Anda di halaman 1dari 21

Kepada Yth.

: Refarat Ginjal Hipertensi


Rencana baca : Kamis, 10 Maret 2021
Tempat : Online via zoom

NEFRITIS LUPUS
Reskiana Syahrir, Ani Kartini, Fitriani Mangarengi
Program Studi Ilmu Patologi Klinik
Program Pendidikan Dokter Spesialis
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo

1. PENDAHULUAN
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah gangguan autoimun
kronis yang melibatkan banyak sistem organ baik secara bersamaan atau
berurutan dengan ciri khas perjalanan penyakit berupa kekambuhan dan
remisi. Istilah 'lupus' telah digunakan sejak abad pertengahan oleh bangsa
Romawi untuk menggambarkan lesi ulseratif pada kulit pasien lupus yang
mirip dengan gigitan serigala. William Osler pertama kali menggambarkan
nefritis sebagai komponen dari SLE. Nefritis Lupus (NL) adalah salah satu
komplikasi umum pada pasien dengan SLE dan mempengaruhi luaran
keseluruhan pasien dengan SLE. Dua pertiga pasien dengan SLE memiliki
penyakit ginjal pada tahap tertentu yang merupakan penyebab utama
kematian pada pasien ini. Manifestasi NL bervariasi dari kelainan urin
asimtomatik hingga glomerulonefritis progresif dan penyakit ginjal stadium
akhir (ESRD / End-Stage Renal Disease).1
Sel imun, sitokin, dan faktor epigenetik telah terbukti terlibat dalam
patogenesis nefritis lupus. Sekitar 50% pasien SLE mengalami nefritis lupus
yang biasanya membutuhkan terapi imunosupresif. Banyak dari kasus
nefritis lupus yang berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir
(ESRD) dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis. Evaluasi fungsi ginjal
berkala pada pasien SLE penting karena deteksi dini dan manajemen
gangguan ginjal yang tepat dapat memperbaiki luaran pasien. Terapi
berperan penting dalam mencegah progresi ke ESRD.2,4

1
REFARAT NEFRITIS LUPUS
2. DEFINISI
Nefritis lupus (NL) merupakan sebuah bentuk glomerulonefritis dan
merupakan salah satu manifestasi organ berat pada SLE. Berdasarkan
kriteria klasifikasi SLE oleh American College of Rheumatology (ACR),
keterlibatan renal didefinisikan sebagai proteinuria persisten (lebih dari 0,5
gram protein per hari atau 3+ pada dispstik) atau keberadaan cast selular
(sel darah merah, hemoglobin, granular, tubular, atau campuran) pada
sedimen urin. Biopsi ginjal merupakan baku emas untuk mendefinisikan
kasus nefritis lupus secara pasti.3
Nefritis lupus secara histologis diklasifikasikan menjadi 6 kelas
berbeda yang merepresentasikan berbagai manifestasi dan tingkat
keparahan keterlibatan ginjal pada penyakit SLE. Sebagian besar nefritis
lupus muncul dalam 5 tahun pertama sejak diagnosis SLE ditegakkan. Pada
beberapa kasus, nefritis lupus merupakan manifestasi klinis utama yang
mengarahkan diagnosis ke SLE.5

3. EPIDEMIOLOGI
Pasien dengan SLE yang memiliki bukti klinis penyakit ginjal,
biasanya ditunjukkan melalui hasil urinalisis yang abnormal. Nefritis lupus
biasanya berkembang di awal perjalanan penyakit. Penyakit ginjal yang
terbukti secara klinis terjadi pada 50% pasien SLE, dan hingga 10 persen
pasien NL akan berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir (ESRD).
Pada studi kohort yang mencakup 1827 pasien dengan diagnosis SLE, NL
terjadi pada 700 (38%) pasien yang diikuti selama rata-rata 4,6 tahun.
Insidensi 10 tahun keseluruhan ESRD adalah 4% dan pada pasien dengan
NL adalah 10%. Pada studi kohort ini NL juga dikaitkan dengan tiga kali

lipat peningkatan resiko kematian pada SLE. 6,7


Dalam sebuah studi multietnis internasional ditemukan bahwa pasien
yang menderita Nefritis Lupus lebih sering berjenis kelamin laki-laki, relatif
lebih muda, berasal dari etnis Afrika, Asia dan Hispanik. Dalam sebuah
penelitian besar di Spanyol, nefritis lupus dikonfirmasi secara histologis

2
REFARAT NEFRITIS LUPUS
pada 30,5% pasien dengan SLE. Usia rata-rata diagnosis untuk lupus nefritis
adalah 28,4 tahun. Risiko perkembangan lupus nefritis secara signifikan
lebih tinggi pada individu yang lebih muda, pria, dan etnis Hispanik, serupa
dengan studi kohort sebelumnya.8
Nefritis Lupus di suku Asia dan Afrika dilaporkan memiliki ramalan
penyakit yang lebih buruk. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa dari
31 pasien SLE yang dilakukan biopsy ginjal, 58% menunjukkan NL yang

diperkirakan berakhir dengan gagal ginjal .7,8

4. ETIOLOGI

Nefritis lupus adalah manifestasi umum dari SLE. Nefritis lupus


terutama disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe-3, yang menghasilkan
pembentukan kompleks imun. Anti-double-stranded DNA (anti-dsDNA)
berikatan dengan DNA, yang membentuk kompleks imun anti-dsDNA.
Kompleks imun ini mengendap di mesangium, subendotel dan ruang
subepitel dekat membran basal glomerulus ginjal. Hal ini menyebabkan
respon inflamasi dengan timbulnya nefritis lupus, di mana jalur komplemen
diaktifkan dengan masuknya neutrofil dan sel inflamasi lainnya. Sementara
fenomena autoimun menyebabkan lupus nefritis, komponen genetik juga
terlibat dalam perkembangan nefritis pada pasien SLE. Misalnya,
polimorfisme alel pengkode reseptor imunoglobulin pada makrofag dan
variasi gen APOL1 yang ditemukan secara eksklusif pada populasi Afrika-
Amerika dengan SLE, berkaitan dengan kecenderungan nefritis lupus pada

populasi ini.4

Faktor Genetik
Studi menunjukkan bahwa predisposisi genetik memainkan peran
penting dalam perkembangan SLE dan NL. Berbagai gen banyak di
antaranya yang belum diidentifikasi memediasi predisposisi genetik ini.

3
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Kerusakan ginjal pada pasien SLE diinisiasi oleh gen yang mengganggu
toleransi imun dan mempromosikan produksi autoantibodi. Gen-gen ini
dapat bekerja bersamaan dengan faktor genetik lain yang memperkuat
pensinyalan sistem imun bawaan dan produksi IFN-1, yang selanjutnya
meningkatkan influks dari leukosit efektor, mediator inflamasi, dan
autoantibodi ke organ akhir seperti ginjal. Keberadaan antigen cognate pada
matriks glomerulus, bersamaan dengan abnormalitas molekular intrinsik
pada sel ginjal dapat memperkuat perkembangan penyakit.10,11

Faktor Imunologis
Respon awal tampaknya dimediasi oleh autoantibodi terhadap
nukleosom, dari sel-sel yang mengalami apoptosis. Pasien yang menderita
SLE memiliki mekanisme pembersihan debris seluler yang terganggu.
Debris nuklear dalam sel apoptotik menyebabkan sel dendritik plasmasitoid
melepaskan interferon-α, yang bertindak sebagai penginduksi sistem
imunitas dan respon autoimun yang kuat. Limfosit B autoreaktif menjadi
teraktivasi pada SLE karena respon yang tidak teratur dari mekanisme
homeostatis normal. Hal ini selanjutnya menyebabkan produksi
autoantibodi. Autoantibodi lain seperti antibodi anti-dsDNA muncul
melalui proses yang disebut sebagai penyebaran epitop. Autoantibodi ini
muncul secara bertahap dan teratur selama beberapa bulan-tahun sebelum
perkembangan klinis SLE.10,11

5. PATOGENESIS

Nefritik Lupus terjadi akibat ketidakseimbangan antara hemostasis


sitokin dan deposisi kompleks imun. Faktor predisposisi berupa faktor
genetik dan faktor epigenetik menyebabkan terjadinya apoptosis. Pada
individu yang mengalami SLE, ada ketidakefektifan pembersihan sel-sel
apoptosik dan berkurangnya kemampuan fagositosik oleh makrofag.
Produk sisa apoptosis yang tidak efisien pada saat proses fagositosis adalah

