Anda di halaman 1dari 16

REFARAT

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Oleh :
Ulul Azmi
19174035

Pembimbing

dr. Nanda Hudawwarachma, Sp, A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD MERAXA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya, dan tidak lupa sholawat dan salam yang senantiasa tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya serta sahabat-sahabatnya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat berjudul Anemia Defisiensi Besi.

Referat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Anak di RSUD Meraxa Banda Aceh. Dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
dr. Nanda Hudawwarachma, Sp, A selaku pembimbing. Penulis menyadari
sepenuhnya berbagai kekurangan yang masih jauh dari kesempurnaan. Akhir kata,
semoga tugas referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Wassalamualaikum wr.wb

Banda Aceh, Oktober 2020

Ulul Azmi
NIM: 19174035

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 3

2.1 Definisi ................................................................................................ 3


2.2 Etiologi ................................................................................................ 3
2.3 Patofisiologi ....................................................................................... 5
2.4 Manifestasi klinis ................................................................................ 7
2.5 Diagnosis ............................................................................................. 7
2.6 Penatalaksanaan................................................................................... 8
2.7 Diagnosis banding ............................................................................. 10
2.8 Pencegahan ........................................................................................ 11
2.9 Komplikasi dan Prognosis ................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Anemia bukanlah suatu diagnosis melainkan suatu simptom penyakit yang


memerlukan penyelidikan lebih lanjut untuk menentukan etiologinya. Anemia
adalah kekurangan sel darah merah, kuantitas hemoglobin, volume pada sel darah
merah (hematokrit) dalam jumlah tertentu per 100 ml darah. Cara untuk
menentukan anemia diuraikan oleh anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti dan
didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan biasanya dengan mengukur Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht). Hasil
pemeriksaan tersebut hati-hati dikelirukan pada pasien dehidrasi dan masa
kehamilan.
Dalam keadaan normal jumlah sel darah merah pada rata-rata orang dewasa
kira-kira 5 juta permilimeter kubik. Eritropoesis pada orang dewasa terutama terjadi
di dalam sumsum tulang melalui stadium pematangan. Sel eritrosit berinti berasal
dari sel induk multipotensial yang kemudian berdiferensiasi menjadi sel induk
unipotensial. Sel induk unipotensial dengan rangsangan hromon eritropoetin
menjadi sel pronormoblas. Sel pronormoblas ini akan membentuk
deoxyribonucleic acid (DNA) yang diperlukan untuk tiga sampai dengan empat kali
fase mitosis. Dari tiap sel pronormoblas akan terbentuk 16 eritrosit. Sel-sel yang
sedang berada dalam fase diferensiasi dari pronormoblas sampai dengan eritrosit
dapat dikenal dari morfologinya, sehingga dapat dikenal 5 stadium pematangan.
Proses diferensiasi dari pronormoblas sampai eritrosit memakan waktu + 72 jam.
Sel eritrosit normal berumur 120 hari.
Anemia dapat diklasifikasi menurut morfologi sel darah merah dan indeks-
indeksnya. Pada klasifikasi ini mikro dan makro menunjukkan ukuran sel darah
merah, sedangkan kromik menunjukkan warnanya.

1
Berikut klasifikasi anemia:

1. Anemia normositik normokrom


Dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung
hemoglobin dalam jumlah normal.
MCV = 84-96 fL dan MCHC = 32-36%
Contoh anemia jenis ini adalah anemia pada :
 Perdarahan akut
 Penyakit kronik
 Anemia hemolitik
 Anemia aplastik

2. Anemia makrositik normokrom


Makrositik berarti ukuran sel-sel darah lebih besar dari normal tetapi
normokrom karena konsentrasi Hb-nya normal.
MCV meningkat dan MCHC normal
Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesa asam nukleat DNA
seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat.
Contoh anemia jenis ini :
 Anemia megaloblastik akibat defisiensi vitamin B12 atau asam folat.

