Anda di halaman 1dari 7

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom koroner akut ini merupakan sekumpulan manifestasi atau gejala

akibat penyakit arteri koroner, adapun patofisiologi gejala-gejala tersebut adalah

sama (berurut peristiwa patologisnya) ditandai oleh erosi, fisuri, atau pecahnya

plak yang memang sudah ada, selanjutnya mengarah ke trombosis

(penggumpalan) dalam arteri koroner dan menyebabkan kondisi bagi ancaman

kehidupan pasien dengan penyakit arteri yang menganggu suplai darah ke otot

jantung (Ramadhani, 2013).

Sindrom koroner akut mencakup penyakit jantung koroner (PJK), termasuk

didalamnya angina tidak stabil, infark miokard ST-elevasi (STEMI), dan non

STEMI (NSTEMI). Ketiga gangguan ini disebut sindrom koroner akut karena

gejala awal serta manajemen awal sering serupa (Ramadhani, 2013).

Penyakit jantung koroner adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia,

dan 3,8 juta pria serta 3,4 juta perempuan meninggal akibat penyakit tersebut

setiap tahun. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab 48% kematian

akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 1998 di Amerika Serikat (Ramadhani,

2013).

SKA membutuhkan penanganan awal yang cepat dan tepat oleh tenaga

kesehatan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Peran tenaga

kesehatan khususnya perawat adalah upaya pencegahan komplikasi maupun


2

penanganan yang cepat untuk melakukan penyelamatan jiwa melalui upaya

promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Oleh sebab itu perawat perlu

memahami dan mengetahui konsep teoritis dan keterampilan profesional yang

harus dimiliki dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat memberikan

asuhan keperawatan pasien dengan penyakit jantung, khususnya SKA

(Rokhaeni, 2001).

Penanganan yang sangat menentukan prognosis penyakit SKA menyebabkan

perawat harus mampu melakukan tindakan yang cepat dan tepat, setiap tindakan

perawat harus sesuai dengan standar operasional prosedur untuk meminimalisir

kesalahan selama penanganan, kesimpulannya adalah perilaku atau tindakan

perawat sangat menentukan keberhasilan penanganan SKA.

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme

(makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis

semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan

manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktifitas masing-masing.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia)

adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung

maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Seorang ahli psikologis, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau

reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). respon internal yang

terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung bisa dilihat orang lain,

misalnya berpikir, tanggapan, sikap atau pengetahuan (Skinner, 1938 yang

dikutip dalam Notoatmodjo, 2003).


3

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang

sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior)

(Suparyanto, 2012).

Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi

perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni

Awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

stimulus (objek) terlebih dahulu. Interest, yakni orang mulai tertarik pada

stimulus. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut

bagi dirinya). Triall, orang telah mencoba perilaku baru. Adoption, subjek telah

berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya tehadap

stimulus (Notoatmodjo, 2003).

Penelitian sebelumnya yang dilaksanakan di Ruang ICU Dan IMC Rumah

Sakit Umum Daerah Cengkareng Jakarta Barat pada tahun 2013, dengan

mengambil sampel sebanyak 33 responden, didapatkan kesimpulan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan perawat tentang prosedur

suction dan pelaksanaan tindakan suction ( R = 0.738; P < 0.05 ). upaya

meningkatkan pengetahuan dalam melakukan prosedur suction akan

meningkatkan pelaksanaan tindakan suction dengan pengetahuan yang lebih baik

(Rumiris, 2013).
4

Berdasarkan laporan World Health Statistic 2008, tercatat 17,1 juta orang

meninggal di dunia akibat penyakit jantung koroner dan diperkirakan angka ini

akan meningkat terus hingga 2030 menjadi 23,4 juta kematian di dunia.

Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan Organisasi Federasi Jantung Sedunia

(World Heart Federation) memprediksi penyakit jantung akan menjadi penyebab

utama kematian di negara-negara Asia pada tahun 2010.

Saat ini, sedikitnya 78% kematian global akibat penyakit jantung terjadi pada

kalangan masyarakat miskin dan menengah. Berdasarkan kondisi itu, dalam

keadaan ekonomi terpuruk maka upaya pencegahan merupakan hal terpenting

untuk menurunkan penyakit kardiovaskuler pada 2010. Di negara berkembang

dari tahun 1990 sampai 2020, angka kematian akibat penyakit jantung koroner

akan meningkat 137 % pada laki-laki dan 120% pada wanita, sedangkan di

negara maju peningkatannya lebih rendah yaitu 48% pada laki-laki dan 29%

pada wanita. Di tahun 2020 diperkirakan penyakit kardiovaskuler menjadi

penyebab kematian 25 orang setiap tahunnya. Oleh karena itu, penyakit jantung

koroner menjadi penyebab kematian dan kecacatan nomor satu di dunia (WHO,

2008 dalam Abidin, 2012).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan bahwa dalam 12

tahun (1995-2007) terjadi peningkatan kematian akibat penyakit tidak menular

(penyakit jantung, stroke, kanker dan diabetes) sebesar 17,8% di Indonesia.

Persentase penyakit tidak menular di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 59,5%.

Gambaran yang sama diperoleh dari data Sistem Informasi Rumah Sakit Tahun

2010-2011, yaitu dominasi penyakit tidak menular, baik pada rawat jalan
5

maupun rawat inap. Persentase kasus baru rawat jalan terbanyak secara

berurutan adalah hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes (Riskesdas, 2007

dalam Buletin Rasional, 2013).

Di Sulawesi Selatan berdasarkan data diketahui 7 tempat rumah sakit selama

5 tahun terakhir ternyata penyakit kardiovaskular menempati urutan ke 5 – 6

dengan persentase antara 7,5% - 8,6% dimana PJK terus menempati urutan

pertama diantara jenis penyakit jantung lainnya (Yusnizar, 2011).

Berdasarkan data dari Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah Labuang

Baji Makassar tahun 2011 terdapat 258 mengalami SKA yang dirawat yang

terdiri dari laki-laki 122 orang dan perempuan sebanyak 136 orang. Sedangkan

untuk tahun 2012 jumlah penderita sebanyak 225 orang yang terdiri dari laki-laki

99 orang dan perempuan sebanyak 126 orang. Dari jumlah tersebut. Tahun 2013

sebanyak 279 orang terdiri dari laki-laki 158 orang dan perempuan sebanyak 121

orang (Rekam Medik RS Labuang Baji Makassar, 2013).

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka penulis tertarik untuk meneliti

“Hubungan Pengetahuan Dengan Aplikasi Perawat Dalam Penanganan

Sindroma Koroner Akut (SKA) Di Ruang Instalasi Rawat Darurat RSUD

Labuang Baji Makassar”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, peneliti dapat

merumuskan pertanyaan: apakah ada hubungan pengetahuan dengan aplikasi

perawat dalam penanganan Sindroma Koroner Akut (SKA) di Ruang Instalasi

Rawat Darurat RSUD Labuang Baji Makassar?


6

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan

aplikasi perawat dalam penanganan sindroma koroner akut (SKA) di ruang

Instalasi Rawat Darurat RSUD Labuang Baji Makassar.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat pengetahuan perawat tentang penanganan Sindroma

Koroner Akut (SKA) di ruang Instalasi Rawat Darurat RSUD Labuang

Baji Makassar.

b. Mengetahui aplikasi perawat dalam penanganan Sindroma Koroner Akut

(SKA) di ruang Instalasi Rawat Darurat RSUD Labuang Baji Makassar.

c. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan aplikasi perawat dalam

penanganan Sindroma Koroner Akut (SKA) di ruang Instalasi Rawat

Darurat RSUD Labuang Baji Makassar.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Menambah referensi pengetahuan dan wawasan baik mahasiswa maupun

tenaga kesehatan di tempat pelayanan kesehatan tentang kemampuan

pengetahuan yang dihubungkan dengan sikap perawat dalam melaksanakan

penanganan Sindroma Koroner Akut (SKA), juga dapat menjadi acuan

peneliti selanjutnya, dalam mengembangkan hasil penelitian ini.


7

2. Manfaat Institusi

Menjadi pedoman bagi pimpinan tempat pelayanan kesehatan, dalam

mengambil sebuah kebijakan yang berhubungan dengan peningkatan

pengetahuan perawat yang bertujuan untuk memperbaiki mutu pelayanan

kesehatan melalui pengembangan sikap terhadap sebuah tindakan medis,

selain itu juga menjadi bahan acuan bagi pihak institusi pendidikan yang

berwenang untuk lebih memacu peningkatan pengetahuan mahasiswa

sehingga dapat menghasilkan tenaga kesehatan yang berkompeten.

3. Manfaat Praktis

Aplikasi pelayanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat dapat

terwujud melalui peningkatan pengetahuan tenaga perawat berdasarkan hasil

penelitian ini sehingga opini perawat tentang tindakan penanganan Sindroma

Koroner Akut (SKA) mampu diterima dan diaplikasikan yang terwujud

dalam sebuah sikap melaksanakan tindakan tersebut dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai