Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN

TUTORIAL LBM 1 “LEMAS”


BLOK HEMATOLOGI & IMUNOLOGI I

Disusun Oleh :

Nama : Rosalina Yolanda

NIM : 020.06.0073

Blok SP : Hematologi & Imunologi I

Kelas/SGD : B/9

Tutor : dr. Eko Oktapranata, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil
Laporan Tutorial LBM 1“LEMAS” Blok Hematologi & Imunologi I.
Dalam penyusunan Laporan Tutorial LBM 1 ini, penulis menyadari sepenuhnya
masih terdapat kekurangan di dalam penyusunannya. Hal ini disebabkan karena
terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, penulis menyadari
bahwa tanpa adanya bimbingan dan petunjuk dari semua pihak tidaklah mungkin hasil
Laporan Tutorial LBM 1 ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan dengan baik.
2. Dr. Eko Oktapranata, S.Ked selaku fasilitator dalam SGD kelompok 9, atas
segala masukan, bimbingan dan kesabaran dalam menghadapi keterbatasan
penulis.
3. Seluruh anggota SGD kelompok 9 yang telah membantu dan memberikan
masukan dalam penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang sifatnya konstruktif demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, penulis
berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 10 November 2021


Penulis

ii
BAB I

Skenario

LBM I
LEMAS

Seorang perempuan, Nn. A, berusia 19 tahun, datang ke IGD RS X dengan keluhan lemas
yang dirasakan memberat sejak seminggu yang lalu. Awalnya keluhan ini dirasakan sejak 6 bulan
yang lalu, dimulai setelah pasien bekerja sebagai buruh. Pasien jarang memiliki waktu makan,
pasien juga tidak suka mengkonsumsi daging merah, dan sering meminum teh kemasan. Pasien
mengeluh mengalami kesulitan menelan, pusing berputar, jantung berdebar, sesak napas, dan
tampak pucat. Keluhan dirasakan setelah aktivitas ringan maupun berat. Dokter kemudian
melakukan pemeriksaan fisik dan mengusulkan pemeriksaan tambahan.

Dari hasil pemeriksaan fisik di dapatkan Tanda Vital Compos mentis, TD 90/70, N 120x/m,
RR 22 x/m, T 36,5. Konjungtiva anemis (+/+), fissure pada sudut mulut, dan atrofi pada lidah, dan
koilonykia. Pemeriksaan fisik yang lain masih dalam batas normal. Dokter kemudian mengusulkan
melakukan pemeriksaan penunjang laboratorium di dapatkan hasil Hb : 5,2 gr/dl, HCT: 30,7%
Leukosit: 10.000/mm3, trombosit : 275.000/ul. MCV : 70,8 Fl, MCH :22,9 Pg , MCHC: 30, 2 g/dl.

3
Dalam skenario ini didapatkan beberapa topik permasalahan yang perlu dibahas di antaranya:
Yang pertama yaitu mengenai apa yang menyebabkan Nn. A mengeluhkan kesulitan
menelan, pusing berputar, jantung berdebar, sesak napas dan tampak pucat. Jadi berdasarkan
keluhan yang di alami pada scenario itu bisa saja terjadi karena faktor atau akibat dari kadar
hemoglobin yang menurun sehingga akan menyebabkan Nn. A mengalami keluahan seperti pada
skenario, perlu di ketahui juga bahwa kadar Hb yang normal itu sekitar 12-14 g/dL dan apa bila
kurang dari nilai tersebut maka bisa saja seseorang akan mengalami anemia, yang dimana anemia
adalah suatu kondisi ketika tubuh kekurangan sel darah yang mengandung hemoglobin untuk
menyebarkan oksigen ke seluruh organ tubuh. Dengan kondisi tersebut, penderita biasanya akan
merasa letih dan lelah, sehingga tidak dapat melakukan aktivitas secara optimal.
Permasalahan kedua yang dibahas yaitu apakah ada hubungan antara tidak suka
mengkonsumsi daging merah dan sering minum teh dan kurang makan dengan keluhan yang
dialami. Jadi, hubungannya adalah keluhan yang dirasakan merupakan gejala dari anemia
defisiensi besi yang kemungkinan diderita oleh Nn. A karena melihat keluhan yang diderita yaitu
sebagai buruh, sering minum teh kemasan, dan tidak suka mengkonsumsi daging merah.
Permasalahan ketiga yang dibahas yaitu mengenai apakah ada hubungan antara aktivitas
fisik dengan keluhan yang dialami oleh Nn. A. Jadi, Hubungannya adalah sebagai seorang buruh
tentunya akan memerlukan nutrisi tambahan namun nyonya A jarangg memiliki waktu makan
tentunya nutrisi yang dibutuhkan akan kurang dan itu akan menyebabkan lemas. Selanjutnya
jarang mengkonsumsi daging merah ini juga berpengaruh terhadap keluhannya yaitu karena
kandungan zat besi yang berguna untuk pembentukan eritrosit yang dimana jika ini kurang akan
menyebabkan anemia. Serta kebiasaan mengkonsumsi teh kemasan ini kurang bagus karna
mengandung tanin yang dapat menghambat penyerap dari zat besi itu sendiri.
Permasalahan yang dibahas selanjutnya yaitu mengenai bagaimana tatalaksana awal yang
dapat diberikan. Yang dimana, tentu saja akan di lakukan pemeriksaan fisik terlebih dahulu seperti
pemeriksaan tanda vital yang meliputi TD, RR,N dan suhu selanjutnya juga perlu di lakukan cek
gula darah yang dimana untuk mengetahui kadar gula dalam darah. Selain itu juga di lakukan
anamnesis untuk mengetahui secret seven dari keluhan yang di alami oleh Nn. A tersebut dan yang
terakhir yaitu perlu juga di lakukan cek darah lengkap.

