Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN SMALL GROUP DISCUSSION LBM 2

BLOK HEMATOLOGI & IMUNOLOGI


“Benjolan di leher”

Disusun oleh :

NAMA : Isnatiya Noviana


NIM : 020.06.0037
KELOMPOK SGD : 5
KELAS :A
TUTOR : dr. Ananta Fittonia Benvenuto, Sp.A.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2021

1
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis panjat kan kehadirat tuhan yang mahaesa karena atas
rahmat-nya penulis dapat melaksanakan dan menyusun makalah yang berjudul “Small Group
Discussion Lbm 2”.
Makalah ini penulis susun untuk memenuhi persyaratan sebagai syarat nilai SGD. Dalam
penyusunan makalah ini, penulis mendapat banyak bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan
dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang
tulus kepada:
1. dr. Ananta Fittonia Benvenuto, Sp.A. selaku Fasilitator SGD kelompok 5 yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Bapak/ ibu dosen universitas islam al-azhar yang telah memberikan masukan terkait
makalah yang penulis buat.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan perlu pendalaman lebih
lanjut. Oleh karna itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 17 November 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
- Skenario LBM 2 4
- Deskripsi Masalah 4
BAB II
- Pembahasan LBM 2 6
BAB III
- Kesimpulan 23
DAFTAR PUSTAKA 25

3
BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO LBM 2

Benjolan di Leher

Seorang Pasien Laki laki , Tn.B, berusia 65 tahun , datang ke puskesmas X dengan
keluhan terdapat benjolan di leher kanan sejak 1 bulan yang lalu. Benjolan multiple berukuran
seperti kelereng di rasakan semakin lama semakin besar, nyeri, dapat di gerakkan, dan berwarna
kemerahan. Selain itu, pasien mengeluhkan keringat malam, sering lemas dan tidak nafsu makan.
Keuhan ini di sertai dengan adanya penurunan berat badan dari 50 kg menjadi 45 kg. tinggi
badan 160 cm. keluhan batuk dan demam di sangkal oleh pasien, tetapi pasien pernah betuk lama
dan berobat selama 6 bulan pada dua tahun yang lalu. Pasien sudah pernah berobat ke dokter
praktek sebelumnya, di berikan anti nyeri dan antibiotic tetapi tidak ada perubahan. Dokter
kemudian melakukan pemeriksaan tambahan, sebelum melakukan tatalaksana lebih lanjut.

Dari hasil pemeriksaan fisik di dapatkan tanda vital compus mentis, TD 110/80, N 80x/m,
RR 20 x/m, T 36,7. Dari hasil pemeriksaan fisik, di temukan adanya benjolan leher kana tanpak
pembesaran KGB submandibular dengan benjolan berbentuk kelereng,multiple,terdapat 3
benjolan dengan ukuran masing-masing 0,5x1 cm, 0,75x1,2 cm, dan terbesar 1x2 cm, konsistensi
kenyal,permukaan rata,mobile,nyeri,hiperemis,dan tidak panas. Pemeriksaan fisik yang lain
masih dalam batas normal.Hasil pemeriksaan laboratorium di dapatkan bh 12.2 gr/dl, Ht 33%,
leokosit 9600/ uL Trombosit 246.000/Ulled 110/jam, dan gula darah biasa 100 mg/dl.

DESKRIPSI MASALAH

Dalam skenario ini didapatkan beberapa topik permasalahan yang perlu dibahas di
antaranya, permasalahan yang pertama yaitu penyebab Tn. B mengeluh benjolan di leher dan
berkeringat di malam hari. Jadi ada banyak hal yang dapat menyebabkan benjolan pada leher di
antaranya adalah karena infeksi virus dan bakteri. Kondisi itu dapat muncul karena flu, infeksi
telinga, radang amandel, strep throat, dan lain sebagainya.Selain infeksi, penyakit autoimun juga
dapat menyebabkan munculnya benjolan di leher. Beberapa jenis penyakit autoimun yang
dimaksud seperti penyakit lupus, rheumatoid arthtritis, penyakit grave, dan lain-lain.

4
Berdasarkan keluhan yang di alami oleh pasien tersebut yang dimana dia mengalami lemas, dan
lemas itu sendiri di sebabkan karna kurangnya supan yang masuk ke dalam tubuh sehingga tubuh
kekurangan pasokan energi dan Adapun keluhan yang di rasakan pasien seperti nafsu makan
berkurang itu dis ebabkan kasrena rasa nyeri yang timbul akibat benjolah di leher sehingga
Ketika menelan akan merasakan nyeri dan karna prihal tersebut itulah yang menyebabkan nafsu
makan menjadi berkurang dan di karenakan tidak nafsu makan sehingga tubuh akan kekurangan
energi dan nutrisi dan akan terjadi penurunan berat badan.

Adapun beberapa pemeriksaan yang perlu di lakukan untuk mendiagnosis penyekit yang
di alami oleh pasien tersebut yaitu tentunya yang pertama dengan melakukan anamnesis terlebih
dahulu untuk mengetahui bagaimana kronologis dari keluhan yang di alami serta untui
mengetahui Riwayat penyakit sebelumnya, kemudian perlu juga di lakukan pemeriksaan TTV
yaitu pemeriksaan TD, N, RR, Suhu dan sebagainya. Tidak lupa pula melakukan pemeriksaan
laboratorium yang dimana memeriksa darak lengkap atau cek darah lengkap.

