Anda di halaman 1dari 16

Laporan Kasus 2

Supervisor

Divisi Hemato Onkologi Medik


dr. Muhammad Riswan, SpPD-KHOM

Anemia Defisiensi Besi pada penderita Gastritis


Muhammad Haris*, Desi Salwani**, Muhammad Riswan**
*PPDS Ilmu Penyakit Dalam
**Divisi Hemato Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh

ABSTRAK
. Anemia defisiensi besi merupakan permasalahan klinis yang sering dijumpai. Anemia
defisiensi besi memiliki prevalensi 2-5 % pada laki-laki dewasa dan wanita pasca menopause di
negara berkembang. Gastritis merupakan salah satu penyebab yang dapat menyebabkan anemia
defisiensi besi, dengan kemungkinan perdarahan samar, perdarahan nyata yang kronis dan gangguan
absorpsi.
Dilaporkan kasus seorang laki-laki 32 tahun yang didiagnosa dengan anemia defisiensi besi
dan gastritis, kemungkinan anemia defisiensi besi pada pasien ini yang dapat dikorelasikan dengan
gastritis adalah perdarahan kronis atau infeksi Helicobacter pylori. Penatalaksanaan berupa pemberian
terapi besi secara oral dan parenteral, dan juga transfusi sel darah merah. Diperlukan evaluasi bulanan
selama 6 bulan untuk mengatasi anemia dan memastikan cadangan besi yang cukup pada pasien.
Kasus ini diajukan sebagai pembelajaran bagaimana penatalaksanaan
anemia defisiensi besi secara umum serta korelasinya dengan gastritis.

Kata Kunci : anemia defisiensi besi, gastritis, helicobacter pylori

PENDAHULUAN
1

Anemia defisiensi besi merupakan permasalahan klinis yang sering dijumpai. Anemia
defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kurangnya cadangan besi di dalam tubuh (depleted
iron store) sehingga asupan besi untuk eritropoiesis berkurang, yang pada akhirnya menyebabkan
berkurangnya pembentukan hemoglobin. Kelainan ini ditandai dengan ditemukannya sel darah merah
yang mikrositik hipokromik, serum besi menurun, TIBC (total iron-binding capacity) meningkat,
saturasi transferin menurun, serum feritin menurun, dan adanya respon terhadap pengobatan dengan
preparat besi.1
Menurut British Society of Gastroenterology pada tahun 2005, anemia defisiensi besi
memiliki prevalensi 2-5 % pada laki-laki dewasa dan wanita pasca menopause di negara berkembang
dan merupakan penyebab yang umum untuk mendapatkan rujukan ke ahli gastroenterologi. 2
Kehilangan darah saat menstruasi dan selama proses kehamilan merupakan penyebab tersering pada
wanita pra menopause, sementara kehilangan darah dari gastrointestinal (GI) merupakan penyebab
tersering pada laki-laki dewasa dan wanita pasca menopause. 3
Penyebab anemia defisiensi besi secara garis besar dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu
peningkatan kebutuhan tubuh terhadap zat besi (masa pertumbuhan, kehamilan, menyusui),
penurunan asupan zat besi (sosioekonomi rendah, asupan gizi kurang, vegetarian, alkoholisme, usia
tua), peningkatan pengeluaran zat besi (menstruasi, perdarahan gastrointestinal, donor darah, pasca
operasi, hemoglobinuria, infeksi parasit, hemolisis intravaskular) dan gangguan absorpsi (faktor
makanan, celiac disease, chrons disease, obat-obatan yang menganggu absorpsi besi, gastrektomi,
gagal ginjal kronis, gangguan absorpsi gastrointestinal)
Gastritis merupakan salah satu penyebab yang dapat menyebabkan anemia defisiensi besi,
dengan kemungkinan perdarahan samar, perdarahan nyata yang kronis dan gangguan absorpsi. 3
Gastritis didefinisikan sebagai inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung, secara histopatologi
dapat dibuktikan dengan terdapatnya infiltrasi sel sel radang pada daerah yang terkena. Gastritis erosif
adalah gastritis yang telah menyebabkan erosi pada mukosa dan submukosa lambung, yang dapat
menyebabkan perdarahan pada lambung.5
Hubungan antara gastritis dan anemia defisiensi besi biasanya sebagai akibat dari perdarahan
yang kronis pada mukosa lambung atau menurunnya absorpi besi akibat dari koloni Helicobacter
pylori pada permukaan mukosa.6
Kasus ini diajukan sebagai pembelajaran bagaimana penatalaksanaan anemia defisiensi besi
secara umum serta korelasi antara anemia defisiensi besi dan gastritis.

KASUS

Seorang laki-laki 32 tahun datang ke Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA)
Banda Aceh pada tanggal 03 November 2014 dengan keluhan mual muntah sejak 2 minggu SMRS,
muntah sekitar 4-5 kali setiap hari, muntah hitam / darah disangkal, mual dan muntah disertai dengan
nyeri di daerah epigastrium, nyeri epigastrium dirasakan memberat sesaat setelah pasien
mengkonsumsi makanan. BAB hitam / darah disangkal. Demam, batuk, sesak nafas tidak ada
keluhan. Riwayat penggunaan obat-obat anti nyeri disangkal. Pasien memiliki riwayat makan tidak
teratur, serta suka mengkonsumsi makanan yang asam dan pedas.
Pada bulan Februari 2014 pasien pernah dirawat di RSUDZA dengan keluhan pucat dan nyeri
di epigastrium, pasien saat itu dicurigai menderita Trait Thalasemia, namun setelah dilakukan
pemeriksaan hemoglobin elektroforesis tidak ditemukan tanda tanda menderita thalasemia, pasien
pada saat itu di berikan transfuse packed red cell (PRC) sebanyak 4 kantong. Pasien juga dilakukan
pemeriksaan endoskopi dengan kesimpulan gastritis erosif ringan dan esofagitis sedang, hasil biopsi
mukosa lambung dengan kesimpulan proses radang kronik non spesifik.
Pada bulan September 2014 pasien kembali dirawat di RSUDZA masih dengan keluhan yang
pucat dan disertai dengan nyeri di epigastrium dan mual muntah, dari hasil morfologi darah tepi
ditemukan eritrosit yang mikrositik hipokromik, hemoglobin 5,6 g/dL, hematokrit 19%, eritrosit 3,4 x
106 /ul, leukosit 5,0 x 106 /ul, trombosit 631.000 /ul, MCV 55 fl, MCH 16 pg, MCHC 29%, serum
feritin 28 g/dL, serum besi 6 g/dL, total iron-binding capacity 368 g/dL, pasien diterapi dengan
pemberian drip venofer (iron sucrose) 500mg, transfusi PRC 4 kantong, pada saat pulang pasien
diberikan sulfas ferosus 2 x 1 tablet.
Pemeriksaan fisik saat masuk RSUDZA pada tanggal 03 November 2014, didapatkan vital
sign dan hemodinamik dalam kondisi stabil. Pemeriksaan kepala, leher, thorax dan jantung tidak
dijumpai kelainan. Pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan pada regio epigastrium. Pada
pemeriksaan ekstremitas dijumpai koilonychia (spoon nail). Dari pemeriksaan laboratorium darah dan
urin tidak dijumpai kelainan, hemoglobin 13,2 g/dl, hematokrit 40%, eritrosit 5,5 x 10 6 /ul, leukosit
10,6 x 106 /ul, trombosit 562.000 /ul. Dilakukan pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi dengan
hasil esofagitis grade B dan gastritis erosif di corpus gaster.
DISKUSI
Anemia adalah suatu kondisi di mana jumlah sel darah merah tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh. Kebutuhan fisiologis tertentu pada setiap orang bervariasi
sesuai dengan usia, jenis kelamin, ketinggian habitat di atas permukaan laut, merokok dan berbagai
tahap kehamilan. Anemia defisiensi besi diperkirakan menjadi penyebab paling umum dari anemia
secara global, tetapi kekurangan gizi (termasuk asam folat, vitamin B12, dan vitamin A), peradangan
akut dan kronis, infeksi parasit, dan kelainan bawaan atau diperoleh juga dapat mempengaruhi sintesis
hemoglobin, produksi sel darah merah atau kelangsungan hidup sel darah merah. 7
3

Pada tahun 1989, WHO telah membagi tingkat keparahan anemia berdasarkan jumlah
hemoglobin, usia, jenis kelamin dan kehamilan.8
Usia

Anemia (g/dL)

Non Anemia
(g/dL)

Ringan

Sedang

Berat

6 59 Bulan

11

10 10,9

7 9,9

<7

5 11 Tahun

11,5

11 11,4

8 10,9

<8

12 14 Tahun

12

11 11,9

8 10,9

<8

12

11 11,9

8 10,9

<8

11

10 10,9

70 9,9

<7

13

11 12,9

8 10,9

<8

Wanita > 15 Tahun


(Tidak hamil)
Wanita > 15 Tahun
(Hamil)
Pria > 15 Tahun

Tabel 1. Tingkat keparahan anemia.8


Anemia defisiensi besi merupakan penyebab paling umum anemia secara global. 8 Hal ini
berkaitan dngan banyak hal yang secara umum dapat menyebaban anemia defisiensi besi yaitu, usia,
jenis kelamin, status sosioekonomi, status psikologi dan penyakit penyerta. 9
Besi merupakan bagian dari molekul hemoglobin, dengan berkurangnya besi maka sintesa
hemoglobin dipastikan akan berkurang dan mengakibatkan kadar hemoglobin akan turun.
Hemoglobin merupakan unsur yang sangat vital bagi tubuh manusia, karena kadar hemoglobin yang
rendah mempengaruhi kemampuan menghantarkan O 2 yang sangat dibutuhkan oleh seluruh jaringan
tubuh.10
Senyawa-senyawa esensial yang mengandung besi dapat ditemukan dalam plasma dan di
dalam semua sel. Karena zat besi yang terionisasi bersifat toksik terhadap tubuh, maka zat besi selalu
hadir dalam bentuk ikatan dengan hem yang berupa hemoprotein (seperti hemoglobin, mioglobin dan
sitokrom) atau berikatan dengan sebuah protein (seperti transferin, ferritin dan hemosiderin). 11 Jumlah
besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3-5 g tergantung dari jenis kelamin, berat badan
dan hemoglobin. Besi dalam tubuh terdapat dalam hemoglobin sebanyak 1,5 3g dan sisa lainnya
terdapat dalam plasma dan jaringan.12
Absorpsi besi bergantung tidak hanya pada jumlah besi pada makanan, namun juga
bioavailabilitas besi itu sendiri dan kebutuhan tubuh akan besi. Absorbsi besi dipengaruhi beberapa
fase yang berbeda.13 Fase luminal, besi dalam makanan diolah dalam lambung kmeudian siap diserap
4

