Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan

1. Defenisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari

mata dan telinga. Pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk

tindakan seseorang (Suparyanto, 2012).

Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah

orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terhadap objek terjadi melalui panca indera manusia yakni

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. Pada

waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat

dipengaruhi oleh intensitas perhatian persepsi terhadap objek. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

(Notoatmodjo, 2003 dalam Wawan dkk, 2011)

2. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif

menurut mempunyai 6 tingkat (Notoatmodjo, 2003 dalam Wawan dkk,

2011), yakni :
a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh

bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai sesuatu kemampuan menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat

menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah

paham terhadap objek atau materi terus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya

terhadap suatu objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil

(sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau

penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya

dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama

lain.
e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintetis adalah suatu

kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang

ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.evaluasi

dilakukan dengan menggunakan kriteria sendiri atau kriteria yang

telah ada.

3. Kriteria Pengetahuan

Penilaian-penilaian didasarkan pada suatu kriteria yang di

tentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan

anak yang kekurangan gizi. Menurut Nursalam (2008) (dalam

Suparyanto, 2012) kriteria untuk menilai dari tingkatan pengetahuan

menggunakan nilai:

a. Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100%

b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75%.

c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai ≤ 56%.

4. Cara Memperoleh Pengetahuan (Notoatmodjo, 2003 dalam Wawan

dkk, 2011):
a. Cara kuno untuk memperoleh pengetahuan:

1) Cara coba-salah (trial and error).

2) Cara kekuasaan atau otoritas.

3) Berdasarkan pengalaman pribadi

b. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan:

Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih popular atau

disebut metodologi penelitian. Cara ini mula – mula

dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626), kemudian

dikembangkan oleh Deobold Van Daven. Akhirnya lahir suatu

cara untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal

dengan penelitian ilmiah.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan (Suparyanto,

2012) :

a. Faktor Internal:

1) Pendidikan

Tokoh pendidikan abad 20 M. J. Largevelt

mendefinisikan bahwa pendidikan adalah setiap usaha,

pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan

kepada anak yang tertuju kepada kedewasaan. Sedangkan

GBHN Indonesia mendefinisikan lain, bahwa pendidikan

sebagai suatu usaha dasar untuk menjadi kepribadian dan

kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung

seumur hidup.
2) Minat

Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau

keinginan yang tinggi terhadap sesuatu dengan adanya

pengetahuan yang tinggi didukung minat yang cukup dari

seseorang sangatlah mungkin seseorang tersebut akan

berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan.

3) Pengalaman

Pengalaman adalah suatu peristiwa yang dialami

seseorang, Mengatakan bahwa tidak adanya suatu

pengalaman sama sekali. Suatu objek psikologis cenderung

akan bersikap negative terhadap objek tersebut untuk

menjadi dasar pembentukan sikap pengalaman pribadi

haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu sikap

akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi

tersebut dalam situasi yang melibatkan emosi, penghayatan,

pengalaman akan lebih mendalam dan lama membekas.

4) Usia

Usia individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai

saat berulang tahun. Semakin cukup umur tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang

dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan

masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih

dipercaya dari pada orang yang belum cukup tinggi


kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan

kematangan jiwanya, makin tua seseorang maka makin

kondusif dalam menggunakan koping terhadap masalah

yang dihadapi.

b. Faktor External, antara lain :

1) Ekonomi

Dalam memenuhi kebutuahan primer ataupun

sekunder, keluarga dengan status ekonomi baik lebih

mudah tercukupi disbanding dengan keluarga dengan status

ekonomi rendah, hal ini akan mempengaruhi kebutuhan

akan informasi termasuk kebutuhan sekunder. Jadi dapat

disimpulkan bahwa ekonomi dapat mempengaruhi

pengetahuan seseorang tentang berbagai hal.

2) Informasi

Informasi adalah keseluruhan makna, dapat

diartikan sebagai pemberitahuan seseorang adanya

informasi baru mengenai suatu hal memberikan landasan

kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut.

Pesan-pesan sugestif dibawa oleh informasi tersebut apabila

arah sikap tertentu.Pendekatan ini biasanya digunakan

untuk menggunakan kesadaran masyarakat terhadap suatu

inovasi yang berpengaruh perubahan perilaku, biasanya

digunakan melalui media massa.


3) Kebudayaan/Lingkungan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai

pengaruh besar terhadap pengetahuan kita. Apabila dalam

suatu wilayah mempunyai budaya untuk selalu menjaga

kebersihan lingkungan maka sangat mungkin berpengaruh

dalam pembentukan sikap pribadi atau sikap seseorang.

B. Tinjauan Umum Tentang Peran Perawat

1. Peran Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan.

Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan

kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan

keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat

ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan

dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar

manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya.Peranan

ini umumnya dilaksanakan oleh para pelaksana keperawatan, baik itu

dari puskesmas sampai dengan tingkat rumah sakit.

2. Peran Perawat sebagai advokat klien.

Peran ini dilakukan oleh perawat dalam membantu klien dan keluarga

dalam menginterprestasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan

atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas

tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan

mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas

pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak


atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk

menerima ganti rugi akibat kelalaian.

3. Peran Perawat sebagai Edukator.

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan

tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang

diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah

dilakukan pendidikan kesehatan.Biasanya bila dalam lingkungan rumah

sakit diberikan sewaktu pasien akan pulang sehingga diharapkan pasien

dapat menjalankan pola hidup sehat dan juga menjaga kesehatannya.

4. Peran Perawat sebagai koordinator.

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta

mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga

pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan

kebutuhan klien. Dalam rumah sakit ataupun tempat pelayanan kesehatan

lainnya dijalankan oleh perawat sruktural atau kepala ruangan dan

setingkatnya.

5. Peran Perawat sebagai kolaborator.

Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang

terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya

mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk

diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan

selanjutnya.Sehingga perawat tidak bisa menjalankan peranan ini bila

tidak bekerjasama dengan tenaga kesehatan yang terkait.


6. Peran Perawat sebagai Konsultan.

Peran ini sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan

keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas

permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan

keperawatan yang diberikan. Dan biasanya diberikan oleh para perawat

senior dalam suatu lahan pelayanan perawatan.

7. Peran Perawat sebagai Pembaharuan.

Peran ini dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama,

perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian

pelayanan keperawatan.Biasanya dilakukan oleh perawat dalam level

struktural (La Ode, 2012).

Peranan seorang perawat menurut hasil lokakarya keperawatan tahun

1983 terbagi menjadi 4 yaitu :

1. Peran Perawat sebagai Pelaksana Pelayanan Keperawatan.

Peran ini dikenal dengan peran perawat dalam memberikan asuhan

keperawatan secara langsung atau tidak langsung kepada klien sebagai

individu, keluarga, dan masyarakat, dengan metoda pendekatan

pemecahan masalah yang disebut proses keperawatan. Dikenal sebagai

perawat pelaksana.

2. Peran Perawat sebagai Pendidik dalam Keperawatan.

Sebagai pendidik, perawat berperan dalam mendidik individu, keluarga,

kelompok, dan masyarakat serta tenaga kesehatan yang berada di bawah

tanggung jawabnya. Peran ini berupa penyuluhan kepada klien, maupun


bentuk desiminasi ilmu kepada peserta didik keperawatan. Biasanya

dalam ruang perawat dikenal dengan CI / Clinical Instruktur. Berperan

dalam memberikan pendidikan kepada para mahasiswa keperawatan

yang sedang menjalankan praktek keperawatannya di RS / Puskesmas.

3. Peran Perawat sebagai Pengelola pelayanan Keperawatan.

Dalam hal ini perawat mempunyai peran dan tanggung jawab dalam

mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan sesuai dengan

manajemen keperawatan dalam kerangka paradigma keperawatan.

Sebagai pengelola, perawat melakukan pemantauan dan menjamin

kualitas asuhan atau pelayanan keperawatan serta mengorganisasikan dan

mengendalikan sistem pelayanan keperawatan. Secara umum,

pengetahuan perawat tentang fungsi, posisi, lingkup kewenangan, dan

tanggung jawab sebagai pelaksana belum maksimal. Dan dilakukan oleh

perawat dalam struktural.

4. Peran Perawat sebagai Peneliti dan Pengembang pelayanan Keperawatan.

Sebagai peneliti dan pengembangan di bidang keperawatan, perawat

diharapkan mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan

prinsip dan metode penelitian, serta memanfaatkan hasil penelitian untuk

meningkatkan mutu asuhan atau pelayanan dan pendidikan keperawatan.

Penelitian di dalam bidang keperawatan berperan dalam mengurangi

kesenjangan penguasaan teknologi di bidang kesehatan, karena temuan

penelitian lebih memungkinkan terjadinya transformasi ilmu

pengetahuan dan teknologi, selain itu penting dalam memperkokoh upaya


menetapkan dan memajukan profesi keperawatan.Biasanya dilakukan

oleh para perawat yang terjun dalam bidang pendidikan / dosen (La Ode,

2012).

C. Tinjauan Umum Tentang Diare

1. Defenisi

Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak

normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair

berpendapat bahwa istilah gastroenteritis hendaknya dikesampingkan

saja, karena memberikan kesan terdapatnya suatu radang sehingga

selama ini penyelidikan tentang diare cenderung lebih ditekankan pada

penyebabnya.

Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang

meningkat dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat

mendadak datangnya dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2

minggu (Suharyono, 2008).

2. Klasifikasi

Beberapa klasifikasi diare antara lain:

a. Berdasarkan ada atau tidaknya infeksi:

1) Diare infeksi spesifik

2) Diare non-spesifik

b. Berdasarkan lamanya diare:

1) Diare akut

2) Diare kronik (Suharyono, 2008)


2. Aspek mikrobiologis

a. Virus penyebab gastroenteritis:

1) Rotavirus

2) Norwalk agent

b. Bakteri penyebab gastroenteritis:

1) Escherichia coli

2) Salmonella

3) Shigella

4) Vibrio cholerae

5) Vibrio campylobacteri

c. Parasit sebagai penyebab diare

1) Candida

2) Parasit lain (Suharyono, 2008)

3. Patogenesis

a. Patogenesis diare karena virus

Percobaan pada binatang menjelaskan patogenesis diare karena

virus. Dikemukakan bahwa invasi pada mukosa usus

menyebabkan kerusakan sel vili. Terdapatlah villous blunting

dan usus kurang mampu mengabsorbsi garam dan air. Juga

terdapat kekurangan enzim terutama disakaridase.

b. Patogenesis diare akut karena infeksi bakteri

Patogenesis menurut etiologi dapat dibedakan sebagai berikut:


1) Produksi enterotoksin: E. Coli enterotoksigenik (ETEC) dan

V. Cholerae.

2) Kerusakan sel dan radang: Rotavirus dan Norwalk agent.

3) Penetrasi epitel: Shigella dan Salmonella.

Pada penderita kolera mekanisme patogenesis adalah

samadengan ETEC yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

toksin dapat menimbulkan rangsang secara biokimiawi

terhadap adenilsiklase yang terdapat dalam sel mukosa usus

halus. Peningkatan adenilsiklase mengakibatkan meningkatnya

cyclic 3.5 adesine monohosphate yang mengakibatkan

keluarnya cairan isotonik dan elektronik dengan segera dalam

lumen usus.

Toksin merangsang adenilsiklase dalam enterosit

dengan kenaikan sekunder cyclic intrasel. Hal ini

mengakibatkan sekresi cairan dan elektrolit oleh enterosit.

Cyclic dapat diinaktifkan oleh osfodiesterase, tetapi

mekanisme ini dihalangi pada diare karena kolera.

Kemungkinan besar adalah bahwa cyclic ini menghambat

masuknya Natrium dan Klorida dalam sel vili dan merangsang

sekresi klorida dan natrium oleh sel kript.

Enterotoksin V. Cholerae terdiri dari 2 subunit yang

antara lain berbeda dalam berat molekulnya sehingga disebut

subunit H dan sub unit L. Setiap toksin terdiri dari satu subunit
H dan 6 subunit L, sub unit L mempunyai tugas melekat pada

reseptor sel membran sedangkan sub unit H akan menimbulkan

gejala dari pada toksinnya jadi toksin (sub unit L) yang

dikeluarkan oleh kuman tersebut mengikat reseptor pada sel

membran yang kemudian menyebabkan bekerjanya sub unit H

yang mengaktifkan enzim adenilsiklase usus. Maka terjadi

produksi cyclic adenosine monophosphate yang

mengakibatkan diare sehingga terjadi keluarnya cairan dan

elektrolit.

c. Kerusakan mukosa usus halus

Sebagai akibat kerusakan mukosa usus halus terjadi defisiensi

enzim disakaridase, intoleransi gula dan juga malabsorbsi

lemak, protein, vitamin, asam empedu dan mineral.

d. Hubungan malnutrisi protein energi dan penyakit diare.

Diare akut yang berulang dapat menjurus ke malnutrisi protein

energi. Juga saluran pencernaan sendiri. Terutama usus halus,

mengalami perubahan – perubahan menjurus ke defisiensi

enzim dan menyebabkan absorpsi yang tidak adekuat dan

terjadilah diare berulang yang kronik.

e. Gangguan imunologi

Dinding usus mempunyai mekanisme pertahanan yang baik.

Bila terjadi defisiensi Imunoglobulin A dapat terjadi bakteri

tumbuh lampau.
Defisiensi CMI (cell mediated immunity) dapat

menyebabkan tubuh tidak mampu mengatasi infeksi dan

infestasi parasit dalam usus. Hal ini mengakibatkan bakteri,

virus, parasit dan jamur yang masuk dalam usus tersebut akan

berkembang biak dengan leluasa sehingga terjadi bakteri

tumbuh lampau dan berakibat lebih lanjut berupa diare kronik

dan malabsorpsi makanan (Suharyono, 2008).

4. Patofisiologi

Diare akut menyebabkan terjadinya:

a. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang

menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia.

b. Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik

atau pra renjatan sebagai akibat diare dengan atau tanpa

disertai dengan muntah.

c. Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan

karena diare dan muntah (Suharyono, 2008).

5. Gambar histopatologis usus

Untuk diagnosis klinis banyak segi dapat diselidiki dengan biopsi

usus, misalnya:

a. Gambar vilus di bawah mikroskop

b. Gambar histologi mukosa

c. Aktivitas enzim kualitatif


Pemeriksaan di bawah mikroskop disekting dilakukan untuk

gambar stereometris dan dibawah mikroskop biasa untuk gambar

histologis vilus mukosa (Suharyono, 2008).

6. Pemeriksaan laboratorium.

a. Pemeriksaan darah, urine dan tinja

b. Pemeriksaan analisis gas darah

c. Pemeriksaan elektrolit darah (Suharyono, 2008).

7. Manifestasi klinik

a. BAB bersifat sering, volume banyak, berair, hijau atau kuning

dan kadang – kadang berlendir, terdapat juga gejala muntah

dan panas yang mendadak.

b. Dehidrasi yaitu kehilangan cairan akibat diare akut

menyebabkan dehidrasi yang dapat bersifat ringan, sedang atau

berat (Suharyono, 2008).

8. Pengelolaan diare akut

a. Prinsip pengobatan diare yang utama adalah rehidrasi dini dan

pemberian makanan dini.

b. Rehidrasi dapat dilaksanakan secara oral (intragastrik) dan

parenteral (intravena).

c. Koreksi terhadap komplikasi

d. Realimentasi : pemberian ASI atau dengan pemberian susu

formula.

e. Penggunaan obat lain.


f. Kontrol imunologis, berkaitan dengan pemberian vaksin

(Suharyono, 2008).

D. Tinjauan Umum Tentang Kedaruratan Gastroenteritis Dehidrasi

Kasus gastroenteritis yang pada umumnya memberi gejala diare

dan muntah dapat berakibat lanjut akibat pengeluaran cairan dan

elektrolit dalam jumlah banyak, yaitu:

1. Syok hipovolemik

2. Kekurangan elektrolit

3. Kegagalan ginjal mendadak

4. Asidosis metabolik, karena:

a. Pengeluaran ion bikarbonat dalam jumlah besar

b. Akibat kegagalan ginjal mendadak

c. Pembakaran energi secara anaerobik pada saat terjadi syok

(Purwadianto & Sampurna, 2000).

Untuk diagnosa dan penatalaksanaannya, dibedakan atas kasus anak dan

dewasa.

1. Gastroenteritis pada dewasa

a. Gejala dan tanda

Secara klinis dibedakan dalam dua bentuk:

1) Gastroenteritis Choleriform

Penyebabnya antara lain ialah Vibrio parachemolitica, Vibrio

Eltor, E. Coli, Clostridia, keracunan makanan.


Bentuk ini sering mengakibatkan dehidrasi. Gejala utama

adalah diare dan muntah. Diare yang terjadi tanpa mules

tanpa tenesmus dan tidak mual. Bentuk tinja seperti air

cucian beras.

2) Gastroenteritis disentriform

Penyebabnya antara lain ialah Entamoeba Histolytica,

Shigella, Salmonella. Bentuk ini jarang mengakibatkan

dehidrasi. Gejala yang timbul ialah kolik, diare, tenesmus,

kotoran mengandung darah dan lendir, yang semuanya

disebut sindrom disentri (Purwadianto & Sampurna, 2000).

b. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan ialah:

1) Mengganti cairan yang hilang dan mengatasi syok.

2) Mengganti elektrolit yang hilang

3) Mengenal dan mengatasi komplikasi yang terjadi

4) Memberantas penyebabnya (Purwadianto & Sampurna, 2000).

Urutan tindakan adalah:

1) Menentukan nilai untuk menghitung jumlah cairan yang

dibutuhkan.

Pedoman menentukan nilai untuk menghitung jumlah cairan

yang dibutuhkan pada penanggulangan kasus gastroenteritis:


No. Gejala Nilai
1. Muntah 1
2. Apatis 1
3. Somnolen, spoor 2
4. Tekanan darah sistolik kurang dari 90 1
mmHg
5. Tekanan darah sistolik kurang dari 60 2
mmHg
6. Nadi lebih dari 120/menit 1
7. Frekuensi pernapasan lebih dari 30/menit 1
8. Turgor menurun 1
9. Ekstremitas dingin 1
10. Washer woman’s hand (pucat dan 1
keriput)
11. Vox Cholerica (suara sesak dan parau) 2
12. Sianosis 2
13. Umur antara 50 – 60 tahun -1
14. Umur lebih dari 60 tahun -2
15. Underweight (berat badan rendah) -1
16. Facies cholerica (mata cekung dan pipi
cekung 2

2) Pemberian cairan dan elektrolit.

Cairan diberikan sebanyak :

Nilai
x berat badan x 0,1 x1 liter
15

Yang diberikan dalam waktu 2 jam. 2 jam berikutnya

diberikan cairan sebanyak pengeluaran cairan 2 jam

pertama, demikian selanjutnya tiap 2 jam dihitung cairan

yang keluar. Pemberian cairan harus lebih berhati-hati

pada malnutrisi, penderita gemuk, anemia dan kelainan

jantung (Purwadianto & Sampurna, 2000).


Cara pemberian cairan ialah

a) Per oral

Diberikan bila nilai kurang dari 3. Untuk menghindari

muntah, maka kadar kalium harus rendah.

b) Per infus

Dapat diberikan bersama-sama dengan cairan per oral

sehingga mengurangi kebutuhan cairan perinfus. Bila

terjadi syok atau penurunan kesadaran, cairan peroral

tidak diberikan. Cairan per infuse yang digunakan ialah

Ringers Lactate atau larutan NaCl 0,9% : Na-bikarbonat

1,5% = 2 : 1 ditambah dengan pulvus KCl 3 x 1 gram

secara oral. Bila terjadi oliguri atau anuri, pemberian

kalium harus berhati – hati.

3) Mengatasi komplikasi bila ada, misalnya gagal ginjal akut.

4) Terapi kausal.

a) Gastroenteritis choleriform : diberikan tetrasiklin-HCl 4

x 500 mg/hari selama 3 hari.

b) Gastroenteritis disentriform, dibedakan:

i. Yang disebabkan Entamoeba hystolitica

Metronidazole, Tinidazole, Emetin Bismuth Iodide,

Tetrasiklin.
ii. Yang disebabkan shigella, salmonella diberikan

ampisilin 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 4 dosis,

selama 5 – 7 hari (Purwadianto & Sampurna, 2000).

2. Gastroenteritis pada anak

a. Gejala dan tanda

Gejala utama ialah timbulnya diare, sedangkan gejala muntah

dapat terjadi sebelum atau sesudah diare. Bila penderita telah

banyak kehilangan cairan dan elektrolit maka gejala dehidrasi

mulai tampak. Dehidrasi ini dibagi menurut banyaknya cairan

yang hilang, menjadi:

1) Ringan, kehilangan cairan 0 – 5% atau rata – rata 25

ml/kgBB.

2) Sedang, kehilangan cairan 5 – 10% atau rata – rata 75

ml/kgBB.

3) Berat, kehilangan cairan 10 – 15% atau rata – rata 125

ml/kgBB.

b. Penatalaksanaan

1) Mengatasi dehidrasi

2) Pemberian antibiotik

3) Koreksi elektolit

4) Refeeding

5) Koreksi asidosis metabolik (Purwadianto & Sampurna,

2000).

Anda mungkin juga menyukai