5
BAB II

PEMBAHASAN

Fisiologi Sistem Limfatik.


Sistem limfe merupakan suatu jalan tambahan tempat cairan dapat mengalir dari ruang
interstisial ke dalam darah sebagai transudat di mana selanjutnya ia berperan dalam respon
imun tubuh. Secara umum sistem limfatik memiliki tiga fungsi yaitu: 1) Mempertahankan
konsentrasi protein yang rendah dalam cairan interstisial sehingga protein-protein darah yang
difiltrasi oleh kapiler akan tertahan dalam jaringan, memperbesar volume cairan jaringan dan
meninggikan tekanan cairan interstitial. Peningkatan tekanan menyebabkan pompa limfe
memompa cairan interstisial masuk ke kapiler limfe membawa protein berlebih yang terkumpul
tersebut. Jika sistem ini tidak berfungsi maka dinamika pertukaran cairan pada kapiler akan
menjadi abnormal dalam beberapa jam hingga menyebabkan kematian. 2) Absorpsi asam lemak,
transpor lemak dan kilus (chyle) ke sistem sirkulasi, 3) Memproduksi selsel imun (seperti
limfosit, monosit, dan sel-sel penghasil antibodi yang disebut sel plasma). Nodus limfoid
mempersiapkan lingkungan tempat limfosit akan menerima paparan pertamanya terhadap
antigen asing (virus, bakteri, jamur) yang akan mengaktivasi limfosit untuk melaksanakan fungsi
imunitas. (Guyton, 2012)
Diagnosis Differensial (Limfadenitis TB, Limfadenitis, Limfoma non-hodgkin’s, Limfoma
hodgkin’s, Limfadenopati).
Limfadenitis TB
 Definisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening, sedangkan
limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening
yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di
leher disebut dengan scrofula. Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya
paling sering terjadi. Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan
kelenjar. Infeksi M. tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberculosis
ke kulit dari struktur dasarnya atau terpajan langsung melalui kontak dengan M. tuberculosis
yang disebut dengan scrofuloderma. (Amaylia O, 2013)

6
 Etiologi
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacterium tergolong dalam family Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales. Spesies
patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen penyebab
penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong
dalam Mycobacterium tuberculosis complex adalah M.tuberculosae, M. bovis, M. caprae, M.
africanum, M. microti, M. pinnipedii, M. canettii. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan
epidemiologi. (Bazemore AW, 2012)
Basil TB adalah bakteri aerobic obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran 0,4 x
3 µm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan filamentous tampak
bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria termasuk M.tuberculosis tidak
dapat diwarnai dengan pewarnaan gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus
yang sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun
menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan asam. M. tuberculosis mudah
mengikat pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuchsin. (Bazemore AW, 2012)
Dinding bakteri Mycobacteria kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat, lilin,
dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam mikolat dapat
menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab pada sifat
tahan asam bakteri Mycobacteria. (Bazemore AW, 2012)

7
(Bazemore AW, 2012)

 Manifestasi Klinis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner.
Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien
biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien
limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang
paling sering dijumpai yaitu sekitar 2/3 pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus
menjadi salah satu diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama
pada daerah yang endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu
sampai beberapa bulan. (Spelman D, 2013)
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian
diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesenterikus, portal

8
hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis. Lokasi limfadenitis meliputi, (Spelman D,
2013):
1. Limfadenitis daerah kepala dan leher
2. Limfadenitis epitroklear
3. Limfadenitis aksila
4. Limfadenitis supraklavikula
5. Limfadenitis inguinal
6. Limfadenitis generalisata

Limfadenitis
 Definisi
Limfadenitis adalah peradangan kelenjar getah bening (kelenjar limfe) regional dari
lesi primer akibat adanya infeksi dari bagian tubuh yang lain.Peradangan akan menimbulkan
hiperplasia kelenjar getah bening hingga terasa membesar secara klinik.Kelenjar getah
bening yang terinfeksi akan membesar dan teraba lunak dan nyeri. Lokasi terjadinya bisa
pada bagian axila, serviks, inguinal tergantung dari daerah bagian yang terinfeksi. (National
Institute of Health, 2019)
 Etiologi
Limfadenitis bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai organisme yaitu bakteri,virus,
protozoa, riketsia atau jamur. Streptokokus dan bakteri staphylococcal adalah penyebab
paling umum dari limfadenitis. Virus, protozoa, rickettsiae, jamur, dan basil TB juga dapat
menginfeksi kelenjar getah bening. Infeksi menyebar menuju kelenjar getah bening dari
infeksi kulit, telinga, hidung, atau mata. Infeksi mononucleosis, infeksi cytomegalovirus,
infeksi streptococcal, tuberculosis, atau sifilis. Infeksi bisa mempengaruhi kelenjar getah
bening atau hanya pada salah satu daerah pada tubuh. (National Institute of Health, 2019)
 Manifestasi Klinis
Gejala untuk menganalisa apakah terkena penyakit ini adalah kelenjar getah bening
yang terserang biasanya akan membesar dan jika diraba terasa lunak dan nyeri, selain itu
gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tekan, dantanda radang. Kulit di atasnya
terlihat merah dan terasa hangat, pembengkakan ini akan menyerupai daging tumbuh atau
biasa disebut dengan tumor. Dan untuk memastikan apakah gejala-gejala tersebut merujuk

