Anda di halaman 1dari 24

Reading Assignment Acc Supervisor

Divisi Hemato Onkologi Medik


FK-UNSYIAH-RSUDZA
Dr. M. Riswan, Sp.PD-KHOM

Diagnosis dan Tatalaksana Acquired Hemophilia


M. Haris, M. Fuad, M. Riswan
Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Divisi Hemato Onkologi/SMF Ilmu Penyakit Dalam Universitas Syiah Kuala
RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh

I. PENDAHULUAN
Pendarahan masif pada pasien tanpa didasari kelainan darah kongenital
mungkin memiliki sejumlah penyebab, seperti overdosis antikoagulan, gangguan
pembuluh darah, gangguan funsi trombosit, atau defisiensi faktor VIII yang
didapat. diagnosis yang cepat dengan pengobatan khusus sangat penting.1
Acquired Hemophilia (AH) pertama kali dijelaskan pada tahun 1940 pada
seorang pria 61 tahun yang meninggal akibat perdarahan pasca operasi. Karena
kelangkaan penyakit, pengetahuan tentang gambaran klinis dan modalitas
pengobatan sebagian besar didasarkan pada kasus yang pernah terjadi.2
Acquired Hemophilia adalah perdarahan diathesis yang jarang dengan
tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Pengobatan harus diarahkan pada
manajeman perdarahan serta penekanan imun untuk menurunkan jumlah antibodi
yang mengurangi aktivitas faktor pembekuan.3
Patofisiologi penyakit ini disebabkan oleh autoantibodi yang menghambat
dan mempengaruhi fungsi dan/atau meningkatkan clearance protein pada berbagai
tahap kaskade koagulasi. Biasanya langsung berpengaruh pada faktor VIII (FVIII)
yang dapat menyebabkan AH, hal ini dapat terjadi pada individu yang menderita
gangguan autoimun, keganasan, kehamilan, dll. Gambaran klinis dapat berupa
tidak ada perdarahan atau perdarahan minimal hingga perdarahan massif yang
dapat mengacam jiwa.4

1
II. EPIDEMIOLOGI
Pengamatan secara klinis dan konfirmasi diagnosis pada pasien dengan
AH sangat diperlukan. Demografi AH telah didapatkan melalui data yang
dikumpulkan dari beberapa studi. Secara umum, prevalensi AH diperkirakan 1,48
kasus per juta per tahun, dengan tingkat mortalitas antara 9-22%. Data yang
dihasilkan dalam sistem kesehatan nasional Inggris dan Wales memperkirakan
prevalensi 1,3-1,5 kasus per juta per tahun.5
Onset terjadi AH berdasarkan usia didistribuskan dalam pola biphasic,
dengan angka kejadian yang tinggi pada individu muda, terutama pada wanita
pasca persalinan, orang-orang dengan penyakit autoimun, dan pada usia 60-80
tahun, dalam hal ini prevalensi berdasarkan jenis kelamin tidak berbeda. AH
jarang terjadi pada anak-anak di bawah usia 16 tahun (diperkirakan 0.045 kasus
per juta per tahun), dan dapat terdiagnosis pada usia lebih dari 85 tahun
(diperkirakan 14,7 kasus per juta per tahun).6
Data dari 172 pasien di United Kingdom Haemophilia Centre Doctors’
Organisation (UKHCDO), 63% penderita AH berusia 65-85 tahun, dan 22%
berusia lebih dari 85 tahun.6 Data dari European Acquired Haemophilia Registry
(EACH2), yang mencakup 501 pasien dengan AH dari 13 negara di Eropa, juga
telah melaporkan pola biphasic bila ditinjau berdasarkan usia, dengan puncak
terjadi di usia muda (median usia 33,9 tahun), terutama pada wanita pasca
persalinan, dan pada usia lanjut.7
Pada studi terbesar yang pernah meneliti tentang AH, 50-60% dari
individu yang didagnosa AH sebelumnya sehat dan tanpa keadaan penyakit yang
mendasari. Kondisi klinis yang paling sering dikaitkan dengan AH adalah
kehamilan, penyakit autoimun, keganasan, dan pemberian obat-obat tertentu
(misalnya penisilin, sulfonamid, interferon-α, dll).8

III. PATOFISIOLOGI
Hemostasis merupakan mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan
secara spontan. Proses hemostasis tergantung pada faktor koagulasi, trombosit dan
pembuluh darah. Mekanisme hemostasis terdiri dari respons pembuluh darah,
adhesi trombosit, agregasi trombosit, pembentukan bekuan darah, stabilisasi

2
bekuan darah, pembatasan bekuan darah pada tempat cedera oleh regulasi
antikoagulan, dan pemulihan aliran darah melalui proses fibrinolisis dan
penyembuhan pembuluh darah.9
Teori yang banyak dianut untuk menerangkan proses pembekuan darah
adalah teori cascade atau waterfall yang dikemukakan oleh Mac Farlane, Davie
dan Ratnoff. Menurut teori ini setiap faktor pembekuan darah diubah menjadi
bentuk aktif oleh faktor sebelumnya dalam rangkaian reaksi enzimatik. Faktor
pembekuan beredar dalam darah sebagai prekursor yang akan diubah menjadi
enzim bila diaktifkan. Enzim ini akan mengubah prekursor selanjutnya menjadi
enzim lain. Jadi mula-mula faktor pembekuan darah bertindak sebagai substrat
dan kemudian sebagai enzim. Cedera pada pembuluh darah akan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah dan terpaparnya darah terhadap matriks
subendotel. Faktor von Willebrand (VWF) akan teraktifasi dan diikuti adhesi
trombosit. Setelah proses ini, adenosine diphosphatase, tromboxane A2 dan
protein lain trombosit melepaskan granul yang berada di dalam trombosit dan
menyebabkan agregasi trombosit dan perekrutan trombosit lebih lanjut. Cedera
pada pembuluh darah juga melepaskan tissue factor dan mengubah permukaan
pembuluh darah, sehingga memulai kaskade pembekuan darah dan menghasilkan
fibrin. Selanjutnya bekuan fibrin dan trombosit ini akan distabilkan oleh faktor
XIII. Kaskade pembekuan darah ini dapat dilihat pada gambar 1. Kaskade ini
menggambarkan jalur intrinsik dan ekstrinsik pembentukan trombin. Meskipun
memiliki beberapa kelemahan, kaskade ini masih dipakai untuk menerangkan uji
koagulasi yang lazim dipakai dalam praktek sehari-hari.910
Faktor VIII (FVIII) beredar dalam plasma, terikat nonkovalen dengan
fakor von Willebrand (VWF) yang berdampingan dalam sirkulasi. Rangkaian
FVIII yang terdiri dari asam amino dikelompokkan menjadi enam domain. Telah
disepakati bahwa epitop yang paling umum untuk autoantibodi (serta
alloantibody) terikat di antara asam amino 454-509 dan 593 dalam domain A2,
antara 1804 dan 1819 di domain A3 , dan antara 2181 dan 2243 di domain C2.
Antibodi C2 menghambat pengikatan FVIII pada fosfolipid dan juga dapat
mengganggu pengikatan FVIII pada protein VWF, sedangkan antibody A2 dan

