Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN

SGD LBM 3 ‘‘Sesak dan Kaki Bengkak’’


BLOK KARDIOVASKULER 2

Disusun Oleh :

Nama : Zainul Hamdi


NIM : 020.06.0089
SGD : 10
Tutor : dr. Irsandi Rizki F, S.Ked.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2022
BAB I
Skenario
LBM 3
Sesak dan Kaki Bengkak
Bapak Ridwan 60 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan sesak yang
memberat sejak 2 jam yang lalu. Sejak 3 bulan yang lalu pak Ridwan juga
mengeluhkan sesak jika beraktifitas ringan dan kedua kaki bengkak.
Pada pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah 170/100 mmHg,
Nadi : 112x/menit, suhu 36,8°C, RR : 28 x/menit, SpO2 : 89%.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan JVP 5+4 cmH2O, batas jantung kiri 2
cm di laterocaudal SIC V LMCS, batas jantung lain normal, galop (+), rhonki
basah halus dibasal pada kedua lapang paru, dan odem piting pada ektremitas
bawah.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan :
EKG

Thorax Foto :
Sebagai seorang dokter jaga IGD anda langsung memberikan tatalaksana
awal kepada pasien.

Identifiksi Masalah
Jadi berdasarkan scenario pak Ridwan pada pemeriksaan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perbedaan sesak nafas jantung dengan sesak nafas paru-paru?
Pada umumnya sulit membedakan sesak pada kelainan jantung
atau non jantung karena pada tahap awal biasanya mirip, seperti nafas
yang tidak tuntas, rasa tertekan di dada, rasa nafas pendek, nafas berbunyi,
batuk dan lain — lain. Yang bisa dibedakan adalah Kalau karena penyakit
jantung, biasanya disertai bengkak pada tungkai, bunyi nafas khas (hanya
diketahui dengan auskultasi), tekanan darah meningkat, bisa juga turun,
denyut jantung tak teratur, cepat. sedangkan Kalau karena penyakit pada
paru-paru, biasanya tidak ada bengkak tungkai, bunyi nafas khas (dengan
auskultasi), kalau asma ada wheezing (bunyi ngik pada saat ekspirasi),
tekanan darah biasanya normal, nadi yang lebih cepat tapi masih teratur.
2. Pembahasan DD
Gagal Jantung Kongesti
Definisi
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
jaringan terhadap oksigen dan nutrien.
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya
hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.
Klasifikasi
Klasifikasi Gagal Jantung
Klasifikasi gagal jantung menurut ACC (The American College of
Cardiologi) atau AHA (American Heart Association) dilihat berdasarkan
struktur dan kerusakan otot jantung dibagi menjadi 4 kelas yaitu:
1. Kelas A: pasien memiliki resiko tinggi untuk berkembangnya gagal
jantung tetapi belum menunjukkan adanya kelainan struktural dan
fungsional jantung serta belum terdapat gejala gagal jantung.
2. Kelas B: pasien dengan kelainan struktural jantung yang berhubungan
dengan berkembangnya gagal jantung, tetapi tanda atau gejala gagal
jantung belum tampak.
3. Kelas C: pasien yang memiliki gejala gagal jantung yang berhubungan
dengan kerusakan struktural jantung yang dideritanya
4. Kelas D: pasien yang memiliki gejala gagal jantung dan terdapat
kerusakan jantung yang parah. Pasien ini sulit diterapi (Lainscak, M.,
dkk., 2017).
Sedangkan klasifikasi gagal jantung menurut NYHA (New York Heart
Association) yang mendeskripsikan gagal jantung berdasarkan gejala dan
penurunan aktivitas fisik dikelompokkan menjadi 4 kelas yaitu:
a. Kelas 1: pasien tidak ada keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik.
Gejala seperti sesak nafas, kelelahan atau palpitasi tidak ada selama
melakukan aktivitas fisik biasa.
b. Kelas 2: pasien dengan sedikit keterbatasan aktivitas fisik. Gejala
seperti sesak nafas, kelelahan atau palpitasi ada selama melakukan
aktivitas fisik biasa
c. Kelas 3: pasien dengan keterbatasan dalam melakukan berbagai
aktivitas. Gejala timbul saat melakukan berbagai aktivitas tetapi dapat
membaik saat beristirahat
d. Kelas 4: pasien dengan keterbatasan dalam melakukan berbagai
aktivitas. Gejala timbul meskipun sedang beristirahat (Lainscak, M.,
dkk., 2017).
Berdasarkan kriteri NYHA pak Ridwan masuk dalam kelas 3.
Epidemiologi
Sekitar 1-2% populasi dewasa pada negara berkembang mengalami gagal
jantung. Prevalensi ini meningkat pada pasien usia 70 tahun keatas,
mencapai kurang lebih 10 %. Berdasarkan Riskesdas pada tahun 2013,
Prevalensi gagal jantung di Indonesia sebesar 0,13% atau 229.696.
Etiologi
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :
1) Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari
penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner,
hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
2) Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah
ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului
terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium
degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara
langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
3) Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.
4) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
5) Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung
(stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah
(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV),
peningkatan mendadak afterload.
6) Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan
beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam),
hipoksia dan anemia diperlukan peningkatan curah jantung untuk
memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat
menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau
metabolik dan abnormalitas elektronik dapat menurunkan kontraktilitas
jantung.
Manifestasi Klinis
Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, dyspnea, oliguria, nokturia,
mual, muntah, asites, hepatomegali, dan edema perifer. Gejala susunan
saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai delirium.
Pemeriksaan Fisik
Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian tekanan pengisian
tekanan vena adalah sangat penting adanya sistolik murmur dan diastolik
murmur, demikian juga irama gallop sangat perlu dideteksi pada
auskulultasi bunyi jantung. Mitral insufisiensi sangat esring ditemukan
pada fase akut. Adanya stenosis aorta atau insufisiensi aorta juga harus
dideteksi. Kongesti paru dideteksi denngan auskultasi dada dimana
ditemukan ronkhi basah pada kedua basal paru dan kontriksi bronkhial
seluruh lapangan paru sebagai petanda peninggian dari tekanan pengisian
ventrikel kiri. Tekanan pengisian jantung kanan dapat dinilai dari evaluasi
pengisian vena jugularis.
Pemeriksaan Penunjang
a. Ekokardiografi (ECG)
Pemeriksaan ekokardiografi umumnya digunakan untuk deteksi
gangguan fungsional dan anatomis yang menyebabkan gagal jantung
(Aspiani, 2014). Elektrokardiografi juga dapat digunakan untuk
menentukan ukuran dan fungsi ventrikel kiri, dimensi pada akhir
diastolik dan sistolik pada ventrikel kiri dapat direkan dengan
elektrokardiografi (Muttaqin, 2014).
b. Rontgen dada
Foto sinar-X dada posterior-anterior dapat menunjukkan hipertensi
vena, edema paru atau kardiomegali. Bukti pertama dari peningkatan
tekanan vena paru 12 adalah adanya diversi aliran darah menuju atas
dan adanya peningkatan ukuran pembuluh darah (Muttaqin, 2014).
c. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG dapat digunakan untuk melihat adanya hipertrofi
dan memantau adanya perubahan kalium setelah pemberian diuretik,
sehingga dapat diketahui ada atau tidaknya perubahan gelombang
akibat hipokalemia yang pada umumnya merupakan dampak dari
pemberian diuretic (Muttaqin, 2014). Pemeriksaan EKG juga dapat
menentukan kelainan primer pada jantung seperti iskemik, hipertrofi
ventrikel, gangguan irama jantung dan dapat digunakan untuk
mengetahui faktor pencetus akut seperti infark miokard, emboli paru
(Aspiani, 2014).
d. Laboratorium
Pemeriksaan ini untuk menilai Peningkatan kretinin serum, anemia,
hyponatremia, hyperkalemia, BNP dan NT-pro-BNP.
Penyakit Arteri Perifer
Definisi
Artery Disease (PAD) adalah penyakit arteri progresif yang
ditandai dengan stenosis dan/atau oklusi arteri sedang-besar selain arteri
yang memperdarahi jantung dan otak. Penyakit arteri perifer (PAP) adalah
gangguan suplai darah ke ekstremitas atas atau bawah karena obstruksi.
Epidemiologi
Dari data epidemiologi diperkirakan lebih dari 200 juta penduduk di
seluruh dunia menderita peripheral artery disease (PAD), termasuk sekitar
55 juta orang di Asia Tenggara. Penderita ini berada dalam spektrum
keparahan penyakit asimtomatis hingga dengan gejala berat. Lebih dari
50% penderita PAD umumnya tidak bergejala. Proporsi kejadian PAD
lebih semakin banyak ditemukan seiring dengan pertambahan usia.
Pedoman PAD menyarankan distribusi presentasi klinis PAD berikut pada
pasien 50 tahun.
 Asymptomatic: 20-50%
 Nyeri kaki atipikal: 40-50%
 Klaudikasio klasik: 10-35%
 Anggota yang terancam: 1-2%
Pada populasi dengan diabetes melitus (DM) kejadian PAD diperkirakan
diderita oleh 20-30%. Populasi tertentu memiliki risiko mengalami PAD
lebih tinggi dibanding populasi normal. Pasien dengan DM memiliki
resiko 2 kali lipat, perokok memiliki resiko 2,5 kali lipat mengalami PAD.
Peripheral artery disease (PAD) dapat terjadi pada arteri perifer berukuran
sedang-besar kecuali arteri koroner dan arteri yang memperdarahi otak.
PAD lebih sering ditemukan pada ekstremitas bawah dibandingkan
ekstremitas atas. Sekitar 80-90% kejadian PAD terjadi pada arteri
femoralis dan poplitea.
Etiologi
Etiologi PAP bisa berasal dari non aterosklerotik dan
aterosklerotik. Penyebab non aterosklerotik seperti trauma, vasculitis, dan
emboli, namun aterosklerotik lebih banyak menunjukkan PAP dan
menyebabkan dampak epidemiologi yang besar.
Manifestasi Klinis
 Nyeri yang muncul pada bagian yang tersumbat saat pengidap beraktivitas.
 Nyeri dirasakan pada tempat yang sama setiap kalinya dan menghilang
setelah beristirahat 2–5 menit.
 Lokasi yang paling sering terasa nyeri adalah di betis (karena sumbatan
pada distal superficial femoral artery). Selain itu, keluhan pada paha atau
bokong juga sering terjadi.
 Adanya kondisi luka yang sulit sembuh pada kaki.
 Terjadi perubahan pada warna kulit, suhu, pertumbuhan rambut, dan kuku
antara kedua kaki.
 Timbul rasa kram atau baal.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan ABI direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis
pada pasien yang dicurigai PAD. Pemeriksaan dilakukan dengan
mengukur tekanan darah sistolik pada lengan (arteri brachialis) dan
pergelangan kaki (arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior) dalam
posisi supine. ABI pada setiap kaki dihitung dengan membagi tekanan
yang lebih tinggi dari arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior
dengan tekanan yang lebih tinggi dari tekanan pada lengan kiri atau kanan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dengan pencitraan untuk penilaian struktur anatomis,
seperti duplex ultrasound, computed tomography angiography (CTA), atau
magnetic resonance angiography (MRA) berguna dalam hal mendiagnosis
lokasi anatomis dan keparahan stenosis pada ekstremitas bawah terhadap
pasien dengan PAD simptomatis yang memerlukan tindakan
revaskularisasi.
Selain itu pemeriksaan darah lengkap juga diperlukan untuk
menilai dari gula darahnya serta kadar kolestrolnya.
3. Penentuan DX
Kriteria Framingham dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis
gagal jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau (1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor). Kriteria minor tidak boleh berkaitan dengan
kondisi penyakit lain. Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:
1. Kriteria mayor:
a. Paroxysmal nocturnal dyspnea
b. Distensi vena leher
c. Ronki paru
d. Kardiomegali
e. Edema paru akut
f. Gallop bunyi jantung III
g. Peningkatan vena jugularis
h. Refluks hepatojugular positif (Mahmood, SS. dan Wang, TJ., 2013).
2. Kriteria minor:
a. Edema ekstremitas
b. Batuk malam
c. Dyspnea on effort (sesak pada aktivitas)
d. Hepatomegali
e. Efusi pleura
f. Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
g. Takikardia (>120x/menit) (Mahmood, SS. dan Wang, TJ., 2013).
Berdasarkan gejala dan tanda yang didapatkan dalam anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjangnya didalam scenario dan
merujuk pada pedoman diatas maka pak Ridwan mengalami gagal
jantung.
4. Pembahasan DX
Patofisiologi
1. Mekanisme dasar
Kelainan kontraktilitas pada gagal jantung akan mengganggu kemampuan
pengosongan ventrikel. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun
mengurangi cardiac output dan meningkatkan volume ventrikel. Dengan
meningkatnya volume akhir diastolik ventrikel (EDV) maka terjadi pula
peningkatan tekanan akhir diastolik kiri (LEDV). Meningkatnya LEDV,
akan mengakibatkan pula peningkatan tekanan atrium (LAP) karena
atrium dan ventrikel berhubungan langsung ke dalam anyaman vaskuler
paru-paru meningkatkan tekanan kapiler dan vena paruparu. Jika tekanan
hidrostatik dari anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan osmotik
vaskuler, maka akan terjadi transudasi cairan melebihi kecepatan draenase
limfatik, maka akan terjadi edema interstitial. Peningkatan tekanan lebih
lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke alveoli dan terjadi edema
paru.
2. Respon kompensatorik
a. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik
Menurunnya cardiac output akan meningkatkan aktivitas adrenergic
jantung dan medula adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraktil akan
meningkat untuk menambah cardiac output (CO), juga terjadi
vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan retribusi
volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organorgan yang rendah
metabolismenya, seperti kulit dan ginjal agar perfusi ke jantung dan ke
otak dapat di pertahankan. Vasokontriksi akan meningkatkan aliran balik
vena kesisi kanan jantung yang selanjutnya akan menambah kekuatan
kontriksi
b. Meningkatnya beban awal akibat aktivitas sistem renin angiotensin
aldosteron (RAA). Aktivitas RAA menyebabkan retensi Na dan air oleh
ginjal, meningkatkan volume ventrikel ventrikel tegangan tersebut.
Peningkatan beban awal ini akan menambah kontraktilitas miokardium.
c. Atropi ventrikel Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung
adalah hidrotropi miokardium akan bertambah tebalnya dinding
d. Efek negatif dari respon kompensatorik Pada awalnya respon
kompensatorik menguntungkan namun pada akhirnya dapat menimbulkan
berbagai gejala, meningkatkan laju jantung dan memperburuk tingkat
gagal jantung. Resistensi jantung yang dimaksudkan untuk meningkatkan
kekuatan kontraktilitas dini mengakibatkan bendungan paru-paru, vena
sistemik dan edema, fase kontruksi arteri dan redistribusi aliran darah
mengganggu perfusi jaringan pada anyaman vaskuler yang terkena
menimbulkan tandaserta gejala, misalnya berkurangnya jumlah air kemih
yang dikeluarkan dan kelemahan tubuh. Vasokontriksi arteri juga
menyebabkan beban akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi
ventrikel, beban akhir juga kalau dilatasi ruang jantung. Akibat kerja
jantung dan kebutuhan miokard akan oksigen juga meningkat, yang juga
ditambah lagi adanya hipertensi miokard dan perangsangan simpatik lebih
lanjut. Jika kebutuhan miokard akan oksigen tidak terpenuhi maka akan
terjadi iskemik miokard, akhirnya dapat timbul beban miokard yang tinggi
dan serangan gagal jantung yang berulang (Wijaya & Putri 2013).
komplikasi
1. Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena
dalam atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan
emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan
dengan pemberian warfarin.
2. Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa
menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan
denyut jantung (dengan digoxin atau β blocker dan pemberian
warfarin).
3. Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik
dengan dosis ditinggikan.\
4. Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau
sudden cardiac death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang
berhasil diresusitasi, amiodaron, β blocker, dan vebrilator yang
ditanam mungkin turut mempunyai peranan.
5. Edema paru akut dan gagal napas
6. Stroke
7. Syok kardiogenik
8. Kongesti hepar
9. Muscle wasting
Penatalaksanaan
Tujuan utama dari tatalaksana gagal jantung adalah:
1. memperbaiki prognosis dan mengurangi mortalitas
2. meringankan gejala dan mengurangi morbiditas dengan mencegah atau
memperlambat disfungsi jantung (Inamdar, AA. dan Inamdar AC., 2016).
Tujuan tambahan dari tatalaksana gagal jantung adalah:
1. Mengurangi lamanya pasien gagal jantung dirawat di rumah sakit
2. Mencegah kerusakan sistem organ
3. Mengelola dengan tepat komorbiditas yang berkontribusi memperburuk
prognosis (Inamdar, AA. dan Inamdar AC., 2016).
Tatalakasana pengobatannya sebagai berikut:
1. Monitoring oksigen, PaO2 <60% atau SaO2 <90%
2. Sediakan noninvasive positive pressure ventilation (NIPPV) pada
beberapa kasus dengan respiratory distress
3. Gunakan agen farmakologi tergantung faktor pencetus dan gejala:
a. Diuretics untuk mengurangi edema dengan cara mengurangi volume
darah dan tekanan vena
b.Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEIs) atau angiotensin
receptor blockers (ARBs) untuk memodifikasi neurohormonal,
vasodilatasi dan perbaikan pada LVEF (Left Ventricular Ejection
Fraction). Ganti dengan hydralazine dan/atau nitrat pada pasien yang tidak
merespon ACEIs dan ARBs
c. Beta adrenergic blockers untuk memodifikasi neurohormonal, perbaikan
gejala, perbaikan LVEF dan mencegah aritmia
d. Aldosterone antagonists untuk mengontrol gejala gagal jantung,
mengurangi aritmia ventrikel, mengurangi beban kerja jantung dan
memperbaiki LVEF
e. Digoxin, yang dapat berperan meningkatkan sedikit cardiac output dan
menurunkan angka rawat inap pada pasien gagal jantung
f. Antikoagulan untuk menurunkan resiko tromboemboli
g. Agen inotropik untuk mengembalikan perfusi organ, mengurangi
kemacetan (congestion) pada pasien HFrEF, sehingga meningkatkan
cardiac output dan mengurangi aktivasi neurohormonal (Inamdar, AA. dan
Inamdar AC., 2016).
Prognosis
Angka mortalitas dalam 5 tahun setelah didiagnosis berkisar 45-
60%, dengan laki-laki memiliki luaran lebih buruk dibandingkan
perempuan. Pasien gejala berat (NYHA kelas III atau IV) memiliki angka
kesintasan 1 tahun sebesar 40%.
KIE
KIE yang dilakukan adalah meminta kepada pasien agar:
1. Berhenti merokok
2. Minum obat secara teratur meskipun gejala sudah tidak dirasakan.
Kerusakan jantung pada orang dengan CHF adalah permanen. Obat
hanya membantu mengontrol gejala, bukan memperbaiki kerusakan
permanen pada jantung.
3. Kurangi makan makanan dengan kadar garam yang tinggi dan
berlemak.
4. Olahraga teratur setidaknya tiga kali dalam seminggu. Namun,
konsultasikan dengan dokter terlebih dahulu untuk menentukan
olahraga yang sesuai dengan kondisi Anda.
5. Rajin medical check up.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, pak Ridwan
mengalami gagal jantung, yang dimana untuk mendiagnosis gagal jantung sendiri
harus memenuhi kriteria yaitu terpenuhinya 2 kriteria mayor atau (1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor) dan berdasarkan scenario sudah terpenuhi kriteria
tersebut.
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah
dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen
dan nutrien. Klasifikasinya berdasarkan NYHA yaitu kelas1, kelas 2, kelas 3, dan
kelas 4 yang dimana setiap kelas memiliki perbedaan ciri-ciri. Beberapa
manifestasi klinis pada gagal jantung yaitu sesak, dyspnea, mudah lelah, bengkak
pada tungkai. Untuk menegakkan diagnosis perlunya dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan EKG, laboratorium, foto thorax, dan ECG.
Penatalaksanaannya bertujuan untuk memperbaiki prognosis dan mengurangi
mortalitas dan meringankan gejala dan mengurangi morbiditas dengan mencegah
atau memperlambat disfungsi jantung, tatalaksananya dapat berupa pemberian
obat anti diuret, ACEI dan Beta adrenergic blockers. Komplikasi dari gagal
jantung berupa stoke, aritmia, edema paru akut dan gagal napas, syok kardiogenik.
DAFTAR PUSTAKA

Ferry L., dkk. 2018. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Edisi 5 Jilid 1.
Pranawa., dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetakan UNAIR, Airlangga University Press.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors 2014. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Vinay, Kumar. 2013. “Buku Ajar Patofisiologi Robbins”. Edisi 9. Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai