Anda di halaman 1dari 56

Dr .

Ika Vemilia
PENDAHULUAN
 Colitis ulcerative merupakan penyakit kronik, ditandai
dengan inflamasi mucosa difuse terbatas pada colon.
 Melibatkan rektum (proctitis) kira –kira 95% kasus
dan menyebar ke proksimal, simetris, dan
circumferen ke colon sigmoid (proctosigmoiditis), ke
colon descending (left-sided colitis), atau ke seluruh
bagian colon (pancolitis).
 Gejala yang khas adalah diare berdarah, sering dengan
keluhan “ rectal urgency” dan tenesmus.
 Perjalanan klinisnya ditandai dengan eksaserbasi dan
remisi, bisa secara spontan atau respon terhadap
terapi.
EPIDEMIOLOGI
 Colitis Ulcerative terjadi pada 250.000 sampai 500.000
kasus di United States dengan incidensi tahunan sebesar 2-
7 per 100.000 orang.
 Onset penyakit terjadi pada umur antara 15-40 th, dengan
puncak insidensi kedua antara 50-80 th.
 Laki-laki dan wanita mempunyai rata-rata insidensi yang
sama.
 Penyebab pasti penyakit belum diketahui.
 Hipotesis terbaru menganggap bahwa terjadi gangguan
pengaturan primer sistem imun mukosa mengakibatkan
respon imunologi berlebihan pada mikroflora normal.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
 Etiologi pasti UC saat ini masih belum diketahui
 Patogenesisnya multifaktorial yang
melibatkan interaksi antara :
respon imun
faktor genetik
lingkungan
GANGGUAN SISTEM IMUN
 Penderita Colitis ulcerative mempunyai respon imun
innate (makrofag, neutrophil) dan didapat (sel B dan
T) dan kehilangan toleransi terhadap bakteri
komensal di usus.
 Toleransi, pada orang sehat, diperantarai oleh regulasi
sel T, limfosit B, sel NKT, dan sel dendritik yang
mensekresi transforming growt factor (TGF)-β dan
interleukin 10 (IL-10), interferon α atau β dan
prostaglandin J2.
 Penelitian netralisasi antibodi mengimplikasikan
bahwa sel T berhubungan dengan patogenesis Colitis
Ulceratif.
RESPON T SEL
 Profile T sel pada Colitis ulcerative lebih sulit
dijabarkan.
 Penyakit ini dianggap mempunyai T H2 profile, tetapi
konsentrasi IL-4 dan IL-5, yang normalnya meningkat
pada respon T H2, menjadi bermacam-macam pada
jaringan colitis ulcerative.
 Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian
model colitis oxazalone , satu dari beberapa model
memperlihatkan sebuah profil T H2, Fuss dkk
menganggap bahwa colitis ulceratif mempunyai
respon T H2 atipikal, diperantarai NKT sel yang
mensekresi IL-13.
 NKT sel ini diaktifkan oleh APC.
 Pengamatan unik ini dapat menjelaskan beberapa
ketidaksesuaian pada penelitian yang lalu, tetapi
membutuhkan konfirmasi sebelum diterima. Jika
benar, blokade IL-13 dapat menjadi suatu pendekatan
baru untuk terapi Colitis ulcerative.
 Subset sel T distimulasi oleh APC, kebanyakan oleh sel
dendritik. Sel dendritik mempunyai kemampuan unik
untuk mengaktifkan sel T.
 Sel dendritik ditemukan dalam status inaktif di lamina
propia dan plak peyeri pada usus sehat.
 Ketika sel dendritik bertemu dengan mikrobia,
mereka menjadi teraktivasi dan bermigrasi ke kelenjar
limfe, tempat mereka menstimulasi sel T.
 APC berinteraksi dengan sel T dengan beberapa cara,
termasuk dengan ikatan pada c0-stimulator molekul
(CD40-CD40ligand, CD80-CTLA4, ICOS, dll) dengan
mempresentasikan sebuah antigen pada permukaan
MHC, yang dikenali oleh reseptor sel T dan
mensekresi sitokin seperti IL-6, IL-12, IL-23, IL-10 atau
TGF β.
 Sel dendritik akan meningkatkan jumlahnya pada
mucosa pasien yang terinflamasi dan pada percobaan
ileocolitis.
 Pengeluaran bermacam-macam sitokin dari sel T
mengakibatkan peningkatan permeabilitas sel epitel
dan sintesis kolagen, dan menstimulasi pengeluaran
metaloproteinase.
Genetik : berhubungan dengan gen MDR 1
Faktor lingkungan
 Berhubungan dengan bakteri komensal usus, jamur,
atau virus yang akan mengakibatkan inflamasi kronik
pada orang dengan gangguan fungsi barrier mukosa,
penghancuran mikroba dan gangguan pengaturan
imunitas.
 Merokok (berefek pada aliran darah mukosa kolon dan
motilitas usus).
 Kontrasepsi oral
DIAGNOSIS
 Tidak ada pemeriksaan tunggal untuk diagnosis UC
yang sensitivitas dan spesifitasnya dapat diterima.
 Diagnosis berdasar pada kombinasi temuan klinik,
temuan endoscopy, dan histologi.
Gambaran Klinik
- Diare 96,4 %
- Bab darah 89,3 %
- Nyeri perut 81,8 %
- Kelemahan umum 40,2 %
- BB menurun 38,4 %
- Artralgia 27,7 %
- Demam 20,5 %
- Tak suka makan 15,2 %
- Perubahan kulit 15,2 %
DIAGNOSIS
 Rekomendasi untuk diagnosis dan pendekatan :

