Anda di halaman 1dari 9

57

BAB IV

PEMBAHASAN

Setelah penulis mengungkapkan data – data yang diperoleh pada klien dengan

Sindrom Nefrotik serta mencoba menentukan diagnosa yang terjadi lalu kemudian

mengangkat sebuah intervensi yang berujung pada pengaplikasian rencana tindakan

dan berakhir pada evaluasi sehingga pada bab ini penulis akan mencoba untuk

membahas tentang kesenjangan yang timbul antara kasus Sindrom Nefrotik yang ada

pada BAB III dengan teori Sindrom Nefrotik yang ada pada BAB II. Selain

membahas tentang perbandingan, penulis juga akan mengemukakan tentang alasan

mengapa tidak semua intervensi diimplimentasikan.

A. Kesenjangan antara Pengkajian Teori dengan Pengkajian Kasus

Dalam karya ilmiah ini penulis terlebih dahulu akan membahas materi yang

ada di teori kemudian ternyata tidak ditemukan dalam kasus lalu setelah itu akan

dibahas sebaliknya materi yang ditemukan dalam kasus namun ternyata tidak

ada dalam teori.

Berbicara tentang pengkajian maka sebenarnya kita akan banyak

menjelaskan tentang manifestasi yang muncul dari klien yang mengalami

sindrom nefrotik, ketika kita mengungkapkan manifestasi berarti dibutuhkan

sebuah pemahaman yang mendalam tentang patofisiologi sindrom nefrotik

karena manifestasi klinik sebenarnya adalah produk dari patofisiologi.

Dalam teori diungkapkan bahwa pada pengkajian klien dengan sindrom

nefrotik akan ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau sesak dengan syarat
58

tingkat prognosis penyakit berada di fase lanjut, fase lanjut berarti perpindahan

cairan dari volume plasma ke ruang intertisial sudah sangat massif sehingga

menimbulkan efek yang salah satunya adalah sesak. Lalu kemudian timbul

pertanyaan mengapa pada kasus An “F” tidak ditemukan gangguan pola dan

frekuensi nafas, hal ini kemungkinan terjadi karena edema yang terjadi belum

mengganggu kapasitas oksigen dalam ruang paru, sehingga suplai oksigen untuk

jaringan masih mampu diantisipasi oleh aktivitas paru secara normal.

Teori mengungkapkan pula bahwa pada klien dengan sindrom nefrotik akan

diperoleh penurunan curah jantung hal ini biasanya ditandai dengan

meningkatnya frekuensi nadi, curah jantung menurun karena volume plasma

dalam pembuluh darah menurun akibat terjadi perpindahan cairan dari pembuluh

darah ke ruang intertisial akibat efek dari hipoalbuminemia, akibatnya jumlah

darah yang di pompa untuk kebutuhan jaringan menjadi menurun sehingga

jantung harus bekerja ekstra untuk mencukupi kebutuhan darah di jaringan

sehingga frekuensi nadi meningkat. Efek ini ditemukan pada kasus An “F”,

dimana ditemukan frekuensi nadi sebanyak 92 x/i yang menandakan bahwa

jantung harus meningkatkan frekuensi kontraksinya untuk memenuhi kebutuhan

darah jaringan.

Hal yang paling jelas adanya kesesuaian efek dalam pengkajian antara teori

dengan kasus adalah munculnya edema yang merupakan manifestasi dari

bocornya protein dalam glomerulus sehingga meningkatkan jumlah urin yang

terbuang bersama urin, akibatnya darah mengalami penurunan jumlah protein

khususnya albumin, ujung dari semua ini adalah terjadinya perubahan tekanan
59

onkotik yang menyebabkan perpindahan cairan, akumulasi dari migrasi cairan

inilah yang menyebabkan edema.

Dalam hal didapatkannya penurunan nutrisi tubuh, kasus dan teori dalam

karya tulis ini memiliki kesesuaian, namun yang menjadi kesenjangan adalah

penyebabnya, penurunan nutrisi tubuh atau anoreksia di dalam teori

mengungkapkan bahwa anoreksia terjadi karena terjadinya mual dan muntah,

sedangkan dalam kasus anoreksia terjadi karena nafsu makan klien menurun

sehingga klien menjadi malas makan.

Dua penyebab ini sebenarnya adalah dampak dari timbulnya akumulasi

cairan dalam saluran pencernaan utamanya lambung akibat perpindahan cairan

plasma ke ruang pencernaan sehingga rongga usus dan lambung terisi cairan,

efeknya adalah timbulnya rasa mual yang berlanjut pada refluks atau muntah,

apa yang kemudian terjadi pada klien An “F” adalah adanya perasaan mual

sehingga klien menjadi malas makan dan terjadilah anoreksia.

Kesenjangan lainnya yang timbul adalah teori mengungkapkan bahwa

pengkajian sindrom nefrotik akan didapatkan kelemahan fisik, selanjutnya

mengapa klien An “F” tidak mengalaminya, hal ini dapat dijelaskan ketika kita

mempelajari etiologi munculnya kelemahan fisik tersebut, kelemahan fisik yang

timbul merupakan efek sekunder dari edema tungkai, beban yang digunakan otot

akan semakin besar untuk menggerakkan fisiknya karena beratnya bertambah

akibat edema, walaupun edema ekstremitas dan wajah dialami oleh klien namun

otot ekstremitas masih mampu mentolerir beban yang diperoleh dari edema

tersebut sehingga kelemahan fisik tidak terjadi.


60

Pengkajian berikutnya adalah kesesuaian antara teori dan kasus yang sama –

sama mengangkat tentang kecemasan yang ternyata diakibatkan oleh respon

hospitalisasi yang kurang adaptif sehingga kemampuan koping An “F”

menurun.

B. Kesenjangan antara Diagnosa Teori dengan Diagnosa Kasus

Kesenjangan yang terjadi antara teori dengan kasus dalam hal penetapan

diagnosa tidaklah terlalu jauh berbeda. Semua diagnosa yang ditetapkan pada

klien An “F” sesuai dengan diagnosa yang ada dalam teori yaitu kelebihan

volume cairan tubuh, kurangnya nutrisi tubuh dan timbulnya kecemasan.

Kesenjangan hanya terjadi karena ada satu diagnosa yang muncul di teori

namun tidak ditemukan dalam kasus An “F” yaitu kelemahan fisik, inti dari

kesenjangan ini adalah otot klien An “F” masih mampu mentolerir beban berat

yang diakibatkan oleh akumulasi cairan berlebih di daerah ekstremitas sehingga

ekstremitas masih mampu digerakkan akibatnya kelemahan fisik tidak terjadi.

C. Kesenjangan antara Intervensi Teori dengan Intervensi Kasus

1. Gangguan volume cairan tubuh lebih dari kebutuhan b/d kehilangan protein

sekunder terhadap peningkatan permeabilitas glomerulus

Terdapat beberapa kesenjangan dalam hal penetapan intervensi, semua

intervensi dalam kasus diterapkan berdasarkan teori namun ada beberapa

intervensi di teori tidak dimasukkan dalam penanganan kasus An “F”,

diantaranya pasang kateter, kemungkinan An “F” cukup sulit untuk diberikan

pengertian dalam pelaksanaan pemasangan kateter urin sehingga perawat

berinisiatif untuk mengambil alternatif lain untuk mengukur derajat edema


61

atau output cairan seperti mengkaji pembesaran abdomen dan menimbang

berat badan karena indikasi pemasangan kateter sebenarnya bukan untuk

melancarkan pengeluaran urin namun lebih merujuk untuk mengukur jumlah

urin yang keluar secara akurat namun kendalanya adalah tidak semua pasien

kooperatif dalam tindakan invasif tersebut.

Intervensi yang lain adalah mengkaji lokasi dan luas edema, hal ini

tidak dilakukan dalam kasus An “F” karena penulis sudah mendapatkan

informasi lokasi dan luas edema tersebut pada rekam medik pasien sehingga

hal tersebut menjadi acuan penulis untuk dikenakan implementasi.

Kemudian yang menarik adalah intervensi pengendalian elektrolit

tubuh, sebagaimana kita ketahui pengendalian elektrolit tubuh khususnya

natrium sangatlah penting, untuk mencegah reaksi renin angiotensin yang

menyebabkan meningkatnya reabsorpsi natrium akibat efek penurunan

tekanan darah, proses ini yang menjadi perhatian dalam perawatan pasien

sindrom nefrotik, teori dan kasus sama – sama memberikan pengendalian

natrium namun yang berbeda adalah caranya, teori lebih menekankan pada

pengawasan status elektrolit tubuh namun kasus lebih menekankan jenis

intake makanan yang diberikan yaitu haruslah rendah garam.

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d malnutrisi sekunder

terhadap kehilangan protein

Sebenarnya intervensi yang dipilih pada kasus mewakili semua

intervensi pada teori kecuali pada monitoring gula darah, di luar dari

intervensi itu semuanya memiliki intervensi yang sejalan. Perbedaanya


62

adalah intervensi pada kasus lebih bersifat umum namun langkah – langkah

penerapannya lebih mendetail terdapat pada intervensi teori, seperti contoh

pada intervensi pertama kasus disebutkan “Kaji intake dan output makanan

secara akurat” maka pada intervensi teori disebutkan “Kaji adanya alergi

makanan”. “Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan

nutrisi yang dibutuhkan pasien”, “Monitor mual dan muntah” dan “Monitor

intake nutrisi”.

Pada intervensi ke dua kasus disebutkan “Kaji adanya anoreksia”,

sedangkan pada intervensi teori menyebutkan “Monitor adanya penurunan

BB”, “Monitor turgor kulit”, “Monitor kekeringan, rambut kusam, total

protein, Hb dan kadar Ht”, “Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan

konjungtiva”. Hal ini menjelaskan bahwa pada prinsipnya intervensi pada

kasus sejalan dengan intervensi pada teori namun intervensi kasus lebih

bersifat umum, pertanyaan berikutnya mengapa intervensi kasus dibuat oleh

penulis secara umum, hal tersebut dikarenakan karena kondisi realita pada

pasien tidak dapat diprediksi, maksudnya intervensi yang diterapkan haruslah

sesuai dengan kondisi fisik dan psikologis pasien, misalkan pada intervensi

kasus menyebutkan perawat harus menimbang berat badan padahal kita

ketahui bahwa tidak semua anak mau ditimbang berat badannya sehingga

perawat harus melakukan penilaian pada indikator lain selain berat badan,

makanya dibuatkan intervensi secara umum.

Kesenjangan antara intervensi kasus dengan intervensi teori hanya

terdapat pada monitoring gula darah, intervensi ini diterapkan di teori namun
63

tidak di pilih pada kasus, intervensi ini sebenarnya dimaksudkan untuk

menghindari terjadinya hipoglikemia massif akibat dari kurangnya suplai

nutrisi khususnya glukosa, hal ini sangat perlu dimonitoring karena

penurunan gula darah dapat menyebabkan kehilangan kesadaran yang

berujung pada kematian.

Pada kasus ini klien tidak dilakukan monitoring gula darah karena

biasanya yang dilakukan intervensi ini adalah pasien Diabetes Mellitus yang

menjalani terapi insulin atau obat oral yang indikasinya menurunkan gula

darah namun pada kasus anoreksia pada sindrom nefrotik yang mengalami

penurunan yang sangat kontras adalah protein sehingga tidak memerlukan

monitoring gula darah secara regular. Ditambah pada pasien terpasang cairan

intravena dextrose sehingga penurunan gula darah dapat dihindari.

Selain itu monitoring penurunan gula darah bisa diantisipasi melalui

pengawasan terhadap keadaan umum klien, pasien yang mengalami

penurunan gula darah secara drastis akan menampakkan manifestasi yang

khas seperti menguap, sesak tiba – tiba, gelisah dan keringat dingin.

3. Kecemasan anak b/d lingkungan perawatan yang asing (dampak

hospitalisasi)

Sebelumnya penulis memprediksi akan adanya kesenjangan yang

timbul karena adanya perbedaan penyebab dari timbulnya kecemasan pada

klien, teori menyebutkan penyebab kecemasan adalah klien tidak mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungan rumah sakit dan kasus menemukan

bahwa penyebab kecemasan klien adalah adanya perubahan kondisi


64

kesehatan, namun setelah dianalisa perbandingan intervensi ternyata

subtansi dari intervensi kasus dan teori tidak memiliki perbedaan, perbedaan

muncul hanya pada pemilihan kalimatnya.

D. Pemilihan Implementasi

Pada kasus An “F”, ternyata semua intervensi yang telah dirumuskan

memiliki peran untuk diimplementasikan, pada hari pertama perawatan dalam

konteks (tiga) 3 hari waktu penulis memberikan proses keperawatan ditemukan

fakta bahwa semua intervensi yang ada di 3 (tiga) diagnosa yaitu kelebihan

cairan, nutrisi kurang dari kebutuhan dan kecemasan terlihat semua intervensi

mampu diimplementasikan.

Pada hari ke dua dan ke tiga pun demikian, semua intervensi mampu

diimplementasikan oleh penulis kecuali pada diagnosa kecemasan nampak

bahwa pada hari ke tiga ternyata implementasi dihentikan karena pada hari ke

dua tanda – tanda kecemasan sudah mampu diatasi oleh klien.

Efek dari fenomena ini adalah karena penulis dalam hal ini pelaku proses

keperawatan mengangkat intervensi yang diprediksi mampu diimplementasikan,

artinya penulis hanya memberikan intervensi yang praktis dan tidak

membutuhkan kolaborasi dari tim kesehatan lain, sehingga penulis dengan

mudah mampu melaksanakan tindakan keperawatan terhadap pasien. Hal ini

dilakukan dengan pertimbangan bahwa waktu untuk melaksanakan intervensi

hanya 3 (tiga) hari ditambah status penulis sebagai mahasiswa yang kurang

mendapatkan wewenang untuk melaksanakan tindakan invasif atau

menggunakan alat – alat kesehatan yang ada di ruangan rumah sakit.


65

E. Evaluasi

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh penulis setelah melakukan

tindakan keperawatan terhadap An “F” dengan sindrom nefrotik ditemukan hasil

bahwa ke tiga masalah keperawatan atau diagnosa yang timbul yaitu kelebihan

volume cairan, nutrisi kurang dari kebutuhan dan kecemasan ternyata mampu

diatasi, bahkan diagnosa kecemasan dapat diatasi pada hari ke dua.

Kelebihan volume cairan yang teratasi sebenarnya sebagian besar

dikarenakan efek farmakologi dari tim medis berupa penanganan diuretik seperti

pemberian furosemide infus untuk mengurangi jumlah cairan dalam tubuh,

sementara peran perawat dalam hal ini penulis lebih kea rah pengawasan intake

makanan dan observasi tanda – tanda adanya edema dan indikasi derajat edema

secara massif.

Evaluasi pada nutrisi juga merupakan adanya penanganan kooperatif antara

perawat, tim ahli gizi dan klien sehingga penanganan terhadap berkurangnya

nutrisi dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Penulis menerapkan intervensi

yang dianggap mudah serta mampu memberi pengaruh yang signifikan terhadap

kesembuhan klien seperti memilih makanan yang disukai klien, memberi makan

sedikit tapi sering serta ikut melibatkan keluarga dalam perencanaan pemberian

makanan.

Anda mungkin juga menyukai