Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN

Small Discussion Group

LBM 1

BLOK SISTEM HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI

Disusun Oleh :

Nama : Wahyu Kurniawan

NIM : 020.06.0085

Kelompok : 11B

Blok : Sistem Hematologi dan Imunologi

Topik : LBM 1 : Lemas


Tutor : dr. Sahrun Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-

AZHAR MATARAM

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan hasil Laporan Tutorial LBM 1 “Lemas” Semester 3 Blok Sistem
Hematologi dan Imunologi.
Dalam penyusunan Laporan Tutorial LBM 1 ini, saya menyadari
sepenuhnya masih terdapat kekurangan di dalam penyusunannya. Hal ini
disebabkan karena terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki,
kami menyadari bahwa tanpa adanya bimbingan dan petunjuk dari semua pihak
tidaklah mungkin hasil Laporan Tutorial LBM 1 ini dapat diselesaikan
sebagaimana mestinya.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. dr. Sahrun Sp. P. selaku fasilitator dalam SGD kelompok 11, atas segala
masukan, bimbingan dan kesabaran dalam menghadapi keterbatasan kami.
2. Seluruh anggota SGD kelompok 11 yang telah membantu dan
memberikan masukan dalam penyusunan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca yang sifatnya konstruktif demi kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
berbagai pihak.

Mataram, 11 November 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................4

A. Skenario............................................................................................................4
B. Deskripsi Masalah.............................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................6

BAB III PENUTUP.............................................................................................20

A. Kesimpulan................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................21

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Skenario

LBM 1

LEMAS

Seorang perempuan, Nn. A, berusia 19 tahun, datang ke IGD RS X dengan


keluhan lemas yang dirasakan memberat sejak seminggu yang lalu. Awalnya
keluhan ini dirasakan sejak 6 bulan yang lalu, dimulai setelah pasien bekerja
sebagai buruh. Pasien jarang memiliki waktu makan, pasien juga tidak suka
mengkonsumsi daging merah, dan sering meminum teh kemasan. Pasien
mengeluhkan mengalami kesulitan menelan, pusing berputar, jantung
berdebar, sesak napas, dan tampak pucat, Keluhan dirasakan setelah aktivitas
ringan maupun berat. Dokter kemudian melakukan pemeriksaan fisik dan
mengusulkan pemeriksaan tambahan.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan Tanda Vital Compos Mentis., TD


90/70, N 120x/m, RR 22 x/m, T 36,5. Konjungtiva anemis (+/+), fissure pada
sudut mulut, dan atrofi papila lidah, dan koilonykia. Pemeriksaan fisik yang
lain masih dalam batas normal. Dokter kemudian mengusulkan melakukan
pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan hasil Hb: 5,2 gr/dl, HCT:
30.7% Leukosit: 10.000/mm3, Trombosit: 275.000/uL. MCV 70.8 FI MCH:
22.9 Pg MCHC: 30,2 g/dl
B. Deskripsi Masalah

Dari hasil anamnesa didapatkan pasien mengalami keluhan lemas


memberat sejak seminggu yang lalu. Pasien juga didapatkan tidak suka
mengkonsumsi daging merah dan sering minum teh kemasan. Pasien juga
mengeluhkan mengalami kesulitan menelan, pusing berputar, jantung
berdebar, sesak napas, dan tampak pucat, Keluhan dirasakan setelah aktivitas
ringan maupun berat.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan GCS pasien compos mentis


(dalam kondisi sadar). Tekanan darah dalam kondisi rendah. Denyut nadi
pasien dalam kondisi cepat. Respiratory rate dalam kondisi cepat. Suhu badan
normal. Terdapat konjungtiva anemis (+/+), fissure pada sudut mulut, dan
atrofi papila lidah, dan koilonykia. Kemudian dari hasil pemeriksaan
penunjang laboratorium didapatkan Hb: 5,2 gr/dl (dibawah batas normal),
HCT: 30.7% (dibawah batas normal), Leukosit: 10.000/mm3 (normal),
Trombosit: 275.000/uL (normal). MCV 70.8 FI (dibawah batas normal),
MCH: 22.9 Pg (dibawah batas normal), MCHC: 30,2 g/dl (dibawah batas
normal). Dari uraian permasalahan diatas pasien didiagnosa mengalami
anemia defisiensi besi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anemia