di duodenum. Fase Mukosal, proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan suatu proses
aktif. Fase corporeal meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang
memerlukan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh.14
Anemia defisiensi besi merupkan kondisi dimana terdapat anemia dengan bukti nyata
kekurangan zat besi didalam tubuh, progresi anemia defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan. 15
1. Keseimbangan Besi Negatif
Yaitu kebutuhan tubuh akan besi melebihi kemampuan tubuh untuk menyerap zat besi dari
makanan. Tahap ini merupakan hasil dari sejumlah mekanisme fisiologis, termasuk
kehilangan darah, kehamilan, pertumbuhan yang cepat pada remaja tersebut, atau asupan zat
besi yang tidak memadai. Kehilangan darah lebih dari 10-20 ml sel darah merah per hari lebih
besar dari jumlah besi yang dapat diserap usus dapat menyerap dari makanan. Dalam tahap
ini, serum besi dan total iron-binding capacity (TIBC) tetap dalam batas normal. Morfologi
sel darah merah normal.
2. Eritropoiesis Defisiensi Besi
Ketika simpanan besi menjadi habis, besi serum mulai turun, perlahan TIBC akan meningkat,
simpanan besi pada sumsum tulang habis ketika tingkat serum feritin < 15 mg/L. Ketika
saturasi transferrin jatuh ke 15-20 %, sintesis hemoglobin menjadi terganggu. Evaluasi yang
cermat terhadap hapusan darah tepi memperlihatkan sel darah merah yang mikrositik, juga
akan ditemukan retikulosit yang hipokromik dalam sirkulasi.
3. Anemia Defisiensi Besi
Secara bertahap, hemoglobin dan hematokrit akan turun, mencerminkan anemia kekurangan
zat besi. Saturasi transferin pada saat ini berkisar 10-15 %. Dengan anemia yang lebih berat
(hemoglobin < 7-8 g / dL ), hipokromik dan mikrositosis menjadi lebih menonjol, sel target
dan sel darah merah yang tidak normal (poikilocytes) akan terlihat pada hapusan darah
Kondisi klinis tertentu membawa kemungkinan kekurangan zat besi. Kehamilan, remaja
dengan periode pertumbuhan yang cepat, dan riwayat kehilangan darah harus diwaspadai untuk
kemungkinan besi defisiensi. Tanda terkait dengan kekurangan zat besi tergantung pada tingkat
keparahan dan kronisitas dari anemia, di samping tanda-tanda yang biasa didapatkan pada anemia
yaitu kelelahan, pucat, dan kapasitas latihan berkurang. Cheilosis (celah di sudut mulut) dan
koilonychias (kuku sendok) adalah tanda-tanda kekurangan zat besi. Diagnosis kekurangan zat besi
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laboratorium. 1
Secara laboratorium untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai
kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari kiteria Kerlin et al) yaitu apabila didapatkan
anemia hipokrom mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV < 80 fl dan MCHC < 31% dengan
salah satu dari hal di bawah ini : 14
5

a. Ferritin serum < 20 g/dL


b. Dua dari tiga parameter di bawah ini :

Besi serum < 50 mg/dL

TIBC > 350 g/dL

Saturasi Transferrin < 15%

c. Pengecatan sumsum tulang dengan menggunakan pewarnaan biru prusia (Perls stain)
menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosidrin) yang negatif.
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau dengan preparat besi lain
yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dL.
Keseimbangan Besi

Eritropoiesis

Anemia

Negatif

defisiensi besi

Defisiensi Besi

1-3+

0-1+

50-200

< 20

< 15

< 15

300-360

> 360

> 380

> 400

50-150

Normal

< 50

< 30

30-50

Normal

< 20

< 10

40-60

Normal

< 10

< 10

30-50

Normal

> 100

> 200

Normal

Normal

Normal
Besi sumsung
tulang
Serum Ferritin
(g/L)
TIBC
(g/dL)
Serum Besi
(g/dL)
Saturasi
Transferrin (%)
Sideroblast (%)
Protoporfirin
(g/dL)
Morfologi

