kalium saat agen ini digunakan dalam kombinasi dengan tiazid.
Penurunan tekanan filtrasi glomerulus bertanggung jawab atas peningkatan fisiologis kecil,
diharapkan, dan sering sementara dalam kreatinin serum yang mengikuti inisiasi salah satu kelas
ini, serta efek renoprotektifnya pada pasien dengan proteinuria. Baik ACEI maupun ARB
bersifat fetotoksik dan harus dihindari pada wanita hamil; wanita usia subur harus diberi
konseling tentang kontrasepsi yang efektif sebelum memulai terapi ACEI atau ARB. 9

Calcium Channel Blocker


Dua subkelompok utama CCB adalah tipe dihydropyridine (DHP) dan tipe non-dihydropyridine
(non-DHP). Kedua subkelompok aman dan dapat ditoleransi dengan baik pada sebagian besar
pasien, termasuk mereka yang menderita penyakit ginjal kronis dan, tidak seperti banyak kelas
obat antihipertensi lainnya, memiliki risiko kelainan elektrolit yang rendah. Subkelompok ini
membantu mengobati kondisi vaso-spastik seperti penyakit Raynaud dan angina Prinzmetal.
Dengan mengurangi kebutuhan oksigen miokard, CCB juga dapat memperbaiki gejala angina
stabil kronis. 9
DHP CCB tidak memiliki efek langsung pada detak jantung, meskipun takikardia refleks tidak
langsung kadang-kadang terjadi. CCB non-DHP adalah vasodilator yang kurang manjur
dibandingkan DHP. Efek hipotensi dari CCB non-DHP terjadi dengan menggabungkan
vasodilatasi dengan penurunan curah jantung melalui efek negatif inotropic dan chronotropic.
Non-DHP dapat mempertahankan kontrol laju pada fibrilasi atrium; namun, efek ino-tropik
negatifnya berbahaya pada pasien dengan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang berkurang.
Non-DHP juga harus dihindari pada pasien dengan bradikardia.

Thiazide
Thiazid telah dikenal sebagai kelas antihipertensi lini pertama. Tiga tiazid yang paling umum
digunakan untuk hipertensi dalam praktik klinis adalah hidroklorotiazid, klorthalidone, dan
indapamide. Dari ketiganya, hydrochlorothiazide adalah yang paling banyak diresepkan.
Hydrochlorothiazide juga paling tidak efektif untuk menurunkan tekanan darah dan memiliki
durasi kerja terpendek, dengan manfaat antihipertensi umumnya bertahan kurang dari 24 jam. 9

β-Blocker
β-Blocker telah terbukti lebih rendah dari agen lini pertama lainnya pada pasien dengan
hipertensi tanpa komplikasi. Bagaimanapun, data ini sebagian besar didasarkan pada uji coba
yang menggunakan atenolol. Bukti hasil tidak cukup dengan penyekat β yang lebih kontemporer
(misalnya, carvedilol atau nebivolol) untuk menentukan apakah inferioritas adalah efek kelas
atau terbatas pada atenolol. Meskipun demikian, tidak ada β-blocker yang sesuai untuk terapi
hipertensi awal kecuali jika indikasi lain memerlukan penggunaan β-blocker, seperti gagal
jantung, kontrol detak, MI, atau profilaksis migrain. 9

Kombinasi dan terapi tambahan

Pasien yang tidak mentolerir obat dari satu kelas lini pertama harus menghentikannya
dan memulai obat dari kelas lini pertama yang berbeda. Jika dosis awal obat pertama tidak cukup
mengurangi tekanan darah, dosis dapat ditingkatkan, atau rejimen yang mengandung kombinasi
dua atau lebih kelas obat awal yang direkomendasikan dapat ditulis sebelumnya. Kebanyakan
pasien hipertensi akan membutuhkan dua atau lebih obat untuk mencapai tekanan darah mereka.
Garis panduan merekomendasikan memulai pengobatan dengan dua atau lebih kelas obat pada
pasien dengan hipertensi stadium 2. Namun, pada pasien dengan riwayat intoleransi obat atau
risiko tinggi efek samping, menetapkan toleransi dengan satu obat sebelum menambahkan obat
kedua dapat membantu menghindari penghapusan kedua golongan sebagai pilihan terapeutik.
Pada pasien yang sudah mentolerir dua obat, atau pada mereka yang memprihatinkan kepatuhan,
regimen kombinasi dosis tetap nyaman untuk mengurangi beban pil, meskipun dosis optimal
atau pemilihan obat mungkin tidak tersedia. 9