3
antibodi A3 menghambat pengikatan FVIII pada faktor X (FX) dan faktor IXa
(FIXa), masing-masing di dalam jalur intrinsik aktivasi kompleks FX.11

Gambar 1. Kaskade Pembekuan Darah9

Hemofilia A kongenital biasanya memiliki respon poliklonal yang terdiri


dari antibodi untuk kedua domain (A2 dan C2), sedangkan pasien AH biasanya
memiliki antibodi A2 atau antibodi C2 tetapi tidak keduanya. Kebanyakan
antibodi adalah campuran dari imunoglobulin poliklonal G1 (IgG1) dan
imunoglobulin poliklonal G1 (IgG4), dengan molekul IgG4 yang paling
bertanggung jawab untuk menghambat aktivitas pembekuan darah.11
Tetapi mekanisme dan kinetika aktivitas FVIII yang mana yang dihambat
adalah akibat interaksi dengan autoantibodi dan alloantibodi saat ini belum
sepenuhnya dipahami. Alloantibodi biasanya menetralisir aktivitas FVIII secara
linear, yang biasa disebut pola kinetic type I. Sebaliknya, kebanyakan
autoantibodi tidak sepenuhnya menetralisir atau menghambat aktivitas FVIII dan
berinteraksi dengan FVIII melalui pola nonlinear, yang biasa disebut pola kinetik
kompleks tipe II. Implikasi dari pola kinetic tipe II ini ditemukan pada pasien AH.
Sisa residu yang rendah dari aktivitas FVIII bisa terdeteksi dalam tes

4
laboratorium, namun pasien AH yang mengalami perdarahan massif terlihat
seolah-olah mereka tidak memiliki aktivitas FVIII sama sekali.11
Tingkat sisa residu aktivitas FVIII dalam konteks keberadaan autoantibodi
inhibitor tidak memprediksi tingkat keparahan atau frekuensi komplikasi
perdarahan pasien AH. Selanjutnya inhibitor ini, yang mengikuti kinetika
kompleks (type II), tidak dapat diukur dengan tepat karena standar pemeriksaan
Bethesda berdasarkan kinetika linear. Dengan demikian, pasien mungkin
diklasifikasikan sebagai pasien yang memiliki titer autoantibodi inhibitor yang
rendah (dinyatakan sebagai Bethesda unit [BU]), tetapi bermanifestasi dengan
perdarahan massif.12
Hal ini tampak jelas bahwa interaksi yang antara autoantibody inhibitor
dengan alloantibodi terhadap FVIII sangat berbeda. Penjelasan untuk ini belum
sepenuhnya dipahami, namun pada perdarahan sendi, biasanya didominasi pada
individu dengan alloantibodi inhibitor, AH biasanya dikaitkan dengan perdarahan
yang lebih visceral, intramuskular, dan perdarahan jaringan lunak. Teknik
pencitraan Small angle X-ray scattering (SAXS) menyatakan bahwa
"kooperativitas antibodi" dapat berkontribusi untuk berbagai pola kinetik dan
dengan demikian pola klinis mungkin juga dapat diamati antara tipe alloantibodi
inhibitor FVIII (tipe I) dan tipe autoantibodi inhibitor FVIII (tipe II).13
Penelitian yang dilakukan oleh Walter dkk, menunjukkan bahwa antibodi
inhibitor anti-C2 tipe I mengganggu aktivitas FVIII untuk mengikat fosfolipid dan
protein VWF sedangkan autoantibodi inhibitor tipe II memblok aktivasi
proteolitik FVIII oleh trombin atau FXa pada kondisi ada maupun tidak ada VWF.
Pada pengamatan laboratorium, trombin pada pasien dengan AH secara signifikan
tertekan dibandingkan dengan pasien dengan hemofilia A.13
Aspek yang penting untuk dipertimbangkan dari AH mengapa
autoantibodi FVIII dianggap sebagai mekanisme yang paing mungkin adalah fakta
AH terkait dengan banyak penyakit autoimun lainnya, dan bahwa terapi yang
efektif didasarkan pada terapi imunosupresif.11
Data dari Hemophilia Inhibitor Genetics Study (HIGS) menunjukkan
bahwa pembentukan alloantibodi FVIII yang ada pada pasien dengan hemofilia A
berat adalah proses poligenik kompleks yang melibatkan polimorfisme pada gen

5
yang membawa respon imun, termasuk coding histokompatibilitas lokus antigen
(HLA) alel kelas II, interleukin 10 (IL-10), dan sitotoksik T-limfosit antigen-4
(CTLA-4). Oldenburg dkk, mengamati bahwa HLA kelas II alel DRB*16 dan alel
DQB *0502 dan CTLA-4 alel +49 G ditemukan banyak pada pasien dengan AH,
bagaimana gen respon imun ini berkontribusi pada timbulnya AH masih belum
dapat dijelaskan.14

IV. MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis dari AH ditandai dengan pendarahan akut pada individu
yang sebelumnya tidak memiliki riwayat perdarahan diatesis. Perlu dicatat bahwa
pola perdarahan lebih berat dengan anatomi yang bervariasi daripada pasien
hemophilia A, hal ini kemungkinan disebabkan oleh aktifitas alloantibodi
inhibitor terhadap FVIII. Pasien umumnya datang dengan perdarahan mukokutan
seperti epistaksis dan perdarahan gastrointestinal, serta pendarahan jaringan lunak
luas termasuk ekimosis dan hematom pada regio retroperitoneal. Perdarahan sendi
dan otot biasanya dialami oleh pasien dengan hemofilia A.15
Data dari sebuah studi oleh Craig dkk dengan 166 subyek,
manifestasi AH tersering ditemukan pada perdarahan subkutan (27,1%), mukosa
(21,1%), otot (5,4%), sendi (4,2%), retroperitoneal (2,4%), post operasi (1,8%),
postpartum (1,8%).16 Data lebih lengkap dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Manifestasi perdarahan pada AH, Craig M. Kessler et all.16

6
Perdarahan biasanya spontan, meskipun trauma minimal atau prosedur
invasif juga dapat menyebabkan ekimosis luas dan berdarah. Lebih dari 70 % dari
pasien AH hadir dengan pendarahan masif atau anemia berat dan memerlukan
terapi transfusi darah, dan hanya sekitar 6% yang datang asimptomatik.11
Tingkat mortalitas berkisar antara 9 dan 22%, kebanyakan sering
disebabkan oleh komplikasi infeksi akibat terapi imunosupresi dan bukan
disebabkan oleh perdarahan. Study EACH2 mencatat tingkat kematian 26% pada
pasien AH, hanya 4,5% yang diakibatkan oleh perdarahan masif. Tidak ada
kematian terjadi yang berhubungan dengan persalinan.7

V. ANALISA LABORATORIUM
Pemanjangan activated partial thromboplastin time (aPTT), dimana kadar
FVIII menurun pada plasma pasien, protrombin time (PT) dan fungsi trombosit
biasanya normal. Untuk menentukan apakah pemanjangan aPTT disebabkan
kekurangan FVIII atau akibat antikoagulan patologis yang beredar, diperlukan
analisa dan pemeriksaan yang komprehensif.11
Untuk mengkonfirmasi apakah netralisasi FVIII oleh adanya inhibitor
autoantibodi atau inhibitor alloantibodi, pemeriksaan kadar FVIII harus dilakukan.
Kemungkinan Lupus anticoagulant (LA) dapat disingkirkan dari kemungkinan
inhibitor autoantibodi FVIII dengan ditemukannya netralisasi platelet positif pada
pemeriksaan assay dan/atau dengan metode dilute Russell’s viper venom test
(dRVVT), tissue thromboplastin inhibition assay, atau kaolin clotting time.17
Selain itu, manifestasi klinis sangat penting untuk membedakan antara AH dengan
kemungkinan lain, LA biasanya ditemukan asimptomatik atau dengan kondisi
hipokoagulasi, dan pasien dengan AH cenderung dengan perdarahan.18
Ketika dicurigai adanya aktifitas inhibitor FVIII, sangat penting bahwa
target diidentifikasi dan tingkat aktivitas penghambatan diukur . Hal ini dilakukan
dengan menginkubasi sumber dari faktor pembekuan tertentu dengan peningkatan
pengenceran plasma pasien pada suhu 37 °C selama 2 jam. Setelah plasma yang
mengandung antibodi diencerkan, konsentrasi faktor pembekuan akan muncul
meskipun terkadang dapat menghasilkan aPTT normal atau menghasilkan

7
peningkatan aktivitas FVIII. Potensi keberadaan inhibitor dinyatakan di seluruh
dunia dalam satuan Bethesda unit (BU).18
Pemeriksaan lain untuk mendeteksi adanya inhibitor spesifik pada faktor
pembekuan adalah dengan menggunakan metode imunologi daripada metode
fungsional, pemeriksaan seperti enzyme-linked immunoadsorbent assay (ELISA),
sangat sensitif dan dapat mendeteksi antibodi yang tidak menghambat aktivitas
FVIII secara in vitro atau in vivo. Sejauh ini umumnya digunakan terbatas pada
setting penelitian.17
Dari perspektif klinis, tingkat keparahan perdarahan tidak bisa diprediksi
dari level titer BU dari inhibitor autoantibody atau untuk tingkat residu aktivitas
FVIII pada plasma.11
VI. KONDISI KLINIS YANG MENYERTAI
A. Idiopatik
Idiopatik AH terjadi paling sering pada orang lanjut usia sering hadir
dengan perdarahan akut yang mengancam jiwa. Namun, dalam beberapa kasus
autoantibodi idiopatik (terutama dengan titer inhibitor rendah), remisi spontan
kerap terjadi.12
Pasien usia lanjut dengan kondisi komorbiditas kadang-kadang membatasi
pilihan terapi, dan sering memerlukan pengurangan dosis obat (misalnya, steroid
pada diabetes), yang menyebabkan tingkat respons dan angka kelangsungan hidup
yang rendah. Manifestasi klinis yang paling sering adalah perdarahan pada
mukosa, kulit dan otot. Hematom pada regio retroperitoneal, perdarahan
gastrointestinal, perdarahan saluran kemih, perdarahan berlebihan pada trauma,
serta perdarahan massif pasca operasi tidak jarang ditemukan.12
Pada meta-analisis oleh Delgado dkk, mengamati bahwa keberhasilan
eradikasi inhibitor, usia pasien, dan kondisi komorbid yang terdapat pada pasien,
masing-masing secara independen berhubungan dengan angka kelangsungan
hidup pasien. Angka kematian yang lebih tinggi diamati pada pasien usia lanjut
karena tingkat remisi komplit yang lebih rendah, yang terkait dengan
ketidakmampuan pasien untuk mentolerir terapi immunosupresive.8 Pada
bebarapa studi, prevalensi AH idiopatik mencapai lebih dari 50%, seperti yang
diperlihatkan pada gambar 2.

8
Gambar 2. Insidensi kondisi yang menyertai AH pada beberapa studi.19

B. Autoimun
Inhibitor autoantibodi FVIII sering berhubungan dengan keadaan penyakit
lain diduga berasal dari disregulasi sistem imun. Dalam studi retrospektif terbesar,
penyakit autoimun ditemukan pada 17-25 % kasus AH, terutama gangguan
kolagen vaskuler, lupus eritematosus sistemik (SLE) dan rheumatoid arthritis
(RA). AH juga dikaitkan dengan penyakit autoimun lain seperti miastenia gravis,
multiple sclerosis, penyakit Graves, dan anemia hemolitik autoimun.6

C. Kehamilan
Pengembangan inhibitor autoantibodi FVIII bisa terjadi pada kehamilan.
UK national surveillance study memperkirakan bahwa prevalensi AH sekitar
1/350.000 dari kehamilan.6 Registri EACH2 dilaporkan bahwa 8,4% dari 501
subyek AH dikaitkan dengan kehamilan, terutama didiagnosis pada periode pasca
persalinan (kisaran 21-120 hari; median 89 hari).7 Perkembangan AH dapat terjadi
hingga 1 tahun pasca persalinan, tetapi kasus ini mungkin lebih terkait gangguan
autoimun lain. Perdarahan dan hematom yang berlebihan merupakan manifestasi
klinis umum AH, tetapi konteks kehamilan hal ini tidak signifikan secara klinis
kecuali tes koagulasi yang abnormal. Prognosis keseluruhan baik dan tingkat
kematian yang rendah (0-6%).8
Bila dibandingkan dengan AH yang berhubungan dengan penyakit
autoimun, titer autoantibodi FVIII dari AH pada kehamilan didapatkan jauh lebih

9
rendah. Jika titer inhibitor rendah (≤5 BU), umumnya menghilang spontan pada
30 bulan setelah melahirkan. Sekitar 74% wanita AH pada kehamilan mencapai
remisi komplit dengan pengobatan imunosupresif lini pertama. Meskipun sedikit
bertentangan data yang ada, tampak bahwa <15% dari individu dengan
autoantibodi FVIII akan mengalami kekambuhan pada kehamilan berikutnya.
Patogenesis kehamilan terkait inhibitor autoantibodi FVIII masih belum jelas.
Secara teori, autoantibodi FVIII yang bersirkulasi pada ibu hamil dengan AH
dapat meningkatkan risiko komplikasi hemoragik yang berat pada persalinan,
operasi Caesar harus dipertimbangkan dengan benar.20