4
REFARAT NEFRITIS LUPUS
pembentukan dini kompleks imun yang terdiri atas antinukleosomes, anti
double stranded DNA (anti-dsDNA), DNA extractable nuclear antigen
antibodies (ENAS), antibodies against C1q complex dari sistem
komplemen, free DNA, antiribonucleoproteins (anti-RNP) dan histon.
Kompleks imun tersebut akan terdeposit pada Membran Basal Glomerulus
(MBG), mesangium, jaringan intertisial dan proksimal tubular sel epitel.
Deposit kompleks imun pada daerah ini akan merangsang pelepasan
sitokin-sitokin proinflamasi serta kemokin seperti monocyte
chemoattractant protein (MCP-1), interleukin-1 dan 6 (IL-1, IL6) serta
molekul adhesi yang akan menyebabkan terjadinya suatu proses inflamasi
yang kronik. 7,8
Sistem fagosit mesangial yang berlebihan menyebabkan deposit
kompleks imun subendothelial menjadi target mudah untuk migrasi dan
infiltrasi monosit sehingga menyebabkan cedera dan proliferasi endotelial.
Sebaliknya sistem imun adaptif diaktifkan setelah munculnya kompleks
imun dan dendritik yang memicu pelepasan interferon 1 yang menginduksi
maturasi dan aktivasi dari sel T yang berinfiltrasi. Aktivasi ini
menyebabkan amplifikasi sel Th2, Th1 dan Th17 yang kemudian
menyebabkan amplifikasi respon sel B dan aktifasi makrofag yang
berkelanjutan sehingga terjadi respon imun peningkatan rekruitmen sel
efektor yang tidak dapat lagi dimodulasi oleh sel T regulator sehingga
terjadi proliferasi dan fibrosis epitelial glomerular. 7,8

Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis


memberikan gambaran mesangial, proliferatif fokal dan proliferatif difus
yang secara klinis memberikan gambaran sedimen urin yang aktif yaitu
ditemukan eritrosit, leukosit, sel silinder dan granuler, serta adanya
proteinuria dan sering disertai dengan penurunan fungsi ginjal. Deposit
pada subepithelial juga akan mengaktifkan sistem komplemen namun
tidak terjadi influx sel-sel inflamasi karena kemoatraktan dipisahkan oleh
membran basalis glomerulus dari sirkulasi. Secara histopatologi akan
memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara klinis akan

5
REFARAT NEFRITIS LUPUS
didapatkan proteinuria. 12,13

Gambar 1. Mekanisme Patogenesis pada NL7,8

6. KLASIFIKASI
Nefritis lupus yang diakibatkan oleh SLE diklasifikasikan oleh International
Society of Nephrologi / Renal Pathology Society (ISN/RPS) menjadi enam kategori
berdasarkan temuan mikroskop cahaya, imunofloresensi dan mikroskop elektron .5

6
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Tabel 1. Klasifikasi NL oleh International Society of Nephrologi / Renal
Pathology Society (ISN/RPS)
Kelas Definisi Temuan Klinis
I Minimal Mesangial Glomerulos normal pada mikroskop cahaya,
NL tetapi terdapat deposit imun pada mesangium
dengan pemeriksaan imunofloresens.
II Mesangial Hiperselularitas mesangium dalam tingkat
Proliferatif NL apapun atau adanya ekspansi matriks mesangial
disertai deposit imun pada mesangial. Deposit
subendotel atau subepitelial yang terisolasi dapat
terlihat oleh imunofloresensi atau mikroskop
electron, tetapi tidak dengan mikroskop cahaya.
III Fokal NL Glomerulonefritis endokapiler / ekstrakapiler
tipe difusa, segmental, atau global yang
melibatkan <50% dari semua glomerulus,
biasanya disertai deposit imun subendothelial
yang difus, dengan atau tanpa perubahan
mesangial.
IV Difus NL Glomerulonefritis (aktif/inaktif) endokapiler
/ekstrakapiler tipe difus , segmental atau global
yang melibatkan >50% dari semua glomerulus,
biasanya disertai dengan deposit imun
subendotel yang difus, dengan atau tanpa
perubahan mesangial.
Kelas ini dibagi menjadi dua yakni :
1. NL difus segmental (IV-S), yaitu ketika
>50% dari glomerulus yang terlibat
memiliki lesi segmental.
2. NL difus global (IV-G) ketika > 50% dari
glomerulus yang terlihat memiliki lesi
global.

7
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Segmental didefinisikan sebagai lesi glomerulus
yang melibatkan kurang dari setengah dari
glomerular tuft. Termasuk dalam kelas ini yaitu
kasus dengan deposit wire-loop difusa, tetapi
dengan sedikit atau tidak ada proliferasi
glomerulus.
V Membranous NL Deposit imun subepithelial tipe global atau
segmental yang tampak oleh mikroskop cahaya
dan imunoflorosensi atau mikroskop electron,
disertai atau tanpa perubahan mesangial.
NL kelas V dapat terjadi dalam kombinasi
bersamaan dengan kelas III atau kelas IV .atau
dengan/tanpa alterasi mesangial. NL kelas V
dapat menunjukkan sklerosis tahap lanjut
VI NL Sklerotik Lanjut >90% glomerulus mengalami sclerosis secara
global tanpa aktivitas residual

7. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis berdasarkan gambaran histopatologi NL dapat


dikelompokkan sebagai berikut :

Tabel 2. Manifestasi Klinis NL berdasarkan gambaran histopatologi 9,14

NL Proteinuria Hematuria Hipertensi Sindrom Gangguan


Nefrotik fungsi ginjal
Kelas I 1 gr/ 24 jam Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal
Kelas II 1-3 gr/ 24 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal
jam
Kelas >3 gr/ 24 Ada Ada Ada Peningkatan
III jam kreatinin

8
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Kelas >3 gr/ 24 Sering Sering Sering Peningkatan
IV jam kreatinin
Kelas V >3 gr/ 24 Ya/ Tidak Ya/ Tidak Sering Normal atau
jam penurunan
kreatinin
Kelas 1 gr/ 24 jam Ya / Tidak Ya / Tidak Ya/ Tidak Penurunan
VI kreatinin

8. DIAGNOSIS

8.1. Tes Laboratorium


a. Darah Rutin
Tes penunjang yang dilakukan pada Nefritik Lupus adalah tes
darah rutin. Hasil tes dapat ditemukan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia dan leukopenia. Selain itu dapat ditemukan
hasil positif pada Coombs test.

b. Urinalisis
Pada nefritis lupus dapat ditemukan proteinuria persisten (lebih
dari 0,5 g protein per hari atau 3+ pada dipstik) dan cast seluler (sel
darah merah, hemoglobin , granular, tubular atau campuran) dalam
sedimen urin. Dalam kriteria klasifikasi Systemic Lupus International
Collaborating Clinics (SLICC), keterlibatan ginjal didefinisikan
sebagai rasio protein-kreatinin urin atau ekskresi protein urin 24 jam >

0,5 g per hari atau adanya sel darah merah dalam sedimen urin.17
Ekskresi protein urin dalam pengumpulan urin 12 jam atau 24 jam
memberikan perkiraan proteinuria terbaik meskipun hasilnya mungkin
berbeda dalam periode yang singkat. Hal ini biasanya disebabkan
karena kesalahan pengumpulan atau aktivitas fisik. Agar lebih praktis,
rasio protein-kreatinin urin di pagi hari atau sampel urin acak pada siang
hari dapat menggantikan ekskresi protein urin dalam pengumpulan urin

9
REFARAT NEFRITIS LUPUS
24 jam meskipun pendekatan ini belum divalidasi. Pemeriksaan
sedimen urin termasuk dalam kriteria klasifikasi SLE, serta lebih
unggul daripada pemeriksaan dipstik. Kelainan sedimen urin yang
paling sering dijumpai pada pasien NL adalah leukosituria, hematuria

dan cast granular.5

c. Tes Fungsi Ginjal

Tes fungsi ginjal yang dipakai sehari–hari adalah kadar ureum


dan kreatinin. Beberapa kendala penggunaan kadar kreatinin darah
sebagai tolok ukur Glomerulus Filtration Rate (GFR) adalah pada gagal
ginjal ringan belum menampakkan perubahan yang bermakna,
peningkatan kadar kreatinin darah baru terlihat setelah terjadi penurunan
GFR sekitar 50%. Gagal ginjal yang berat menunjukkan hubungan
antara peningkatan kadar kreatinin darah dengan beratnya gagal ginjal
adalah kurang tepat, karena hasil kreatinin menjadi berkurang.
Pengukuran creatinin clearence juga memerlukan pengumpulan urin 24
jam yang pada pelaksanaannya sulit dilakukan oleh pasien.12

d. Profil Komplemen C3 dan C4

Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak


spesifik. Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak
aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen dan kompleks imun maka akan
menghasilkan berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan
antigen tersebut. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang
terdiri dari 20 protein plasma dan bekerja secara berantai seperti model
kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis. Pemeriksaan komplemen
C3 dan C4 merupakan pemeriksaan yang banyak diminta untuk menilai
NL. Nilai rujukan C3 serum adalah 0.7 – 1.6 g/L dan nilai rujukan
komplemen C4 serum adalah 0.2 – 0.4 g/L. Kadar C3 dan C4 serum
biasanya rendah pada tahap aktif dan sering di bawah nilai normal

10
REFARAT NEFRITIS LUPUS
sebelum gejala lupus bermanifestasi. Kadar C3 dan C4 yang kembali
normal dihubungkan dengan perbaikan NL.19

e. ANA-Fluoroscent
Antinuklear antibody (ANA) merupakan suatu kelompok
autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan nucleoprotein,
ditemukan pada soft tissue disease seperti SLE, sclerosis sistemik,
Mixed Connetive Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogren’s primer.
Metode pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan
ANA adalah indirect immunofluorescence dan ELISA. Uji ANA yang
positif tidak selalu menunjukkan ada penyakit autoimun karena di 5%
individu yang sehat, pemeriksaan ini positif dengan kadar larutan yang
rendah. Sebaliknya uji ANA yang positif belum tentu terdapat penyakit
autoimun karena pada keganasan (misal leukemia, limfoma) maupun
penyakit infeksi (misal hepatitis, HIV) ini dapat positif. Hal ini
menyebabkan penafsiran uji ANA di penyakit autoimun harus
disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Uji ANA umumnya
kurang berhubungan dengan derajat kerusakan ginjal dan tidak
membantu pemantauan respons pengobatan dan ramalan perjalanan
penyakit.8,9

Anti Nuklear Antibodi (ANA) metode indirect immunofluoroscnce


merupakan suatu metode pemeriksaan untuk skrining autoantibodi
terhadap nukleus. Sampel serum yang mengandung autoantibodi
tertentu akan bereaksi dengan substrat yang mengandung antigen
spesifik. Reaksi antigen antibodi ditunjukkan oleh adanya pola
fluorosensi spesifik yang dapat diamati dengan mikroskop fluorosens.
Pemeriksaan ini mempunyai spektrum antigen yang luas untuk
mendeteksi berbagai autoantibodi sehingga sesuai untuk tujuan
skrining.

f. Anti ds-DNA

11
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Pemeriksaan antibodi anti-dsDNA (anti-double stranded DNA)
lebih spesifik, tetapi kurang sensitif untuk SLE. Hasil positif ditemukan
kira-kira di 75% pasien SLE yang aktif dan belum diobati. Antibody
terhadap DNA dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap
DNA natif. Anti-dsDNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai
pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostik.
Peningkatan kadar anti-dsDNA menunjukkan peningkatan aktivitas
penyakit. Hasil negatif anti ds-DNA adalah < 10 IU/mL. Hasil equivocal
adalah 10-15 IU/mL. Hasil positif adalah > 15 IU/mL. Pada SLE, anti-
dsDNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan
aktifitas penyakit SLE. 9

8.2 Biopsi Ginjal


Biopsi ginjal saat ini merupakan baku emas untuk menentukan
patologi yang mendasari fenotipe klinis lupus nefritis seperti
proteinuria atau kelainan sedimen urin, mengkonfirmasi diagnosis NL
dan mengkarakterisasi subtipe NL berdasarkan pola histologis. Studi
telah memaparkan bahwa biopsi ginjal dapat mendeteksi NL
asimtomatik. Temuan histologis dalam sampel biopsi ginjal
menentukan tingkat aktivitas inflamasi dan tingkat kerusakan jaringan
yang ireversibel, dan dengan demikian memberikan informasi dan
panduan untuk pengambilan keputusan tentang manajemen terapeutik.
Histologi ginjal dapat membantu mengeksklusi atau mengidentifikasi
kondisi selain NL yang juga dapat mempengaruhi ginjal pada pasien
dengan SLE dan secara klinis serupa dengan NL. Biopsi ginjal
direkomendasikan pada kasus proteinuria persisten dengan ekskresi
protein lebih dari 0,5 g per hari, terutama bila disertai dengan hematuria
atau cast seluler dalam sedimen urin.5
Biopsi harus dilakukan sebelum memulai pengobatan
imunosupresif, sebaiknya dalam bulan pertama setelah onset penyakit.
Minimal sepuluh glomeruli diperlukan untuk melakukan pemeriksaan

12
REFARAT NEFRITIS LUPUS
yang kredibel dan untuk menyingkirkan penyakit fokal. Biopsi harus
diperiksa dengan mikroskop cahaya, imunofluoresensi, dan mikroskop
elektron jika memungkinkan. Selanjutnya, lesi vaskular dan interstisial
harus dijelaskan dan data tentang aktivitas dan kronisitas harus
dihitung. Indikasi untuk biopsi ginjal ulang masih kontroversial.
Sebagian besar merekomendasi biopsi ginjal ulang pada kasus
perburukan atau refrakter terhadap pengobatan. Biopsi ginjal ulang juga
diterapkan dalam uji klinis untuk memantau kemanjuran pengobatan,
dan membantu mengetahui efek perubahan aktivitas penyakit dan skor

kronisitas terhadap prognosis penyakit.20

Gambar 2. Pola Histologis Nefritis Lupus21

13
REFARAT NEFRITIS LUPUS
(A) Glomerulus menunjukkan hiperselularitas mesangial (panah) sesuai dengan NL kelas
II. (B) Glomerulus dengan infiltrat inflamasi aktif (panah) pada pasien dengan NL kelas
IIIA. (C) Glomerulus dengan perubahan kronis (panah) pada pasien dengan NL kelas IIIC.
(D) Glomerulus dengan nekrosis segmental (panah) yang dapat ditemukan pada NL kelas
IV-S. (E) Glomerulus dengan proliferasi global yang dapat ditemukan pada NL kelas IV-
G. (F) NL Kelas V diwarnai dengan perak untuk menunjukkan spikes & holes pada
membran basal glomerulus (panah), yang merupakan temuan mikroskopis ringan yang
konsisten dengan endapan subepitel. (G) Glomerulus dengan sklerosis global seperti yang
ditemukan pada LN kelas VI. (H) Inflamasi interstisial akut yang padat (panah) pada pasien
dengan NL proliferatif. (I) Trombus fibrin (panah) pada arteriol pasien SLE yang konsisten
dengan mikroangiopati trombotik.21

9. DIAGNOSIS BANDING
Terdapat berbagai penyakit yang memberikan gambaran klinis dan
temuan laboratorium serupa (peningkatan kreatinin, hematuria, proteinuria)
dengan nefritis lupus. Biopsi ginjal merupakan satu-satunya metode yang
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis nefritis lupus secara definitif
dan mengeksklusi kausa lain. Beberapa diagnosis diferensial dari nefritis
lupus termasuk Glomerulonefritis akut pasca infeksi Streptococcus
(GNAPS) dan nefropati IgA. Berikut adalah perbedaan dari diagnosis
banding tersebut 4,7,18 :

Tabel 3. Diagnosis Banding


NL GNAPS Nefropati
IgA
Proteinuria + + +
Hematuria + + setelah 10 hari +
pasca faringitis
Edema + + +/-
ANA-Fluoresen + - -
Anti dsDNA + - -
Kadar C3 Menurun Menurun lalu Normal
kembali normal
dalam 6-8 minggu

14
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Keterangan :

NL : Nefritis lupus
GNAPS : Glomerulonefritis akut pasca infeksi Streptococcus

10. TATALAKSANA
Terapi didasarkan pada tipe kelas pada klasifikasi histologis nefritis
23
lupus.

Semua Kelas Indeks aktivitas & kronisitas Hidroksiklorokuin

Terapi suportif
Kelas I atau Fungsi ginjal normal,
Terapi imunosupresif
Kelas II mikrohematuria, proteinuria (proteinuria >3g/ hari)

Induksi :
Glucocorticoids +
Hipertensi, AKI, Cyclofosfamid
Kelas III dan Atau Glucocorticoids +
Kelas IV mikrohematuria, proteinuria,
Mikrofenolat mofetenil
sindrom nefrotik
Pemeliharaan :
Glucocticoids + Mikrofenolat
mofetenil / Azathioprine

Terapi :
Antiproteinuria
Proteinuria, sindrom Induksi :
Kelas V nefrotik, hipertensi, fungsi Mikrofenolat mofetenil +
ginjal normal Calcineurin inhibitors
Pemeliharaan :
Lanjut atau tambah calcineurin
mofetenil
15
REFARAT NEFRITIS LUPUS
Terapi Suportif :
Kelas VI CKD, proteinuria, hipertensi Terapi imunosuppresif

