Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN

TUTORIAL LBM 1 “LEMAS”


BLOK HEMATOLOGI & IMUNOLOGI

Disusun Oleh:

Nama : Tilka Ayattullah


NIM : 020.06.0083
Blok SP : Hematologi & Imunologi
Kelas/SGD : B/11
Tutor : dr. Sahrun Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Tutorial
LBM 1 “LEMAS” Blok Hematologi & Imunologi dan dapat diselesaikan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan
laporan dengan baik.
2. dr. Sahrun Sp. P selaku fasilitator dalam SGD kelompok 11 atas segala masukan,
bimbingan dan kesabaran dalam menghadapi keterbatasan kami.
3. Keluarga dan teman yang saya cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Saya menyadari bahwa dalam proses pembuatan laporan ini sampai dengan selesai masih
banyak kekurangannya, maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan laporan ini. Saya berharap semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 11 November 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .........................................................................................................................2


Daftar Isi ...................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................6
BAB III.....................................................................................................................................20
Kesimpulan...............................................................................................................................20
Daftar Pustaka.........................................................................................................................21

3
BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO

LBM 1
LEMAS

Seorang Perempuan, Nn.A, berusia 19 tahun, datang ke IGD RS X dengan keluhan


lemas yang di rasakan memberat sejak seminggu yang lalu, di mulai setelah pasien bekerja
sebagai buruh. Pasien jarang memiliki waktu makan, pasien juga tidak suka mengkonsumsi
daging merah, dan sering meminum the kemasan. Pasien mengeluhkan mengalami kesulitan
menelan, pusing berputar, jantung berdebar, sesak nafas dan tampak pucat. Keluhan di
rasakan setelah aktivitas ringan maupun berat. Dokter kemudian melakukan pemeriksaan
fisik dan mengusulkan pemeriksaan tambahan.

Dari hasil pemeriksaan fisik di dapatkan Tanda Vital Compos mentis, TD 90/70,
N120x/m, RR 22x/m, T 36,5. Konjungtiva anemis (+/+), fissure pada sudut mulut, dan atrofi
pada lidah, dan koilonykia. Pemeriksaan fisik yang lain masih dalam batas normal. Dokter
kemudian mengusulkan melakukan pemeriksaan penunjang laboratorium di dapatkan hasil
Hb : 5,2 gr/dl, HCT: 30,7% Leukosit: 10.000 mm3, trombosit : 275.000/ul. MCV: 70,8 fl,
MCH :22,9 pg , MCHC: 30, 2 g/dl.

Dalam skenario ini didapatkan beberapa topik permasalahan yang perlu dibahas
diantaranya:

Apa hubungan keluhan utaman nyonya A (lemas) dengan riwayat yang diderita
(sebagai buruh, sering minum kemasan, tidak suka mengkonsumsi daging merah)? Jadi,
Hubungannya adalah sebagai seorang buruh tentunya akan memerlukan nutrisi tambahan
namun nyonya A jarangg memiliki waktu makan tentunya nutrisi yang dibutuhkan akan
kurang dan itu akan menyebabkan lemas. Selanjutnya jarang mengkonsumsi daging merah ini
juga berpengaruh terhadap keluhannya yaitu karena kandungan zat besi yang berguna untuk
pembentukan eritrosit yang dimana jika ini kurang akan menyebabkan anemia. Serta
kebiasaan mengkonsumsi teh kemasan ini kurang bagus karna mengandung tanin yang dapat
menghambat penyerap dari zat besi itu sendiri.

4
Apa hubungan pasien mengeluhkan kesulitan menelan, pusing berputar, jantung
berdebar, sesak nafas dan tanpak pucat dengan riwayat pasien? Jadi, hubungannya adalah
keluhan yang dirasakan merupakan gejala dari anemia defisiensi besi yang kemungkinan
diderita oleh nyonya A karena melihat keluhan yang diderita yaitu sebagai buruh, sering
minum kemasan, tidak suka mengkonsumsi daging merah.