Permasalahan terakhir dalam topik ini adalah pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
4
penunjang. Yang dimana pemeriksaan fisiknya dapat dilakukan pemeriksaan vital sign dan
pemeriksaan kesadaran pasien, sedangkan untuk pemeriksaan penunjang itu sendiri dapat
dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah lengkap.

5
BAB II

1. Fisiologi sel darah (komponen dan pembentukan)?


Darah terdiri atas beberapa komponen yaitu sel-sel darah terdiri dari sel darah
merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan trombosit, yang tersuspensi cairan dalam
kompleks plasma. Masing-masing komponen darah tersebut melalui beberapa proses
hematopoietik yang kompleks. Hematopoietik atau hemopoiesis adalah proses
pembentukan komponen darah meliputi proses pembentukan sel darah merah
(eritropoietin), sel darah putih (mielopoiesis), dan trombosit (trombopoiesis). (Hoffbrand
dan Moss, 2013).
Tempat terjadinya Hemopoiesis (pembuatan sel darah)

Sel darah memulai kehidupannya di dalam sumsum tulang dari suatu tipe sel yang
disebut sel punca hematopoietik pluripoten, yang merupakan asal dari semua sel dalam
darah sirkulasi. Sewaktu sel-sel darah ini bereproduksi, ada sebagian kecil dari sel-sel ini
yang bertahan persis seperti sel-sel pluripoten aslinya dan disimpan dalam sumsum tulang
guna mempertahankan suplai sel-sel darah tersebut, walaupun jumlahnya berkurang seiring
dengan pertambahan usia. Selanjutnya, sel-sel yang sangat mirip dengan sel punca
pluripoten membentuk suatu jalur khusus pembelahan sel dan disebut committed stem
cells. (Guyton dan Hall, 2016).

6
Berbagai committed stem cellsakan menghasilkan koloni tipe sel darah yang
spesifik. Suatu committed stem cell yang menghasilkan eritrosit disebut unit pembentuk
koloni eritrosit yang disingkat CFU-E. Demikian pula, unit yang membentuk koloni
granulosit dan monosit ditandai dengan singkatan CFU-GM, dan seterusnya. (Guyton dan
Hall, 2016).
Pertumbuhan dan reproduksi berbagai sel punca diatur oleh bermacam-macam
protein yang disebut penginduksi pertumbuhan. Terdapat empat penginduksi pertumbuhan
yang utama dan masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Salah satunya adalah
inteleukin-3, yang memulai pertumbuhan dan reproduksi hampir semua jenis committed
stem cells yang berbeda-beda, sedangkan yang lain hanya menginduksi pertumbuhan pada
tipe-tipe spesifik. Penginduksi pertumbuhan akan memicu pertumbuhan dan bukan
memicu diferensiasi sel-sel. Diferensiasi sel adalah fungsi dari rangkaian protein yang lain,
yang disebut penginduksi diferensiasi. Masing-masing protein ini akan menyebabkan satu
tipe committed stem cells untuk berdiferensiasi sebanyak satu langkah atau lebih menuju
ke sel darah dewasa bentuk akhir. Pembentukan penginduksi pertumbuhan dan pengindusi
diferensiasi itu sendiri dikendalikan oleh faktor-faktor di luar sumsum tulang. Contohnya,
pada eritrosit (sel darah merah), paparan darah dengan oksigen yang rendah dalam waktu
yang lama akan mengakibatkan induksi pertumbuhan, diferensiasi, dan produksi eritrosit
dalam jumlah yang sangat banyak. Pada sel darah putih, penyakit infeksi akan

7
menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi, dan akhirnya pembentukan sel darah putih tipe
tertentu yang diperlukan untuk memberantas setiap infeksi. (Guyton dan Hall, 2016).

Pembentukan Sel Darah merah, Sel pertama yang dapat dikenali sebagai bagian
dari rangkaian sel darah merah adalah proeritoblas. Dengan rangsangan yang sesuai,
sejumlah besar sel ini dibentuk dari sel-sel punca CFU-E. Begitu proeritoblas ini terbentuk,
maka ia akan membelah beberapa kali, sampai akhirnya membentuk banyak sel darah
merah yang matang. Sel-sel generasi pertama ini disebut eritroblas basofil sebab dapat
dipulas dengan zat warna basa; sel yang terdapat pada tahap ini mengumpulkan sedikit
sekali hemoglobin. (Guyton dan Hall, 2016).

Pada generasi berikutnya, sel sudah dipenuhi oleh hemoglobin sampai konsentrasi
sekitar 34 persen, nukleus memadat menjadi kecil, dan sisa akhirnya diabsorbsi atau

8
didorong keluar dari sel. Pada saat yang sama, retikulum endoplasma direabsorbsi. Sel pada
tahap ini disebut retikulosit karena masih mengandungsejumlah kecil materi basofilik,
yaitu terdiri atas sisa-sisaaparatus Golgi, mitokondria, dan sedikit organel
sitoplasmalainnya. Selama tahap retikulosit ini, sel-sel berjalan darisumsum tulang masuk
ke dalam kapiler darah dengan caradiapedesis (terperas melalui pori-pori membran
kapiler). Materi basofilik yang tersisa dalam retikulosit normalnyaakan menghilang dalam
waktu 1 sampai 2 hari, dan selkemudian menjadi eritrosit matang. Oleh karena waktu
hidupretikulosit ini pendek, maka konsentrasinya di antara semua seldarah merah
normalnya kurang sedikit dari 1 persen. (Guyton dan Hall, 2016).
Sel darah merah yang normal berbentuk cakram bikonkaf dengan diameter rata-rata
kira-kira 7,8 gm dengan ketebalan 2,5 µm pada bagian yang paling tebal, serta 1 µm atau
kurang dibagian tengahnya, jumlahnya sekitar 4-5 juta/µL pada wanita dan 5-6 juta/µL
pada pria, dimana orang yang tinggal di dataran tinggi memiliki jumlah sel darah merah
yang lebih banyak. Nilai normal hemoglobin pada wanita 12-16 gr/dl, pria: 14-18 gr/dl,
anak: 10-16 gr/dl, bayi: 12-24 gr/dl. Sedangkan kadar hematokrit normal adalah 40-45%.
(Guyton dan Hall, 2016).
Masa hidup sel darah merah dalam sirkulasi darah sekitar 120 hari sebelum
akhirnya dihancurkan di hati dan limpa. Hemoglobin yang dilepaskan dari sel sewaktu sel
darah merah pecah, akan segera difagosit oleh sel-sel makrofag di banyak bagian tubuh,
namun terutama oleh sel-sel Kupffer hati, makrofag limpa dan makrofag sumsum tulang.
Selama beberapa jam atau beberapa hari sesudahnya, makrofag akan melepaskan besi yang
didapat dari hemoglobin dan menghantarkannya kembali ke dalam darah dan diangkut oleh
transferin ke sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah baru, atau ke hati dan
jaringan lainnya untuk disimpan dalam bentuk feritin. Bagian porfirin dari molekul
hemoglobin diubah oleh makrofag melalui serangkaian tahap menjadi pigmen empedu
bilirubin, yang dilepaskan ke dalam darah dan kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh
sekresi melalui hati ke dalam cairan empedu. (Guyton dan Hall, 2016).

9
Eritropoiesis dikontrol oleh eritropoietin dari ginjal

Karena transpor O2 dalam darah adalah fungsi utama eritrosit, penurunan


penyaluran O2, ke ginjal (EPO) akanmerangsang ginjal mengeluarkan hormon
eritropoietin ke dalam darah dan hormon ini pada gilirannya merangsang eritropoiesis oleh
sumsum merah. Eritropoietin bekerja pada derivat sel punca tak-berdiferensiasi yang sudah
ditakdirkan untuk menjadi SDM, merangsang proliferasi dan pematangan sel-sel ini
menjadi eritrosit matur. Peningkatan aktivitas eritropoietik ini meningkatkan jumlah SDM
dalam darah sehingga kapasitas darah mengangkut O2 meningkat dan penyaluran O2 ke
jaringan kembali ke normal. (Sherwood, 2014).
Jika penyaluran O2 ke ginjal telah normal, sekresi eritropoietin dihentikan hingga
dibutuhkan kembali. Dengan cara ini, produksi eritrosit dalam keadaan normal
diselaraskan dengan kerusakan atau kehilangan sel-sel ini sehingga kemampuan darah
mengangkut O2, relatif konstan. Pada keadaan penurunan SDM yang berat, seperti pada
perdarahan atau perusakan abnormal eritrosit muda dalam darah, laju eritropoiesis dapat
meningkat menjadi lebih dark enam kali laju normal. (Sherwood, 2014).
Persiapan sebuah eritrosit untuk meninggalkan sumsum tulang melibatkan
beberapa tahap, seperti sintesis hemoglobin dan pengeluaran nukleus dan organel. Sel-sel
yang paling matang memerlukan waktu beberapa hari sebelum "matang penuh" dan
dibebaskan ke dalam darah sebagai respons terhadap eritropoietin dan sel-sel yang lebih
muda atau baru berproliferasi mungkin memerlukan waktu hingga beberapa minggu
sebelum mencapai kematangan. Karena itu, waktu yang diperlukan untuk mengganti secara

10
tuntas semua SDM yang hilang bergantung pada seberapa banyak yang dibutuhkan untuk
kembali ke jumlah normal. (Ketika Anda mendonorkan darah, eritrosit dalam darah Anda
akan pulih dalam waktu kurang dark seminggu). (Sherwood, 2014).

2. DD (definisi, etiologi, epidemiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan penunjang)?
Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi Dan Etiologi
A. Anemia hipokromik mikrositer

a. Anemia difisiensi besi

b. Thalasemia major

c. Anemia akibat penyakit kronik

d. Anemia sideroblastik

B. Anemia normokromik normositer

a. Anemia pasca perdarahan akut

b. Anemi aplastik

c. Anemia hemolitik didapat

d. Anemia pada gagal ginjal kronik

e. Anemia pada sindrom mielodisplastik

f. Anemia pada keganasan hematologik

C. Anemia makrositer

a. Bentuk megaloblastik

 Anemia difisiensi asam folat

 Anemia difisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa

b. Bentuk non-megaloblastik

 Anemia pada penyakit hati kronik

11
 Anemia pada hipotiroidisme

 Anemia pada sindrom meilodisplastik

A. ANEMIA APLASTIK
Anemia aplastik didefinisikan sebagai pansitopenia (berkurangnya jumlah semua
jenis sel darah yaitu sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit dalam darah) akibat
aplasia sumsum tulang. Aplasia sumsum tulang berarti tidak berfungsinya sumsum
tulang (Wirakusumah, 2014).
 Etiologi
Sebagian besar adalah idiopatik, beberapa penyebab lain yang sering
dikaitkan dengan dengan anemia aplastic adalah kelainan kongenital, radiasi, bahan
kimia, obat obatan idosinkrotik dan infeksi virus.
Penyebab anemia aplastik

Primer Sekunder

Kongenital (tipe Radiasi pengion: pajanan tak sengaja (radioterapi, isotope


Fanconi dan radioaktif, stasiun pembangkit listrik nuklis)
non-Fanconi)
Didapat Bahan kimia: benzene, organofosfat dan pelarut organic
idiopatik lainnya, DDT dan pestisida lainnya, organoklorin, obat
rekreasional (ekstasi)
Obat: obat yang umumnya menekan sumsum tulang (mis.
Busulfan, melfalan, siklofosfamid, antrasiklin, nitrosouea)
Obat yang kadang atau jarang menyebabkan depresi sumsum
tulang (mis. Kloramfenikol, sulfonamide, emas, obat anti-
inflamasi, antitiroid, psikotropik, obat antikejang/antidepresan)
Virus: virus hepatitis (non-A, non-B, non-C, pada sebagian
besa kasus)

12
EBV, virus
Epstein-Barr

 Epidemiologi
Insidensi per tahun kasus anemia aplastik di Eropa diperkirakan sekitar 2
kasus per 1 juta populasi. Anemia aplastik diperkirakan lebih sering dijumpai di
benua Asia. Angka insidensi di Thailand berkisar dari 4-6 kasus per satu juta
populasi. Ditemukan peningkatan kecil insiden anemia aplastik pada anak-anak
oleh karena inklusi sindrom kegagalan sumsum tulang bawaan. Puncak insiden
kedua anemia aplastik ditemukan pada orang yang berusia antara 20-25 tahun
(Pranawa, 2015).