3. Anemia mikrositik hipokrom


Mikrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih kecil dari normal dan
hipokrom karena Hb dalam jumlah kurang dari normal.
MCV kurang dan MCHC kurang
Contoh anemia jenis ini yaitu :
 Anemia defisiensi besi
 Anemia penyakit kronik
 Talasemia

2
Salah satu tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat.
Ini umumnya diakibatkan oleh berkurangnya volume darah, berkurangnya
hemoglobin dan vasokonstriksi untuk memperbesar pengiriman O2 ke organ-organ
vital. Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan distribusi kapiler
mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat yang
dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan dan membran mukosa mulut serta
konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.
Pada umumnya anemia yang terjadi diakibatkan defisiensi nutrisi seperti
defisiensi Fe, asam folat dan vitamin B12. Dalam referat ini dibahas lebih lanjut
mengenai anemia defisiensi Fe.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan
besi yang digunakan untuk sintesis hemoglobin (Hb). 1 Defisiensi besi merupakan
defisiensi nutrisi umum di seluruh dunia dan merupakan masalah kesehatan yang
penting terutama di negara berkembang. Berdasarkan data WHO 2001, 30% anak
usia 0-4 tahun dan 48% anak usia 5-14 tahun di negara-negara berkembang
menderita anemia
Di Indonesia sendiri, Anemia defisiensi besi (ADB) masih merupakan suatu
masalah kesehatan. Hasil survai rumah tangga tahun 1995 ditemukan 40,5% anak
balita dan 47,2% anak usia sekolah menderita ADB. Anemia defisiensi besi dapat
menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi antara lain berupa gangguan fungsi
kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang terlambat, penurunan
aktivitas, dan perubahan tingkah laku.1

2.2. Etiologi
Penyebab anemia defisiensi besi jika dilihat dari umur, yaitu: 1
1. Bayi dibawah umur 1 tahun
 Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah dan
bayi kembar.
2. Anak umur 1-2 tahun
 Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan
tambahan (hanya minum susu)
 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang
 Malabsorbsi
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infeksi
parasit dan divertikulum Meckeli
3. Anak berumur 2-5 tahun
 Masukan besi berkurang karena jenis makanan kurang
mengandung Fe-heme

4
 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena
infestasi parasit dan divertikulum Meckeli
4. Anak berumur 5 tahun – masa remaja
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena
infestasi parasit dan poliposis
5. Usia remaja – dewasa.
 Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan.

Pengetahuan mengenai klasifikasi penyebab menurut umur ini penting


untuk diketahui, untuk mencari penyebab berdasarkan skala prioritas dengan tujuan
menghemat biaya dan waktu. 1

2.3. Patofisiologi
Anemia defisiensi besi biasanya diakibatkan karena adanya gangguan
metabolisme Fe dalam tubuh. Metabolisme besi terutama ditujukan untuk
pembentukan hemoglobin. Sumber utama untuk reutilisasi terutama bersumber dari
hemoglobin eritrosit tua yang dihancurkan oleh makrofag sistem retikuloendotelial.
Pada kondisi seimbang terdapat 25 ml eritrosit atau setara dengan 25 mg besi yang
difagositosis oleh makrofag setiap hari, tetapi sebanyak itu pula eritrosit yang akan
dibentuk dalam sumsum tulang atau besi yang dilepaskan oleh makrofag ke dalam
sirkulasi darah setiap hari.2
Besi dari sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 1–2 mg, sebanyak
itu pula yang dapat hilang karena deskuamasi kulit, keringat, urin dan tinja. Besi
plasma atau besi yang beredar dalam sirkulasi darah terutama terikat oleh transferin
sebagai protein pengangkut besi. Kadar normal transferin plasma ialah 250 mg/dl,
secara laboratorik sering diukur sebagai protein yang menunjukkan kapasitas
maksimal mengikat besi. Secara normal 25–45% transferin terikat dengan besi yang
diukur sebagai indeks saturasi transferin. Total besi yang terikat transferin ialah 4
mg atau hanya 0,1% dari total besi tubuh.2
Sebanyak 65% besi diangkut transferin ke prekursor eritrosit di sumsum tulang
yang memiliki banyak reseptor untuk transferin. Sebanyak 4% digunakan untuk
sintesis mioglobin di otot, 1% untuk sintesis enzim pernafasan seperti sitokrom C