Pada pasien dengan diare berdarah persisten, rectal


urgency, atau tenesmus, pemeriksaan feses dan
sigmoidoscopy atau colonoscopy dan biopsi sebaiknya
dilakukan untuk konfirmasi colitis dan mengekslusi
penyebab infeksi dan noninfeksi.
Temuan khas endoscopy dan histologi dengan evaluasi
negatif penyebab infeksi akan mengarah ke diagnosis
Colitis ulcerative.
Endoscopy
 Proctosigmoidoscopy atau colonoscopy akan
memperlihatakan perubahan mukosa yang khas pada
UC, terdiri dari : hilangnya pola vaskuler tipikal,
bergranuler, friability, dan ulserasi. Perubahan ini
terjadi pada rektum distal, baik endoscopy maupun
histologi berlanjut ke proksimal secara simetris,
continous, dan circumferen melibatkan seluruh
bagian colon.
Histologi
 Pada pasien dengan diare berdarah onset akut, biopsi
mukosa membantu membedakan UC dari colitis
infeksi.
 Pada UC, mukosa memperlihatkan separasi, distorsi,
dan atropi cripta, sel-sel inflamasi kronis pada lamina
propia, neutropil pada cripta epitel, peningkatan
jumlah sel limfosit dan sel plasma pada dasar cripta, “
shortfall” cripta tidak mencapai mukosa muskularis,
dan agregasi limfoid basal.
Laboratorium
 Darah lengkap
 LED
 CRP
 Feses
 Genetik
 Antibodi
 Pasien yang dirawat di RS sebaiknya diperiksa fesesnya
terhadap Clostridium difficile. Insidensi C. dificille
meningkat pada UC, dan pada pasien IBD, ini
berhubungan dengan perjalanan klinik yang berat,
pemanjangan LOS, peningkatan biaya, kecenderungan
kolektomi, dan peningkatan mortalitas.

 Pemeriksaan feses berulang dibutuhkan untuk


diagnosis karena seringnya hasil negatif palsu
 Infeksi dapat memperlihatkan temuan klinik UC
idiopati, jadi pemeriksaan mikrobiologi untuk infeksi
bakteri (termasuk pemeriksaan khusus E. coli
0157:H7) dan parasit, begitu juga tes serologi untuk
amoeba, sebaiknya diperiksa pada pasien baru, dan
pada pasien saat remisi atau dengan gejala ringan yang
diharapkan tidak berkembang menjadi berat atau
terjadi eksaserbasi.
 Perinuclear antineutropil cytoplasmic antibodies
(pANCA) teridentifikasi pada 60-70% pasien UC, dan
ditemukan juga pada 40% pasien dengan Chron’s
disease (CD).
 pANCA positif pada pasien CD, mempunyai fenotip
klinik left-sided UC, jadi deteksi pANCA saja
merupakan nilai yang rendah untuk membedakan UC
dan CD.
 60 penelitian meta analisis menganalisa karakteristik
pANCA dan anti-saccharomyces cerevisiae antibodies
pada 3.841 pasien UC dan 4.019 pasien CD, ditemukan
spesifitas pANCA untuk UC 89%, namun
sensitifitasnya hanya 59%.
 Untuk pasien CD, anti-saccharomyces cerevisiae
antibodies yang positif dan pANCA yang negatif
mempunyai spesifitas 93% untuk CD, tetapi
sensitifitasnya hanya 55%.
 Rendahnya sensitivitas pANCA untuk diagnosis UC
membuatnya menjadi alat diagnosis yang kurang
berguna.
 Saat endoscopy tidak tersedia atau ketika terjadi
striktur colon yang menyulitkan evaluasi, barium
enema double contras dan small bowel barium follow-
through dapat menunjukkan detail mukosa dengan
baik.
 Gambaran “contigious”, proses peradangan superficial
berhubungan dengan hilangnya haustra usus
mengarahkan kepada diagnosis UC, dimana inflamasi
noncontigious yang melibatkan usus halus
mendukung diagnosis CD.
PENDEKATAN MANAGEMENT
 Tujuan terapi adalah induksi dan mempertahankan
remisi gejala untuk meningkatkan kualitas hidup,
mengurangi kebutuhan kortikosteroid jangka panjang
dan meminimalisasi risiko kanker, terapi komplikasi,
dan mempertahankan kecukupan nutrisi .
 Setelah diagnosis UC ditegakkan, luasnya proses
penyakit secara anatomi harus dinilai dengan
endoscopy. Point pentingnya adalah, apakah
peradangannya di distal( terbatas pada dibawah colon
descending dan dapat dijangkau terapi topikal) atau
menyebar ke proksimal dari colon descending, yang
membutuhkan pengobatan sistemik.
 Berdasarkan temuan klinis dan endoscopy, severitas
dan luasnya penyakit dapat ditentukan.
 Severitas atau beratnya penyakit dibedakan menjadi
ringan, sedang, berat, atau fulminan. Klasifikasi ini
menggunakan kriteria Truelove-Witts.
 Pasien dengan UC fulminan bisa diare > 10x/hari,
perdarahan terus-menerus, terjadi toksisitas sistemik,
distensi abdomen, nyeri perut, membutuhkan
transfusi, dan pada foto polos abdomen terdapat
dilatasi kolon.
Ulcerative colitis disease activity index (Sutherland index)
Remisi jika UCDAI ≤ 2 dan UC berat jika UCDAI > 10
TERAPI (medikamentosa)
 Pengelolaaan UC mencakup terapi akut dari gejala
inflamasi, diikuti maintenance remisi.
 Pendekatan terapi ditentukan oleh derajat keparahan
dan derajat keterlibatan colon.
 Kira-kira 66% pasien akan mencapai remisi dengan
terapi medikamentosa, dan 80% pasien yang patuh
terhadap terapi akan mempertahankan remisi.
 First line terapi terdiri dari mesalamine (5-ASA) atau 5
aminosalisilic acid, yang bekerja topikal pada lumen
kolon untuk menekan jumlah mediator
proinflamatori.
REKOMENDASI
 Rekomendasi pengelolaan colitis distal ringan-sedang

Pasien dengan colitis ringan-sedang bisa diterapi


dengan aminosalisilate oral, mesalamine topikal, atau
steroid topical (Evidence A)
Mesalamine topikal lebih superior dibanding steroid
topikal atau aminosalisilate oral (Evidence A)
Kombinasi aminosalisilate oral dan topikal lebih efektif
daripada sendiri-sendiri (Evidence A)
Pada pasien refrakter terhadap aminosalisilate oral atau
mesalamine topikal, mesalamine enema atau
suppositoria masih efektif (Evidence A)
 Pada pasien khusus yang refrakter terhadap semua
agen diatas pada dosis maksimal, atau yang
mempunyai penyakit sistemik dapat diterapi dengan
prednison oral pada dosis 40-60 mg/hari, atau
infliximab dengan induksi 5mg/kgBB pada minggu ke
0, 2, dan 6, walaupun dua agen ini belum diteliti
secara khusus pada pasien dengan penyakit distal.
(evidence C)
 Rencana terapi pada kasus colitis distal ringan-sedang
ditentukan berdasarkan kemauan pasien, karena baik
terapi oral maupun topikal sama-sama efektif.
 Rekomendasi dalam terapi maintenance remisi pada
distal colitis.