 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan anemia aplastik dapat berupa:
1) Sindrom anemia :
a) Sistem kardiovaskuler : rasa lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak napas
intoleransi terhadap aktivitas fisik, angina pectoris hingga gejala payah
jantung.
b) Susunan saraf : sakit kepala, pusing, telingga mendenging, mata berkunang-
kunang terutama pada waktu perubahan posisi dari posisi jongkok ke posisi
berdiri, iritabel, lesu dan perasaan dingin pada ekstremitas.
c) Sistem pencernaan : anoreksia, mual dan muntah, flaturensi, perut
kembung, enek di hulu hati, diare atau obstipasi.
2) Gejala perdarahan : ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan subkonjungtiva,
perdarahan gusi, hematemesis/melenaatau menorhagia pada wanita. Perdarahan
organ dalam lebih jarang dijumpai, namun jika terjadi perdarahan otak sering
bersifat fatal.
3) Tanda-tanda infeksi: ulserasi mulut atau tenggorokan, selulitis leher, febris,
sepsis atau syok septic (Huether, 2019).
 Pemeriksaan fisik

13
Melihat wajah dan menilai adanya tanda-tanda pansitopenia, misalnya
konjungtiva pucat atau petekie serta menilai adanya tanda sindrom bawaan spesifik,
misalnya mikrosefalus (Pranawa., dkk. 2015).
 Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan penunjang yang di lakukan antara lain: cek darah lengkap, kimia
klinik, rotgen thorax dan EKG.
b) Tes serologi atau pemeriksaan sitogenetik juga dapat dilakukan untuk
mengevaluasi penyebab anemia aplastik.
c) Pemeriksaan Sumsum Tulang: Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung
sejumlah spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif
sedikit sel hematopoiesis (Pranawa., dkk. 2015).

B. ANEMIA DEFISIENSI BESI


ADB adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan cadangan zat besi. Zat besi
yang tidak adekuat menyebabkan berkurangnya sintesis hemoglobin sehingga
menghambat proses pematangan eritrosit. Zat besi yang tidak adekuat disebabkan oleh
rendahnya asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang dikonsumsi
menurun (makanan banyak serat, rendah daging, dan rendah vitamin C), kebutuhan
akan zat besi yang meningkat (pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu hamil
dan menyusui) (Pranawa, 2015).
Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien tersering
pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk Indonesia.
Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh penderita. Diperkirakan
30% populasi dunia menderita anemia defisiensi besi, kebanyakan dari jumlah tersebut
ada di negara berkembang (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).
 Etiologi
Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang
mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang
(Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).

Kekurangan besi dapat disebabkan oleh :


1) Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
14
a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan
masa remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini
insiden ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya
meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali
lipat dibanding saat lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan sangat cepat,
pada umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali dan masa
hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir (Fitriany,
J., & Saputri, A. I. 2018).
b. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).
2) Kurangnya besi yang diserap
a. Masukan besi dan makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan
makanan yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap
lebih kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang
terutama digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI
eksklusif jarang menderita kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini
disebabkan besi yang terkandung dalam ASI lebih mudah diserap
dibandingkan susu yang terkandung susu formula. Diperkirakan sekitar
40% besi dalam ASI diabsropsi bayi, sedangkan dari PASI hanya 10% besi
yang dapat diabsropsi (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).
Pada bayi yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak daripada ASI
lebih berisiko tinggi terkena anemia defisiensi besi (Fitriany, J., & Saputri,
A. I. 2018).
b. Malabsorpsi besi
Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya
mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang
telah mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB
walaupun penderita mendapat makanan yangcukup besi. Hal ini disebabkan

15
berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui
bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non
heme(Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).
3) Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting
terjadinya ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status
besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg,
sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2 mg) dapat mengakibatkan keseimbangan
negatif besi (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced
enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat,
kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan infeksi cacing
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus
bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus
(Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).
4) Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan
ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonates (Fitriany, J., &
Saputri, A. I. 2018).
5) Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung
buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi
melaui urin rata-rata 1,8 – 7,8 mg/hari. 6. Iatrogenic blood loss Pada anak yang
banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium berisiko untuk
menderita ADB (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).
6) Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru
yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul.
Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga 1,5 – 3 g/dl
dalam 24 jam (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018).
 Manifestasi klinis

