Anda di halaman 1dari 26

PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN


TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN PRE PRIMARY PCI DI
RS JANTUNG DIAGRAM
TAHUN 2022

Skripsi Ini Sebagai Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH :
HARIS SETIYANTO
NPM 08200100166

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


UNIVERSITAS INDONESIA MAJU
JAKARTA
2022

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Prevalensi kematian akibat serangan jantung masih tinggi di dunia, termasuk di
Indonesia. Data organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (2016) menyebutkan lebih dari
17 orang didunia meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Sekitar
31% dari seluruh kematian di dunia, Sebagian besar atau sekitar 8,7 juta disebabkan
oleh penyakit jantung koroner. Jantung adalah organ penting yang ada didalam
tubuh manusia. Fungsi jantung sebagai pemompa darah keseluruh tubuh. Karena
jantung sangat penting perannya pada tubuh manusia, oleh karena itu jantung harus
diperhatikan agar bisa terhindar dari penyakit (Kumar dan Canon, 2015).
Menurut kumar dan canon (2015) salah satu penyakit jantung yang sering
dialami yaitu ST elevation myocardial infarction (STEMI). ST elevation myocardial
infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum sindroma koroner akut (SKA)
yang paling berat (Alwi, 2014).
Penyakit jantung di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar
1,5%, dengan peringkat prevalesi tertinggi yaitu Provinsi Kalimantan Utara 2,2%,
DIY 2%, dan Gorontalo 2%. Selain ketiga provinsi tersebut, terdapat pula 8 provinsi
lainnya dengan prevalensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi
nasional. Delapan provinsi tersebut adalah Aceh (1,6%), Sumatra Barat (1,6%), DKI
Jakarta (1,9%), Jawa Barat (1,6%), Jawa Tengah (1,6%), Kalimantan Timur (1,9%),
Sulawesi Utara (1,8%) dan Sulawesi Tengah (1,9%) ( Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2018).
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Indonesia (2018) menyatakan bahwa
PCI merupakan prosedur infasif dengan menggunakan katerisasi yang memasukan
selang kecil kedalam pembulu darah arteri dan atau vena yang menelusuri hingga
kedalam jantung dengan menggunakan sinar-X untuk melihat sumbatan pembuluh
darah koroner dan untuk membuka arteri koroner yang tersumbat penyempitan baik
dengan cara ballon atau stenting sehingga memungkinkan aliran darah koroner
Kembali lancar. Intervensi koroner perkutan primer adalah strategi referfusi yang
direkomendasikan untuk pasien infark miokard dengan peningkatan segmen ST
(STEMI). Door to ballon adalah dalam waktu 90 menit, dalam tindakan PPCI
sebelum dilakukan tindakan pasien akan di berikan edukasi secara cepat dan jelas
sehingga banyak pasien mengalami kecemasan karna tindakan yang akan dilakukan
segera.
Kecemasan adalah perasaan ketidakpastian, kegelisahan, ketakutan, atau
ketegangan yang dialami sesorang dalam berespons terhadap objek atau situasi yang
tidak diketahui. ( Louise, 2012). Tanda klinis kecemasan mencakup gejala
fisiologis, psikologis atau emosional, perilaku, intelektual atau kognitif dan
karateristik diagnostic. Kecemasan direntangkan mulai dari normal sampai panik
dan rentang tersebut dikenal sebagai tingkat kecemasan atau levels of anxiety.
Adapun level tersebut yaitu normal, kecemasan ringan, kecemasan sedang,
kecemasan berat, status panik.
Salah satu faktor yang dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien yaitu
dengan memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien sebelum tindakan
Primary PCI. Hal ini berdasarkan teori yang diungkapkan Peplau, asuhan
keperawatan yang berfokus pada individu perawat dan proses interaktif yang
mengahasilkan hubungan antara perawat dan pasien. Berdasarkan teori ini pasien
adalah individu dengan kebutuhan perasaan, dan keperawatan adalah proses
interpersonal dan terapeutik, dimana perawat memliki peran yang cukup penting
dalam mempengaruhi, menurunkan kecemasan dan meningkatkan kesehatan pasien
melalui proses komunikasi.
Komunikasi terapeutik adalah suatu cara untuk membina hubungan yang
teraputik ( menyembuhkan) yang dibutuhkan untuk pertukaran informasi dan dapat
digunakan untuk mempengaruhi perasaan antara perawat- klien dengan tujuan
membantu klien memperjelas dan mengurangi beban pikiran serta diharapkan dapat
menghilangkan kecemasan.
Berdasarkan penelitian sebelumnya terkait tentang penelitian bertujuan
mengatahui hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat
kecemasan pasien pre- operasi didaptkan hasil uji statistic dengan menggunakan
kendall tau r= 0,336 diperoleh nilai p-value= 0,000 (p<0,05) yang artinya bahwa
terdapat hubungan rendah antara komunikasi terapeutik dengan tingakt kecemasan
pada pasien pre- operasi dengan hubungan korelasi rendah.
Berdasarkan data di RS Jantung Diagram melalui wawancara dan kuesioner
kepada 10 orang pasien diketahui bahwa 10 pasien mengalami kecemasan dengan
tingkat kecemasan 6 orang mengalami kecemasan berat, 3 orang mengalami
kecemasan sedang, 1 orang mengalami kecemasan ringan. Hasil wawancara pasien
tentang penilaian pasien terhadap komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat
pasien pasien yang mengalami kecemasan mengungkapkan bahwa takut akan
kegagalan tindakan, peralatan diruang tindakan. Kurangnya komunikasi dari tenaga
kesehatan khususnya perawat terutama dalam memberikan informasi tentang
tindakan yang akan dilakukan, menyebabkan pasien tidak mengatahui tentang
tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien merasa cemas.
Berdasarkan latar belakang maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengetahui hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan
pada pasien Primary PCI di RS Jantung Diagram.