9
pada penyakit limfadenitis maka perlu adanya pengangkatan jaringan untuk pemeriksaan di
bawah mikroskop. (National Institute of Health, 2019)
Kelenjar getah bening yang terinfeksi membesar dan biasanya lunak dan sangat
menyakitkan. Kadang kala, kulit disepanjang kelenjar yang terinfeksi tampak merah dan
terasahangat. Orang tersebut bisa mengalami demam. Kadangkala, kantung atau nanah
(abses) terbentuk. Kelenjar tubuh yang membesar yang tidak menyebabkan nyeri, atau
kemerahan bisa mengindikasikan gangguan serius lainnya, seperti limfoma, tuberkulosis atau
hodgkin limfoma. (National Institute of Health, 2019)
Demam, nyeri tenggorok dan batuk mengarahkan kepada penyebab infeksi saluran
pernapasan bagian atas. Demam, keringat malam dan penurunan berat badan mengarahkan
kepada infeksi tuberkulosis atau keganasan. Demam yang tidak jelas penyebabnya, rasa lelah
dan nyerisendi meningkatkan kemungkinan oleh penyakit kolagen atau penyakit serum
(serum sickness), ditambah jika terdapat riwayat obat-obatan. (National Institute of Health,
2019)
Kelenjar getah bening yang terserang biasanya akan membesar dan jika diraba terasa
lunak dan nyeri. Selain itu, gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tekan dan tanda
radang. Kulit di atasnya terlihat merah dan terasa hangat. Pada limfadenitis kronis,
pembesaran ditandai oleh tanda radang yang sangat minimal dan tidak nyeri. (National
Institute of Health, 2019)

Limfoma non-hodgkin

 Definisi
Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan primer
kelenjar getah bening dan jaringan limfoid ekstra nodal, yang dapat berasal dari limfosit B,
limfosit T, dan sel NK ”natural killer”. Saat ini terdapat 36 entitas penyakit yang
dikategorikan sebagai LNH dalam klasifikasi WHO. (Shankland KR, 2012)
 Etiologi
Etiologi LNH sebagian besar tidak diketahui, namun beberapa faktor resiko diketahui
berhubungan dengan terjadinya LNH diantaranya, imunodfisiensi seperti severe combined
immunodeficiency, hypogammaglobulinemia, common variable immunodeficiency, wiskott-
Aldrichsyndrome, dan ataxia telangiectasia. Infeksi virus merupakan salah satu yang

10
dicurigai menjadi etiologi LNH contohnya ialah infeksi virus Epstein Barr dan HTLV
(Human T Lymphoytopic Virus tipe 1) yang berhubungan dengan limfoma burkitt, yang
merupakan limfoma sel B. Selain itu abnormalitas sitogenik seperti translokasi kromosom
juga ikut berperan menyebabkan proliferasi dari limfosit. (Shankland KR, 2012)
 Manifestasi Klinis
Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma pada umumnya non-spesifik,
diantaranya:
- Penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan
- Demam 38 derajat C >1 minggu tanpa sebab yang jelas
- Keringat malam banyak
- Cepat lelah
- Penurunan nafsu makan
- Pembesaran kelenjar getah bening yang terlibat
- Dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak nyeri di leher, ketiak atau pangkal
paha (terutama bila berukuran di atas 2 cm), atau sesak napas akibat pembesaran kelenjar
getah bening mediastinum maupun splenomegali. Tiga gejala pertama harus diwaspadai
karena terkait dengan prognosis yang kurang baik, begitu pula bila terdapatnya Bulky
Disease (KGB berukuran > 6-10 cm atau mediastinum > 33% rongga toraks). Menurut
Lymphoma International Prognostic Index, temuan klinis yang mempengaruhi prognosis
penderita LNH adalah usia > 60 tahun, keterlibatan kedua sisi diafragma atau organ
ekstra nodal (Ann Arbor III/IV) dan multifokalitas (> 4 lokasi). (Shankland KR, 2012)

Limfoma Hodgkin

 Definisi
Limfoma maligna adalah penyakit keganasan primer dari jaringan limfoid yang
bersifat padat/ solid meskipun kadang-kadang dapat menyebar secara sistemik. Secara garis
besar, limfoma maligna dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) limfoma Hodgkin (LH)
dan (2) limfoma non-Hodgkin (LNH). LH merupakan penyakit keganasan yang mengenai
sel-B limfosit dan khas ditandai oleh adanya sel Reed Sternberg dengan latar belakang sel
radang pleomorf (limfosit, eosinofil, neutrophil, sel plasma dan histiosit).4,5 Sel Reed
Sternberg adalah sebuah sel yang sangat besar dengan ukuran diameter sekitar 15 sampai