5
dan katalase. Sisanya sebanyak 30% disimpan dalam bentuk feritin dan
hemosiderin. Kompleks besi transferin dan reseptor transferin masuk ke dalam
sitoplasma prekursor eritrosit melalui endositosis. Sebanyak 80–90% molekul besi
yang masuk ke dalam prekursor eritrosit akan dibebaskan dari endosom dan
reseptor transferin akan dipakai lagi, sedangkan transferin akan kembali ke dalam
sirkulasi. Besi yang telah dibebaskan dari endosom akan masuk ke dalam
mitokondria untuk diproses menjadi hem setelah bergabung dengan protoporfirin,
sisanya tersimpan dalam bentuk feritin. Dalam keadaan normal 30–50% prekursor
eritrosit mengandung granula besi dan disebut sideroblast. Sejalan dengan maturasi
eritrosit, baik reseptor transferin maupun feritin akan dilepas ke dalam peredaran
darah. Feritin segera difagositosis makrofag di sumsum tulang dan setelah proses
hemoglobinisasi selesai eritrosit akan memasuki sirkulasi darah. Ketika eritrosit
berumur 120 hari akan difagositosis makrofag sistem retikuloendotelial terutama
yang berada di limpa. Sistem tersebut berfungsi terutama melepas besi ke dalam
sirkulasi untuk reutilisasi. Terdapat jenis makrofag lain seperti makrofag alveolar
paru atau makrofag jaringan lain yang lebih bersifat menahan besi daripada
melepaskannya. Proses penghancuran eritrosit di limpa, hemoglobin dipecah
menjadi hem dan globin. 2
Dalam keadaan normal molekul besi yang dibebaskan dari hem akan diproses
secara cepat di dalam kumpulan labil (labile pool) melalui laluan cepat pelepasan
besi (the rapid pathway of iron release) di dalam makrofag pada fase dini. Molekul
besi ini dilepaskan ke dalam sirkulasi, yang selanjutnya berikatan dengan transferin
bila tidak segera dilepas. Maka molekul besi akan masuk jalur fase lanjut yang akan
diproses untuk disimpan oleh apoferitin sebagai cadangan besi tubuh. Kemudian
dilepas ke dalam sirkulasi setelah beberapa hari melalui laluan lambat (the slower
pathway). Penglepasan besi dari makrofag tidak berjalan secara langsung, tetapi
melalui proses oksidasi di permukaan sel agar terjadi perubahan bentuk ferro
menjadi ferri, sehingga dapat diangkut oleh transferin plasma. Reaksi oksidasi
tersebut dikatalisasi oleh seruloplasmin. Kecepatan pelepasan besi ke dalam
sirkulasi oleh makrofag lebih cepat terjadi pada pagi hari, sehingga kadar besi
plasma menunjukkan variasi diurnal.2

6
2.4. Manifestasi Klinis
Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak spesifik.
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu
penurunan kadar feritin/saturasi transferin serum dan kadar besi serum. Pada ADB
gejala klinis terjadi secara bertahap. Kekurangan zat besi di dalam otot jantung
menyebabkan terjadinya gangguan kontraktilitas otot organ tersebut. Pasien ADB
akan menunjukkan peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya disertai dengan
gangguan konversi tiroksin menjadi triodotiroksin. Penemuan ini dapat
menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang berkurang,
sehingga menurunkan prestasi belajar kasus ADB. Anak yang menderita ADB lebih
mudah terserang infeksi karena defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan fungsi
neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T yang penting untuk pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau
mengunyah benda tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan
lain lain, timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang
nyaman ini disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa
mulut yang mengandung besi berkurang. Dampak kekurangan besi tampak pula
pada kuku berupa permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan mudah patah.
Bentuk kuku seperti sendok (spoon-shaped nails) yang juga disebut sebagai
kolonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB. Pada saluran pencernaan, kekurangan zat
besi dapat menyebabkan gangguan dalam proses epitialisasi. Papil lidah mengalami
atropi. Pada keadaan ADB berat, lidah akan memperlihatkan permukaan yang rata
karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan stomatitis angularis dan
ditemui gastritis pada 75% kasus ADB.1

2.5. Diagnosis
Dalam pengobatan, anamnesa riwayat terperinci dan pemeriksaan fisik sangat
penting dalam mendiagnosis semua penyakit secara umum. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa anemia dapat didiagnosis dengan riwayat terperinci dengan
sensitivitas 71% dan spesifisitas 79%. Terutama mengenai periode prenatal, gizi,
waktu memulai ASI dan makanan padat dan riwayat pendarahan harus ditanyakan

