Anda di halaman 1dari 20

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan

1. Defenisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui

panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari mata dan telinga.

Pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk tindakan seseorang

(Suparyanto, 2012).

Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah

orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan

terhadap objek terjadi melalui panca indera manusia yakni penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. Pada waktu

penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi

oleh intensitas perhatian persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga. (Notoatmodjo, 2003 dalam

Wawan dkk, 2011).


8

2. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif menurut mempunyai 6

tingkat (Notoatmodjo, 2003 dalam Wawan dkk, 2011), yakni :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai sesuatu kemampuan menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi

tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi

terus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,

meramalkan dan sebagainya terhadap suatu objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di

sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,

metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
9

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu

struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintetis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.evaluasi dilakukan dengan

menggunakan kriteria sendiri atau kriteria yang telah ada.

3. Kriteria Pengetahuan

Penilaian-penilaian didasarkan pada suatu kriteria yang di tentukan

sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat

membandingkan antara anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan

gizi. Menurut Nursalam (2008) (dalam Suparyanto, 2012) kriteria untuk

menilai dari tingkatan pengetahuan menggunakan nilai:

a. Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai 76-100%

b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai 56-75%.

c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai ≤ 56%.


10

4. Cara Memperoleh Pengetahuan (Notoatmodjo, 2003 dalam Wawan dkk,

2011):

a. Cara kuno untuk memperoleh pengetahuan:

1) Cara coba-salah (trial and error).

2) Cara kekuasaan atau otoritas.

3) Berdasarkan pengalaman pribadi

b. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan:

Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih popular atau

disebut metodologi penelitian. Cara ini mula – mula dikembangkan oleh

Francis Bacon (1561-1626), kemudian dikembangkan oleh Deobold Van

Daven. Akhirnya lahir suatu cara untuk melakukan penelitian yang dewasa

ini kita kenal dengan penelitian ilmiah.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan (Suparyanto, 2012) :

a. Faktor Internal:

1) Pendidikan

Tokoh pendidikan abad 20 M. J. Largevelt mendefinisikan bahwa

pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan

yang diberikan kepada anak yang tertuju kepada kedewasaan.

Sedangkan GBHN Indonesia mendefinisikan lain, bahwa pendidikan

sebagai suatu usaha dasar untuk menjadi kepribadian dan kemampuan

didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup.


11

2) Minat

Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang

tinggi terhadap sesuatu dengan adanya pengetahuan yang tinggi

didukung minat yang cukup dari seseorang sangatlah mungkin

seseorang tersebut akan berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan.

3) Pengalaman

Pengalaman adalah suatu peristiwa yang dialami seseorang,

Mengatakan bahwa tidak adanya suatu pengalaman sama sekali. Suatu

objek psikologis cenderung akan bersikap negative terhadap objek

tersebut untuk menjadi dasar pembentukan sikap pengalaman pribadi

haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih

mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut dalam situasi

yang melibatkan emosi, penghayatan, pengalaman akan lebih mendalam

dan lama membekas.

4) Usia

Usia individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang

tahun. Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang

akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan

masyarakat seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari pada

orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat

dari pengalaman dan kematangan jiwanya, makin tua seseorang maka


12

makin kondusif dalam menggunakan koping terhadap masalah yang

dihadapi.

b. Faktor External, antara lain :

1) Ekonomi

Dalam memenuhi kebutuahan primer ataupun sekunder, keluarga

dengan status ekonomi baik lebih mudah tercukupi disbanding dengan

keluarga dengan status ekonomi rendah, hal ini akan mempengaruhi

kebutuhan akan informasi termasuk kebutuhan sekunder. Jadi dapat

disimpulkan bahwa ekonomi dapat mempengaruhi pengetahuan

seseorang tentang berbagai hal.

2) Informasi

Informasi adalah keseluruhan makna, dapat diartikan sebagai

pemberitahuan seseorang adanya informasi baru mengenai suatu hal

memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap

hal tersebut. Pesan-pesan sugestif dibawa oleh informasi tersebut

apabila arah sikap tertentu.Pendekatan ini biasanya digunakan untuk

menggunakan kesadaran masyarakat terhadap suatu inovasi yang

berpengaruh perubahan perilaku, biasanya digunakan melalui media

massa.

3) Kebudayaan/Lingkungan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh

besar terhadap pengetahuan kita. Apabila dalam suatu wilayah


13

mempunyai budaya untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan maka

sangat mungkin berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi atau

sikap seseorang.

B. Tinjauan Umum Tentang Bantuan Hidup Dasar

1. Perkembangan Bantuan Hidup Dasar (BHD)

Basic life support atau bantuan hidup dasar (BHD) sudah sering diperkenalkan

dalam situasi kegawatdaruratan. Dalam perkembangannya, metode BHD selalu mengalami

penyempurnaan. BHD sangat bermanfaat bagi penyelamatan kehidupan mengingat

dengan pemberian sirkulasi dan napas buatan secara sederhana, BHD memberikan

asupan oksigen dan sirkulasi darah ke sistem tubuh terutama organ yang sangat

vital dan sensitif terhadap kekurangan oksigen seperti otak dan jantung.

Berhentinya sirkulasi beberapa detik sampai beberapa menit, asupan oksigen ke dalam otak

terhenti, terjadi hipoksia otak yang yang mengakibatkan kemampuan koordinasi

otak untuk menggerakkan organ otonom menjadi terganggu, seperti gerakan

denyut jantung dan pernapasan (Muchtar, 2011).

Penyelamatan ini akan sangat bermanfaat jika dilakukan sesegera mungkin dan sebaik

mungkin. Lebih baik ditolong, walupun tidak sempurna dari pada dibiarkan tanpa

pertolongan. Pada saat henti napas, kandungan oksigen dalam darah masih

tersediasedikit, jantung masih mampu mensirkulasikannya ke dalam organ

penting, terutamaotak, jika pada situasi diberi bantuan pernapasan, kebutuhan

jantung akan oksigen untuk metabolisme tersedia dan henti jantung dapat

dicegah (Muchtar, 2011).


14

Tabel 1
Peluang Keberhasilan (Hidup) Terhadap Keterlambatan BHD

Keterlambatan BHD Peluang Keberhasilan (Hidup)

1 menit 98 dari 100 korban

3 menit 50 dari 100 korban

10 menit 1 dari 100 korban

Sumber: American Heart Assocation 2010

Kasus-kasus penyebab terjadinya henti jantung dan henti napas dapat

terjadi kapan saja,dimana saja dan pada siapa saja. Contoh kasusnya antara

lain adalah tenggelam, stroke,obstruksi jalan napas, menghirup asap, kercunan

obat, tersengat listrik, tercekik, trauma, MCI (myocardial infarction ) atau

gagal jantung, dan masih banyak lagi. Kondisi di atas ditandai dengan tidak

terabanya denyut nadi karotis dan tidak adanya gerakan napas dada.

Ketika American Heart Assocation (AHA) menetapkan pedoman resusitasi

yang pertamakali pada tahun 1966, resusitasi jantung paru (RJP) awalnya “A-B-C” yaitu

membuka jalan nafas korban (Airway), memberikan bantuan napas (Breathing)

dan kemudian memberikan kompresi dinding dada (Circulation). Namun,

konsekuensinya berdampak pada penundaan bermakna (kira-kira 30 detik)

untuk memberikan kompresi dinding dada yang dibutuhkan untuk

mempertahankan sirkulasi darah yang kaya oksigen.


15

Dalam 2010 American Heart Association Guidelines for

Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care , AHA

menekankan fokus bantuan hidup dasar pada:

a. Pengenalan segera pada henti jantung yang terjadi tiba-tiba

(immediate recognition of sudden cardiac arrest).

b. Aktivasi sistem respons gawat darurat (activation of emergency response

system).

c. Resusitasi jantung paru sedini mungkin (early cardiopulmonary

resuscitation).

d. Segera defibrilasi jika diindikasikan (rapid defibrilation if indicated).

Dalam AHA Guidelines 2010 ini, AHA mengatur ulang langkah – langkah

RJP dari “A-B-C” menjadi “C-A-B” pada dewasa dan anak, sehingga

memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada dengan segera.

Sejak tahun 2008, AHA telah merekomendasikan bagi penolong tidak terlatih

(awam) yang sendirian melakukan (Hands Only CPR) atau RJP tanpa

memberikan bantuan napas pada korban dewasa yang tiba-tiba kolaps

(Muchtar, 2011).