B. Road Map Penelitian


Penelitian warsini tahun 2015 Tujuan Penelitian. Penelitian bertujuan
mengatahui hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat
kecemasan pasien pre- operasi. Metode penelitian. Metode yang digunakan adalah
observasional dengan pendekatan croos sectional. Populasi dalam penelitian ini
adalah pasien pre operasi diruang IBS RSUD Saras Husada Purworejo. Teknik
pengambilan sample yaitu acccidental sampling. Jumlah sample dalam penelitian ini
adalah 81 orang. Analisis data menggunakan Kendal tau. Hasil penelitian
didaptakan bahwa komunikasi terapeutik perawat tergolong cukup baik yaitu
sebesar 37,0%. Tingkat kecemasan pasien pre operasi Sebagian besar mengalami
kecemasan sedang yaitu sebesar 44,4%. Hasil uji statistik dengan menggunakan
Kendal tau diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05). Ada hubungan komunikasi terapeutik
perawat dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi.
Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian saat ini adalah peneliti
melakukan penelitian kepada pasien dengan serangan jantung dimana tindakan yang
dilakukan secara segera dapat dilihat dari ketakutan, perasaan was- was, sulit
konsentrasi.

C. Urgensi Penelitian
Dampak yang ditimbulkan dari kecemasan pasien dilihat dari tingkat kecemasan
berat sampai status panik menimbukan terjadi nya keputusan dari pasien untuk
menolak dilakukan tindakan Primary PCI, resiko yang terjadi adalah pasien akan
mengalami serangan jantung berulang, kematian otot jantung, fungsi jantung
menurun.
Berdasarkan data di RS Jantung Diagram melalui wawancara dan kuesioner
kepada 10 orang pasien diketahui bahwa 10 pasien mengalami kecemasan dengan
tingkat kecemasan 6 orang mengalami kecemasan berat, 3 orang mengalami
kecemasan sedang, 1 orang mengalami kecemasan ringan. Hasil wawancara pasien
tentang penilaian pasien terhadap komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat
pasien pasien yang mengalami kecemasan mengungkapkan bahwa takut akan
kegagalan tindakan, peralatan diruang tindakan. Kurangnya komunikasi dari tenaga
kesehatan khususnya perawat terutama dalam memberikan informasi tentang
tindakan yang akan dilakukan, menyebabkan pasien tidak mengatahui tentang
tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien merasa cemas.
Berdasarkan urgensi penelitian maka peneliti akan melakukan penelitian tentang
hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pada pasien
Primary PCI di RS Jantung Diagram Tahun 2022.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Penyakit Jantung Koroner
a. Definisi
Sindrom koroner Akut (SKA) atau yang biasa dikenal dengan penyakit
jantung koroner (PJK) merupakan istilah yang mengacu pada kondisi
penyempitan pembuluh darah koroner dan atau terhentinya suplai nutrisi
( oksigen ) ke otot jantung. Proses penyempitan pembuluh darah koroner
ini dapat disebabkan oleh proses aterosklerosis atau trombosis.
( Amsterdam et al., 2014).
Aterosklerosis merupakan endapan yang terdapat di dalam pembuluh
darah koroner jantung dan pembuluh darah koroner jantung dan pembuluh
darah utama dari hasil proses selama bertahun-tahun. Awalnya proses ini
tidak menimbulkan gejala secara klinis, sehingga pasien penderita PCI
umumnya tidak akan merasakan apa yang terjadi didalam dinding
pembuluh darahnya (PJNHK, 2018).

b. Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak atheroma pembulu
darah koroner yang koyak atau pecah akibat perubahan komposisi plak dan
penepisan tudung fibrosa yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan
diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur kogulasi sehingga
terbentuk thrombus yang kaya trombosit (white thrombus). Thrombus ini
akan menyumbat lubang pembulu darah koroner, baik secara total maupun
parsial atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembulu koroner yang
lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan
vasokontriksi sehingga mempeberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium.
Suplai oksigen yang berhenti selama kurang lebih 20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard/MI).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembulu
darah koroner. Sumbatan subtotal yang disertai vasokontriksi yang
dinasmis juga dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan
otot jantung (Miokard). Selain nekrosis, iskemia juga menyebabkan
gangguan kontraktitilas miokardium karena proses hibernating atau
stunning( setelah iskemia hilang), serta disritmia dan remodeling
ventrikel(perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Pada Sebagian
pasien, SKA terjadi karna sumbatan dinamis akibat spasme local arteri
koronaria epicardial( angina prinzmental). Penyempitan artei koronari,
tanpa spasme maupun thrombus, dapat diakibatkan oleh progresi
pembentukan plak atau restenosis setelah intervensi korener perkutan
(IKP). Beberapa faktor ekstrintik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis,
hipotensi, takikardia dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien
yang telah mempunyai plak ateroklerosis.

c. Tanda dan gejala Sindrom Koroner Akut


Keluhan rasa tidak nyaman di dada atau nyeri dada (angina) yang
berlangsung selama lebih dari 20 menit saat istirahat atau saat aktivitas
yang disertai gejala keringat dingin atau gejala lainnya seperti lemah, rasa
mual, dan pusing (P2PTM Kemenkes RI, 2020)
1) Nyeri dada
2) Tertekan di daerah dada
3) Rasa berat di dada
4) Rasa mual atau nyeri ulu hati
5) Keringat Dingin
6) Rasa terbakar

d. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut


Sindrom koroner akut dibagi menjadi :
1) Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST (IMA- EST)
2) Infark Miokard Akut non- elevasi segmen ST (IMA- NEST)
3) Angina Pektoris tidak Stabil (APTS)

Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST akut (IMA-EST)


merupakan indicator kejadia oklusi total pembulu darah arteri koroner.
Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan
aliran darah arteri koroner menggunakan fibrinolitik atau secara mekanis
melalui intervensi koroner perkutan primer. Diagnosa IMA-Est ditegakkan
jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang
persisten di 2 sadapan yang bersebelahan. inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil peningkatan biomarka jantung

e. Diagnostik Sindrom Koroner Akut


1) Anamnesis
2) Pemeriksaan fisik
3) Pemeriksaan EKG
4) Pemeriksaan Biomarka jantung
5) Pemeriksaan Non- Invasif
6) Pemeriksaan Infasif (angiografi Koroner)
7) Pemeriksaan laboraturium
8) Pemeriksaan Foto dada polos

2. Precutaneous Coronary Intervention


a. Definisi
Primary Pecutaneous Coronary Intervention atau angioplasty coroner
atau tanpa pemasangan stent adalah terapi pilihan pada tata laksana STEMI
bila dapat dilakukan kontak door to balloon < 90 menit. PPCI dapat
dilakukan bila waktu onset keluhan kurang dari 12 jam dan waktu PPCI dari
kontak pertama dengan tenaga kesehatan kurang dari 120 menit (PERKI,
2020).

b. Indikasi dan Kontraindikasi (Ahmad, et. al., 2021)


1) Indikasi : pasien dengan ST Elevasi (STEMI) atau dengan gejala
iskemik kurang dari 12 jam
2) Kontraindikasi
a) Absolut
(1) Pasien yang tidak ingin dilakukan tindakan primary PCI dan
tidak mengkonsumsi terapi DAPT
(2) Pasien dengan risiko tinggi perdarahan (trombositopenia, ulkus
peptikum, severe coagulophaty)
(3) Pasien dengan multiple PCI restenosis
b) Relative
(1) Intoleransi penggunaan antiplatelet jangka panjang
(2) Riwayat penyakit ginjal stadium akhir
(3) Penyumbatan total pada pembuluh darah koroner
(4) Stenosis <50 %
(5) Ukuran arteri koroner <1,5mm

c. Prosedur Tindakan PCI


Persiapan Sebelum Tindakan PTCA atau PCI:
1) Melakukan pemeriksaan Laboratorium darah
2) Melakukan pemeriksaan EKG
3) Foto dada (rontgen)
4) Puasa selama 4 - 6 jam sebelum tindakan dilakukan, minum obat seperti
biasa
5) Mendapat penjelasan tentang prosedur Tindakan
6) Melakukan persetujuan tindakan (informed consent)
7) Dilakukan pemasangan infus pada bagian lengan tangan kanan/kiri

Perawatan Pasien Post PTCA dan PCI:


1) Pasien diperbolehkan makan/minum seperti biasa
2) Kaki area tindakan tidak boleh ditekuk selama 12 jam
3) Apabila tindakan dari lengan 4 jam setelah tindakan tangan, tidak boleh
ditekuk ataupun menggenggam
4) Bila tidak ada komplikasi atau kelainan lainnya, pada keesokan harinya
bisa diperbolehkan untuk pulang
5) Biasanya tindakan ini hanya diperlukan masa perawatan selama 3 hari.
Sehingga biasanya pasien sudah diperbolehkan pulang pada hari ketiga
(PJNHK, 2018).

d. Risiko Tindakan PTCA atau PCI


Risiko minor seperti memar pada pergelangan tangan atau pangkal paha
akibat penusukan, reaksi alergi terhadap kontras, dan gangguan fungsi ginjal
akibat zat kontras yang berlebihan. Komplikasi yang lebih serius seperti
stroke, gangguan irama yang fatal seperti VT/VF, Infrak Miokard, Diseksi
Aorta, dan kematian pada tindakan PCI atau PTCA biasanya kecil (< 1%).
Biasanya komplikasi lebih sering terjadi pada pasien dengan kondisi
penyakit yang berat, usia tua > 75 tahun, adanya penyakit penyerta seperti
ginjal dan kencing manis, penderita wanita, pompa jantung yang menurun,
serta penyempitan yang banyak dan berat. Sehingga banyak pasien yang
merasa takut, was- was, cemas dengan komplikasi tindakan tersebut
(PJNHK, 2018)

3. Kecemasan
a. Definisi
Menurut Nanda (2012), kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau
ketakutan yang disertai oleh respon autonom (penyebab sering tidak spesifik
atau tidak diketahui pada setiap individu) perasaan cemas tersebut timbul
akibat dari antisipasi diri terhadap bahaya. Kecemasan dapat diredakan
dengan penyedian informasi, termasuk informasi sensorik spesifik, informasi
tentang prosedur, efektif dalam menurunkan stress dan kecemasan pada
beberapa populasi. (Dr. H. Mardjan, M.Kes, 2016).
Kecemasan menurut Wilding and miln (2013) memili beberapa bentuk
berbeda, post traumatic stress disorder, kecemasan akan kesehatan, gangguan
obsessive compulsive disorder, fobia dan panik, semuanya berada dalam ruagn
lingkup gangguan kecemasan yang disebut dengan general anxiety disorder (GAD).
b. Gangguan gejala kecemasan
Rentang tingakt kecemasan dan karateristik kecemasan diketahui dari
gejala fisiologis, seperti perilaku, afektif dan kognitif. Rentang respon
kecemasan dari respon adaptif ke respon maladaptive dengan tingkatan
antisipasi ringan, sedang, berat, panik (Mohr, 2006; Stuart, 2013). Gangguan
gejala kecemasan menurut Shives, Mohr, Stuart (2013) sebagai berikut :
1) Gangguan fisiologis
Gangguan yang sering timbul apabila mengalami kesemasan. Gangguan
saraf simpatis seperti :

a) Pada anggota ekstresmitas, tangan gemetar, refleks meningkat

b) Pada daerah dada, pernafasan cepat, sulit bernapas, denyut nadi cepat,
jantung berdebar keras, tekanan darah naik

c) Seluruh badan lemah dan tidak napsu makan

d) Ganguan saraf parasimpatis seperti : Pada anggota ekstresmitas


tangan, kaki terasa gatal Daerah abdomen terasa mual

2) Gangguan perilaku :
Gangguan perilaku yang sering terlihat
a) Produktifitas kerja menurun, selalu waspada, merasa tidak mampu,
tidak percaya diri, banyak keluhan
b) Kontak mata waktu berbicara sering menghindar, rasa gelisah,
sering melakukan gerak yang tidak bermakna, insomnia
c) Sikap sering menyesal, mudah terdinggung, mudah takut, rasa
khawatir

3) Gangguan kognitif
Gangguan kognitif yang sering terjadi pada seseoran yang mengalami
kecemasan sebagai berikut :
a) Sering merasa binggung dalam kegiatan sehari- hari
b) Sering melamun atau merenungkan sesuatu
c) Mudah lupa, perhatianya terganggu da halangan berpikir
d) Cenderung menyalahkan orang lain, sulit berkonsentrasi,
kemampuan belajar dan menyelesaikan masalah menurun.

c. Indikator Kecemasan
Indikator kecemasan meliputi :
1) Kecemasan adalah emosional negatif yang dirasakan manusia,
munculnya perasaan dan pikiran yang tegang, biasanya disertai
dengan gejala detak jantung kencang, berkeringat, dan sesak
(Annisa & Ifdil, 2016) .
2) Rasa panik dan rasa takut merupakan bagian dari spek emosional,
sedangkan aspek mental atau kognitif yaitu timbulnya gangguan
terhadap perhatian, rasa kawatiir, ketidakteraturan dalam berpikir, dan
merasa binggung (Ghufron & Risnawita, 2014).
3) Kecemasan ditandai dengan gejala fisik, seperti : kegelisahan, anggota
tubuh bergetar, banyak berkeringat, sulit bernafas, jantung berdetak
kencang, merasa lemas, panas dingin, mudah marah atau tersinggung.
Gejala behavior seperti berperilaku menghindar dan terguncang, serta
gejala kognitif seperti : khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu
akan ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan, keyakinan
bahwa sesuatu yang menakutkan akan segera terjadi, ketakutan akan
ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, pikiran terasa bercampur
aduk atau kebingungan, sulit berkonsentrasi. Berdasarkan gejala-gejala
tersebut, kecemasan dikelompokkan menjadi kecemasan ringan, sedang,
berat dan panik (Resmani Asih, 2014).

d. Tingkat kecemasan
Tingkat kecemasan menurut Stuart dan Sudeen ( dalam Dr. H. Mardjan, M.Kes,
2016). Yaitu :
1) Cemas ringan merupakan perasan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan
membutuhkan perhatian khusus.
2) Cemas sedang merupakan perasaan yang mengganggu bahwa ada sesuatu
yang benar- benar berbeda, individu menjadi gugup atau agitasi.
3) Cemas berat dialami Ketika individu yakin bahwa ada sesuatu berbeda dan
ada ancaman. memperlihatkan respon takut dan distress. Ketika individu
mencapai tingkat tertinggi panik berat semua pemikiran rasional berhenti dan
individu tersebut mengalami respon fight, flight yakni kebutuna untuk pergi
secepatnya dan tidak dapat melaukan sesuatu.
4) Panik berhubungan dengan ketakutan dan terror, kanera mengalami
kehilangan kendali. Orang yang mengalami panik tidak mampu
mlakukan seuatu walaupun dengan pengarahan, panik melibatkan
disorganisasi kepribadian dengan panik terjadi peningkatan aktifitas
motoric, menurunnya kemapuan untuk berhubungan denga orang lain,
persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional.

Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi cemas/asnietas/ gangguan


kenyamanan pada pasien sebelum mendapat tindakan kateterisasi jantung
dapat di atasi dengan terapi farmakologi dan non farmakologi dalam
penelitian ini peneliti tertarik mencari tahu korelasi antara tingkat
kecemasan dan komunikasi terapeutik

4. Komunikasi terapeutik
a. Definisi
Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin yakni communication yang
artinya pemberitahuan atau pertukaran ide. Pemberitahuan atau pertukaran
ide dalam suatu proses komunikasi akan ada pembicara yang menyampaikan
pernyataan ataupun pertanyaan yang dengan harapan akan ada timbal balik
atau jawaban dari pendengarnya (Suryani, 2015). Terapeutik merupakan
suatu hal yang diarahkan kepada proses dalam memfasilitasi penyembuhan
pasien. Sehingga komunikasi terapeutik itu sendiri merupakan salah satu
bentuk dari berbagai macam komunikasi yang dilakukan secara terencana
dan dilakukan untuk membantu proses penyembuhan pasien.
Komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau keterampilan perawat
untuk membantu klien beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan
psikologis dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain.
Komunikasi dalam profesi keperawatan sangatlah penting sebab tanpa
komunikasi pelayanan keperawatan sulit untuk diaplikasikan.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara
sadar, tujuan dan kegiatannya difokuskan untuk menyembuhkan klien
(afnuhazi, 2015).
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses
penyembuhan klien (Depkes, 1997 dalam afnuhazi, 2015)

b. Prinsip dasar komunikasi terapeutik


Menurut Carl Rogers (1961) (dalam afnuhazi, 2015), prinsip- prinsip
komunikasi terapeutik meliputi, yaitu :
1) Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berati memahami nilai-
nilai yang dianut
2) Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling
percaya dan saling menghargai
3) Perawat harus menyadari pentinya kebutuhan klien baik fisik maupun
mental
4) Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan klien bebas
berkembanga tanpa rasa takut
5) Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan klien
memliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya
sehinggal tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi
6) Perawat harus mampu mengontrol perasaan sendiri secara bertahap
untuk mengatahui dan mengatasi perasan emosional seperti perasaan
gembira, sedih, marah, keberhasilan, maupun fustasi
7) Perawat harus mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat
mempertahankan konsistensinya
8) Perawat harus mampu memahami arti empati dan menggunakannya
sebagai tindakan yang teraputik dan mampu memahami arti simpati
yang bukan sebagai tindakan terapeutik
9) Perawat harus mampu memahami bahwa kejujuran dan komunikasi
terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik
10) Perawat harus mempu menjadi role model agar daoat meyakinkan
11) Perawat harus mampu mengungkapkan perasaan dan menyatakan sikap
yang jelas

c. Perbedaan kounikasi sosial dan terapeutik


Komunikasi teraputik berbeda secara spesifik dengan komunikasi sosial.
Komunikasi terapeutik dalan konteks hubungan saling membantu.
Sedangkan komunikasi sosial adalah komunikasi yang menginsyaratkan
bahwa komunikasi itu sangat penting untuk membangun konsep diri,
kelangsungan hidup, aktualisasi diri, untuk memperoleh kebahagiaan,
terhindar dari tekanan dan ketergantungan antara lain lewat komunikasi yang
menghibur, dan memupuk hubugnan dengan orang lain.

d. Tahapan komunikasi terapeutik


Tahapan komunikasi terapeutik meliputi :
1) Tahap pra interaksi
Adalah tahap dimana kontak pertama sebelum perawat dengan pasien
bertemu. Hal- hal yang dilakukan pada fase ini yaitu penetapan tahapan
hubungan dan rencana interaksi yaitu :
a) Mengekploasi perasaan, fantasi dan ketakuran diri
b) Menganalisi kekuatan professional diri dan keterbatasan
c) Mengumpulkan data tentang klien
d) Merencanakan untuk pertemuan pertama dengan klien

2) Tahap orientasi
Tahap ini dilakukan pada awal setiap pertemuan kedua hingga seterusnya.
Hal hal yang dilakukan perawat pada fase ini :
a) Memberi salam terapeutik
b) Memperkenalkan diri perawat
c) Menanykan nama klien
d) Menyepakati pertemuan
e) Menanyakan perasaan
f) Menyepakati masalah klien dan memberikan solusi
g) Menetapkan tujuan
h) Kontrak waktu dan tempat

Tugas utama perawat dalam tahap ini :

a) Mengidentifikassi mengapa klien mencari bantuan


b) Menyediakan kepercayaan, penerimaan dan komunikasi terbuka
c) Membuat kontrak timbal balik
d) Mengeplorasi perasaan klilen, pikiran dan tindakan
e) Mengidentifikasi masalah klien
f) Mengidentifikasi tujuan dengan klien

3) Tahap kerja
Tahap kerja merupakan tahap inti antara hubungan perawat dengan klien
yang terkait erat dengan pelaksaannya rencana suatu tindakan sesuai
dengan tujuan yang akan dicapai. Tugas utama perawat pada tahap kerja
yaitu :
a) Mengeksplorasi stressor yang sesusai atau relevan
b) Mendorong perkembangan klien dan pengguanaa mekanisme koping
kontruktif
c) Menangani tingakh laku uang dipertahankan klien

4) Tahap terminasi
Tahap terminasi adalah tahap terakhir dari setiap pertemua perawat dan
klien dalam komunikasi terapeutik. Terminasi dibagi menjadi 2 yaitu :
a) Terminasi sementara
Tahap ini merupakan akhir dari pertemuan perawat dan klien, akan
tetapi perawat akan bertemu lagi dengan klien pada waktu yang telah
ditentukan
b) Terminasi akhir
Tahap ini terjadi jika klien akan pulang dari rumah sakit atau perawat
tidak berdinas lagi dirumah sakit tersebut.
e. Teknik komunikasi terapeutik
Stuart dan sudeen menyatakan dalam sebuah komunikasi terapeutik dapat
menerapkan beberapa Teknik tertentu :
1) Menunjukan penerimaan
2) Mendengarkan penuh perhatian
3) Memberikan informasi
4) Diam
5) Memberi pujian
6) Memberi kesempatan klien memulai pembicaraan
7) Menanyakan pertanyaan yang berkaitan
8) Memfokuskan
9) Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
10) Memberikan kesempatan klien menguraikan persepsinya
11) Meringakas
12) Refleksi
13) Kenyataan observasi
14) Menempatkan kejadiaan secara beurutan
15) Mengulangi ucapan klien dengan kata- kata sendiri

B. Kerangka Teori

Pasien yang Terindikasi dilakukan


mengalami serangan Primary PCI
jantung (STEMI)

Mengalami kecemasan sebelum tindakan


Primary PCI yang berdampak pada
persetujuan dilakukan tindakan, hal ini dapat
mempengaruhi golden time door to ballon
(<90menit)

Salah satu Intervensi


keperawatan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi
kecemasan : komunikasi
terapeutik
C. Kerangka Konsep

Variable independent : Variable dependen :


Tingkat kecemasan Komunikasi terapeutik
BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

A. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat
kecemasan pasien Pre Primary PCI di RS jantung diagram tahun 2022
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran komunikasi terapeutik perawat pada pasien di RS
jantung diagram tahun 2022
b. Mengetahui gambaran tingkat kecemasan pada pasien di RS jantung
diagram tahun 2022
c. Mengetahui hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat
kecemasan pasien pre PPCI di RS jantung diagram tahun 2022

B. Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi Rumah Sakit
Dapat menjadi evaluasi dan bahan pertimbangan untuk lebih menerapkan
perhatian lebih bagi perawat dalam komunikasi terapeutik
2. Manfaat bagi Institusi Pendidikan
Institusi Pendidikan mendapatkan informasi pentingnya penerapan komunikasi
terapeutik dalam mengatasi kecemasan pasien yang akan dilakukan Tindakan
primary pci.
3. Manfaat bagi Peneliti
Manfaat penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan
ilmu keperawatan dalam hal komunikasi terapeutik dan dapat digunakan
sebagai landasan teori bagi peneliti selanjutnya.
BAB IV

METODE PENELITIAN

Pada bagian ini peneliti akan menguraikan mengenai jenis penelitian, sampel
penelitian, prosedur pengumpulan data, validitas dan reabilitas, pengolahan data sampai
kepada analisa data.

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis kuantitatif korelasi, dengan pendekatan Cross
sectional untuk mengetahui ada tidaknya korelasi antara tingkat kecemasan dan
komunikasi terapeutik pada pasien yang akan dilakukan Tindakan Primary PCI di
Rumah Sakit Jantung Diagram Siloam Cinere.

B. Prosedur Penelitian dan Tahapan Penelitian


1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RS jantung diagram. Waktu penelitian bulan
April - Agustus Tahun 2022

2. Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah pasien Primary PCI. Sampel dalam
penelitian ini adalah sebanyak 30 responden dengan teknik pengambilan sampel
menggunakan Total Sampling.

3. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 2 instrumen penelitian untuk
mengambil data yaitu kuesioner tingkat kecemasan yaitu Hamilton Anxiety
Rating Scale (HAM-A) versi Indonesia yang memiliki kriteria validitas baik dan
nilai reabilitas Cronbach’s alpha yaitu 0,756 ( Ramdan, 2019) dan Kuisioner
Komunikasi terapeutik dengan 10 pertanyaan yang memiliki kriteria validitas
baik dan nilai Cronbach’s alpha 0,976.
4. Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Tingkat Perasaan tidak nyaman Kuesioner Mengisi 1. Tidak ada Ordinal
kecemasan
atau ketakutan yang kuesioner gejala
disertai oleh respon 2. Gejala ringan
autonom (penyebab sering 3. Gejala sedang
tidak spesifik atau tidak 4. Gejala berat
diketahui pada setiap 5. Gejala berat
individu) perasaan cemas sekali
tersebut timbul akibat dari
antisipasi diri terhadap
bahaya
Komunikasi Komunikasi terapeutik Kuesioner Mengisi Ordinal
1. Baik
terapeutik kuesioner
adalah komunikasi yang 2. Cukup
perawat
direncanakan secara sadar, 3. Kurang
tujuan dan kegiatannya
difokuskan untuk
menyembuhkan klien

5. Prosedur Pengumpulan Data


Sumber data yang digunakan ialah data primer yang didapat di RS Jantung
Diagram. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini ialah sebagai
berikut:

a. Meminta surat izin pada bagian akademik Universitas Indonesia Maju


(UIMA) Jakarta.
b. Peneliti meminta izin kepada Direktur RS Jantung Diagram
c. Penelitian melakukan uji etik penelitian
d. Peneliti melakukan uji validitas
e. Peneliti memperkenalkan diri pada calon responden kemudian menjelaskan
maksud dan tujuan penelitian.
f. Responden menandatangani lembar persetujuan dan Responden mengisi
kuesioner
g. Responden mengisi kuisioner
h. Setelah Kuisioner di isi lalu di kumpulkan, apa bila ada kuisioner yang tidak
lengkap maka dapat dilengkapi secara langsung. Peneliti mengucapkan
terima kasih atas partisifasi responden dalam proses penelitiannya.

6. Alat Pengumpulan Data


Instrumen penelitian merupakan merupakan alat yang digunakan untuk
mengukur variabel dalam rangka mengumpulkan data. Dalam penelitian ini
instrumen penelitian atau alat yang digunakan untuk mengambil data yaitu
dengan menggunakan kuesioner.