Secara umum, dua obat dalam kelas yang sama tidak boleh digabungkan. Kombinasi ACEI dan
ARB, atau salah satu dari agen ini yang dikombinasikan dengan penghambat renin langsung,
meningkatkan risiko hiperkalemia dan gangguan ginjal tanpa memperbaiki hasil CV atau ginjal. 9

Pengobatan lini keempat

Pasien harus dimulai dengan penghambat RAS, CCB, dan / atau diuretik (biasanya tiazid), 2-
13% pasien memiliki hipertensi yang benar-benar resisten meskipun kombinasi ini (Benjamin
2018); persentasenya akan lebih tinggi dengan target tekanan darah rendah. Beberapa pasien
mungkin juga memiliki intoleransi atau kontraindikasi yang membatasi dosis atau menghalangi
penggunaan satu atau lebih kelas sama sekali. Akibatnya, untuk beberapa orang, pengobatan
keempat diperlukan untuk mencapai kontrol tekanan darah. 9
Dua percobaan baru-baru ini telah diterbitkan untuk memandu dokter dalam memilih agen lini
keempat. Keduanya menyarankan spironolakton adalah terapi tambahan yang efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik untuk pasien yang dipilih dengan tepat. 9

Studi PATHWAY 2 membandingkan spironolakton dengan plasebo, bisoprolol, atau


doxazosin sebagai terapi tambahan untuk pasien dengan hipertensi yang resistan terhadap obat.
Spironolakton mengurangi SBP 10,2 mm Hg dibandingkan dengan plasebo; SBP 5-6 mm Hg
lebih rendah pada kelompok spironolakton dibandingkan pada kelompok doxazosin dan
bisoprolol. 9
Tabel 5. Pengobatan lini
keempat 9
Tabel 6. Pertimbangan tatalaksana farmakologi2

2.8 Atrial Fibrillation

Definisi
Atrial fibrillasi adalah tachyarrhythmia supraventrikular dengan aktivasi listrik
atrial yang tidak terkoordinasi dan akibatnya kontraksi atrial yang tidak efektif.
Karakteristik elektrokardiografi AF meliputi:
-Interval R-R yang tidak teratur (ketika konduksi atrioventricular tidak terganggu)
Tidak adanya gelombang P berulang yang berbeda
-Aktivasi atrial tidak teratur. 5

Faktor risiko

BMI yang tinggi


BMI yang lebih besar adalah faktor risiko yang mapan untuk AF di antara wanita
dan pria. Obesitas telah terbukti meningkatkan risiko mengembangkan AF sebesar 49%
dibandingkan dengan individu non-obesitas. BMI dikaitkan dengan risiko kelebihan 11%
dan 14% lebih besar untuk AF di antara pria dibandingkan dengan wanita di Konsorsium
BiomarCaRE besar dan dalam analisis terbaru dari calon Kohort Perpanjangan Kesehatan
Jantung Skotlandia, masing-masing. Di antara wanita dan pria dari Framingham Heart
Study (FHS), Busselton Health Study. dan Malmö Diet and Cancer Study BMI atau
obesitas yang lebih besar juga merupakan faktor risiko yang lebih kuat untuk AF pada
pria daripada pada wanita, meskipun secara statistik tidak signifikan. 6

Hipertensi
Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko yang dapat dimodifikasi paling penting
untuk AF. Karena prevalensinya yang besar pada populasi, hipertensi menyumbang lebih
banyak kasus AF daripada faktor risiko lainnya. Dalam studi Atherosclerosis Risk in
Communities (ARIC), hipertensi saja menjelaskan sekitar 22% beban AF. Dalam
Konsorsium BiomarCaRE, peningkatan tekanan darah >140 mmHg menjelaskan 13,7%
dan 14,2% beban AF pada pria dan wanita, masing-masing. Hipertensi ada pada 60–80%
pasien dengan AF mapan. Kekuatan hubungan antara tekanan darah systolic dan AF
mirip di antara wanita dan pria. Namun, hipertensi lebih lazim di kalangan wanita dengan
AF dibandingkan dengan pria dengan AF.6