D. Keganasan
Hubungan AH terkait keganasan, diidentifikasi sekitar 10-20% dari pasien
dengan AH, dan mungkin dengan prognosis yang buruk.8 Insidensi AH terkait
keganasan telah dilaporkan mencapai 19,5% pada study prospektive oleh
Surveillance des Auto antiCorps au cours de l’Hemophilie Acquise (SACHA) di
Perancis, dan hal ini terjadi terutama pada pria lanjut usia; dan terutama pada
penderita gangguan limfoproliferatif.21
Bagaimana etiologi dan patogenesa tumor solid dapat menyebabkan AH
tidak begitu jelas. Bahkan, beberapa penulis dan peneliti menganggap bahwa
terdapatnya autoantibodi FVIII pada pasien dengan tumor padat seperti kanker
prostat mungkin menjadi epiphenomenon dari neoplasma. Dalam beberapa kasus,
autoantibodi FVIII telah diamati muncul setelah pengobatan untuk kanker
dimulai, hal ini mungkin dipikirkan bahwa penggunaan obat sitotoksik, dan
modifikasi respons biologis seperti interferon-α, bisa mengubah kekebalan host
dan pasien cenderung untuk mengembangkan terjadinya fenomena autoimun.
Atau, inhibitor autoantibodi FVIII merupakan presentasi respon imun host untuk
antigen tumor, meskipun tidak ada antigen tumor yang dideskripsikan memiliki
homologi dengan FVIII.21
Perkembangan AH tidak berhubungan dengan staging keganasan.
Keganasan pada pasien AH bukan merupakan kontraindikasi untuk penggunaan
imunoterapi untuk menekan produksi antibodi. Inhibitor autoantibodi FVIII
mungkin tidak hilang meskipun pada kasus eradikasi keganasan telah komplit.
Namun, 70% dari kasus AH, khususnya pada staging keganasan yang rendah,

10
mendapatkan AH remisi komplit setelah dikemoterapi dan mendapatkan steroid
sistemik.22

E. Obat-obatan
Kejadian AH juga dihubungkan dengan reaksi obat, termasuk antibiotik
seperti pencillin dan turunannya, sulfonamide, kloramfenikol, antikonvulsan
seperti diphenylhydantoin, dan vaksinasi BCG (Bacille Calmette-Guerin). Daftar
obat yang diduga mengmbangkan AH telah berkembang pesat selama beberapa
tahun terakhir sebagai laporan anekdotal dalam literatur. Hal ini
merepresentasikan bahwa tingkat kewaspadaan terhadap munculnya AH semakin
tinggi, hubungan sebab-akibat elaborasi antibodi dan paparan obat masih tidak
jelas. Sering, obat-obatan dapat menginduksi antibodi anti-FVIII setelah terjadi
reaksi hipersensitivitas dan remisi dengan cepat setelah menghentikan obat yang
dicurigai menyebabkan AH. Patofisiologi masih belum diketahui, namun
perubahan signifikan dari fungsi kekebalan tubuh yang disebabkan oleh
pemberian obat seperti interferon-α dan fludarabine dapat memicu munculnya
autoantibodi anti-FVIII.23

Tabel 2. Kondisi klinis yang sering dikaitkan dengan AH.24


Keganasan Chronic lymphocytic leukemia, multiple myeloma,
Hematologis non-Hodgkin lymphoma, myelodisplasia, myelofibrosis
Tumor Solid Paru, prostat, payudara, kandung kemih, pankreas, colon, gaster.
Autoimun Systemic lupus erythematosus, rheumatoid arthritis,
ulcerative colitis, Sjogren syndrome, multiple sclerosis,
myasthenia gravis, autoimmune thyroid disorders,
autoimmune hemolytic anemia
Kehamilan Biasanya 1-4 bulan postpartum
Obat-obatan Antibiotik (golongan penicillin, chloramphenicol), golongan, sulfa,
phenytoin, methyldopa, interferon, levodopa, fludarabine,
clopidogrel, vaksin BCG,
Lain Psoriasis, pemfigus, infeksi akut hepatitis B and C, penyakit paru
obstruktif kronik, asma, celiac disease, trauma/prosedur invasive

F. Lain-lain
Banyak kondisi lain yang dikaitkan dengan AH, seperti gangguan
dermatologi (psoriasis, pemfigus), penyakit pernapasan (asma, penyakit paru

11
obstruktif kronik), gangguan neurologis (miastenia gravis), diabetes, dan infeksi
akut hepatitis B dan C. Namun, laporan ini anekdot dan tidak memiliki penjelasan
yang jelas mengenai laboratorium dan pola klinis yang jelas yang berhubungan
dengan penyakit tersebut.12

VII. DIAGNOSIS
Diagnosa AH ditegakkan berdasarkan pada kondisi klinis dan hasil
laboratorium. Pemanjangan aPTT dengan pasien tanpa riwayat perdarahan
sebelumnya, dan tanpa obat-obatan antikoagulan merupakan indikasi kuat
terjadinya AH. Riwayat pemanjangan aPTT (bila tersedia) dan riwayat perdarahan
sebelumnya dari pasien maupun keluarga perlu diketahui untuk membedakan AH
dengan hemofilia A, B, C atau defisiensi FXII.11
Algoritma yang berlaku umum untuk mendiagnosa AH meliputi:
pengukuran aktivitas kadar FVIII , mixing study dan uji Bethesda untuk penilaian
dari tingkat inhibitor (dapat dilihat pada gambar 3). Tes ini biasanya tersedia di
pusat-pusat hemofilia dan laboratorium hemostasis. Biasanya, pemanjangan aPTT
hingga 2-3 kali dari nilai normal.25 Aktivitas FVIII dalam kebanyakan kasus
menurun dibawah 15%. Studi EACH2 dan UKHDO, 66-76% dari subyek AH
memiliki aktivitas FVIII lebih rendah dari 5%.6,7 Mixing study menunjukkan
kurangnya koreksi aPTT setelah 1-2 jam post inkubasi plasma pasien dengan
volume yang sama dari plasma normal. Namun, hal ini bisa juga disebabkan oleh
kehadiran lupus anticoagulant.25
Untuk mengkonfirmasi diagnosis AH, perlu melakukan pemeriksaan
aktivitas FVIII dan uji Bethesda, yang membuktikan terdapat antibodi anti-FVIII
dalam kuantitas yang dihitung dalam BU. Antara kadar FVIII atau titer inhibitor
tidak berkorelasi satu sama lain dengan tingkat keparahan perdarahan. Mixing
study harus dilakukan dengan benar, koreksi cepat terhadap pemanjangan aPTT
belum dapat mengesampingkan kemungkinan AH dikarenakan time-temperature-
dependant action dari antibody anti FVIII. Dalam kasus yang jarang, inhibitor
baru dapat terdeteksi setelah beberapa hari, bila klinisi ragu, terutama dengan
aktivitas FVIII yang rendah, pemeriksaan inhibitor antibodi dapat diulang.26

12
Gambar 3. Algoritma diagnosis Aquired Hemophilia25

Secara klinis alloantibodi FVIII harus dibedakan dengan autoantibodi


FVIII, karena dalam kasus yang jarang tampilan klinis pasien dengan hemofilia
ringan, pasien dapat memproduksi alloantibodies FVIII (misalnya, setelah
transfusi komponen darah) yang mengganggu FVIII dan menyebabkan
perdarahan.27

VIII. TATALAKSANA
Strategi tatalaksana AH memiliki 2 tujuan utama, yaitu untuk
menghentikan pendarahan, dan mengeradikasi inhibitor.1 Algoritma
penatalaksanaa AH dapat dilahat pada gambar 4.28 Koreksi terhadap gangguan
hemostatik harus dilakukan dengan cepat, prosedur invasif (termasuk evakuasi
hematoma atau drainase) tidak harus dilakukan kecuali sangat diperlukan,
minimalisasi pengambilan darah, edukasi kepada pasien mengenai gejala
perdarahan, perlindungan terhadap trauma, dan menghindari obat-obatan yang
tidak perlu.25

13
Terapi imunosupresif harus dimulai secepatnya, tidak dianjurkan untuk
menunda karena remisi penyakit tidak dapat diprediksi dan keberadaan inhibitor
dalam sirkulasi menyebabkan resiko tinggi terjadinya perdarahan yang
berkepanjangan. Tujuan penting lain adalah untuk mengidentifikasi dan
mengobati kondisi yang mendasari dan untuk mendapatkan resolusi spontan AH.
Tes skrining untuk kemungkinan adanya neoplasma dapat dipertimbangkan. Pada
kondisi AH yang diinduksi oleh obat-obatan, penghentian penggunaan obat
biasanya langsung mendapatkan resolusi spontan.29

Gambar 4. Algoritme tatalaksana AH.28

A. Tanpa perdarahan
Pasien dengan titer inhibitor yang rendah mungkin tidak memiliki
presentasi klinis perdarahan dan bahwa kehadiran inhibitor adalah peristiwa
transien. Remisi spontan telah dilaporkan pada sekitar 25% dari pasien dan
umumnya terjadi pada periode pasca persalianan atau pada penggunaan antibiotik.
Dalam kasus seperti ini, pengobatan secara khusus tidak diperlukan, pengobatan

14
penyakit/penyebab yang mendasarinya cukup untuk menghilangkan inhibitor
dalam sirkulasi.28

B. Dengan Perdarahan
Pilihan terapi untuk menghentikan perdarahan tergantung pada beratnya
perdarahan, kondisi klinis, kadar FVIII dan titer inhibitor FVIII. Saat ini belum
ada studi yang membandingkan efikasi antara beberapa jenis terapi pada AH.
Beberapa strategi, seperti administrasi desmopressin dan konsentrat rekombinan
FVIII (rFVIII) dapat meningkatkan tingkat FVIII yang cukup dalam plasma pada
pasien dengan titer inhibitor yang rendah (≤5 BU).11
Beberapa pasien dengan perdarahan minimal dan titer inhibitor yang
sangat rendah dapat diberikan desmopressin, 1-deamino-8-D-arginine vasopressin
(DDAVP) dengan dosis rekomendasi 0,3mcg/kg, namun studi yang meneliti
tentang DDAVP masih sedikit, dan respons yang diharapkan tidak sebaik
penggunaan bypassing agent. Efek samping penggunaan DDAVP harus
dipertimbangkan terutama pada usia lajut.30
Referensi FVII normal adalah 50-100%, minimal diperlukan 25% untuk
mencapai hemostsasis normal. Target aktivitas FVIII yang dibutuhkan untuk
mengontrol pendarahan adalah 30-50% dari normal, hal ini lebih mudah dicapai
pada kondisi titer inhibitor ≤5 BU. Rekomendasi dosis awal konsentrat FVIII
adalah 20 IU/kg untuk setiap BU inhibitor ditambah 40 IU/kg diberikan secara
bolus intravena. Tingkat aktivitas FVIII plasma harus diperiksa 10-15 menit
setelah pemberian konsentrat FVIII, jika perdarahan masih tidak terkontrol, dosis
bolus lain harus segera diberikan. Pendekatan alternatif lain adalah dengan
pemberian konsentrat FVIII 200-300 IU/kg diikuti dengan infus 4-14 IU/kg/jam.
Konsentrat FVIII umumnya tidak berguna jika pasien memiliki titer inhibitor yang
tinggi (> 5 BU).11
Untuk pasien dengan inhibitor tinggi titer (> 5 BU), bypassing agent yang
digunakan adalah activated prothrombin complex concentrates (aPCCs) atau
recombinant activated FVII (rFVIIa). Namun pada beberapa literatur menyatakan
bahwa pasien AH dengan perdarahan seharusnya langsung mendapat bypassing
agent tanpa mengukur kadar titer inhibitor.11

15
Sebuah studi retrospektif pada subyek dengan AH menunjukkan respon
hemostatik yang sangat baik pada 86-100% dengan penggunaan aPCCs.31 Pada
studi EACH2 lebih dari 94% penderita AH dengan perdarahan akut dapat
dikontrol dengan pemberian aPCCs.7 Rekomendasi dosis aPCCs 50-100 IU/kg
diberikan setiap 8-12 jam, jika perdarahan terus berlanjut hingga 48 jam,
dipertimbangkan untuk mengganti bypassing agent.11
Agen bypassing lainnya yang banyak digunakan adalah rFVIIa,
mekanisme kerjanya ditunjukkan untuk langsung mengaktifkan FX dan
meningkatkan produksi trombin pada permukaan trombosit bahkan dengan tidak
adanya FVIII dan FIX. Trombosit yang telah diikat oleh trombin ditujukan
langsung ke situs perdarahan aktif dan jaringan yang cedera.11 Studi retrospective
oleh Hemophilia and Thrombosis Research Society (HTRS) memperlihatkan
bahwa penggunaan rFVIIa efektif pada 88% kasus AH dengan perdarahan.19
Sedangkan studi EACH2 memperlihatkan bahwa rFVIIa efektif pada 91% kasus
AH dengan perdarahan.7 Rekomendasi dosis rFVIIa 90-120 μg/kg, diulang setiap
2 jam hingga perdarahan terkontrol.11
Reaksi efek samping seperti sakit kepala, mual, pruritus, ruam kulit, dan
diare merupakan efek samping yang sering terjadi pada pemberian aPCCs dan
rFVIIa. Efek samping mayor yang harus diantisipasi pada pemberian aPCCs dan
rFVIIa adalah trombosis arterial dan/ atau vena, efek samping ini muncul terutama
pada pasien AH dengan koeksistensi aterosklerosis.11 Studi HTRS melaporkan
satu kasus dari 87 subyek AH yang mendapatkan rFVIIa yang mendapatkan
kejadian trombosis.19 Sementara EACH2 melaporkan kejadian trombosis 2,9%
pada rFVIIa dan 4,8% pada penggunaan aPCCs.7 Ada beberapa pendapat tentang
kombinasi aPCCs dengan rFVIIa pada pasien AH dengan perdarahan berulang
atau perdarahan yang sulit dikontrol, namun pertimbangan hiperkoagulabilitas
pasca terapi dapat menyebabkan resiko trombosis yang tinggi.11
Konsentrat porcine FVIII (pFVIII) sebelumnya merupakan terapi lini
pertama pada penderita AH dengan perdarahan untuk mencapai hemostasis,
dengan efikasi dan kontrol laboratorium yang lebih mudah. Namun pada tahun
2004 pFVIII ditarik dari pasaran dikarenakan terkontaminasi porcin parvovirus.32

