Anda di halaman 1dari 9

TUGAS ESSAI

“Penyakit Autoimun Rheumatologi”

Nama : Rosalina Yolanda

NIM : 020.06.0073

Blok SP : Hematologi & Imunologi I

Dosen : dr. Kadek Dwi Pramana, M. Biomed, Sp.PD., FINASIM

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2021/2022
LATAR BELAKANG

Pada materi ini dijelaskan mengenai penyakit systemic lupus erythematosus (SLE), yang
merupakan penyakit autoimun yang berkembang pada individu yang rentan secara genetic
sebagai respon terhadap lingkungan. yang dimana, akan dibahas dimulai dari definisi, etiologi,
gejala dan tanda, sampai penatatalaksana yang akan dilakukan dalam menghadapi gangguan
tersebut. Hal ini sangat penting untuk di pelajari untuk memahami bagaiamana gejala yang
terjadi pada penyakit SLE ini, dan sangat bermanfaat bagi kita sebagai calon dokter kedepannya
dalam menghadapi pasien kelak.

ISI

Seperti yang kita ketahui, Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun
yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem
organ dalam tubuh. Peristiwa imunologi yang memicu timbulnya manifestasi klinis SLE belum
diketahui secara pasti. Lupus eritematosus sistemik/systemic lupus erythematosus (SLE)
merupakan penyakit autoimun multisistem dengan manifestasi khas dan perilaku klinis
bervariasi. Secara klinis, tidak dapat diramalkan, penyakit yang mereda dan kambuh dengan
permulaan akut atau berangsur-angsur yang dapat menjangkiti hampir semua organ di badan;
walaupun demikian, penyakit tersebut terutama mengenai kulit, ginjal, membran serosum, sendi
dan jantung. Secara imunologi, penyakit ini berhubungan dengan berbagai macam autoantibodi,
termasuk yang klasik adalah antibodi antinukleus (antinudear antibody/ANA). Presentasi klinis
SLE sangat bervariasi, banyak tumpang tindih dengan penyakit autoimun lain (RA, polimiositis
dan lain-lain); sehingga perlu dikembangkan kriteria diagnostik SLE. Diagnosis ditegakkan
dengan memenuhi empat atau lebih kriteria selama masa observasi.
Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem pertahanan tubuh
(sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh
tissue- binding autoantibody dan kompleks imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa
menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya belum diketahui secara pasti, dengan
perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminanatau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi
disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody dalam tubuh. Sistem imun normal akan
melindungi kita dari serangan penyakit yang diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar
tubuh kita. Tetapi pada penderita lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru
menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan
menyebabkan peradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna
kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu
penyakit ini dinamakan sistemik karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus
hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut lupus kulit (lupus
kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingka Lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).

Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, Systemic
Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. 1) Discoid Lupus, Lesi berbentuk
lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan
folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung,
dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan
jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap. 2) Systemic
Lupus Erythematosus, SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun
berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan. Terbentuknya
autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleo protein intraseluler, sel-sel darah, dan
fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanime pengaktivan komplemen.
3) Lupus yang diinduksi oleh obat, yang dimana, lupus yang disebabkan oleh induksi obat
tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing
oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang
benda asing tersebut.

Etiologi

SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA- DRB1,IRF5,
STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan. Interaksi ketiga
faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imun yang abnormal. Selain itu, terdapat juga
beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya SLE yaitu, 1)Faktor Genetik yang
meliputi Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering dari pada pria dewasa,
Umur biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun, Etnik, Faktor keturunan, dengan
Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut. 2)
Faktor Resiko Hormon, yang dimana, hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan
androgen mengurangi resiko ini. 3) Sinar UV, Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun
sehingga terapimenjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambahberat. Ini
disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin danprostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat
tersebut maupunsecara sistemik melalui peredaran pebuluh darah. 4) Imunitas, Pada pasien SLE,
terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T. 4) Obat, yang dimana obat tertentu
dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentudan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat mencetuskanlupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenisobat yang
dapat menyebabkan Lupus Obat adalah : Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat :
Kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid. Obat yang mungkin
menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin. Hubungannya belum jelas :
garam emas, beberapa jenis antibiotic dan griseofurvin. 6) Infeksi, Pasien SLE cenderung mudah
mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi. 7) Stres, Stres berat
dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini.