Normositik

Eritrosit

Normokrom

Mikrositik
Hipokromik

Tabel 2. Uji Laboratorium evolusi defisiensi besi.15


Pasien ini didiagnosa anemia defisiensi besi berdasarkan pemeriksaan morfologi darah tepi
dimana eritrosit hipokrom mikrositik, hemoglobin 5,6 g/dl, hematokrit 19%, eritrosit 3,4 x 10 6 /ul,
MCV 55 fl, MCH 16 pg, MCHC 29%, serum feritin 28 g/dL, serum besi 6 g/dL, total iron-binding
capacity 368 g/dL.
6

Serum Ferritin
Besi yang bersirkulasi bebas merupakan racun bagi sel, dan tubuh telah membentuk
mekanisme pelindung untuk mengikat besi dalam berbagai kompartemen jaringan. Dalam sel, besi
disimpan dengan cara berikatan dengan protein yang dikenal sebagai feritin. Dalam kondisi normal
tingkat ferritin serum berkorelasi dengan jumlah simpanan besi tubuh, sehingga tingkat serum feritin
adalah uji laboratorium yang paling akurat untuk memperkirakan jumlah simpanan besi di dalam
tubuh. Nilai normal ferritin bervariasi sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Pria dewasa memiliki
nilai serum ferritin rata-rata sekitar 50 100 mg/L, sedangkan wanita dewasa memiliki nilai ferritin
rata-rata 30 mg/L. Jika simpanan besi mulai menurun dan nilai ferritin < 15 mg/L, hal ini
menunjukkan diagnostik akan hilangnya simpanan besi di dalam tubuh dengan sensitivitas 95% dan
spesifisitas 98%.15

Gambar 1. Serum ferritin bedasarkan usia dan jenis kelamin.16


Serum Besi dan Total Iron-Binding Capacity
Tingkat serum besi mengambarkan jumlah besi terikat transferin yang beredar di dalam
tubuh, besi serum normalnya berkisar antara 50-150 mg/dL. Nilai normal TIBC adalah 300-360
mg/dL, Saturasi transferrin normal 25-50 %, keadaan defisiensi besi dinyatakan bila saturasi
transferrin < 18%.15

Penilaian besi pada Sumsum Tulang


Penilaian ferritin serum adalah indikator yang paling baik untuk menunjukkan kadar
kekurangan besi, meskipun demikian pewarnaan besi pada sumsum tulang dapat memberikan
informasi terhadap hantaran efektif dari besi dalam menghasilkan eritroblast. Normalnya, ketika
7

hapusan sumsum tulang diwarnai untuk besi, 20-40 % menghasilkan eritroblast -disebut sideroblastyang terlihat memiliki butiran feritin di dalam sitoplasmanya. 15
Sel Merah Protoporfirin
Protoporfirin adalah perantara dalam jalur sintesis heme. Dalam kondisi di mana sintesis
heme terganggu, protoporfirin akan terakumulasi dalam sel merah. Ini mencerminkan suplai besi
untuk prekursor eritroid yang tidak adekuat untuk mendukung sintesis hemoglobin. Nilai normal
adalah < 30 mg / dL dari sel darah merah. Dalam kekurangan zat besi, akan terlihat peningkatan
hingga > 100 mg / dL.15
Serum Transferrin Receptor Protein
Karena sel-sel eritroid memiliki jumlah tertinggi reseptor transferrin pada permukaannya dari
setiap sel manapun dalam tubuh, dan karena transferrin receptor protein ( TRP ) dilepaskan oleh selsel ke dalam sirkulasi, maka kadar serum TRP mencerminkan total massa eritroid pada sumsum
tulang, kadar TRP yang tinggi adalah mutlak kekurangan zat besi. Nilai normal 4-9 mg / L dapat
ditentukan melalui pemeriksaan immunoassay.15
Selain defisiensi besi, hanya ada tiga kondisi yang dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding anemia mikrositik hipokromik.15
1. Thalasemia.
Thalasemia dibedakan dari defisiensi besi berdasarkan serum besi, level serum besi dan
saturasi transferrin yang meningkat merupakan perbedaan yang mendasar pada keduanya.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan hemoglobin elektrophoresis untuk melihat pola
hemoglobin yang abnormal.
2. Anemia pada penyakit kronis.
Anemia pada penyakit kronis dengan hantaran besi yang tidak adekuat ke eritroid sumsum
tulang, perbedaan utama pada kedua jenis anemia ini adalah nilai ferritin serum yang normal
atau meningkat pada anemia penyakit kronis, saturasi transferrin dan nilai TIBC biasanya di
bawah normal.
3. Sindrom Myelodisplastik
Penderita sindrom myelodisplastik memiliki gangguan sistesis hemoglobin dengan disfungsi
mitokondria, yang mengakibatkan gangguan hantaran besi pada heme. Perbedaan kedua
anemia ini adalah nilai cadangan besi yang normal dan suplai besi ke sumsum tulang yang
adekuat.
Tes

Anemia

Anemia

Defisiensi Besi

Penyakit Kronis

< 30

< 50

Normal, Tinggi

Normal, Tinggi

> 360

< 300

Normal

Normal

Thalasemia

Anemia
Sideroblastik

Serum Besi
(g/dL)
TIBC

(g/dL)
Saturasi
Transferrin
Serum Ferritin
(g/dL)
Pola Hb

< 10

10 20

30 80

30 80

< 15

30 - 200

50 300

50 300

Normal

Normal

Abnormal

Normal

Tabel 3. Diferensial Diagnosis Anemia Mikrositik Hipokromik. 15


Penyebab anemia defisiensi besi secara umum dapat dibagi menjadi empat kategori
No.
1.

2.

3.

4.

Penyebab Anemia Defisiensi Besi


Peningkatan kebutuhan

Kekurangan asupan

Pengeluaran zat besi

Penurunan Absorbsi

Masa pertumbuhan

Kehamilan

Menyusui

Sosioekonomi rendah

Asupan gizi kurang

Vegetarian

Alkoholisme

Usia tua

Perdarahan gastrointestinal

Donor darah

Pasca operasi

Hemoglobinuria

Infeksi parasit

Hemolisis intravaskular

Faktor diet

Celiac disease

Chrons disease

Obat-obatan

Gastrektomi
9

Gagal ginjal kronis

Gangguan absorpsi gastrointestinal

Tabel 4. Penyebab Anemia Defisiensi Besi.4


Pada pasien ini dicurigai penyebab anemia defisiensi besi karena perdarahan samar sebagai
komplikasi dari gastritis erosif sesuai dengan hasil esofagogastroduodenoskopi.
Pada penderta gastritis, perdarahan kronis dan penurunan absorbsi zat besi oleh karena infeksi
Helicobacter pylori merupakan penyebab terjadinya anemia defisiensi besi. 4
Infeksi Helicobacter pylori merupakan penyebab gastritis yang paling sering dijumpai, di
negara berkembang, prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada orang dewasa mendekati 90%.
Sedangkan pada anak-anak prevalensinya lebih tinggi lagi. Secara endoskopik, infeksi Helicobacter
pylori sering tampak sebagai erosi dan tukak multiple di daerah antrum atau dapat juga terlihat lesi
hemoragik. Gastritis akut akibat Helicobacter pylori sangat sering diabaikan, sehingga penyakitnya
berlanjut menjadi kronik.16
Penelitian mengenai Helicobacter pylori di Indonesia pernah dilakukan pada tahun 2004
2010 di Semarang, dari total 214 pasien dengan usia 38 70 tahun yang mengeluhkan nyeri perut
bagian atas dan telah dilakukan pemeriksaan endoskopi, didapatkan 77 orang menderita superfisial
gastritis, 72 orang menderita gastritis erosif dan 70 orang menderita ulkus gaster. Dari seluruh pasien
tersebut ternyata 24,3% didiagnosa terinfeksi Helicobacter pylori setelah dilakukan pewarnaan
giemsa dan Hematoxyllin-Eosin pada hasil biopsi lambung.17
Penelitian lain membandingkan prevalensi infeksi Helicobacter pylori di Indonesia dan
Jepang dilakukan oleh Abdullah M. dkk pada tahun 2009. Dari 167 orang yang mengeluhkan keluhan
dyspepsia (125 Indonesia dan 42 Jepang), dilakukan pemeriksaan analisis urease, histopatologi dan
kultur, tingkat prevalensi infeksi Helicobacter pylori antara orang Indonesia dan Jepang menunjukkan
hasil yang tidak jauh berbeda (68% dan 59,5%).18
Perdarah pada gastritis kronis, dan perdarahan dari ulkus duodenum atau lambung terkait
dengan infeksi Helicobacter pylori, memainkan peran penting dalam pengembangan kekurangan zat
besi pada orang dewasa. Tetapi pada pasien yang tidak ditemukan tanda-tanda perdarahan, mekanisme
anemia defisiensi besi pada penderita yang terinfeksi Helicobacter pylori masih belum jelas.19
Beberapa mekanisme telah dihipotesiskan untuk menjelaskan efek dari infeksi Helicobacter
pylori pada simpanan besi, perdarahan gastrointestinal kronis merupakan kemungkinan yang paling
sering dipikirkan, tetapi banyak kasus penderita anemia defisiensi besi yang menderita gastritis kronis
tidak menemukan lesi perdarahan setelah dilakukan pemeriksaan perdarahan samar melalui feses. 20
Mekanisme yang paling mungkin adalah menurunnya penyerapan zat besi. Asam klorida pada
lambung memfasilitasi penyerapan zat besi. Orang dengan infeksi Helicobacter pylori dan anemia
10

defisiensi besi cenderung memiliki gastritis pada bagian korpus dibandingkan pada penderita infeksi
Helicobacter pylori tanpa anemia. Gastritis kronis pada korpus lambung mengakibatkan menurunnya
sekresi asam klorida dan meningkatkan pH intragastrik yang dapat mengganggu absorpsi besi. Sekresi
asam klorida kembali ke nilai normal setelah eradikasi Helicobacter pylori.20
Efek penting lainnya dari gastritis akibat infeksi Helicobacter pylori yang dapat menyebabkan
penyerapan zat besi berkurang adalah penurunan konsentrasi asam askorbat pada lambung. Asam
askorbat memfasilitasi penyerapan zat besi dengan mereduksi bentuk besi menjadi bentuk ferrous
yang lebih mudah diabsorbsi. Asam askorbat disekresikan yang menjadi salah satu komponen cairan
lambung, dan telah menunjukkan bahwa kadar asam askorbat pada cairan lambung secara signifikan
lebih rendah pada penderita yang terinfeksi Helicobacter pylori. Nilai asam askorbat pada cairan
lambung kembali normal setelah dilakukan eradikasi Helicobacter pylori.20
Hipotesis mengenai mekanisme yang dapat menjelaskan penurunan penyerapan zat besi
terkait dengan infeksi Helicobacter pylori adalah meningkatnya produksi hepcidin oleh hepatosit
sebagai respon terhadap produksi InterLeukin-6 (IL-6) yang diasosiasikan dengan gastritis. Penderita
gastritis akibat infeksi Helicobacter pylori telah terbukti memiliki penyerapan zat besi oral menurun
dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi.20
Hipotesis lain yang menjelaskan suatu hubungan antara infeksi Helicobacter pylori dan
menurunnya absorbs besi adalah penyerapan zat besi oleh koloni Helicobacter pylori. Seperti banyak
bakteri, Helicobacter pylori membutuhkan zat besi untuk pertumbuhan.19
Sebuah penelitian oleh Lun-Hua Chen dan He-Sheng Luo di Cina yang dilakukan pada tahun
2002 2005, membagi 86 orang yang telah didiagnosa anemia defisiensi besi yang positif terinfeksi
Helicobacter pylori menjadi dua grup masing masing 43 orang. Pada grup A diberikan terapi Sulfas
Ferosus 200 mg 3 x sehari ditambahkan dengan terapi eradikasi Helycobacer pylori, sedangkan grup
B hanya mendapatkan terapi sulfas ferosus 200 mg 3 x sehari. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukan perbedaan yang nyata terhadap serum besi antara kedua grup setelah 56 hari pemberian
terapi.6
Penelitian lain pernah dilakukan di Iran pada tahun 2007 yang menghubungkan antara
defisiensi besi, gastritis dan infeksi Helicobacter pylori, hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
dari total 184 pasien dengan keluhan sindrom dyspepsia dengan usia rata rata 43,3 tahun, ternyata
143 pasien (77,8%) terinfeksi Helicobacter pylori, dan 32 pasien (17,6%) menderita defisiensi besi
dengan hasil ferritin serum < 15g/L.21
Penatalaksanaan anemia defisiensi besi mempunyai tujuan mengembalikan kadar hemoglobin
dan eritsrosit kembali normal, dan mengganti cadangan besi dalam tubuh. Jika hal ini tidak bisa
dicapai, diperlukan evaluasi ulang terhadap keadaan penyakit yang mendasari terjadinya anemia
defisiensi besi.22
Pasien yang menderita defisiensi besi harus mendapatkan suplemen besi baik untuk
memperbaiki anemia dan juga untuk mengisi cadangan besi dalam tubuh. Pasien asimptomatik yang
11

menderita anemia defisiensi besi, pengobatan dengan zat besi oral biasanya adekuat, banyak sediaan
yang tersedia, mulai dari garam besi sederhana hingga senyawa besi kompleks. Meskipun berbagai
sediaan mengandung jumlah besi yang berbeda, pada umumnya semua dapat diserap dengan baik dan
efektif dalam pengobatan. Untuk terapi pengganti besi, suplemen besi dapat diberikan hinggan 300
mg per hari, dengan pemberian dosis dibagi tiga atau empat kali sehari. Idealnya, konsumsi zat besi
oral sebaiknya diminum pada saat sebelum makan, karena makanan dapat menghambat penyerapan
zat besi.15
Anemia Defisiensi
Besi
Atasi penyakit
dasar
Mulai terapi besi

Intoleransi

Terapi besi parenteral


Pemeriksaan darah rutin
bulanan, peningkatan Eritrosit
dan hematokrit?
Lanjutkan terapi selama 3
bulan setelah Hb dan
feritin normal.

Ya
Tidak

Pemeriksaan darah
normal?
Ya

Tidak

Hentikan
evaluasi

Evaluasi ulang penyakit dasar


Kemungkinan pemberian terapi
besi parenteral
Transfusi darah jika perlu

Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan anemia defisiensi besi.22


Pemberian zat besi oral dengan dosis 300 mg per hari mampu mendukung produksi sel darah
merah dua sampai tiga kali dari normal. Pada saat kadar hemoglobin meningkat, stimulus
pembentukan erythropoietin berkurang dan jumlah besi yang diserap akan berkurang. Tujuan terapi
pada penderita anemia defsiensi besi tidak hanya untuk memperbaiki anemia, tetapi juga untuk
memberikan cadangan besi yang adekuat. Evaluasi dengan jangka waktu 6-12 bulan setelah anemia
terkoreksi diperlukan untuk mencapai tujuan ini.15

12

Pada pasien ini diberikan drip intra vena iron sucrose 400 mg pada saat masuk di bulan
September 2014, dilanjukan dengan pemberian sulfas ferosus tablet 2 x 200mg.
Komplikasi yang sering terjadi pada terapi besi oral adalah gangguan gastrointestinal (15-20
%). Nyeri perut, mual, muntah dan konstipasi dapat menyebabkan ketidakpatuhan pasien untuk
meminum obat. Efek samping ini adalah hambatan utama dan membuat terapi menjadi tidak efektif
pada sejumlah pasien.15
Tablet (kandungan besi)

Elixir (kandungan besi)

(mg)

(mg / 5 ml)

325 (65)

300 (60)

195 (39)

90 (18)

525 (105)

Nama Generik

Ferrous sulfate

Extended release

325 (107)
Ferrous fumarate

100 (33)
195 (64)

Ferrous gluconate

325 (39)

300 (35)

150 (150)
Polysaccharide iron

100 (100)
50 (50)
Tabel 5. Preparat Besi Oral.15

Respon terhadap terapi besi bervariasi, tergantung pada stimulasi eritropoietin (EPO) dan
tingkat penyerapan. Biasanya, jumlah retikulosit akan mulai meningkat dalam waktu 4-7 hari setelah
memulai terapi dan puncaknya pada 1,5 minggu. Kurangnya respon terhadap terapi besi mungkin
karena penyerapan yang buruk, ketidakpatuhan meminum obat, atau diagnosis yang membingungkan.
Sebuah tes yang berguna untuk menentuka n kemampuan pasien untuk menyerap besi adalah tes
toleransi besi. Dua tablet besi diberikan kepada pasien pada waktu perut kosong, dan besi serum
diukur secara serial setelah 2 jam. Penyerapan normal akan mengakibatkan peningkatan serum besi
minimal 100 mg / dL. Jika terjadi defisiensi yang menetap meskipun dengan pengobatan yang
adekuat, perlu dipikirkan untuk beralih ke terapi besi parenteral. 15
Keamanan parenteral besi telah menjadi perhatian. Efek samping yang serius pada pemberian
dekstran parenteral diperkirakan 0,7 % dari kasus. Pada saat ini beberapa sediaan kompleks besi yang
baru telah tersedia, seperti natrium besi glukonat dan besi sukrosa yang memiliki tingkat efek samping
yang lebih rendah.15
13

Pemberian besi parenteral digunakan dalam dua cara : 15


1. Memberikan total dosis besi yang dibutuhkan untuk memperbaiki defisit hemoglobin dan
menyediakan simpanan besi minimal 500 mg dalam tubuh.
2. Memberikan dosis kecil besi parenteral secara berulang selama periode tertentu. Pendekatan
terakhir ini sering diberikan pada pasien gagal ginjal yang memilih menggunakan CAPD.
Jumlah besi yang dibutuhkan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Berat Badan (Kg) x 2,3 x (15 Hb Pasien) + 500
1000 mg
Efek samping umum yang dapat terjadi setelah pemberian besi parenteral adalah arthralgia,
ruam kulit, dan demam ringan. Hal ini mungkin berkaitan dengan besarnya dosis yang diberikan,
tetapi efek samping ini tidak menghalangi untuk penggunaan lebih lanjut dari terapi besi parenteral
pada pasien. Dalam pemberian terapi besi parenteral, reaksi anafilaksis harus menjadi perhatian.
Pemberian tes uji sensitivitas terhadap sediaan besi sangat dianjurkan. Jika pada saat pemberian besi
parenteral terdapat keluhan nyeri dada , sesak nafas, penurunan tekanan darah atau gejala sistemik
lainnya, pemberian besi melalui parenteral harus segera dihentikan. 15
Pemberian suplemen besi merupakan terapi utama pada penderita anemia defisiensi besi,
namun penambahan suplemen vitamin C (asam askorbat) pada penderita anemia defisiensi besi
mempunyai keuntungan dalam hal penyerapan senyawa besi.

23

Pada pasien ini diberikan terapi

vitamin c tablet 2 x 500 mg.


Sebuah penelitian di India pada tahun 2006 oleh Mehnaz S. dkk, yang membandingkan antara
dua grup penderita anemia defisiensi besi, dimana grup A hanya diberikan suplemen besi, dan grup B
diberikan suplemen besi ditambah dengan vitamin C. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan
perbedaan yang cukup signifikan diantara kedua grup. Rerata kenaikan hemoglobin pada 30 hari
pertama setelaah pemberian inisial terapi menunjukkan pada grup A mengalami kenaikan 0,94 g/dL
dan grup B 1,6 g/dL, perbedaan semakin terlihat setelah 100 hari pemberian terapi dimana grup A
rerata mengalami kenaikan hemoglobin 2,72 g/dL dan grup B mengalami kenaikan 4,36 g/dL. 23
Pemberian transfusi darah disediakan untuk individu yang memiliki gejala anemia, instabilitas
kardiovaskular, perdarahan yang berlebihan dari sumber manapun yang membutuhkan intervensi
dengan cepat. Pada pasien ini diberikan trasnfusi PRC sebanyak 4 kolf untuk memperbaiki kondisi
anemia berat dengan resiko instabilitas kardiovaskular.. Penatalaksanaan dengan transfusi ini kurang
terkait dengan kondisi pasien yang kekurangan zat besi tetapi lebih kepada gangguan sebagai akibat
dari anemia berat pada pasien. Transfusi darah tidak hanya memperbaiki anemia, tetapi juga
menyediakan sumber besi untuk dipergunakan kembali.15

KESIMPULAN

14

Dilaporkan kasus seorang laki-laki 32 tahun yang didiagnosa dengan anemia defisiensi
besi dan gastritis, kemungkinan anemia defisiensi besi pada pasien ini yang dapat dikorelasikan
dengan gastritis adalah perdarahan kronis atau infeksi Helicobacter pylori. Penatalaksanaan berupa
pemberian terapi besi secara oral dan parenteral, dan juga transfusi sel darah merah. Pemberian terapi
besi oral dan parenteral terbukti menunjukkan perbaikan pada pasien berdasarkan hasil pemeriksaan
darah. Diperlukan evaluasi bulanan selama 6 bulan untuk mengatasi anemia dan memastikan
cadangan besi yang cukup pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta IM. Hematologi Klinik. Jakarta; EGC 2007. 26-39.
2. McIntyre AS & Long RG. Prospective survey of investigations in outpatients referred with
iron deficiency anaemia. Gut 1993;34:11021107.
3. Goddard AF et al. Guidelines for Management of Iron Deficiency Anaemia. British Society of
Gastroenterology. 2005
4. Guidelines & Protocols Iron Deficieny Investigation and Management. British Columbia
edical Association. 2010
5. Gastritis. US Departement of Health and Human Services. NIH. 2010
6. Chen LH. Luo HS. Effects of H. pylori therapy on erythrocytic and iron parameters in iron
deficiency anemia patients with H pylori -positive chronic gastristis. World Journal of
Gastroenterology. 2007; 13(40) : 5380-5383
7. Assessing the iron status of populations: report of a joint World Health Organization / Centers
for Disease Control and Prevention technical consultation on the assessment of iron status at
the population level, 2nd ed. Geneva, World Health Organization, 2007. Available at
http://www.who.int/nutrition/publications/micronutrients/anaemia_iron_deficiency/97892415
96107.pdf
8. Haemoglobin Concentration for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. World
Health Organization. 2011.
9. Iron Deficiency Anaemia Assesment, Prevention and Control. World Health Organization.
2001
10. Cielsa B. Hematology in Practice. Philadelphia. FA Davis Company. 2007
11. Jones NCH. Wickramasinghe SN. Catatan Kuliah Hematologi. Jakarta: EGC. 2000. 67-83.
12. Sacher RA. MC Pherson RA. Widmans Clinical Interpretation of Laboratory Tests.
Philadelphia. FA Davis Company. 2000. 68-70.
13. Worwood M. Hoffbrand AV. Iron Metabolism, Iron Deficiency and Disorders of Haem
Synthesis. Postgraduate Haematology 5th Edition. 2005. 26-26
14. Bakta I. Suega K. Dharmayuda TG. Anemia Defisiensi Besi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi 5. Jakarta. Interna Publishing. 2011. 1127-1136
15. Adamson JW. Iron Deficiency and other Hypoproliferative Anemias. Harrisons Hematology
and Oncology. McGraw-Hill Companies. 2010. 70-80.
16. Hirlan. Gastritis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta. Interna Publishing. 2011.
509-512
17. Albertus J, Rani AA, Simadibrata M, Abdullah M, Syam AF. Helicobacter pylori Infection in
Superficial Gastritis, Erosive Gastritis and Gastric Ulcer. The Indonesian Journal of
Gastroenterology, Hepatology and Digestive Endoscopy. 2012; 74-79
18. Abdullah M, Ohtsuka H, Rani AA, Sato T, Syam AF, Fujino MA. Helicobacter pylori
infection and gastropathy: A comparison between Indonesian and Japanese patients. World
Journal of Gastroenterology. 2009. 4928-4931.
15

19. Perez GI, Israel DA. Role of iron in Helicobacter pylori: Its influence in outer membrane
protein expression and in pathogenicity. Eur J Gastroenterol Hepatol 2000; 12: 1263-1265.
20. Kearney DJ. Helicobacter pylori infection and iron deficiency anemia: accumulating evidence
in support of a real association. Indian Journal of Gastroenterology. 2005. 147-150.
21. Keramati MR, Siadat Z, Mahmoudi M. The Correlation Between H. Pylori Infection with
Serum Ferritin Concentration and Iron Deficiency Anemia. International Journal of
Hematology and Oncology. 2007; 16-20
22. Short MW, Domagalski MJ. Iron Deficiency Anemia: Evaluation and Management. American
Family Physician. Madigan Healthcare System, Tacoma, Washington. 2013.
23.Mehnaz S, Afzal S, Khalil S, Khan Z. Impact of Iron, Folate & Vitamin C Supplementation
on The Prevalence of Iron Deficiency Anemia In Non-pregnant Females of Peri Urban Areas
of Aligarh. Indian Journal of Community Medicine Vol. 31. 2006. 201-203

16

Anda mungkin juga menyukai