16
Anemia dapat menyebabkan berbagai gejala termasuk kelelahan,
kelemahan, pusing dan kantuk. Anak-anak dan wanita hamil sangat rentan, dengan
peningkatan risiko kematian ibu dan anak. Prevalensi anemia tetap tinggi secara
global, terutama di daerah berpenghasilan rendah, di mana proporsi yang signifikan
dari anak-anak dan wanita usia subur dapat diasumsikan anemia. Anemia defisiensi
besi juga telah terbukti mempengaruhi perkembangan kognitif dan fisik pada anak-
anak dan mengurangi produktivitas pada orang dewasa (WHO).
Anemia merupakan indikator gizi buruk dan kesehatan yang buruk. Ini
bermasalah dengan sendirinya, tetapi juga dapat berdampak pada masalah gizi
global lainnya seperti stunting dan wasting, berat badan lahir rendah dan kelebihan
berat badan pada masa kanak-kanak dan obesitas karena kurangnya energi untuk
berolahraga. Kinerja sekolah pada anak-anak dan penurunan produktivitas kerja
pada orang dewasa akibat anemia dapat memiliki dampak sosial dan ekonomi lebih
lanjut bagi individu dan keluarga (WHO).
Kebanyakan anak-anak dengan defisiensi besi tidak menunjukkan gejala
dan baru terdeteksi dengan skrining laboratorium pada usia 12 bulan. Gejala khas
dari anemia defisiensi besi adalah (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018):
1) Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh dan
bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.
2) Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah tampak licin dan
mengkilap yang disebabkan oleh menghilangnya papil lidah.
3) Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak
sebagai bercak berwarna pucat keputihan.

17
4) Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring.

Gejala khas dari anemia defisiensi besi adalah:


1. Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh dan
bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.
2. Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah tampak licin dan
mengkilap yang disebabkan oleh menghilangnya papil lidah.
3. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak
sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
4. Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring (Wirakusumah,
2014).
 Epidemiologi
ADB merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai, terutama di
negara berkembang berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat. Di
Indonesia, anemia defisiensi besi terjadi pada 16-50% laki-laki dan 25-48%
perempuan; 46-92% ibu hamil dan 55,5% balita (Pranawa, 2015).
 Pemeriksaan Fisik
1. Tanda-Tanda Vital meliputi = Keadaan umum , Compos mentis, Tekanan
darah, Nadi, RR, Suhu badan, Tinggi badan, Berat badan, BMI.
2. Pucat dapat terlihat pada: konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan
jaringan di bawah kuku.
 Pemeriksaan penunjang.
1. Cek darah lengkap.
2. Pengukuran kadar hemoglobin dan indeks eritrosit
3. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (perl’s stain)
4. Pemeriksaan Kadar besi serum
5. Pemeriksaan Sumsum tulang

C. ANEMIA HEMOLITIK

18
Anemia hemolitik merupakan anemia yang terjadi akibat menurunnya kadar
hemoglobin akibat peningkatan detruksi eritrosit yang lebih cepat di bandingkan
pembentukannya (Ridwan, 2014).
 Etiologi
Anemia hemolitik dapat diturunkan dari orang tua atau berkembang setelah
lahir. Beberapa penyebab anemia hemolitik yang dipicu oleh faktor keturunan
adalah: Anemia sel sabit, Sferositosis, Ovalositosis, Thalasemia, Kekurangan
enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan Kekurangan enzim piruvat
kinase.
Sedangkan kondisi di luar faktor keturunan yang dapat menyebabkan anemia
hemolitik antara lain:
1. Penyakit infeksi, seperti tipes, hepatitis, infeksi virus Epstein-Barr, atau infeksi
bakteri coli jenis tertentu.
2. Penyakit autoimun, seperti anemia hemolitik autoimun (AIHA), lupus,
rheumatoid arthritis, dan kolitis ulseratif.
3. Efek samping obat-obatan, seperti obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS),
paracetamol, dapsone, levodopa, metildopa, rifampicin, serta beberapa jenis
antibiotik, seperti levofloxacin, penisilin, nitrofurantoin, dan sefalosporin.
4. Penyakit kanker, terutama kanker darah (Ridwan, 2014).
 Epidemiologi
Epidemiologi anemia hemolitik diperkirakan sebesar 5% dari total kejadian
anemia. Data epidemiologi menunjukkan bahwa anemia hemolitik tidak memiliki
kecenderungan jenis kelamin dan ras. Hanya saja, pada Autoimmune Hemolytic
Anemia angka kejadianya dilaporkan sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria. Selain itu, defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) lebih banyak
ditemukan pada laki-laki karena diturunkan secara X resesif. Pada defisiensi G6PD,
perempuan menjadi karier. Dilaporkan insiden anemia hemolitik sebesar
0.8/100.00/tahun dan prevalensinya sebesar 17/100.000 (Huether, 2019).
 Manifestasi klinis

19
Gejala anemia hemolitik bisa ringan di awal penyakit, kemudian memburuk
secara perlahan atau tiba-tiba. Gejalanya bervariasi pada setiap penderita, di
antaranya:

 Pusing.
 Kulit pucat.
 Tubuh cepat lelah.
 Demam
 Urine berwarna gelap.
 Kulit dan bagian putih mata menguning (penyakit kuning)
 Perut terasa tidak nyaman akibat organ limpa dan hati membesar.
 Jantung berdebar (Setyohadi B, 2014).

 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pada wajah dan abdomen
 Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan darah lengkap. Lewat pemeriksaan ini bisa Dilihat ada-tidaknya
anemia, atau infeksi yang menyebabkannya. Bisa juga melihat kemungkinan
gangguan darah yang berisiko menyebabkan anemia hemolitik. Melalui
pemeriksaan ini juga akan diketahui peningkatan produksi sel darah merah
yang dapat menjadi indikasi adanya anemia hemolitik.
b) Pemeriksaan bilirubin. Tes ini mengukur tingkat hemoglobin sel darah merah
yang telah dipecah dan diproses hati.
c) Tes fungsi hati. Tes ini mengukur kadar protein, enzim hati, dan bilirubin
dalam darah.
d) Serum Laktat Dehidrogenase (LDH) dan serum haptoglobin. Kenaikan kadar
LDH dan perubahan kadar serum haptoglobin dapat membantu dokter
mendiagnosis kondisi dan jenis anemia hemolitik.
e) Tes retikulosit. Tes ini mengukur berapa banyak sel darah merah yang belum
matang, yang seiring waktu berubah menjadi sel darah merah, yang
diproduksi oleh tubuh.

20
f) Tes coombs. Untuk menelisik kemungkinan antibodi yang menyerang sel
darah merah (Huether, 2019).

D. ANEMIA MEGALOBASTIK
Anemia megaloblastik adalah anemia makrositik yang disebabkan oleh defisiensi
atau gangguan penggunaan vitamin B12 atau asam folat. Penyebab tersering dari
anemia megaloblastik adalah defisiensi vitamin B12 yang dapat terjadi karena asupan
yang kurang, malabsorpsi akibat tidak adanya faktor intrinsik, kelainan kongenital, atau
paparan nitrit oksida. Anemia megaloblastik sebetulnya adalah kondisi panmyelosis,
walaupun namanya menggambarkan seolah gangguan hanya terbatas di sel darah
merah. Pada kasus yang jarang, anemia megaloblastik dapat menampilkan gambaran
nuklei megaloblastik imatur dan proliferasi myeloid intens di sumsum tulang. Hal ini
dapat menyebabkan misdiagnosis dengan leukemia (Liwang, 2020).
 Etiologi
Beberapa penyebab dari anemia megaloblastik adalah karena asupan asam
folat yang kurang (pemberian nutrisi yang tidak seimbang), gangguan absorbs atau
adanya gangguan pada gastrointestinal, pemberian obat yang menghambat kerja
asam folat (Setyohadi B, 2014).
 Epidemiologi
Anemia megaloblastik dilaporkan lebih tinggi di area dengan prevalensi
malnutrisi yang tinggi dan dengan ketersediaan suplementasi yang buruk untuk
populasi berisiko (misalnya ibu hamil dan menyusui). Prevalensi anemia secara
global menurut WHO sebesar 24,8%. Selama 20 tahun terakhir, Insidensi anemia
megaloblastik dilaporkan meningkat. Anemia megaloblastik lebih sering
didapatkan pada pasien berusia di atas 40 tahun, dan semakin meningkat pada
pasien lanjut usia (Huether, 2019).
 Manifestasi klinis
Adapun gejala umum dari anemia jenis ini adalah :

 Sesak napas.
 Mati rasa di setiap ujung tubuh; misal ujung jari tangan dan ujung jari kaki.

21
 Lidah membengkak.
 Diare.
 Mual.
 Kram otot.
 Kulit terlihat pucat.
 Kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan secara drastic (Liwang , F.
2020).

 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pada wajah

 Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan darah lengkap
 Pemeriksaan darah tepi :
 Schilling test: dilakukan untuk mendeteksi kecepatan absorpsi vitamin B12.
Pasien diberikan vitamin B12 per oral dan dilakukan pemeriksaan kadar urine
24 jam untuk melihat kandungan kobalamin
 Apusan sumsum tulang : pemeriksaan ini jarang dilakukan. Dapat ditemukan
megaloblast, mitotic figures, metamyelosit, dan Perl’s stain (Pranawa., dkk.
2015).

E. CACING TAMBANG
Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus. Kedua spesies ini termasuk dalam famili Strongyloidae dari
filum Nematoda (Loukas A dan Prociv P, 2001).
Diperkirakan terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia yang menderita infeksi
cacing tambang dengan populasi penderita terbanyak di daerah tropis dan subtropis,
terutama di Asia dan subsahara Afrika. Infeksi N. americanus lebih luas penyebarannya
dibandingkan A. duodenale, dan spesies ini juga merupakan penyebab utama infeksi
cacing tambang di Indonesia (Pohan HT, 1996).
 Etiologi

22
Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan penyebab terpenting
anemia defisiensi besi. Selain itu infeksi cacing tambang juga merupakan penyebab
hipoproteinemia yang terjadi akibat kehilangan albumin, karena perdarahan kronik
pada saluran cerna. Anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia sangat merugikan
proses tumbuh kembang anak dan berperan besar dalam mengganggu kecerdasan
anak usia sekolah (Hotez PJ dkk, 2004).
 Epidemiologi
Pernah dilaporkan bahwa lebih dari 500 juta manusia diseluruh dunia
terinfeksi cacing ini, namun daerah yang paling tinggi prevalensinya adalah daerah
tropis yang lembab dengan hygiene sanitasi yang rendah seperti di Asia Tenggara.
Dilaporkan juga bahwa daerah substropis, daerah yang beriklim sedang dengan
kelembaban yang sama seperti tropis, misalnya di tambang memiliki prevalensi
yang tinggi juga. Ancylostoma duodenale juga banyak ditemukan di Afrika Utara,
daerah lembah Sungai Nil, India bagian utara serta Amerika Selatan (Sandjaja,
2007).
Cacing tambang terdapat di daerah tropika dan subtropika diantara 450
Lintang Utara dan 300 Lintang Selatan, kecuali Ancylostoma duodenale terdapat
di daerah pertambangan Eropa Utara. Necator americanus tersebar diseparuh
belahan bumi sebelah barat, Afrika Tengah dan Selatan, Asia selatan, Indonesia,
Australia dan di Kepulauan Pasifik.
Penyebarannya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, pembuangan kotoran
orang-orang yang terinfeksi di tempat-tempat yang dilewati orang lain, tanah
tempat pembuangan kotoran yang merupakan medium yang baik, suhu panas dan
lembap, serta populasi yang miskin dengan orang-orang tanpa sepatu. Penyebaran
di Cina terjadi karena pemakaian pupuk dari kotoran manusia. Ankilostomiasis di
Indonesia banyak terdapat pada karyawan perkebunan karet (Irianto, 2013).
 Manifestasi Klinis