Merokok
Merokok adalah salah satu faktor risiko utama untuk pengembangan AF. Merokok
dikaitkan dengan AF dengan cara respons dosis dengan peningkatan risiko per tahun-
rokok. Merokok dikaitkan dengan AF dengan cara dosis-respons dengan peningkatan
risiko per tahun rokok.6

Lipid profile
Dalam kelompok besar 28.449 subjek Jepang yang menjalani pemeriksaan
kesehatan tahunan, kadar kolesterol HDL rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko
mengembangkan AF, sementara kadar LDL tinggi dan kolesterol total dikaitkan dengan
peningkatan risiko AF.6
Penyakit Kardiovaskular

Gagal jantung

Dalam studi epidemiologi, kehadiran HF menyebabkan risiko AF 3,37 kali lipat


dalam Manitoba Follow Up study dan risiko AF 2,67 kali lipat dalam Studi Kesehatan
Kardiovaskular. Dalam FHS, HF dikaitkan dengan risiko AF 4,5 kali lipat pada pria dan
5,9 kali lipat pada wanita.6

Infark Miokard

MI secara keseluruhan dianggap memiliki hubungan yang lebih kuat dengan AF di


antara pria. Dalam FHS, MI meningkatkan risiko AF sebesar 40% di antara pria tetapi
bukan wanita (26). Dalam Konsorsium BiomarCARE baru-baru ini, sejarah MI
meningkatkan risiko AF sebesar 78% pada wanita dan sebesar 93% pada pria.6

Bagan 2.

2.9 Klasifikasi Atrial Fibrilation

AF Pattern Definisi
Diagnosis pertama kali AF tidak didiagnosis sebelumnya, terlepas dari
durasinya atau ada / beratnya sy terkait AF
Paroysmal AF yang berhenti secara spontan atau dengan intervensi
dalam 7 hari setelah onset.

Persistent AF yang terus-menerus bertahan lebih dari 7 hari,


termasuk episode yang dihentikan oleh kardioversi
(obat-obatan atau kardioversi listrik)
setelah>7 hari

Long standing persistent AF berkelanjutan selama> 12 bulan saat memutuskan


untuk mengadopsi strategi kontrol ritme.

Tabel 6. Istilah AF berdasarkan 5

2.10 Manifestasi Klinis

Mekanisme dari banyak gejala AF kurang dipahami karena pasien bisa juga
mengalami hal asimptomatik. Palpitasi, atau kesadaran akan iregularitas detak jantung,
terlihat jelas pada lebih dari separuh penderita AF. Dispnea pada AF sering dikaitkan
dengan peningkatan tekanan jantung kiri, tetapi penyelidikan hemodinamik obyektif telah
menunjukkan bahwa aritmia dapat dikaitkan dengan tekanan intrakardiak normal atau
bahkan rendah, yang melibatkan mekanisme lain. Rasa tidak nyaman di dada, nyeri dada
yang nyata sering terjadi selama episode AF tanpa adanya penyakit koroner atau penyakit
katup kritis. Aritmia juga sering terjadi pada beberapa kardiomiopati dengan defek
metabolik yang ditandai dengan baik, dan bersama-sama. Presinkop dan sinkop sering
dilaporkan dengan AF, namun dalam banyak penelitian onset aritmia tidak terkait dengan
perubahan hemodinamik utama.8

Mekanisme AF mewakili ritme "escape rhytm" setelah kejadian bradikardik


atau vasomotor primer tidak diketahui, tetapi data Holter mengungkapkan bukti
ketidakseimbangan simpatovagal sebelum timbulnya AF dalam subset substansial.8
Pada AF akut, aktivasi simpatis, baik saraf maupun humoral, sering terlihat dan
merupakan penentu utama dari respons ventrikel awal. Variasi dalam keseimbangan
simpatovagal atau peningkatan sistem saraf otonom mungkin tidak hanya menjadi
penyumbang utama untuk efek genesis dan hemodinamik AF, tetapi aferen otonom juga
dapat menjadi sumber sensasi disritmia yang berbeda. Ada banyak keluhan lain yang
telah dilaporkan dengan AF, termasuk kelelahan umum, kecemasan, dan depresi. 8