Gambar 3. Terapi Nefritis Lupus Berdasarkan Klasifikasi13

10. PROGNOSIS
Meskipun nefritis lupus meningkatkan morbiditas dan mortalitas
terkait SLE, prognosis NL bergantung pada kelas histopatologi yang
dimiliki pasien. Kelas 1 (minimal) dan kelas 2 (proliferatif mesangial)
memiliki prognosis jangka panjang yang baik. Prognosis memburuk seiring
meningkatnya kelas. Kelas 3 dan 4 memiliki prognosis yang buruk. Kelas 5
dan 6 memiliki prognosis yang paling buruk. Prognosis juga tergantung
pada seberapa dini terapi dimulai. Semakin dini terapi dimulai, maka luaran
pasien akan semakin baik. Selama empat dekade terakhir, perubahan dalam
pengobatan lupus nefritis telah secara signifikan meningkatkan luaran ginjal
dan kesintasan secara keseluruhan. Pada tahun 1950-an, tingkat
kelangsungan hidup 5 tahun pada pasien dengan nefritis lupus mendekati
0%. Penambahan agen imunosupresif seperti siklofosfamid intravena (IV)
telah meningkatkan kelangsungan hidup masing-masing sebesar 85% dan
73%.4
Kematian yang terkait dengan lupus nefritis pada pasien dengan
penyakit ginjal stadium akhir telah menurun secara signifikan dalam
beberapa dekade terakhir. Angka kematian per 100 pasien-tahun berkurang
dari 11,1 pada 1995-1999 menjadi 6,7 pada 2010-2014. Kematian terkait

16
REFARAT NEFRITIS LUPUS
penyakit kardiovaskular menurun sebesar 44% dan kematian akibat infeksi
menurun sebesar 63%. Sindrom nefrotik dapat menyebabkan edema, asites,
dan hiperlipidemia, meningkatkan risiko penyakit arteri koroner dan
trombosis.4

11. KESIMPULAN
Nefritis Lupus (NL) merupakan salah satu komplikasi yang cukup
sering terjadi pada pasien SLE, menyebabkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas terkait perburukan fungsi ginjal. Secara laboratoris, dapat
ditemukan peningkatan kreatinin, penurunan eGFR, proteinuria persisten,
serta cast seluler. Secara histologis, lupus nefritis diklasifikasikan menjadi
6 kelas berbeda yang merefleksikan tingkat keparahan dan berkaitan dengan
prognosis/luaran jangka panjang pasien. Evaluasi fungsi ginjal berkala pada
pasien SLE sangat penting, karena deteksi dini lupus nefritis dapat
mencegah progresifitas ke ESRD dan kematian, serta memperbaki
prognosis pasien.

17
REFARAT NEFRITIS LUPUS
12. ALGORITMA MODIFIKASI

SLE

Urinalisis Tes Fungsi Ginjal

Hematuria mikrosksop
(>5 RBC/HPF) Serum kreatinin Serum kreatinin
<1.3 mg/dL >1.3 mg/dL

Eksresi protein urin Eksresi protein urin YA


<0.5 g/hari >0.5 g/hari Tidak
YA
Cari Penyebab lain:
Pertimbangkan • Nefropati IgA
Biopsi
biopsi ginjal • GNAPS

Nefritis Lupus
• Hiperseluler endokapile
• Crescent
• Hasil Immunoflorescence
positif

Gambar 4. Algoritma Diagnosis & Terapi Nefritis Lupus5

18
REFARAT NEFRITIS LUPUS
DAFTAR PUSTAKA

1. Jaryal A, Vikrant S. Current status of lupus nephritis. Indian J Med Res. 2017
Feb;145(2):167–78.

2. Schwartz N, Goilav B, Putterman C. The pathogenesis, diagnosis and


treatment of lupus nephritis. Curr Opin Rheumatol. 2014 Sep;26(5):502–9.

3. Trotter K, Clark MR, Liarski VM. Overview of Pathophysiology and


Treatment of Human Lupus Nephritis. Curr Opin Rheumatol. 2016
Sep;28(5):460–7.

4. Musa R, Brent LH, Qurie A. Lupus Nephritis. In: StatPearls [Internet].


Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 [cited 2022 Feb 5].
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499817/

5. Anders H-J, Saxena R, Zhao M, Parodis I, Salmon JE, Mohan C. Lupus


nephritis. Nat Rev Dis Primers. 2020 Jan;6(1):7.