23
1) Stadium larva
Stadium larva Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka
terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch yaitu reaksi lokal eritematosa
dengan papul-papul yang disertai rasa gatal. Infeksi larva filariform A.
duodenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual,
muntah, iritasi faringeal, batuk, sakit leher, dan suara serak. Larva cacing di
paru dapat menimbulkan pneumonitis dengan gejala yang lebih ringan dari
pnemonitis Ascaris.
2) Kelainan pada kulit: Ground itch Kelainan pada paru-paru : biasanya ringan.
3) Stadium dewasa, bergantung pada :
 Spesies dan jumlah cacing & Keadaan gizi pada penderita
Karena kedua cacing ini menghisap darah hospes, maka infeksi berat
dan menahun dapat menimbulkan anemia mikrositer hipokrom. Infeksi
ringan tanpa gejala, tapi bila telah menahun akan menurunkan gaya/presisi
kerja yang akhirnya anemia yang menahun dapat berakibat Decompensatio
cordis (Safar, 2009).
Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur dalam tinja segar, dalam
tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk membedakan spesies
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale dapat dilakukan biakan
tinja misalnya Harada-Mori (Gandahusada, 2004).

24
Stadium dewasa Manifestasi klinis infeksi cacing tambang merupakan
akibat dari kehilangan darah karena invasi parasit di mukosa dan
submukosa usus halus. Gejala tergantung spesies dan jumlah cacing serta
keadaan gizi Penderita. Seekor N. americanus menyebabkan kehilangan
darah sebanyak 0,005 - 0,1 cc/hari, sedangkan A. duodenale 0,08 - 0,34
cc/hari. Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer dan eosinofilia.
Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan
berkurang dan prestasi kerja turun.
 Pemeriksaan
Untuk penegakkan diagnosis colitis diperlukan pemeriksaan biopsi
endoskopi atau kolonoskopi. Untuk diagnosis infeksi A. duodenale ditegakkan
dengan menemukan telur dengan karakteristik ukuran 40-60 μm, bentuk oval dalam
feses atau cacing dewasa.
3. Dx (patofisiologi, tatalaksana farmakologi dan non farmakologi, komplikasi,
prognosis, edukasi)?

Berdasarkan riwayat serta keluhan serta pemeriksaan yang telah dilakukan ini lebih
mendekat kearah anemia defisiensi besi hal ini karena Diagnosis ADB ditegakkan
berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat
mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Ada beberapa kriteria
diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB (Julia F, 2018).

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO dan Lanzkowsky:

1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia


2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (Normal: 32 –35 %)
3. Kadar Fe serum < 50 Ug/dl ( Normal 80 – 180 ug/dl)
4. Saturasi transferin < 15% (Normal 20 – 50 %)
5. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositik yang dikonfirmasi dengan kadar
MCV, MCH, dan MCHC yang menurun.
6. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang.

 PATOFISIOLOGI

25
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Pada tabel berikut 3 tahap defisiensi besi,
yaitu (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018):

a) Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi
protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi
non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui
adanya kekurangan besi masih normal.
b) Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC meningkat dan free erythrocyte
porphrin (FEP) meningkat.
c) Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi
yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan

26
kadar Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang
progesif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih
lanjut (Pranawa., dkk. 2015).
 TATA LAKSANA

1. Terapi farmakologi

Untuk pemberian obat obatan pada seorang yang mengalami anemia defisiensi
zat besi harus sesuai dengan hasil dari pemeriksaan laboratorium berupa serangkaian
pemeriksaan yang kompleks yang meliputi pemeriksaan kadar hb, gula darah dan rhd.
Apabila sudah ditentukan kadar hb maka bisa diberikan keterangan yang tepat untuk
obat obatan yang seharusnya diberikan. Diagnosis anemia defisiensi ditegakkan
berdasarkan (Fitriany, J., & Saputri, A.I. 2018):
1. anamnesis untuk mencari faktor predisposisi dan etiologi, antara lain: bayi berat
lahir rendah (BBLR), bayi kurang bulan, bayi yang baru lahir dari ibu anemia,
bayi yang mendapat susu sapi sebelum usia 1 tahun, danlainlain sebagainya.
2. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukanadanya gejala pucat menahun tanpa
disertai adanya organomegali, seperti hepatomegaly dan splenomegaly.
3. Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV
(PackedCell Volume), leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan indeks eritrosit,
retikulosit, saturasi morfologi darah tepi dan pemeriksaan status besi (Fe serum,
TIBC, transferrin, Free Erythrocyte Protoporphyrin(FEP), ferritin). Pada ADB

27
nilai indeks eritrosit MCV, MCH akan menurun, MCHC akan menurun pada
keadan berat, dan RDW akan meningkat. Gambaran morfologi darah tepi
ditemukan keadaan hipokrom, mikrositik, anisositik hipokrom biasanya terjadi
pada ADB, infeksi kronis dan thalassemia.

2. Terapi non farmakologi


Sementara anemia defisiensi besi adalah bentuk yang paling umum dan relatif
mudah diobati melalui perubahan pola makan, bentuk lain dari anemia memerlukan
intervensi kesehatan yang mungkin kurang dapat diakses. Karakterisasi anemia yang
akurat sangat penting untuk memahami beban dan epidemiologi masalah ini, untuk
merencanakan intervensi kesehatan masyarakat, dan untuk perawatan klinis orang-
orang di sepanjang perjalanan hidup (WHO).
WHO mengawasi beberapa program di seluruh Wilayah WHO untuk membantu
mengurangi prevalensi anemia melalui pengobatan dan pencegahan. Pedoman,
kebijakan, dan intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan keragaman pola makan,
memperbaiki praktik pemberian makan bayi, dan meningkatkan ketersediaan hayati
dan asupan zat gizi mikro melalui fortifikasi atau suplementasi dengan zat besi, asam
folat, serta vitamin dan mineral lainnya. Strategi komunikasi perubahan sosial dan
perilaku digunakan untuk mengubah perilaku terkait nutrisi. Intervensi untuk
mengatasi penyebab dasar dan penyebab anemia melihat isu-isu seperti pengendalian
penyakit, air, sanitasi dan kebersihan, kesehatan reproduksi dan akar penyebab seperti
kemiskinan, kurangnya pendidikan dan norma gender (WHO).
Pada tahun 2016, WHO memulai proyek lima tahun untuk meninjau pedoman
global untuk hemoglobin cut-off yang digunakan untuk mendefinisikan anemia dengan
tujuan untuk memberikan rekomendasi berdasarkan bukti untuk menilai anemia pada
individu dan populasi (WHO).
 KOMPLIKASI