5
BAB II

PEMBAHASAN

1. DD (Definisi, Etiologi, Epidemiologi, Manifestasi klinis, P.fisik dan P.penunjang)

A. ANEMIA APLASTIK
Anemia aplastik didefinisikan sebagai pansitopenia (berkurangnya jumlah
semua jenis sel darah yaitu sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit dalam
darah) akibat aplasia sumsum tulang. Aplasia sumsum tulang berarti tidak
berfungsinya sumsum tulang (Wirakusumah, 2014).
 Etiologi
Sebagian besar adalah idiopatik, beberapa penyebab lain yang sering dikaitkan
dengan dengan anemia aplastic adalah kelainan kongenital, radiasi, bahan kimia,
obat obatan idosinkrotik dan infeksi virus.

Penyebab anemia aplastik


Primer Sekunder
Kongenital (tipe Radiasi pengion: pajanan tak sengaja (radioterapi, isotope
Fanconi dan radioaktif, stasiun pembangkit listrik nuklis)
non-Fanconi)
Didapat Bahan kimia: benzene, organofosfat dan pelarut organic
idiopatik lainnya, DDT dan pestisida lainnya, organoklorin, obat
rekreasional (ekstasi)
Obat: obat yang umumnya menekan sumsum tulang (mis.
Busulfan, melfalan, siklofosfamid, antrasiklin, nitrosouea)
Obat yang kadang atau jarang menyebabkan depresi sumsum
tulang (mis. Kloramfenikol, sulfonamide, emas, obat anti-
inflamasi, antitiroid, psikotropik, obat
antikejang/antidepresan)
Virus: virus hepatitis (non-A, non-B, non-C, pada sebagian
besa kasus)
EBV, virus
Epstein-Barr

6
 Epidemiologi
Insidensi per tahun kasus anemia aplastik di Eropa diperkirakan sekitar 2
kasus per 1 juta populasi. Anemia aplastik diperkirakan lebih sering dijumpai di
benua Asia. Angka insidensi di Thailand berkisar dari 4-6 kasus per satu juta
populasi. Ditemukan peningkatan kecil insiden anemia aplastik pada anak-anak
oleh karena inklusi sindrom kegagalan sumsum tulang bawaan. Puncak insiden
kedua anemia aplastik ditemukan pada orang yang berusia antara 20-25 tahun
(Pranawa, 2015).

 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan anemia aplastik dapat berupa:
1) Sindrom anemia :
a) Sistem kardiovaskuler : rasa lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak napas
intoleransi terhadap aktivitas fisik, angina pectoris hingga gejala
payah jantung.
b) Susunan saraf : sakit kepala, pusing, telingga mendenging, mata
berkunang-kunang terutama pada waktu perubahan posisi dari posisi
jongkok ke posisi berdiri, iritabel, lesu dan perasaan dingin pada
ekstremitas.
c) Sistem pencernaan : anoreksia, mual dan muntah, flaturensi, perut
kembung, enek di hulu hati, diare atau obstipasi.
2) Gejala perdarahan : ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan
subkonjungtiva, perdarahan gusi, hematemesis/melenaatau menorhagia
pada wanita. Perdarahan organ dalam lebih jarang dijumpai, namun jika
terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.
3) Tanda-tanda infeksi: ulserasi mulut atau tenggorokan, selulitis leher, febris,
sepsis atau syok septic (Huether, 2019).
 Pemeriksaan fisik
Melihat wajah dan menilai adanya tanda-tanda pansitopenia, misalnya
konjungtiva pucat atau petekie serta menilai adanya tanda sindrom bawaan
spesifik, misalnya mikrosefalus (Pranawa., dkk. 2015).
 Pemeriksaan penunjang

7
a) Pemeriksaan penunjang yang di lakukan antara lain: cek darah lengkap,
kimia klinik, rotgen thorax dan EKG.
b) Tes serologi atau pemeriksaan sitogenetik juga dapat dilakukan untuk
mengevaluasi penyebab anemia aplastik.
c) Pemeriksaan Sumsum Tulang: Aspirasi sumsum tulang biasanya
mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak
dan relatif sedikit sel hematopoiesis (Pranawa., dkk. 2015).

B. ANEMIA DEFISIENSI BESI


ADB adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan cadangan zat besi. Zat
besi yang tidak adekuat menyebabkan berkurangnya sintesis hemoglobin sehingga
menghambat proses pematangan eritrosit. Zat besi yang tidak adekuat disebabkan
oleh rendahnya asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang
dikonsumsi menurun (makanan banyak serat, rendah daging, dan rendah vitamin
C), kebutuhan akan zat besi yang meningkat (pada bayi prematur, anak dalam
pertumbuhan, ibu hamil dan menyusui) (Pranawa, 2015).
 Etiologi
a) Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya
ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi.
Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga
darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2 mg) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif
besi. Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced
enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat,
kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan infeksi cacing
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus
bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.
b) Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB
pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
c) Malabsorpsi besi
Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami
perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami

8
gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita
mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah
asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat
utama penyerapan besi heme dan non heme. Kebanyakan anak-anak dengan
defisiensi besi tidak menunjukkan gejala dan baru terdeteksi dengan skrining
laboratorium pada usia 12 bulan.
d) Menstruasi
Salah satu faktor pemicu anemia adalah kondisi siklus menstruasi yang tidak
normal. Kehilangan banyak darah saat menstruasi diduga dapat menyebabkan
anemia (Merryana dan Bambang, 2013)
 Manifestasi klinis
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8
g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang,
serta telinga mendenging. Anemia bersifat simptomatik jika hemoglobin < 7 gr/dl,
maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah
kuku.
Gejala khas dari anemia defisiensi besi adalah:
1. Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh dan
bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.
2. Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah tampak licin dan
mengkilap yang disebabkan oleh menghilangnya papil lidah
3. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak
sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
4. Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring (Wirakusumah,
2014).
 Epidemiologi
ADB merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai, terutama di negara
berkembang berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat. Di
Indonesia, anemia defisiensi besi terjadi pada 16-50% laki-laki dan 25-48%
perempuan; 46-92% ibu hamil dan 55,5% balita (Pranawa, 2015).
 Pemeriksaan Fisik

9
1. Tanda-Tanda Vital meliputi = Keadaan umum , Compos mentis, Tekanan
darah, Nadi , RR, Suhu badan, Tinggi badan, Berat badan, BMI
2. Pucat dapat terlihat pada: konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan
jaringan di bawah kuku.
 Pemeriksaan penunjang.
1. Cek darah lengkap.
2. Pengukuran kadar hemoglobin dan indeks eritrosit
3. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (perl’s stain)
4. Pemeriksaan Kadar besi serum
5. Pemeriksaan Sumsum tulang

C. ANEMIA HEMOLITIK
Anemia hemolitik merupakan anemia yang terjadi akibat menurunnya kadar
hemoglobin akibat peningkatan detruksi eritrosit yang lebih cepat di bandingkan
pembentukannya (Ridwan, 2014).
 Etiologi
Anemia hemolitik dapat diturunkan dari orang tua atau berkembang setelah
lahir. Beberapa penyebab anemia hemolitik yang dipicu oleh faktor keturunan
adalah: Anemia sel sabit, Sferositosis, Ovalositosis, Thalasemia, Kekurangan
enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan Kekurangan enzim piruvat
kinase
Sedangkan kondisi di luar faktor keturunan yang dapat menyebabkan anemia
hemolitik antara lain:
1. Penyakit infeksi, seperti tipes, hepatitis, infeksi virus Epstein-Barr, atau
infeksi bakteri coli jenis tertentu.
2. Penyakit autoimun, seperti anemia hemolitik autoimun (AIHA), lupus,
rheumatoid arthritis, dan kolitis ulseratif.
3. Efek samping obat-obatan, seperti obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS),
paracetamol, dapsone, levodopa, metildopa, rifampicin, serta beberapa jenis
antibiotik, seperti levofloxacin, penisilin, nitrofurantoin, dan sefalosporin.
4. Penyakit kanker, terutama kanker darah (Ridwan, 2014).
 Epidemiologi

10
Epidemiologi anemia hemolitik diperkirakan sebesar 5% dari total kejadian
anemia. Data epidemiologi menunjukkan bahwa anemia hemolitik tidak memiliki
kecenderungan jenis kelamin dan ras. Hanya saja, pada Autoimmune Hemolytic
Anemia angka kejadianya dilaporkan sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria. Selain itu, defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) lebih banyak
ditemukan pada laki-laki karena diturunkan secara X resesif. Pada defisiensi
G6PD, perempuan menjadi karier. Dilaporkan insiden anemia hemolitik sebesar
0.8/100.00/tahun dan prevalensinya sebesar 17/100.000 (Huether, 2019).
 Manifestasi klinis
Gejala anemia hemolitik bisa ringan di awal penyakit, kemudian memburuk
secara perlahan atau tiba-tiba. Gejalanya bervariasi pada setiap penderita, di
antaranya:

 Pusing.
 Kulit pucat.
 Tubuh cepat lelah.
 Demam
 Urine berwarna gelap.
 Kulit dan bagian putih mata menguning (penyakit kuning)
 Perut terasa tidak nyaman akibat organ limpa dan hati membesar.
 Jantung berdebar (Setyohadi B, 2014).

 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pada wajah dan abdomen
 Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan darah lengkap. Lewat pemeriksaan ini bisa Dilihat ada-tidaknya
anemia, atau infeksi yang menyebabkannya. Bisa juga melihat kemungkinan
gangguan darah yang berisiko menyebabkan anemia hemolitik. Melalui
pemeriksaan ini juga akan diketahui peningkatan produksi sel darah merah
yang dapat menjadi indikasi adanya anemia hemolitik. 
b) Pemeriksaan bilirubin. Tes ini mengukur tingkat hemoglobin sel darah merah
yang telah dipecah dan diproses hati.

11
c) Tes fungsi hati. Tes ini mengukur kadar protein, enzim hati, dan bilirubin
dalam darah
d) Serum Laktat Dehidrogenase (LDH) dan serum haptoglobin. Kenaikan kadar
LDH dan perubahan kadar serum haptoglobin dapat membantu dokter
mendiagnosis kondisi dan jenis anemia hemolitik.
e) Tes retikulosit. Tes ini mengukur berapa banyak sel darah merah yang belum
matang, yang seiring waktu berubah menjadi sel darah merah, yang diproduksi
oleh tubuh. 
f) Tes coombs. Untuk menelisik kemungkinan antibodi yang menyerang sel
darah merah (Huether, 2019).

D. ANEMIA MEGALOBASTIK
Anemia megaloblastik adalah anemia makrositik yang disebabkan oleh
defisiensi atau gangguan penggunaan vitamin B12 atau asam folat. Penyebab
tersering dari anemia megaloblastik adalah defisiensi vitamin B12 yang dapat
terjadi karena asupan yang kurang, malabsorpsi akibat tidak adanya faktor
intrinsik, kelainan kongenital, atau paparan nitrit oksida. Anemia megaloblastik
sebetulnya adalah kondisi panmyelosis, walaupun namanya menggambarkan
seolah gangguan hanya terbatas di sel darah merah. Pada kasus yang jarang,
anemia megaloblastik dapat menampilkan gambaran nuklei megaloblastik imatur
dan proliferasi myeloid intens di sumsum tulang. Hal ini dapat menyebabkan
misdiagnosis dengan leukemia (Liwang, 2020).
 Etiologi
Beberapa penyebab dari anemia megaloblastik adalah karena asupan asam
folat yang kurang (pemberian nutrisi yang tidak seimbang), gangguan absorbs atau
adanya gangguan pada gastrointestinal, pemberian obat yang menghambat kerja
asam folat (Setyohadi B, 2014).
 Epidemiologi
Anemia megaloblastik dilaporkan lebih tinggi di area dengan prevalensi
malnutrisi yang tinggi dan dengan ketersediaan suplementasi yang buruk untuk
populasi berisiko (misalnya ibu hamil dan menyusui). Prevalensi anemia secara
global menurut WHO sebesar 24,8%. Selama 20 tahun terakhir, Insidensi anemia
megaloblastik dilaporkan meningkat. Anemia megaloblastik lebih sering

12
didapatkan pada pasien berusia di atas 40 tahun, dan semakin meningkat pada
pasien lanjut usia (Huether, 2019).
 Manifestasi klinis
Adapun gejala umum dari anemia jenis ini adalah :

 Sesak napas.
 Mati rasa di setiap ujung tubuh; misal ujung jari tangan dan ujung jari kaki.
 Lidah membengkak.
 Diare.
 Mual.
 Kram otot.
 Kulit terlihat pucat.
 Kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan secara drastic (Liwang , F.
2020).

 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan pada wajah

 Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan darah lengkap


 Pemeriksaan darah tepi :
 Schilling test: dilakukan untuk mendeteksi kecepatan absorpsi vitamin B12.
Pasien diberikan vitamin B12 per oral dan dilakukan pemeriksaan kadar urine
24 jam untuk melihat kandungan kobalamin
 Apusan sumsum tulang : pemeriksaan ini jarang dilakukan. Dapat ditemukan
megaloblast, mitotic figures, metamyelosit, dan Perl’s stain (Pranawa., dkk.
2015).

E. THALASEMIA
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan
pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat
membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak
atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia (Herdata.N.H.
2008 dan Tamam.M. 2009).

13
 Etiologi
Talasemia dapat diturunkan pada anak dengan Talasemia mayor dapat lahir
dari perkawinan antara kedua orang tua yang dua-duanya pembawa sifat. Seorang
pembawa sifat Talasemia secara kasat mata tampak sehat (tidak bergejala), hanya
bisa diketahui melalui pemeriksaan darah dan analisis hemoglobin. Berdasarkan
Hukum Mendel mekanisme penurunan Talasemia ke generasi berikutnya dapat kita
lihat pada gambar. Penyakit Talasemia Mayor yang berat mulai terlihat ketika anak
pada usia dini, dengan gejala pucat karena anemia, lemas, tidak nafsu makan, sukar
tidur. Kelahiran pasien Talasemia mayor dapat dihindari dengan mencegah
perkawinan antara dua orang pembawa sifat Talasemia. Pada pasangan orang tua
yang salah satunya pembawa gen Talasemia Minor, berisiko mempunyai anak
pasien Talasemia Minor 50%. Pasangan tersebut tidak akan mempunyai anak
dengan Talasemia Mayor, tetapi jika kedua orang tuanya membawa gen Talasemia
Minor (pembawa sifat) maka mereka dapat kemungkinan 50% anaknya Talasemia
Minor, 25% sehat, dan 25% sisanya dengan Talasemia Mayor (Kemenkes, 2017).
 Epidemiologi
Thalassemia menyatakan prevalensi yang lebih tinggi untuk thalassemia alfa
untuk penduduk Asia dan beta untuk penduduk Mediteran. Thalassemia alfa
kemungkinan adalah penyakit single gene paling banyak di dunia. Terdapat sekitar
270 juta karier untuk gen thalassemia alfa. Setiap tahun sekitar 300,000-400,000
bayi dilahirkan dengan thalassemia alfa yang berat, dengan lebih dari 95% terdapat
di Asia, India, atau Timur Tengah. Frekuensi alel thalassemia alfa adalah sekitar 5-
10% pada daerah Mediteran, 20-30% di daerah Afrika Barat, dan setinggi 60-80%
pada bagian Arab Saudi, India, Thailand, Papua Nugini, dan Melanesia (Huether,
2019).
 Manifestasi klinis
Keadaan yang berat pada beta-thalasemia mayor akan mengalami anemia
karena kegagalan pembentukan sel darah, penderita tampak pucat karena
kekurangan hemoglobin. Perut terlihat buncit karena hepatomegali dan
splenomegali sebagai akibat terjadinya penumpukan Fe, kulit kehitaman akibat dari
meningkatnya produksi Fe, juga terjadi ikterus karena produksi bilirubin
meningkat. Gagal jantung disebabkan penumpukan Fe di otot jantung, deformitas

14
tulang muka, retrakdasi pertumbuhan, penuaan dini (Herdata.N.H. 2008 dan
Tamam. M. 2009).
 Pemeriksaan penunjang
Transfusion dependent thalassemia (TDT), non-transfusion dependent thalassemia
(NTDT), transplantasi sumsum tulang, dan terapi kelasi (chelation therapy).

F. HEMOGLOBINOPATI
Hemoglobinopati adalah sekelompok penyakit yang mempunyai sifat
keturunan dengan manifestasi berupa bentuk atau produksi hemoglobin yang
abnormal. Hemoglobinopati sering ditemukan pada anemia sel sabit, thalassemia,
dan hemoglobin E. Hemoglobinopati diakibatkan oleh mutasi gen yang mengkode
rantai globin alfa dan beta pada molekul hemoglobin (Hb). HbS yang abnormal
merupakan hasil mutasi yang disebabkan oleh tertukarnya asam amino glutamat
dengan valine pada posisi 6 rantai beta globin (Setyohadi B, 2014).
 Etiologi
Etiologi yang paling memegang peranan penting pada hemoglobinopati adalah
adanya riwayat thalassaemia trait pada orang tua pasien.
Faktor risiko hemoglobinopati adalah ditemukannya riwayat hemoglobinopati
pada keluarga pasien. Hemoglobinopati umumnya adalah penyakit yang diturunkan
secara autosomal resesif, dengan risiko 1 banding 4 (25%) untuk mengalami
penyakit berat pada anak yang kedua orang tua nya merupakan karier
hemoglobinopati (Sudoyo AW, 2014).
 Epidemiologi
Hemoglobinopati secara global umum ditemukan pada populasi Mediterania,
Afrika, Afrika-Amerika, dan Asia. Diperkirakan sekitar 270 juta orang atau 7%
dari seluruh populasi dunia merupakan karier penyakit Hemoglobinopati, dan
300,000–400,000 bayi dengan manifestasi berat Hemoglobinopati berupa penyakit
sel sabit dilahirkan setiap tahunnya (Huether, 2019).
 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan hitung sel darah merah dan eritrosit index, dan pemeriksaan
hemoglobin seperti hemoglobin electrophoresis dan chromatography (Sudoyo
AW, 2014).

15
2. Penentuan DX
Berdasarkan riwayat serta keluhan serta pemeriksaan yang telah dilakukan ini lebih
mendekat kearah anemia defisiensi besi hal ini karena Diagnosis ADB ditegakkan
berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat
mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Ada beberapa kriteria
diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB (Julia F, 2018).

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO dan Lanzkowsky:

1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia


2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (Normal: 32 –35 %)
3. Kadar Fe serum < 50 Ug/dl ( Normal 80 – 180 ug/dl)
4. Saturasi transferin < 15% (Normal 20 – 50 %)
5. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositik yang dikonfirmasi dengan kadar
MCV, MCH, dan MCHC yang menurun.
6. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang.

3. DX (Patofisiologi, TX, Komplikasi, Prognosis, KIE)

PATOFISIOLOGI
a) Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi
protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi
non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui
adanya kekurangan besi masih normal.
b) Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC meningkat dan free erythrocyte
porphrin (FEP) meningkat.

16
c) Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi
yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan
kadar Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang
progesif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih
lanjut (Pranawa., dkk. 2015).

TATA LAKSANA
1. Terapi non farmakologi
Pasien Anemia hendaknya melakukan terapi non farmakologi untuk membantu
penyembuhan, yaitu dengan cara sebagai berikut:
a) Meningkatkan konsumsi makanan bergizi.
b) Makan makanan yang banyak mengandung zat besi dari bahan makanan
hewani (daging, ikan, ayam, hati dan telur) dan bahan makanan nabati
(sayuran berwarna hijau tua, kacang-kacangan, tempe).
c) Makan sayur-sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung vitamin C
(daun katuk, daun singkong, bayam, jambu, tomat, jeruk dan nanas) sangat
bermanfaat untuk meningkatkan penyerapan zat besi dalam usus.
d) Mengobati penyakit yang menyebabkan atau memperberat anemia seperti:
kecacingan, malaria, dan penyakit TBC (Ferry dkk, 2020).

2. Terapi farmakologi
1) Menambah pemasukan zat besi ke dalam tubuh dengan minum Tablet Tambah
Darah (TTD). Tablet tambah darah adalah tablet besi folat yang setiap tablet
mengandung 200 mg ferro sulfat atau 60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam
folat. Wanita dan remaja putri perlu minum tablet tambah darah karena wanita
mengalami haid sehingga memerlukan zat besi untuk mengganti darah yang
hilang. Tablet tambah darah mampu mengobati penderita anemia,
meningkatkan kemampuan belajar, kemampuan bekerja dan kualitas sumber
daya manusia serta generasi penerus. Anjuran minum yaitu minumlah satu
tablet tambah darah seminggu sekali dan dianjurkan minum satu tablet setiap
hari selama haid. Minumlah tablet tambah darah dengan air putih, jangan

17
minum dengan teh, susu atau kopi karena dapat menurunkan penyerapan zat
besi dalam tubuh sehingga manfaatnya menjadi berkurang.
2) Memberikan preparat besi.
a. Preparat besi oral: Sulfas ferrosus: 4x1 tab, Ferrous fumarat: 4 x 1 tab d:o
Ferrous glukonat 3 x 1 tab. Pemberian preparate besi ini dilanjutkan 4-6
bulan susudah Hb normal. Obat ini aman digunakan, hanya kadang-
kadang dapat memberiken efek samping berupa nyeri epigastrium,
konstipasi dan diare.
b. Pemberian preparat besi parenteral: Hanya dianjurkan pada penderita yang
mengalami intoleransi gastrointestinal berupa mual dan muntah. Preparat
besi parenteral yang lazim digunakan adalah Inferon, Jectofer, atau vetofer
(Ferry dkk, 2020).

KOMPLIKASI
Anemia defisiensi besi umumnya tidak menimbulkan komplikasi. Akan tetapi, kondisi ini
dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya jika tidak segera diobati, yaitu:

1. Masalah jantung, seperti gangguan irama jantung, yang dapat memicu kardiomegali
atau gagal jantung
2. Komplikasi kehamilan, kelahiran prematur, atau berat badan lahir yang rendah pada
bayi jika anemia terjadi pada ibu hamil
3. Gangguan pertumbuhan dan rentan terkena infeksi pada bayi atau anak-anak
4. Depresi (Pranawa., dkk. 2015).

PROGNOSIS
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekuarnagn besi saja dan diketahui
penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan
manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi
kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :

a. Diagnosis salah
b. Dosis obat tidak adekuat
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa

18
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlansgung
menetap
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti : infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi
vitamin B12, asam folat)
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada
ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi).

KIE
Untuk KIE sendiri sebagai seorang dokter kita harus menjelaskan tentang anemia defisiensi
besi ini, selanjutnya menjelaskan tahapan penatalaksanaan yang dapat dilakukan serta
melakukan pemantauan terhadap pasien.

19
BAB III

KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa anemia defisiensi besi adalah
anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena
cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan
hemoglobin berkurang. Prinsip pengobatan anemia defisiensi besi adalah memperbaiki
etiologi yang menjadi dasar terjadinya anemia (mengembalikan substrat yang dibutuhkan
dalam produksi eritrosit) dan meningkatkan Hemoglobin hingga angka 12 gr/dl. Apabila
terjadi anemia defisiensi besi maka segera obati dengan menggunakan preparat besi dan
dicari kausanya serta pengobatan terhadap kausa ini harus juga dilakukan. Dengan
pengobatan yang tepat dan adekuat maka anemia defisiensi besi ini dapat disembuhkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9.
Singapura: Elsevier Saunders.
Huether, Sue E & Kathryn L. McCance. 2019. “Buku Ajar Patofisiologi”. Edisi Keenam.
Volume 1. Elsevier. Singapore.
Julia F., & Amelia I. S., 2018. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Averrous Vol.4 No.2.
Pranawa., dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan UNAIR, Airlangga University Press.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Liwang , F. (2020). Kapita Selekta Kedokteran: Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius.

21

Anda mungkin juga menyukai