7
secara rinci. Tanda-tanda anemia dan penyakit sistemik lainnya yang dapat
menyertai harus dicari.3
Tindakan primer yaitu dengan melakukan pemeriksaan hitung darah lengkap
dan apusan darah tepi. Ketika hitung darah lengkap dinilai baik, akan dapat
memberikan banyak petunjuk dalam mendiagnosis berbagai penyakit pada anak-
anak. Dalam hitung darah lengkap, harus diperiksa apakah kadar hemoglobin dan
hematokrit normal untuk usia dan jenis kelamin pasien (jika anemia ada). Batas
bawah normal dengan usia dan jenis kelamin yang ditentukan oleh WHO dapat
digunakan, karena praktis dan nilai lebih rendah dari batas-batas ini dapat dianggap
anemia. Pada bayi yang lebih muda dari 6 bulan, nilai-nilai yang lebih rendah
diamati karena anemia fisiologis, namun hemoglobin diperkirakan tidak lebih
rendah dari 9 g / dL pada anemia fisiologis pada bayi jika tidak ada faktor lain yang
menyertainya.
Tabel 1. Batasan terendah Hb dan hematokrit menurut WHO
Usia dan Jenis Kelamin Hemoglobin (g/dl) Hematokrit (%)
Anak usia 6-59 bulan 11 33
Anak usia 5 – 11 tahun 11,5 34
Anak usia 12 14 tahun 12 36
Perempuan usia >15 tahun 12 36
Laki-laki usia >15 tahun 13 39

2.6. Penatalaksanaan
Bila diagnosis defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus segera
dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Pengobatan terdiri atas
pemberian preparat besi secara oral berupa garam fero (sulfat, glukonat, fumarat
dan lain-lain), pengobatan ini tergolong murah dan mudah dibandingkan dengan
cara lain. Pada bayi dan anak, terapi besi elemental diberikan dengan dosis 3-6
mg/kg bb/hari dibagi dalam dua dosis, 30 menit sebelum sarapan pagi dan makan
malam; penyerapan akan lebih sempurna jika diberikan sewaktu perut kosong.
Penyerapan akan lebih sempurna lagi bila diberikan bersama asam askorbat atau
asam suksinat. Bila diberikan setelah makan atau sewaktu makan, penyerapan akan

8
berkurang hingga 40-50%.8 Namun mengingat efek samping pengobatan besi
secara oral berupa mual, rasa tidak nyaman di ulu hati, dan konstipasi, maka untuk
mengurangi efek samping tersebut preparat besi diberikan segera setelah makan.
Penggunaan secara intramuskular atau intravena berupa besi dextran dapat
dipertimbangkan jika respon pengobatan oral tidak berjalan baik misalnya karena
keadaan pasien tidak dapat menerima secara oral, kehilangan besi terlalu cepat yang
tidak dapat dikompensasi dengan pemberian oral, atau gangguan saluran cerna
misalnya malabsorpsi. Cara pemberian parenteral jarang digunakan karena dapat
memberikan efek samping berupa demam, mual, ultikaria, hipotensi, nyeri kepala,
lemas, artralgia, bronkospasme sampai reaksi anafilatik. Respons pengobatan mula-
mula tampak pada perbaikan besi intraselular dalam waktu 12-24 jam. Hiperplasi
seri eritropoitik dalam sumsum tulang terjadi dalam waktu 36-48 jam yang ditandai
oleh retikulositosis di darah tepi dalam waktu 48-72 jam, yang mencapai puncak
dalam 5-7 hari. Dalam 4-30 hari setelah pengobatan didapatkan peningkatan kadar
hemoglobin dan cadangan besi terpenuhi 1-3 bulan setelah pengobatan. Untuk
menghindari adanya kelebihan besi maka jangka waktu terapi tidak boleh lebih dari
5 bulan. Transfusi darah hanya diberikan sebagai pengobatan tambahan bagi pasien
ADB dengan Hb 6g/dl atau kurang karena pada kadar Hb tersebut risiko untuk
terjadinya gagal jantung besar dan dapat terjadi gangguan fisiologis. Transfusi
darah diindikasikan pula pada kasus ADB yang disertai infeksi berat, dehidrasi
berat atau akan menjalani operasi besar/ narkose. Pada keadaan ADB yang disertai
dengan gangguan/kelainan organ yang berfungsi dalam mekanisme kompensasi
terhadap anemia yaitu jantung (penyakit arteria koronaria atau penyakit jantung
hipertensif ) dan atau paru (gangguan ventilasi dan difusi gas antara alveoli dan
kapiler paru), maka perlu diberikan transfusi darah. Komponen darah berupa
suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara bertahap dengan tetesan lambat.
Telah dikemukakan di atas salah satu penyebab defisiensi besi ialah kurang
gizi. Besi di dalam makanan dapat berbentuk Fe-heme dan non-heme. Besi non-
heme yang antara lain terdapat di dalam beras, bayam, jagung, gandum, kacang
kedelai berada dalam bentuk senyawa ferri yang harus diubah dulu di dalam
lambung oleh HCL menjadi bentuk ferro yang siap untuk diserap di dalam usus.
Penyerapan Fe-non heme dapat dipengaruhi oleh komponen lain di dalam makanan.

