Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN RISIKO PERILAKU

KEKERASAN PADA TN. N DI RUANG PERAWATAN


FLAMBOYAN RSKD DADI PROVINSI
SULAWESI SELATAN

OLEH:

ALVINA DAMAYANTI

ASMITA AZIS

GERESYA TALAKUA

KAMSINAR

NANCY LODAR

PUTRI LA ENI

TONY HENDRIK NANLOHY

YOSEPINA LEREBULAN

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN FAMIKA

MAKASSAR

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kelompok kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
dan karunia–Nya kepada kami, sehingga laporan ini bisa terselesaikan walau di dalamnya
masih ada kekurangan.

Adapun maksud dan tujuan laporan ini dibuat yaitu untuk memenuhi salah satu tugas
yang diberikan kepada kami yakni tugas seminar profesi dan untuk dipelajari secara bersama.
Dalam proses pembuatan laporan ini kami mempunyai hambatan, namun berkat dukungan
berbagai pihak, akhirnya kami dapat merampungkannya dengan cukup baik. Oleh karena itu,
kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak terkait yang telah membantu
menyelesaikan tugas ini.

Segala sesuatu yang kurang dalam laporan ini mohon dimaafkan baik isi, ketikannya
dan kata – katanya. Oleh karena itu, kami mohon saran dan kritik yang membangun dari
bapak/ibu dan saudara saudari yang bermanfaat bagi laporan kami.

Makassar, 11 Maret 2024

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah berbagai
karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan
yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Kesehatan jiwa menurut UU No.
18 tahun 2014 adalah kondisi dimana seseorang individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif dan
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Prevalensi ganguan jiwa di Indonesia berdasarkan KEMENKES 2019 di urutan
pertama Provinsi Bali 11,1% dan nomor dua disusul oleh Provinsi DI Yogyakarta
10,4%, NTB 9,6%, Provinsi Sumatera Barat 9,1%, Provinsi Sulawesi Selatan 8,8%,
Provinsi Aceh 8,7%, Provinsi Jawa Tengah 8,7%, Provinsi Sulawesi Tengah 8,2%,
Provinsi Sumatera Selatan 8%, Provinsi Kalimantan Barat 7,9%. Sedangkan
Provinsi Sumatera Utara berada pada posisi ke 21 dengan privalensi 6,3%
(KEMENKES, 2019).
Riset kesehatan dasar (Riskesdas, 2018) menunjukkan angka prevalensi rumah
tangga yang memiliki anggota keluarga yang menderita skizofrenia/psikosis yaitu
sebesar 7/1000 dengan cakupan pengobatan 84,9%. Selain itu, prevalensi remaja
berusia >15 tahun yang menderita skizofrenia/psikosis mengalami peningkatan yaitu
pada tahun 2013 (6%) menjadi 9,8% pada tahun 2018. Provinsi dengan penyebaran
skizofrenia/psikosis tertinggi yaitu Bali (11,1%) disusul DI Yogyakarta (10,4%),
dimana Sulawesi Selatan berada diurutan ke-5 sebanyak 8,8%.
Berdasarkan hasil survey awal di RSKD Dadi Provinsi Sulawesi Selatan tahun
2018, jumlah pasien dirawat sebanyak 13.292 orang dengan distribusi yang
mengalami halusinasi 6.586 (49,54%), menarik diri 1.904 (14,32%), deficit self care
1.548 (11,65%), harga diri rendah 1.318 (9,92%), mengalami perilaku kekerasan
1.145 (8,61%), waham 451 (3,39%), gangguan fisik 336 (2,53%) dan yang
mengalami percobaan bunuh diri sebanyak 5 orang (0,04%) (Sahabuddin et al,
2020).
Tanda dan gejala yang timbul akibat gangguan psikotik berupa gejala positif
dan negatif seperti perilaku kekerasan. Resiko perilaku kekerasan merupakan salah
satu respon marah yang diespresikan dengan melakukan ancaman, mencederai diri
sendiri maupun orang lain. Pada aspek fisik tekanan darah meningkat, denyut nadi
dan pernapasan meningkat, marah, mudah tersinggung, mengamuk dan bisa
mencederai diri sendiri. Perubahan pada fungsi kognitif, fisiologis, afektif, hingga
perilaku dan sosial hingga menyebabkan resiko perilaku kekerasan. Berdasarkan
data tahun 2017 dengan resiko perilaku kekerasan sekitar 0,8% atau dari 10.000
orang menunjukkan resiko perilaku kekerasan sanggatlah tinggi (Pardede,2020).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan definisi dari Resiko perilaku kekerasan
2. Menjelaskan teori perilaku dari Resiko perilaku kekerasan
3. Menjelaskan rentang respon marah dari Resiko perilaku kekerasan
4. Menjelaskan penyebab dari Resiko perilaku kekerasan
5. Menjelaskan proses terjadinya Resiko perilaku kekerasan
6. Menjelaskan mekanisme koping dari Resiko perilaku kekerasan