Anemia yang tidak tertangani dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan
komplikasi yang membahayakan. Salah satunya adalah masalah pada jantung, seperti
detak jantung yang cepat dan tidak beraturan. Kondisi ini dapat memicu kardiomegali
atau gagal jantung (Sudoyo AW et al 2014).
28
Anemia defisiensi besi umumnya tidak menimbulkan komplikasi. Akan tetapi,
kondisi ini dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya jika tidak segera diobati, yaitu:

1. Masalah jantung, seperti gangguan irama jantung, yang dapat memicu kardiomegali
atau gagal jantung
2. Komplikasi kehamilan, kelahiran prematur, atau berat badan lahir yang rendah pada
bayi jika anemia terjadi pada ibu hamil
3. Gangguan pertumbuhan dan rentan terkena infeksi pada bayi atau anak-anak
4. Depresi (Pranawa., dkk. 2015).
 PROGNOSIS

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekuarnagn besi saja dan
diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia
dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi
kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai
berikut :

a. Diagnosis salah
b. Dosis obat tidak adekuat
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlansgung menetap
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti : infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi
vitamin B12, asam folat)
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada
ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi).
 KIE
Untuk KIE sendiri sebagai seorang dokter kita harus menjelaskan tentang anemia
defisiensi besi ini, selanjutnya menjelaskan tahapan penatalaksanaan yang dapat dilakukan
serta melakukan pemantauan terhadap pasien.
Tatalaksasana dan KIE yang dapat kita lakukan pada penderita anemia defisiensi
besi yaitu (Fitriany, J., & Saputri, A. I. 2018):
Pemberian Fe elemental dan folic acid

29
1) Pada usia 0-5 tahun dan balita masa menyusui dapat diberikan 20 mg Fe (2-
3mg/kgBB/hari) elemental dan 100 microgram folic acid per ml selama 100 hari.
2) Pada usia 6-10 tahun dapat diberikan 30 mg Fe (1mg/kgBB/hari) elemental dan 100
microgram folic acid per ml selama 100 hari dalam setahun.
3) Pada remaja usia 10-19 tahun dapat diberikan 100 mg Fe elemental dan 500 microgram
folic acid per ml selama 100 hari.
4) Pada wanita hamil dan menyusui dapat diberikan 100 mg Fe elemental dan 500
microgram folic acid setiap hari selama 100 hari pada masa kehamilan dan dosis yang
sama menyusui.
Jika pemberian secara per oral tidak dapat diberikan. Pemberian besi secara
intramuscular dapat digunakan sebagai alternative. Injeksi preparat zat besi menyebabkan
limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikan kadar Hb tidak
lebih baik disbanding peroral. Preparat yang dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini
mengandung 50mg besi/ml. dosis dihitung berdasarkan (Fitriany, J., & Saputri, A. I.
2018):
Dosis besi(mg)-BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5 Secara umum,
untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb < 4g/dl hanya diberikan PRC dengan dosis
2-3 ml/kgBB persatuan kali pemberian diuretic seperti furosemid. Jika terdapat gagal
jantung nyata dapat dipertimbangan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yag
segar (Sudoyo AW et al 2014).
Pencegahan merupakan tujuan uttama dalam penanganan masalah anemia
defisiensi besi, untuk itu diperlukan pendidikan tentang pemberian makanan dan suplemen
besi (Sudoyo AW et al 2014).

30
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan diatas, kesimpulan yang bisa saya ambil dari lbm 1 ini yakni
anemia terjadi karena kekurangan eritrosit (sel darah merah) pada tubuh. Penyebab dari
kekurangan eritrosit ini bermacam macam, ada yang dari factor intrinsic dan factor ekstrinsik. Pada
lbm 1 ini pasien didiagnosis anemia defisiensi besi, yang diperjelas dengan scenario yang
mengatakan bahwa pasien tidak suka memakan daging, yang dimana kita mengetahui daging
merupakan sumber dari zat besi. Pasien ini juga suka mengonsumsi teh kemasan, di dalam teh
kemasan ada kandungan yang dinamakan thamin, ini merupakan zat yang bisa menghambat
absorpsi zat besi pada duodenum dan jejenum. Tata laksana pertama bisa kita lakukan adalah
memakan makanan yang tinggi zat besi, dan menyarankan pasien untuk tidak lagi meminum teh
kemasan diganti dengan air putih.

31
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Singapura:
Elsevier Saunders.

Fitriany, J., & Saputri, A. I. (2018). Anemia defisiensi besi. AVERROUS: JurnalKedokteran dan
Kesehatan Malikussaleh, 4(2), 1-14.

Guyton & Hall. 2016. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi revisi berwarna ke-12. Elsevier :
Singapore.
Huether, Sue E & Kathryn L. McCance. 2019. “Buku Ajar Patofisiologi”. Edisi Keenam. Volume
1. Elsevier. Singapore.
Julia F., & Amelia I. S., 2018. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Averrous Vol.4 No.2.
Liwang , F. (2020). Kapita Selekta Kedokteran: Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius.
Pranawa., dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan
UNAIR, Airlangga University Press.
Sherwood, Lauralee. 2018. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem edisi 9 ; alih bahasa, Lydia I.
Mandera, H.H. Pendit ; editor edisi bahasa Indonesia, Miranti Iskandar. Jakarta: EGC.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

32

Anda mungkin juga menyukai