Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


“HEPATOMA”

Oleh :

Qorina Binadari

NIM. 201820461011106

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019
1. Konsep Teori

1.1 Pengertian
Hepatoma disebut juga dengan kanker hati atau karsinoma hepatoseluler
atau karsinoma hepar primer. Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang
tidak normal yang ditandai dengan bertambahnya jumlah sel dalam hati yang
memiliki kemampuan membelah/mitosis disertai dengan perubahan sel hati yang
menjadi ganas. Kanker hati sering disebut dengan “penyakit terselubung”. Pasien
seringkali tidak mengalami gejala sampai kanker pada tahap akhir, sehingga
jarang ditemukan dini (Heimbach, et al., 2018). Hepatoma menjadi peringkat ke-6
besar penyebab kematian di dunia. Pasien yang terdiagnosa fibrosis, sirosis hati,
dan hepatitis B dapat berkembang menjadi kanker hati (Waller, Deshpande, &
Pyrsopoulos, 2015).

1.2 Etiologi dan Faktor Resiko

a. Virus Hepatitis B (HBV)


Karsinogenisitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses
inflamasi kronik, peningkatan poliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam
DNA sel pejamu, dan aktifitas protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati.
Pada dasarnya perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel
yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat
diaktifkan secara tidak langsung oleh kompensasi proliferative merespon
nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau
beberapa gen yang berubah akibat HBV (Waller, Deshpande, & Pyrsopoulos,
2015)
b. Virus Hepatitis C (HCV)
Prevalensi anti HCV jauh lebih tinggi pada kasus HCC (Hepatocelluler
Carcinoma) dengan HbsAg- negative daripada HbsAg-positif. Pada kelompok
pasien penyakit hati akibat transfuse darah dengan anti HCV positif, interval saat
transfuse hingga terjadinya HCC Hepatocelluler Carcinoma) dapat mencapai 29
tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktifitas
nekroinflamasi kronik dan sirosis hati (Waller, Deshpande, & Pyrsopoulos, 2015).
c. Sirosis Hati
Lebih dari 80% penderita karsinoma hepatoseluler menderita sirosis hati.
Peningkatan pergantian sel pada nodul regenerative sirosis di hubungkan dengan
kelainan sitologi yang dinilai sebagai perubahan dysplasia praganas. Semua tipe
sirosis dapat menimbulkan komplikasi karsinoma, tetapi hubungan ini paling
besar pada hemokromatosis, sirosis terindikasi virus dan sirosis alcohol (Waller,
Deshpande, & Pyrsopoulos, 2015).
d. Aflaktosin
Aflaktosin B1 (AFB1) merupakan mitoksin yang diproduksi oleh jamur
Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen.
Metabolit AFB1 yaitu AFB1 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
kelompok aflaktosin yang mampu membentukikatan dengan DNA maupun RNA
(Waller, Deshpande, & Pyrsopoulos, 2015)
e. Alkohol
Meskipun alcohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, peminum berat
alcohol (>50-70 g/hari atau berlangsung lama) beresiko untuk menderita HCC
melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik
langsung dari alcohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis
hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV atau HCV (Waller, Deshpande, &
Pyrsopoulos, 2015).

1.3 Patofisiologi
Secara makroskopis karsinoma hepatoseluler dapat muncul sebagai masa
soliter besar, sebagai nodul multipel atau sebagai lesi infiltratif difus. Secara
mikroskopis, neoplasma disusun oleh sel-sel hati abnormal dengan berbagai
diferensisasi. Tumor dengan diferensiasi yang lebih baik disusun oleh sel -sel
mirip sel hati yang teratur di dalam pita -pita yang terpisah oleh sinusoid-sinusoid
(Chedid, et al., 2017).
Sel-sel ini berinti besar yang memperlihat kan anak inti yang menonjol dan
hiperkromasi dan dapat mengandung empedu di dalam sitoplasmanya. Tumor-
tumor yang kurang berdiferensiasi baik mempunyai lembaran -lembaran sel-sel
anaplastik. Invasi pada radikulus vena hepatika merupakan gambaran khas yang m
embedakan dengan adenoma. Sulit membedakan karsinoma hepatoselular
berdiferensiasi buruk dengan karsinoma metastatic (Chedid, et al., 2017).
Pewarnaan imunohistokimia dapat memperlihatkan alfa -fetoprotein (AFP)
di dalam sel neoplasma. Karsinoma hepatoseluler juga mensekresi AFP ke dalam
darah, peningkatan kadar di jumpai pada 90% pasien, membuat pemeriksaan AFP
serum sebagai tes diagnostik yang penting. (Catatan : Kadar AFP juga dapat
sedikit meningkat pada beberapa kasus hepatitis dan sirosis, demikian juga pada
beberapa neoplasma sel germinal pada gonad). Karsinoma hepatoseluler
cenderung bermetastasis dini melalui pembuluh limfe ke kelenjar getah bening
regional dan melalui darah menimbulkan metastasis pada paru. Metastasis ke
tempat lain terjadi pada tahap akhir (Chedid, et al., 2017).

1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinisnya sangat bervariasi dari asimtomatik hingga dengan
gejala dan tandanya yang sangat jelas disertai gagal hati. Gejala yang paling
sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan-atas
abdomen. Temuan fisis tersering pada HCC adalah hepatomegali dengan atau
tanpa‘bruit’ hepatik, splenomegali, asites, ikterus, demam dan atrofi otot.
Sebagian daripasien yang di rujuk kerumah sakit karena perdarahan varises
esofagus atau peritonitis bakterial spontan (SBP) ternyata sudah menderita HCC.
Pada suatu laporan serial nekropsi didapatkan bahwa 50% dari pasien HCC telah
menderita asites hemoragik yang jarang ditemukan pada pasien sirosis hati saja.
Pada 10% hingga 40% pasien dapat ditemukan hiperkolesterolemia akibat dari
berkurangnya produksi enzim beta-hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase,
karena tiadanya kontrol umpan balik yang normal pada sel hepatoma (Chedid, et
al., 2017).
1.5 Klasifikasi

Tingkat penyakit (stadium) hepatoma primer terdiri dari :


IA : Tumor tunggal diameter ≤ 3 cm tanpa emboli tumor, tanpa metastasis
kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
IB : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter ≤ 5 cm di separuh hati,
tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh
IIA : Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan ≤ 10 cm di
separuh hati, atau dua tumor dengan gabungan ≤ 5 cm di kedua belahan hati
kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh
IIB : Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan ≥ 10 cm di
separuh hati, atau tumor multiple dengan gabungan ≥ 5 cm di kedua belahan
hati kiri dan kanan tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh
IIIA : Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh
utama vena porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar limfe
peritoneal jauh salah satu daripadan ya
IIIB : Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor,metastasis
(Chedid, et al., 2017)

1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan Alfa
fetoprotein (AFP) yaitu protein serum normal yang disintesis oleh sel hati
fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0 -20 ng/ml, kadar AFP meningkat
pada 60%-70% pada penderita kanker hati.
2. Pemeriksaan USG
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan FP, pasien sirosis hati
dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil
pada pasien dengan risiko tinggi USG lebih sensitif dari pada AFP serum
berulang. Sensitivitas USG untuk neoplasma hati bekisar anatara 70%-80%.
Tampilan USG yang khas untuk HCC kecil adalah gambaran mosaik,
formasi septum, bagian perifer sonolusen (ber-halo), bayangan lateral yang
dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik, serta penyangatan eko posterior.
Berbeda dari metastasis, HCC dengan diameter kurang dari dua sentimeter
mempunyai gambaran bentuk cincin yan g khas.
3. CT Scan
4. MRI
1.7 Penatalaksanaan
1. Reseksi Hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non -sirosis yang biasanya mempunyai
fungsi hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi he patik. Namun
untuk pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu
timbulnya gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup.
Parameter yang dapat digunakan untuk seleksi adalah skor Child-Pugh dan
derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajat hipertensi
portal saja. Subjek dengan bilirubin normal tanpa hipertensi portal yang
bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai 70%. Kontraindikasi
tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik HCC difus atau
multifocal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat
mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi (Waller, Deshpande, &
Pyrsopoulos, 2015).
2. Transplantasi Hati
Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan
kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati
yang mengalami disfungsi. Dilaporkan survival analisis 3 tahun mencapai
80% bahkan dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperatif dengan
obat antiviral seperti lamivudin, ribavirin dan interferon dapat dicapai
survival analisis 5 tahun 92%. Kematian pasca transplantasi tersering
disebabkan oleh rekurensi tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat anti
rejeksi yang harus diberikan. Tumor yang berdiameter kurang dari 3cm
lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya lebih
dari 5cm (Waller, Deshpande, & Pyrsopoulos, 2015).
3. Ablasi Tumor Perkutan
Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil
karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah. Dasar
kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular dan
fibrosis. Untuk tumor (diameter <5cm). PEI bermanfaat untuk pasien
dengan tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis
hati non -child A. Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka
keberhasilan yang lebihtinggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk
tumor yang lebih besar dari 3cm, namun tetap tidak berpengaruh terhadap
harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih mahal dan efek sampingnya
lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan PEI. Guna mencegah
terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik (polyprenoic acid)
selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi pada bulan
ke-38 secara bermakna dibandingkan dengan kelompok placebo (kelompok
plasebo 49%, kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%) (Waller,
Deshpande, & Pyrsopoulos, 2015).
1.8 Pencegahan
Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan ialah (Waller,
Deshpande, & Pyrsopoulos, 2015):
1. Pencegahan Primordial
Pencegahan yang dilakukan untuk mengindari kemunculan keterpaparan
dari gaya hidup yang berkontribusi meningkatkan risiko penyakit, dilakukan
dengan:
a. Mengkonsumsi buah dan sayur yang mengandung vitamin, beta karoten,
mineral, dan tinggi serat yang dapat menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat.
b. Kurangi makanan yang mengandung lemak tinggi.
c. Kurangi makanan yang dibakar, diasinkan, diasap, diawetkan dengan
nitrit.
d. Pengontrolan berat badan, diet seimbang dan olahraga.
e. Hindari stres.
f. Menjaga lingkungan yang sehat dan bersih sehingga terhindar dari
penyakit menular
2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langka yang harus dilakukan untuk menghindari
insidens penyakit dengan mengendalikan penyakit dan faktor risiko.
a. Memperhatikan menu makanan terutama mengkonsumsi protein hewani
cukup.
b. Hindari mengkonsumsi minuman alcohol
c. Mencegah penularan virus hepatitis, imunisasi bayi secara rutin menjadi
strategi utama untuk pencegahan infeksi VBH dan dapat memutuskan rantai
penularan
3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah pengobatan penderita dan mengurangi akibat-
akibat yang serius dari penyakit melalui diagnosa dini dan pemberian
pengobatan. Hepatoma sering ditemukan pada stadium lanjut maka perlu
dilakukan pengamatan berlaku pada kelompok penderita yang kemungkinan
besar akan menderita hepatoma dengan pemeriksaan USG dan AFP.

1.9 Pathway
2. Konsep Asuhan Keperawatan
2.1 Identitas
2.2 Keluhan Utama
2.3 Diagnosa Medis
2.4 Riwayat Kesehatan
2.5 Riwayat Keperawatan Klien
2.6 Konsep Diri
2.7 Pemeriksaan Fisik
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.9 Tindakan dan Terapi
2.10Asuhan Keperawatan
2.10.1 Ketidakefektifan Pola Napas
NOC : Respiratory Status: Ventilation, Respiratory Status: Airway
Patency, Vital Sign Status.
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada
sianosis dan dyspneu
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan)
NIC : Airway Management
1.Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2.Auskultasi suara napas, catat bila ada suara tambahan
3.Monitor respirasi dan status O2
4.Pertahankan jalan napas yang paten
5.Observasi adanya tanda hipoventilasi
6.Monitor vital sign
7.Monitor pola napas

2.10.2 Nyeri Akut


NOC : Pain level, Pain Control, Comfort Level
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi
nyeri, mencari bantuan)
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
e. Tanda vital dalam rentang normal
f. Tidak mengalami gangguan tidur
NIC : Pain Management
1. Lakukan pengkajian nyeri secara kompherensif
2. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
3. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
4. Tingkatkan istirahat
5. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
2.10.3 Intoleransi Aktivitas
NOC : Self-Care : ADLs, Activity Tolerance, Energy Conservation
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan TD, nadi,
dan RR
b. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri
c. Keseimbangan aktivitas dan istirahat
NIC : Energy Management, Teaching: predescribed activity/exercise
1. Obervasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
3. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
4. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi secara berlebihan
5. Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas (takikardi, disritmia,
sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
6. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
2.10.4 Kelebihan Volume Cairan
NOC : Electrolite and acid base balance, Fluid balance, Hydration
a. Terbebas dari edema, efusi, anaskara
b. Bunyi nafas bersih, tidak ada dsypneu
c. Terbebas dari distensi vena jugularis
d. Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau bingung
NIC : Fluid Management
1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
2. Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN, Hmt ,
osmolalitas urin )
3. Monitor vital sign
4. Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles, CVP , edema,
distensi vena leher, asites)
5. Kaji lokasi dan luas edema
6. Monitor masukan makanan / cairan
7. Berikan diuretik sesuai interuksi
8. Monitor berat badan
9. Monitor elektrolit
10.Monitor tanda dan gejala dari edema
2.10.5 Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh
NOC : Nutritional Status : Nutrient Intake
a. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
b. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
c. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
NIC : Nutrition Management
1. Berikan informasi tentang kebutuhan gizi
2. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
3. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
4. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
5. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah
6. Monitor mual dan muntah
7. Atur posisi semifowler selama makan
8. Monitor intake nutrisi
9. Catat adanya edema, hiperemik
10. Monitor pucat, kemerahan
11. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan pasien
2.10.6 Gangguan Citra Tubuh
NOC : Body Image, Self Esteem
a. Citra tubuh positif
b. Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
c. Mendeskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
d. Mempertahankan interaksi sosial
NIC : Body Image Enhancement
1. Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya
2. Monitor frekuensi mengkritik dirinya
3. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis
penyakit
4. Dorong klien mengungkapkan perasaannya
5. Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu
6. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil
2.10.7 Risiko Cedera
NOC : Knowledge: Personal Safety; Safety Behavior: Fall Prevention;
Savety Behavior: Fall Occurance; Savety Behavior: Physical Injury
a. Pasien terbebas dari trauma fisik
NIC : Environmental Management Safety
1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien
3. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan
perabotan)
4. Memasang side rail tempat tidur
5. Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
6. Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien.
7. Membatasi pengunjung
8. Memberikan penerangan yang cukup
9. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.
10. Mengontrol lingkungan dari kebisingan
11. Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan
2.10.8 Risiko Kerusakan Integritas Kulit
NOC : Tissue Integrity : Skin and MucousMembranes
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
b. Melaporkan adanya gangguan sensasi atau nyeri pada daerah kulit yang
mengalami gangguan
c. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami
NIC : Pressure Management
1. Anjurkan pasien menggunakan pakaian longgar
2. Jaga kebersihan kulit agar tetap kering dan bersih
3. Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
4. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
5. Monitor status nutrisi pasien
6. Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat
7. Gunakan pengkajian risiko untuk memonitor faktor risiko pasien
(Braden Scale, Skala Norton)
8. Inspeksi kulit terutama pada tulang-tulang yang menonjol dan titik-titik
tekanan ketika merubah posisi pasien.
9. Jaga kebersihan alat tenun
10. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian tinggi protein, mineral
dan vitamin
DAFTAR PUSTAKA

Chedid, M. F., Kruel, C. R., Pinto, M. A., Filho, T. J., Leipnitz, I., Kruel, C. D., et
al. (2017). Hepatocelluler Carcinoma: Diagnosis and Operative
Management. ABCD Arq Bras Cir Dig , 271-278.

Heimbach, J. K., Kulik, M. L., Finn, R. S., Sirlin, C. B., Abecassis, M. M.,
Roberts, L. R., et al. (2018). AASLD Guidelines for the Treatment of
Hepatocellular Carcinoma. Hepatology , 358-380.

Waller, L. P., Deshpande, V., & Pyrsopoulos, N. (2015). Hepatocellular


Carcinoma: A Comprehensive Review. World Journal of Hepatology ,
2648-2663.

Anda mungkin juga menyukai