11
dengan 45 mikrometer, berinti besar multilobuler dengan banyak anak inti yang menonjol
dan sitoplasma yang sedikit eusinofilik. Karakteristik utama dari sel Reed Sternberg adalah
adanya dua buah inti yang saling bersisian yang di dalamnya masing-masing berisi sebuah
anak inti asidofilik yang besar dan mirip dengan inklusi yang dikelilingi oleh daerah sel yang
jernih. (Kumar V, 2013)
 Etiologi

Penyebab pasti dari limfoma Hodgkin (LH) hingga saat ini masih belum jelas
diketahui namun beberapa faktor, seperti paparan infeksi virus, faktor keluarga dan keadaan
imunosupresi diduga memiliki keterkaitan dengan terjadinya LH.8 Pada 70% atau sepertiga
dari kasus LH yang pernah dilaporkan di seluruh dunia menunjukkan adanya keterlibatan
infeksi virus Epstein Barr (EBV) pada sel Reed-Sternberg. Ekspresi gen dari EBV diduga
memicu terjadinya transformasi dan pemrograman ulang dari sel-B limfosit menuju salah
satu fenotif LH. Pada saat terjadinya infeksi primer, EBV akan masuk dalam fase laten di
dalam memori sel-B limfosit sehingga EBV mampu bertahan sepanjang masa hidup sel-B
limfosit. EBV kemudian mengkode produk gen EBNA-1 dan LMP-1 yang diduga berperan
dalam proses transformasi memori sel-B lim-fosit. Produk-produk gen ini bekerja pada jalur
sinyal intraseluler di mana EBNA-1 bekerja secara langsung dengan memberikan umpan
negatif pada ekspresi gen penekan tumor dan meningkatkan perkembangan tumor melalui
umpan positif pada CCL 22 yang kemudian mepromosikan aktivasi sel-B limfosit. Pada saat
yang bersamaan, produk gen LMP-1 meniru sinyal yang dihasilkan oleh CD 40 yang bekerja
untuk mengaktifkan jalur sinyal NF-kB, p38, PI3K, AP1 dan JAK-STAT dalam
memromosikan kelangsungan hidup sel-B limfosit. Infeksi EBV juga diduga menjadi
penyebab dari terjadinya mutasi genetik pada gen Ig yang mengkode reseptor sel-B limfosit
di mana EBV kemudian mengkode gen LMP-2 yang mampu memrogram ulang sel-B
limfosit matur menuju salah satu fenotif LH dan mencegah terjadinya proses apoptosis
melalui aktivasi sinyal penyelamatan pada pusat germinal sel-B limfosit. (Ansell SM, 2015)

Akibat dari adanya serangkaian proses tersebut di atas menyebabkan terjadinya


ekspansi klonal yang tidak terkontrol dari sel-B limfosit yang kemudian akan mensekresikan
berbagai sitokin, seperti IL-5 yang akan menarik dan mengakti-vasi eosinofil dan IL-13 yang
dapat menstimulasi sel Reed-Sternberg lebih lanjut untuk mengekspresikan CD30 (Ki-1) dan

12
CD15 (Leu-M1). CD30 merupakan penanda aktivasi limfosit yang diekspresikan oleh sel-sel
jaringan limfoid yang reaktif dan ganas, sedangkan CD15 merupakan penanda dari
granulosit, monosit dan sel-T limfosit yang teraktivasi yang dalam keadaan normal tidak
diekspresikan oleh sel-B limfosit. Orang dengan riwayat keluarga pernah menderita LH,
terutama saudara kembar dan orang dengan gangguan sistem imun, seperti penderita
HIV/AIDS juga memiliki resiko yang tinggi untuk menderita LH. (Ansell SM, 2015)

 Manifestasi Klinis
Berdasarkan teori, pada saat dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksa cenderung akan
menemukan adanya tanda-tanda limfadenopati asimptomatik, splenomegali, hepatomegali
dan sindrom superior vena cava pada penderita limfoma Hodgkin (LH). Pada kasus, pasien
sempat mengalami benjolan pada ketiak kanan dan kiri yang pada awalnya tidak disadari
oleh karena benjolan tersebut tidak tampak dan tidak terasa nyeri namun semakin lama
benjolan tersebut semakin membesar dengan konsistensi padat. Gejala yang dialami oleh
pasien di atas mengarah pada tanda limfadenopati asimptomatik yang berdasarkan teori
merupakan salah satu hasil temuan pemeriksaan fisik dan manifestasi klinis pada penderita
LH. (Bakta IM, 2006)

Limfadenopati
 Definisi
Limfadenopati adalah kelainan dari KGB dalam bentuk ukur an, jumlah, konsistensi,
yang disebabkan penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari KGB itu sendiri
(limfosit, sel plasma, dll), adanya infiltrasi sel peradangan (neutrofil), atau adanya infiltrasi
sel ganas. Berdasarkan lokasinya, limfadenopati terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Limfadenopati lokalisata, pembesaran pada satu daerah saja, sering disebabkan oleh
infeksi pada KGB itu sendiri atau karena infeksi dari daerah sekitarnya.
2. Limfadenopati generalisata, pembe saran KGB pada dua atau lebih daerah yang
berjauhan, simetri, dan umumnya disebabkan infeksi sistemik.