6. Bomback AS, Appel GB. Lupus nephritis: Diagnosis and classification


[Internet]. UpToDate. 2021. Available from:
https://www.uptodate.com/contents/lupus-nephritis-diagnosis-and-
classification#H216949728

7. Hanly JG, O’Keeffe AG, Su L, Urowitz MB, Romero-Diaz J, Gordon C, et al.


The frequency and outcome of lupus nephritis: results from an international
inception cohort study. Rheumatology. 2016 Feb;55(2):252–62.

8. Galindo-Izquierdo M, Rodriguez-Almaraz E, Pego-Reigosa JM, López-Longo


FJ, Calvo-Alén J, Olivé A, et al. Characterization of Patients With Lupus
Nephritis Included in a Large Cohort From the Spanish Society of
Rheumatology Registry of Patients With Systemic Lupus Erythematosus
(RELESSER). Medicine (Baltimore). 2016 Mar;95(9):e2891.

9. Yap DYH, Chan TM. Lupus Nephritis in Asia: Clinical Features and
Management. Kidney Dis (Basel). 2015 Sep;1(2):100–9.

10. Brent LH. Lupus Nephritis: Practice Essentials, Background, Pathophysiology


[Internet]. Medscape. 2021 [cited 2022 Feb 6]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/330369-overview#a5

11. Mohan C, Putterman C. Genetics and pathogenesis of systemic lupus


erythematosus and lupus nephritis. Nat Rev Nephrol. 2015 Jun;11(6):329–41.

12. Tamirou F, Houssiau FA. Management of Lupus Nephritis. J Clin Med. 2021
Feb 9;10(4):670.

19
REFARAT NEFRITIS LUPUS
13. Almaani S, Meara A, Rovin BH. Update on Lupus Nephritis. Clin J Am Soc
Nephrol. 2017 May 8;12(5):825–35.

14. Kaul A, Gordon C, Crow MK, Touma Z, Urowitz MB, van Vollenhoven R, et
al. Systemic lupus erythematosus. Nat Rev Dis Primers. 2016 Dec
22;2(1):16039.

15. Moroni G, Vercelloni PG, Quaglini S, Gatto M, Gianfreda D, Sacchi L, et al.


Changing patterns in clinical-histological presentation and renal outcome over
the last five decades in a cohort of 499 patients with lupus nephritis. Ann
Rheum Dis. 2018 Sep;77(9):1318–25.

16. Gasparotto M, Gatto M, Binda V, Doria A, Moroni G. Lupus nephritis: clinical


presentations and outcomes in the 21st century. Rheumatology. 2020 Dec
5;59(Supplement_5):v39–51.

17. Aringer M, Costenbader K, Daikh D, Brinks R, Mosca M, Ramsey-Goldman


R, et al. 2019 European League Against Rheumatism/American College of
Rheumatology classification criteria for systemic lupus erythematosus. Ann
Rheum Dis. 2019 Sep;78(9):1151–9.

18. Smith EMD, Jorgensen AL, Midgley A, Oni L, Goilav B, Putterman C, et al.
International validation of a urinary biomarker panel for identification of
active lupus nephritis in children. Pediatr Nephrol. 2017;32(2):283–95.

19. Stojan G, Petri M. Anti-C1q in systemic lupus erythematosus. Lupus. 2016


Jul;25(8):873–7.

20. Haładyj E, Cervera R. Do we still need renal biopsy in lupus nephritis?


Reumatologia. 2016;54(2):61–6.

21. Parikh SV, Alvarado A, Malvar A, Rovin BH. The Kidney Biopsy in Lupus
Nephritis: Past, Present, and Future. Seminars in Nephrology. 2015
Sep;35(5):465–77.

22. Fanouriakis A, Kostopoulou M, Cheema K, Anders H-J, Aringer M, Bajema


I, et al. 2019 Update of the Joint European League Against Rheumatism and
European Renal Association–European Dialysis and Transplant Association
(EULAR/ERA–EDTA) recommendations for the management of lupus
nephritis. Ann Rheum Dis. 2020 Jun;79(6):713–23.

23. Morales E, Galindo M, Trujillo H, Praga M. Update on Lupus Nephritis:


Looking for a New Vision. Nephron. 2021;145(1):1–13.

20
REFARAT NEFRITIS LUPUS
21
REFARAT NEFRITIS LUPUS

Anda mungkin juga menyukai