NEFRITIS LUPUS
Reskiana Syahrir, Ani Kartini, Fitriani Mangarengi
Program Studi Ilmu Patologi Klinik
Program Pendidikan Dokter Spesialis
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
1. PENDAHULUAN
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah gangguan autoimun
kronis yang melibatkan banyak sistem organ baik secara bersamaan atau
berurutan dengan ciri khas perjalanan penyakit berupa kekambuhan dan
remisi. Istilah 'lupus' telah digunakan sejak abad pertengahan oleh bangsa
Romawi untuk menggambarkan lesi ulseratif pada kulit pasien lupus yang
mirip dengan gigitan serigala. William Osler pertama kali menggambarkan
nefritis sebagai komponen dari SLE. Nefritis Lupus (NL) adalah salah satu
komplikasi umum pada pasien dengan SLE dan mempengaruhi luaran
keseluruhan pasien dengan SLE. Dua pertiga pasien dengan SLE memiliki
penyakit ginjal pada tahap tertentu yang merupakan penyebab utama
kematian pada pasien ini. Manifestasi NL bervariasi dari kelainan urin
asimtomatik hingga glomerulonefritis progresif dan penyakit ginjal stadium
akhir (ESRD / End-Stage Renal Disease).1
Sel imun, sitokin, dan faktor epigenetik telah terbukti terlibat dalam
patogenesis nefritis lupus. Sekitar 50% pasien SLE mengalami nefritis lupus
yang biasanya membutuhkan terapi imunosupresif. Banyak dari kasus
nefritis lupus yang berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir
(ESRD) dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis. Evaluasi fungsi ginjal
berkala pada pasien SLE penting karena deteksi dini dan manajemen
gangguan ginjal yang tepat dapat memperbaiki luaran pasien. Terapi
berperan penting dalam mencegah progresi ke ESRD.2,4
1
REFARAT NEFRITIS LUPUS
2. DEFINISI
Nefritis lupus (NL) merupakan sebuah bentuk glomerulonefritis dan
merupakan salah satu manifestasi organ berat pada SLE. Berdasarkan
kriteria klasifikasi SLE oleh American College of Rheumatology (ACR),
keterlibatan renal didefinisikan sebagai proteinuria persisten (lebih dari 0,5
gram protein per hari atau 3+ pada dispstik) atau keberadaan cast selular
(sel darah merah, hemoglobin, granular, tubular, atau campuran) pada
sedimen urin. Biopsi ginjal merupakan baku emas untuk mendefinisikan
kasus nefritis lupus secara pasti.3
Nefritis lupus secara histologis diklasifikasikan menjadi 6 kelas
berbeda yang merepresentasikan berbagai manifestasi dan tingkat
keparahan keterlibatan ginjal pada penyakit SLE. Sebagian besar nefritis
lupus muncul dalam 5 tahun pertama sejak diagnosis SLE ditegakkan. Pada
beberapa kasus, nefritis lupus merupakan manifestasi klinis utama yang
mengarahkan diagnosis ke SLE.5
3. EPIDEMIOLOGI
Pasien dengan SLE yang memiliki bukti klinis penyakit ginjal,
biasanya ditunjukkan melalui hasil urinalisis yang abnormal. Nefritis lupus
biasanya berkembang di awal perjalanan penyakit. Penyakit ginjal yang
terbukti secara klinis terjadi pada 50% pasien SLE, dan hingga 10 persen
pasien NL akan berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir (ESRD).
Pada studi kohort yang mencakup 1827 pasien dengan diagnosis SLE, NL
terjadi pada 700 (38%) pasien yang diikuti selama rata-rata 4,6 tahun.
Insidensi 10 tahun keseluruhan ESRD adalah 4% dan pada pasien dengan
NL adalah 10%. Pada studi kohort ini NL juga dikaitkan dengan tiga kali
2
REFARAT NEFRITIS LUPUS
pada 30,5% pasien dengan SLE. Usia rata-rata diagnosis untuk lupus nefritis
adalah 28,4 tahun. Risiko perkembangan lupus nefritis secara signifikan
lebih tinggi pada individu yang lebih muda, pria, dan etnis Hispanik, serupa
dengan studi kohort sebelumnya.8
Nefritis Lupus di suku Asia dan Afrika dilaporkan memiliki ramalan
penyakit yang lebih buruk. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa dari
31 pasien SLE yang dilakukan biopsy ginjal, 58% menunjukkan NL yang
4. ETIOLOGI
populasi ini.4
Faktor Genetik
Studi menunjukkan bahwa predisposisi genetik memainkan peran
penting dalam perkembangan SLE dan NL. Berbagai gen banyak di
antaranya yang belum diidentifikasi memediasi predisposisi genetik ini.
3
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Kerusakan ginjal pada pasien SLE diinisiasi oleh gen yang mengganggu
toleransi imun dan mempromosikan produksi autoantibodi. Gen-gen ini
dapat bekerja bersamaan dengan faktor genetik lain yang memperkuat
pensinyalan sistem imun bawaan dan produksi IFN-1, yang selanjutnya
meningkatkan influks dari leukosit efektor, mediator inflamasi, dan
autoantibodi ke organ akhir seperti ginjal. Keberadaan antigen cognate pada
matriks glomerulus, bersamaan dengan abnormalitas molekular intrinsik
pada sel ginjal dapat memperkuat perkembangan penyakit.10,11
Faktor Imunologis
Respon awal tampaknya dimediasi oleh autoantibodi terhadap
nukleosom, dari sel-sel yang mengalami apoptosis. Pasien yang menderita
SLE memiliki mekanisme pembersihan debris seluler yang terganggu.
Debris nuklear dalam sel apoptotik menyebabkan sel dendritik plasmasitoid
melepaskan interferon-α, yang bertindak sebagai penginduksi sistem
imunitas dan respon autoimun yang kuat. Limfosit B autoreaktif menjadi
teraktivasi pada SLE karena respon yang tidak teratur dari mekanisme
homeostatis normal. Hal ini selanjutnya menyebabkan produksi
autoantibodi. Autoantibodi lain seperti antibodi anti-dsDNA muncul
melalui proses yang disebut sebagai penyebaran epitop. Autoantibodi ini
muncul secara bertahap dan teratur selama beberapa bulan-tahun sebelum
perkembangan klinis SLE.10,11
5. PATOGENESIS
4
REFARAT NEFRITIS LUPUS
pembentukan dini kompleks imun yang terdiri atas antinukleosomes, anti
double stranded DNA (anti-dsDNA), DNA extractable nuclear antigen
antibodies (ENAS), antibodies against C1q complex dari sistem
komplemen, free DNA, antiribonucleoproteins (anti-RNP) dan histon.
Kompleks imun tersebut akan terdeposit pada Membran Basal Glomerulus
(MBG), mesangium, jaringan intertisial dan proksimal tubular sel epitel.
Deposit kompleks imun pada daerah ini akan merangsang pelepasan
sitokin-sitokin proinflamasi serta kemokin seperti monocyte
chemoattractant protein (MCP-1), interleukin-1 dan 6 (IL-1, IL6) serta
molekul adhesi yang akan menyebabkan terjadinya suatu proses inflamasi
yang kronik. 7,8
Sistem fagosit mesangial yang berlebihan menyebabkan deposit
kompleks imun subendothelial menjadi target mudah untuk migrasi dan
infiltrasi monosit sehingga menyebabkan cedera dan proliferasi endotelial.
Sebaliknya sistem imun adaptif diaktifkan setelah munculnya kompleks
imun dan dendritik yang memicu pelepasan interferon 1 yang menginduksi
maturasi dan aktivasi dari sel T yang berinfiltrasi. Aktivasi ini
menyebabkan amplifikasi sel Th2, Th1 dan Th17 yang kemudian
menyebabkan amplifikasi respon sel B dan aktifasi makrofag yang
berkelanjutan sehingga terjadi respon imun peningkatan rekruitmen sel
efektor yang tidak dapat lagi dimodulasi oleh sel T regulator sehingga
terjadi proliferasi dan fibrosis epitelial glomerular. 7,8
5
REFARAT NEFRITIS LUPUS
didapatkan proteinuria. 12,13
6. KLASIFIKASI
Nefritis lupus yang diakibatkan oleh SLE diklasifikasikan oleh International
Society of Nephrologi / Renal Pathology Society (ISN/RPS) menjadi enam kategori
berdasarkan temuan mikroskop cahaya, imunofloresensi dan mikroskop elektron .5
6
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Tabel 1. Klasifikasi NL oleh International Society of Nephrologi / Renal
Pathology Society (ISN/RPS)
Kelas Definisi Temuan Klinis
I Minimal Mesangial Glomerulos normal pada mikroskop cahaya,
NL tetapi terdapat deposit imun pada mesangium
dengan pemeriksaan imunofloresens.
II Mesangial Hiperselularitas mesangium dalam tingkat
Proliferatif NL apapun atau adanya ekspansi matriks mesangial
disertai deposit imun pada mesangial. Deposit
subendotel atau subepitelial yang terisolasi dapat
terlihat oleh imunofloresensi atau mikroskop
electron, tetapi tidak dengan mikroskop cahaya.
III Fokal NL Glomerulonefritis endokapiler / ekstrakapiler
tipe difusa, segmental, atau global yang
melibatkan <50% dari semua glomerulus,
biasanya disertai deposit imun subendothelial
yang difus, dengan atau tanpa perubahan
mesangial.
IV Difus NL Glomerulonefritis (aktif/inaktif) endokapiler
/ekstrakapiler tipe difus , segmental atau global
yang melibatkan >50% dari semua glomerulus,
biasanya disertai dengan deposit imun
subendotel yang difus, dengan atau tanpa
perubahan mesangial.
Kelas ini dibagi menjadi dua yakni :
1. NL difus segmental (IV-S), yaitu ketika
>50% dari glomerulus yang terlibat
memiliki lesi segmental.
2. NL difus global (IV-G) ketika > 50% dari
glomerulus yang terlihat memiliki lesi
global.
7
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Segmental didefinisikan sebagai lesi glomerulus
yang melibatkan kurang dari setengah dari
glomerular tuft. Termasuk dalam kelas ini yaitu
kasus dengan deposit wire-loop difusa, tetapi
dengan sedikit atau tidak ada proliferasi
glomerulus.
V Membranous NL Deposit imun subepithelial tipe global atau
segmental yang tampak oleh mikroskop cahaya
dan imunoflorosensi atau mikroskop electron,
disertai atau tanpa perubahan mesangial.
NL kelas V dapat terjadi dalam kombinasi
bersamaan dengan kelas III atau kelas IV .atau
dengan/tanpa alterasi mesangial. NL kelas V
dapat menunjukkan sklerosis tahap lanjut
VI NL Sklerotik Lanjut >90% glomerulus mengalami sclerosis secara
global tanpa aktivitas residual
7. MANIFESTASI KLINIS
8
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Kelas >3 gr/ 24 Sering Sering Sering Peningkatan
IV jam kreatinin
Kelas V >3 gr/ 24 Ya/ Tidak Ya/ Tidak Sering Normal atau
jam penurunan
kreatinin
Kelas 1 gr/ 24 jam Ya / Tidak Ya / Tidak Ya/ Tidak Penurunan
VI kreatinin
8. DIAGNOSIS
b. Urinalisis
Pada nefritis lupus dapat ditemukan proteinuria persisten (lebih
dari 0,5 g protein per hari atau 3+ pada dipstik) dan cast seluler (sel
darah merah, hemoglobin , granular, tubular atau campuran) dalam
sedimen urin. Dalam kriteria klasifikasi Systemic Lupus International
Collaborating Clinics (SLICC), keterlibatan ginjal didefinisikan
sebagai rasio protein-kreatinin urin atau ekskresi protein urin 24 jam >
0,5 g per hari atau adanya sel darah merah dalam sedimen urin.17
Ekskresi protein urin dalam pengumpulan urin 12 jam atau 24 jam
memberikan perkiraan proteinuria terbaik meskipun hasilnya mungkin
berbeda dalam periode yang singkat. Hal ini biasanya disebabkan
karena kesalahan pengumpulan atau aktivitas fisik. Agar lebih praktis,
rasio protein-kreatinin urin di pagi hari atau sampel urin acak pada siang
hari dapat menggantikan ekskresi protein urin dalam pengumpulan urin
9
REFARAT NEFRITIS LUPUS
24 jam meskipun pendekatan ini belum divalidasi. Pemeriksaan
sedimen urin termasuk dalam kriteria klasifikasi SLE, serta lebih
unggul daripada pemeriksaan dipstik. Kelainan sedimen urin yang
paling sering dijumpai pada pasien NL adalah leukosituria, hematuria
10
REFARAT NEFRITIS LUPUS
sebelum gejala lupus bermanifestasi. Kadar C3 dan C4 yang kembali
normal dihubungkan dengan perbaikan NL.19
e. ANA-Fluoroscent
Antinuklear antibody (ANA) merupakan suatu kelompok
autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan nucleoprotein,
ditemukan pada soft tissue disease seperti SLE, sclerosis sistemik,
Mixed Connetive Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogren’s primer.
Metode pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan
ANA adalah indirect immunofluorescence dan ELISA. Uji ANA yang
positif tidak selalu menunjukkan ada penyakit autoimun karena di 5%
individu yang sehat, pemeriksaan ini positif dengan kadar larutan yang
rendah. Sebaliknya uji ANA yang positif belum tentu terdapat penyakit
autoimun karena pada keganasan (misal leukemia, limfoma) maupun
penyakit infeksi (misal hepatitis, HIV) ini dapat positif. Hal ini
menyebabkan penafsiran uji ANA di penyakit autoimun harus
disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Uji ANA umumnya
kurang berhubungan dengan derajat kerusakan ginjal dan tidak
membantu pemantauan respons pengobatan dan ramalan perjalanan
penyakit.8,9
f. Anti ds-DNA
11
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Pemeriksaan antibodi anti-dsDNA (anti-double stranded DNA)
lebih spesifik, tetapi kurang sensitif untuk SLE. Hasil positif ditemukan
kira-kira di 75% pasien SLE yang aktif dan belum diobati. Antibody
terhadap DNA dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap
DNA natif. Anti-dsDNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai
pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostik.
Peningkatan kadar anti-dsDNA menunjukkan peningkatan aktivitas
penyakit. Hasil negatif anti ds-DNA adalah < 10 IU/mL. Hasil equivocal
adalah 10-15 IU/mL. Hasil positif adalah > 15 IU/mL. Pada SLE, anti-
dsDNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan
aktifitas penyakit SLE. 9
12
REFARAT NEFRITIS LUPUS
yang kredibel dan untuk menyingkirkan penyakit fokal. Biopsi harus
diperiksa dengan mikroskop cahaya, imunofluoresensi, dan mikroskop
elektron jika memungkinkan. Selanjutnya, lesi vaskular dan interstisial
harus dijelaskan dan data tentang aktivitas dan kronisitas harus
dihitung. Indikasi untuk biopsi ginjal ulang masih kontroversial.
Sebagian besar merekomendasi biopsi ginjal ulang pada kasus
perburukan atau refrakter terhadap pengobatan. Biopsi ginjal ulang juga
diterapkan dalam uji klinis untuk memantau kemanjuran pengobatan,
dan membantu mengetahui efek perubahan aktivitas penyakit dan skor
13
REFARAT NEFRITIS LUPUS
(A) Glomerulus menunjukkan hiperselularitas mesangial (panah) sesuai dengan NL kelas
II. (B) Glomerulus dengan infiltrat inflamasi aktif (panah) pada pasien dengan NL kelas
IIIA. (C) Glomerulus dengan perubahan kronis (panah) pada pasien dengan NL kelas IIIC.
(D) Glomerulus dengan nekrosis segmental (panah) yang dapat ditemukan pada NL kelas
IV-S. (E) Glomerulus dengan proliferasi global yang dapat ditemukan pada NL kelas IV-
G. (F) NL Kelas V diwarnai dengan perak untuk menunjukkan spikes & holes pada
membran basal glomerulus (panah), yang merupakan temuan mikroskopis ringan yang
konsisten dengan endapan subepitel. (G) Glomerulus dengan sklerosis global seperti yang
ditemukan pada LN kelas VI. (H) Inflamasi interstisial akut yang padat (panah) pada pasien
dengan NL proliferatif. (I) Trombus fibrin (panah) pada arteriol pasien SLE yang konsisten
dengan mikroangiopati trombotik.21
9. DIAGNOSIS BANDING
Terdapat berbagai penyakit yang memberikan gambaran klinis dan
temuan laboratorium serupa (peningkatan kreatinin, hematuria, proteinuria)
dengan nefritis lupus. Biopsi ginjal merupakan satu-satunya metode yang
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis nefritis lupus secara definitif
dan mengeksklusi kausa lain. Beberapa diagnosis diferensial dari nefritis
lupus termasuk Glomerulonefritis akut pasca infeksi Streptococcus
(GNAPS) dan nefropati IgA. Berikut adalah perbedaan dari diagnosis
banding tersebut 4,7,18 :
14
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Keterangan :
NL : Nefritis lupus
GNAPS : Glomerulonefritis akut pasca infeksi Streptococcus
10. TATALAKSANA
Terapi didasarkan pada tipe kelas pada klasifikasi histologis nefritis
23
lupus.
Terapi suportif
Kelas I atau Fungsi ginjal normal,
Terapi imunosupresif
Kelas II mikrohematuria, proteinuria (proteinuria >3g/ hari)
Induksi :
Glucocorticoids +
Hipertensi, AKI, Cyclofosfamid
Kelas III dan Atau Glucocorticoids +
Kelas IV mikrohematuria, proteinuria,
Mikrofenolat mofetenil
sindrom nefrotik
Pemeliharaan :
Glucocticoids + Mikrofenolat
mofetenil / Azathioprine
Terapi :
Antiproteinuria
Proteinuria, sindrom Induksi :
Kelas V nefrotik, hipertensi, fungsi Mikrofenolat mofetenil +
ginjal normal Calcineurin inhibitors
Pemeliharaan :
Lanjut atau tambah calcineurin
mofetenil
15
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Terapi Suportif :
Kelas VI CKD, proteinuria, hipertensi Terapi imunosuppresif
10. PROGNOSIS
Meskipun nefritis lupus meningkatkan morbiditas dan mortalitas
terkait SLE, prognosis NL bergantung pada kelas histopatologi yang
dimiliki pasien. Kelas 1 (minimal) dan kelas 2 (proliferatif mesangial)
memiliki prognosis jangka panjang yang baik. Prognosis memburuk seiring
meningkatnya kelas. Kelas 3 dan 4 memiliki prognosis yang buruk. Kelas 5
dan 6 memiliki prognosis yang paling buruk. Prognosis juga tergantung
pada seberapa dini terapi dimulai. Semakin dini terapi dimulai, maka luaran
pasien akan semakin baik. Selama empat dekade terakhir, perubahan dalam
pengobatan lupus nefritis telah secara signifikan meningkatkan luaran ginjal
dan kesintasan secara keseluruhan. Pada tahun 1950-an, tingkat
kelangsungan hidup 5 tahun pada pasien dengan nefritis lupus mendekati
0%. Penambahan agen imunosupresif seperti siklofosfamid intravena (IV)
telah meningkatkan kelangsungan hidup masing-masing sebesar 85% dan
73%.4
Kematian yang terkait dengan lupus nefritis pada pasien dengan
penyakit ginjal stadium akhir telah menurun secara signifikan dalam
beberapa dekade terakhir. Angka kematian per 100 pasien-tahun berkurang
dari 11,1 pada 1995-1999 menjadi 6,7 pada 2010-2014. Kematian terkait
16
REFARAT NEFRITIS LUPUS
penyakit kardiovaskular menurun sebesar 44% dan kematian akibat infeksi
menurun sebesar 63%. Sindrom nefrotik dapat menyebabkan edema, asites,
dan hiperlipidemia, meningkatkan risiko penyakit arteri koroner dan
trombosis.4
11. KESIMPULAN
Nefritis Lupus (NL) merupakan salah satu komplikasi yang cukup
sering terjadi pada pasien SLE, menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas terkait perburukan fungsi ginjal. Secara laboratoris, dapat
ditemukan peningkatan kreatinin, penurunan eGFR, proteinuria persisten,
serta cast seluler. Secara histologis, lupus nefritis diklasifikasikan menjadi
6 kelas berbeda yang merefleksikan tingkat keparahan dan berkaitan dengan
prognosis/luaran jangka panjang pasien. Evaluasi fungsi ginjal berkala pada
pasien SLE sangat penting, karena deteksi dini lupus nefritis dapat
mencegah progresifitas ke ESRD dan kematian, serta memperbaki
prognosis pasien.
17
REFARAT NEFRITIS LUPUS
12. ALGORITMA MODIFIKASI
SLE
Hematuria mikrosksop
(>5 RBC/HPF) Serum kreatinin Serum kreatinin
<1.3 mg/dL >1.3 mg/dL
Nefritis Lupus
• Hiperseluler endokapile
• Crescent
• Hasil Immunoflorescence
positif
18
REFARAT NEFRITIS LUPUS
DAFTAR PUSTAKA
1. Jaryal A, Vikrant S. Current status of lupus nephritis. Indian J Med Res. 2017
Feb;145(2):167–78.
9. Yap DYH, Chan TM. Lupus Nephritis in Asia: Clinical Features and
Management. Kidney Dis (Basel). 2015 Sep;1(2):100–9.
12. Tamirou F, Houssiau FA. Management of Lupus Nephritis. J Clin Med. 2021
Feb 9;10(4):670.
19
REFARAT NEFRITIS LUPUS
13. Almaani S, Meara A, Rovin BH. Update on Lupus Nephritis. Clin J Am Soc
Nephrol. 2017 May 8;12(5):825–35.
14. Kaul A, Gordon C, Crow MK, Touma Z, Urowitz MB, van Vollenhoven R, et
al. Systemic lupus erythematosus. Nat Rev Dis Primers. 2016 Dec
22;2(1):16039.
18. Smith EMD, Jorgensen AL, Midgley A, Oni L, Goilav B, Putterman C, et al.
International validation of a urinary biomarker panel for identification of
active lupus nephritis in children. Pediatr Nephrol. 2017;32(2):283–95.
21. Parikh SV, Alvarado A, Malvar A, Rovin BH. The Kidney Biopsy in Lupus
Nephritis: Past, Present, and Future. Seminars in Nephrology. 2015
Sep;35(5):465–77.
20
REFARAT NEFRITIS LUPUS
21
REFARAT NEFRITIS LUPUS