Berdasarkan waktu terjadinya, limfadenopati dapat dibagi menjadi akut ( < 2


minggu), sub-akut (2- 6 minggu, dan kronik (> 6 minggu). (Et. Al, 2013)
 Etiologi

13
Limfadenopati pada umumnya paling sering disebabkan oleh infeksi virus, bakteri
dan keganasan. Penyebab limfadenopati dapat diingat dengan singkatan MIAMI
(Malignancy, Infections, Autoimmune disease, Miscellaneous and un usual condition, and
Iatrogenic causes). (at. Al, 2013)
Tentunya di dalam pemeriksaan fisik di lakukan anamnesis terlebih dahulu untuk
mengetahui Riwayat penyakit sebelumnya nya dan bagaimana kronologi dari keluhan yang
di rasakan, kemudian di susul juga dengan pemeriksaan fisik yang meliputi insfeksi,palpasi,
perkusi dan auskultasi dan yang terakhir juga perlu di lakukan pemeriksaan TTV yang
bertujuan untuk mengethui kondisi TD,N,RR,suhu dari pasien apakah dalam batas normal.
Pemeriksaan fisik meliputi pengukuran berat badan dan tinggi badan dapat membantu
mengiden tifikasi penyakit kronis pada anak. Pada pemeriksaan fisik perlu ditentukan daerah
mana saja yang mengalami pembesaran KGB, sehingga dapat dibedakan men jadi
limfadenopati generalisata atau lokalisata. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melakukan
palpasi di kelompok utama KGB, seperti di regio cervical, aksila, epi trochlear,inguinal, dan
popliteal. Pemeriksaan kulit juga perlu dilakukan untuk mengetahui adanya lesi yang
mengarah pada keganas an dan mengevaluasi warna keme rahan (eritema) di sepanjang
pembuluh limfe, atau adanya trauma yang dapat menjadi sumber infeksi pada limfadenopati.
Pemeriksaan abdomen dapat menentukan apakah adanya splenomegali (untuk
mengidentifikasi infeksi mono nukleosis, leukemia limfositik, limfoma atau sarcoidosis). (at
al, 2013)
Pemeriksaan penunjang bila limfadenopati akut tidak diperlukan, namun bila
berlangsung >2minggu dapat diperiksakan serologi darah untuk epstein barr virus,
citomegalovirus, hiv, toxoplasma; tes mantoux, rontgen dada, biopsi dimana semuanya
disesuaikan dengan tanda dan gejala yang ada dan yang paling mengarahkan diagnosis. (at al,
2013)

Penentuan DX.

Dari scenario didapatkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan Tanda Vital Compos
Mentis, TD 110/80, N 80x/m, RR 20 x/m, T 36,7. Dari hasil pemeriksaan fisik, ditemukan
adanya benjolan pada leher kanan tampak pembesaran KGB submandibula dengan benjolan
berbentuk kelereng, multiple, terdapat benjolan dengan ukuran masing-masing 0,5x1 cm,

14
0,75x0,2 cm, dan terbesar 1x2 cm, konsistensi kenyal, permukaan rata, mobile, nyeri, hiperemis,
dan tidak panas. Pemeriksaan fisik yang lain masih dalam batas normal. Hasil pemeriksaan
laboratorium didapatkan Hb 12,2 gr/dl, Ht 33 %, leukosit 9600 /uL, trombosit 246.000 /L, LED
110/jam, dan gula darah puasa 100 mg/dl.

Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dari skenario ini dapat
disimpulkan bahwa Tn. B menderita limpadenitis TB. Untuk mendiagnosa limfadenitis TB
dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Selain itu ditunjang oleh
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan mikrobiologi, tes tuberculin, pemeriksaan sitologi,
dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut penting untuk membantu dalam
membuat diagnosis awal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan pengobatan
sebelum diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur.

Pembahasan DX (Patofisiologi, Epidemiologi, Faktor Resiko, Komplikasi, Tatalaksana,


Prognosis & KIE).

 Patofisiologi
Kelenjar getah bening (KGB) adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh. Tubuh kita
memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya di daerah sub
mandibular, ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada orang sehat. Terbungkus kapsul
fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk pertahanan tubuh dan merupakan tempat
penyaringan antigen (protein asing) dari pembuluh-pembuluh getah bening yang
melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke kelenjar getah bening sehingga
dari lokasi kelenjar getah bening akan diketahui aliran pembuluh limfe yang melewatinya.
Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen dan
memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang menginfeksi maka kelenjar
getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk
mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar. (Spelman D., 2013)
Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan
tubuh yang berasal dari kelenjar getah bening itu sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit
dan histiosit atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi di
kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit
metabolite macrophage (gaucher disease). Dengan mengetahui lokasi pembesaran kelenjar

15
getah bening maka kita dapat mengarahkan kepada lokasi kemungkinan terjadinya infeksi
atau penyebab pembesaran kelenjar getah bening. Benjolan, bisa berupa tumor baik jinak
atau ganas, bisa juga berupa pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar ini ada banyak
sekali di tubuh kita, antara lain di ujudaerah leher, ketiak, dalam rongga dada dan perut, di
sepanjang tulang belakang kiri dan kanan sampai mata kaki. Kelenjar getah bening berfungsi
sebagai penyaring bila ada infeksi lokal yang disebabkan bakteri atau virus. Jadi, fungsinya
justru sebagai benteng pertahanan tubuh. (Spelman D., 2013)
Jika tidak terjadi infeksi, kemungkinan adalah tumor. Apalagi bila pembesaran
kelenjar didaerah-daerah tersebut di atas, pertumbuhannya cepat dan mudah membesar. Bila
sudah sebesar biji nangka, misalnya, bila ditekan tidak sakit, maka perlu diwaspadai. Jalan
terbaik, adalah dilakukan biopsy di kelenjar tersebut. Diperiksa jenis sel-nya untuk
memastikan apakah sekedar infeksi atau keganasan. Jika tumor dan ternyata ganas,
pembesaran kelenjar akan cepat terjadi. Dalam sebulan, misalnya sudah membesar dan tak
terasa sakit saat ditekan. Beda dengan yang disebabkan infeksi, umumnya tidak bertambah
besar dan jika daerah di sekitar benjolan ditekan,terasa sakit. Peningkatan ukuran kelenjar
getah bening disebabkan:
1. Multiplikasi sel-sel di dalam nodul, termasuk limfosit, sel plasma, monosit, histiosit
2. Infiltrasi sel dari luar nodus seperti sel ganas atau neutrofil
3. Pengeringan infeksi (misalnya abses) ke kelenjar getah bening lokal.

Sirkulasi darah ada dibawah tekanan dan komponennya (plasma) masuk dinding
kapiler yang tipis ke jaringan sekitar. Cairan ini disebut cairan interstisial yang membasahi
semua jaringan dan sel. Bila cairan ini tidak dikembalikan ke sirkulasi dapat terjadi edema,
pembengkakan progresif yang dapat mengancam nyawa. Hal itu tidak terjadi oleh karena
cairan dikembalikan ke darah melalui dinding venul. Jadi system tersebut menampung cairan
yang dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan dan mengembalikannya ke
pembuluh darah. (Spelman D., 2013)

Sel limfosit, SD, makrofag dan sel lainnya juga dapat masuk melalui dinding tipis sel
endotel yang longgar dari pembuluh limfe primer dan masuk ke dalam arus limfe. Antigen
asing yang masuk ke dalam jaringan akan ditangkap oleh sel system imun dan dibawa ke
berbagai jaringan limfoid regional yang teroganisasi seperti KGB. Jadi system limfatik juga

16
berperan sebagai alat transport limfosit dan antigen dari jaringan ikat ke jaringan limfoid
yang teroganisasi, tempat limfosit diaktifkan. (Spelman D., 2013)

Keuntungan dari resirkulasi limfosit ialah bahwa sewaktu terjadi infeksi non-spesifik,
banyak limfosit akan terpajan dengan antigen/kuman. Keuntungan lain dari resirkulasi
limfosit ialah bahwa bila ada organ limfoid misalnya limfa yang deficit limfosit karena
infeksi, radiasi atau trauma. Limfosit dari jaringan limfoid lainnya melalui sirkulasi akan
dapat dikerahkan kedalam organ limfoid tersebut dengan mudah. Sel T naif (Sel matang yang
belum terpajan dengan antigen dan belum berdiferensiasi) cenderung meninggalkan sirkulasi
darah dan menuju kelenjar getah bening dalam daerah sel T. SD/APC dari berbagai bagian
tubuh yang membawa antigen juga berimigrasi dan masuk ke dalam kelenjar getah bening
dan mempresentasikan antigen ke sel T. Sel T yang diaktifkan SD/APC tersebut keluar dari
kelenjar limfoid dan melalui aliran darah bergerak ke tempat infeksi dan bekerja sebagai sel
efektor. Tidak seperti leukosit, limfosit terus menerus di resirkulasikan melalui darah dan
limfe ke berbagai organ limfoid. (Spelman D., 2013)

Beberapa tempat di endotel vascular dalam venul poskapilar berbagai organ limfoid
terdiri atas sel khusus, gemuk dan tinggi yang disebut HEV. Sel-selnya berlainan sekali
dengan sel endotel yang gepeng yang membatasi kapiler lainnya. Setiap organ limfoid
sekunder, kecuali limpa mengandung HEV.HEV mengekspresikan sejumlah besar molekul
adhesi. Seperti sel endotel vascular lainnya, HEV mengekspresikan CAM family selektin
(selektin E dan P), family musin (Gly CAM-1 dan CD34) dan superfamily immunoglobulin
(ICAM-1, ICAM-2. ICAM-3, VCAM-1 dan MAdCAM-1) beberapa molekul adhesi disebut
adresin vascular, oleh karena berperan dalam mengarahkan ekstravasasi berbagai populasi
limfosit dalam resirkulasi ke organ limfoid khusus. (Spelman D., 2013)

Pada keadaan normal terjadi lintas arus limfosit aktif terus menerus melalui kelenjar
getah bening, tetapi bila ada antigen masuk, arus limfosit dalam kelenjar getah bening akan
berhenti sementara. Sel yang antigen spesifik akan ditahan dalam kelenjar getah bening.
Dalam menghadapi antigen tersebut, kelenjar dapat membengkak seperti yang sering
ditemukan pada infeksi. Hal tersebut merupakan hal yang esensial untuk respons imun yang
efektif terhadap antigen asing. Limfosit cenderung berimigrasi ke tempat-tempat yang
selektif. Homing mukosa adalah kembalinya sel limfoid reaktif imunologis ke asalnya di

17
folikel mukosa. Hal tersebut terjadi melalui ikatan antara molekul adhesi dan kemokin,
reseptor yang mengarahkan berbagai populasi limfosit ke jaringan limfoid khusus atau
inflamasi yang disebut dengan reseptor homing. L-selektin atau CD62L adalah molekul pada
permukaan limfosit yang berperan pada homing limfosit. Adresin mukosa adalah salah satu
adresin yang mengikat integrin pada sel T yang memilih homing di saluran cerna. Reseptor
pada permukaan limfosit tersebut akan memberikan arah dan tujuan kembali ke plak peyer.
Limfosit yang awalnya disensitasi oleh antigen di plak peyer akan diaktifkan dan
memproduksi sel memori yang akan berimigrasi kembali ke tempat yang semula
mensensitasinya. (Spelman D., 2013)

 Epidemiologi
Dari studi di Belanda terdapat 2.556 kasus limfadenitis, 10% dirujuk kepada
subpesialis, 3,2% membutuhkan biopsi dan 1,1% mengalami keganasan. Penderita
limfadenitis di RSUP H.Adam Malik Sumatera Utara pada tahun 2011 dengan rentang 20-50
tahun, yaitu 74 dengan jenis kelamin terbanyak adalah wanita, Dari hasil penelitian ini juga
diperoleh bahwa sebagian besar limfadenitis ada mengalami gejala sistemik. Berdasarkan
hasil pemeriksanan didapatkan 13 orang memiliki pembesaran kelenjar berdiameter ≥ 2cm,
12 orang memiliki pembesaran kelenjar yang multipel, 17 orang memiliki pembesaran
kelenjar dengan konsistensi kenyal, 16 orang memiliki pembesaran kelenjar tanpa adanya
ulkus, dan 12 orang memiliki pembesaran kelenjar tanpa disertai adanya nyeri. (Ferrer, R.,
2013)
 Faktor resiko

Limfadenitis tuberculosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.


Mycobacteria tergolong dalam family Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales.
(Yosephine, 2011)
Menurut Werdhani, faktor resiko penyebaran dapat melalui :
 Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman keudara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan
dahak.
 Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu
yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari

18
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab.
 Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.
 Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

 Komplikasi
Pembentukan abses. Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat
suatu infeksi bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi
infeksi.Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-
selyang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam
melawaninfeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan setelah menelan bakteri, sel darah
putihakan mati. Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah, yang mengisi
rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akanterdorong.
Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas abses. Hal
ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu
abses pecah di dalam, maka infeksi bisa menyebar didalam tubuh maupun dibawah
permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses.
Selulitis (infeksi kulit), Selulitis adalah suatu penyebaran infeksi bakteri ke dalam
kulit dan jaringan di bawah kulit. Infeksi dapat segera menyebar dan dapat masuk ke dalam
pembuluh getah bening dan aliran darah. Jika hal ini terjadi, infeksi bisa menyebar ke seluruh
tubuh. Sepsis, (septikemia atau keracunan darah) Sepsis adalah kondisi medis serius dimana
terjadi peradangan pada seluruh tubuh akibat infeksi yang berpotensi berbahaya atau
mengancam nyawa.
Fistula, (terlihat dalam limfadenitis yang disebabkan oleh TBC) Limfadenitis
tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran kelenjar getah bening, padat/keras, multiple dan
dapat berkonglomerasi satu sama lain, melunaknya kelenjar seperti abses tetapi tidak nyeri.
Apabila abses ini pecah ke kulit, lukanya sulit sembuh oleh karena keluar secara terus
menerus sehingga seperti fistula. Fistula merupakan hubungan abnormal yang berkembang

19
antara dua bagian tubuh yang terpisah satu samalain, fistula adalah penyakit yang erat
hubungannya dengan immune system atau daya tahan tubuh individu.

 Penatalaksanaan farmakologi, dan non-farmakologi


Terapi Non Farmakologis Pembedahan bukan pilihan terapi yang utama. Prosedur
pembedahan yang dapat dilakukan adalah dengan: (1) Biopsi eksisional : Limfadenitis yang
disebabkan oleh karena atypical mycobacteria. (2) Aspirasi. (3) Insisi dan drainase. Indikasi
pembedahan pada limfadenitis adalah ketika pusat radang tuberkulosis sudah terdiri dari
pengejuan dan dikelilingi jaringan fibrosa. Adanya jaringan nekrosis akan menghambat
penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena
itu sarang infeksi di berbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus
dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis. Selain itu
tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada tuberkulosis paru
yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada tuberkulosis usus yang menimbulkan
obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat.
(Kumar, 2011)
Terapi Farmakologi, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011)
mengklasifikasikan limfadenitis TB ke dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) Kategori I. Regimen obat yang digunakan adalah 2HRZE/4H3R3. Obat
yang digunakan adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol. (World Health
Organization, 2013)

20
(World Health Organization, 2013)

Prinsip-prinsip yang digunakan dalam rangka memperoleh efektifitas pengobatan TB


adalah:
1. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam
bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dengan jumlah dan dosis yang tepat sesuai
dengankategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

 Prognosis dan KIE


Prognosis untuk pemulihan adalah baik jika segera diobati dengan pengobatan yang
tepat. Dalam kebanyakan kasus, infeksi dapat dikendalikan dalam tiga atau empat hari.
Namun, dalam beberapa kasus mungkin diperlukan waktu beberapa minggu atau bulan untuk
pembengkakan menghilang, panjang pemulihan tergantung pada penyebab infeksi.
Pengobatan yang tidak tuntas dapat menyebabkan resistensi dan septicemia. (Robbins, 2011)
Edukasi kesehatan mengenai limfadenitis perlu disampaikan pada pasien, terutama
terkait dengan tata laksana dan perjalanan penyakit. Pada beberapa kasus, seperti limfadenitis
viral dan mesenterika, penyakit dapat sembuh secara swasirna dalam 1-3 minggu. Penderita

21
dan keluarga perlu diedukasi bahwa proses penyembuhan memakan waktu dan tidak
diperlukan terapi kausatif yang spesifik. Efek samping yang berpotensi terjadi setelah eksisi
juga penting diinformasikan pada penderita yang memerlukan tindakan operatif. Komplikasi
setelah eksisi dapat berupa cedera saraf, infeksi luka operasi, dan pembentukan jaringan
parut. Tindakan ini juga tidak secara total menghilangkan kemungkinan rekurensi
limfadenitis di kemudian hari. (Robbins, 2011)

22
BAB III
KESIMPULAN
Skenario LBM 2 yang berjudul “Benjolan di Leher” ini merupakan skenario yang
menstimulasi sekelompok mahasiswa dalam mendiskusikan permasalahan yang ada. Adapun
permasalahan yang dibahas kelompok 5 berdasarkan skenario ini adalah Definisi, Etiologi dan
Epidemiologi dari Limfadenitis TB, Komplikasi dari Limfadenitis TB, Patofisiologi dari
Limfadenitis TB, Manifestasi klinis dari Limfadenitis TB, Diagnosis dari Skenario, Differensial
diagnosis (diagnosis banding) dari Limfadenitis TB, Faktor Resiko Limfadenitis TB, Tatalaksana
penyakit (Farmakologi dan Non-Farmakologi), dan (Prognosis & KIE).
Topik-topik permasalahan ini tentunya dapat memperdalam ilmu dan memperluas
wawasan mahasiswa mengenai topik-topik terkait yang sudah disebutkan sebelumnya, terutama
materi ini juga menjadi salah satu ilmu dasar kedokteran. Dengan mempelajari dan
mendiskusikan topik-topik tersebut, diharapkan mahasiswa akan lebih mudah dalam mempelajari
mekanisme fisiologis maupun patologis dari sistem ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

Amaylia O. Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran-2009, vol


40, no. 40. 2013.

Ansell SM. Hodgkin Lymphoma: Diagnosis and Treatment. Mayo Clin Proc. 2015; 90 (11):
1574-1583p.

Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Edisi 1. Jakarta. EGC. 2006. 192-202-p.

Bazemore AW. Smucker DR. Lymphadenitis and malignancy. Am Fam Physician. 2012; 66:
2103-10.

Ferrer R. Lymphadenitis: Differential diagnosis and evaluation. Am Fam Physician. 2013; 58:
1315.

Guyton and Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi: 11. Penerbit: Kedokteran EGC.

Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. Edisi 9. Philadelphia. W. B. Saunders
Company. 2013. 440-442p.

Kumar, Vinary, Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. Limfadenitis Tuberkulosis. Dalam: Buku
Ajar Patologi Edisi Vol. 2. Jakarta : ECG, 2011: 316-53.

National Institute of Health. (2019). U.S. National Library of Medicine. Medline. Lymphadenitis.
Shankland KR, Armitage JO, Hancock BW. Non-Hodgkin lymphoma. Lancet 2012; 380: 848–
857.
Spelman D. Tuberculous lymphadenitis. 2013 Sep [cited 2014 June 27]. Available from:
www.uptodate.com.

Tierney, Lawrence M., et al. 2013. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam. Jakarta:
Salemba Medika.

Werdhani, Retno Asti. 2014. Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI.

World Health Organization. Global Tuberculosis Control. Geneva: World Health Organization.
2013.

24
Yosephine, Putri Gaby. 2011. Karakteristik Penderita Limfadenitis Tuberkulosis di Sentra
Diagnostik Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
tahun 2011. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

25

Anda mungkin juga menyukai