Anemia adalah suatu kondisi di mana jumlah sel darah merah atau
konsentrasi hemoglobin di dalamnya lebih rendah dari normal.
Hemoglobin diperlukan untuk membawa oksigen dan jika seseorang
memiliki terlalu sedikit atau sel darah merah abnormal, atau tidak cukup
hemoglobin, akan terjadi penurunan kapasitas darah untuk membawa
oksigen ke jaringan tubuh. Hal ini menyebabkan gejala seperti kelelahan,
kelemahan, pusing dan sesak napas, dan lainnya. Konsentrasi hemoglobin
optimal yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis bervariasi
menurut usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal, kebiasaan
merokok, dan status kehamilan. Penyebab paling umum dari anemia
termasuk kekurangan nutrisi, terutama kekurangan zat besi, meskipun
kekurangan folat, vitamin B12 dan A juga merupakan penyebab penting
penyakit lainnya seperti hemoglobinopati dan penyakit menular, seperti
malaria, TBC, HIV dan infeksi parasite (WHO).

Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang serius


yang terutama mempengaruhi anak-anak dan wanita hamil. WHO
memperkirakan 42% anak-anak di bawah usia 5 tahun dan 40% ibu hamil
di seluruh dunia mengalami anemia (WHO).

Anemia terjadi pada 24,8% warga dunia. Prevalensi anemia terjadi


pada 47,4% anak dibawah usia sekolah, 25,4% anak usia sekolah, 30,2%
perempuan tidak hamil, 12,7 % laki laki dan 23,9% lansia. Di Indonesia
menurut riset Kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013, anemia terjadi pada
21,7% penduduk berusia ≥1 tahun (Liwang, ferry et al 2020).
Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi Dan Etiologi

A. Anemia hipokromik mikrositer


a. Anemia difisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
B. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemi aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia pada gagal ginjal kronik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
f. Anemia pada keganasan hematologik
C. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
 Anemia difisiensi asam folat
 Anemia difisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
 Anemia pada penyakit hati kronik
 Anemia pada hipotiroidisme
 Anemia pada sindrom meilodisplastik

1. Anemia Defisiensi Besi


a) Definisi

Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi


nutrien tersering pada anak di seluruh dunia terutama di negara
sedang berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan
oleh kurangnya zat besi dalam tubuh penderita. Diperkirakan 30%
populasi dunia menderita anemia defisiensi besi, kebanyakan dari
jumlah tersebut ada di negara berkembang (Fitriany, J., & Saputri,
A. I. 2018).

b) Etiologi

Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi


besi, diit yang mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat
dan jumlah yang hilang (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).

Berikut tabel penyebab anemia defisiensi berdasar umur.

Kekurangan besi dapat disebabkan oleh :

1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis

a. Pertumbuhan

Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun


pertama dan masa remaja kebutuhan besi akan meningkat,
sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat. Pada bayi
umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan massa
hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat
lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan sangat cepat, pada
umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali dan masa
hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir
(Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).

b. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan
adalah kehilangan darah lewat menstruasi (Fitriany, J., &
Saputri, A. I. 2018).

2. Kurangnya besi yang diserap

a. Masukan besi dan makanan yang tidak adekuat

Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan


makanan yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan
menyerap lebih kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5
mg/hari) yang terutama digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi
yang mendapat ASI eksklusif jarang menderita kekurangan besi
pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan besi yang terkandung
dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang
terkandung susu formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam
ASI diabsropsi bayi, sedangkan dari PASI hanya 10% besi yang
dapat diabsropsi (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).

Pada bayi yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak daripada


ASI lebih berisiko tinggi terkena anemia defisiensi besi
(Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).

b. Malabsorpsi besi

Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa


ususnya mengalami perubahan secara histologis dan fungsional.
Pada orang yang telah mengalami gastrektomi parsial atau total
sering disertai ADB walaupun penderita mendapat makanan
yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam
lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus
halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non
heme(Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).

3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting
terjadinya ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi
keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan
mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari
(1,5 – 2 mg) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi
(Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).

Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced


enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil
salisilat, kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non
steroid) dan infeksi cacing (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan
menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus (Fitriany,
J., & Saputri, A. I. 2018).

4. Transfusi feto-maternal

Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan


menyebabkan ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa
neonates (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).

5. Hemoglobinuria

Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup


jantung buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)
kehilangan besi melaui urin rata-rata 1,8 – 7,8 mg/hari. 6.
Iatrogenic blood loss Pada anak yang banyak bisa diambil darah
vena untuk pemeriksaan laboratorium berisiko untuk menderita
ADB (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).

7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis

Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan


paru yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang
hilang timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun
drastis hingga 1,5 – 3 g/dl dalam 24 jam (Fitriany, J., & Saputri, A.
I. 2018).

8. Latihan yang berlebihan

Pada atlit yang berolaraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar
40% remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin
serumnya < 10 ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak
sebagai akibat iskemia yang hilang timbul pada usus selama latihan
berat terjadi pada 50% pelari (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).

c) Manifestasi Klinis

Anemia dapat menyebabkan berbagai gejala termasuk


kelelahan, kelemahan, pusing dan kantuk. Anak-anak dan wanita
hamil sangat rentan, dengan peningkatan risiko kematian ibu dan
anak. Prevalensi anemia tetap tinggi secara global, terutama di
daerah berpenghasilan rendah, di mana proporsi yang signifikan
dari anak-anak dan wanita usia subur dapat diasumsikan anemia.
Anemia defisiensi besi juga telah terbukti mempengaruhi
perkembangan kognitif dan fisik pada anak-anak dan mengurangi
produktivitas pada orang dewasa (WHO).

Anemia merupakan indikator gizi buruk dan kesehatan yang


buruk. Ini bermasalah dengan sendirinya, tetapi juga dapat
berdampak pada masalah gizi global lainnya seperti stunting dan
wasting, berat badan lahir rendah dan kelebihan berat badan pada
masa kanak-kanak dan obesitas karena kurangnya energi untuk
berolahraga. Kinerja sekolah pada anak-anak dan penurunan
produktivitas kerja pada orang dewasa akibat anemia dapat
memiliki dampak sosial dan ekonomi lebih lanjut bagi individu dan
keluarga (WHO).

Kebanyakan anak-anak dengan defisiensi besi tidak


menunjukkan gejala dan baru terdeteksi dengan skrining
laboratorium pada usia 12 bulan. Gejala khas dari anemia
defisiensi besi adalah (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018):

1. Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi


rapuh dan bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga
mirip dengan sendok.

2. Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah


tampak licin dan mengkilap yang disebabkan oleh menghilangnya
papil lidah

3. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut


sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.

4. Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring.

d) Patofisiologi

Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan


negatif besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan
besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi
terus berkurang. Pada tabel berikut 3 tahap defisiensi besi, yaitu
(Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018):
e) Pemeriksaan Fisik

 anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati

 stomatitis angularis, atrofi papil lidah

 ditemukan takikardi ,murmur sistolik dengan atau tanpa


pembesaran jantung

f) Pemeriksaan Penunjang

• Pemeriksaan darah lengkap penurunan Hb, mean corpuscular


volume (MCV), dan mean corpuscular hemoglobin (MCH). Apus
darah tepi gambaran mikrositik hipokrom, sel target, sel pensil,
poikilositosis,

• Profil besi feritin serum menurun, besi serum menurun, saturasi


transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat.

• Retikulosit menurun.
• Pemeriksaan lain sesuai indikasi: pemeriksaan feses pada
kecurigaan infeksi cacing.

g) Tatalaksana

NonFarmakologis

Sementara anemia defisiensi besi adalah bentuk yang paling


umum dan relatif mudah diobati melalui perubahan pola makan,
bentuk lain dari anemia memerlukan intervensi kesehatan yang
mungkin kurang dapat diakses. Karakterisasi anemia yang akurat
sangat penting untuk memahami beban dan epidemiologi masalah
ini, untuk merencanakan intervensi kesehatan masyarakat, dan
untuk perawatan klinis orang-orang di sepanjang perjalanan hidup
(WHO).

WHO mengawasi beberapa program di seluruh Wilayah WHO


untuk membantu mengurangi prevalensi anemia melalui
pengobatan dan pencegahan. Pedoman, kebijakan, dan intervensi
ini bertujuan untuk meningkatkan keragaman pola makan,
memperbaiki praktik pemberian makan bayi, dan meningkatkan
ketersediaan hayati dan asupan zat gizi mikro melalui fortifikasi
atau suplementasi dengan zat besi, asam folat, serta vitamin dan
mineral lainnya. Strategi komunikasi perubahan sosial dan perilaku
digunakan untuk mengubah perilaku terkait nutrisi. Intervensi
untuk mengatasi penyebab dasar dan penyebab anemia melihat isu-
isu seperti pengendalian penyakit, air, sanitasi dan kebersihan,
kesehatan reproduksi dan akar penyebab seperti kemiskinan,
kurangnya pendidikan dan norma gender (WHO).

Pada tahun 2016, WHO memulai proyek lima tahun untuk


meninjau pedoman global untuk hemoglobin cut-off yang
digunakan untuk mendefinisikan anemia dengan tujuan untuk
memberikan rekomendasi berdasarkan bukti untuk menilai anemia
pada individu dan populasi (WHO).

Farmakologis

Untuk pemberian obat obatan pada seorang yang mengalami


anemia defisiensi zat besi harus sesuai dengan hasil dari
pemeriksaan laboratorium berupa serangkaian pemeriksaan yang
kompleks yang meliputi pemeriksaan kadar hb, gula darah dan rhd.
Apabila sudah ditentukan kadar hb maka bisa diberikan keterangan
yang tepat untuk obat obatan yang seharusnya diberikan. Diagnosis
anemia defisiensi ditegakkan berdasarkan (Fitriany, J., & Saputri,
A. I. 2018):

(1) anamnesis untuk mencari faktor predisposisi dan etiologi,


antara lain: bayi berat lahir rendah (BBLR), bayi kurang bulan,
bayi yang baru lahir dari ibu anemia, bayi yang mendapat susu sapi
sebelum usia 1 tahun, danlainlain sebagainya.

(2). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukanadanya gejala pucat


menahun tanpa disertai adanya organomegali, seperti
hepatomegaly dan splenomegaly.

(3). Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah rutin


seperti Hb, PCV (PackedCell Volume), leukosit, trombosit
ditambah pemeriksaan indeks eritrosit, retikulosit, saturasi
morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC,
transferrin, Free Erythrocyte Protoporphyrin(FEP), ferritin). Pada
ADB nilai indeks
eritrosit MCV, MCH akan menurun, MCHC akan menurun pada
keadan berat, dan RDW akan meningkat. Gambaran morfologi
darah tepi ditemukan keadaan hipokrom, mikrositik, anisositik
hipokrom biasanya terjadi pada ADB, infeksi kronis dan
thalassemia.

Tatalaksasana dan KIE yang dapat kita lakukan pada penderita


anemia defisiensi besi yaitu (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018):

Pemberian Fe elemental dan folic acid

 Pada usia 0-5 tahun dan balita masa menyusui dapat


diberikan 20 mg Fe (2-3mg/kgBB/hari) elemental dan 100
microgram folic acid per ml selama 100 hari
 Pada usia 6-10 tahun dapat diberikan 30 mg Fe
(1mg/kgBB/hari) elemental dan 100 microgram folic acid
per ml selama 100 hari dalam setahun
 Pada remaja usia 10-19 tahun dapat diberikan 100 mg Fe
elemental dan 500 microgram folic acid per ml selama 100
hari
 Pada wanita hamil dan menyusui dapat diberikan 100 mg
Fe elemental dan 500 microgram folic acid setiap hari
selama
100 hari pada masa kehamilan dan dosis yang sama
menyusui

Jika pemberian secara per oral tidak dapat diberikan.


Pemberian besi secara intramuscular dapat digunakan sebagai
alternative. Injeksi preparat zat besi menyebabkan
limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk
menaikan kadar Hb tidak lebih baik disbanding peroral.
Preparat yang dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini
mengandung 50mg besi/ml. dosis dihitung berdasarkan
(Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018):
Dosis besi(mg)-BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5
Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar
Hb < 4g/dl hanya diberikan PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB
persatuan kali pemberian diuretic seperti furosemid. Jika
terdapat gagal jantung nyata dapat dipertimbangan pemberian
transfusi tukar menggunakan PRC yag segar (Sudoyo AW et al
2014).

Pencegahan merupakan tujuan uttama dalam penanganan


masalah anemia defisiensi besi, untuk itu diperlukan
pendidikan tentang pemberian makanan dan suplemen besi
(Sudoyo AW et al 2014).

h) Komplikasi

Anemia yang tidak tertangani dalam jangka waktu lama dapat


menimbulkan komplikasi yang membahayakan. Salah satunya
adalah masalah pada jantung, seperti detak jantung yang cepat dan
tidak beraturan. Kondisi ini dapat memicu kardiomegali atau gagal
jantung (Sudoyo AW et al 2014).

2. Anemia Defisiensi Asam Folat dan Vitamin B12

Anemia defisiensi vitamin B12 dan folat adalah kondisi ketika


tubuh kekurangan sel darah merah yang sehat akibat kurangnya vitamin
B12 dan folat. Kondisi ini menimbulkan gejala umum anemia, tetapi bisa
juga disertai oleh gejala lain yang disebabkan oleh kekurangan dua
vitamin tersebut (Sudoyo AW et al 2014).