Tabel 7. Erha
symptom scale

3.1 Evaluasi Klinis

Mencakup riwayat medis lengkap, pola AF, risiko stroke gejala terkait AF,
thromboembolism, dan disfunction LV. EKG 12 lead. direkomendasikan pada semua
pasien AF, untuk menetapkan diagnosis AF, menilai tingkat ventrikel selama AF, dan
memeriksa keberadaan konduksi cacat, iskeemia, atau tanda-tanda penyakit jantung
struktural. Laboratorium tes (fungsi tiroid dan ginjal, elektrolit serum, FBC dan
echocardiografi transthoracic (ukuran dan fungsi LV, penyakit valvular, dan ukuran
jantung kanan dan fungsi sistolik)diperlukan untuk menentukan perawatan.
3.2 Management

Jalur holistik Atrial fibrilasi Better Care (ABC) sederhana

'A': Antikoagulasi / Hindari stroke

B' :Manajemen gejala yang lebih baik

'C' :Optimasi Kardiovaskular dan Komorbiditas

Anti koagulasi

Banyak faktor risiko stroke klinis (misalnya gangguan ginjal, OSA, LA dilatasi terkait
erat dengan CHA2DS2-VASc komponen, dan pertimbangannya tidak meningkatkan nilai
prediktifnya (hubungan merokok atau obesitas terhadap risiko stroke AF juga puas).366
Berbagai biomarker [misalnya troponin, peptida natriurtik, faktor diferensiasi
pertumbuhan (GDF)-15, von faktor Willebrand] telah menunjukkan peningkatan kinerja
berbasis biomarker melalui skor klinis dalam penilaian residu risiko stroke di antara
pasien AF antikoagulasi329.367; meskipun demikian, banyak dari biomarker ini (serta
beberapa faktor risiko klinis) prediktif stroke dan bleeding.
Faktor risiko pendarahan yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi
telahdigunakan untuk merumuskan berbagai skor risiko pendarahan, umumnya dengan
kemampuan prediktif sederhana untuk peristiwa pendarahan.

Terapi Pencegahan Stroke


Vitamin K antagonis
Terapi vitamin K antagonist (VKA) (kebanyakan warfarin) mengurangi risiko
stroke sebesar 64% dan kematian oleh 26%, dan masih digunakan pada banyak pasien AF
di seluruh dunia. Vitamin K antagonis adalah saat ini satu-satunya perawatan dengan
keselamatan yang ditetapkan pada pasien AF dengan penyakit katup mitral rematik dan /
atau katup jantung buatan.

NOAC(Novel Oral Anti Coagulant)


Fibrilasi- Trombolisis dalam Myocardial Infarction menunjukkan bahwa,
dibandingkan dengan warfarin, NOIC dosis standar lebih efektif dan lebih aman di asia
daripada di non-Asia. AVERROES [Apixaban Versus Asam Asetilsalisilat (ASA) untuk
Mencegah Stroke di Atrial. Pasien fibrilasi yang gagal atau tidak cocok untuk Vitamin K
Perlakuan Antagonis] terhadap pasien AF yang menolak atau dianggap tidak memenuhi
syarat untuk terapi VKA, apixaban 5 mg b.i.d. (dua kali sehari) secara signifikan
mengurangi risiko stroke / emboli sistemik tanpa perbedaan yang signifikan dalam
pendarahan besar atau ICH dibandingkan dengan aspirin.
B: Better symptom control

Kontrol tingkat farmakologis dapat dicapai dengan beta-blocker, digoxin,diltiazem, dan


verapamil atau terapi kombinasi. Beberapa obat antiariritmik (AAD) juga memiliki sifat
pembatasan tarif (misalnya amiodarone, dronedarone, sotalol) tetapi umumnya mereka
harus digunakan hanya untuk kontrol ritme. Pilihan obat kontrol tingkat tergantung pada
gejala, komorbiditas, dan potensi efek samping. Beta-blocker sering menjadi agen
pengendali laju baris pertama, sebagian besar berdasarkan kontrol tingkat akut yang lebih
baik. Menariknya, manfaat prognostik beta-blocker terlihat di HF dengan fraksi ejeksi
berkurang(HFrEF) pasien dengan ritme sinus telah dipertanyakan pada pasien dengan
AF.

