Anda di halaman 1dari 122

LAPORAN PENDAHULUAN

GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI


A. Konsep Keperawatan
1. Pengertian
Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan
sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada
rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yangdialami suatu persepsi melalui
panca indra tanpa stimulus eksteren persepsi palsu. Halusinasi adalah salah satu
gejala gangguan jiwa di mana pasien mengalami perubahan sensori persepsi,
merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan atau
penghiduan. Halusinasi juga merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan
pada pasien dengan gangguan jiwa, Halusinasi sering diidentikkan dengan
skizofrenia. (Andri, dkk, 2020).
halusinasi adalah suatu tanggapan dari panca indera tanpa adanya
rangsangan (stimulus) eksternal Halusinasi merupakan gangguan persepsi
dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata,
artinya klien menginterpretasikan suatu yang tidak nyata tanpa
stimulus/rangsangan dari luar (Nurhalimah, 2021). Halusinasi adalah hilangnya
kemampuan manusia dalam membedakan rangasangan internal (pikiran) dan
rangsangan eksternal (dunia luar). Klien member persepsi atau pendapat tentang
lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata.sebagai contoh klien
mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang berbicara (Ma'rifatul dkk,
2020).
2. Etiologi
Pambayun (2020), faktor-faktor yang menyebabkan klien gangguan jiwa
mengalami halusinasi adalah sebagai berikut:
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor Genetik
Secara genetik, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom
tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor
penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian.
Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia,
sementara jika dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang
salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15%
mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia
maka peluangnya menjadi 35%.
2) Faktor Neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal, khususnya
dopamine, serotonin, dan glutamate.
a) Studi Neurotransmiter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotrasmiter. Dopamine berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotonin.
b) Teori Virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat
menjadi faktor skizofrenia.
c) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tidak berperasaan,
sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.
b. Faktor Presipitasi
1) Berlebihannya proses informasi pada system saraf yang menerima dan
memproses informasi di hipotalamus dan frontal otak.
2) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
3) Kondisi kesehatan meliputi: nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obatan
system saraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan.
4) Lingkungan, meliputi: lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di
rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup,
pola aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan orang
lain, isolasi social, kurangnya dukungan social, tekanan kerja, kurang
keterampilan dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan
mendapatkan pekerjaan.
5) Sikap/Perilaku meliputi: merasa tidak mampu, harga diri rendah, putus
asa, tidak percaya diri, marasa gagal, kehilangan kendali diri, merasa
punya kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak seperti
orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan
sosialisasi, perilaku agresif, ketidakadekuatan pengobatan,
ketidakadekuatan penanganan gejala.

3. Tanda dan Gejala


Beberapa tanda dan gejala perilaku halusinasi adalah tersenyum atau
tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara, bicara sendiri,
pergerakan mata cepat, diam, asyik, dengan pengalaman sensori, kehilangan
kemampuan membedakan halusinasi dan realitas rentang perhatian yang
menyempit hanya beberapa detik atau manit, kesukaran berhubungan dengan
orang lain, tidak mampu merawat diri, dan perubahan.
Berikut tanda dan gejala halusinasi berdasarkan jenis halusinasi menurut
Yusalia (2020):
Jenis Halusinasi Karakteristik Tanda & Gejala
Pendengaran Mendengar suara-suara/kebisingan paling sering
suara kata yang jelas, berbicara dengan klien bahkan
sampai percakapan lengkap antara dua orang yang
mengalami halusinasi. Pikiran yang terdenga jelas
dimana klien mendengar perkataan bahwa pasien
disuruh untuk melakukan sesuatu, kadang-kadang
dapat membahayakan.
Penglihatan Stimulus penglihatan dalam kilatan cahaya, gambar
giometris, gambar katun atau panorama yang luas
dan komplek. Penglihatan dapat berupa sesuatu yang
menyenagkan/sesuatu yang menakutkan seperti
monster.
Penciuman Membau bau-bau seperti darah, urin, feses,
umumnya bau-bau yang tidak menyenagkan.
Halusinasi penciuman biasanya sering akibat stroke,
tumor, kejang/dernentia
Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin, feses.
Perabaan Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa
stimulus yang jelas rasa tersetrum listrik yang dating
dari tanah, benda mati atau orang lain.
Sinestetik Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah divera
(arteri), pencernaan makanan.
Kinestetik Merasakan pergerakan semacam berdiri tanpa
bergerak.

4. Proses
a. Teori Psikodinamika
Proses terjadinya halusinasi dapat disebabkan oleh fungsi biologi ,
antara lain dopamine dan neurotransmitter yang berlebihan , fungsi
psikologis seperti keturunan.Respon metabolic terhadap stress yang
mengakibatkan pelepasan zat halusinogen pada system limbik otak, atau
terganggunya keseimbangan neurotransmitter di otak.
Proses terjadinya halusinasi secara teori psikodinamika berfaktor atau
mengarah pada factor prediposisi yaitu dimana proses gangguan sensori
persepsi disebabkan oleh masa perkembangan yang terganggu misalnya
rendah control dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu
mandiri sejak kecil, mudah frustasi hilangnya percaya diri, dan lebih rentan
terhadap stress. Seseorang yang tidak diterima lingkungannya sejak sejak
bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya yang dimana hal ini ini mempunyai pengaruh terhadap
terjadinya gangguan jiwa, adanya stress yang berlebihan dialami seseorang
maka dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan dimetytranferase. Akibat
stress berkepanjangan menyebabkan teraktifitasnya neurotransmitter otak.
Sehingga tipe kepribadian yang lemah bisa menyebabkan terjadinya
gangguan sensori persepsi.
b. Teori Psikoanalisa
Halusinasi merupakan pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari
luar yang di tekan yang kemungkinan mengancam untuk timbulnya
halusinasi
Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan konsep
stress adaptasi yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan presipitasi
(Nurhalimah, 2021) :
1) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari :
a) Faktor Biologis : Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa (herediter), riwayat penyakit atau trauma kepala, dan
riwayat penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain
(NAPZA).
b) Faktor Psikologis Memiliki riwayat kegagalan yang berulang.
Menjadi korban, pelaku maupun saksi dari perilaku kekerasan serta
kurangnya kasih sayang dari orang-orang disekitar atau
overprotektif.
c) Sosiobudaya dan lingkungan Sebahagian besar pasien halusinasi
berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah, selain itu pasien
memiliki riwayat penolakan dari lingkungan pada usia
perkembangan anak, pasien halusinasi seringkali memiliki tingkat
pendidikan yang rendah serta pernah mengalami kegagalan dalam
hubungan sosial (perceraian, hidup sendiri), serta tidak bekerja.
2) Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pasien gangguan persepsi sensori halusinasi
ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan
struktur otak, adanya riwayat kekerasan dalam keluarga, atau adanya
kegagalan-kegagalan dalam hidup, kemiskinan, adanya aturan atau
tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan
pasien serta konflik antar masyarakat.
5. Rentang Respon
Rentan respon neurobiologist menurut Azizah, 2020 sebagai berikut:
Respon Adaptif Respon Psikososial Respon Maladaptif

Pikiran logis Kadang – kadang Waham


proses pikiran
terganggu
Persepsi akurat Ilusi Halusinasi

Emosi konsisten Emosi berlebihan Kerusakan proses


dengan pengalaman emosi
Perilaku cocok Perilaku yang tidak Perilaku tidak
biasa terorganisasi
Hubungan social Menarik diri Isolasi social
harmonis
Keterangan Gambar :

a. Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial


budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal
jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut.
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman ahli
4) Perilaku cocok individu berupa tindakan nyata dalam penyelesaian
masalah masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya
umum yang belaku.
5) Perilaku sosial/ hubungan sosial harmonis adalah sikap dan tingkah laku
yang masih dalam batas kewajaran.
b. Respon Psikologis meliputi :
1) Proses piker terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan.
2) Illusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (Objek nyata) karena rangsangan
panca indera.
3) Emosiberlebihan atau berkurang yaitu menisfatasi perasaan atau afek
keluar berlebihan atau kurang.
4) Perilaku yang tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas kewajaran .
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain.
c. Respon Maladaptif
Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah
yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, adapun
respon maladaptif meliputi :
1) Kelainan Pikiran/Waham adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan
dengan kenyataan sosial.
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal
yang tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak teratur
5) Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan
yang negatif mengancam.

6. Fase
Menurut Azizah, 2020 ada 4 (empat) Tahapan / Fase-fase halusinasi yaitu :
a. Fase I : Sleep Disorder
Adalah halusinasi tahap awal seseorang sebelum muncul halusinasi.
1) Karakteristik
Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan,
takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah
makin terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi dan support
system yang kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk.
Contohnya misalnya : kekasih hamil, terlibat narkoba, dihianiti kekasih,
PHK ditempat kerja, penyakit, utang, dll.
2) Perilaku Klien
Klien susah tidur dan berlangsung terus menerus sehingga
terbiasa menghayal, dan menganggap menghayal awal sebagai pemecah
masalah.
b. Fase II : Comforting Moderate level of anxiety
Pada fase ini halusinasi secara umum mulai diterima sebagai sesuatu
yang alami.
1) Karakteristik
Klien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan
cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba memusatkan
pemikiran pada timbulnya kecemasan. Klien beranggapan bahwa
pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia control bila kecemasannya
diatur, dalam tahap ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan
halusinasinya.
2) Perilaku Klien
a) Tersenyum, tertawa yang tidak sesuai
b) Menggerakkan bibir tanpa suara
c) Pergerakan mata yang cepat
d) Respon verbal yang lambat
e) Diam, dipenuhi rasa yang mengasyikan
c. FaseIII : Condemning Severe level of Anxiety
Pada fase ini secara umum halusinasi sering mendatangi klien.
1) Karakteristik
Pengalaman sensori klien menjadi sering dating dan mengalami
bias. Klien mulai merasa tidak mampu lagi mengontrolnya dan mulai
berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan obyek yang dipersepsikan
klien mulai menarik diri dari orang dengan intensitas waktu yang lama.
2) Perilaku Klien
a) Meningkatkan tanda-tanda system saraf otonom akibat ansietas
(Nadi, RR, TD) meningkat
b) Penyempitan kemampuan untuk konsentrasi
c) Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan
membedakan halusinasi dan realita
d. Fase IV : Controlling Severe level of Anxiety
Pada fase ini fungsi sensorimenjadi tidak relevan dengan kenyataan.
1) Karakteristik
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensory abnormal yang
dating. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasi berakhir. Dari
sinilah dimulai fase gangguan Psychotic.
2) Perilaku Klien
a) Lebih cenderung mengikuti petunjuk halusinasinya
b) Kesulitan berhubungan dengan orang lain
c) Rentang perhatian hanya dalam beberapa menit atau detik
d) Gejala fisik, ansietas berat, berkeringat, tremor, tidak mampu
mengikuti petunjuk
e. Fase V : Conquering Panic level of Anxiety
Pada fase ini klien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya.
1) Karakteristik
Pengalaman sensori terganggu, klien mulai merasa terancam
dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti
ancaman atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi
dapat berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila klien tidak
mendapatkan komunikasi terapeutik, terjadi gangguan psikotik berat.
2) Perilaku Klien
a) Perilaku terror akibat panik
b) Potensi suicide atau hocide
c) Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti kekerasan, agitasi,
menarik diri, katatonia
d) Tidak mampu merespon > 1 orang.
7. Jenis
Menurut Yusalia (2020), jenis halusinasi antara lain:
a. Halusinasi Pendengaran (Audiotorik) 70%
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, terutama suara-suara
orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan
apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan
sesuatu.
b. Halusinasi Penglihatan (Visual) 20%
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk
pancaran cahaya, gambaran geometric, gambaran kartun dan / panorama
yang luas dan kompleks. Penglihatan bias menyenagkan atau menakutkan.
c. Halusinasi Penghiduan (Olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikan seperti: darah, urin atau feses. Kadang-kadang terhidu bau harum.
Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang, dan dimensia.
d. Halusinasi Perabaan (Tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa
stimulus yang terlihat. Contoh: merasakan sensasi listrik dating dari tanah,
benda mati atau orang lain.
e. Halusinasi Pengecapan (Gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis,
dan menjijikan, merasa mengecap rasa seperti: rasa darah, urin atau fese.
f. Halusinasi Cenesthetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urin.
g. Halusinasi Kinesthetik
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

8. Mekanisme Koping
Mekanisme koping klien Gangguan persepsi sensori : Halusinasi,
perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman
yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiology maladaptive
meliputi:
a. Regresi, menghindari stress, kecemasan dalam menampilkan perilaku
kembali seperti apa perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan
masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi ansietas.
b. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi,mencurahkan emosi pada
orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untuk
menjelaskan kerancuan persepsi).
c. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologi, reaksi fisik, yaitu individu pergi atau lari menghindari sumber
stressor, misalnya menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun, dan lain-
lain. Sedangkan reaksi psikologis individu menunjukkan perilaku apatis,
mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan.

9. Perilaku
a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan
b. Ilusi adalah miss intrepretasi atau penilaian yang salah tentang penerapannya
yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran
e. Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang
lain (Azizah, 2020).

10. Penatalaksanaan Medis


a. Farmakoterapi
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat
ketidakseimbangan neurotransmitter di saraf. Untuk itu klien perlu diberi
penjelsan bagaimana kerja obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan
tercapai secara optimal. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan
meteri yang benar dalam pemberian obat agar klien patuh untuk
menjalankan pengobatan secara tuntas dan teratur.
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
1) Chlorpromazine (CPZ, Largactile), Warna: Orange
Clorpomazine (CPZ) adalah obat yang termasuk golongan
antipsikotik fenotiazina yang bekerja dengan menstabilkan senyawa
alami otak. Obat ini dapat digunakan untuk menangani berbagai
gangguan mental, seperti skizofrenia dan gangguan psikosis yang
lainnya, perilaku agresif yang membahayakan pasien atau orang lain,
kecemasan dan kegelisahan yang parah, serta autisme pada anak-anak.
a) Aturan pakai
Aturan pakai : 3 x 100 mg/ hari
b) Indikasi :
Untuk menangani berbagai gangguan mental, seperti skizofrenia dan
gangguan psikosis yang lainnya, perilaku agresif yang
membahayakan pasien atau orang lain, kecemasan dan kegelisahan
yang parah, serta autisme pada anak-anak.

c) Efek samping
Yang dapat terjadi pada pemakaian CPZ meliputi efek sedasi, pusing,
pingsan, hipotensi orthostatik, palpitasi, takikardi, sindroma pada
mulut, kemerahan pada mukosa, vesikel lidah kotor, gigi tanggal,
pandangan kabur, konstipasi, retensi urine, ejakulasi tertahan. CPZ
juga menyebabkan efek samping ekstra pyramidal yang meliputai
parkinsonisme, dystonia, diskinesia. Gangguan hormonal dapat
terjadi yaitu menstruasi tidak teratur, gynecomastia, penurunan
libido, peningkatan nafsu makan, berat badan meningkat, edema,
glikosuria, hiperglikemia atau hipoglikemia. Reaksi hipersensitif
pada beberapa orang menimbulkan efek/ gejala-gejala jaundice,
gatal-gatal pada kulit, ptechiae dermatitis, fotosensitis, dan reaksi
anafilaksit.

2) Haloperidol (Haldol, Serenace), Warna: Putih


Haloperidol adalah obat golongan anti psikotik yang berfungsi untuk
meredakan gejala skizofrenia dan masalah perilaku, atau emosional, serta
masalah kejiwaan lainnya. Haloperidol untuk mengatasi skizofrenia
biasanya akan diberikan untuk jangka waktu panjang, kecuali ada efek
yang merugikan atau berlawanan. Sedangkan jika untuk meredakan
gangguan kecemasan atau agitation, haloperidol hanya dikonsumsi
hingga gejala mereda.
a) Aturan Pakai :
Aturan Pakai : 3 x 5 mg/ hari

b) Indikasi :
Meredakan gejala skizofrenia dan masalah perilaku, atau emosional,
serta masalah kejiwaan lainnya.
c) Efek samping
Haloperidol serupa dengan efek samping CPZ. Perbedaannya terletak
pada efek samping hipothensiorthostatik lebih ringan, sedang efek
samping reaksi ekstra lebih berat. Efek samping pada SSP meliputi
parkinsonisme, gelisah, akatisia, hiperefleksi, tortikolis, dan tardive
diskinesia. Efek otonomi dapat terjadi ; mulut kering (atau
hipersalivasi). Konstipasi (atau diare ), reaksi urine deaporesi (dosis
berlebihan). Pada darah ; leukopenia, leukositosis, enemia. Pada
saluran napas ; laringospasme, bronkhospasme, peningkatan
kedalaman napas, brokopneumonia, depresi pernafasan. Pada
endokrin ; menstruasi tidak teratur, payudara nyeri, gynecomastia,
impotensi. Pada kulit ; kemerahan, fotosintesis, rambut rontok, lain-
lain ; anoreksia, mual, muntah, jaundice, penurunan, kadar kolesterol
darah.
3) Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin), Warna: Putih Kecil
Trihexyphenidil (THP) adalah obat yang sering dipakai sebagai penyerta
pemberian obat anti psikotik jenis fenotiazin dan butirofenon karena
khasiatnya merelaksasi otot polos dan anti spasmodik
a) Aturan Pakai :
Aturan pakai : 3 x 2 mg/ hari
b) Indikasi :
Merelaksasi otot polos dan anti spasmodic
c) Efek Samping
Efek samping yang umum terjadi ; mulut kering, pusing, pandangan
kabur, midrasis, fotofobia, mual, nervous, konstipasi, mengantuk,
retensi urine. Pada SSP dapat terjadi ; bingung, gitasi, delirium,
manifestasi psikotik, euphoria. Reaksi hipersensitif ; Glaucoma
parotitis.

b. Terapi somatik
Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan
gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptive menjadi
perilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi
fisik klien. Walaupun yang diberi perilaku adalah fisik klien, tetapi target
adalah perilaku klien. Jenis somatik adalah meliputi pengingkatan, terapi
kejang listrik, isolasi, fototerapi.
1) Pengingkatan
Pengingkatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien yang bertujan untuk melindungi
cedera fisik sendiri atau orang lain
2) Terapi kejang listrik
Adalah bentuk terapi pada klien dengan menimbulkan kejang (grandma)
dengan mengalirkan arus listrik kekuatan rendah (2-8 joule) melalui
elektroda yang ditempelkan beberapa detik pada pelipis kiri/kanan (lobus
frontal) klien (Pambayung, 2020).