Pada anemia defisiensi vitamin B12 dan folat, tubuh kekurangan


dua vitamin tersebut sehingga pembentukan sel darah merah menjadi
terganggu. Akibatnya, sel darah merah tumbuh secara tidak normal
dengan ukuran yang sangat besar. Kondisi ini disebut juga
dengan anemia megaloblastik (Sudoyo AW et al 2014).
Meski berukuran besar, sel darah merah yang abnormal tidak dapat
membawa oksigen dengan optimal. Tanpa pasokan sel darah merah
yang kaya oksigen, organ dan jaringan tubuh tidak bisa bekerja dengan
baik. Kondisi ini dapat menyebabkan berbagai masalah Kesehatan
(Sudoyo AW et al 2014).

3. Anemia Hemolisis

Anemia hemolitik auto imun (AHAI) adalah sebuah kelainan pada


sel darah merah yang ditandai dengan kerusakan eritrosit oleh
autoantibodi dalam tubuh seseorang. AHAI biasa terjadi pada
penderita- penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Seorang
wanita berusia 23 tahun datang dengan keluhan lemas pada seluruh
tubuh sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Lemas disertai dengan
nyeri sendi, nyeri kepala dan nyeri perut. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan konjungtiva anemis, gusi berdarah dan sariawan,
kemerahan pada wajah, nyeri pada regio epigastrium, limpa di
Schuffner 3. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hemoglobin
(Hb) 5,9 g/dL, pada pemeriksaan morfologi apusan darah tepi
ditemukan anemia normositik normokrom suspect anemia penyakit
inflamasi kronis dengan hasil coombs test positif. Pasien diterapi
dengan IVFD NaCl 0,9%, methylprednisolone 125 mg/12 jam injeksi
dan transfusi PRC. Pasien dirawat selama sembilan hari di ruang
penyakit dalam dan hasil ANA test positif. Pasien pulang dengan
perbaikan kondisi serta kadar Hb mencapai 9,5 g/dL (Sudoyo AW et al
2014).

4. Talasemia
Thalassemia merupakan salah satu penyakit genetik terbanyak di
dunia yang ditandai dengan tidak terbentuk atau berkurangnya salah
satu rantai globin baik itu -α ataupun -β yang merupakan komponen
penyusun utama molekul hemoglobin normal. Berdasarkan hal tersebut
thalassemia dibedakan menjadi thalassemia -α dan thalassemia -β.
Secara klinis thalassemia dibagi menjadi: 1. thalassemia mayor,
dimana
pasien memerlukan transfusi darah yang rutin dan adekuat seumur
hidupnya. Pembagian ke 2. bila pasien membutuhkan transfusi tetapi
tidak rutin maka disebut sebagai thalassemia intermedia ke-3.,bila
tanpa gejala, secara kasat mata tampak normal, disebut sebagai
pembawa sifat thalassemia (Ikatan Dokter Anak Indonesia 2016).
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya


penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted
iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang. Prinsip pengobatan anemia defisiensi besi adalah memperbaiki
etiologi yang menjadi dasar terjadinya anemia (mengembalikan substrat yang
dibutuhkan dalam produksi eritrosit) dan meningkatkan Hemoglobin hingga
angka 12 gr/dl. Apabila terjadi anemia defisiensi besi maka segera obati
dengan menggunakan preparat besi dan dicari kausanya serta pengobatan
terhadap kausa ini harus juga dilakukan. Dengan pengobatan yang tepat dan
adekuat maka anemia defisiensi besi ini dapat disembuhkan.
DAFTAR PUSTAKA

Chalik, Raimundus 2016, Anatomi Fisiologi Manusia, Kementerian Kesehatan RI,


Jakarta.
Fitriany, J., & Saputri, A. I. (2018). Anemia defisiensi besi. AVERROUS: Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh, 4(2), 1-14.
Ganong,william F. Buku ajar fisiologi kedokteran.17th.

Guyton & Hall. 2016. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi revisi berwarna ke-
13. Elsevier : Singapore.
Ikatan Dokter Anak Indonesia 2016.
Liwang, ferry et al 2020. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi V. Koe Stella
Asadinia
Sherwood, Lauralee 2020. Fisiologi Manusia dari Sel Ke Sistem Edisi 9, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors 2014. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Sylvia, P. 2016. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol. 2 edisi 6.
Jakarta:EGC

Tortora, GJ, Derrickson, B. 2012. Principles of Anatomy &amp; Physiology 13th


Edition. United States of America: John Wiley &amp; Sons, Inc.

Anda mungkin juga menyukai