Epidemiologi

Masih belum didapatkan data pasti mengenai prevalensi SLE di Indonesia. Di AS,angka
yang paling dapat dipercaya adalah 0,05 – 0,1% dari populasi, namun didapatkan angka yang
berbeda pada berbagai laporan. Beberapa ras, seperti kaum kulit hitam, keturunan asli Amerika,
dan keturunan Hispanik, berisiko lebihtinggi terhadap SLE dan dapat mengalami penyakit yang
lebih parah. Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini
kelihatannya lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara keturunan kulit
hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan kulit hitam di Afrika. SLE jarang
terjadi pada usia prepubertas namun sering dimulai pada usia dekade kedua hingga keempat;
beberapa studi menunjukkan puncak kedua kasus baru pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi jenis
kelamin cukup jelas; SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali lipat
daripada pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali lebih
sering daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria adalah 8:1.1,2,3,4 3
Sesuai dengan teori yang mengatakan SLE lebih sering pada jenis kelamin perempuan, kasus ini
juga adalah perempuan. Sesuai dengan studi yang mengatakan puncak kedua SLE pada usia
sekitar 50, kasus ini berumur 48 tahun.

Patofisiologi

Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) terjadi akibat terganggunya regulasi


kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralasin
(Apresoline ,prokainamid (Pronestyl), isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan disamping makanan kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat
senyawa kimia atau obat-obatan.

Manifestasi Klinis
SLE adalah penyakit multisistem yang sangat bervariasi dalam tampilan klinisnya. Secara
khas, penderita adalah wanita muda dengan sebagian, tetapi kadang-kadang semuanya, dari
perangai berikut: ruam menyerupai kupu-kupu di wajah, demam, nyeri dan pembengkakan pada
satu atau lebih sendi perifer (tangan dan pergelangan tangan, lulut, kaki, pergelangan kaki, siku,
bahu), nyeri dada karena pleuritis dan fotosensitivitas. Walaupun demikian, pada banyak
penderita, tampilan klinis SLE tidak jelas dan meragukan, dalam bentuk seperti penyakit demam
yang tidak diketahui sebabnya, kelainan analisis urin atau penyakit sendi menyerupai artritis
reumatika atau demam reuma. ANA ditemukan pada hampir 100% penderita, tetapi hal yang
penting adalah bahwa ANA tidak spesifik. Beragam penemuan klinis mungkin mengarah ke
terjangkitnya ginjal, termasuk hematuria, "cast" sel darah merah, proteinuria, dan sindrom
nefrotik klasik. Bukti laboratorik dari beberapa kelainan hematologik lazim terjadi, dan pada
sebagian penderita anemia atau trornbositopenia mungkin merupakan tampilan klinis disertai
masalah klinis yang dominan. Pada penderita lain kelainan neuropsikiatrik, psikosis atau kejang,
atau penyakit arteri koroner mungkin merupakan masalah klinis yang menonjol. Penderita SLE
mudah mengalami infeksi, dianggap karena disfungsi imunologi yang menjadi dasar penyakit
atau terapi dengan obat imunosupresif. Strategi pengobatan akhir-akhir ini termasuk
melenyapkan sel B dengan antibodi anti-CD20 (Rituximab) dan menghambat faktor
pertumbuhan. Perjalanan penyakit bervariasi dan tidak dapat diramalkan. Pada kasus akut yang
jarang dapat berkembang menuju kematian dalam beberapa minggu atau bulan. Lebih sering
terjadi, dengan pengobatan yang tepat, penyakit yang kambuh dan mengalami remisi dalam
rentang waktu bertahun-tahun atau bahkan beberapa dekade. Pada masa aktivasi akut,
pengendapan kompleks imun sertai aktivasi komplemen menyebabkan hipokomplementemia.
Eksaserbasi penyakit biasanya diobati dengan kortikosteroid atau obat imunosupresif. Bahkan
tanpa terapi, penyakit dapat berjalan dalam bentuk jinak, hanya menyebabkan kelainan kulit dan
hematuria ringan selama bertahun-tahun. Hasil pengobatan menunjukkan perbaikan bermakna,
daya tahan hidup 5 tahun dapat diharapkan terjadi pada sekitar 95% penderita. Penyebab
kematian yang paling sering adalah gagal ginjal, infeksi berulang dan penyakit kardiavaskular.
Angka kejadian kanker juga meningkat, terutama limfoma jenis sel B, suatu hubungan yang
sering terjadi pada penyakit yang ditandai oleh peningkatan stimulasi limfosit B (contoh sindrom
Sjbgren, dibahas di bawah). Penderita yang diobati dengan kortikosteroid dan obat
imunosupresif cenderung mengalami risiko yang disebabkan pengobatan semacam itu.
Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi
gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun
di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya
obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi
kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan
obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas. 6 Pasien dengan SLE lebih membutuhkan
istirahat selama penyakitnya aktif. Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah
faktor yang signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini
memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur. Selama
periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas gerakan dari persendian.

1. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien
menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien. Penyakit yang ringan atau
remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa
digunakan. NSAID membantu mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan
jaringan lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada
beberapa keadaan tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat
meningkatkan resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting
untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif dengan efek
samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak 20 enak perut, nyeri
abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya diberikan bersamaan dengan
makanan untuk mengurangi efek samping. Kadang- kadang, obat yang mencegah ulser bisa
diberikan bersamaan, seperti misoprostol Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam
mengatasi peradangan dan mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid
lebih berguna terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa diberikan peroral,
injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan intra vena. Sayangnya,
kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan dalam dosis tinggi selama
periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari penyakitnya untuk menurunkan
dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari kortikosteroid adalah penipisan tulang dan
kulit, infeksi, diabetes, wajah membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian
yang besar. 1,3,4 Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan efektif untuk
pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek samping termasuk diare, tidak
enak perut, dan perubahan pigmen mata. Perubahan pigmen mata jarang, tetapi diperlukan,
monitor oleh ahli mata selama pemberian obat ini. Ditemukan bahwa obat ini mengurangi
frekwensi bekuan darah yang abnormal pada pasien dengan SLE. Jadi, obat ini tidak hanya
mengurangi kemungkinan serangan dari SLE, tetapi juga berguna untuk mencegah
pembekuan darah abnormal yang luas.
2. Terapi Non Farmakologi
Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi dari
sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif. Penurunan berat
badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan berat badan untuk
mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah dengan
persendian. Pada pasien ini diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai teori.
Kortikosteroid yang diguna dalam kasus ini adalah methylprednisolone. Selain itu pasien
juga dinasehatkan agar melindungi dirinya daripada cahaya matahari.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, systemic lupus erythematosus (SLE)
adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem pertahanan tubuh atau sistem imun.
SLE ini dapat menyerang berbagai sistem organ dan keparahannya berkisar dari sangat ringan
sampai berat. Secara garis besar dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu endokrin-metabolik,
lingkungan dan genetik. Adapun gejala pada penderita SLE yaitu ruam menyerupai kupu-kupu di
wajah, demam, nyeri dan pembengkakan pada satu atau lebih sendi perifer (tangan dan
pergelangan tangan, lulut, kaki, pergelangan kaki, siku, bahu), nyeri dada karena pleuritis dan
fotosensitivitas. Secara khas, penderita pada SLE ini adalah wanita muda dengan sebagian, tetapi
kadang-kadang semuanya.
REFERENSI

dr. Kadek Dwi Pramana, M. Biomed, Sp.PD., FINASIM. Power Point Penyakit Autoimun
Rheumatologi. 2021.

Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Singapura:
Elsevier Saunders.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors 2014. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sylvia A. Prince. Lorraine M. Wilson. 2019. Buku Ajar Patofisiologi. Edisi Keenam. Volume 1.
Elsevier : Singapore.

Anda mungkin juga menyukai