Anda di halaman 1dari 13

NEFRITIS LUPUS I Gde Raka Widiana* & Ketut Suwitra** Bagian Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar __________________________________________

PENDAHULUAN. Definisi: Lupus eritematosis sistemik (LES) merupakan penyakit yang diperantarai olek kompleks imun dan ditandai dengan gangguan multisistem. Penyakit ini ditandai dengan terlibatnya berbagai organ dengan bukti-bukti laboratorik proses otoimun yang dimanifestasikan oleh adanya antibodi terhadap DNA. Salah satu organ penting yang terlibat adalah ginjal yang dikenal dengan nefritis lupus (NL) Definisi klinis NL LES yang disertai dengan proteinuria, sedimen urin, dan fungsi ginjal abnormal. Epidemiologi: NL klinis dilaporkan antara 39-90% dari kasus LES. Berdasarkan biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, NL dilaporkan pada hampir 90% kasus LES. Terlibatnya ginjal pada penyakit LES menyababkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan khsusnyqa dalam 3 tahun pertama setelah diagnosis LES serta terkait dengan menurunnya tingkat kelangsungan hidup 10 tahun (10 year survival rate), yakni 62%. NL merupakan penyebab kematian utama dari penderita LES. PATOGENESIS DASAR NEFRITIS LUPUS. Dasarnya patogenesis: mekanisme otoimun dengan reaksi antigen-antibodi Prinsipnya reaksi imun yang terjadi adalah akibat adanya antibodi terhadap inti sel dan komponen inti sel lainnya, khususnya DNA alamiah Reaksi imun terhadap inti sel dapat ditunjukkan dengan adanya anti nuclear antibody (ANA), anti ds (double-stranded), anti histon (anti H1, H2B, dan H2A, antibodi anti-Smith (anti-Sm), anti-Ro dan anti La Komplemen khususnya C3 dan C4, gen HLA klas II dari penderita. Reaksi jaringan ginjal yang antara lain merupakan reaksi inflamasi berpengaruh dalam terjadinya NL. Endapan komplek imun ( sirkulasi maupun in situ ) mengaktifkan komplemen dan menarik sel-sel radang. Sel ini mengeluarkan sitokin dan berbagai mediator radang, terjadi rangkaian atau kaskade koagulasi, proliferasi sel (ringan sampai yang terberat (bentuk bulan sabit atau kresen).

DETEKSI NEFRITIS LUPUS

Adanya LES berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association) 1982. Adanya bukti keterlibatan ginjal ditemukannya 1) proteinuria persisten >0,5 g per hari atau >3+ ; atau 2) silinder sel aktif seperti sel eritrosit, hemoglobin, granuler, tubuler, atau campuran Secara klinik diagnosis LES berdasarkan kriteria ARA ini tidak selalu segera dapat dipenuhi. kecuali pada kasus yang berat. Umumnya diagnosis tersebut baru dapat ditegakkan dalam perjalanan waktu observasi. Selain itu manifestasi LES sangat bervariasi sehingga beberapa penulis menganjurkan diagnosis LES secara longitudinal obsevasional . Demikian juga, manifestasi keterlibatan ginjal (NL) sangat bervariasi, mulai tanpa gejala, proteinuria dan/atau hematuria, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik, sindroma nefritik akut dan sindroma nefrotik Pemeriksaan lab: kadar kreatinin serum (laju filtrasi glomerulus), kadar komplemen serum dan proteinuria memberikan nilai prediktif untuk kecenderungan gagal ginjal terminal, sehingga hasil pemeriksaan positif sering menunjukkan keadaan yang terlambat. Biopsi ginjal: Dikerjakan bila dijumpai kelainan pada urinalisis. Lesi ginjal dapat diklasifikasikan berdasar kriteria WHO. Kriteria ini dipakai secara luas untuk mengevaluasi prognosis dan efek terapi. Klasifikasi ini dapat dibagi menjadi 5 yaitu 1. Klas I. Dengan mikroskop cahaya (MC), mikroskop imunofluresen (MI) dan dengan mikroskop elektron (ME) jaringan ginjal tampak normal; Secara klinis tidak dijumpai penyakit ginjal, kecuali kadang-kadang hasil urinalisis yang abnormal. Klas II. (Glomerulonefritis mesangial). Klas IIa. Dengan MC tidak dijumpai kelainan, namun dengan MI dan ME dijumpai endapan komplek imun. Klas IIb. Dijumpai peningkatan selularitas mesangium yang biasanya tanpa disertai kelainan tubulointerstitial. Secara klinik klas II ini dapat dijumpai proteinuria ringan samapi sedang yang disertai sedimen aktif pada urin. Klas III (glomerulonefritis proliferatif-fokal). Dijumpai proliferasi sel dan lesi lain seperti pada klas IV, namun mengenai daerah glomerulus kurang dari 50%. Diduga klas III ini dapat berkembang menjadi klas IV. Secara klinik dapat berupa proteinuria atau dijumpai sedimen aktif pada urin. Klas IV (glomerulonefritis proliferatif-difus). Lebih dari 50% dari daerah glomerulus terkena. Dijumpai proliferasi sel, sering dijumpai bentuk bulan sabit (kresen), karyoheksis inti sel, infiltrasi leukosit, nekrosis fibrinoid dan trombi hialin. Endapan komplek imun dijumpaidi daerah subendotelial dan mesangial. Secara klinik dapat berupa nefritis akut dengan sedimen urin aktif dan/atau sindroma nefrotik. Klas V (glomerulonefritis membranus). Dijumpai penebalan difus membrana, dengan jaringan mesangium yang prominen. Endapan dijumpai intramembranus dan epimembranus serta di jaringan mesangium. Secara klinik dapat berupa sindroma nefrotik atau proteinuria berat. Beberapa peneliti melaporkan gambaran histopatologik NL ini.

Sidabutar (1995) melaporkan 3,8% klas I, 7,7% klas II, 3,8% klas III, 53,8% klas IV, 19,2% klas V, dan 11,5% campuran klas IV dan V Ongajyooth et al. (1994) melaporkan klas II 15,6%, klas III 6,7%, klas IV 61,5%, klas V 6,7%, dan campuran klas IV dan V 4,4%. Perubahan kresentik dijumpai pada 46,6% dari kasus laki-laki, perubahan tubulointerstitial sedang dan berat dijumpai pada 77,3% kasus laki-laki Feng & Boey (1982) melaporkan klas I 14%, klas II 19%, klas III 7%, klas IV 36%, dan klas V 24% Golbus dan McCune (1994) melaporkan klas I 1,4%, klas II 20%, klas III 25%, klas IV 37%, klas V 13%. Tampaknya seluruh laporan menunjukkan klas V memiliki distribusi terbesar.

Gambaran histopatologik (untuk prognosis), harus ditentukan indkes kronisitas dan aktifitas Cara yang sering dipakai adalah membuat skor 0 sampai 20 dengan menjumlahkan skor setiap petanda yang dinilai antara 0 sampai 3 17, 25. Indeks aktifitas dan kronisitas ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Indeks aktifitas dan kronisitas pada nefritis lupus ________________________________________________________________ Indeks Aktifitas # Indeks Kronisitas@ ________________________________________________________________ Kelainan glomerular 1. Proliferasi seluler 2. Nekrosis fibrinoid, karyoheksis* 3. Kresen seluler* 4. Trombi hialin, wire loops 5. Infiltrasi leukosit Kelainan tubulointerstitial 1. Infiltrasi sel mononukler 1. Sklerosis glomeruler 2. Kresen fibrus

1. Fibrosis interstitial 2. Atrofi tubuler ________________________________________________________ Masing-masing lesi diskor 0 sampai 3 (negatif, ringan, sedang, berat), * skor dikalikan 2, # petanda aktifitas > 12 berarti aktifitas tinggi, @ petanda aktifitas > 4 berarti tidak reversibel TERAPI DAN EVALUASI NEFRITIS LUPUS Terapi NL Umum Menghindari sinar matahari langsung. Aktifitas penderita disesuaikan dengan keadaan penyakit. Untuk penderita dengan nefritis akut dengan hipertensi berat diperlukan istirahat. Penderita NL yang relatif tenang yang hanya mengalami proteinuria dan mendapat obat steroid dosis rendah dapat bekerja sebagai biasa.

Sedapat mungkin dihindari pekerjaan yang memungkinkan ditulari infeksi. Diet dan aturan makan disesuaikan dengan keadaan umum dan keterlibatan organ. Pengelolaan komplikasi NL seperti hipertensi, edema dan gagal ginjal mengikuti prinsip-prinsip yang lazim. Yang perlu diperhatikan, jenis obat antihipertensi hidralasin sebaiknya dihindari.

Spesifik Masih kontroversial, namun beberapa prinsip dapat dipergunakan. Respons terapi spesifik dengan imunosupresif sangat baik pada stadium awal penyakit, dengan demikian jendela terapitik ini jangan dilewatkan begitu saja. Terapi NL seyogyanya didasarkan pada hasil biopsi ginjal dengan prinsip sebagai berikut: 1. NL dengna WHO klas II dan WHO klas V umumnya tidak memerlukan terapi agresif atau terapi jangka panjang. Penderita ini cukup mendapat terapi kortikosteroid jangka pendek yang menghasilkan remisi jangka panjang. Khususnya klas V memiliki prognosis cukup baik. Kelangsungan ginjal (renal survival) 10 tahun dilaporkan sebesar 93% 2. NL dengan WHO klas III dan khususnya bila lebih dari 50% glomeruli terkena (WHO klas IV) memiliki prognosis jelek. Kedua kelompok ini harus mendapat terapi agresif. 3. NL dengan WHO klas VI (glomerulosklesrosis >80%) , pendapat untuk memberikan terapi agresif yang bertujuan mencegah gagal ginjal terminal tidak memiliki dasar yang kuat, khususnya pada biopsi dengan indeks kronisitas lebih dari 3 poin. Terapi subsitusi dengan dialisis atau transplantasi ginjal pada penderita NL yang telah mengalami gagal ginjal terminal memberikan prognosis cukup baik. Kelangsungan hidup 5 tahun penderita NL sekitar 80-90 tahun dengan dialisis atau transplatasi ginjal. Kelangsungan hidup ini hampir sama dengan penderita NL tanpa gagal ginjal terminal. Pada NL dengan gagal ginjal terminal, aktivitas penyakit biasanya menurun atau hilang, sehingga terapi imunosupresi dapat dihentikan

Jenis rejimen Steroid, azatioprin, siklofosfamid oral atau intravena atau bolus, dan siklosporin. Khususnya untuk NL klas IV beberapa penulis menganjurkan siklofosfamid denyut intravena. Sidabutar et al. menganjurkan pemberian prednison 1mg/kg BB/hari selama 2 minggu, kemudian diturunkan pelan-pelan secara tapering setiap bulan dan dipertahankan dosis 12 mg/hari dikombinasi dengan bolus IV siklofosfamid 10 mg/kg BB setiap 4 minggu sebanyak 6 kali. Tampaknya rejim dengan siklofosfamig bolus intravena memberikan hasil cukup baik dalam mempertahankan fungsi ginjal. Hati-hati efek toksisitas siklofosfamid terhadap fungsi gonad Sebagai alternatif, untuk klas IV ini Kinkaid-Smith menganjurkan terapi prednisolon dosis tinggi jangka panjang. Rejimen yang dipakai adalah sebagai berikut: sampai dengan 12 minggu pertama digunakan prednison 1-2 mg/kg BB atau 60 mg/hari, minggu 13-14 dosis ini diturunkan 5 mg/minggu menjadi 55-50 mg/hari, minggu 15-22 dosis diturunkan 2,5 mg/minggu menjadi 47.5-30 mg/hari, pada minggu 23-32 dosis diturunkan 1 mg/minggu menjadi 29-20 mg/hari dan pada minggu 33-52 dosis diturunkan 0,5 mg/minggu atau 1 mg setiap 2 minggu menjadi 20-10 mg/hari 29.

Untuk penderita NL yang terkait dengan lupus berat dan resisten atau dependen terhadap steroid dapat diterapi dengan sikosporin A dengan dosis 3-5 mg/kg/hari selama 12 bulan Enriquez et al. melaporkan bahwa terapi kombinasi siklosporin A dengan steroid dapat mengendalikan gejala renal dan ekstrarenal.Penghentian steroid berkaitan dengan gejala ekstrarenal tanpa disertai meningkatnya proteinuria Plasmaparesis untuk mengatasi NL yang membandel dan berat

NEFRITIS LUPUS. DETEKSI TERAPI DAN EVALUASI. I Gde Raka Widiana* & Ketut Suwitra** * UPF Ilmu Penyakit Dalam RS Wangaya Denpasar ** Bagian Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar _______________________________________________________________________ PENDAHULUAN. Lupus eritematosis sistemik (LES) merupakan penyakit yang diperantarai olek kompleks imun dan ditandai dengan gangguan multisistem 1. Penyakit ini ditandai dengan terlibatnya berbagai organ dengan bukti-bukti laboratorik proses otoimun yang dimanifestasikan oleh adanya antibodi terhadap DNA. Salah satu organ penting yang terlibat adalah ginjal yang dikenal dengan nefritis lupus 2. Dengan definisi klinis, yakni proteinuria, sedimen urin, dan fungsi ginjal abnormal abnormal, NL dilaporkan antara 39-90% dari kasus LES 3-5. Di Afrika Selatan, dari 43 kasus LES yang dilaporkan, 63 % mengalami NL berdasarkan kriteria klinik 6. Di Yogyakarta , dari 44 kasus LES yang ditemukan selama 5 tahun di RS Sardjito 26 (59,0%) mengalami NL berdasarkan kriteria klinik 7. Berdasarkan biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, NL dilaporkan pada hampir 90% kasus LES 3. Terlibatnya ginjal pada penyakit LES menyababkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan khsusnyqa dalam 3 tahun pertama setelah diagnosis LES serta terkait dengan menurunnya tingkat kelangsungan hidup 10 tahun (10 year survival rate), yakni 62% 8,9. NL merupakan penyebab kematian utama dari penderita LES 10. Dari 43 kasus LN yang dilaporkan pada satu penelitian di Afrika Selatan, 10 kasus meninggal akibat gagal ginjal 6. Biopsi ginjal memberikan informasi yang berguna mengenai perjalanan dan prognosis penyakit 11,12. Biopsi ginjal ini juga penting untuk meramalkan efek terapi terutama pada penderita dengan nefritis jangka lama13. Masalah yang muncul adalah parameter apakah yang dapat dipakai menentukan kelompok NL yang perlu mendapat terapi memadai, dan parameter histopatologik apakah atau uji laboratorik apakah yang dapat dipakai mengevaluasi respons terapi dan prognosis penyakit. Makalah ini akan menguraikan cara deteksi NL, terapi yang sesuai dengan berat penyakit dan evaluasi respons terapi dan prognosis NL PATOGENESIS DASAR NEFRITIS LUPUS. Pada dasarnya mekanisme otoimun dengan reaksi antigen-antibodi berperan dalam patogenesis NL. Jenis antibodi yang dijumpai pada NL sangat bervariasi, dan sifat dari antigen dan antibodi terhadap antigen tersebut perlu dipahami untuk mengerti dasar patogenesis NL. Prinsipnya reaksi imun yang terjadi adalah akibat adanya antibodi terhadap inti sel dan komponen inti sel lainnya, khususnya DNA alamiah 2. Reaksi imun terhadap inti sel dapat ditunjukkan dengan adanya anti nuclear antibody (ANA). DNA dalam genom inti sel dibungkus oleh histon membentuk nukleosom. Dua rantai (double-stranded) DNA melingkari nukleosom sehingga memeparkan sebagian dari inti histon, yang terdiri dari tetramer. Ada dua jenis protein histon, yakni H2B dan H2A yang berhubungan dengan permukaan nukleosom. Histonnya sendiri disebut H1 yang bersifat eksternal. Pada LES dapat timbul antibodi terhadap histon H1, H2B, dan H2A selain terhadap double--stranded DNA. Setelah proses transkripsi RNA dari DNA terjadi proses pemisahan yang terjadi dalam spliceosom menggunakan sekelompok small nuclear ribonucloeprotein (snRP). Protein U1snRP yang merupakan kompleks dari 9 protein berkaitan

dengan U1RNA. Antibodi anti-Sm dapat mengenal beberapa polipeptida yang berikatan dengan U1RNA dan biasanya disertai dengan antibodi anti-U1RNP.Setelah RNA terpisah dari DNA, RNA ini dikeluarkan dari inti sel menuju ribosom. Proses pemindahan ini protein hY1 suatu ribonukleoprotein sitoplasmik ke dalam sitoplasma sel. Molekul hY1 ini berikatan dengan 2 protein berbeda yakni Ro dan La. Antibodi yang terbentuk pada LES dapat mengenal protein Ro dan La ini 14. Antibodi anti-Smith (anti-Sm), anti-Ro dan anti La ini cenderung terdapat pada penderita LES dengan titer anti-ds DNA yang tinggi dan cenderung mengalami NL dan serebritis lupus 15. Selain ditentukan oleh spesifisitas antigenik, reaksi imum pada NL juga ditentukan oleh beberapa determinan lain seperti aktivasi komplemen khususnya C3 dan C4, ukuran dan muatan elektrostatik komplek-imun yang bersifat kationik, mekanisme klirens (pembersihan) komplekimun, serta gen HLA klas II dari penderita 16. Reaksi jaringan ginjal yang antara lain merupakan reaksi inflamasi berpengaruh dalam terjadinya NL. Endapan komplek imun yang berasal dari sirkulasi maupun endapan komplek imun yang terjadi in situ dapat mengaktifkan komplemen dan menarik atau mendatangkan sel-sel radang. Sel ini mengeluarkan sitokin dan berbagai mediator radang, dengan demikian terjadi rangkaian atau kaskade koagulasi. Dengan rangkaian reaksi ini terjadi pula proliferasi sel dengan derajad bervariasi dari yang ringan sampai yang terberat (bentuk bulan sabit atau kresen). Bila endapan komplek imun besifat epimembran dengan aviditas imun lebih rendah, maka akan terjadi NL tipe membranus (WHO klas V). Pada NL tidak hanya endapan komplek imun yang berperan, tapi dapat pula terjadi mikrotrmbi bersamaan dengan purpura trmbositopenik dan sindroma hemolitik uremik. Mikrotrombi dalam ginjal dapat disebabkan oleh antikoagulan lupus melalui aktivasi kaskade koagulasi 17. DETEKSI NEFRITIS LUPUS Secara klinik NL merupakan menifestasi keterlibatan organ ginjal (renal involvement) dari LES. Secara klinik NL dapat ditegakkan dengan didiagnosisnya lupus berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association ) 1982 16. Keterlibatan ginjal dapat ditentukan dengan ditemukannya 1) proteinuria persisten >0,5 g per hari atau >3+ ; atau 2) silinder sel aktif seperti sel eritrosit, hemoglobin, granuler, tubuler, atau campuran 12. Secara klinik diagnosis LES berdasarkan kriteria ARA ini tidak selalu segera dapat dipenuhi. kecuali pada kasus yang berat. Umumnya diagnosis tersebut baru dapat ditegakkan dalam perjalanan waktu observasi. Selain itu manifestasi LES sangat bervariasi sehingga beberapa penulis menganjurkan diagnosis LES secara longitudinal obsevasional 17. Artinya, bila secara klinik penderita dicurigai mengalami LES, walaupun penderita ini belum memenuhi kriteria ARA 1982, pementauan penderita terhadap munculnya manifestasi LES harus terus dilakukan sampai diagnosis betul-betul dapat ditegakkan atau disingkirkan. Dengan cara ini deteksi dan terapi dini dapat dilakukan. Demikian juga, manifestasi keterlibatan ginjal (NL) sangat bervariasi, mulai tanpa gejala, proteinuria dan/atau hematuria, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik, sindroma nefritik akut dan sindroma nefrotik 18. Ongajyooth et al melaporkan pada saat diagnosis ditegakkan dari 569 kasus NL, sindroma nefrotik dijumpai pada 27,5%, sindroma nefritik dijumpai pada 34,8% kasus, hipertensi dijumpai pada 32,4% kasus, gagal ginjal kronik (klirens kreatinin <25 ml/menit) dijumpai pada 25% kasus19. Setelah diagnosis NL dapat ditegakkan, hanya gambaran histopatologi ginjal yang dapat memberikan informasi mengenai derajad kerusakan yang terjadi. Klasifikasi WHO untuk biopsi ginjal yang menggunakan skor aktivitas`dan kronisitas merupakan alat yang sangat berharga dalam pengelolaan penderita NL. Walaupun nilai prognostik dan repruduksibilitasnya masih banyak diperdebatkan, sedapat mungkin pengelolaan penderita NL didasarkan pada penemuan biopsi ginjal, karena tidak ada parameter klinik yang terbukti dapat dipercaya untuk meramalkan histopatologi ginjal. Untuk parameter tambahan, kadar RBP (retinol-binding protein) urin dapat dipakai sebagai petanda (marker) aktivitas NL. Pemeriksaan ini juga dapat dipakai untuk

membedakan penderita dengan NL aktif dan NL yang tak aktif atau SLE tanpa keterlibatan ginjal 20 . Pemeriksaan kadar kreatinin serum atau laju filtrasi glomerulus, kadar komplemen serum dan proteinuria memberikan nilai prediktif untuk kecenderungan gagal ginjal terminal, sehingga hasil pemeriksaan positif sering menunjukkan keadaan yang terlambat. Selain itu respons terhadap terapi imunosupresif sangat baik pada stadium dini dari penyakit dengan demikian kesempatan ini (jendela terapik) jangan dilewatkan begitu saja 21. Biopsi ginjal pada NL dikerjakan bila dijumpai kelainan pada urinalisis. Lesi ginjal dapat diklasifikasikan berdasar kriteria WHO. Kriteria ini dipakai secara luas untuk mengevaluasi prognosis dan efek terapi. Klasifikasi ini dapat dibagi menjadi 5 yaitu 14, 22 : 1. Klas I. Dengan mikroskop cahaya (MC), mikroskop imunofluresen (MI) dan dengan mikroskop elektron (ME) jaringan ginjal tampak normal; Secara klinis tidak dijumpai penyakit ginjal, kecuali kadang-kadang hasil urinalisis yang abnormal. Klas II. (Glomerulonefritis mesangial). Klas IIa. Dengan MC tidak dijumpai kelainan, namun dengan MI dan ME dijumpai endapan komplek imun. Klas IIb. Dijumpai peningkatan selularitas mesangium yang biasanya tanpa disertai kelainan tubulointerstitial. Secara klinik klas II ini dapat dijumpai proteinuria ringan samapi sedang yang disertai sedimen aktif pada urin. Klas III (glomerulonefritis proliferatif-fokal). Dijumpai proliferasi sel dan lesi lain seperti pada klas IV, namun mengenai daerah glomerulus kurang dari 50%. Diduga klas III ini dapat berkembang menjadi klas IV. Secara klinik dapat berupa proteinuria atau dijumpai sedimen aktif pada urin. Klas IV (glomerulonefritis proliferatif-difus). Lebih dari 50% dari daerah glomerulus terkena. Dijumpai proliferasi sel, sering dijumpai bentuk bulan sabit (kresen), karyoheksis inti sel, infiltrasi leukosit, nekrosis fibrinoid dan trombi hialin. Endapan komplek imun dijumpaidi daerah subendotelial dan mesangial. Secara klinik dapat berupa nefritis akut dengan sedimen urin aktif dan/atau sindroma nefrotik. Klas V (glomerulonefritis membranus). Dijumpai penebalan difus membrana, dengan jaringan mesangium yang prominen. Endapan dijumpai intramembranus dan epimembranus serta di jaringan mesangium. Secara klinik dapat berupa sindroma nefrotik atau proteinuria berat. Beberapa peneliti melaporkan gambaran histopatologik NL ini. Sidabutar (1995) melaporkan 3,8% klas I, 7,7% klas II, 3,8% klas III, 53,8% klas IV, 19,2% klas V, dan 11,5% campuran klas IV dan V 17. Ongajyooth et al. (1994) melaporkan klas II 15,6%, klas III 6,7%, klas IV 61,5%, klas V 6,7%, dan campuran klas IV dan V 4,4%. Perubahan kresentik dijumpai pada 46,6% dari kasus laki-laki, perubahan tubulointerstitial sedang dan berat dijumpai pada 77,3% kasus laki-laki 18. Feng & Boey (1982) melaporkan klas I 14%, klas II 19%, klas III 7%, klas IV 36%, dan klas V 24% 23. Golbus dan McCune (1994) melaporkan klas I 1,4%, klas II 20%, klas III 25%, klas IV 37%, klas V 13% 24. Tampaknya seluruh laporan menunjukkan klas V memiliki distribusi terbesar. Untuk kepentingan prognosis selain gambaran histopatologik, harus ditentukan indkes kronisitas dan aktifitas penyakit NL. Kepentingan indeks ini adalah membedakan lesi aktif yang mungkin masih reversibel dengan lesi kronik. Cara yang sering dipakai adalah membuat skor 0 sampai 20 dengan menjumlahkan skor setiap petanda yang dinilai antara 0 sampai 3 17, 25. Indeks aktifitas dan kronisitas ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Indeks aktifitas dan kronisitas pada nefritis lupus ________________________________________________________________________ Indeks Aktifitas # Indeks Kronisitas@ ________________________________________________________________________

Kelainan glomerular 1. Proliferasi seluler 2. Nekrosis fibrinoid, karyoheksis* 3. Kresen seluler* 4. Trombi hialin, wire loops 5. Infiltrasi leukosit Kelainan tubulointerstitial 1. Infiltrasi sel mononukler

1. Sklerosis glomeruler 2. Kresen fibrus

1. Fibrosis interstitial 2. Atrofi tubuler ________________________________________________________________________ Masing-masing lesi diskor 0 sampai 3 (negatif, ringan, sedang, berat), * skor dikalikan 2, # petanda aktifitas > 12 berarti aktifitas tinggi, @ petanda aktifitas > 4 berarti tidak reversibel TERAPI DAN EVALUASI NEFRITIS LUPUS Terapi NL disesuaikan dengan aktifitas penyakit dan keadaan umum. Secara umum, penderita dianjurkan untuk menghindari sinar matahari langsung. Aktifitas penderita disesuaikan dengan keadaan penyakit. Untuk penderita dengan nefritis akut dengan hipertensi berat diperlukan istirahat. Penderita NL yang relatif tenang yang hanya mengalami proteinuria dan mendapat obat steroid dosis rendah dapat bekerja sebagai biasa. Namun demikian, sedapat mungkin dihindari pekerjaan yang memungkinkan ditulari infeksi. Diet dan aturan makan disesuaikan dengan keadaan umum dan keterlibatan organ. Pengelolaan komplikasi NL seperti hipertensi, edema dan gagal ginjal mengikuti prinsip-prinsip yang lazim. Yang perlu diperhatikan, jenis obat antihipertensi hidralasin sebaiknya dihindari 17. Pengobatan spesifik NL umumnya masih kontroversial. Khususnya pengobatan NL klas IV (proleferatif difus ) masih merupakan topik yang kontroversial pada kedokteran klinik. Kontroversi ini terutama disebabkan oleh hasil terapi terhadap perbaikan morfologik ginjal masih belum jelas 26. Namun beberapa prinsip dapat dipergunakan. Respons terapi spesifik dengan imunosupresif sangat baik pada stadium awal penyakit, dengan demikian jendela terapitik ini jangan dilewatkan begitu saja. Terapi NL seyogyanya didasarkan pada hasil biopsi ginjal dengan prinsip sebagai berikut: 1. NL dengna WHO klas II dan WHO klas V umumnya tidak memerlukan terapi agresif atau terapi jangka panjang. Penderita ini cukup mendapat terapi kortikosteroid jangka pendek yang menghasilkan remisi jangka panjang. Khususnya klas V memiliki prognosis cukup baik. Kelangsungan ginjal (renal survival) 10 tahun dilaporkan sebesar 93% 2. NL dengan WHO klas III dan khususnya bila lebih dari 50% glomeruli terkena (WHO klas IV) memiliki prognosis jelek. Kedua kelompok ini harus mendapat terapi agresif. 3. NL dengan WHO klas VI (glomerulosklesrosis >80%) , pendapat untuk memberikan terapi agresif yang bertujuan mencegah gagal ginjal terminal tidak memiliki dasar yang kuat, khususnya pada biopsi dengan indeks kronisitas lebih dari 3 poin. Terapi subsitusi dengan dialisis atau transplantasi ginjal pada penderita NL yang telah mengalami gagal ginjal terminal memberikan prognosis cukup baik. Kelangsungan hidup 5 tahun penderita NL sekitar 80-90 tahun dengan dialisis atau transplatasi ginjal. Kelangsungan hidup ini hampir sama dengan penderita NL tanpa gagal ginjal terminal. Pada NL dengan gagal ginjal terminal, aktivitas penyakit biasanya menurun atau hilang, sehingga terapi imunosupresi dapat dihentikan 21. Banyak obat dicoba untuk mengobati NL seperti steroid, azatioprin, siklofosfamid oral atau intravena atau bolus, dan siklosporin. Data dari uji klinik yang menggunakan berbagai rejim

dari obat-obat tersebut masih kurang dan tidak selalu menunjukkan hasil yang baik 17,21. Beberapa penelitian retrospektif dan uji klinik dari berbagai rejim imunosupresif telah dilakukan. Balow et al. (1982) membandingkan respons terapi antara prednison dan obat sititoksik pada 62 penderita NL setelah diobservasi selama lebih dari 18 bulan dengan biopsi serial. Terapi prednison diberikan dosis tinggi konvensional dan terapi sitotoksik diberikan dalam bentuk azatioprin oral atau siklofosfamid oral, atau kombinasi azatioprin dan siklofosfamid oral atau siklofosfamid denyut (pulse) intravena. Dengan uji statistik regresi linier multiple dilaporkan terapi sitotoksik menurunkan kecenderungan fibrosis ginjal progresif yang dinilai dari skor kronisitas gambaran histopatologik ginjal pada NL 27. Khususnya untuk NL klas IV, beberapa penulis menganjurkan siklofosfamid denyut intravena. Sidabutar et al. menganjurkan pemberian prednison 1mg/kg BB/hari selama 2 minggu, kemudian diturunkan pelan-pelan secara tapering setiap bulan dan dipertahankan dosis 12 mg/hari dikombinasi dengan bolus IV siklofosfamid 10 mg/kg BB setiap 4 minggu sebanyak 6 kali dan kemudian dijarangkan28. Dari 36 penderita yang diterapi dengan rejim di atas yang diikuti selama 3 tahun tidak ada penderita yang mengalami gagal ginjal terminal, namun sebanyak 5 (16,7%) memperlihatkan penurunan fungsi ginjal secara pelan-pelan. Walaupun penelitian ini tidak merupakan uji klinik terkendali, tampaknya rejim dengan siklofosfamig bolus intravena memberikan hasil cukup baik dalam mempertahankan fungsi ginjal. Pada penderita dengan efek toksisitas siklofosfamid terhadap fungsi gonad, azatioprin dapat diberikan setelah pemberian 8-12minggu siklofosfamid oral atau 6 kali pemberian setiap bulan siklofosfamid intravena denyut 18. Sebagai alternatif, untuk klas IV ini Kinkaid-Smith menganjurkan terapi prednisolon dosis tinggi jangka panjang. Rejim yang dipakai adalah sebagai berikut: sampai dengan 12 minggu pertama digunakan prednison 1-2 mg/kg BB atau 60 mg/hari, minggu 13-14 dosis ini diturunkan 5 mg/minggu menjadi 55-50 mg/hari, minggu 15-22 dosis diturunkan 2,5 mg/minggu menjadi 47.5-30 mg/hari, pada minggu 23-32 dosis diturunkan 1 mg/minggu menjadi 29-20 mg/hari dan pada minggu 33-52 dosis diturunkan 0,5 mg/minggu atau 1 mg setiap 2 minggu menjadi 20-10 mg/hari 29. Untuk penderita NL yang terkait dengan lupus berat dan resisten atau dependen terhadap steroid dapat diterapi dengan sikosporin A dengan dosis 5 mg/kg/hari selama 12 bulan 30. Tokuda et al menggunakan siklosporin dosis lebih rendah lagi, 3 mg/kg BB/hari memberikan perbaikan aktifitas penyakit setelah 20 mimggu terapi 31. Enriquez et al. melaporkan bahwa terapi kombinasi siklosporin A dengan steroid dapat mengendalikan gejala renal dan ekstrarenal.Penghentian steroid berkaitan dengan gejala ekstrarenal tanpa disertai meningkatnya proteinuria 32. Bebarap penulis pernah melaporkan penggunaan plasmaparesis untuk mengatasi NL yang membandel dan berat 33. Namun Lewis et at. melaporkan dengan uji klinik acak terkendali bahwa dibandingkan terapi standar siklofosfamid, plasmaparesis yang dikombinasi dengan steroid yang diikuti selama rerata 136 minggu tidak memberikan perbaikan parameter klinik 34. Beberapa faktor risiko dapat meramalkan respons terapi NL berat khsusnya klas II dan IV. Untuk menilai faktor risiko progresifitas gagal ginjal diantara penderita yang mendapat prednison dan siklofosfamid oral jangka pendek, dilakukan analisis data dari Lupus Nephritis Collaborative Study (LNCS). Dilaporkan bahwa dari 86 penderita yang diikuti selama rerata 2,6 tahun dan 63 diantaranya diikuti selama rerata 3,1 tahun. Variable yang dinilai pada penelitian ini adalah gambaran klinik dan patologik awal, respons terapi dalam 48 minggu dan kejadian klinik berikutnya, serta perkembangannya menjadi gagal ginjal. Penelitian ini menunjuukan bahwa penderita dengan kadar kreatinin awal yang normal atau penderita yang mengalami penurunan dari kadar kreatinin setelah 48 minggu terapi memiliki risiko gagal ginjal rendah dan mungkin tidak memerlukan terapi siklofosfamid jangka panjang jangka panjang 35. Shilov et al. (1994) melaporkan bahwa respons terapi dengan siklofosfamid intravena denyut pada NL klas III, IV dan V tergantung dari gambaran histopatologiknya terutama derajad sklerosisnya yang ditandai dengan indeks kronisitasnya 13.

KESIMPULAN Lupus nefritis khususnya klas III dan IV merupakan penyakit dengan morbiditas yang cukup tinggi dan risiko penurunan fungsi ginjal. Terapi yang sesuai dapat melindungi fungsi ginjal dan mencegah gagal ginjal terminal. Pengenalan klas NL dengan penentuan indeks aktifitas dan kronisitas dari hasil biopsi sangat penting dalam menentukan prognosis dan regim yang terapi yang akan diberikan serta respons terapi yang dihasilkan. Terapi sitoksik khususnya dengan siklofosfamid bolus intravena tampaknya semakin banyak dianjurkan. Walaupun hasil penelitian awal tampaknya memberikan perlindungan fungsi ginjal yang cukup baik, masih perlu dibuktikan dengan uji klinik terkendali jangka panjang untuk memntukan apakah rejin dengan siklofosfamid bolus intravena ini cukup aman dan manjur. DAFTAR PUSTAKA 1. Glassok RJ dan Brenner BM. Glomerulopathy associated with multisystem and heredofamilial disease, in Isselbacher KJ et al (eds). Harrison Principles of Internal Medicine 9th ed. 1982. Mc-Graw- Hill Int. Book Co. Auckland:1320-2 2. Jean- Francois Bach. Renal invovement in verious condition. Systemic lupus erythematosus. In Hamburger J (eds). Nephrology 1979. John Willey and Son. New York: 597-619. 3. Glassock RJ, Cohen AH, Adler SG & Ward HJ. Secondary glomerular disease in Brenner BM & Rector FC (eds). The kidney 3rd ed 1986. WB Saunsera Co. New York, Philadelphia: 1014-30. 4. ODell JR, Hays RC, Guggenheim SJ & Stigerwald JC.Systemic lupus erythematosus without clinical renal abnormalities: Renal biopsy findings and clinical course. Ann heum Dis. 1985; 44: 415-19 5. Wallace DJ, Podell TA, Weiner JM, et al. Lupus nephritis experience with 230 patients in private practice from 1950-1980. Amer J Med. 1982;72:209-19. 6. Seedath YK, Parug KB & Ramsaroop R. Systemic lupus erythematosus and renal involvement. A south African experience. Nephrone. 1994;66:488-9. 7. Sjabani M, Raka Widiana IG & Rahardjo P. Lupus nephrrtis at Dr Sardjito General Hospital Yogyakarta: A five year retrospective study. The Indonesian Journal of Nephrology 1995;2:5-8. 8. Lee HS, Mujaias SK, Kasinath BS, Spargo BH, & Katz HJ. Course of renal pathology in patients with syatemic lupus erythematosus. Am J Med. 1984; 77:612-9. 9. Nossent JC, Bronsfeld W & Swaak JG. Systemic lupus erythematosus III. Observation on clinical renal involvementet and follow-up renal function. Dutch experience with 110 patients studied prospectively. Ann Rheum Dis. 1989;48:810-6. 10. Rosner S, Ginzler EM, Diamond HS et al. A multicenter study of outcome in systemic lupus erythematosusII. Cause of death. Arthritis and Rheumatism. 1982;25:612-7.

11. Whiting-O Keefe, Henke JE, Sheam MA, Hopper J, Biava GC, & Epstein WV. Renal involvement in patients with systemic lupus erythematosus. Ann Intern Med. 1982; 96:1827. 12. Apple GB, Cohen DJ, Pirani CL, Meltzer JI, & Astes D. Long-term follow-up of patients with lupus nephritis. A study based on classification of World Health Organization. Am J Med. 1987;83:877-85. 13. Shilov EM, Krasnova TN, Ivanov AA, & Tarejeva IA. Prognostic factor in lupus nephritis treated with cyclophosphamide pulse. Nephron. 1994;66:488-9. 14. Kashgarian M Lupus nephritis: Lesson from path lab. Kidney Int. 1994;45:928-938. 15. Tokano Y, Yasuma M, Harada S, Takasaki Y, Hashimoto, Akumura K, Hirose S. Clinical significance of anti-Sm and U1 RNP antibodies in patients with systemic lupus erythematosus and mix connective tissue disease. J Clin Immunol. 1991;11:317-325. 16. Mills JA. Systemic lupus erythematosus. N Engl J Med 1994;330:1971-1877. 17. Sidabutar. Lupus eritematosus dan nefritis lupus. Simposium Nasional Lupus Eritematosus Sistemik, Oktober 1995.pp 1-10. Jakarta. 18. Choong LHL. Lupus nephritis. Proceedings of State-of-theArt Nephrology Course. 1997.pp 200-206. Singapore. 19. OongajyoothL, Shayakul C, Parichatikanond et al. Lupus nephritis in males: 8-year experience at Siriraj hospital. Asian Pacific Journal of allergy and immunology. 1994;12:87-93. 20. Sesso R, Rettori R, Nishida S, Sato E, Ajzen H, & Pireira AN. Assessment of lupus nephritis activity using retinol-binding protein. Nephrol Dial Transplant. 1994;3: 21. Nossent HC. Treatment of lupus nephritis. Rheumatololgy in Europe. 1995;S24:130-1. 22. Churg J, Bernstein J, Glassock RJ. Renal disease: Classification and atlas of glomerular disease 2nd ed 1995. New York. Igaku-Shoin. 23. Feng PH & Boey ML. Systemic lupus erythematosus in chinese. The Singapore experience. Rhematol Int. 1982;2:151-154. 24. Golbus J & McCune WJ. Lupus nephritis. Classification, Prognosis, Immunopathogenesis, and Treatment. Rheum Dis Clin of North America. 1994;20(1):213-242. 25. Austin HA, Muenz LR, Joyce KM et al. Diffuse proliferative lupus nephritis: Identification of specific pathologic feature affecting renal outcome. Kidney Int. 1984;25:689. 26. Donadio Jr JV. Cytotoxic drug treatment of lupus nephritis. N Engl J Med. 1984.;311:528-9. 27. Balow JE, Austin III HA, Muenz LR et al. Effect of treatment on the evolution of renal abnormalities in lupus nephritis. N Engl J Med. 1984;311:491-5.

28. Sidabutar RP, Darmasaputra I, Suling RC, Lumenta NA, Hendranoko A, Sihombing S. Low dose steroid and cyclophosphamide intravenous drip bolus in the treatment of class IV lupus nephritis (Abstract) Nephrology. 1995;1:352. 29. Kinkaid-Smith P. Managing the difficult lupus nephritis patients. Proceedings of the 11th Asian Colloquium in Nephrology. 1996:338-44. 30. Feutren G, Querin S, Noel LH et al. Effect of cyclosporin in severe systemic lupus erythematosus. J Pediat. 1987;111:1063-68. 31. Tokuda M, Kurata N, Mizoguchi A et al. Effect of low dose cyclosporin A on systemic lupus erythematosus disease activity. Arthritis and Rheumtism. 1994;37:551-8.) 32. Enriquez R, Tovar JV, Amoros F, Cabezuelo JB, & Gonzalez C. Can Ciclosporin A be used without steroid in systemic lupus erythematosus. Nephron. 1991;57:367-8.). 33. Campion EW. Desperate disease and plasmaparesis. N Engl J Med. 1992;326:1425-7. 34. Lewis EJ, Hunsicker LG, Lan S-P, Rohde RD, & Lachin JM, for the lupus nephritis collaborative study. A controlled trial of plasma paresis therapy in severe lupus nephritis. N Engl J Med. 1992;326:1373-9. 35. Levey AS, Lan S-P, Corwin HL et al. & The Lupus Nephritis Collaborative Study Group. Progression and remission of renal disease in the lupus nephritis collaborative study. Ann Intern Med. 1992;116:114-23.

Anda mungkin juga menyukai