9
Fruktosa, asam askorbat (vitamin C), asam klorida dan asam amino memudahkan
absorbsi besi sedangkan tanin (bahan di dalam teh), kalsium dan serat menghambat
penyerapan besi. Berbeda dengan bentuk non-heme, absorpsi besi dalam bentuk
heme yang antara lain terdapat di dalam ikan, hati, daging sapi, lebih mudah diserap.
Disini tampak bahwa bukan hanya jumlah yang penting tetapi dalam bentuk apa
besi itu diberikan. Anak yang sudah menunjukkan gejala ADB telah masuk ke
dalam lingkaran penyakit, yaitu ADB mempermudah terjadinya infeksi sedangkan
infeksi mempermudah terjadinya ADB. Oleh karena itu antisipasi sudah harus
dilakukan pada waktu anak masih berada di dalam stadium I & II. Bahkan di
Inggris, pada bayi dan anak yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi yang
rendah dianjurkan untuk diberikan suplementasi besi di dalam susu formula. 1

2.7. Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari anemia defisiensi diantanya adalah:

1. Thalasemia

Thalasemia Merupakan suatu kelompok anemia hemolitik kongenital


herediter yang diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh kekurangan
sintesis rantai polipeptid yang menyusun molekul globin dalam
hemoglobin. Kelainan produksi dapat terjadi pada rantai- (-
thalassemia), rantai- (-thalassemia), rantai- ( -thalassemia), rantai-
(-thalassemia).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda Pucat, bentuk muka
mongoloid, dapat ditemukan ikterus, gangguan pertumbuhan,
splenomegalu dan hepatomegaly. Saat pemeriksaan darah tepio bisanaya
ditemukan Hb rendah (dapat mencapai 2-3 gr%), gambaran morfologi
eritrosit: hipokrom mikrositik, sel target, retikulosit meningkat dan adanya
peningkatan eritropoesis pada pemeriksaan sumsum tulang.

2. Anemia Sideroblastik

Ada dua penyebab terjadinya penyakit anemia sideroblastik.


Penyebab pertama adalah faktor primer yaitu penyebab anemia
sideroblastik secara spontan yang biasanya dialami oleh Lansia serta faktor

10
genetik, yaitu keadaan kromosom X yang tidak normal. Yang kedua
adalah faktor sekunder yaitu disebabkan karena pengaruh obat-obatan
pada kemoterapi. Namun dapat diduga juga bahwa penyebab penyakit ini
karena kurangnya ketersediaan Zat Besi, Tembaga dan zat lainnya yang
berperan penting dalam pembentukan sel darah merah.
Gejala yang yang biasanya muncul diantaranya adalah kulit memucat,
penderita cepat mengalami lelah, sering mengalami pusing, rasa letih, dan
nyeri sendi, terjadi pembengkakan limfa dan hati.5

3. Anemia Penyakit Kronis

Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi


kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang,
disertai oleh rasa lemah dan penurunan berat badan dan disebut anemia
pada penyakit kronis. Anemia ini sangat mirip dengan anemia defisiensi
besi tetapi pada anemia ini terjadi sekuestrasi besi di dalam sistem RES
karena inflamasi. Pada anemia jenis ini, terjadi sekuestrasi besi di dalam
makrofag. Sekuestrasi ini berfungsi untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dependen besi atau untuk memperkuat aspek imunitas
pejamu.2