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi dari Resiko perilaku kekerasan
2. Menjelaskan teori perilaku dari Resiko perilaku kekerasan
3. Menjelaskan rentang respon marah dari Resiko perilaku kekerasan
4. Menjelaskan penyebab dari Resiko perilaku kekerasan
5. Menjelaskan proses terjadinya Resiko perilaku kekerasan
6. Menjelaskan mekanisme koping dari Resiko perilaku kekerasan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Risiko Perilaku Kekerasan


1. Definisi Risiko Perilaku Kekerasan
Risiko Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis dapat terjadi dalam dua bentuk
yaitu saat berlangsung kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan. Perilaku
kekerasan merupakan respon maladaptif dari marah akibat tidak mampu klien untuk
mengatasi stressor lingkungan yang dialaminya (Estika, 2021).
Risiko perilaku kekerasan adalah salah satu respon terhadap stressor yang
dihadapi oleh seseorang yang di tunjukan dengan perilaku kekerasan baik pada diri
sendiri maupun orang lain dan lingkungan baik secara verbal maupun nonverbal.
Bentuk perilaku kekerasan yang dilakukan bisa amuk, bermusuhan yang berpotensi
melukai, merusak baik fisik maupun kata-kata (Kio, Wardana & Arimbawa, 2020).
2. Rentang Respon Marah
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit diri-
sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan
langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu
orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya. Oleh karenanya, perawat harus
pula mengetahui tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah.
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart
dan Sundeen, 1995).
Secara umum, rentang respon adapatif dan maladaptif merupakan bagian dari
rentang respon sosial, dimana pembagian adalalah sebagai berikut:
a. Respon adaptif merupakan respon yang masih dapat diterima oleh norma-
norma sosial dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat dan
individu dalam menyelesaikan masalahnya, dengan kata lain respon adaptif
adalah respon atau masalah yang masih dapat di toleransi atau masih dapat di
selesaikan oleh kita sendiri dalam batas yang normal.
b. Respon maladaptif merupakan respon yang diberikan individu dalam
menyelesaikan masalahnya menyimpang dari norma - norma dan kebudayaan
suatu tempat atau dengan kata lain di luar batas individu tersebut.