 Mesalamine supp (500mg/hr atau 2x/hr) efektif dalam


maintenance remisi pada pasien dengan proctitis,
sedangkan mesalamine enema efektif pada pasien
dengan colitis distal bahkan ketika diberikan tiap 3
hari. (Evidence A)
 Sulfasalazine (2gr/hr), senyawa mesalamine (3,2gr/hr),
dan balsalazide (3-6gr/hr) juga efektif dalam
maintenance remisi, kombinasi oral (1,6gr/hr) dan
topikal mesalamine (4gr 2x/minggu) lebih efektif
daripada diberikan sendiri-sendiri. (Evidence A)
 Topikal kortikosteroid termasuk budesonide, belum
terbukti efektif untuk maintenance remisi pada colitis
distal. (Evidence A)
 Ketika semuanya gagal untuk maintenance remisi
pada colitis distal, thiopurine atau azathioprine dan
infliximab (Evidence A), tetapi tidak kortikosteroid,
terbukti efektif (Evidence B).
 Rekomendasi pengelolaan Ekstensif Colitis ringan-
sedang : Colitis aktif

 Pasien dengan colitis ekstensif ringan-sedang


sebaiknya mulai diterapi dengan sulfasalazine oral tiap
hari dititrasi sampai 4-6 gr/hr, atau diganti
aminosalisilate dosis sampai 4,8gr/hr (Evidence A).
 Steroid oral umumnya diberikan pada pasien yang
refrakter terhadap aminosalisilate oral yang
dikombinasi dengan terapi topikal, atau untuk pasien
yang gejalanya sangat menganggu dan membutuhkan
perbaikan yang cepat (Evidence B)
 Thiopurine dan azathioprine efektif untuk pasien yang
tidak respon terhadap steroid oral, dan berlanjut
menjadi berat, dan penyakit tidak terlalu akut yang
membutuhkan terapi IV (Evidence A).
 Infliximab merupakan terapi efektif untuk pasien yang
refrakter terhadap steroid atau ketergantungan steroid
walaupun dosis thiopurine adekuat.
 Dosis induksi infliximab 5mg/kgBB IV pada minggu
0,2 dan 6 (Evidence A).
 Rekomendasi untuk pengelolaan colitis ekstensif
ringan-sedang : maintenance remisi

 Saat serangan akut dapat dikontrol, dibutuhkan terapi


maintenance.
 Sulfasalazine , olsalazine, mesalamine, balsalazide
efektif untuk mengurangi relaps (Evidence A).
 Azathioprine atau 6-MP berguna sebagai agen sparing
steroid untuk pasien yang tergantung steroid dan
untuk maintenance remisi yang tidak cukup dicapai
dengan aminosalisilat, dan untuk pasien yang
tergantung steroid tapi penyakitnya tidak akut.
(Evidence A)
 Infliximab efektif untuk maintenance perbaikan dan
remisi pada pasien yang berespon terhadap induksi
inflimab (Evidence A)
 Rekomendasi pengelolaan colitis berat

 Pasien dengan colitis berat yang refrakter terhadap


terapi oral prednison, oral aminosalisilate, dan terapi
topikal dapat diterapi dengan infliximab 5mg/kgBB
jika hospitalisasi tidak diperlukan (Evidence A)
 Pasien yang menunjukkan toksisitas sebaiknya dirawat
di RS untuk pemberian steroid IV(Evidence C).
 Jika perbaikan gagal dalam 3-5 hari merupakan
indikasi untuk terapi apakah kolektomi (Evidence B)
atau terapi siklosporin IV (Evidence A)
 Remisi jangka panjang pada pasien tersebut secara
nyata meningkat dengan penambahan maintenace 6-
MP (Evidence B).
 Infliximab dapat efektif juga untuk mencegah
kolektomi pada pasien yang gagal steroid IV tetapi
efikasi jangka panjangnya masih belum diketahui
(Evidence A).
Rekomendasi pembedahan
 Indikasi absolut untuk pembedahan yaitu perdarahan
masif, perforasi, dan diduga kuat carcinoma (Evidence
C)
 Indikasi lain pembedahan yaitu colitis berat dengan
atau tanpa megakolon toksik yang tidak respon terapi
medikamentosa maksimal, dan pada colitis yang
kurang berat tetapi gejalanya tidak dapat ditolerir
atau tidak dapat mentolerir efek samping (Evidence
C).
Rekomendasi pengelolaan pouchitis