Calcium channel blocker non-dihydropyridine (NDCC) verapamil dan diltiazem


memberikan kontrol tingkat yang wajar dan dapat meningkatkan gejala terkait AF486
dibandingkan dengan betablocker. Dalam satu uji coba kecil pasien dengan LVEF yang
diawetkan, NDCC kapasitas latihan yang terjaga dan natriurtik tipe B yang berkurang
peptida.
Digoxin dan digitoxin tidak efektif pada pasien dengan peningkatan simpatik.
Studi observasional telah mengaitkan penggunaan digoxin dengan kelebihan kematian
pada pasien AF. Temuan ini kemungkinan karena pemilihan dan bias resep daripada
bahaya yang disebabkan oleh digoxin, khususnya sebagai digoxin umumnya diresepkan
untuk
pasien yang lebih sakit.

Amiodarone dapat berguna sebagai upaya terakhir ketika denyut jantung tidak
dapat dikendalikan dengan terapi kombinasi pada pasien yang tidak memenuhi syarat
untuk kontrol tingkat non-farmakologis, yaitu node atrioventricular ablasi dan mondar-
mandir, terlepas dari efek samping extracardiac obat.

C: Faktor risiko Cardiovascular, deteksi dan management


- Modifikasi gaya hidup
Pengurangan berat badan yang intens dengan manajemen komprehensif
faktor risiko kardiovaskular bersamaan mengakibatkan lebih sedikit kekambuhan dan
gejala AF daripada saran umum pada pasien obesitas dengan
AF.

Kelebihan alkohol adalah faktor risiko insiden AF. tinggi


asupan dapat dikaitkan dengan trombo-emboli atau kematian. Dalam
RCT baru-baru ini, pantang alkohol mengurangi kekambuhan aritmia dalam
peminum reguler dengan AF.
BAB III. ANALISA KASUS

Pasien laki-laki datang dengan keluhan sesak nafas kurang lebih 2 hari SMRS. Sesak
yang dirasa hilang timbul, lebih dirasakan saat beraktifitas dan malam hari. Keluhan sesak tidak
dipengaruhi posisi. Keluhan dirasa membaik saat istirahat. Pasien mengeluhkan adanya rasa
berdebar-debar hilang timbul selama 2 hari terakhir. Pasien sempat mengeluhkan badan terasa
lemas seperti mau pingsan ke RS.

Sesak nafas oleh karena angina juga dapat disingkirkan karena pasien tidak mengeluhkan
nyeri dada, rasa ditimpa beban berat, Eksaserbasi gejala setelah makan berat atau setelah bangun
tidur di pagi hari disangkal. Pasien merasakan durasi rasa sesak tersebut cepat, tidak lebih dari 10
menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan RR meningkat, tensi darah meningkat, sehingga
dipikirkan angina dapat disingkirkan. Pada EKG tidak didapatkan tanda-tanda infark maupun
STEMI.

Gejala yang dirasakan pada pasien ini susah untuk disingkirkan dengan diagnosa atrial
flutter, dikarenakan penyebab dan gejala sangat mirip dengan Atrial fibrilasi. Pada atrial flutter
dapat menjadi paroxysmal atau persisten. Ketika atrial flutter berkaitan dengan meningkatnya
respon ventricular, dapat menghasilkan palpitasi, sesak nafas, nyeri dada, kelelahan atau pre-
sinkop. Jika pasien mengalami atrial flutter dan peningkatan laju ventrikel, stroke, takikardi akan
menyebabkan kardiomyopati. Syncope pada atrial flutter lebih jarang kecuali ada riwayat sakit
jantung. Perbedaan atrial fibrilasi dan atrial flutter hanya terlihat dari EKG dimana pada atrial
fibrilasi denyut nadi selalu tidak teratur maka disebut irregularly irregular dan pada gelombang P
didapatkan fibrillatory waves, sedangkan pada atrial flutter denyut nadi bisa jadi teratur bisa jadi
tidak, pada atrial flutter didapatkan gelombang P seperti gigi geraji.
Pada kasus ini anxiety dapat juga disingkirkan, karena pada atrial fibrillation serangan
dapat cepat dan intens dibandingkan panic attack. Serangan panic attack dimulai dengan dari
yang kecil, perlahan-lahan mencapai klimaks kemudian perlahan- lahan mereda. Serangan panik
dimulai di pikiran, sehingga datang dengan emosional yang kuat seperti ketakutan. Pada afib,
palpitasi dirasakan seperti berdebar-debar di dada atau merasakan sensasi jantung berdebar
kencang. Pada serangan panik, serangan yang dirasa jantung mulai berdetak lebih cepat, tetapi
ritme harus selalu stabil.

Pada atrial takikardia, gejala utama sangat mirip dengan yang lainnya yaitu palpitasi,
dispnea saat istirahat atau aktivitas, kelelahan, jarang terjadi sinkop. Tanda-tanda fisik juga
didapatkan takikardi teratur, tejanan darah yang bisa jadi lebih tinggi ataupun lebih rendah dari
nilai dasar, pucat atau kemerahan, gelombang denyut nadi yang cepat.Takikardia atrium fokal
agak jarang dan paling sering terlihat pada jantung normal dan usia yang didapatkan lebih muda.

Pada kasus ini tatalaksana yang diberikan adalah O2 3-4 lpm via nasal canule, Digoxin
1x1, Bisoprolol 1x2.5mg, Dabigatran 2x150mg. Tujuan diberikannya digoxin pada pasien ini
untuk menstimulasi aktivasi vagus, menyebabkan pelepasan Ach. Digoksin intravena digunakan
pada terapi atrium flutter dan atrium fibrilasi. Tujuan diberikannya beta blocker karena beta
blocker memiliki efek semacam anti adrenalin, memperlambat detak jantung, dan mengurangi
kontraksi, memperlambat konduksi di atrium dan AV node, memperpanjang periode refraktor
nodus AV. Tekanan darah turun saat jantung memompa lebih sedikit darah. Pemakaian
Dabigatran diberikan sebagai tindakan alternatif pemberian antikoagulan supaya tidak terjadinya
thrombus di atrium. Dabigatran memiliki onset yang cepat sehingga tidak memerlukan terapu
LMWH (Low molecular weight heparin).
DAFTAR PUSTAKA

1. Ann Sunarta A, Anna Lukito A, Soerarso Praktiko R. PEDOMAN


TATALAKSANAHIPERTENSI PADA PENYAKIT KARDIOVASKULAR. 1st ed.
2020.
2. Dasgupta K, Quinn R, Rabi D. The 2014 Canadian Hypertension Education
ProgramRecommendations for Blood Pressure Measurement,Diagnosis, Assessment
of Risk, Prevention, andTreatment of Hypertension. Canadian Journal of Cardiology.
2020;30:486-498.
3. ESH/ESC Guidelinesfor the management of arterial hypertension. (2018).European4
Heart Journal, 34(28), hlm.2159-2219
4. Karl P, Pengpid S. The Prevalence and Social Determinants of Hypertension among
Adults in Indonesia: A Cross-Sectional Population-Based National Survey.
nternational Journal of Hypertensio. 2020;Volume 2018,:9 pages.
5. Hindricks G, Potpara T, Dagres N, Arbelo E, J bark J. Corrigendum to: 2020 ESC
Guidelines for the diagnosis and management of atrial fibrillation developed in
collaboration with the European Association of Cardio-Thoracic Surgery (EACTS).
European Heart Journal. 2020;:1-125.
6. Kavousi M. Differences in Epidemiology and Risk Factors for Atrial Fibrillation
Between Women and Men. Frontiers in Cardiovascular Medicine. 2020;7.
7. Lilly Ls. Pathophysiology of heart disease. Baltimore: Lippincott Williams Wilkins;
2007. p. 190-196
8. MacRae C. Symptoms in Atrial Fibrillation. Circulation: Arrhythmia and
Electrophysiology. 2009;2(3):215-217.
9. Ripley T, Barbato A. Hypertension. PSAP2019Book1. 2019;2:7-22.
10. James, P.A. (2013). 2014 Evidence-Based Guideline fot the Management of High
Blood Pressure in Adults : Report From the Panel Members Appointed to the Eighth
Joint National Committee (JNC 8). American Medical Association : JAMA

Anda mungkin juga menyukai