Adaptasi Maldaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk


Menurut Stuart& Sundeen (1995) rentang respon marah yaitu:
a. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada individu
dan tidak menimbulkan masalah.
b. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena tidak
reakstis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan.
c. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, pasien
tampak pemalu, pendiam sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa
kurang mampu.
d. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk
bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Perilaku yang tampak
dapat berupa : muka kusam, bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan.
e. Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan kontrol
diri, individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
3. Etiologi
Menurut Muhith (2015), penyebab perilaku kekerasan ada dua faktor antara lain.
a. Faktor Predisposisi
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
dapat timbul agresif, masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu
perasaan ditolak, dihina, dan dianiaya. Sesorang yang mengalami hambatan
dalam mencapai tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia
menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan cemas. Jika tidak mampu
mengendalikan frustasi tersebut maka dia meluapkannya dengan cara
kekerasan.
2) Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau di luar rumah, semua aspek ini
menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol
sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan
seolah-olah perilaku kekerasan diterima (permisive).
4) Biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorngan agresif
mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa
adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada
di tengah sistem limbik) binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif.
Perangsangan yang diberikan terutama pada neukleus periforniks
hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya,
mengangkat ekornya, mendesis, bulunya berdiri, menggeram, matanya
terbuka lebar, pupil berdilatasi, hendak menerkam tikus atau objek yang ada
di sekitarnya. Jadi, terjadi kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan
perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal
(untuk interpretasi indera penciuman dan memori). Neurotransmiter yang
sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin, dopamin, norepineprin,
asetilkolin, dan asam amino GABA. Faktor-faktor yang mendukung
adalah ; 1) masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan, 2) sering
mengalami kegagalan, 3) kehidupan yang penuh tindakan agresif, dan 4)
lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari pasien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi pasien seperti kelemahan fisik (penyakit
fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat
menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi
lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan,
kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor
penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif dan konflik dapat pula
memicu perilaku kekerasan.
Hilangnya harga diri juga berpengaruh pada dasarnya manusia itu
mempunyai kebutuhan yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi akibatnya individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak
berani bertindak, lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya. Harga diri
adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa
seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri
dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang
kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan
yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai, pekerjaan
dan kekerasan merupakan factor penyebab yang lain. Interaksi social yang
provokatif dan konflik dapat pula memicu tindakan kekerasan.
4. Patofisiologi
Perilaku kekerasan berhubungan dengan lesi pada korteks prefrontal (sindrom
lobus frontal) dan stimulasi amigdala dan sistem limbic, dan adanya peningkatakan
hormone andogren dan norepinefrine cairan cerebrospinal dan penurunan serotonin
dalam cairan cerebrospinal (mirip bunuh diri dalam kekerasan) dan GABA (Gama
Amino Butirat Acid). Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat
bertindak keras tapi ada kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi: pria berusia
15-25 tahun, atau subgroup dengan budaya kekerasan, peminum alkohol. Faktor
neurotransmiter dari biogenik amin, norepinefrin dan serotonin merupakan dua
neutransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood.
Norepinefrin berhubungan yang dinyatakan oleh penelitian ilmiah dasar antara
turunnya regulasi reseptor B-adrenergik dan respon antidepresan secara klinis
memungkinkan indikasi peran sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti-bukti
lainnya yang juga melibatkan presinaptik reseptor adrenergik dalam depresi, sejak
reseptor-reseptor tersebut diaktifkan mengakibatkan penurunan jumlah norepinefrin
yang dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron
dilepaskan. Presipnatik reseptor adrenergik juga berlokasi di neuron serotonergik
dan mengatur jumlah serotonin yang dilepaskan. Dopamin juga sering berhubunga
dengan patofisiologi depresi. Faktor neurokimia lainnya seperti gamma
aminobutyric acid (GABA) dan neuroaktif peptida (vasopressin dan opiate endogen)
telah dilibatkan dalam patofisiologi gangguan mood.
Selain kelompok amin biogenik, ada neurotransmiter lain dari asam amino.
Asam amino dikenal sebagai pembangun blok protein. Dua neurotransmiter utama
dari asam amino ini adalah gamma-aminobutyric acid (GABA) dan glutamate.
GABA adalah asam amino inhibitor (penghambat), sedang glutamate adalah asam