 Pasien yang berlanjut menjadi pouchitis setelah


tindakan ileal pouch anal anastomose (IPAA)
sebaiknya diterapi dengan antibiotik jangka pendek
(Evidence A).
 Metronidazole 3 x 400 mg/hr atau 20mg/kgBB/hr, atau
Ciprofloxacin 2 x 500mg/hr.
Surveilance Kanker
 Setelah colitis 8-10 th, tiap tahun atau tiap 2 tahun
sebaiknya dilakukan colonoscopy dengan biopsi
(Evidence B).
 Temuan high grade displasia pada mukosa yang
dikonfirmasi oleh ahli patologi, merupakan indikasi
kolektomi, sedangkan low grade displasia pada
mukosa juga menjadi indikasi kolektomi untuk
mencegah progresi derajat neoplasia (Evidence B)
Terima kasih
Terapi menurut AFP 2007
 Proctitis memperlihatkan respon suppositori lebih
baik daripada oral 5 ASA, respon terjadi 3-4 minggu
setelah terapi.
 Pasien dengan proctosigmoiditis membutuhkan
pengantaran 5 ASA melaui enema dan membutuhkan
4-6 minggu terapi untuk mencapai remisi.
 Pasien yag tidak bisa mentolerir iritasi anus karena 5
ASA topikal dapat dicoba sediaan oral, walaupun
responnya mungkin lebih lama dan angka remisi tidak
sebesar yang diterapi topikal.
 Pasien dengan pankolitis sering memerlukan
kombinasi oral dan topikal 5 ASA selain
kortikosteroid.
 Untuk pasien yang gagal dengan dosis maksimal 5
ASA atau tidak dapat mentolerir efek samping, terapi
oral steroid dapat dipertimbangkan. Prednison
diberikan dengan dosis 40-60 mg/hari. Terapi full dose
sampai gejala dapat dikontrol dan dosis diturunkan
bertahap 5 mg/minggu.
 Terapi steroid jangka panjang tidak direkomendasikan
untuk maintenance kronik karena ES nya.
 Saat pasien tidak berespon dengan pemberian steroid
oral, sebaiknya masuk RS untuk diberikan
kortikosteroid intravena, seperti metilprednisolon
sodium, 40 mg/hr.
 Pada penelitian retrospektif 85 pasien yang masuk RS
karena UC berat, angka kegagalan tertinggi dengan
pemberian kortikosteroid IV terjadi saat gejala
berlangsung lebih dari 6 minggu atau lesi berat
ditemukan pada endoscopy.
 Pasien yang gagal berespon terhadap kortikosteroid IV
setelah 5-7 hari merupakan kandidat untuk
pemberian siklosporin IV (Sandimmune).
 Literatur memperlihatkan terbatasnya evidence
efektifnes siklosporin A dibandingkan terapi standar 5
ASA dan kortikosteroid untuk pasien dengan UC
berat.
 Pada 2 penelitian, 60% pasien yang gagal berespon
terhadap terapi kortikosteroid dapat mencapai remisi
dengan infliximab (remicade), sebuah antibodi
monoklonal simerik yang menetralkan sitokin
proinflamatori TNF-α, dibandingkan dengan plasebo.
 Pasien yang gagal dengan terapi medikamentosa
merupakan kandidat untuk terapi bedah.
Terapi bedah
 Tidak ada penelitian prospektif acak yang
membandingkan terapi medikamentosa dengan terapi
bedah untuk berbagai macam indikasi pada UC.
 Kolektomi sebagai terapi untuk UC dipikirkan untuk
pasien yang berkembang menjadi displasia atau
kanker, yang resisten terapi medikamentosa, atau yang
mengalami perdarahan masif, perforasi, atau
megakolon toksik.

Anda mungkin juga menyukai