Setiap orang dapat menjadi penolong pada korban yang tiba – tiba

mengalami henti jantung. Keterampilan RJP dan penerapannya bergantung

pada pelatihan yang pernah dijalani, pengalaman dan kepercayaan diri

penolong. Kompresi dada merupakan fondasi RJP sehingga setiap penolong


16

baik terlatih maupun tidak, harus mampu memberikan kompresi dada pada

setiap korban henti jantung (Muchtar, 2011).

Karena pentingnya, kompresi dada harus menjadi tindakan prioritas

pertama setiap korban dengan usia berapapun Penolong yang terlatih, harus

memberikan kompresi dada yang dikombinasikan denganventilasi (napas

bantuan). Sedangkan penolong yang telah sangat terlatih diharapkanbekerja

secara bersama-sama dalam bentuk tim dalam memberikan ventilasi dan

kompresi dada (Muchtar, 2011).

Pedoman baru ini juga berisi rekomendasi lain yang didasarkan pada

bukti yang telah dipublikasikan, yaitu (Muchtar, 2011):

a. Pengenalan segera henti jantung tiba – tiba (suddent cardiact arrest )

didasarkan pada pemeriksaan kondisi unresponsive dan tidak adanya

napas normal (seperti, korban tidak bernapas atau hanya gasping /

terengah – engah). Penolong tidak boleh menghabiskan waktu lebih dari

10 detik, maka dianggap tidak ada nadi dan RJP harus dimulai atau

memakai AED (automatic external defibrilator ) jika tersedia.

b. Perubahan pada RJP ini berlaku pada korban dewasa, anak dan bayi tapi

tidak pada bayi baru lahir.

c. “look, listen and feel” telah dihilangkan dari algoritme bantuan hidup

dasar.- Jumlah kompresi dada setidaknya 100 kali per menit- Penolong terus

melakukan RJP hingga terjadi return of spontaneous circulation (ROSC).


17

d. Kedalaman kompresi untuk korban dewasa telah diubah dari 1 ½ - 2 inchi

menjadi sedikitnya 2 inchi (5 cm)

e. Peningkatan fokus untuk memastikan bahwa RJP diberikan dengan high-

quality didasarkan pada

1) Kecepatan dan kedalaman kompresi diberikan dengan adekuat dan

memungkinkan full chest recoil antara kompresi.

2) Meminimalkan interupsi saat memberikan kompresi dada

3) Menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan

2. Tujuan BHD

Tujuan dari BHD adalah (Muchtar, 2011):

a. Mencegah berhentinya sirkulasi darah atau berhentinya pernapasan

b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi (melalui kompresi dada) dan

ventilasi (melalui bantuan napas penolong) dari pasien yang mengalami henti

jantungatau henti napas melalui rangkaian kegiatan Resusitasi Jantung

Paru (RJP).

3. Rangkaian (Sekuens) Bantuan Hidup Dasar

Rangkaian bantuan hidup dasar pada dasarnya dinamis, namun sebaiknya tidak ada langkah

yang terlewatkan untuk hasil yang optimal. Berikut ini adalah algoritma bantuan hidup

dasar berdasarkan American Heart Association Guidelines

for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovacular

Care (2010) yaitu (Muchtar, 2011):


18

Korban
ditemuka
n

Cek respon korban

Tidak ada respon (unresponsive)Tidak bernapas atau


tidak bernapas normal (hanya gasping/terengah-engah)

Cek nadi : Pastikan nadi Beri 1 napas tiap 5 - 6 detik


dalam 10 detik Cek ulang tiap 2 menit

Mulai siklus 30 KOMPRESI dan 2


NAPAS

AED / defibrilator datang

Rekam irama jantung, apakah bisa


didefibrilasi atau tidak ?

Berikan 1 shock Segera lanjutkan RJP selama 2 menit


Segera lanjutkan RJP Cek irama setiap 2 menit, sampai
timdengan alat lebih lengkap datang.
untuk 5 siklus

Gambar 1 : Algoritma BHD Berdasarkan AHA Guidelines For Cardiopulmonary


Resuscitation And Emergency Cardiovasicular Care 2010.
19

a. Respon

Pastikan situasi dan keadaan pasien dengan memanggil nama/sebutan yang

umum dengan keras disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan

mantap. Prosedur ini disebut sebagai teknik “touch and talk” . Hal ini cukup untuk

membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk bereaksi. Jika tidak

ada respon, kemungkinan pasien tidak sadar.

Terdapat tiga level tingkat kesadaran, yaitu:

1) Sadar penuh: sadar, berorientasi baik terhadap diri, waktu dan tempat.

2) Setengah sadar: mengantuk atau bingung/linglung.

3) Tidak sadar: tidak berespon

Jika pasien berespon

Tinggalkan pada posisi dimana ditemukan dan hindari kemungkinan resiko cedera lain

yang bisa terjadi. Analisa kebutuhan tim gawat darurat.

1) Jika sendirian, tinggalkan pasien sementara, minta bantuan

2) Observasi dan kaji ulang secara regular.

Jika pasien tidak berespon

1) Berteriak minta tolong

2) Atur posisi pasien

Sebaiknya pasien terlentangpada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan

tidakdalam posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik “log roll’, secara

bersamaan kepala, leher dan punggung digulingkan.


20

3) Atur posisi penolong

Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar secara efektif dapat memberikan

resusitasi jantung paru (RJP).

4) Cek nadi karotis

a) AHA Guideline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai

mekanisme untuk menilai henti jantung karena penolong sering mengalami

kesulitan mendeteksi nadi. Jika dalam lebih dari 10 detik nadi karotis sulit dideteksi,

kompresi dada harus dimulai.

b) Penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis

Anggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bernapas atau

bernapas tapi tidak normal (hanya gasping).

b. Circulation (Sirkulasi)

Compressions

Bila tidak ada nadi

1) Mulai lakukan siklus 30 kompresi dan 2 ventilasi

a) Lutut berada di sisi bahu korban

b) Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpupada kedua tangan

c) Letakkan salah satu tumit telapak tangan pada ½sternum, diantara 2

putting susu dan telapaktangan lainnya di atas tangan pertama dengan

jarisaling bertaut atau dua jari pada bayi ditengahdada

d) Tekan dada lurus ke bawah dengan kecepatansetidaknya 100x/menit

(hampir 2 x/detik)
21

2) AHA Guideline 2010 merekomendasikan :

a) Kompresi dada dilakukan cepat dan dalam (push and hard)

b) Kecepatan adekuat setidaknya 100 kali/menit

c) Kedalaman adekuat

(1) Dewasa : 2 inchi (5 cm), rasio 30 : 2 (1 atau 2penolong)

(2) Anak : 1/3 AP (± 5 cm), rasio 30 : 2 (1penolong) dan 15 : 2 (2

penolong)

(3) Bayi : 1/3 AP (± 4 cm), rasio 30 : 2 (1 penolong)dan 15 : 2 (2

penolong)

d) Memungkinkan terjadinya complete chest recoil atau pengembangan dada

seperti semula setelahkompresi, sehingga chest compression time sama

dengan waktu relaxation/recoil time.

c. Airway (Jalan Napas)

Pastikan jalan napas terbuka dan bersih yang memungkinkan pasien

dapat bernapas.

Bersihkan jalan napas

1) Amati suara napas dan pergerakan dinding dada.

2) Cek dan bersihkan dengan menyisir rongga mulutdengan jari, bisa dilapisi

dengan kasa untuk menyerapcairan.

3) Dilakukan dengan cara jari silang (cross finger) untuk membuka mulut.
22

Membuka jalan napas

Secara perlahan angkat dahi dan dagu pasien (Head tilt & Chin lift) untuk buka

jalan napas

1) Head Tilt & Chin Lift

a) Membaringkan korban terlentang pada permukaan yang datar dan

keras

b) Meletakkan telapak tangan pada dahi pasien

c) Menekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan

d) Meletakkan ujung jari telunjuk dan jari tengah dari tangan lainnya di bawah

bagian ujung tulang rahang pasien.

e) Menengadahkan kepala dan menahan/menekan dahi pasien secara bersamaan

sampai kepala pasien pada posisi ekstensi

2) Jaw Trust

a) Membaringkan korban terlentang pada permukaan yang datar dan keras

b) Mendorong ramus vertikal mandibula kiri dan kanan ke depan sehingga

barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas.

c) Menggunakan ibu jari masuk ke dalam mulut korban dan bersama dengan jari-

jari yang lain menarik dagu korban ke depan, sehingga otot-otot penahan lidah

teregang dan terangkat

d) Mempertahankan posisi mulut pasien tetap terbuka.


23

Ambil benda apa saja yang telihat

1) Pada bayi, posisi kepala harus normal

2) Cek tanda kehidupan: respon dan suara napas

3) Jangan mendongakkan dahi secara berlebihan,secukupnya untuk membuka

jalan napas, karena bisaberakibat cedera leher.

4) AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk :

a) Gunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien

tanpa ada trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12 - 3,7% mengalami cedera

spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien mengalami cedera

kraniofasial dan/atau GCS <8.

b) Gunakan jaw thrust jika suspek cedera servikal.

c) Pasien suspek cedera spinal lebih diutamakan dilakukan restriksi manual

(menempatkan 1 tangan di tiap sisi kepala pasien) dari pada

menggunakan spinal immobilization devices karena dapat mengganggu

jalan napas tapi alat ini bermanfaat mempertahankan kesejajaran spinal

selama transportasi.

Jalan Napas Tersumbat

1) Miringkan pasien ke salah satu sisi

2) Keluarkan apa saja objek yang terlihat dalam mulut

a) Ambil gigi/palsu yang lepas

b) Tinggalkan gigi palsu yang utuh pada tempatnya.


24

Jalan Napas Bersih

1) Pertahankan jalan napas terbuka dan cek adanya pernapasan normal

2) Jika dalam beberapa menit terdengar suara seperti gurgling, atau batuk dengan

pergerakan dada dan abdomen, perlakukan tetap seperti tidak bernapas,

karena pernapasan ini tidak efektif.

Pemasangan Oro-pharingeal Airway (OPA)

1) Ukuran umum yang tersedia :

a) Dewasa besar = 100 cm (Guedel no. 5)

b) Dewasa sedang = 90 cm (Guedel no. 4)

c) Dewasa kecil = 80 cm (Guedel no. 3)

d) Anak-anak = Guedel no. 1 dan no. 2

2) Cara pemasangan

a) Menentukan ukuran OPA yang tepat bagi pasien dengan meletakkan

OPA disamping pipi pasien dan memilih OPA yang panjangnya sesuai

dari sudut mulut hingga ke sudut rahang bawah (angulus mandibulae)

b) Memasang alat, terdapat 2 cara :

(1) Cara pertama

(a) Membuka mulut dan memasukkan OPA terbalik

(b) Memutar/merotasi OPA jika telahmencapai palatum molleb.

(2) Cara kedua Membuka mulut dengan spatel

(a) Dengan hati-hati memasukkan OPA hingga ke belakang.


25

(b) Pada anak-anak, sebaiknya memakai cara ini, karena rotasi dapat

menyebabkan patahnya gigi dan kerusakan faring.

c) Mengecek ketepatan pemasangan OPA dengan memberikan ventilasi

pada pasien. Jika pemasangan tepat akan tampak pengembangan dada dan

suara napas terdengar melalui auskultasi paru dengan stetoskop

selama ventilasi.

d. Breating (Pernapasan)

1) Jika pasien bernapas

a) Gulingkan ke arah recovery position

b) Observasi secara regular

2) Jika tidak bernapas

a) Berikan 2 x napas buatan

3) Mulut ke mulut/hidung

a) Tutup hidung pasien

b) Tiup ke dalam mulut pasien sekitar 1 detik

c) Lihat adanya pengembangan dada pada tiap tiupan

d) Beri tiupan yang kedua

e) Bila melalui hidung, mulut pasien harus ditutup

4) Bag Valve Mask

a) Bisa digunakan secara efektif bila penolong minimal berdua

b) Oksigen dapat diberikan hingga 85% kapasitas reservoir

c) Prosedur :
26

(1) Memilih ukuran mask yang sesuai dengan pasien dan memasangnya pada

wajah pasien.

(2) Menghubungkan bag dengan mask, jika belum tersambung

(3) Meletakkan bagian yang menyempit (apeks) dari masker di atas

batang hidung pasien dan bagian yang melebar (basis) diantara bibir bawah

dan dagu.

(4) Menstabilkan masker pada tempatnya dengan ibu jari dan jari telunjuk

membentuk huruf “C”.

(5) Menggunakan jari yang lainnya pada tangan yang sama untuk

mempertahankan ketepatan posisi kepala dengan mengangkat dagu

sepanjang mandibula dengan jari membentuk huruf “E”.

(6) Memberikan ventilasi dengan mengempiskan bag dengan

menggunakan tangan lainnya.

(7) Mengobservasi pengembangan dada pasien selama melakukan ventilasi.

Anda mungkin juga menyukai