amino eksitator. Kadang cara sederhana untuk melihat kerja otak adalah dengan
melihat keseimbangan dari kedua neurotransmiter tersebut. Bila oleh karena suatu
hal, misalnya subsentivitas reseptor-reseptor pada membran sel paskasinaptik,
neurotransmiter epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin menurut kadarnya pada
celah sinaptik, terjadilah sindrom depresi. Demikianlah pula bila terjadi disregulasi
asetilkholin yang menyebabkan menurunya kadar neurotrnasmiter asetilkolin di
celah sinaptil, terjadinya gejala depresi.
5. Manifestasi Klinis
Stuart and Sundeen (1995) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku
kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Amuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan
menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
h. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
6. Mekanisme Koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme orang lain. Mekanisme koping
klien sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping
yang konstruktif dalam mengekspresikan marahnya. Yosep (2011) Mekanisme
koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti:
a. Displacement
Melepaskan perasaan tertekannya bermusuhan pada objek yang begitu seperti
pada mulanya yang membangkitkan emosi.
b. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai keinginan yang tidak baik.
c. Depresi
Menekan perasaan orang lain yang menyakitkan atau konflik ingatan dari
kesadaran yang cenderung memperluas mekanisme ego lainnya.
d. Reaksi formasi
Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan dengan apa
yang benar-benar dilakukan orang lain.
7. Penatalaksanaan
Strategi Pelaksanaan (SP) yang dilakukan oleh klien dengan perilaku
kekerasan adalah diskusi mengenai cara mengontrol perilaku kekerasan secara fisik,
obat, verbal, dan spiritual.
a. Terapi Medis
1) Terapi Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Jenis obat
psikofarmaka adalah:
a) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa :agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-
gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, mania
depresif, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
b) Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilles de
la toureette pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku
berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa 1-6 mg sehari yang
terbagi 6-15 mg untuk keadaan berat. Kontraindikasinya depresi sistem
saraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson, hipersensitif
terhadap haloperidol. Efek samping nya sering mengantuk, kaku, tremor
lesu, letih, gelisah.
c) Trihexiphenidyl (TXP, Artane, Tremin)
Indikasi untuk penatalaksanan manifestasi psikosa khususnya gejala
skizofrenia.
b. Terapi Somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan tujuan
mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku yang adaptif dengan
melakukan tindakan dalam bentuk perlakuan fisik (Riyadi dan Purwanto, 2009).
Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:
1) Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien (Riyadi dan Purwanto, 2009).
2) Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan khusus
(Riyadi dan Purwanto, 2009).
3) Foto therapy atau therapi cahaya
Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini diberikan
dengan memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih terang dari sinar
ruangan) (Riyadi dan Purwanto, 2009).
4) ECT (Electro Convulsive Therapy)
5) ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial
dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu atau
dua temples.Therapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak
mempan denga terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik
4-5 joule/detik.
c. Tindakan Keperawatan
Penatalaksanaan pada pasien dengan perilaku kekerasan meliputi (Videbeck,
2008):
1) Terapi Modalitas
a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan
lingkungan bagi semua pasien ketika mencoba mengurangi atau
menghilangkan agresif. Aktivitas atau kelompok yang direncanakan
seperti permainan kartu, menonton dan mendiskusikan sebuah film,
atau diskusi informal memberikan pasien kesempatan untuk
membicarakan peristiwa atau isu ketika pasien tenang. Aktivitas juga
melibatkan pasien dalam proses terapeutik dan meminimalkan
kebosanan (Videbeck, 2008).
b) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, pasien berpartisipasi dalam sesi bersama
dalam kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan sama dan
diharapkan memberi kontribusi kepada kelompok untuk membantu
yang lain dan juga mendapat bantuan dari yang lain. Peraturan
kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh semua anggota
kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok, pasien dapat
mempelajari cara baru memandang masalah atau cara koping atau
menyelesaikan masalah dan juga membantunya mempelajari
keterampilan interpersonal yang penting (Videbeck, 2008).
c) Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang
mengikutsertakan pasien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah
memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi psikopatologi
pasien, memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional keluarga,
merestrukturisasi gaya perilaku keluarga yang maladaptive, dan
menguatkan perilaku penyelesaian masalah keluarga (Steinglass dalam
Videbeck, 2008).
d) Terapi Individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara
pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal antara
ahli terapi danpasien .Tujuan dari terapi individu yaitu memahami diri
dan perilaku mereka sendiri, membuat hubungan personal,
memperbaiki hubungan interpersonal, atau berusaha lepas dari sakit
hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara pasien dan ahli terapi terbina melalui tahap