B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian data fokus
1) Persepsi Sensori
a) Isi halusinasi
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, apa
yang dikatakan suara itu, jika halusinasi audiotorik. Apa bentuk
bayangan yang dilihat oleh klien, jika halusinasi visual, bau apa yang
tercium jika halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap jika
halusinasi pengecapan,dan apa yang dirasakan dipermukaan tubuh
jika halusinasi perabaan.
b) Waktu munculnya halusinasi
Dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan halusinasi muncul :
apakah pagi hari, sore hari atau malam hari. Informasi ini sangat
penting untuk menentukan bilamana perlu perhatian saat klien
mengalami halusinasi.
c) Frekuensi halusinasi
Dikaji dengan menanyakan kepada klien seberapa sering klien
mengalami halusinasi : apakah terus menerus, kadang-kadang, jarang
atau sudah tidak muncul lagi.
d) Situasi pencetus halusinasi
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami sebelum
halusinasi muncul : Apakah ketika klien sendiri atau setelah
terjadinya kejadian tertentu. Selain itu perawat juga bias
mengobservasi apa yang dialami klien menjelang munculnya
halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.
e) Respon klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien
bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami
pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol
stimulus halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap
halusinasinya.
2) Pembicaraan : Klien dengan halusinasi cemderung suka bicara sendiri,
tidak focus ketika diajak berbicara, dan yang dibicarakan sering tidak
masuk akal.
3) Aktivitas Motorik : Klien dengan halusinasi tampak gelisah, tegang,
agitasi, sering menutup telinga, sering menunjuk kerah tertentu,
menggaruk-garuk permukaan kulit, sering meludah, sering menutup
hidung.
4) Afek emosi : Labil. Pada klien dengan halusinasi tingkat emosi lebih
tinggi dan cenderung berperilaku agresif.
5) Tingkat kesadaran : pada klien dengan halusinasi sering mengalami
Apatis atau acuh tak acuh.
b. Masalah Keperawatan
1) Resiko tinggi perilaku kekerasan
2) Perubahan sensori persepsi halusinasi
3) Harga diri rendah krooni

c. Analisa Data
NO DATA MASALAH
1. 1. Data Subjektif Gangguan sensori persepsi
 Klien mengatakan sering halusinasi : pendengaran
mendengar suara suara aneh
di sekitarnya.
2. Data Objektif
 Klien nampak sering mondar
mandir .
 Klien sering menutup telinga
 Klien nampak sering berbicara
sendiri.
 Klien sering berbicara tidak
jelas

2. 1. Data subjektif Gangguan sensori persepsi


 Klien mengatakan sering halusinasi :penglihatan
melihat sesuatu
2. Data objektif
 Klien nampak focus melihat
sesuatu
 Klien nampak sering
menunjuk sesuatu pada arah
tertentu
 Klien nampak sering menutup
mata dengan tangan
 Ekspresi wajah sering
menunjukkan ketakutan.
3. 1. Data subjektif Gangguan sensori persepsi
 Klien mengatakan sering halusinasi penghidu
mencium sesuatu bau yang
khas dan busuk .
2. Data objektif
 Klien nampak sering
menutup hidungnya
4. 1. Data subjektif Gangguan sensori persepsi
 Klien mengatakan sering halusinasi: pengecapan
mengecap rasa tidak enak
pada mulutnya
2. Data objektif
 Klien nampak sering
mengecap pada mulutnya
 Klien nampak sering meludah
dan muntah
5. 1. Data subjektif Gangguan sensori persepsi
 Klien mengatakan badannya halusinasi perabaan
sering terasa seperti di setrum.
 Klien mengatakan merasakan
sesuatu pada permukaaan
kulitnya
 Klien mengatakan badannya
seperti di tusuk tusuk dengan
jarum
 Klien mengatakan tubuhnya
sering di hinggapi serangga
2. Data objektif
 Badan klien nampak sering
bergetar
 Klien nampak tegang
 Klien nampak sering
mengusap badannya.
 Klien nampak sering
menggaruk garuk tubuhnya
6. 1. Data subjektif Gangguan sensori persepsi
 Klien mengatakan dapat halusinasi viseeral
merasakan pergerakan
makanan dalam ususnya
2. Data objektif
 Klien sering diam
 Klien sering bicara tidak jelas
 Klien nampak gelisah.
7. 1. Data subjektif Gangguan sensori persepsi
 Klien mengatakan badannya halusinasi kinestetik
terasa seperti bergerak sendiri
pada saat berdiri.
 Klien mengatakan badannya
terasa melayang diatas bumi.
 Klien mengatakan badannya
terasa diam dan kaku saat
tubuhnya ingin di gerakkan
 Klien mengatakan merasa
anggota tubuhnya akan
terlepas dari tubuhnya
2. Data objektif
 Sikap tubuh klien nampak
kaku.
 Klien nampak sulit mengikuti
perintah
8. 1. Data subjektif Gangguan sensori persepsi
 Klien mengatakan ada halusinasi perintah
seseorang yang menyuruhnya
melakukan sesuatu seperti :
memukul, membunuh, dan
merusak barang
2. Data objektif
 Klien nampak bingung
 Perilaku agitasi
 Klien nampak tidak mampu
mengenal orang , waktu dan
tempat.
 Tingkah laku klien nampak
agresif
9. 1. Data subjektif Gangguan sensori persepsi
 Klien mengatakan membenci halusinasi histerik
seseorang atau sesuatu benda
2. Data objektif
 Klien nampak tegang
 Afek emosi labil
 Klien sering berteriak-
berteriak keras
10. 1. Data subjektif Gangguan sensori persepsi
 Klien merasa melihat dan halusinasi hipnogogik
berbicara pada seseorang
ketika akan tidur.
2. Data objektif .
 Nampak bibir klien
bergerak tanpa suara
11. 1. Data subjektif Gangguan sensori persepsi
 Klien mengatakan masih halusinasi hipnopompik
bermimpi
2. Data objektif
 Klien nampak bingung
kurang konsentrasi
 Pembicaraan tidak jelas
 Disorientasi

d. Pohon masalah

Effect Resiko perilaku kekerasan

Core Problem Gangguan Persepsi Sensori :


Halusinasi

Cause Isolasi Sosial

2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan persepsi sensori :halusinasi

3. Intervensi
NO SP I P SP I K
1. Identifikasi halusinasi : isi, 1. Diskusikan masalah yang
frekuensi, waktu terjadinya, dirasakan dalam merawat
factor pencetus, respon saat klien
halusinasi.
2. Jelaskan cara mengontrol 2. Jelaskan pengertian tanda,
halusinasi : yaitu dengan cara gejala proses terjadinya
menghardik halusinasi. halusinasi
3. Latih cara mengontrol halusinasi 3. Latih cara menghardik
dengan menghardik. halusinasi
4. Menganjurkan klien memasukkan 4. Ajarkan klien sesuai jadwal
cara menghardik halusinasi dan memberi pujian
dalam kegiatan harian.

NO SP II P SP II K
1. Evaluasi kegiatan menghardikdan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
beri pujian. dalam merawat/melatih
pasien dalam menghardik dan
beri pujian
2. Latih cara mengontrol halusinasi 2. Jelaskan cara memberikan
dengan minum obat : dengan obat kepada keluarga dengan
prinsip 6 benar yaitu : (Jelaskan prinsip 6 benar
jenis, guna, dosis, frekuensi, cara,
kontinuitas minum obat)
3. Masukan pada jadwal kegiatan 3. Latih cara memberikan/
untuk latihan menghardik dan membimbing minum obat
minum obat 4. Anjurkan pasien sesuai
jadwal dan memberi pujian

NO SP III P SP III K
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
menghardik dan minum obat dan dalam merawat/ melatih klien
beri pujian. menghardik dan memberikan
obat dan beri pujian.
2. Latihan cara mengontrol 2. Jelaskan cara bercakap-cakap
halusinasi dengan bercakap-cakap dan melakukan kegiatan untuk
saat terjadi halusinasi. mengontrol halusinasi
3. Masukan pada jadwal kegiatan 3. Latih dan sediakan waktu
untuk latihan menghardik, minum untuk bercakap-cakap dengan
obat dan bercakap-cakap. klien terutama saat halusinasi
4. Anjurkan membantu klien
sesuai jadwal berikutnya.
NO. SP IV P SP IV K
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
menghardik minum obat, dan dalam merawat/melatih klien
bercakap-cakap, beri pujian. menghardik, memberikan obat,
bercakap-cakap dan beri
pujian.
2. Latih cara mengontrol halusinasi 2. Anjurkan membantu klien
dalam melakukan kegiatan harian. sesuai jadwal dan berikan
pujian.
3. Memasukakan pada jadwal 3. Jelaskan follow up ke
kegiatan untuk latihan Puskesmas, RSJ, tanda kambuh
menghardik, minum obat, dan rujukan.
bercakap-cakap dan kegiatan
harian.
4. Anjurkan membantu klien
sesuai jadwal dan berikan
pujian

NO SP V P SP V K
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
menghardik, obat, becakap-cakap, dalam merawat / melatih klien
kegiatan harian, berikan pujian. menghardik, memberikan obat,
bercakap-cakap, melakukan
kegiatan harian dan follow up,
beri pujian
2. Latih kegiatan harian 2. Nilai kemampuan keluarga
merawat klien
3. Nilai kemampuan yang telah 3. Nilai kemampuan keluarga
mandiri melakukan kontrol ke RSJ/
Puskesmas
4. Nilai apakah halusinasi terkontrol
4. Implementasi
Implementasi adalah melakukan tindakan sesuai dengan rencana ,
masalah dan kondisi klien yang bersangkutan. Ada 4 fase implementasi
komunikasi terapeutik tenaga kesehatan kepada pasien:
a. Fase Orientasi
Pada fase ini hubungan yang terjadi masih dangkaldan komunikasi yang
terjadi bersifat pengalian informasi antara tenaga kesehatan dengan pasien.
b. Fase identifikasi
Merumuskan masalah yang dihadapi pasien.
c. Fase eksploitasi/Fase kerja
Pada fase ini tenagan medis dituntut untuk bekerja untuk memenuhi tujuan
yang telah ditetapkanpada fase orientasi dan identifikasi. Tenaga kesehatan
harus bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang masala-masalah
yang dialami oleh pasien.
d. Fase relaksasi/Penyelesaian
Pada fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan penilaian atas
tujuan yang telah dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang
saling menguntungkan dan memuaskan.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan dan dilakukan harus terus -
menerus untuk menilai agar efek dari tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.

Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunskan pendekatan SOAP menjadi pola


piker
S : Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respon objektif klien terhadap keperawatan yang telah dilaksanakan
A : Gangguan persepsi sensori : Halusinasi (+)
Analisa terhadap data subjektif objektif .
P : Perencanaan tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa respon klien.
a. Mengenal halusinasi
b. Mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
c. Bercakap-cakap dengan orang lain untuk mengontrol halusinasi
d. Mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat
e. Melakukan aktivitas terjadwal

6. Terapi Aktivitas kelompok yang sesuai


Menurut (Azizah Lilik, 2016), terapi aktivitas yang cocok adalah terapi aktivitas
kelompokm stimulasi persepsi (TAKSP) mengontrol halusinasi, dengan terapi
tersebut klien yang mengalami halusinasi dapat mengontrol halusinasinya.
Aktivitas digunakan untuk memberikan stimulasi perasaan melalui gerakan
tubuh, ekspresi muka, ucapan. TAK Stimulasi Persepsi membantu klien yang
mengalami kemunduran orientasi dalam upaya memotivasi proses pikir serta
mengurangi perilaku maladapatif. TAKSP mengontrol halusinasi dibagi menjadi
5 sesi, yaitu :
1) Sesi I : Klien mengenal Halusinasi
2) Sesi II : Mengontrol Halusinasi dengan cara menghardik
3) Sesi III : Mengontrol Halusinasi dengan cara minum obat secara teratur
4) Sesi IV : Mengontrol Halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang
lain saat halusinasi
5) Sesi V : Mengontrol Halusinasi dengan cara melakukan aktivitas terjadwal

DAFTAR PUSTAKA

Andri, J., Henni Febriawati, Panzilion, & Sari, S. N. (2020). Implementasi Keperawatan
dengan Pengendalian Diri Klien Halusinasi pada Pasien Skizofrenia. Journal of
Chemical Information and Modeling, 1(2), 146–155.
Lilik M, Azizah, dkk. (2020). ‘Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa -Teori dan
Aplikasi Praktik Klinik’. Yokyakarta : Indomedia Pustaka
Nurhalimah. (2021). Keperawatan Jiwa. Jakarta
Ma'rifatul, A., & dkk. (2020). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. yogyakarta:
indomedia pustaka.
Pambayun, Ahlul H.2020.Asuhan Keperawatan Jiwa pada Ny.S Dengan gangguan
Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran Ruang 11 (Larasati) RSJD Dr.Amino
Gondohutomo Semarang.Asuhan Keperawatan Psikiatri Akademi Keperawatan
Widya Husada Semarang.
Yusalia, Refiazka. 2020. Laporan Pendahuluan Dan Strategi Pelaksanaan
Halusinasi.www.academia.edu.
Zelika, Alkhosiyah A. Dermawan, Deden. 2020. Kajian Asuhan Keperawatan Jiwa
Halusinasi Pendengaran Pada Sdr.D Di Ruang Nakula Rsjd Surakarta.Jurnal
Profesi Vol.12,No.2.
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM
A. Konsep Keperawatan
1. Definisi
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat
atau terus-menerus, tapi tidak sesuai dengan kenyataan. Waham adalah termasuk
gangguan isi pikiran. Pasien meyakini bahwa dirinya adalah seperti apa yang ada
di dalam isi pikirannya. Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan be
berapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada penderita skizofrenia
(Yusuf, 2020)
Waham adalah keyakinan yang salah didasarkan oleh kesimpulan yang sala
h tentang realita eksternal dan dipertahankan dengan kuat namun berbeda denga
n realita. (Victoryna, 2021)
Waham adalah keyakinan klien yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi
dipertahankan dan tidak dapat diuubah secara logis oleh orang lain. Keyakinan i
ni berasal dari pemikiran klien yang sudh kehilangan kkontrol (Fitria, 2020).

2. Etiologi
Salah satu penyebab dari perubahan proses fikir: waham yaitu gangguan
konsep diri: harga diri rendah. Harga diri rendah adalah penilaian individu tentan
g pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh prilaku sesuai ideal diri
Waham yang muncul sering berkaitan dengan traumatik masalalu atau k
ebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi. Waham bersifat menentap dan sulit u
ntuk dikoreksi. Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkung
an, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang dikataan tersebut sebagai sua
tu kebenarankarena seringnya diulang-ulang. Kenyakinan religiusnya bahwa ap
a-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsesuensi. Klien mer
asa nyaman dengan kenyakinan dan kebohongannya serta menganggap bahwa se
mua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Fase improving, a
pabila tidak ada konvrontasi dan upaya-upaya koreksi, setia waktu keyakinan ya
ng salah kepada klien akan meningkat tema waham yang muncul seing berkaaita
n dengan traumatic masalalu atau kebutuhan yang tidak terpenuhi. (Azizah, 202).
Factor penyebab terjadinta waham :
a. Factor Predisposisi
1) Factor Biologis
a) Gangguan perkembangan otak, frontal dan temporal
b) Lesi pada korteks frontal, temporal dan limbic
c) Gangguan tumbuh kembang
d) Kembar monozigot, lebih beresiko dari kembar dua telur
2) Factor Genetik
a) Gangguan orientasi realita yang ditemukan pada klien dengan skizifr
enia
3) Factor Psikologis
a) Ibu pengasuh yang cemas/over protektif, dingin, tidak sensitive
b) Hubungan dengan ayah tidak dekat/perhatian yang berlebihan
c) Konflik perkawinan
d) Komunikasi “double bind”
e) Social budaya
f) Kemiskinan
g) Ketidakharmonisan sosial
h) Stress yang menumpuk
b. Factor Presipitasi
1) Stressor Sosial Budaya
Stress dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas ke
luarga, perpisahan denga orang tua yang paling penting, atau diasingkan
dari kelompok.
2) Factor Biokimia
Penelitian tentang pengaruh dopamine, inorefinefrin, lindolomin, zat hal
usinogen diduga berkaitan denga orientasi realita.

3) Faktor Psikologi
Intensitas kecemasan yang ekstrim dan menunjang disertai terbatasnaya
kemampuan mengatasi masalah memungkinkan berkurangnya orientasi
realita.

3. Manifestasi Klinik
Data Subjektif Data Objektif
1. Klien mengatakan sebagai oran 1. Marah-marah tanpa sebab
g hebat 2. Banyak kata
2. Klien mengatakan memiliki kek 3. Menyendiri
uatan luar biasa 4. Mudah tersinggung
3. Klien merasa sudah mati 5. Sangat waspada
4. Klien merasa sakit/rusak organ t 6. Tidak tepat menilai lingkungan/ re
ubuh alistismerusak
5. Klien merasa diancam/diguna-g
una
6. Klien merasa curiga
7. Klien merasa orang lain menjau
h
8. Klien merasa tidak ada yang ma
u mengerti
(Yusuf, 2020)

4. Proses Terjadinya
a. Individu diancam oleh lingkungan, cemas dan merasa sesuatu yang tidak me
nyenagkan
b. Indivudu mengingkari ancaman dari persepsi atau objek realitas yang menya
lahartikan kesan terhadap kejadian
c. Individu memproyeksikan pikiran, perasaan dan keinginan negative atau tida
k dapat diterima menjadi bagian eksternal
d. Individu memberikan pembenaran atau interpretasi personal tentang realitas
pada diri sendiri atau orang lain.
5. Rentang Respon Neurobiologi
Rentang respon neurobiology menurut azizah, 2021 yaitu :

Respon Adaptif respon maladaptive

1. Pikiran logis B.1. Gangguan isi piker waham


2. Persepsi akurat 2. Perubahan proses emosi
3. Emosi konsisten dengan pe 3. Prilaku tidak terorganisasi
ngalamaman 4. Isolasi social
4. Prilaku seksual
5. Hubungan social harmonis

 Kadang proses piker tergang


gu
 Ilusi
 Emosi berlebihan
 Berprilaku yang tidak biasa
 Menarik diri

Dari rentang respon neurobiologis di atas dapat dijelaskan bila individu


merespon secara adaptif maka indivudu akan berpikir secara logis. Apabila indiv
idu berada berada pada keadaan diantara adaptif dan maladaptive kadang-kadan
g pikiran menyimpang atau perubahan isis piker terganggu. Bila individu tidak
mampu berpikir logis dan pikiran indivudu mulai menyimpang maka ia akan ber
espon secara maladaptive dan ia akan mengalami gangguan isi piker : waham
Adapun individu tidak berespon secara maladaptifmaka setiap individu h
arus mempunyai mekanisme pertahanan koping yang baik. Mekanisme pertahan
an koping dapat dibedakan menjadi :
a. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan berorient
asi pada tindakan untuk memenuhi secara realistic tutunan situasi stress.
1) Perilaku menyerang, digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambat
an pemenuhan kebutuhan
2) Perilaku menarik diri, digunakan baik secara fisik maupun psikologik unt
uk memindahkan seseorang dari sumber stress.
3) Perilaku kompromi, digunakan untuk mengubah cara seseorang mengope
rasikan, mengganti tujuan atau mengorbankan aspek kebutuhan personal
seseorang.
b. Mekanisme pertahanan ego,merupakan mekanisme yang dapat membantu m
engatasi cemas ringan dan sedang. Jika berlangsung pada tingkat dasar dan
melibatkan penipuan diri dan disorientasi realitas, maka mekanisme ini dapat
merupakan respon maladaptive terhadap stress.

6. Fase
a. Fase kebutuhan manusia rendah (lack of human need)
Waham diawali dengan terbatasnya berbagai kebutuhan pasien baik s
ecara fisik maupun psikis. Secara fisik, pasien dengan waham dapat terjadi p
ada orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya pasien
sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidu
pnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Hal itu terjadi
karena adanya kesenjangan antara kenyataan (reality), yaitu tidak memiliki fi
nansial yang cukup dengan ideal diri (self ideal) yang sangat ingin memiliki
berbagai kebutuhan, seperti mobil, rumah, atau telepon genggam.
b. Fase kepercayaan diri rendah (lack of self esteem)
Kesenjangan antara ideal diri dengan kenyataan serta dorongan kebut
uhan yang tidak terpenuhi menyebabkan pasien mengalami perasaan mender
ita, malu, dan tidak berharga.
c. Fase pengendalian internal dan eksternal (control internal and external)
Pada tahapan ini, pasien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang i
a yakini atau apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan,
dan tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, menghadapi kenyataan bagi pasi
en adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk diakui, dian
ggap penting, dan diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, se
bab kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkun
gan sekitar pasien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatak
an pasien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjadi perasaan. Lingkungan hanya menj
adi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan ala
san pengakuan pasien tidak merugikan orang lain.
d. Fase dukungan lingkungan (environment support)
Dukungan lingkungan sekitar yang mempercayai (keyakinan) pasien
dalam lingkungannya menyebabkan pasien merasa didukung, lama-kelamaa
n pasien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenar
an karena seringnya diulang-ulang. Oleh karenanya, mulai terjadi kerusakan
kontrol diri dan tidak berfungsinya norma (superego) yang ditandai dengan ti
dak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
e. Fase nyaman (comforting)
Pasien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan menduk
ungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat pasien menyendiri da
ri lingkungannya. Selanjutnya, pasien lebih sering menyendiri dan menghind
ari interaksi sosial (isolasi sosial).
f. Fase peningkatan (improving)
Apabila tidak adanya konfrontasi dan berbagai upaya koreksi, keyaki
nan yang salah pada pasien akan meningkat. Jenis waham sering berkaitan d
engan kejadian traumatik masa lalu atau berbagai kebutuhan yang tidak terpe
nuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi.
Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
7. Jenis
a. Waham Kebebasan
Menanggap nilai kekuasaan, pengetahuan identitasnya terlalu tinggi
b. Waham curiga/paranoid/kejar
Keyakinan klien terhadap seseorang/kelompok sevara berlebihan yang berus
aha merugikan, mencederai, mengganggu,mengancam, memata-matai dan m
embicarakan kejelekannya.
c. Waham Agama
Memiliki kenyakinan terhadap sesuatu agama secara berlebihan, diucapkan b
erulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan
d. Waham Somatic/hipokondrik
Kenyakinan klien terhadap tubuhnya/penampilan/fungsi tubuhnya sudah ber
ubah (ada sesuatu yang tidak beres)
e. Waham nihilistic
Menyakini bahwa dirinya/oranglain sudah tidak ada didunia/ meninggal duni
a diucapkan berulangkali tetapi tidak sesuai dengan kenyataanya
f. Waham dosa
kenyakinan klien terhadap dirinya telah atau selalu atau berbuat dosa/perbuat
annya tidak dapat diampuni lagi
g. Waham bisar terdiri dari
1) Sisi piker yaitu kenyakinan klien terhadap suatu pikiran lain disispkan ke
dalam pikiran dirinya
2) Siar piker/broadcasting yaitu kenyakinan klien bahwa ide dirinya dipakai
oleh/ disampaikan kepada orang lain mengetahui apa yang ia pikirkan me
skipun ia tidak betul secara nyata mengatakan kepada orang tersebut
3) Control piker/waham pengaruh yaitu kenyakianan klien bahwa pikiran, e
mosi dan perbuatan yang slalu di control/ dipengaruhi oleh kekuatan dilu
ar dirinya yang aneh ( Azizah, 2021).

8. Mekanisme koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman y
ang menakutkan dengan respon neurobiologis yang maladaptive meliputi: regres
i berhubungan dengan masalah proses informasi dengan upaya untuk mengatasi
ansietas, proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancauan persepsi, menari
k diri, pada keluarga: mengingkari (Yusuf, 2020).

9. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
a. Obat anti psikosis :
Chlorpromazine : untuk mengatasi psikosa, premedikasi dalam anestesi,
dan mengurangi gejala emesis. Untuk gangguan jiwa, dosis awal 3 x 25
mg, kemudian dapat ditingkatkan supaya optimal.
Haloperidol : untuk ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis, dan ma
nia, dosis awal 3 x 0,5 mg sampai 3 mg.
b. Obat anti depresi :
Amitriptyline : untuk gejala depresi, depresi oleh karena ansietas, keluha
n somatic. Dosis 75-300 mg/hari
Imipramine : untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan depresi
neurotic. Dosis awal 25 mg/hari.
c. Obat anti ansietas : Fenobarbital 16-32 mg/hari, meprobamat 200-2400
mg/hari
2) Terapi modalitas
a. Terapi keluarga : berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu me
ngatasi masalah klien dengan memberikan perhatian
b. Terapi kelompok : berfokus pada dukungan dan perkembangan, keteram
pilan social, atau aktivitas lain dengan berdiskusi dan bermain untuk men
gembalikan keadaan klien karena masalah sebagian orang merupakan per
asaan dan tingkah laku pada orang lain
c. Terapi music : dengan music klien terhibur, rileks dan bermain untuk me
ngembalikan kesadaran klien.

B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian Data Fokus
1) Proses Pikir
a) Isi Pikir Waham :
 Waham agama
 Waham somatic
 Waham kebesaran
 Waham curiga
 Waham nihilstik
 Waham kejaran
 Waham dosa
 Waham bizar
b) Arus Pikir
 Koheren : kalimat pembicaraan dapat dipahami dengan baik
 Inkoheren : kalimat tidak terbentuk, sulit dipahami
 Sirkumtansial : pembicaraan yang berbelit-belittapi sampai pada t
ujuanm pembicaraan
 Tangensial : pembicaraan yang berbelit-belit tapi tidak sampai pa
da tujuan pembicaraan
 Asosiasi longgar : pembicaraan tidak ada hubungan antara kalima
t yang satu dengan kalimat lainnya
 Flight of idea : pembicaraan yang melompat dari satu topic ke top
ic lainnya
 Blocking : pembicaran berhenti tiba-tiba tanpa gangguan eksterna
l kemudian dilanjutkan kembali
 Perseverasi : berulang-ulang menceritakan suatu ide, tema secara
berlebihan
 Logorea : pembicaraan cepat tidak terhenti
 Neologisme : membentuk kata-kata baru yang tidak dipahami ole
h umum
 Irelevansi : ucapan yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaa
n atau dengan hal yang dibicarakan
 Asosiasi bunyi : mengucapkan perkataan yang mempunyai persa
maan bunyi
c) Bentuk Pikir
 Realistic : cara berpikir ssuai kenyataan atau realita yang ada
 Non realistic : cara berpikir yang tidak sesuai dengan kenyataan
 Autistic : cara fikir berdasarkan lamunan/fantasi/halusinasi/ waha
mnya sendiri
 Dereistik : cara fikir dimana proses mntalnya tidak ada sangkut p
autnya dengan kenyataan, logika atau pengalaman.
b. Masalah Keperawatan
1) Resiko kerusakan komunikasi verbal
2) Perubahan isi piker : Waham

c. Analisa Data
Data Subjek Dan Objektif Diagnosa
Data Subjektif : Waham
1. Klien mengatakan sebagai orang hebat
2. Klien mengatakan memiliki kekuatan luar biasa
3. Klien merasa sudah mati
4. Klien merasa sakit/rusak organ tubuh
5. Klien merasa diancam/diguna-guna
6. Klien merasa curiga
7. Klien merasa orang lain menjauh
8. Klien merasa tidak ada yang mau mengerti
Data Objektif :
1. Marah-marah tanpa sebab
2. Banyak kata
3. Menyendiri
4. Mudah tersinggung
5. Sangat waspada
6. Tidaktepat menilai lingkungan/realistismerusak

d. Pohon Masalah

Resiko kerusakan komunikasi Efect


verbal komunikasi

Perubahan isi piker :


waham Core P
Gangguan konsep diri :
Harga diri rendah Cause
2. Diagnosa
Gangguan isi pikir : Waham

3. Intervensi
a. SP 1 P
1) Mengidentifikasi tanda dan gejala, penyebab akibat waham
2) Menjelaskan cara mengendalikan waham dengan orientasi realita : pan
ggil nama, orientasi waktu, orang dan tempat/lingkungan
3) Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
b. SP 2 P
1) Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1)
2) Menjelaskan tentang obat yang diminum (6 benar jenis, dosis, frekwe
nsi, cara, orang dan kontinuitas minum obat)
3) Pilih dan latih potensi kemampuan yang dimiliki
4) Masukan dalam jadwal kegiatan pasien
c. SP 3 P
1) Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1 dan 2)
2) Memilih kemampuan lain yang dapat dilakukan
3) Pilih dan latih potensi kemampuan lain yang dimiliki
4) Masukan dalam jadwal
d. SP 1 K
1) Mengidentifikasi masalah keluarga dalam merawat pasien
2) Menjelaskan proses terjadinya waham
3) Menjelaskan tentang cara merawat pasien waham
4) Latihan cara merawat
e. SP 2 K
1) Evaluasi kemampuan keluarga (SP 1K)
2) Melatih keluarga merawat langsung klien dengan harga diri rendah
3) Menyusun RTI, keluarga/jadwal keluarga untuk merawat klien
f. SP 3 K
1) Evaluasi kemampuan keluarga (SP 1 K)
2) Evaluasi kemampuan klien
3) Rencana tindakan lanjut keluarga dengan follow up dan rujukan.
4. Implementasi
Implementasi adalah melakukan tindakan sesuai dengan rencana ,
masalah dan kondisi klien yang bersangkutan. Ada 4 fase implementasi
komunikasi terapeutik tenaga kesehatan kepada pasien:
a. Fase Orientasi
Pada fase ini hubungan yang terjadi masih dangkaldan komunikasi yang
terjadi bersifat pengalian informasi antara tenaga kesehatan dengan pasien.
b. Fase identifikasi
Merumuskan masalah yang dihadapi pasien.
c. Fase eksploitasi/Fase kerja
Pada fase ini tenagan medis dituntut untuk bekerja untuk memenuhi tujuan
yang telah ditetapkanpada fase orientasi dan identifikasi. Tenaga kesehatan
harus bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang masala-masalah
yang dialami oleh pasien.
d. Fase relaksasi/Penyelesaian
Pada fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan penilaian atas
tujuan yang telah dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang
saling menguntungkan dan memuaskan.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan dan dilakukan harus terus -
menerus untuk menilai agar efek dari tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunskan pendekatan SOAP menjadi pola
piker
S : Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respon objektif klien terhadap keperawatan yang telah dilaksanakan
A : Gangguan isi pikir : Halusinasi (+)
Analisa terhadap data subjektif objektif .
P : Perencanaan tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa respon klien.

6. Terapi Aktivitas Kelompok : Orientasi Realita

Terapi aktivitas kelompok orientasi realita adalah upaya untuk mengorie


ntasikan keadaan nyata kepada klien, yaiti diri sendiri, orang lain, lingkungan, te
mpat dan waktu.
Sesi 1 : Pengenalan orang
Sesi 2 : pengenalan tempat
Sesi 3 : pengenalan waktu
DAFTAR PUSTAKA

Azizah Lilik, Dkk. (2021). ‘Buku Ajaran Keperawatan Kesehatan Jiwa’. indomedia Pus
taka : Yogyakarta.

Fitria, Nita. (2020).’Laporan Pendahuluan Tentang Masalah Psikososial’. Jakarta : Sale


mba Medika.

Victoryna, Fallon. Dkk. (2021).’Penerapan Standar Asuhan Keperawatan Jiwa Ners Unt
uk Menurunkan Intensitas Waham Pasien Skizofrenia’. Journal Keperawatan Ji
wa. Jawa Tengah

Yusuf, Ahmad Dkk. (2020). ‘Buku Ajar Keperawatan Jiwa’. Jakarta: Salemba Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
A. Konsep Keperawatan
1. Definisi
Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan seseorang mengalami
kelainan dalam kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
kehidupan sehari-hari secara mandiri. Tidak ada keinginan untuk mandi secara
teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor, bau badan, bau napas, dan
penampilan tidak rapi. Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah
yang timbul pada pasien gangguan jiwa. Pasien gangguan jiwa kronis sering
mengalami ketidakpedulian merawat diri. Keadaan ini merupakan gejala
perilaku negatif dan menyebabkan pasien dikucilkan baik dalam keluarga
maupun masyarakat (Yusuf, 2020).
Defisit perawatan diri adalah suatu gangguan didalam melakukan
aktifitas perawatan diri (kebersihan diri, berhias, makan, toileting). Sedangkan
perawatan diri merupakan salah satu kemampuan dasar manusia untuk
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan kehidupan, kesehatan dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya (Nurhalimah, 2021).
Pada setiap masalah keperawatan jiwa yang selalu dan bahkan dapat
terjadi pada setiap pasien yang mengalami gangguan jiwa adalah defisit
perawatan diri. Defisit perawatan diri merupakan suatu kondisi pada seseorang
yang mengalami kelemahan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas-
aktivitas perawatan diri seperti mandi, berpakaian, makan, BAB/BAK.
(Wulandari, 2020).

2. Etiologi
Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabakan individu mengalami
deficit perawatan diri (Nurhalimah, 2021):
a. Faktor prediposisi
1) Biologis, seringkali defisit perawaan diri disebabkan karena adanya
penyakit fisik dan mental yang menyebabkan pasien tidak mampu
melakukan perawatan diri dan adanya faktor herediter yaitu ada anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
2) Psikologis, factor perkembangan memegang peranan yang tidak kalah
penting hal ini dikarenakan keluarga terlalu melindungi dan memanjakan
individu sehingga perkembangan inisiatif terganggu. Pasien gangguan
jiwa mengalamai defisit perawatan diri dikarenakan kemampuan realitas
yang kurang sehingga menyebabkan pasien tidakpeduli terhadap diri dan
lingkungannya termasuk perawatan diri.
3) Sosial. Kurangnya dukungan sosial dan situasi lingkungan
mengakibatkan penurunan kemampuan dalam perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Faktor presiptasi yang dapat menimbulkan defisit perawatan diri adalah
penurunan motivasi, kerusakan kognitif atau persepsi, cemas, lelah, lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri.

3. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala defisit perawatan diri dapat dinilai dari pernyataan
pasien tentang kebersihan diri, berdandan dan berpakaian, makan dan minum,
BAB dan BAK dan didukung dengan data hasil observasi.
a. Data subjektif
Pasien mengatakan tentang :
1) Malas mandi
2) Tidak mau menyisir rambut
3) Tidak mau menggosok gigi
4) Tidak mau memotong kuku
5) Tidak mau berhias/ berdandan
6) Tidak bisa / tidak mau menggunakan alat mandi / kebersihan diri
7) Tidak menggunakan alat makan dan minum saat makan dan minum
8) BAB dan BAK sembarangan
9) Tidak membersihkan diri dan tempat BAB dan BAK setelah BAB dan
BAK
10) Tidak mengetahui cara perawatan diri yang benar (Nurhalimah, 2021).
b. Data objektif
1) Badan bau, kotor, berdaki, rambut kotor, gigi kotor, kuku panjang,
2) Tidak menggunakan alat-alat mandi pada saat mandi dan tidak mandi
dengan benar
3) Rambut kusut, berantakan, kumis dan jenggot tidak rapi, serta tidak
mampu berdandan,pakaian tidak rapi, tidak mampu memilih,
mengambil, memakai, mengencangkan dan memindahkan pakaian, tidak
memakai sepatu, tidak mengkancingkan baju atau celana.
4) Memakai barang-barang yang tidak perlu dalam berpakaian,mis
memakai pakaian berlapis-lapis, penggunaan pakaian yang tidak sesuai.
Melepas barang-barang yang perlu dalam berpakaian, mis telajang.
5) Makan dan minum sembarangan serta berceceran, tidak menggunakan
alat makan, tidak mampu (menyiapkan makanan, memindahkan
makanan ke alat makan (dari panci ke piring atau mangkok, tidak mampu
menggunakan sendok dan tidak mengetahui fungsi alat-alat makan),
memegang alat makan, membawa. (Nurhalimah, 2021)

4. Proses
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi
akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri tampak dari
ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias diri
secara mandiri, dan toileting (buang air besar [BAB] atau buang air kecil
[BAK]) secara mandiri (Yusuf, 2020).

5. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon


Maladaptif

Pola perawatan diri Kadang perawatan diri Tidak


seimbang kadang tidak melakukan
perawatan
Penjelasan :
a. Pola perawatan dari seimbang : saat klien mendapat stres dan mampu untuk
berprilaku adaptif maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang,
klien masih malakukan peawatan diri
b. Kadang perawatan diri kadang tidak : saat klien mendapatkan stres kadang-
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya
c. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan
tidak bisa melakukan perawatan diri saat stressor.
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat merawat diri
sendiri adalah :
a. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri.
1) Bina hubungan saling percaya.
2) Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.
3) Kuatkan kemampuan klien merawat diri.
b. Membimbing dan menolong klien merawat diri.
1) Bantu klien merawat diri
2) Ajarkan ketrampilan secara bertahap
3) Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
c. Ciptakan lingkungan yang mendukung
1) Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi.
2) Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien.
3) Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien misalnya, kamar
mandi yang dekat dan tertutup.

6. Fase
Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa
tidak aman berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal dari
lingkungan yang penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan dimana-mana,
tidak mungkin mengembangkan kehangatan emosional, dan hubungan positif
dengan orang lain yang melibatkan diri dalam situasi yang baru. Ia terus
berusaha mendapatkan rasa aman. Begitu menyakitkan sehingga rasa nyaman itu
tidak tercapai. Hal ini menyebabkan ia membayangkan nasionalisasi dan
mengaburkan realitas dari pada kenyataan. Keadaan dimana seorang individu
mengalami atau beresiko mengalami suatu ketidakmampuan dalam mengalami
stressor interval atau lingkungan dengan adekuatnya.

7. Jenis
Menurut Nanda (2020), jenis perawatan diri terdiri dari :
a. Defisit perawatan diri: mandi;
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi/
berkativitas perawatan diri untuk diri sendiri
b. Defisit perawatan diri : berpakaian ;
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan beriasuntuk diri sendiri
c. Defisit perawatan diri: makan ;
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
sendiri
d. Defisit perawatan diri: eliminasi ;
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan elimiinasi
sendiri

8. Mekanisme Koping
a. Regresi
Kemunduran akibat stress terhadap perilaku dan menemukan ciri khas sari
suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
b. Penyangkalan (Denial)
Menyatakan ketidak setujuanterhadap realitia dengan mengingkari realitas
tersebut. Mekanisme pertahanan ini adalah paling sederhana dan primitive
c. Isolasi diri, menarik diri
Sikap mengelompokkan orang/ keadaan hanya sebagai semuanya baik atau
semuanya buruk, kegagalan menandukkan niali-nilai postif dan negatif
didalam diri sendiri.
d. Intelektualisasi
Penggunaan logika dan alsan yang berlebihan untuk menghindari
pengalaman yang mengganggu.
9. Perilaku
Perilaku klien tidak yakin dengan apa yang diharapkan jika perilaku klien
tidak lazim atau tidak dapat diperkirakan keluarga. Juga dapat merasa bersalah
atau bertanggung jawab dengan meyakini bahwa mereka gagal menyediakan
kehidupan penuh cinta dan dukungan klien bahwa mereka gagal menyediakan
kehidupandirumah dan dukungan (Widiyawati, 2020).

10. Penatalaksanaan
Pasien dengan gangguan defisit perawatan diri tidak membutuhkan
perawatan medis karena hanya mengalami gangguan jiwa, pasien lebih
membutuhkan terapi kejiwaan melalui komunikasi terapeutik

B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Fokus
Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah :
1) Data Subjektif
a) Pasien merasa lemah
b) Malas untuk beraktifitas
c) Merasa tidak berdaya
2) Data Objektif
a) Rambut kotor, acak-acakan
b) Badan dan pakaian kotor dan bau
c) Mulut dan gigi bau
d) Kulit kusam dan kotor
e) Kuku panjang dan tidak terawat
3) Mekanisme Koping
a) Regresi
b) Penyangkalan
c) Isolasi sosial menarik diri
d) Intelektualisasi
4) Status Mental
a) Penampilan
[ ] Tidak rapi
[ ] Pengunaan oakaian tidak sesuai
[ ] Cara berpakaian tidak seperti biasanya
Jelaskan…………………………………
Masalah Keperawatan………………………………………
5) Kebutuhan sehari-hari
1. Kebersihan diri
[ ] Bantuan Minimal [ ] Bantuan Total
2. Makan
[ ] Bantuan Minimal [ ] Bantuan Total
3. BAB/BAK
[ ] Bantuan Minimal [ ] Bantuan Total
4. Berpakaian/berhias
[ ] Bantuan Minimal [ ] Bantuan Total
Jelaskan………………………………………….
Masalah Keperawatan……………………………………..

b. Masalah Keperawatan Yang Kemungkinan Muncul


1) Defisit keperawatan diri
2) Harga diri rendah
3) Resiko tinggi isolasi social
c. Analisa Data
1) Data subjektif
a) Klien mengatakan dirinya malas mandi karena airnya dingin, atau di RS
tidak tersedia alat mandi
b) Klien mengatakan dirinya malas berdandan
c) Klien mengatakan ingin disuapi makan
d) Klien mengatakan jarang membersihkan alat kelaminnya setelah BAK
maupun BAB.
2) Data objektif
a) Ketidakmampuan mandi/membersihkan diri ditandai dengan rambut
kotor, gigi kotor, kulit berdaki, dan berbau, serta kuku panjang dan kotor
b) Ketidakmampuan berapakaian/berhias ditandai dengan rambut acak-
acakan, pakaian kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, tidak bercukur
(laki-laki), atau tidak berdandan (wanita).
c) Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan
ketidakmampuan mengambil makanan sendiri, makan berceceran dan
makan tidak pada tempatnya.
d) Ketidakmampuan BAB/BAK secara mandiri ditandai BAB/BAK tidak
pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baik setelah BAB/BAK
d. Pohon Masalah
Efek Risiko Tinggi Isolasi Sosial

Core Problem Defisit Perawatan Diri

Cause Harga Diri Rendah Kronis

2. Diagnosis Keperawatan
Defisit perawatan diri kebersihan diri, makan, berdandan dan BAK/BAB

3. Intervensi
Pasien Keluarga
SPIP SPIK
1. Identifikasi masalah perawatan 1. Diskusi maslah yang dirasakan
diri: Kebersihan diri, berdandan, dalam merawat pasien
makan/minum, BAK/BAB
2. Jelaskan pentingnya kebersihan 2. Jelaskan pengertian, tanda &
gejala, dan proses terjadinya
defisit perawatan diri
3. Jelaskan cara dan alat kebersihan 3. Jelaskan cara merawat defisit
diri perawatan diri
4. Latih cara menjaga kebersihan 4. Latih dua cara merawat:
diri : Mandi dan ganti pakaian, kebersihan diri dan berdandan
sikat gigi, cuci rambut, potong
kuku
5. Masuk pada jadwal kegiatan 5. Anjurkan membantu pasien
untuk latihan mandi, sikat gigi (2 sesuai jadwal dan memberikan
kali perhari), cuci rambut (2 kali pujian
perminggu), ptong kuku (satu
kali perminggu)
SPIIP SPIIK
1. Evalusi kegiatan kebersihan diri, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
beri pujian merawat/melatih pasien
kebersihan diri, beri pujian
2. Jelaskan cara dan alat untuk 2. Latih dua (yang lain) cara
berdandan merawat: makan & minum, BAB
& BAK
3. Latih cara berdandan setelah 3. Anjurkan membantu pasien sesui
kebersihan diri jadwal dan memberi pujian
4. Masukan pada jadwal kegiatan
untuk kebersihan diri dan
berdandan
SPIIIP SPIIIK
1. Evaluasi kegiatan kebersihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
dairi dan berdandan. Beri pujian merawat/melatih pasien
kebersihan diri dan berdandan.
Beri pujian
2. Jelaskan cara dan alat makan dan 2. Bimbing keluarga merawat
minum kebersihan diri dan berdandan
dan makan & minum pasien
3. Latih cara makan dan minum 3. Anjurkan membantu pasien sesui
yang baik jadwal dan berikan pujian
4. Masukan pada jadwal kegiatan
untuk latihan kebersihan diri,
berdandan dan makan & minum
yang baik
SPIVP SPIVK
1. Evaluasi kegiatan kebersihan diri 1. Evaluasi keluarga dalam
dan berdandan, makan & merawat/melatih pasien
minum, beri pujian kebersihan diri dan berdandan.
Beri pujian
2. Jelaskan cara BAB & BAK 2. Bimbing keluarga merawat
kebersihan diri dan berdandan
dan makan & minum pasien
3. Latih BAB & BAK yang baik 3. Anjurkan membantu pasien sesui
jadwal dan berikan pujian
4. Masukan pada jadwal kegiatan
untuk latihan kebersihan diri,
berdandan dan makan & minum
yang baik, BAB & BAK
SPVP SPVK
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
perawatan diri: kebersihan diri, merawat/melatih pasien dalam
berdandan, makan & minum, perawatan diri: kebersihan diri,
BAB & BAK. Beri pujian berdandan, makan & minum,
BAB &BAK. Beri pujian
2. Latih kegiatan harian 2. Nilai kemampuan keluarga
merawat pasien
3. Niali kemampuan mandiri 3. Nilai kemampuan keluarga
melakukan kontrol RSJ/PKM
4. Niali apakah perawatan diri telah
baik
4. Implementasi
Implementasi adalah melakukan tindakan sesuai dengan rencana ,
masalah dan kondisi klien yang bersangkutan. Ada 4 fase implementasi
komunikasi terapeutik tenaga kesehatan kepada pasien:
a. Fase Orientasi
Pada fase ini hubungan yang terjadi masih dangkaldan komunikasi yang
terjadi bersifat pengalian informasi antara tenaga kesehatan dengan pasien.
b. Fase identifikasi
Merumuskan masalah yang dihadapi pasien.
c. Fase eksploitasi/Fase kerja
Pada fase ini tenagan medis dituntut untuk bekerja untuk memenuhi tujuan
yang telah ditetapkanpada fase orientasi dan identifikasi. Tenaga kesehatan
harus bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang masala-masalah
yang dialami oleh pasien.
d. Fase relaksasi/Penyelesaian
Pada fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan penilaian atas
tujuan yang telah dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang
saling menguntungkan dan memuaskan.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjuatan uantuk emniali efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien
terhadap tindakan yang telah dilaksanakan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan SOAP, sebagai pola piker atau
acuan.
S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang diberikan
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah diakukan
A : Defici t Perawatan Diri : Kebersihan diri, berdandan, makan dan minum,
BAB/BAK
Analisa terhadap data subjektif objektif .
P : Perencanaanatautindaklanjutberdasarkanhasilanalisapadaresponklien
6. Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas kelompok yang dapat diberikan untuk pasien dengan masalah
perawatan diri adalah : TAK stimulasi persepsi: perawatan diri.
Sesi I : Manfaat perawatan diri
Sesi II : Menjaga kebersihan diri
Sesi III: Tata cara makan dan minum
Sesi IV: Tata caratoiletting
Sesi V : Tata cara berdandan
DAFTAR PUSTAKA

Nurhalimah.(2021). Keperawatan Jiwa. Jakarta

Wulandari, H. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien Gangguan Jiwa Dengan Defisit
Perawatan Diri diruang jalak RSJ Dr.Radjiman Wediodinngrat Lawang Malang .
Asuhsn Keperawatan Jiwa : Teori Dan Aplikasi, 53(9), 1.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Yusuf Ah,dkk. (2020). Keperawatan Kesehatan Jiwa.Salemba Medika.Jakarta.
A. Konsep Keperawatan
1. Definisi
Menurut Nurhalimah (2021), harga diri rendah adalah perasaan tidak
berharga, tidaka berarti dan rendah diri. Harga diri rendah adalah suatu kondisi
dimana individu menilai dirinya atau kemampuan dirinya negative atau suatu
perasaan menganggap dirinya sebagai seseorang yang tidak berharga dan tidak
dapat bertanggung jawab atas kehidupan sendiri. Harga diri rendah kronik
merupakan evaluasi diri negative yang berkepanjangan/perasaan tentang diri
atau kemampuan diri.. harga diri yang berkepanjangan termaksud kondisi tidak
sehat mental karena dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan lain,
terutama kesehatan jiwa (Nurhalimah, 2021).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa harga diri
rendah dikarenakan penilaian internal maupun penilaian ekternal yang negative.
Penilaian internal merupakan penilaian dari individu itu sendiri, sedangkan
penilaian ekternal merupakan penilaian dari luar diri individu (seperti orang
tuateman saudara, dan lingkungan) yang sangat mempengaruhi penilaian
individu terhadap dirinya.
Harga diri rendah adalah evaluasi diri negatif yang dikaitkan dengan
perasaan lemah, tidak berdaya, putus asa, ketakutan, rentan, rapuh, tidak
lengkap, tidak berharga, dan tidak memadai. Harga diri yang rendah terkait
dengan masalah emosional, penyalahgunaan zat, dan gangguan makan.
Meskipun harga diri dianggap sebagai bagian kepribadian yang sangat penting,
tetapi dapat juga berfluktuasi tergantung pada kegagalan atau pencapaian yang
dialami, dan harga diri juga berhubunggan dengan bagian penting dalam
kehidupan seseorang, seperti olahraga dan melakukan kegiatan diwaktu luang.
(Wijayati, dkk., 2020)
Harga diri rendah merupakan perasaan negative terhadap diri sendiri ter
masuk kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga, tidak berguna,pesimis, tidak
ada harapan dan putus asa. Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tid
ak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negative ter
hadap diri dsendiri dan kemampuan diri. Adanya perasaan hilang percaya diri, m
erasa gagal karena tidak mampu mencapai keinginansesuai ideal diri (Azizah, 20
21).

2. Etiologi

Harga diri rendah disebabkan karena adanya koping individu yang tidak
efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system pendukung
kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang negative, difun
gsi system keluarga serta terinfeksi pada tahap perkembangan awal.
Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan m
enuntut lebih dari kemampuannya.
a. Faktor Predisposisi
1) Factor Biologis
a) Kerusakan lobus frontal
b) Kerusakan hipotalamus
c) Kerusakan system limbic
d) Kerusakan neurotransmitter
2) Factor psikologis
a) Penolakan orang tua
b) Harapan orang tua tidak realistis
c) Orang tua yang tidak percaya pada anak
d) Tekanan teman sebaya
e) Kurang reward system
f) Dampak penyakit kronik
3) Factor social
a) Kemiskinan
b) Terisolasi dari lingkungan
c) Interaksi kurang baik dalam keluarga
4) Factor cultural
a) Tuntutan peran
b) Perubahan kultur
Factor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan o
rang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai t
anggu jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tida
k realistis.
b. Factor Presipitasi
Adalah kehilangan bagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, k
egagalan atau produktivitas yang menurun. Secara umum gangguan konsep
diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara situasional atau kronik. Secara
situasional misalnya karena trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya h
arus di operasi, kecelakaan, pemerkosaan atau dipenjara termasuk dirawat di
rumah sakit bias menyebabkan harga diri rendah di sebabkan karena penyak
it fisik atau pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman. Peny
ebab lainnya adalah harapan fungsi tubuh yang tidak tercapai serta perlakua
n petugas kesehatan yang kurang menghargai klien dan keluarga. (Azizah, 2
021)

3. Manifestasi Klinik
Ungkapan negatif tentang diri sendiri merupakan salah satu tanda dan
gejala harga diri rendah. Selain itu tanda dan gejala harga diri rendah didapatkan
dari data subyektif dan obyektif, seperti tertera dibawah ini
Data Subjektif: Pasien mengungkapkan tentang:
a. Hal negatif diri sendiri atau orang lain
b. Perasaan tidak mampu
c. Pandangan hidup yang pesimis
d. Penolakan terhadap kemampuan diri
e. Mengevaluasi diri tidak mampu mengatasi situasi (Nurhalimah, 2016)
Data Objektif:
a. Penurunan produktivitas
b. Tidak berani menatap lawan bicara
c. Lebih banyak menundukkan kepala saat berinteraksi
d. Bicara lambat dengan nada suara lemah
e. Bimbang, perilaku yang non asertif
f. Mengekspresikan tidak berdaya dan tidak berguna (Nurhalimah, 2016).
Nurhalimah (2021), tanda dan gejala harga diri yang rendah adalah:
a. Mengkritik diri sendiri
b. Perasaan tidak mampu
c. Pandangan hidup yang pesimis
d. Penurunan produktifitas
e. Penolakan terhadap kemampuan diri
f. Kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapih, selera makan
kurang, tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk, bicara
lambat dengan nada suara lemah.
Selain dari pada itu karakteristik pasien dengan harga diri rendah adalah:
a. Ekspresi rasa malu atau bersalah
b. Ragu-ragu untuk mencoba hal-hal baru atau situasi-situasi baru
c. Hipersensitifitas terhadap kritik

4. Proses
Proses terjadinya harga diri rendah dijelaskan oleh Nurhalimah (2021),
dalam konsep stress adapatasi yang teridiri dari faktor predisposisi dan
presipitasi.
a. Faktor Predisposisi yang menyebabkan timbulnya harga diri rendah
meliputi:
1) Biologis
Faktor heriditer (keturunan) seperti adanya riwayat anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa Selain itu adanya riwayat
penyakit kronis atau trauma kepala merupakan merupakan salah satu
faktor penyebab gangguan jiwa,
2) Psikologis
Masalah psikologis yang dapat menyebabkan timbulnya harga
diri rendah adalah pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan,
penolakan dari lingkungan dan orang terdekat serta harapan yang tidak
realistis. Kegagalan berulang, kurang mempunyai tanggungjawab
personal dan memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain
merupakan faktor lain yang menyebabkan gangguan jiwa. Selain itu
pasiendengan harga diri rendah memiliki penilaian yang negatif
terhadap gambaran dirinya, mengalami krisis identitas, peran yang
terganggu, ideal diri yang tidak realistis.
3) Faktor Sosial Budaya
Pengaruh sosial budaya yang dapat menimbulkan harga diri
rendah adalah adanya penilaian negatif dari lingkungan terhadap klien,
sosial ekonomi rendah, pendidikan yang rendah serta adanya riwayat
penolakan lingkungan pada tahap tumbuh kembang anak.
b. FaktorPresipitasi Faktor presipitasi yang menimbulkan harga diri rendah
antara lain:
1) Riwayat trauma seperti adanya penganiayaan seksual dan pengalaman
psikologis
yang tidak menyenangkan, menyaksikan peristiwa yang mengancam
kehidupan, menjadi pelaku, korban maupun saksi dari perilaku
kekerasan.
2) Ketegangan peran: Ketegangan peran dapat disebabkan karena
a) Transisi peran perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan
dengan pertumbuhan seperti transisi dari masa kanak-kanak ke
remaja.
b) Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c) Transisi peran sehat-sakit: merupakan akibat pergeseran dari kondisi
sehat kesakit. Transisi ini dapat dicetuskan antara lain karena
kehilangansebahagian anggota tuhuh, perubahan ukuran, bentuk,
penampilan atau fungsi tubuh.Atau perubahan fisik yang
berhubungan dengan tumbuh kembang normal, prosedur medis dan
keperawatan.
5. Rentang Respon
Rentang Respon Konsep Diri

Respon adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi Harga Diri Kerancuam Dipersonalisasi


Konsep
Diri Rendah Identitas
Diri Positif

Keterangan :
a. Respon adaptif adalah respon yang dihadapi klien bila klien menghadapi suat
u masalah dapat menyelesaikannya secara baik antara lain :
1) Aktualisasi diri
2) Konsep diri positif
b. Respon mal-adaptif individu akan sukses dalam menghadapi masalah. Respo
n maladaptive gangguan konsep diri adalah :
1) Harga diri rendah, yaitu transisi antara konsep diri adaptif dan maladaptif
2) Kekacauan identitas : suatu kegagalan individu untuk mengintegrasikan
berbagai identifikasi masa kana-kanak dalam kepribadian psikososial de
wasa yang harmonis
3) Depersonalisasi (tidak mengenal diri) : perasaan yang tidak realistis dan
keasingan dirinya dari lingkungan (Nurhalimah, 2021).

6. Jenis
Harga diri rendah dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Harga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang
sebelumnya memiliki harga diri positif mengalami perasaan negatif
mengenai diri dalam berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan,
perubahan).
b. Harga diri rendah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami
evaluasi diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu lama.
7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping termaksud pertahanan koping jangka pendek atau
jangka panjang serta penggunaan mekanisme pertahanan ego untuk melindungi
diri sendiri dalam menghadapi persepsi diri yang menyakitkan.
a. Pertahanan jangka pendek mencakup berikut:
1) Aktivitas yang memberikan pelarian sementara dari krisi identitas diri
(misalnya: konser music,bekerja keras, menonton televise secara obsesif)
2) Aktivitas yang memberikan identitas pengganti sementara (misalnya:
ikut serta dalam klub social, agama politih, kelompok, gerakan atau
genk)
3) Aktivitas sementara menguatkan atau meningkatkan perasaan diri yang
tidak menentu (misalnya: olahraga yang kompetitif, prestasi akademik,
kontes untuk mendapatkan popularitas)
4) Aktivitas yang merupakan jangka pendek untuk membuat identitas diluar
dari hidup yang tidak bermakna saat ini (misalnya: penyalagunaan obat
b. Pertahanan jangka panjang mencakup berikut:
1) Penutupan identitas-adopsi identitas premature yang diinginkanoleh
orang terdekat tanpa mempertahankan keingina, aspirasi, atau potensi
diri individu.
2) Identitas negative, asumsi identitas yang tidak sesuai dengan nilai dan
harapan yang diteriam masyarakat.

8. Perilaku
Perilaku yang dilakukan pada individu yang menarik diri biasanya
individu tersebut cenderung diri dari orang lain, setelah itu individu tersebut
juga memilki tingkat percaya diri yang sangat rendah dan lalu berfikir negative
melibatkan dirinya sendiri.

9. Penatalaksanaan
a. Farmakologi dan Electro Comfilsif Therapy (ECT)
Obat anti depresi: Amitripilin, Imipramine, desipramine, notriptilin.
Sesuai dengan fungsi dari obatnya, yaitu untuk meningkatkan reuptake
seorotonin dan norepinefrin sehingga meningkatkan motovasi klien.
Indikasinya, yaitu pengobatan yang diberikan pada klien dengan depresi
berat tetapi juga mengalam skozofrenia sehingga mempunyai efek
pengobatan yang saling meningkatkan
Electro Comfilsif Therapy (ECT) atau biasa disebut shock therapy
adalah pengobatan medis yang modern dengan cara memberikan rangsangan
pada otak. Terapi ini biasanya digunakan untuk penyakit-penyakit tertentu
yang berhubungan dengan mental atau gejala emosional.
b. Terapi modalitas
1) Terapi keluarga
Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu mengatasi masalah
klien dengan memberikan perhatian
a) BHSP
b) Jangan memancing emosi klien
c) Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan keluarga
d) Berikan kesempatan klien mengemukaan pendapat
e) Dengarkan, bantu dan anjurkan pasien untuk mengemukakan
masalah yang dialaminya
2) Terapi kelompok
Berfokus pada dukungan dan perkembangan, keterampilan sosial,
atau aktivitas lain dengan berdiskusi dan bermain untuk mengembalikan
keadaan klien karena masalah sebagian orang merupakan persaan dan
tingkah laku pada orang lain.
c. Terapi musik Dengan musik klien terhibur,rileks dan bermain untuk
mengebalikan kesadaran klie.
B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Fokus
1) Konsep Diri
a) Citra Tubuh
Gambaran yang dimiliki individu secara mental mengenai
tubuhnya, gambaran tersebut dapat berupa pikiran-pikiran,
perasaan, penilaian, sensasi, kesadaran dan perilaku yang terkait
dengan tubuhnya.
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang
akan terjadi. Menolak penjelasan perubahan tubuh, persepsi
negatuf tentang tubuh, mengungkapkan keputus asaan,
mengungkapkan ketakutan.
b) Identitas Diri
Kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan
penilaian, yang merupakan semua aspek konsep diri sebagai suatu
kesatuan yang utuh.
Ketidak pastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan
dan tidak mampu mengambil keputusan.
c) Peran
Suatu konsep perilaku apa yang dapat dilaksanakan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit,
proses menua, putus sekolah.
d) Ideal Diri
Persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya
bertingkahlaku berdasarkan standar pribadi.
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya:
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
e) Harga Diri
Pandangan keseluruhan dari individu tentang dirinya sendiri.
Faktor predisposisi : Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien
pernah mengalami gangguan jiwa pada masa lalu, pernah
melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual, penolakan
dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan criminal.
Dan pengkajiannya meliputi psikologis,  biologis, dan social
budaya.
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri
sendiri,, gangguan hubungan social, merendahkan martabat,
mencederai diri dan kurang percaya diri.
i. Klien mempunyai gangguan atau hambatan dalam melakukan
hubungan social dengan orang lain terdekat dalam kehidupan,
kelompok yang diikuti dalam masyarakat.
ii. Keyakinan klien terhadap Tuhan dan keinginan untuk ibadah
spiritual.
b. Aspek fisik/biologis : Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi,
Suhu, Pernafasan, TB, BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh klien.
c. Status mental : Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien,
aktivitas motorik klien, afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi,
proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi,
dan berhitung.
d. Mekanisme koping Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain
dan asyik dengan stimulus internal, menjelaskan suatu perubahan
persepsi dengan mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
e. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok, lingkungan,
pendidikan,  pekerjaan, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
b. Masalah Keperawatan
1) Gangguan konsep diri:harga diri rendah
2) Isolasi social:menarik diri
3) Koping individu tidak efektif
c. Analisa Data
No Data Masalah Keperawatan
.
1. DS: Harga Diri Rendah
- Klien mengatakan merasa malu dan tidak
berguna serta dikucilkan dari keluarganya
karena tidak memiliki pekerjaan
(pengangguran)
- Klien mengatakan merasa menjadi beban
keluarga
- Klien mengatak merasa malu diusia 35
tahun belum menikah dan mempunyai anak
- Klien mengatakan merasa takut tidak bias
diterima dilingkungan rumahnya setelah
pulang dari RS jiwa
DO :
- Klien saat diajak ngobrol banyak
menundukkan kepala
- Kontak mata kurang
- Klien tampak bicara lambat dengan nada
suara lemah
2. DS : Isolasi Sosial
- Klien mengatakan malas ngobrol dengan
orang lain
- Klien mengatakan merasa lebih nyaman
bila sendiri
DO :
- Klien tampak sedikit bicaram sedikit
membatasi pembicaraan saat berbincang-
bincang
- Klien tampak lebih sering melakukan
aktivitas seperlunya saja
3. DS : Koping Individu
- Pasien mengatakan apabila pasien memiliki Tidak Efektif
masalah, pasien sering memendamnya
(tidak mau menceritakannya pada orang
lain)
- Pasien mengatakan sejak ibunya meninggal
pasien suka melamun, menyendiri di
kamar, tidak mau bergaul dengan
masyarakat, jarang berkomunikasi
DO :
- Klien tampak menyendiri
- Klien tampak menunduk kebawak serta
kontak mata tidak terlalu focus saat bicara

d. Pohon Masalah
Berdasarkan hasil pengkajian dapat dibuat pohon masalah sebagai
berikut:

Isolasi Sosial

CP Harga Diri Rendah

Mekanisme koping Mekanisme koping


Individu tidak efektif keluarga tidak efektif
Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: gangguan
Konsep Diri: Harga diri rendahmerupakan core problem (masalah utama).
Apabila harga diri rendah pasien tidak diintervensi akan mengakibatkan isolasi
sosial. Penyebab harga diri rendah pasien dikarenakan pasien memiliki
mekanisme koping yang inefektif dan dapat pula dikarenakan mekanisme
koping keluarga yang inefektif.

2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

3. Intervensi
No. SP 1 P SP 1 K
1. Mengidentifikasi dan aspek posit 1) Mengidentifikasi masalah k
if yang dimiliki klien eluarga dalam merawat pasi
en
2. Menilai kemampuan yang dapat 2) Menjelaskan proses terjadin
dilakukan saat ini ya waham
3. Memilih kemampuan yang akan 3) Menjelaskan tentang cara m
di latih erawat pasien waham
4. Melatih kemampuan pertama ya 4) Bermaain peran dalam mera
ng dipilih wat pasien HDR
5. Masukan dalam jadwal kegiatan 5) RTI, keluarga/jadwal untuk
klien merawat pasien
No. SP 2 P
1. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1. Evaluasi kemampuan keluar
1) ga (SP 1K)
2. Melatih kemampuan kedua yang 2. Melatih keluarga merawat la
dipilih klien ngsung klien dengan harga d
iri rendah
3. Melatih kemampuan yang dipilih 3. Menyusun RTI, keluarga/jad
wal keluarga untuk merawat
klien
4. Masukan dalam jadwal kegiatan
harian
No. SP 3 P SP 3 K
1. Evaluasi kegiatan yang lalu (SP 1 1. Evaluasi kemampuan keluar
dan 2) ga (SP 1 K)
2. Memilih kemampuan ketiga yang 2. Evaluasi kemampuan klien
dapat dilakukan
3. Melatih kemampuan ketiga yang 3. Rencana tindakan lanjut kelu
dipilih arga dengan follow up dan ru
4. Masukan dalam jadwal kegiatan jukan
klien

4. Implementasi
Implementasi adalah melakukan tindakan sesuai dengan rencana ,
masalah dan kondisi klien yang bersangkutan. Ada 4 fase implementasi
komunikasi terapeutik tenaga kesehatan kepada pasien:
a. Fase Orientasi
Pada fase ini hubungan yang terjadi masih dangkaldan komunikasi yang
terjadi bersifat pengalian informasi antara tenaga kesehatan dengan pasien.
b. Fase identifikasi
Merumuskan masalah yang dihadapi pasien
c. Fase eksploitasi/Fase kerja
Pada fase ini tenagan medis dituntut untuk bekerja untuk memenuhi tujuan
yang telah ditetapkanpada fase orientasi dan identifikasi. Tenaga kesehatan
harus bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang masala-masalah
yang dialami oleh pasien.
d. Fase relaksasi/Penyelesaian
Pada fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan penilaian atas
tujuan yang telah dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang
saling menguntungkan dan memuaskan.

5. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan dan dilakukan harus terus -
menerus untuk menilai agar efek dari tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunskan pendekatan SOAP menjadi pola
piker
S : Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respon objektif klien terhadap keperawatan yang telah dilaksanakan
A : Harga diri rendah (+)
Analisa terhadap data subjektif objektif .
P : Perencanaan tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa respon klien

6. Terapi Aktivitas Kelompok


Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang
menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan pengalaman dan
atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok
dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.
a. Jenis-jenis terapi aktivitas kelompok
1) Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi
2) Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi sensori
3) Terapi aktivitas kelompok (TAK) orientasi realita
4) Terapi aktivitas kelompok (TAK) sosialisasi
b. Aktivitas dan indikasi TAK stimulasi persepsi harga diri rendah
Aktivitas dalam TAK stimulasi persepsi dibagi menjadi empat bagian.
Satu diantaranya stimulus nyata yang mengakibatkan harga diri rendah. Klien
yang terindikasi TAK stimulasi persepsi ini adalah klien yang mengalami
gangguan pada konsep dirinya yaitu harga diri rendah. TAK stimulasi
persepsi harga diri rendah terdiri dari 2 sesi, yaitu :
1) Sesi 1 : mengidentifikasi aspek yang membuat harga diri rendah dan
aspek positif kemampuan yang dimiliki selama hidup ( di rumah dan di
rumah sakit).
2) Sesi 2 : melatih kemampuan yang dapat digunakan di rumah sakit dan di
rumah.
DAFTAR PUSTAKA

Azizah Lilik, Zainuri Imam,Akbar Amar.(2021). Keperawatan Kesehatan Jiwa, indome


dia Pustaka : Yogyakarta.

Wijayati, F., Nasir, T., Hadi, I., Keperawatan, J., Kendari, P. K., Keperawatan, J.,
Keperawatan, J., Kendari, P. K., Keperawatan, J., & Kendari, P. K. (2020).
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian harga diri rendah pasien
gangguan jiwa. HEALTH INFORMATION JURNAL PENELITIAN, 12(2), 224–
235
Nurhalimah.(2021). Keperawatan Jiwa. Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
A. Konsep Keperawatan

1. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu yang mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
di sekitarnya. Pasien mungkin merasa di tolak, tidak di terima, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Gangguan dalam
berhubungan yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang
mengancam dirinya dengan cara menghindar interaksi dengan orang lain dan
lingkunga. (Azizah, 2021)
Isolasi social merupakan upaya menghindari komunikasi dengan orang
lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran, dan kegagalan. Klien mengalami
kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain yang
dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup
berbagi pengalaman. (Yosep, dkk, 2021)
Isolasi social merupakan kondisi kesendirian yang di alami oleh individu
dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagi suatu keadaan yang
negative dan mengancam (Badar, 2020).

2. Etiologi
Isolasi social menarik diri sering disebabkan oleh karena kuranganya
rasa percaya pada orang lain, perasaan panic, regrasi ke tahap perkembangan
sebelumnya, waham, sukar berinnteraksi dimasa lampau, perkembangan ego
yang lemah serta represi rasa takut. Isolasi social disebabkan oleh gangguan
konsep diri rendah (Azizah, 2021)
a. Faktor Predisposisi (Azizah, 2020).
1) Faktor Perkembangan
Kemampuan membina hubungan yang sehat tergntung dari
pengalaman selama proses tumbuh kembang memiliki tugas yang harus
dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini
tidak terpenuhi akan menghambat perkembangan selanjutnya, kurang
stimulasi kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu (pengasuh)
pada bayi akan memberi rasa tidak aman yang dapat menghambat
terbentuknya rasa percaya.
2) Faktor Biologi
Genetik adalah salah satu factor pendukung gangguan jiwa, factor
genetic dapat menunjang terhadap respon social maladaptive ada bukti
terdahulu tentang terlibatnya neurotransmitter dalam perkembangan
gangguan ini namun tahap masih diperlukan penilitian lebih lanjut.
3) Faktor Sosial Budaya
Faktor social budaya dapat menjadi factor pendukung terjadinya
gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya
anggota keluarga yang tidak produktif, diasingkan dari orang lain.
4) Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Pola komunikasi dalam keluarga dapat mengantarkan seseorang
dalam gangguan berhubungan bila keluarga bila keluarga hanya
mengkomunikasikan hal- hal yang negative akan mendorong anak
mengembangkan harga diri rendah.
b. Faktor Prespitasi
Stressor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan
yang penuh stress seperti kehilangan yang mempengaruhi individu untuk
berhubugan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas. (Azizah, 2021).
1) Faktor Nature (Alamiah)
Secara alamiah manusia merupakan mahluk holistic yang terdiri
dari dimensi bio-psiko-sosial-spritual. Oleh karena itu meskipun stressor
presipitasi yang sama tetapi apakah berdampank pada gangguan jiwa
atau kondisi psikososial tertentu yang maladptive dari individu, sangat
bergantung pada ketahan holistic individu tersebut.
2) Faktor Origin (Sumber Prespitasi)
Demikian juga dengan factor sumber prespitasi, baik internal
maupun eksternal yang berdampak pada psikososial seseorang. Hal ini
karena manusia bersifat unik.
3) Faktor Timing
Setiap stressor yang berdampang pada trauma psikologis
sesorang yang berimplikasi pada gangguan jiwa sangat di tentukan oleh
kapan terjadinya stressor, berapa lama dan frekuensi stressor.
4) Faktor Number (Banyaknya Stressor)
Demikian juga dengan stressor yang berimplikasi pada kondisi
gangguan jiwa sangat di tentukan oleh banyaknya stressor pda kurun
wktu tertentu. Misalnya, baru saja suami meninggal, seminggu kemudian
anak mengalami cacat permanen karena kecelakaan lalu lintas, lalu
sebulan kemudian ibu kena PHK dari tempat kerjanya.
5) Apparaisal of Stressor (Cara Menilai Predisposisi dan Prespitasi)
a) Faktor Kognitif: Berhubungan dengan tingkat pendidikan, luasnya
pengetahuan dan pengalaman.
b) Faktor Afektif: berhubungan dengan tipe kepribadian sesorang. Tipe
kepribadian introvert bersifat: Tertutp, suka memikirkan diri sendiri,
tidak terpengaruh pujian, banyak fantasi, tidak tahan kritik, mudah
tersinggung, menahan ekspresi emosinya, sukar bergaul, sukar
dimengerti orang lain, suka membesarkan kesalahnya dan suka kritik
diri sendiri. Tipe extrovert: Terbuka, licah dalam pergaulan, riang,
ramah, mudah berhubungan dengan orang lain, melihat realitas dan
keharusan, kebal terhadap kritik, ekspresi emosinya spontan, tidak
begitu merasakan kegagalan, dan tidak banyak mengkritik diri
sendiri. Tipe kepribadian ambivert dimana sesorang memiliki dua
tipe kepribadian dasar tersebut sehingga sulit menggolongkan dalam
salah satu tipe.
6) Faktor Physiological
Kondisi fisik sperti status nutrisi, status kesehatan fisik, factor
kecacatan atau kesempurnaan fisik sangat berpengaruh bagi penilaian
sesorang terhadap stressor predisposisi dan presipitasi.
7) Faktor Behavioral
Pada dasarnya perilaku seseorang turt mempengruhi niai,
keyakinan, sikap dan keputusannya. Oleh karena itu, factor perilaku turt
berperan pada sesorang dalam menilai factor predisposisi dan presipitasi
yang dihadapinya. Misalnya, seorang peminum alcohol, dalam keadaan
mabuk akan lebih emosional dalam mengadapi stressor. Demikian juga
dengan prokok atau penjudi, dalam menilai stressor berbeda dengan
seseorang yang taat beribadah.
8) Faktor Sosial
Manusia merupakan mahluk social yang hidupnya saling
bergantung pada satu dengan lainnya. Kehidupan koktif atau
kebersamaan berperan dalam pengambilan keputusan, adopsi nilai,
pembelajaran, pertukaran pengalaman dan penyelenggraaan ritualitas.
Dengan demikian, dapat di asumsikan bahwa factor kolektifitas atau
kebersamaan berpengaruh terhadap cara menili sressor predisposisi dan
presipitasi. (Azizah, 2021)

3. Manifestasi Klinis
a. Gejala Subjektif (Yosep, dkk, 2020)
1) Klien menceritakan perasaan kesepian atau di tolak oleh orang lain
2) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3) Respon verbal kurang dan sangat singkat
4) Klien mengatakan hubungan tidak berarti dengan orang lain
5) Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
6) Klien tidak mampu berkosentrasi dan membuat keputusan
7) Klien merasa tidak berguna
8) Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
9) Klien merasa ditolak
b. Gejala Objektif (Yosep, dkk, 2020)
1) Klien banyak diam dan tidak mau bicara
2) Tidak mengikuti kegiatan
3) Banyak berdiam diri di kamar
4) Klien menyindiri dan tidak mau berinterkasi dengan orang yang
terdekat
5) Klien tampak sedih, ekspresi datr dan dangkal
6) Kontak mata kurang
7) Kurang spontan
8) Apatis (acuh terhadap lingkungan)
9) Ekspresi wajah kurang berseri
10) Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
11) Mengisolasi diri
12) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungannya
13) Masukan minuman dan makan terganggua
14) Retensi urine dan feses
15) Aktivias menurun
16) Krang energy (tenaga)
17) Rendah diri
18) Postur tubuh berubah

4. Proses
Proses terjadinya Isolasi sosial pada pasienakan dijelaskan dengan
menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor
predisposisi dan presipitasi.
a. Faktor predisposisi
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya isolasi sosial, meliputi:
1) Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor
herediter dimana ada riwayata anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa. Adanya risiko bunuh diri, riwayat penyakit atau trauma
kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA. Selain itu ditemukan adanya
kondisi patologis otak, yang dapat diketahui dari hasil pemeriksaan
struktur otak melalui pemeriksaan CT Scan dan hasil pemeriksaan MRI
untuk melihat gangguan struktur dan fungsi otak (Nurhalimah, 2021).
2) Faktor Psikologis
Pasien dengan masalah isolasi sosial, seringkali mengalami
kegagalan yang berulang dalam mencapai keinginan/harapan, hal ini
mengakibatkan terganggunya konsep diri, yang pada akhirnya akan
berdampak dalam membina hubungan dengan orang lain.Koping
individual yang digunakan pada pasiendengan isolasi sosial dalam
mengatasi masalahnya, biasanya maladaptif. Koping yang biasa
digunakan meliputi: represi, supresi, sublimasi dan proyeksi. Perilaku
isolasi sosial timbul akibat adanya perasaan bersalah atau menyalahkan
lingkungan, sehingga pasienmerasa tidak pantas berada diantara orang
lain dilingkungannya.
Kurangnya kemampuan komunikasi, merupakan data pengkajian
keterampilan verbal pada pasien dengan masalah solasi sosial, hal ini
disebabkan karena pola asuh yang keluarga yang kurang memberikan
kesempatan pada pasien untuk menyampaikan perasaan maupun
pendapatnya.Kepribadian introvertmerupakan tipe kepribadian yang
sering dimiliki pasien dengan masalah isolasi sosial. Ciri-ciri
pasiendengan kepribadian ini adalah menutup diri dari orang
sekitarnya. Selain itu pembelajaran moral yang tidak adekuat dari
keluarga merupakan faktor lain yang dapat menyebabkan pasien tidak
mampu menyesuaikan perilakunya di masyarakat, akibatnya
pasienmerasa tersisih ataupun disisihkan dari lingkungannya. Faktor
psikologis lain yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah kegagalan
dalam melaksanakan tugas perkembangan. Kegagalan dalam
melaksanakan tugas perkembangan akan mengakibatkan individu tidak
percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis,
putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang
lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Kondisi
diatas, dapat menyebabkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan
orang lain, menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri
sendiri, kegiatan sehari-hari terabaikan (Nurhalimah, 2021).
3) Faktor Sosial Budaya
Faktor predisposisi sosial budaya pada pasiendengan isolasi
sosial, sesringkali diakibatkan karena pasienberasal dari golongan sosial
ekonomi rendah hal ini mengakibatkan ketidakmampuan pasiendalam
memenuhi kebutuhan. Kondisi tersebut memicu timbulnya stres yang
terus menerus, sehingga fokus pasienhanya pada pemenuhan
kebutuhannya dan mengabaikan hubungan sosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya. (Nurhalimah,2021) mengatakan bahwa faktor usia merupakan
salah satu penyebab isolasi sosial hal ini dikarenakan rendahnya
kemampuan pasiendalam memecahkan masalah dan kurangnya
kematangan pola berfikir.
Pasien dengan masalah isolasi sosial umumnya memiliki riwayat
penolakan lingkungan pada usia perkembangan anak, sehingga tidak
mampu menyelesaikan masalah tugas perkembangannya yaitu
berhubungan dengan orang lain. Pengalaman tersebut menimbulkan rasa
kurang percaya diri dalam memulai hubungan, akibat rasa takut terhadap
penolakan dari lingkungan. Tingkat pendidikan merupakan salah satu
tolok ukur kemampuan pasien berinteraksi secara efektif. Karena faktor
pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Pasiendengan masalah isolasi sosial biasanya
memiliki riwayat kurang mampu melakukan interaksi dan
menyelesaikan masalah, hal ini dikarenakan rendahnya tingkat
pendidikan pasien (Nurhalimah, 2021).
b. Faktor Presipitasi
Ditemukan adanya riwayat penyakit infeksi, penyakit kronis atau
kelainan struktur otak.Faktor lainnya pengalaman abuse dalam keluarga.
Penerapan aturan atau tuntutan dikeluarga atau masyarakat yang sering tidak
sesuai dengan pasien dan konflik antar masyarakat. Selain itu Pada
pasienyang mengalami isolasi sosial, dapat ditemukan adanya pengalaman
negatif pasienyang tidak menyenangkan terhadap gambaran dirinya,
ketidakjelasan atau berlebihnya peran yang dimiliki serta mengalami krisis
identitas.Pengalaman kegagalan yang berulang dalam mencapai harapan atau
cita-cita, serta kurangnya penghargaan baik dari diri sendiri maupun
lingkungan. Faktor-faktor diatas, menyebabkan gangguan dalam berinteraksi
sosial dengan orang lain, yang pada akhirnya menjadi masalah isolasi sosial.
5. Rentang Respon
Menurut Stuart Sundeen rentang respon klien ditinjau dariinteraksinya
dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang antara
respons adaptif dengan maladaptif sebagai berikut : (Azizah, 2021).
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Solitude Aloneless Curiga


Otonomi Dependensi Manipulasi
Bekerjasama Menarik diri Impulsif
Interdependen Narkisisme

Terdapat dua respon yang dapat terjadi pada isolasi sosial, yakni :
a. Respon Adaptif
Merupakan suatu respons yang masih dapat diterima oleh norma-
norma social dan kebudayaan secara umum yang berlaku dengan kata lain
individu tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah.
(Azizah, 2021)
1) Menyendiri (Solitude)
Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk
merenungkan apa yang telah terjadi di lingkungan sosialnya
(instropeksi).
2) Otonomi
Merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
3) Bekerjasama
Merupakan kemampuan individu yang saling membutuhkan satu
sama lain serta mampu memberi dan menerima.
4) Interdependen
Merupakan saling ketergantungan antara individu dengan orang
lain dalam membina hubungan interpersonal.
b. Respon Maladaptif
Merupakan suatu respon yang menyimpang dari norma sosial dan
kehidupan disuatu tempat, perilaku respon maladaptif, yakni meliputi:
1) Menarik diri
Merupakan keadaan dimana seseorang yang mengalami kesulitan
dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
2) Ketergantungan
Merupakan keadaan dimana seseorang gagal mengembangkan
rasa percaya dirinya sehingga tergantung dengan orang lain.
3) Manipulasi
Merupakan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang
menganggap orang lain sebagai objek dan berorientasi pada diri sendiri
atau pada tujuan, bukan berorienrasi pada orang lain. Individu tidak
dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
4) Curiga
Merupakan keadaan dimana seseorang gagal mengembangkan rasa
percaya diri terhadap orang lain.
5) Impulsif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar
dari pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang
buruk dan cenderung memaksa kehendak.
6) Narkisisme
Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha
mendapatkan penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris,
pencemburu, dan marah jika orang lain tidak mendukung.

6. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan diri yang digunakan pada masing-masing
gangguan hubungan social dapat bervariasi, seperti pada pasien curiga adalah
regresi, proyeksi, dan represi. Pada klien ketergantungan (dependent) adalah
regresi. Pada manipulative adalah regresi, represi, isolasi, dan klien menarik diri
adalah regresi, represi, isolasi social (Badar, 2020).
a. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran yang tidak dapat
diterima secara sadar dibendung supaya jangan tiba dikesadaran.
c. Isolasi social adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatka
timbulnya kegagalan defensive dalam menghubungkan perilaku dengan
motivasi atau bertentangan antara sikap dan perilaku.
7. Perilaku
Perilaku yang biasa muncul pada klien gangguan hubungan social adalah
sebagai berikut: (Badar, 2020)

Gangguan Hubungan
Perilaku
Sosial
Menarik Diri 1. Kurang spontan
2. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
3. Ekspresi wajah kurang berseri
4. Tidak merawat diri dan tidak memerhatikan
kebersihan diri
5. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
6. Mengisolasi diri
7. Tidak peduli dengan keadaan lingkungan
sekitarnya
8. Intake makanan dan minuman terganggu
9. Retensi urine da feses
10. Aktivitas menurun
11. Tidak betenaga
12. Berbaring dengan sikap atau posisi janin

Curiga 1. Tidak mampu memercayai orang lain


2. Bermusuhan (Hostilty)
3. Mengisolasi diri dalam lingkungan sosial
Manipulasi 1. Mengekspresikan perasaan tidak langsung
pada tujuan
2. Kurang asertif
3. Sangat tergantung pada orang lain

8. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi menurut Keliat, dkk, (2019) :
1) Klopromazin
a) Indikasi:
Penanganan gangguan psikotik, seperti skizofrenia, fase mania pada
ganggua bipolar (sampai litium kerja lambat menimbulkan efek),
psikosis reaktif singkat, dan gangguan skizoafektif. Selain itu juga
untuk penanganan ansietas dan agitasi: cegukan yang sulit di atasi:
porfria intermiten akut; anak hiperaktif yang menunjukan aktivitas
motorik yang berlebihan; masalah perilaku berat pada anak yang
dikaitkan dengan perilaku hipereksitasi atau menyerang. Agens di
tunjukan untuk penanganan mual dan muntah berat; sedasi pra dan
pasca bedah; serta tetanus (pengobatan penunjang).
b) Kontraindikasi :
Pasien hipersentivitas (dapat terjadi sensivitas silang pada gangguan
kelompok fenotiazin). Jangan digunakan jika terjadi SSP; jika
terdapat diskrasia darah; pada penyakit Parkinson; atau pada pasien
insufiensi ginjal, hati, atau jantung. Keamanan dalam kehamilan dan
laktasi belum dibuktikan.
c) Efek Samping :
Efek samping yang sering di timbulkan oleh obat-obatan psikotik
seperti: mengantuk, tremor, mata melihat ke atas, kaku otot, otot
bahu tertarik sebelah, hipersalivasi, pergeraka otot tak terkendali.
d) Cara Kerja Obat
Sampai saat ini masih belum di ketahui bagaimana cara kerja obat-
obatan antipsikotik yang memperbaiki manifestasi skizofrenia. Obat-
obatan anti psikotik tipikal menghambat reseptor dopamine,
mencegah stimulus pascainap oleh dopamine. Selain itu obat-obatan
tersebut juga dapat menekan RAS, menghambat stimulus yang
masuk ke otak, dan memiliki efek antikolinergik, antihistamin, dan
penyekat B adrenergic, yang semuanya berkaitan dengan
penghambatan sisi reseptor dopamine dan serotonin.
e) Yang Di Pengaruhi Obat :
Obat psikotropik adalah  obat  yang  mempengaruhi fungsi psikis,
kelakuan atau pengalam. Ia bekerja menekan system saraf pusat dan
anti psikoikn di sampung itu juga anti emetic, local anestetik,
pemblok.
f) Dosis :
75-1 – 3x/hari
2) Trifluoperazin
a) Indikasi :
Penganganan manifestasi gangguan psikotik serta penanganan
ansietas sedang hingga berat pada pasien nonpsikotik (Sutejo, 2019).
b) Kontraindikasi :
Pasien hipersentivitas (dapat terjadi sensivitas silang pada gangguan
kelompok fenotiazin). Jangan digunakan jika terjadi SSP; jika
terdapat diskrasia darah; pada penyakit Parkinson; atau pada pasien
insufiensi ginjal, hati, atau jantung. Keamanan dalam kehamilan dan
laktasi belum dibuktikan (Sutejo, 2019).
c) Efek Samping :
Efek samping yang sering di timbulkan oleh obat-obatan psikotik
seperti: mengantuk, tremor, mata melihat ke atas, kaku otot, otot
bahu tertarik sebelah, hipersalivasi, pergeraka otot tak terkendali
(Yosep, dkk, 2020).
d) Cara Kerja Obat :
Sampai saat ini masih belum di ketahui bagaimana cara kerja obat-
obatan antipsikotik yang memperbaiki manifestasi skizofrenia. Obat-
obatan anti psikotik tipikal menghambat reseptor dopamine,
mencegah stimulus pascainap oleh dopamine. Selain itu obat-obatan
tersebut juga dapat menekan RAS, menghambat stimulus yang
masuk ke otak, dan memiliki efek antikolinergik, antihistamin, dan
penyekat B adrenergic, yang semuanya berkaitan dengan
penghambatan sisi reseptor dopamine dan serotonin (Yosep, dkk,
2020).
e) Yang Dipengaruhi Obat :
Obat psikotropik adalah  obat  yang  mempengaruhi fungsi psikis,
kelakuan atau pengalam. Ia bekerja menekan system saraf pusat dan
anti psikoikn di sampung itu juga anti emetic, local anestetik,
pemblok (Mutschler, 2018).
f) Dosis :
20-1 g 3x/hari (Mutschler, 2018)
3) Haloperidol
a) Indikasi
Penatalaksanaan psikosis kronik dan akut; pengendalian tik dan
pengucapan vocal pada gangguan Tourette; penanganan gejala
demensia pada lanjut usia (lansia); pengendalian hiperaktivitas dana
masalah perilaku berat pada anak-anak. Penggunaan penelitian;
antiemetic (dosis lebih sedikit dari pengendalian perilaku psikotik)
serta pengendaliam situasi psikiatrik akut.
b) Kontraindikasi :
Pasien hipersentivitas (dapat terjadi sensivitas silang pada gangguan
kelompok fenotiazin). Jangan digunakan jika terjadi SSP; jika
terdapat diskrasia darah; pada penyakit Parkinson; atau pada pasien
insufiensi ginjal, hati, atau jantung. Keamanan dalam kehamilan dan
laktasi belum dibuktikan.
c) Efek Samping :
Efek samping yang sering di timbulkan oleh obat-obatan psikotik
seperti: mengantuk, tremor, mata melihat ke atas, kaku otot, otot
bahu tertarik sebelah, hipersalivasi, pergeraka otot tak terkendali.
d) Cara Kerja Obat :
Sampai saat ini masih belum di ketahui bagaimana cara kerja obat-
obatan antipsikotik yang memperbaiki manifestasi skizofrenia. Obat-
obatan anti psikotik tipikal menghambat reseptor dopamine,
mencegah stimulus pascainap oleh dopamine. Selain itu obat-obatan
tersebut juga dapat menekan RAS, menghambat stimulus yang
masuk ke otak, dan memiliki efek antikolinergik, antihistamin, dan
penyekat B adrenergic, yang semuanya berkaitan dengan
penghambatan sisi reseptor dopamine dan serotonin.
e) Yang Di Pengaruhi Obat :
Obat psikotropik adalah  obat  yang  mempengaruhi fungsi psikis,
kelakuan atau pengalam. Ia bekerja menekan system saraf pusat dan
anti psikoikn di sampung itu juga anti emetic, local anestetik,
pemblok.
f) Dosis :
3-1 mg 3x/hari (Mutschler, 2018).
b. Terapi Somatik
1) Terapi Individual
Dengan terapi individulal perawat menjalin hubungan saling percaya
dengan klien agar tercipta rasa trust kepada perawat. Sehingga klien
dapat leluasa menceritakan semua yang iya rasakan, dengan demikian
klien merasa aman, nyaman, klien dapat mengembangkan
kemampuannya dalam menyelesaikan konflik, meredahkan penderitaan
emosional, dank lien dapat memenuhi kebutuhan dirinya serta
mempermudah proses asuhan keperawatan jika sudah terjalin rasa saling
percaya klien terhadap perawat, terapi individual untuk TUK 1,2,3,4,5.
2) Terapi Kognitif
Karena klien mempunyai persepsi dan pemikiran yang negative/salah,
diperlukan terapi kognitif untuk merubah hal tersebut. Sehingga,
diharapkan dengan terapi kognitif persepsi dan pemikiran klien yang
negative berubah menjadi positif/baik, klien juga mampu
mempertimbangkan stressor, mengidentifikasi pola berfikir, persepsi dan
keyakinan yang tidak baik, Terapi kognitif untuk TUK 2,3.
3) Terapi Kelompok
Karena klien cenderung menarik diri dan tidak bersosialisasi, diperlukan
terapi kelompok agar klien dapat berinteraksi dengan orang lain seperti
sebelum klien mengalami gangguan dapat bersosialisasi. Perawat dapat
berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur, membantu anggota
kelompok meningkatkan kesadaran diri meningkatkan hubungan
interpersonal, dan menubah perilaku maladaptive menjadi adaptif. Terapi
kelompok untuk TUK 1,3,4,5,6.
B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Fokus
Hubungan Social:

1) Orang yang berarti bagi pasien…..


2) Peran serta dalam kegiatan berkelompok atau masyarakat….
3) Hambatan berhubungan dengan orang lain…. (Keliat, dkk, 2019)

1) Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain


2) Pasien merasa tidakman berada dengan orang lain
3) Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
4) Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
5) Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
6) Pasien merasa tidak sempurna
7) Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup. (Keliat, A, B. Akemat,
2019)
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini dapat anda tanyakan pada saat wawancara
untuk mendapatkan data subjektif:
1) Bagaimana pendapat pasien terhadap orang-orang di sekitarnya (keluarga
atau tetangga)?
2) Apakah pasien memiliki teman dekat? Jika ada, siapa teman dekatnya?
3) Apa yang membuat pasien tidak memiliki orang yang terdekat
dengannya?
4) Apa yang pasien inginkan dari orang-orang di sekitarnya?
5) Apakah ada perasaan tidak aman yang dialami oleh pasien?
6) Apa yang menghambat hubungan yang harmonis antara pasien dan orang
sekitarnya
7) Apakah pasien merasakan waktu begitu lama berlalu?
8) Apakah pernah ada perasaan ragu untuk dapat melanjutkan hidup?
(Keliat, dkk, 2019).
Tanda dan gejala isolasi social yang dapat melalui observasi.
1) Tidak memiliki teman dekat
2) Menarik diri
3) Tidak komunikatif
4) Tidak berulang dan tidak bermakna
5) Asyik dengan pikirannya sendiri
6) Tidak ada kontak mata
7) Tampak sedih, efek tumpul.
b. Masalah Keperawatan Yang Kemungkinan Muncul (Yosep, dkk, 2020)
1) Isolasi social
2) Harga diri rendah kronis
3) Perubahan persepsi sensori : Halusinasi
c. Analisa Data (Badar, 2020)
MASALAH
DATA PENGKAJIAN
KEPERAWATAN
Data Subjektif:
 Pasien mengatakan ia tidak memiliki
banyak teman dan malas untuk
berkenalan
 Pasien mengatakan ia lebih suka Isolasi Sosial
sendiri dari pada beramai-ramai
Data Objektif
 Pasien terlihat menyendiri
 Pasien terliha murung dan suka
melamun
d. Pohon Masalah Isolasi Sosial (Azizah, 2021)

Resiko perubahan persepsi sensori : Halusinasi - (Efek)

Isolasi Sosial - (Core Problem)

Gangguan konsep diri : harga diri rendah - (Causa)

2. Diagnosa Keperawatan
Keliat mengatakan bahwa setelah dilakukan pengkajian, maka
dirumuskanlah masalah keperawatan yaitu

Isolasi Social (Keliat, dkk, 2019).

3. Intervensi

Pasien Keluarga
NO
SPIP SPIK
1 Identifikasi penyebab isolasi social Diskusikan masalah yang
siapa yang serumah, siapa yang dirasakan dalam merawat pasien
dekat, yang tidak dekat, dan apa
sebabnya.
2 Keuntungan punya teman dan Jelaskan pengertian tanda dan
bercakap- cakap gejala, dan proses terjadinya
isolasi social
3 Kerugian tidak punya teman dan Jelaskan cara merawat isolasi
tidak bercakap-cakap social
4 Latih cara berkenalan dengan Latih dua cara merawat
pasien dan perawat atau tamu berkenalan, berbicara saat
melakukan kegiatan harian
5 Masukan pada judul kegiatan Anjurkan membantu pasien sesuai
untuk latihan berkenalan jadual dan memberikan pujian saat
besuk
SPIIP SPIIK
1 Evaluasi kegiatan berkenalan Evaluasi kegiatan keluarga dalam
(berapa orang). Beri pujian merawat/melatih pasien
berkenalan dan berbicara saat
melakukan kegiatan harian Beri
pujian
2 Latihan cara berbicara saat Jelaskan kegiatan rumah tangga
melakukan harian (latihan 2 yang dapat melibatkan pasien
kegiatan) berbicara (makan, sholat bersama)
di rumah
3 Masukkan pada jadual kegiatan Latih cara membimbing pasien
untuk latihan berkenalan 2-3 orang berbicara dan memberi pujian
pasien perawat dan tamu berbicara
saat melakukan kegiatan harian
4 Anjurkan membantu pasien sesuai
jadual besuk
SPIIIP SPIIIK
1 Evaluasi kegiatan latihan Evaluasi kegiatan keluarga dalam
berkenalan (berapa orang) dan merawat/melatih pasien
bicara saat melakukan dua berkenalan, berbicara saat
kegiatan harian. Beri pujian melakukan kegiatan harian. Beri
pujian
2 Latih cara berbicara saat Jelaskan cara melatih pasien
melakukan kegiatan harian (2 melakukan kegiatan social seperti
kegiatan baru) berbelanja meminta sesuatu dll
3 Masukkan pada jadwal kegiatan Latih keluarga mengajak pasien
untuk latihan berkenalan 4-5 belanja saat besuk
orang, berbicara saat melakukan 4
kegiatan harian
4 Anjurkan membantu pasien sesuai
jadwal dan berikan pujian saat
besuk
SPIVP SPIVK
1 Evaluasi kegiatan latihan Evaluasi kegiatan keluarga dalam
berkenalan bicara saat melakukan merawat/melatih pasien
empat kegiatan harian. Beri pujian berkenalan, berbicara saat
melakukan kegiatan harian/RT,
berbelanja. Beri pujian
2 Latih cara bicara social: meminta Jelaskan follow up ke
sesuatu, menjawab pertanyaan RSJ/PKM,tanda kambuh, rujukan
3 Masukkan pada jadual kegiatan Anjurkan membantu pasien sesuai
untuk latihan berkenalan >5 jadwal kegiatan dan memberikan
orang, orang baru, berbicara saat pujian
melakukan kegiatan harian dan
sosialisasi
SPVP SPVK
1 Evaluasi kegiatan latihan Evaluasi kegiatan keluarga dalam
berkenalan, berbicara saat merawat/melatih pasien
melakukan kegiatan harian dan berkenalan, berbicara saat
sosialisasi. Beri pujian melakukan kegiatan harian/RT,
berbelanja dan kegiatan lain dan
follow up beri pujian
2 Latih kegiatan harian Nilai kemampuan keluarga
merawat pasien
3 Nilai kemampuan yang telah Nilai kemampuan keluarga
mandiri melakukan kontrol ke RSJ/PKM
4 Nilai apakah isolasi social teratasi
(Azizah, 2021).

4. Implementasi Keperawatan
Merupakan insiatif dan rencana tindakan untuk tujuan yang spesifik.
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan di susun dan ditunjukan
pada nursing orders untuk membantu klen mencapai tujuan yang diharapkan.
Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi factor-faktor yang memengaruhi masalah kesehatan klien.
(Febriana, D, 2017).
Ada 4 fase implementasi komunikasi terapeutik tenaga kesehatan kepada
pasien:
a. Fase Orientasi
Pada fase ini hubungan yang terjadi masih dangkaldan komunikasi yang
terjadi bersifat pengalian informasi antara tenaga kesehatan dengan pasien.
b. Fase identifikasi
Merumuskan masalah atas masalah yang dihadapi oleh pasien.
c. Fase eksploitasi/Fase kerja
Pada fase ini tenagan medis dituntut untuk bekerja untuk memenuhi tujuan
yang telah ditetapkanpada fase orientasi dan identifikasi. Tenaga kesehatan
harus bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang masala-masalah
yang dialami oleh pasien.
d. Fase relaksasi/Penyelesaian
Pada fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan penilaian atas
tujuan yang telah dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang
saling menguntungkan dan memuaskan.

5. Evaluasi
Perencanaan evaluasi memuat criteria keberhasilan proses dan
keberhasilan intervensi. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan
membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana proses tersebut.
Sedangkan keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan membandingkan antara
tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan sehari-hari dan tingkat kemajuan
kesehatan pasien dengan tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Metode
penulisan evaluasi keperawatan dalam progress notes/catatan perkembangan
pasien dapat dilakukan dengan pendekatan SOAP: (Febriana, D, 2017)
a. S (Subjective) : adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari
klien setelah tindakan diberikan
b. O (Objective) : adalah hasil yang di dapat berupa pengamatan, penilaian,
pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan
c. A (Analysis) : Isolasi Sosial (+)
d. P (Planing) : Latihan cara berkenalan sebanyak 3 kali (Febriana, D,
2017).
6. Terapi Kelompok Yang Sesuai
Terapi aktifitas yang cocok untuk klien isolasi social yaitu terapi
aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS). Hal tersebut dikarenakan klien sering
menyendiri (menghindar dari orang lain), komunikasi berkurang (bicara apabila
ditanya,jawaban singkat), berdiam diri di kamar dalam posisi meringkuk, tidak
melakukan kegiatan sehari-hari, wajah tampak sedih dan sering menunduk yang
menunjukkan bahwa klien mengalami masalah dalam hubungan social ( isolasi
social). Oleh karena itu terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) cocok
untuk memfasilitasi kemampuan klien dengan masala hubungan social agar
klien dapat bersosialisasi kembali dengan orang lain maupun lingkungannya
serta dapat meningkatkan hubungan interpersonal dan kelompok. Terapi
aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) dilakukan dalam 7 sesi dengan indikasi
klien menarik diri yang sudah sampai pada tahap mampu berinteraksi dalam
kelompok kecil dan sehat secara fisik (Azizah, 2021).
a. Sesi 1: kemampuan memperkenalkan diri
b. Sesi 2: kemampuan berkenalan
c. Sesi 3: kemampuan bercakap-cakap
d. Sesi 4: kemampuan bercakap-cakap topik tertentu
e. Sesi 5: kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi
f. Sesi 6: kemampuan bekerjasama
g. Sesi 7: evaluasi kemampuan sosialisasi
(Keliat, B. D. Pawirowiyono, 2017)
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, A. (2021) Keperawatan Kesehatan Jiwa - Teori dan
Aplikasi Praktik Klinik. 1st edn. Yogyakarta: Indomedia Pustaka.

Badar (2020) Asuhan Keperawatan Profesional Jiwa Pada Pasien Dengan Masalah
Utama ‘Isolasi Sosial’. Bogor: Penerbit In Media.

Febriana, D, V. (2017) Konsep Dasar Keperawatan. Yogyakarta: Healthy.

Keliat, A, B. Akemat, M. K. (2019) Model Praktik Profesional Keperawatan Jiwa.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mutschler, E. (2018) Dinamika Obat. 5th edn. Bandung: Penerbit ITB.

Nurhalimah.(2021).Keperawata Jiwa.Jakarta.

Sutejo (2019) Keperawatan Kesehatan Jiwa - Prinsip dan Praktik Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: PT Pustaka Baru.

Yosep, I, H. Sutini, T. (2020) Keperawatan Jiwa. 7th edn. Bandung: PT Refika


Aditama.
A. Konsep Keperawatan
1. Definisi
Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan (Yusuf, 2019). Bunuh diri merupakan kedaruratan
psikiatri karena pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan
menggunakan koping yang maladaptif. Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat
ide bunuh diri timbul secara berulang tanpa rencana yang spesifik atau
percobaan bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri. Oleh karena
itu, diperlukan pengetahuan dan keterampilan perawat yang tinggi dalam
merawat pasien dengan tingkah laku bunuh diri, agar pasien tidak melakukan
tindakan bunuh diri.

2. Etiologi
a. Faktor predisposisi
Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku
destruktif diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut:
1) Diagnosis psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang
dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri
adalah gangguan efektif, penyalagunaan zat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadiaan yang erat hubungannya dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah antipati, implusif, dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, antaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian
negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau bahkan
perceraian. Kekuatan dukungan social sangan penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab masalah, respon seseorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lai-lain.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan bunuh
diri.
5) Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat dalam otak seperti serotonin,
adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat diliham melalui
rekaman gelombang otak electro encephalo graph (EEG).
b. Faktor presipitasi
Perilaku destriktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri atau
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut
menjadi sangat rentan.
c. Perilaku koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar
meminta untuk melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri
berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor sosial maupun budaya.
Struktur sosial dari kehidupan bersosial dapat menolong atau bahkan
mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi sosial dapat
menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang untuk
melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat
lebih mampu menoleransi stress dan menurungkan angka bunuh diri. Aktif
dalam kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
d. Mekanisme koping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping yang
berhubungan dengan perilaku bunuh diri. Termasuk denial, rasionalization,
regrassion, dan magical thingking. Mekanisme pertahanan diri yang ada
seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif.

3. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala dari resiko bunuh diri adalah:
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
d. Implusif
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
g. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosis mematikan).
h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat,panik, marah dan
mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis dan menyalagunakan alkohol).
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau terminal).
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karier).
l. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun.
m. Status perawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
n. Pekerjaan
o. Konflik interpersonal
p. Latar belakang keluarga
q. Orientasi seksual
r. Sumber-sumber personal
4. Proses
Prose terjadinya bunuh diri dimulai dari adanya isyarat untuk bunuh diri
yang ditujukan dengan berprilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri,
misalnya dengan mengatakan :Tolong jagan anak-anak saya karena saya akan
pergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.” Pada kondisi ini
pasien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, tetapi tidak
disertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Selanjutnaya
adalah adanya ancaman bunuh diri biasanya diucapkan oleh pasien,
yang berisi keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri
kehidupannya dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut. Secara
aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh diri tetapi tidak disertai dengan
percobaan bunuh diri. Tahap terakhit adalah adanya percobaan bunuh diri untuk
mengakhiri kehidupannya.

5. Rentang respon

Respon adaptif Respon maladaptif

Peningkatan Berisiko Destruktif diri Pencederaan Bunuh diri


diri destruktif tidak langsung diri

Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman


bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan
pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi
merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada diri seseorang.
a. Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau
pertahanan diri secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan
pertahan diri. Sebagai contoh seseorang mempertahankan diri dari
pendapatnya yang berbeda mengenai loyalitas terhadap pimpinan
ditempat kerjanya.
b. Berisiko destruktif. Seseorang memiliki kecendrungan atau berisiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap
situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang
merasa patahsemangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal
terhadap pimpinan padahal suda melakukan pekerjaan secara optimal.
c. Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang
kurang tepat (maladaptif)terhadap situasi yang membutuhkan dirinya
untuk mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan pimpinan
terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seseorang karyawan menjadi
tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.
d. Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
e. Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai
dengan nyawanya hilang.

6. Fase
a. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak
langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan “Tolong jaga
anak-anak karena saya akan pergi jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih
baik tanpa saya.” Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide
untuk mengakhiri hidupnya, tetapi tidak disertai dengan ancaman dan
percobaan bunuh diri. Pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti
rasa bersalah/sedih/marah/putus asa/tidak berdaya. Pasien juga
mengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang
menggambarkan harga diri rendah.
b. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, yang berisi
keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri
kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut.
Secara aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh diri, tetapi tidak
disertai dengan percobaan bunuh diri. Walaupun dalam kondisi ini pasien
belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan ketat harus dilakukan.
Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan pasien untuk melaksanakan
rencana bunuh dirinya.
c. Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau
melukai diri untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini, pasien
aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri, minum racun,
memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang tinggi.
(Yusuf, 2020)

7. Jenis
a. Bunuh diri egoistic
Bunuh diri yang dilakukan seseorang karena merasa kepentingan sendiri
lebih besar dari kepentingan kesatuan sosialnya.
b. Bunuh diri altruistic
Bunuh diri karena merasa dirinya menjadi beban masyarakat atau karena
merasa kepentingan masyarakat lebih tinggi dibandingkan dengan
kepentingan dirinya. Bunuh diri ini dipandang sebagai kewajiban yang
dibebankan oleh masyarakat.
c. Bunuh diri anomi
Bunuh diri yang dilakukan seseorang akibat situasi anomi (tanpa aturan)
sehingga kehilangan arah dalam kehidupan sosialnya.
d. Bunuh diri fatalistic
Bunuh diri yang dilakukan seseorang karena adanya kondisi yang sangat
tertekan dengan adanya aturan, norma, keyakinan, dan nilai-nilai dalam
menjalani interaksi social sehingga orang tersebut kehilangan kebebasan
dalam hubungan social (Yusuf, 2020).

8. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku
pengerusakan diri tak langsung adalah pengingkaran (denial ) .Sementara,
mekanisme koping yang paling menonjol adalah penyangkalan, rasionalisasi,
intelektualisasi, dan regresi. ( Yusuf, dkk, 2018).
9. Perilaku yang berisiko bunuh diri

FAKTOR RESIKO TINGGI RESIKO RENDAH


Umur >45 th/akil balig 24-45 th/< 12 th
Jenis kelamin Pria Wanita
Status kawin Cerai,pisah,janda,duda Kawin
Hidup sosial Tersiolasi Aktif bermasyarakat
Keahlian Profesional, dr,ahli hukum, Buruh
mahasiswa
Pekerjaan Pengangguran Bekerja
Kesehatan fisik Kronik/terminal Tak ada masalah media
serupa
Kesehatan Depresi, dilusi, halusinasi Gangguan
mental kepribadian
Obat dan Kecanduan Tidak pernah
alcohol
Usaha bunuh Minimal 1 x Tidak pernah
diri sebelumnya
Rencana Pasti/spefik Kabur (samar)
Cara Tembak,loncat,gantung diri Minum obat, racun
Tersedianya alat Selalu tersedia Tidak sedia
( Damaiyanti, M dan Iskandar, 2014 dalam Asuhan Keperawatan Jiwa )

10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada klien resiko bunuh diri salah
satunya adalah dengan terapi farmakologi. Obat-obat yang biasanya digunakan
pada klien resiko bunuh diri adalah :
a. Farmakologi
Obat-obat tersebut sering dipilih karena tidak berisiko letal akibat
overdosis. Mekanisme kerja obat tersebut akan bereaksi dengan sistem
neurotransmiter monoamin di otak khususnya norapenefrin dan serotonin.
Kedua neurotransmiter ini dilepas di seluruh otak dan membantu mengatur
keinginan, kewaspadaan,  perhataian, mood, proses sensori, dan nafsu
makan.
1) SSRI (selective  serotonine reuptake inhibitor (fluoksetin 20 mg/hari per
oral), venlafaksin (75-225 mg/hari per oral)
2) Nefazodon (300-600 mg/hari per oral)
3) Trazodon (200-300 mg/hari per oral)
4) Bupropion (200-300 mg/hari per oral).
b. Terapi Lingkungan pada Kondisi Bunuh Diri
1) Ruangan aman dan nyaman, terhindar dari alat yang dapat digunakan
untuk mencederai diri sendiri atau orang lain.
2) Alat-alat medis, obat-obatan, dan jenis cairan medis di lemari dalam
keadaan terkunci.
3) Ruangan harus ditempatkan di lantai satu dan keselur4uhan ruanagn
mudah dipantau oleh petugas kesehatan.
4) Ruangan yang menarik, misalnya dengan warna cerah, ada poster dll.
5) Hadirkan musik yang ceria, televisi, film komedi, bacaan ringan dan
lucu.
6) Adanya lemari khusus untuk menyimpan barang pribadi klien.
7) Lingkungan sosial: komunikasi terapeutik dengan cara semua petugas
menyapa pasiien sesering mungkin, memberikan penjelasan setiap akan
melakukan tindakan keperawatan atau kegiatan medis lainnya, menerima
pasien apa adanya tidak engejek atau merendahkan, meningkatkan harga
diri pasien, membantu menilai dan meningkatkan hubungan social secara
bertahap, membantu pasien dalam berinteraksi dengan keluarganya,
sertakan keluarga dalam rencana asuhan keperawatan, jangan biarkan
pasien sendiri dalam waktu yang lama. (Yosep, 2020).
B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Fokus
Format/Data focus pengkajian pada klien dengan resiko Bunuh Diri (Yusuf,
dkk, 2018).
1) Alam perasaan
a) Sedih, putus asa gembira berlebihan
b) Ketakutan
c) khawatir
(klien umumnya merasakan kesedihan dan keputus asaan yang sangat
mendalam).
2) Afek (Interaksi selama wawancara)
a) Tidak koperatif
b) Defensive
c) Kontak mata kurang
d) Curiga
e) Datar tidak ada perubahan
f) Tumpul (hanya bereaksi bila ad stimulus)
g) Labil (emosi berubah-ubah)
(klien biasanya menunjukkan afek yang datar atau tumpul )
3) Mekanisme koping maladaftif
a) Mencederai diri
b) Menghindar
(klien biasanya menyelesaikan masalahnya dengan cara menghindar
dan mencederai diri)
4) Masalah psikososial dan lingkungan
a) Masalah dengan dukungan keluarga
b) Masalah dengan perumahan
b. Masalah Keperawatan
1) Resiko perilaku kekerasan
2) Risiko bunuh diri
3) Harga diri rendah
c. Analisa Data
NO DATA MASALAH

1. a. Mempunyai ide untuk bunuh diri Risiko Bunuh Diri


b. Mengungkapkan keinginan untuk mati
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan
keputusasaan
d. Implusif
e. Menunjukkan perilaku yang
mencurigakan (biasanya menjadi sangat
patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
g. Verbal terselubng (berbicara tentang
kematian, menanyakan tentang obat dosis
mematikan).
h. Status emosional (harapan, penolakan,
cemas meningkat,panik, marah dan
mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental (secara klinis, klien
terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis dan menyalagunakan alkohol).
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien
dengan penyakit kronik atau terminal).
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan
pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalam karier).
l. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun.
m. Status perawinan (mengalami kegagalan
dalam perkawinan).
n. Pekerjaan
o. Pekerjaan
p. Konflik interpersonal
q. Latar belakang keluarga
r. Orientasi seksual
s. Sumber-sumber personal

d. Pohon Masalah
Risiko perilaku kekerasan
(pada dirisendiri,orang lain,
lingungan dan verbal
Effect

Risiko Bunuh Diri


Core problem

Harga Diri Rendah Kronik


Causa

(Damaiyanti, M dan Iskandar, 2018)

2. Diagnosa Keperawatan
Risiko Bunuh Diri (Damaiyanti, M dan Iskandar, 2018)

3. Intervensi Keperawatan
No Klien Keluarga
SP1P SP1K
1 Mengidentifikasi benda benda 1. Mendiskusikan masalah yang
yang dapat membahayakan klien dirasakan keluarga dalam
Mengamankan benda benda merawat klien
2 yang dapat membahyakan klien 2. Menjelaskan pengertian, tanda
dan gejala risiko bunuh diri dan
jenis perilaku bunuh diri yang
dialami klien beserta proses
terjadinya
3 Melakukan kontrak treatment 3. Menjelaskan cara-cara merawat
klien risiko bunuh diri
4 Mengajarkan cara-cara
mengendalikan dorongan bunuh
diri
5 Melatih cara mengendalikan
dorongan bunuh diri
SP2P SP2K
1 Mengidentifikasi aspek positif 1. Melatih keluarga
klien mempraktikkan cara merawat
klien dengan risiko bunuh diri
2 Mendorong klien untuk berfikir 2. Melatih keluarga mempraktikkan
positif tentang diri cara merawat langsung kepada
klien risiko bunuh diri
3 Mendorong klien untuk
menghargai diri sebagai
individu yang berharga
SP3P SP3K
1. Mengidentifikasi pola koping 1. Membantu keluarga membuat
yang biasa di terapkan klien jadwal aktifitas di rumah
termasuk minum obat (discharge
planning)
2. Menilai pola koping yang biasa 2. Menjelaskan follow up klien
di lakukan setelah pulang
3. Mengidentifikasi pola koping
yang konstruktif
4. Mendorong klien memilih pola
koping yang konstruktif
5. Menganjurkan klien
menerapkan pola koping
konstruktif dalam kegiatan
harian
SP4P SP4K
1 Membuat renacana masa depan 1. Menjelaskan follow up klien
yang realistis bersama klien setelah pulang
2 Mengidentifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang
3 realistis
Memberi dorongan klien
melakukan kegiatan dalam
4 rangka meraih masa depan yang
realistis
Menganjurkan klien memasukan
dalam jadwal kegiatan harian
SP5P SP5K
1 Memberi dorongan klien 1. Membantu keluarga membuat
melakukan kegiatan dalam jadwal aktifitas di rumah termasuk
rangka meraih masa depan yang minum obat (discharge planning)
2 realistis 2. menjelaskan follow up klien
Menganjurkan klien memasukan setelah pulang
dalam jadwal kegiatan harian
(Damaiyanti,MdanIskandar,2014)

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah melakukan tindakan sesuai dengan rencana ,
masalah dan kondisi klien yang bersangkutan. Ada 4 fase implementasi
komunikasi terapeutik tenaga kesehatan kepada pasien:
a. Fase Orientasi
Pada fase ini hubungan yang terjadi masih dangkaldan komunikasi yang
terjadi bersifat pengalian informasi antara tenaga kesehatan dengan pasien.
b. Fase identifikasi
Merumuskan masalah yang dihadapi pasien
c. Fase eksploitasi/Fase kerja
Pada fase ini tenagan medis dituntut untuk bekerja untuk memenuhi tujuan
yang telah ditetapkanpada fase orientasi dan identifikasi. Tenaga kesehatan
harus bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang masala-masalah
yang dialami oleh pasien.
d. Fase relaksasi/Penyelesaian
Pada fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan penilaian atas
tujuan yang telah dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang
saling menguntungkan dan memuaskan.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi ada dua macam, yaitu (1) evaluasi
proses atau evaluasi formatif, yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan,
dan (2) evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan
respons pasien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditetapkan.
Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP, yaitu sebagai berikut.
S : Respon subyektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respon objektif klien terhadap keperawatan yang telah dilaksanakan
A : Resiko bunuh diri (+)
Analisa terhadap data subjektif objektif.
P : Perencanaan tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa respon klien

6. Terapi Aktivitas Kelompok Yang Sesuai


Terapi aktivitas kelompok yang cocok adalah stimulasi persepsi pencegahan
bunuh diri. Stimulasi persepsi klien untuk mencegah keinginan bunuh diri,
meningkatkan harga diri, dan menggunakan mekanisme koping yang adaptif.
Ada beberapa sesi untuk mencegah terjadinya bunuh diri;
a. Menggunakan koping adaptif
Tujuan:
1) Klien dapat mengenali hal-hal yang ia sayangi
2) Klien dapat menggunakan mekanisme koping yang adaptif
3) Klien dapat merenccanakan dan mendapatkan masa depan yang
realistis
b. Meningkatkan harga diri rendah
Tujuan:
1) Klien dapat mengidentifikasi pengalaman yang tidak menyenagkan
2) Klien dapat mengidentifikasi hal positif pada dirinya
3) Kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi
c. Menggunakan mekanisme koping yang adaptif
Tujuan:
1) Klien mampu menyampaikan dan membicarkan masalah pribadi
dengan orang lain:
2) Menyampaikan masalah pribadi
3) Memilih satu masalah untuk di bicarakan
4) Memberi pendapat tentang masalah pribadi yang di pilih
d. Melindungi pasien dari bunuh diri
Tujuan:
1) Klien dapat mengendalikan saat ada keinginan atau dorongan untuk
bunuh diri
2) Klien dapat mengekspresikan perasaan.
(Azizah, Zainuri, & Akbar. 2020)
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, l. M., zainuri, i. & akbar, a. 2020. Asuhan keperawatan kesehatan jiwa-teori dan
aplikasi praktik. Yogyakarta: indomedia pustaka

Damaiyanti, m., iskandar. 2018. Asuhan keperawatan jiwa. Bandung: pt refika aditama.

Keliat, b. A., windrawati, h. D., pawirowiyono, a., subu, m. A. 2018. Diagnosis


keperawatan : definisi dan klasifikasi, ed-10. Jakarta: egc.

Yusuf, a. H., fitryasari, r., nihayati, h. E. 2018. Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa.
Jakarta: salemba medika.

Yollanda, a. (2018).asuhan keperawatan pada klien dengan resiko bunuh diri.


Diperoleh 11 november 2018, dari
http://www.academia.edu/15320155/asuhan_keperawatan_pada_klien_denga
n_resiko_bunuh_diri
A. Konsep Keperawatan
1. Definisi
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.Berdasarkan
defenisi ini maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku
kekerasan scara verbal dan fisik.Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan
khusus. Marah lebih menunjuk kepada suatu perangkat perasaan-perasaan
tertentu yang biasanya disebut dengan perasaan marah (Keliat, B. A, &
Akemat,2019)
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku
kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau
membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang
adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang
lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak
lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di lingkungan.
Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah yang paling
maladaptif, yaitu amuk. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai
respons terhadap kecemasan (kebutuhan yang tidak terpenuhi) yang dirasakan
sebagai ancaman. Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif
yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai
hilangnya kontrol, yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau
lingkungan. (Nurhalimah, 2021)

2. Etiologi
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang
tidak enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri,
kebutuhan akan status dan prestise yang tidak terpenuhi.
a. Frustasi, sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai
tujuan/keinginan yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia
merasa terancam dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi
itu dengan cara lain tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya
misalnya dengan kekerasan.
b. Hilangnya harga diri ; pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan
yang sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya
individu tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak,
lekas tersinggung, lekas marah, dan sebagainya. Kebutuhan akan status dan
prestise ; Manusia pada umumnya mempunyai keinginan untuk
mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya (Azizah,
L.A. Zainuri, I. Akbar, 2021)

3. Manifestasi Klinik
a. Observasi: Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi,
berdebat, klien sering memaksakan kehendak: merampas makanan,
memukul jika tidak senang.
b. Fisik : Mata melotot / pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang serta postur tubuh kaku.
c. Verbal: Mengancam, mengupat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan
nada keras, kasar.
d. Perilaku: Menyerang orang lain, melukai diri sendiri, orang lain, merusak
lingkungan, amuk/ agresif.
e. Emosi: Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
f. Intelektual: Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak
jarang mengeluarkan kata-kata bernada kasar.
g. Spritual: Merasa diri berkuasa, merasa diri paling benar, keragu-raguan,
tidak bermoral.
h. Sosial: Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan
sindiran.
i. Perhatian: Bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.
(Keliat, B. A, & Akemat,2019).
4. Proses
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang
harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam.Kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan.
Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu :
Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan menantang. Dari ketiga cara ini
cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara yang lain adalah destruktif
Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan
bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada
diri sendiri dan lingkungan dan akan tampak sebagai depresi dan psikomatik
atau agresif dan ngamuk. (Keliat, B. A, & Akemat,2019).
Menurut Nurhalimah (2016) Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan
Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien akan dijelaskan dengan
menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi faktor predisposisi
dan presipitasi.
a. Faktor Predisposisi
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan, meliputi :
1) Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor
herediter yaitu adanya anggota keluarga yang sering memperlihatkan
atau melakukan perilaku kekerasan, adanya anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, adanyan riwayat penyakit atau trauma kepala,
dan riwayat penggunaan NAPZA (narkoti, psikotropika dan zat aditif
lainnya).
2) Faktor Psikologis
Pengalaman marah merupakan respon psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan.Perilaku kekerasan
terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustrasi.Frustrasi terjadi apabila
keinginan individu untuk mencapai sesuatu menemui kegagalan atau
terhambat.Salah satu kebutuhan manusia adalah “berperilaku”, apabila
kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui berperilaku konstruktif,
maka yang akan muncul adalah individu tersebut berperilaku destruktif.
3) Faktor Sosiokultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory)menyatakan
bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah.Norma budaya dapat mendukung individu untuk
berespon asertif atau agresif.Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara
langsung melalui proses sosialisasi (social learning theory).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat
unik, berbeda satu orang dengan yang lain.Stresor tersebut dapat merupakan
penyebab yang brasal dari dari dalam maupun luar individu. Faktor dari
dalam individu meliputi kehilangan relasi atau hubungan dengan orang yang
dicintai atau berarti (putus pacar, perceraian, kematian), kehilangan rasa
cinta, kekhawatiran terhadap penyakit fisik, dll. Sedangkan faktor luar
individu meliputi serangan terhadap fisik, lingkungan yang terlalu ribut,
kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan.

5. Rentang Respon Marah

Skema Rentang Respon Kemarahan


Respon   adaptif                                                              Respons maladaptif
I-------------------I------------------I----------------------I-------------------I
Asertif         frustasi                 pasif                     agresif               kekerasan

Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif.


Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan
orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
b. Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
c. Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang dialami.
d. Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak
orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk
mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama
dari orang lain.
e. Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri
maupun terhadap orang lain. (Keliat, B. A, & Akemat,2019).

6. Fase
Lima fase Siklus Agresif
a. Fase penicu
Peristiwa terjadi atau keadaan dilingkungan memunculkan respon klien,
yang serigkali dalam bentuk kemarahan atau permusuhan. Tanda dan gejala
perilaku: gelisah, ansietas, iritabilitas, berjalan mondar-mandir, otot tegang,
percepatan pernapasan, berkeringat, suara keras, marah.
b. Eskalasi
Respon klien memperlihatkan peningkatan perilaku yang
mengindikasikan pergerakan menuju kehilangan kembali. Tanda, gejala da
perilaku : wajah pucat atau kemerahan, berteriak, bersumpah, agitasi,
mengancam, menuntut, mengepalkan tangan, menunjukkan sikap
bermusuhan, kehilangan kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau
berpikir jernih.
c. Krisis
Periode krisis emosional dan fisik ketika kehilangan kendali. Tanda,
gejala dan perilaku : kehilangan kendali fisik dan emosional, melemparkan
benda-banda, menggigit, mencekik, tidak mampu berkomunikasi dengan
jelas.
d. Pemulihan
Klien memperoleh kembali kendali fisik dan emosional. Tanda, gejala dan
perilaku : merendahkan suara, ketegangan otot berkurang, komunikasi lebih
jelas dan rasional, relaksasi fisik.
e. Pascakrisis
Klien berusaha memperbaiki hubungan dengan orang lain dan kembali ke
tingkat fungsi sebelum insiden agresi dan kembali seperti semula. Tanda,
gejala dan perilaku : menyesal, meminta maaf, menangis, perilaku menarik
diri.

7. Jenis
Perilaku kekerasan antara lain :
a. Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf
otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat,
peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi,
kewaspadaan juga meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang
terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
b. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku
asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah karena
individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain
secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu perilaku ini dapat juga untuk
pengembangan diri klien.
1) Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting
out” untuk menarik perhatian orang lain.
2) Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan. (Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, 2021).

8. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena
adanya ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah
untuk melindungi diri antara lain :
a) Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya
secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa marah.
b) Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang
menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan
sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya.
c) Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk
ke alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang
tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya
dan akhirnya ia dapat melupakannya.
d) Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan,
dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
e) Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan,
pada obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia
baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding
kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya. (Badar,
2020)
9. Perilaku
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Direja,
2015). Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon marah yang
diekspresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau
merusak lingkungan. Respon tersebut biasanya muncul akibat adanya stresor.
Respon ini dapat menimbulkan kerugian baik pada diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan (Keliat dkk, 2019).
Joyal (2019) menambahkan bentuk perilaku kekerasan yang dilakukan
seseorang dapat berupa kekerasan verbal, kekerasan terhadap diri sendiri, benda
dan kekerasan terhadap orang lain. Berdasarkan pernyataan tersebut perilaku
kekerasan dapat disimpulkan sebagai bentuk perilaku agresi yang merupakan
respon maladaptif dari kemarahan seseorang dengan disertai hilangnya kontrol
diri yang berupa kekerasan verbal, kekerasan terhadap diri sendiri, benda dan
kekerasan terhadap orang lain.Perilaku Reinforcment yang terima pada saat
melakukan kekerasan dan sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar
rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan
(Keliat,2019)

10. Penatalaksanaan
Adapun penalaksanaan medik sebagai berikut :
a. Farmakologi
1) Obat anti ansietas sedative hipnotics: diazepam, bromozepam,
clobozam digunakan untuk menenagkan perlawanan klien. Tapi obat ini
tidak direkomendasikan untuk penggunaan jangka panjang karena dapat
menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga dapat
memperburuk symptom depresi.
2) Buspirone obat antiansiety, efektif dalam mengendalikan perilaku
kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi.
3) Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol implus dan
perilaku agresif klien yang berkaitan denagan perubahan mood.
Amiriptyline dan Trazodone, menghilangkan agresifitas yang
berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organic.
4) Antipsychotic, digunakan unuk perawatan perilaku kekerasan
b. Terapi Somatik
1) Restrain
Terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual untuk
membatasi mobilitas fisik klien. Restrain dilakukan pada kondisi
khusus, yaitu jika klien sudah tidak dapat diatasi atau dikonrol dengan
strategi perilaku maupun modifikasi lingkungan.
2) Seklusi
Terapi mengurung klien dalam ruangan khusu.
3) Elektrokonvulsi (ECT)
Terapi ini dilakukan dengan cara mengalirkan listrik sinusoid ke tubuh
penderita menerima aliran listrik yang terputus-putus.
4) Terapi aktivitas kelompok
Terapi dengan penggunaan kelompok dalam praktik keperawata jiwa
karena memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan,
pengobatan, atau terapi serta pemulihan kesehatan seseorang.

B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Fokus
1) Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom
bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat,
tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat.
Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya
kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal,
tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang
dikeluarkan saat marah bertambah.
2) Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya,
jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk,
bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
3) Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui
proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi
dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual
sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah,
mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses,
diklarifikasi, dan diintegrasikan.
4) Aspek social
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang
lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik
tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan
mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras.
Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri
dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
5) Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu
dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki
dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral
dan rasa tidak berdosa. (Keliat, A, B. Akemat, 2019).
b. Masalah Keperawatan Yang Kemungkinan Muncul
1) Perilaku Kekerasan
2) Risiko Perilaku Kekerasan
c. Analisa Data
MASALAH
DATA PENGKAJIAN
KEPERAWATAN
Data Subjektif: Perilaku Kekerasan
 Pasien mengatakan ia merasa
frustasi, cemas, dan terancam
 Pasien mengatakan ia merasa tidak di
hargai
Data Objektif
 Muka merah, pandangan tajam, otot
tegang, nada suara tinggi, berdebat,
klien sering memaksakan kehendak:
merampas makanan, memukul jika
tidak senang.
(Badar, 2020).

d. Pohon Masalah

Resiko Perilaku Kekerasan (Effect)

Perilaku kekerasan (Core Problem)

Gangguan konsep diri : harga diri rendah, (cause)


(Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, 2021)

2. Diagnosa Keperawatan
Perilaku Kekerasan

3. Intervensi

No Strategi Perencanaan Pasien Strategi Perencanaan Keluarga


1 SP I P SP I K
1. Identifikasi penyebab PK 1. Diskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam
merawat pasien.
2. Identifikasi Tanda dan Gejala 2. Jelaskan pengertian PK, tanda
PK dan gejala, serta proses
terjadinya PK.
3. Identifikasi PK yang dilakukan 3. Jelaskan cara merawat pasien
4. Identifikasi akibat PK dengan PK.
5. Ajarkan cara mengontrol PK
6. Latih Pasien cara mengontrol
PK FISIK I (Nafas Dalam) dan
PK FISIK II (memukul
bantal / kasur)
7. Bimbing pasien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian
2 SP II P SP II K
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik. 1. Jelaskan 6 benar cara
Beri pujian. memberikan obat.
2. Latih cara mengontrol PK 2. Latih cara memberikan /
dengan obat (jelaskan 6 benar : membimbing minum obat.
jenis, guna, dosis, frekuensi,
cara, kontinuitas minum obat)
3. Membimbing pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
3 SP III P. SP III K
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik 1. Latih cara membimbing :
& obat. Beri pujian. cara bicara yang baik.
2. Latih cara mengontrol PK
secara verbal (3 cara, yaitu :
mengungkapkan, meminta,
menolak dengan benar).
3. Membimbing pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
4 SP IV P
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik,
obat & verbal. Beri pujian.
2. Melatih pasien cara
mengontrol PK secara spiritual
(berdoa, berwudhu, sholat)
3. Membimbing pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian.
5 SP V P
1. Evaluasi kegiatan latihan fisik
1, 2 & obat & verbal &
spiritual. Beri pujian.
2. Nilai kemampuan yang telah
mandiri.
3. Nilai apakah PK terkontrol.
(Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, 2021).

4. Implementasi
Merupakan insiatif dan rencana tindakan untuk tujuan yang spesifik.
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan di susun dan ditunjukan
pada nursing orders untuk membantu klen mencapai tujuan yang diharapkan.
Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi factor-faktor yang memengaruhi masalah kesehatan klien.
(Febriana, D, 2020).
Ada 4 fase implementasi komunikasi terapeutik tenaga kesehatan kepada
pasien:
a. Fase Orientasi
Pada fase ini hubungan yang terjadi masih dangkaldan komunikasi yang
terjadi bersifat pengalian informasi antara tenaga kesehatan dengan pasien.
b. Fase identifikasi
Merumuskan masalah atas masalah yang dihadapi oleh pasien.
c. Fase eksploitasi/Fase kerja
Pada fase ini tenagan medis dituntut untuk bekerja untuk memenuhi tujuan
yang telah ditetapkanpada fase orientasi dan identifikasi. Tenaga kesehatan
harus bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang masala-masalah
yang dialami oleh pasien.
d. Fase relaksasi/Penyelesaian
Pada fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan penilaian atas
tujuan yang telah dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang
saling menguntungkan dan memuaskan.

5. Evaluasi
Perencanaan evaluasi memuat criteria keberhasilan proses dan
keberhasilan intervensi. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan
membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana proses tersebut.
Sedangkan keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan membandingkan antara
tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan sehari-hari dan tingkat kemajuan
kesehatan pasien dengan tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Metode
penulisan evaluasi keperawatan dalam progress notes/catatan perkembangan
pasien dapat dilakukan dengan pendekatan SOAP: (Febriana, D, 2020)
a. S (Subjective) : adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari
klien setelah tindakan diberikan
b. O (Objective) : adalah hasil yang di dapat berupa pengamatan, penilaian,
pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah
tindakan dilakukan
c. A (Assesment) : Perilaku Kekerasan postif (+).
d. P (Planing) : Latihan cara mengendalikan kemarahan sebanyak 3x.

6. Terapi Aktivitas Kelompok : Stimulasi Persepsi


Merupakan terapi yang melatih pasien untuk mengendalikan perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan. Pasien yang diindikasi mendapatlan terapi
aktivitas kelompok stimulus persepsi adalah pasien yang berisiko melakukan
perilaku kekerasan, yang dibagi menjadi 4 sesi :
a. Sesi 1 : Mengendalikan perilaku kekerasan secara fisik
b. Sesi 2 : Mengendalikan perilaku kekerasan secara asertif/verbal
c. Sesi 3 : Mengendalikan perilaku kekerasan secara spiritual
d. Sesi 4 : mengendalikan perilaku kekerasan dengan meminum obat secara
teratur.

DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, A. (2021) Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa - Teori
dan Aplikasi Praktik Klinik. 1st edn. Yogyakarta: Indomedia Pustaka.

Badar (2020) Asuhan Keperawatan Profesional Jiwa Pada Pasien Dengan Masalah
Utama ‘Isolasi Sosial’. Bogor: Penerbit In Media.

Febriana, D, V. (2020) Konsep Dasar Keperawatan. Yogyakarta: Healthy.

Keliat, A, B. Akemat, M. K. (2019) Model Praktik Profesional Keperawatan Jiwa.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Nurhalimah.(2021).Keperawatan Jiwa. Jakarta.

Yosep, I, H. Sutini, T. (2020) Asuhan Keperawatan Jiwa. 7th edn. Bandung: PT Refika
Aditama.

Anda mungkin juga menyukai