16
Asam traneksamat merupakan terapi tambahan yang berguna, terutama
untuk perdarahan mukosa. Asam traneksamat dapat dipertimbangkan untuk semua
perdarahan kecuali pada perdarahan saluran kemih.33 Asam traneksamat
merupakan inhibitor fibrinolisis, yang mungkin berguna pada penanganan
perdarahan pasien AH, penggunaan yang bersamaan dengan aPCCS dan rFVIIa
sebaiknya dihindari.34
Protokol Immunoadsorption telah digunakan dengan hasil yang sangat
baik untuk mengeradikasi inhibitor pada pasien dengan AH. Modified Bonn-
Malmö protocol, merupakan kombinasi cyclophosphamide 1-2 mg/kg/hari,
prednisolone 1 mg/kg/hari, Intravena Imunoglobulin 0,3 g/kg hari 5-7, FVIII 100
IU/kg/6jam dan immunoadsorpsi dengan sheep-derived polyvalent antihuman
immunoglobulin bound to Sepharose CL-4B hari 1-5/minggu selama 5 minggu.26
Studi oleh Zeitlet dkk pada 35 subyek AH, remisi komplit dilaporkan pada 91%
pasien, dan ketika pasien kanker diekslusi, remisi komplit mencapai 97%, kontrol
perdarahan yang cepat dan inhibitor tidak terdeteksi setelah 3 hari awal regimen
(95 % CI), dan tidak ada dilaporkan kekambuhan setelah follow-up 48 bulan.35
dikarenakan biaya yang sangat mahal, protokol ini dijadikan terapi alternatif
apabila regimen dengan bypassing agent gagal.26

C. Terapi Imunosupresif
Manajemen jangka panjang AH adalah eradikasi autoantibodi FVIII,
sehingga perdarahan berulang tidak terjadi, meskipun pada beberapa kasus (pasca
persalinan, obat-obatan) antibody FVIII dapat hilang dengan spontan, banyak
guideline dan algoritma merekomendasikan inisiasi terapi eradikasi inhibitor sejak
pertama kali diagnosa ditegakkan.11 Delgado dkk, melaporkan bahwa tingkat
mortalitas secara signifikan meningkat pada pasien yang tidak mendapat terapi
imunosupresif (41%) dibandingkan yang mendapatkan imunosupresif (20%).8
Regimen imunosupresif yang paling sering digunakan paling adalah
kortikosteroid, baik sebagai terapi tunggal maupun dikombinasikan dengan
cyclophosphamide.11 Green dkk, menggunakan prednisone 1 mg/kg/hari pada 31
subyek AH selama 3 minggu didapatkan 32% remisi komplit, setelah 3 minggu
prednisone diganti dengan cyclophosphamide 2mg/kg/hari, didapatkan hasil
remisi yang lebih tinggi (50%) dibandingkan hanya menggunakan prednisone

17
(42%).36 Laporan meta-analisis dari 20 studi menunjukkan bahwa penambahan
cyclophosphamide meningkatkan tingkat remisi tehadap inhibitor, median waktu
untuk remisi komplit 5-7 minggu, dengan tingkat remisi komplit secara antara 60 -
80%.8 Studi EACH2 melaporkan tingkat remisi yang lebih tinggi pada kombinasi
kortikosteroid dan cylophosphamide (78%) dibandingkan dengan kortikosteroid
tunggal (58%).7
Terapi imunosupresif lainnya telah dikembangkan untuk menekan
inhibitor autoantibodi antara lain: azathioprine, cyclosporine, FK506 (tacrolimus),
mycophenolate mofetil, sirolimus, dan 2-chlorodeoxyadensine. Studi terkontrol
pada populasi besar belum pernah dilakukan untuk mengkonfirmasi efikasi dan
keamanan masing-masing obat tersebut.11
Rituximab, anti CD20, mulai digunakan untuk menekan inhibitor
autoantibodi FVIII, baik pada pasien AH maupun pasien hemofilia kongenital.
Studi EACH2 melaporkan, penggunaan rituximab sebagai terapi tunggal masih
lebih inferior bila dibandingkan dengan kombinasi kortikosteroid dengan
cyclophosphamide.7 Penggunaan jangka panjang dari rituximab sebagai terapi
imunosuppresif mempunyai beberapa konsekuensi, antara lain neutropenia
persisten, reaktivasi virus hepatitis B dan C, ditambah dengan biaya yang lebih
mahal, rituximab saat ini digolongkan sebagai terapi lini kedua.11
Pilihan pengobatan lain, tetapi jarang digunakan lainnya adalah pemberian
intravena (IV) imunoglobulin. Dosis yang diberikan adalah 2 g/kg dibagi dalam
dua sampai lima kali perhari. Regimen dengan IV imunoglobulin jarang
menghasilkan remisi komplit (23-37%). Beberapa studi menyatakan bahwa
penggunaan IV immunoglobulin, baik tunggal maupun kombinasi dengan steroid
atau cyclophosphamide, tidak efektif dalam mengeradikasi inhibitor, dan
penggunaannya tidak direkomendasikan.29
Pada pasien dengan AH setelah remisi komplit, telah dilaporkan tingkat
kekambuhan mencapai hingga 20%, pada median waktu 7,5 bulan. Lebih dari
50% pasien remisi komplit kedua bias didapatkan, meskipun beberapa pasien
diperlukan terapi imunosupresif yang lebih panjang.6 Pasien harus diikuti setelah
remisi dan disarankan untuk segera melaporkan gejala perdarahan baru sehingga
dapat dideteksi dan diterapi secepat mungkin.11

18
Tabel 3. Pilihan terapi immunosupresive.26
Terapi lini pertama
Corticosteroid
Cyclophosphamide ± corticosteroid
Terapi lini kedua
Rituximab
Terapi alternative
Azathioprine
Vincristine
Mycophenolate
Cyclosporine
Tidak direkomendasikan
Intravena Immunoglobulin

D. Managemen Perioperatif
Pasien dengan AH sebaiknya tidak dilakukan prosedur invasive apapun,
kecuali sangat penting dan tidak dapat ditunda, karena dapat mengakibatkan
perdarahan yang tidak terkendali, prosedur minor seperti pengambilan darah dari
vena, bahkan hanya pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan seminimal
mungkin karena dapat mengakibatkan perdarahan yang tidak terkendali. Suntikan
intramuscular merupakan kontraindikasi.pada pasien AH.25 Prosedur invasive
yang tidak dapat dihindari, hanya dapat dilakukan setelah pemberian rFVIII atau
bypassing agent sesuai dengan dosis rekomendasi.34

IX. PROGNOSIS DAN EVALUASI


Prognosis di AH tergantung pada keadaan klinis, keparahan perdarahan,
dan penyakit yang mendasari.1 Remisi komplit spontan dilaporkan dalam 25%
sampai 36% dari pasien, terutama pada kasus pasca persalinan atau obat-obatan.
Keterlambatan penegakan diagnosis diikuti dengan keterlambatan pengobatan
secara signifikan memperburuk hasil.26 Collins dkk, melaporkan kelangsungan
hidup secara keseluruhan saat ini pada kisaran 69-78%, dan menunjukkan bahwa
tingkat FVIII awal dan titer inhibitor yang rendah secara signifikan
mempengaruhi hasil akhir. Pada studi ini, angka kelangsungan hidup pasien yang
mencapai remisi komplit tidak berbeda dengan populasi secara umum.7 Pada studi

19
UKHCDO (tingkat mortalitas 41%), usia adalah satu-satunya faktor
mempengaruhi angka kelangsungan hidup, sedangkan jenis kelamin, penyakit
yang mendasari, tingkat FVIII, dan titer inhibitor tidak mempengaruhi hasil
akhir.6
Kematian mungkin berhubungan dengan penyakit penyerta, efek samping
dari terapi, dan perdarahan yang serius, Pada studi SACHA, EACH2 dan
UKCHDO bahkan melaporkan bahwa efek samping penggunaan immunosupresan
mencatat angka kematian yang lebih tinggi daripada komplikasi perdarahan pada
subyek AH yang diteliti. Pada kasus AH terkait kehamilan, dilaporkan angka
kelangsungan hidup mencapai 100% pada 13 bulan follow-up post remisi
komplit.6, 7, 21
Setelah remisi komplit, pasien harus dievaluasi untuk menilai kekambuhan
penyakit, dari beberapa studi dilaporkan angka kekambuhan mencapai 20%,
umumnya pada 2 tahun pertama post remisi. Kadar FVIII dan aPTT harus
dipantau setiap bulan selama 6 bulan pertama, kemudian setiap 2 bulan untuk 6
bulan selanjutnya, dan setiap 6 bulan seterusnya.33
Pada kasus AH terkait kehamilan, risiko kekambuhan pada kehamilan
berikutnya tampaknya sangat rendah. Namun, pasien harus diberitahu tentang
kemungkinan kekambuhan penyakit dan resiko perdarahan yanag dapat terjadi.
Regimen immunosuppressive yang dipakai setelah kekambuhan sama dengan
immunosuppressive pada saat pertama kali didiagnosis dengan AH.33

X. KESIMPULAN
Acquired Hemophilia A (AH) adalah perdarahan diathesis yang jarang
dengan tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi. AH disebabkan oleh
autoantibodi yang menghambat dan mempengaruhi secara langsung fungsi faktor
VIII. Acquired Hemophilia kerap muncul sebagai akibat dari penyakit/pencetus
yang mendasarinya, antara lain : malignansi, autoimun, obat-obatan, kehamilan,
tetapi AH lebih sering muncul tanpa penyebab yang pasti (idiopatik) lebih dari
50% kasus.
Gambaran klinis dari AH ditandai dengan onset akut pendarahan pada
individu yang sebelumnya tidak memiliki riwayat perdarahan diatesis. Pasien

20
umumnya datang dengan perdarahan mukokutan seperti epistaksis dan perdarahan
gastrointestinal, serta pendarahan jaringan lunak luas termasuk ekimosis dan
hematoma pada region retroperitoneal. Perdarahan biasanya spontan, meskipun
trauma minimal atau prosedur bedah juga dapat menyebabkan ekimosis luas dan
berdarah.
Diagnosa AH ditegakkan berdasarkan pada kondisi klinis dan hasil
laboratorium. Pemanjangan aPTT dengan pasien tanpa riwayat perdarahan
sebelumnya, dan tanpa obat-obatan anticoagulant merupakan indikasi kuat
terjadinya AH. Algoritma yang berlaku umum untuk mendiagnosa AH meliputi:
pengukuran aktivitas FVIII , mixing study dan uji Bethesda untuk penilaian dari
tingkat inhibitor
Strategi tatalaksana AH memiliki 2 tujuan utama, yaitu untuk
menghentikan pendarahan, dan mengeradikasi inhibitor. Koreksi terhadap
ganguan hemostatik harus dilakukan dengan cepat, prosedur invasive tidak harus
dilakukan kecuali sangat diperlukan, minimalisasi pengambilan darah, edukasi
kepada pasien mengenai gejala perdarahan, perlindungan terhadap trauma, dan
menghindari obat-obatan yang tidak perlu. Terapi imunosupresif harus dimulai
secepatnya, tidak dianjurkan untuk menunda karena remisi penyakit tidak dapat
diprediksi dan keberadaan inhibitor dalam sirkulasi menyebabkan resiko tinggi
terjadinya perdarahan yang berkepanjangan.
Prognosis di AHA tergantung pada keadaan klinis, keparahan perdarahan,
dan penyakit yang mendasari. Keterlambatan penegakan diagnosis diikuti dengan
keterlambatan pengobatan secara signifikan memperburuk hasil akhir.

21
XI. REFERENSI

1. Zdziarska J, Musiał J. Acquired Hemophilia A: An Underdiagnosed, Severe


Bleeding Disorder. Pol Arch Med Wewn. 2014;124(4):200-206.
2. Lozner E, Jolliff L, Taylor F. Hemorrhagic Diathesis with Prolonged Coagulation
Time Associated with a Circulating Anticoagulant. Am J Med Sci.
1940;199(3):318-327.
3. MacLennan H, Burket J, Berry-Caban C, Richard T, Patel P. Acquired Factor VIII
Inhibitor Presenting As Diffuse Spontaneous Ecchymosis. Internet J Fam Pract.
2013;12(1):2-5.
4. Cugno M, Gualtierotti R, Tedeschi A, Meroni P. Autoantibodies to Coagulation
Factors: From Pathophysiology to Diagnosis and Therapy. Elsevier Autoimmun
Rev. 2014;13:40-48.
5. Collins P, Macartney N, Davies R, Lees S, Giddings J, Majer R. A Population
Based, Unselected, Consecutive Cohort of Patients with Acquired Haemophilia A.
Br J Hematol. 2003;124(1):86-90.
6. Collins PW, Hirsch S, Baglin TP, et al. Acquired Hemophilia A in the United
Kingdom: a 2-Year National Surveillance Study by the United Kingdom
Haemophilia Centre Doctors’ Organisation. UKHCDO. 109(5):1870-1877.
7. Knoebl P, Marco P, Baudo F, et al. Demographic and Clinical Data in Acquired
Hemophilia A: Results from the European Acquired Haemophilia Registry
(EACH2). J Thromb Haemost. 2012;10:622-631.
8. Delgado J, Jimenez-Yuste V, Hernandez-Navarro F, Villar A. Acquired
Haemophilia: Review and Meta-Analysis Focused on Therapy and Prognostic
Factors. Br J Hematol. 2003;121(1):21-35.
9. Anwarul K, Chowdhury YJ. A Review on Hemophilia in Children. Bangladesh J
Child Heal. 2013;37(1):27-40.
10. Oesman F, Setiabudy R. Hemostasis danTrombosis. Jakarta, Indonesia:
Departemen Patologi Klinik FKUI/RSCM; 2007.
11. Lee CA, Berntorp EE, Hoots WK, eds. Textbook of Hemophilia. Third Edit. West
SussexUnited Kingdom: John Wiley & Sons, Ltd; 2014.
12. Franchini M, Gandini G, Di Paolantonio T, Mariani G. Acquired Hemophilia A: A
Concise Review. Am J Hematol. 2005;80(1):55-63.
13. Walter JD, Werther RA, Polozova MS, et al. Characterization and Solution
Structure of the Factor VIII C2 Domain in a Ternary Complex with Classical and
Non-Classical Inhibitor Antibodies. J Biol Chem. 2013;288(14):9905-9914.

22
14. Astermark J, Donfield SM, Gomperts ED, et al. The Polygenic Nature of
Inhibitors in Hemophilia A: Results from the Hemophilia Inhibitor Genetics Study
(HIGS) Combined Cohort. Blood J. 2013;121(8):1446-1454.
15. Webert K. Acquired Hemophilia A. Thieme Med Publ Inc. 2012;38(7):735-741.
16. Kessler CM, Ma AD, Al-Mondhiry HAB, Gut RZ, Cooper DL. Assessment of
Acquired Hemophilia Patient Demographics in the United States : the Hemostasis
and Thrombosis Research Society Registry. Wolters Kluwer Heal Inc. 2016;27:1.
17. Verbruggen B, Novakova I, Wessels H, Boezeman J, Van den Berg M, Mauser-
Bunschoten E. The Nijmegen Modification of the Bethesda Assay for Factor
VIII:C Inhibitors: Improved Specificity and Reliability. Thromb Haemost.
1995;73(2):247-251.
18. Kasper C, Aledort L, Aronson D, et al. Proceedings: A More Uniform
Measurement of Factor VIII Inhibitors. Thromb Diath Haemorrh. 1975;34(2):612-
619.
19. Tiede A, Seremetis S, Baudo F. The use of recombinant activated factor VII in
patients with acquired haemophilia. Hemost Thromb Res Soc. 2015;29(1):19-25.
20. Tengborn L, Baudo F, Huth-Kühne A, et al. Pregnancy-associated Acquired
Haemophilia A: Results from the European Acquired Haemophilia (EACH2)
Registry. Int J Obstet Gynaecol. 2012;119(12):1529-1537.
21. Borg JY, Guillet B, Cam-Duchez V Le, Goudemand J, Lévesque H. Outcome of
Acquired Haemophilia in France: the Prospective SACHA (Surveillance des Auto
antiCorps au cours de l’Hémophilie Acquise) Registry. Off J World Fed Hemoph.
2013;19(4):564-570.
22. Sallah S, Wan JY. Inhibitors against factor VIII in patients with cancer: Analysis
of 41 patients. Am Cancer Soc. 2001;91(6):1067-1074.
23. Franchini M, Capra F, Nicolini N, et al. Drug Induced Anti-Factor VIII
Antibodies: A Systematic Review. Med Sci Monit. 2007;13(4):55-62.
24. Coppola A, Capua M Di, Dario Di Minno MN, Cerbone AM. Acquired
Hemophilia: An Overview on Diagnosis and Treatment. Open Atheroscler
Thromb J. 2009;2(2):29-32.
25. Collins P, Baudo F, Huth-Kuhne A, et al. Consensus Recommendations for the
Diagnosis and Treatment of Acquired Hemophilia A. BMC Res Notes.
2010;3:161.
26. Huth-Kühne A, Baudo F, Collins P, et al. International Recommendations on the
Diagnosis and Treatment of Patients with Acquired Hemophilia A.

23
Haematologica. 2009;94(4):566-575.
27. Green D. Factor VIII Inhibitors: a 50-Years Perspective. Off J World Fed
Hemoph. 2011;17(6):831-838.
28. Sborov DW, Rodgers GM. Acquired Hemophilia A: A Current Review of
Autoantibody Disease. Clinical Advances in Hematology and Oncology 10, 19-27
(2012).
29. Collins PW, Percy CL. Advances in the Understanding of Acquired Haemophilia
A: Implications for Clinical Practice. Br J Haematol. 2010;148(2):183-194.
30. Collins PW. Therapeutic Challenges in Acquired Factor VIII Deficiency. Am Soc
Hematol. 2012:369-374.
31. Sallah S. Treatment of Acquired Haemophilia with Factor Eight Inhibitor
Bypassing Activity. Off J World Fed Hemoph. 2004;10(2):169-173.
32. Kempton CL, Abshire TC, Deveras RA, et al. Pharmacokinetics and Safety of
OBI-1, a Recombinant B Domain-deleted porcine Factor VIII, in Subjects with
Haemophilia A. Off J World Fed Hemoph. 2012;18(5):798-804.
33. W Collins P, Chalmers E, Hart D, et al. Diagnosis and management of acquired
coagulation inhibitors: A guideline from UKHCDO. Br J Haematol.
2013;162(6):758-773.
34. T. Lilian, A. Jan, I.Jørgen, M. Anne, E.T. Geir TÖP. Acquired Haemophilia,
Nordic Guidelines For Diagnosis and Treatment. Pol Arch Med Wewn.
2009;117(5-6):241-245.
35. Zeitler H, Ulrich-Merzenich G, Hess L, et al. Treatment of Acquired Hemophilia
by the Bonn-Malm?? Protocol: Documentation of an in vivo Immunomodulating
Concept. Blood. 2005;105(6):2287-2293.
36. Green D, Rademaker A, Briët E. A Prospective, Randomized Trial of Prednisone
and Cyclophosphamide in the Treatment of Patients with Factor VIII
Autoantibodies. Int Soc Thromb Haemost. 1993;70(5):753-757.

24

Anda mungkin juga menyukai