yang sama dengan tahap hubungan perawat-pasien yaitu introduksi,
kerja, dan terminasi. Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh
organisasi pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain
mendorong upaya mempercepat pasien ke fase kerja sehingga
memperoleh manfaat maksimal yang mungkin dari terapi (Videbeck,
2008).
d. Hal-hal yang Dapat dilakukan Apabila Mempunyai Keluarga dengan Risiko
Perilaku Kekerasan
1) Mengadakan kegiatan bermanfaat yang dapat menampung potensi dan minat
bakat anggota keluarga yang mengalami perilaku kekerasansehingga
diharapkan dapat meminimalisir kejadian perilaku kekerasan.
2) Bekerja sama dengan pihak yang berhubungan dekat dengan pihak-pihak
terkait contohnya badan konseling, RT, atau RW dalam membantu
menyelesaiakan konflik sebelum terjadi tindakan kekerasan.
3) Mengadakan kontrol khusus dengan perawat /dokter yang dapat membahas
dan melaporkan perkembangan anggota keluarga yang mengalami risiko
pelaku kekerasan terutama dari segi kejiwaan antara pengajar dengan pihak
keluarga terutama orangtua.
e. Peran Keluarga dalam Penanganan Risiko Perilaku Kekerasan
1) Mencegah terjadinya perilaku amuk :
a) Menjalin komunikasi yang harmonis dan efektif antar anggota keluarga
b) Saling memberi dukungan secara moril apabila ada anggota keluarga yang
berada dalam kesulitan
c) Saling menghargai pendapat dan pola pikir
d) Menjalin keterbukaan
e) Saling memaafkan apabila melakukan kesalahan
f) Menyadari setiap kekurangan diri dan orang lain dan berusaha
memperbaiki kekurangan tersebut
g) Apabila terjadi konflik sebaiknya keluarga memberi kesempatan pada
anggota keluarga untuk mengugkapkan perasaannya untuk membantu kien
dalam menyelesaikan masalah yang konstruktif.
h) Keluarga dapat mengevaluasi sejauh mana keteraturan minum obat
anggota dengan risiko pelaku kekerasan dan mendiskusikan tentang
pentingnya minum obat dalam mempercepat penyembuhan.
i) Keluarga dapat mengevaluasi jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang
telah dilatih di rumah sakit.
j) Keluarga memberi pujian atas keberhasilan pasien untuk mengendalikan
marah.
k) Keluarga memberikan dukungan selama masa pengobatan anggota
keluarga risiko pelaku kekerasan.
l) keluarga menyiapkan lingkungan di rumah agar meminimalisir
kesempatan melakukan perilaku kekerasan
2) Mengontrol Perilaku Kekerasaan dengan mengajarkan pasien :
a) Menarik nafas dalam
b) Memukul-mukul bantal
c) Bila ada sesuatu yang tidak disukai anjurkan pasien mengucapkan apa
yang tidak disukai pasien
d) Melakukan kegiatan keagamaan seperti sembahyang.
e) Mendampingi pasien dalam minum obat secara teratur.
3) Bila pasien dalam Perilaku Kekerasan
Meminta bantuan petugas terkait dan terdekat untuk membantu membawa
pasien ke rumah sakit jiwa terdekat. Sebelum dibawa usahakan dan utamakan
keselamatan diri pasien dan penolong.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian adalah sebagai dasar utama dari proses keperawatan. Tahap
pengkajian terdiri dari pengumpulan data dan perumusan masalah paisen.
Data yang dikumpulkan melalui data biologis, psikologis, sosial dan spiritual
(Saputri & Mar’atus, 2021). Analisa Data Dengan melihat data subyektif dan
objektif dapat menentukan permasalahan yang dihadapi pasien. Dan dengan
memperhatikan pohon masalah dapat diketahui penyebab, affeck dari masalah
tersebut. Dari 12 hasil analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa keperawatan
(Hasannah, 2019).
2. Diagnosa keperawatan
Dari data pengkajian subyektif dan obyektif yang didapatkan bahwa pasien
sering memperlihatkan mengancam secara fisik, verbal, emosional kepada orang
lain atau lingkungan sekitar, pasien termasuk kedalam diagnosa resiko perilaku
kekerasan sesuai yang sudah dijelaskan. Data pengkajian dalam kasus ini
menyimpulkan bahwa perilaku pasien termasuk kepada golongan risiko perilaku
kekerasan (Mukti, 2021).
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan dapat dilakukan
dengan pemberian teknik mengontrol perilaku kekerasan dengan pemberian SP
yaitu :
a) SP I cara fisik yaitu relaksasi tarik nafas dalam serta penyaluran energi.
b) SP II dengan pemberian obat
c) SP III verbal atau social
d) SP IV spiritual.
Intervensi tersebut dilakukan kepada pasien lalu diberikan jadwal kegiatan
sehari dalam upaya mengevaluasi kemampuan pasien mengontrol perilaku
kekerasan pasien (Hasannah, 2019).
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahapan ketika perawat mengaplikasikan ke dalam
bentuk intervensi keperawatan guna membantu pasien mencapai tujuan yang
telah di tetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki oleh perawat pada tahap
implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan utnuk
menciptakan saling percaya dan saling membantu, kemampuan melakukan
teknik, psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistemis, kemampuan
memberikan 10 pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi dan kemampuan
evaluasi (Anggit, 2021)
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi Keperawatan merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek
dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi dilakukan dengan pendekatan
SOAP sebagai berikut:
S (Subjektif) :Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan
O (Objektif) : Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan
A(Assessment):Analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada
data yang kontradiksi terhadap masalah yang ada.
P (Planning) : Tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respon pasien rencana
tindak lanjut dapat berupa hal rencana dilanjutkan (jika masalah
tidak berubah) atau rencana dimodifikasi (jika masalah tetap,
sudah dilaksanakan semua tindakan terapi hasil belum
memuasakan) (Anggit, 2021).
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Ruang rawat : Perawatan Flamboyan Tanggal dirawat : 20-02-2024