7. Etika Penelitian
Etika penelitian tujuannya agar melindungi hak-hak responden pada
penelitian ini. Peneliti mengajukan permohonanan ijin penelitian kepada
Direktur RS Jantung Diagram serta respoden kemudian mengadakan
pendekatan dengan pihak responden sesuai dengan yang telah dikriteriakan.
Setelah mendapatkan calon responden maka selanjutnya diberikan penjelasan
bagaimana tujuan, prosedur serta manfaat penelitian dan juga memberikan
jaminan kerahasiaan responden. Apabila calon responden tersebut bersedia
menjadi responden, dipersilahkan untuk mengisi pernyataan dengan
tandatangan untuk persetujuan (informend consent). Sedangkan apabila tidak
bersedia maka peneliti tidak memaksakan responden.

8. Pengolahan Data
Sebelum melakukan analisis data, peneliti melakukan tahap pengolahan
data agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar.

a. Editing data

Dilakukan untuk menilai kelengkapan data berupa jawaban responden


yang sudah tekumpul.
b. Coding data

Meliputi data yang diperoleh pada setiap responden.

c. Scoring

Menilai dan memberikan skor jawaban responden yang sudah di


tentukan.
d. Entri data
Merupakan suatu proses memasukkan data ke dalam computer, untuk
selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan software statistic
untuk dapat digunakan dalam analisa univariat.
e. Cleaning

Suatu kegiatan pembersihan seluruh data agar terbebas dari kesalahan


sebelum dilakukan analisis data.

C. Analisis Data

1. Analisa univariat
Analisa univariat yaitu analisa deskriptif untuk mengetahui yang dilakukan
pada tiap-tiap variabel dari hasil penelitian sehingga menghasilkan distribusi
frekuensi dan presentase dari tiap variabel dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :

F
P= X 100 %
N

Keterangan :
P = Presentase jawaban

F = Frekwensi distribusi subjectif

N = Jumlah soal

2. Analisa bivariat
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji Chi Square dengan tingkat
kepercayaan 95% atau tingkat kemaknaan sebesar 5%. Bila nilai p-value ≤ 0.05
berarti hasil perhitungan statistik bermakna dan apabila p-value> 0.05 berarti
hasil perhitungan statistik tidak bermakna.
DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi I (2014). Infark miokard akut dengan elevasi ST. Dalam: Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II.
Jakarta: Interna Publishing, pp. 1457-1459.
2. Annisa, D. F., & Ifdil, I. (2016). Konsep Kecemasan (Anxiety) pada Lanjut Usia
(Lansia). Konselor , 5 (2), 93. h ttps://doi.org/10.24036/0201 6526480 - 0 - 00 .

3. Afnuhazi, Ns.Ridhyalla. 2015. Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa.


Yogyakarta: Gosyen Publishing.
4. Ahmad, M. (2021). Percutanoeus Coronary Intervention. Retrieved from NCBI:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK556123/
5. Amsterdam EA, Wenger NK, Brindis RG, Casey DE, Ganiats TG, Holmes DR,
Jaffe AS, et al. (2014). 2014 AHA/ACC Guideline for the management of patients
with non-ST-Elevation acute coronary syndromes : A report of the american college
of cardiology/american heart association task force on practice guidelines. Journal
of the American College of Cardiology 64(24): pp. 139-228
6. Cannon CP, Brindis RG, Chaitman BR, Cohen DJ, Thomas J (2013). 2013
ACCF/AHA key data elements and definitions for measuring the clinical
management and outcomes of patients with acute coronary syndromes and
coronary artery disease: A report of the american college of cardiology
foundation/american heart association task force on clinical data standards
(writing committee to develop acute coronary syndromes and coronary artery
disease clinical data standards). Circulation, 127: 1052-1089.
7. Dr. H. Mardjan, M.Kes · (2016). Pengaruh kecemasan pada kehamilan primipara remaja.
ISBN: 9786023960750, 6023960758
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata laksana
Sindrom Koroner Akut 2015. Jakarta : Centra Comunnication; 2014
9. Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. (2021). Program Rehabilitasi Jantung Sebagai
Implementasi Sekunder Pada Pasien Pasca STEMI Pasca PCI. Retrieved from
PJNHK: https://pjnhk.go.id/artikel/program-
10. Resmaniasih 2014 (http://eprints.uny.ac.id) [04 Januari 2017]
11. Warsini. 2016. Journal Ners dan kebidanan Indonesia 3(2);96
DOI:10.21927/jnki.2015. 3 (2).96-102

Anda mungkin juga menyukai