2.8. Pencegahan

Usaha sederhana mencegah ADB adalah dengan mengonsumsi makanan yang


kaya akan zat besi. Usahakan bayi mendapat air susu ibu eksklusif. Setelah usia 6
bulan apabila tidak mendapat air susu ibu sebaiknya diberi susu formula yang
difortifikasi zat besi. Pemberian tambahan zat besi dianjurkan pula sejak bayi
sampai usia remaja, diberikan sebagai usaha pencegahan terhadap anemis. 4
Banyak bahan makanan di sekitar kita yang kaya kandungan zat besi. Sayuran
berdaun hijau seperti selada air, kangkung, brokoli, bayam hijau, buncis dan
kacang-kacangan kaya akan zat besi. Bahan makanan hewani seperti daging merah
dan kuning telur juga kaya zat besi dan lebih mudah diserap oleh tubuh
dibandingkan sumber nabati. Dalam proses pengolahan bahan makanan, sangat

11
perlu diperhatikan pengolahan yang baik dan benar sehingga kandungan zat
makanan misalkan zat besi tidak berkurang dari bahan makanan tersebut. Usahakan
anak banyak mengonsumsi makanan yang kaya zat besi untuk mencegah ADB.4
Setiap kelompok usia anak rentan terhadap defisiensi besi (DB). Kelompok
usia yang paling tinggi mengalami DB adalah usia balita (0-5 tahun) sehingga
kelompok usia ini menjadi prioritas pencegahan DB. Kekurangan besi dengan atau
tanpa anemia, terutama yang berlangsung lama dan terjadi pada usia 0-2 tahun dapat
mengganggu tumbuh kembang anak, antara lain menimbulkan defek pada
mekanisme pertahanan tubuh dan gangguan pada perkembangan otak yang
berdampak negatif terhadap kualitas sumber daya manusia pada masa mendatang. 6

Tabel 2 Rekomendasi dosis dan lama pemberian suplementasi besi rekomendasi


Ikatan Dokter Anak Indonesia
Usia (Tahun) Dosis Besi Elemental Laama Pemberian
Bayi* :BBLR (<2500 g) 3 mg/kgBB/hari Usia 1 bulan - 4 tahun
: Cukup bulan 2 mg/kgBB/hari Usia 4 bulan – 2 tahun

2 – 5 (balita) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan


berturut setiap tahun
>5 – 12 (usia sekolah) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut setiap tahun
12 – 18 (remaja) 60 mg/kgBB/hari# 2x/minggu selama 3 bulan
berturut setiap tahun
Keterangan:
* Dosis maksimum untuk bayi : 15 mg/hari, dosis tunggal
# Khusus remaja perempuna ditambah 400 μg asam folat
Sumber gambar: Gatot, D., Idjradinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B., Soedjatmiko, &
Hendarto, A. (2011). Suplementasi Besi Untuk Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

2.9. Komplikasi dan Prognosis


Anemia pada anak jika tidak ditangani dalam waktu lama dapat mengakibatkan
komplikasi gangguan pertumbuhan dan perkembangan kemudian mudah
mengalami infeksi. Prognosis dari ADB umumnya cenderung baik selama diagnosa
dan penanganan dilakukan dengan cepat dan tanpa disertai dengan adanya
komplikasi.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Muhammad, A. (2005). PENENTUAN DEFISIENSI BESI ANEMIA


PENYAKIT KRONIS MENGGUNAKAN PERAN INDEKS sTfR-F
( Determination of iron deficiency in chronic disease anemia by the role of
sTfR-F index ). Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory, 2(1), 9–15.
2. Endang, W. (2013). IDAI - ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA BAYI
DAN ANAK http://idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/anemia-
defisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak
3. Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2002). Diagnosis, Pengobatan dan
Pencegahan Anemia Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), 2–5.
4. Gatot, D., Idjradinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B., Soedjatmiko, &
Hendarto, A. (2011). Suplementasi Besi Untuk Anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
5. Gejala Anemia Sideroblastik, Penyebab Dan Pencegahannya | Gejala
Penyebab Dan Cara Mengatasi. (2014).
http://www.referensisehat.com/2014/12/gejala-anemia-sideroblastik-
penyebab.html
6. Oehadian, A. (2012). Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Continuing
Medical Education, 39(6), 407–412.
7. Irawan, H. (2013). Pendekatan Diagnosis Anemia pada Anak. CDK-205,
40(6), 422–425.
8. Medlinux. (2007). Anemia Pada Anak ~ Seputar Kedokteran.

13

Anda mungkin juga menyukai