I. IDENTITAS KLIEN
Inisial :Tn.N

Tgl. Pengkajian: 2 6 - 0 2 - 2 0 2 3

Umur : 17 thn

No. RM : 209555

Informan : Rekam medis dan pasien

II. ALASAN MASUK RUMAH SAKIT


a. Keluhan Utama

Gelisah

b. Alasan Masuk Rumah Sakit

Seorang laki-laki usia 17 tahun dibawa keluarga ke IGD RS dadi untuk pertama
kalinya dengan keluahan gelisah sejak 3 hari yang lalu, dan memberat pada saat
pasien dibawa keluarga ke RS, Keluarga mengatakan pasien mondar-mandir di
dalam rumah, selalu naik turun tangga.

III. FAKTOR PREDISPOSISI


1. Pernah mengalami penyakit jiwa di masa lalu ?Ya Tidak
2. Pengobatan sebelumnya : Berhasil Kurang berhasil Tidak berhasil
3. Pelaku/Usia Korban/Usia Saksi/Usia

Aniaya fisik …… thn …… thn …… thn

Aniaya seksual …… thn …… thn …… thn


Penolakan …… thn …… thn …… thn

Kekerasan dalam keluarga …… thn …… …… thn


thn

Tindakan kriminal …… thn …… …… thn


thn

Jelaskan no. 1, 2, 3 :
……………………………………………………………………

……………………………………………………………
………

Masalah keperawatan :
……………………………………………………………………

……………………………………………………………
………

4. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa ? Ya


Tidak

Hubungan keluarga Gejala Riwayat pengobatan/perawatan


………………………… ……………………. …………………………………
…..
………………………… ……………………. …………………………………
…..
………………………… ……………………. …………………………………
…..

Masalah keperawatan :
……………………………………………………………………
……………………………………………………………
………

5. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan :


………………………………………………………………………………………
……..

……………………………………………………………………………………………..
Masalah keperawatan

DAFTAR PUSTAKA
Dermawan, D & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Keliat, B. A. 2010. Model Praktek Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.

Kusumawati. (2010). Keperawatan Jiwa . Jakarta: Salemba Medika.

Muhith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: CV Andi
Offset.

Nurhalimah. 2016. “Modul Bahan Ajar Cetak Keperatawan: Keperawatan Jiwa”. Hlm162-
171. Jakarta: Kemenkes RI.

Riyadi, S. dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu.

SDKI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik.
Jakarta: DPP PPNI.

Stuart and Sundeen. 1995. Buku Keperawatan (Alih Bahasa) Achir Yani S. Hamid. Edisi 3.
Jakarta: EGC.

Videbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Yosep, I. 2007. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai