Anda di halaman 1dari 8

Definisi

Hepatoma atau karsinoma hepatoseluler merupakan tumor ganas hati primer yang berasal
dari hepatosit. Karsinoma hepatoseluler merupakan kanker ganas yang memiliki prognosis buruk
bila terlambat ditemukan (Aprilicia dkk., 2021). Karsinoma hepatoseluler (HCC) merupakan
jenis kanker hati yang paling umum, terhitung 80-90% dari semua kasus kanjer hati.

Patofisiologi
Hepatoma merupakan perkembangan dari hepatitis kronis atau sirosis dimana ada
mekanisme peradangan terus-menerus dan regenerasi dari sel hepatosit. Cidera hati kronis yang
disebabkan virus hepatitis B, hepatitis C, konsumsi alcohol yang kronis, steatohepatitis alcohol,
hemokromatosis genetic, sirosis bilaris primer dan adanya defisiensi alfa-1 antitrypsin
menyebabkan kerusakan hepatosit permanen yang diikuti dengan kompensasi oleh sel proliferasi
dan regenerasi dalam menanggapi stimulasi sitokin. Sehingga fibrosis dan sirosis berkembang
dalam pengaturan remodeling hati secara permanen, terutama didorong oleh sintesis komponen
matriks ekstraseluler dari sel-sel stellate hati.

Etiologi
 Sirosis hati
Sirosis hati merupakan factor risiko utama terjadinya hepatoma. Sebanyak 5-30%
hepatoma disebabkan oleh sirosis (Kemenkes, 2022).
 Hepatitis B
Sebanyak 5% dari seluruh penduduk dunia saat ini terinveksi hepatitis B, sebanyak 75%
diantaranya adalah penduduk Asia dan sebagian kecil adalah penduduk negara baret.
Besarnya prevelensi hepatitis B di suatu wilayah memiliki korelasi yang kuat dengan
insidens hepatoma dan mortalitas di daerah tersebut. Infeksi hepatitis B merupakan
penyebab pada 50-55% kasus hepatoma pada dewasa dan semua kasus hepatoma pada
anak-anak. Sebuah studi kohort prospektif menunjukkan bahwa penderita hepatitis B
kronik memiliki risiko 5-100 kali lipat lebih tinggi untuk menderita hepatoma
dibandingkan populasi normal (Kemenkes, 2022).
 Hepatitis C
Infeksi hepatitis C merupakan risiko hepatoma yang paling penting di Eropa Barat,
Jepang, dan Amerika Utara. Sebanyak 50-70% pasien hepatoma didaerah tersebut
memiliki antibody anti-VHC yang positif. Infeksi hepatitis C membutuhkan waktu 28-9
tahun untuk menyebabkan hepatoma. Proses inflamasi dan regenerasi hepatosit yang
berlangsun terus-menerus pada hepatitis kronik dan progresifitas kea rah sirosis dapat
memicu kerusakan kromosom dan menginisiasi karsinogenesis (Kemenkes, 2022).
 Alkohol
Alcohol dapat menyebabkan hepatoma melalui tiga cara yaitu melallui sirosis alkoholik,
melalui peran alcohol sebagai karsinogen, dan melalui sinergisme dengan factor risiko
lain yang dapat menyebabkan hepatoma. Pada daerah dengan prevelensi infeksi VHB dan
VHC yang tinggi, alcohol dapat menyebabkan eksaserbasi kerusakan ati dan
menyebabkan pembentukan tumor. Konsumsi etanol kronik dan berlebihan berhungan
dengan peningkatan risiko hepatoma sebanyak dua kali lipat (Kemenkes, 2022).
 Obesitas dan Peremakan hati
Meta-analisis dari sepuluh studi kohort juga menunjukkan bahwa dibandingkan dengan
berat badan normal, orang dengan berat badan lebih memiliki risiko relative besar 1,17
untuk menderita hepatoma. Obesitas dapat menyebabkan hepatoma melalui perlemakan
hati non-alkoholik, non-alkoholik steatohepatitis (NASH), sirosis, lalu kanker hati.
Obesitas juga dapat menyebabkan hepatoma pada tikus melalui produksi sitokin IL-6 dan
TNF yang meningkat, yang menyebabkan inflamasi hati dan aktivitas factor transkripsi
onkogenik (signal Transducer and Activator of Transcription) STAT3 (Kemenkes, 2022).

Maniesfestasi klinis
 Gejala yang sering dikeluhkan yaitu nyeri atau perasaan tak nyaman dikuadran kanan-
atas abdomen, malaise, penurunan berat badan dan icterus, anokresia, kembng, konstipasi
atau diare
 Tanda-tanda klinis : hepatomegaly dengan atau tanpa bruit hepatic, splenomegaly, asites,
icterus, demam dan demam atrofi otot
 Perdarahan varises esophagus, peritonitis bakterialis spontans
 Tanda-tanda sindroma neuropsikiatrik/metal confusion akibat kerusakan hebat sel-sel hati
(enselopati hepaticum)
Tanda dan gejala
 Nyeri di bagian perut kanan atas
 Adanya benjolan pada perut atas
 Perasaan berat pada bagian perut atas
 Perut terasa kembung
 Hilang nafsu makan
 Berat badan menurun
 Kelelahan
 Mual dan muntah
Tata Laksana Terapi

 Reseksi
Reseksi hati merupakan terapi kuratif untuk hepatoma. Reseksi direkomendasikan
sebagai terapi pilihan utaman pada carcinoma hepatoseluler non-sirotik. Reseksi yang
dilakukan pada hati non-sirotik memiliki risiko rendah untuk menimbulkan komplikasi
yang mengancam nyawa dan memberikan luaran yang baik. Penentuan jenis terapi untuk
hepatoma sangat tergantung pada stadium tumor dan status fungsional hati karena
sebagian besar pasien hepatoma juga memiliki penyakit hati kronik. Hepatoma yang
memiliki diameter kurang dari 5 cm merupakan kandidat terbaik untuk dilakukan reseksi
karena pada ukuran >5 cm, terdapat peningkatan risiko adanya nodul lain atau invasi
vascular yang mengakibatkan reseksi inkomplit. Resesksi radikal dapat dipertimbangkan
sebagai pilihan pada (Kemenkes, 2022):
- Pasien dengan carcinoma hepatoseluler soliter yang terletak pada bagian perifer,
<30% jaringan rusak yang dinilai melalui MRI atau CT scan, atau >50% hipertrofi
hati kompensatorik
- Tidak ditemukan hipertensi portal atau hipertensi portal ringan
- Tidak ada riwayat dekompensasi hati
 Transplatasi Hati
Transplatasi hati ortotopik secara teori merupakan terapi kuratif terbaik untuk pasien
hepatoma karena dapat mencapai batas reseksi terluas untuk kanker hati, mengganti hati
yang tersisa yang masih memiliki risiko untuk mengalami keganasan, dan
mengembalikan fungsi hati. Kritea yang sering digunakan untuk menentukan kandidat
transplatasi hati adalah kriteria Milan, yaitu pasien dengan nodul hepatoma soliter
berukuran kurang dari 5 cm atau nodul hepatoma berjumlah kurang dari 3 nodul dengan
ukuran masing-masing kurang dari sama dengan 3 cm, tanpa disertai gambaran invasi
vena atau metastasis jauh secara radiologis (Kemenkes, 2022).
 Ablasi
Ablasi lokal dengan menggunakan Radiofrequency Ablation (RFA) atau Percitaneous
Ethanol Injection Therapy (PEI) direkomendasikan sebagai terapi standar pada penderita
carcinoma hepatoseluler dengan nodul berjumlah ≤ 3 dan berukuran ≤ 3 cm, dengan
sirosis hati Child-Pugh A atau B yang tidak dapat menjalani reseksi (Rekomendasi B1).
Pada nodul soliter berukuran <5 cm yang tidak dapat dilakukan reseksi, RFA masih dapat
diberikan sebagai terapi ablasi utama dibandingkan dengan PEI karena RFA dapat
memberikan control lokal yang lebih baik. (Rekomendasi A1) injeksi etanol dianjurkan
hanya pada kasus yang tidak memungkinkan untuk dilakukan RFA.
Pada nodul berukuran <2 cm, RFA dan PEI dapat memberikan respons komplit pada
>90% dngan prognosis jangka panjang yang baik. (Rekomendasi C1) apakah kedua
teknik ini dapat menjadikan alternative reseksi pada tumor berukuran <2 cm, saat ini
belum dapat ditentukan dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut (Kemenkes,
2022).
 Transarterial Chemoembolization (TACE)
Transarterial Chemoembolization (TACE) adalah suatu teknik perkutaneus yang
menggunakan fluoroskopi dan pendekatan melalui arteri femoralis untuk memberikan
obat kemoterapi ke dalam pembuluh darah arteri hepatika yang memperdarahi tumor dan
dilanjutkan dengan embolisasi pembuluh darah arteri tersebut menggunakan materi
permanen atau temporer. Jaringan hati sehat di sekitarnya umumnya terlindungi dari efek
TACE karena suplai pembuluh darahnya terutama berasal dari vena porta. Tujuan TACE
adalah memberikan efek sitotoksik yang kuat dan iskemia pada jaringan tumor. Tindakan
ini harus dibedakan dengan Transarterial Chemoinfusion (TACI) atau chemo-
lipiodolization yang hanya memberikan zat kemoterapi yang dicampur dengan lipiodol
secara intra-arterial tanpa dilanjutkan dengan embolisasi (Kemenkes, 2022).
 Radioterapi
Radioterapi atau radiasi eksterna (External Beam Radiotherapy/EBRT) sebagai tata
laksana carcinoma hepatoseluler yang semakin banyak digunakan di berbagai negara.
penanganan KSH dikarenakan toleransi jaringan liver terhadap batas ambang dosis
radiasi dan risiko terjadinya Radiation Induced Liver Disease (RILD). Seiring dengan
perkembangan teknologi dalam bidang onkologi radiasi yang pesat dalam dua dekade
terakhir, memungkinkan penggunaan RT, terutama dengan penggunaan teknik tinggi,
pada KSH dengan hasil yang baik. Terdapat berbagai macam teknik RT yang dapat
digunakan untuk tata laksana KSH, yaitu 3D-Conformal Radiation Therapy (3D-CRT,
Intensity-Modulated Radiation Therapy (IMRT), dan yang tercanggih adalah Stereotactic
Body Radiation Therapy (SBRT) (Kemenkes, 2022).
 Transarterial Radioembolization (TARE)
Transarterial Radioembolization (TARE) dengan yttrium-90-loaded resin/glass beads
dapat digunakan sebagai alternatif terapi lokoregional untuk pasien KSH yang tidak dapat
direseksi (Kemenkes, 2022).
 Terapi Sitemik
Sebelum sorafenib mulai digunakan sebagai terapi sistemik untuk KSH pada tahun 2008,
modalitas terapi untuk KSH stadium lanjut adalah agen sitotoksik (kemoterapi
konvensional), terapi hormonal, rekombinan interferon alfa-2b, atau kombinasi dua atau
tiga macam obat tersebut. Kemoterapi konvensional yang pernah digunakan baik secara
tunggal maupun kombinasi antara lain adalah doxorubicin, cisplatin, 5-fluorouracil.
Berbagai uji klinis yang dilakukan setelah tahun 1980 menggunakan satu jenis
kemoterapi konvensional hanya memberikan response rate sebesar 0–20%. Kombinasi
kemoterapi memberikan respons yang lebih baik, namun beberapa studi acak terkontrol
yang membandingkan antara pemberian terapi kombinasi dengan terapi apapun atau
pemberian satu jenis terapi, gagal menunjukan adanya manfaat perbaikan kesintasan
(Kemenkes, 2022).

Aprilicia, G., K. Bantas, S. Syarif, dan K. F. Kalista. 2021. Comparative evaluation of alpha-
fetoprotein serum in hepatocellular carcinoma patients with non-viral etiology evaluasi
perbandingan serum alfa-fetoprotein pada pasien karsinoma hepatoseluler dengan etiologi
non- viral comparative evaluation of alpha-feto. 8(1)
Fogel, M. R., V. K. Sawhney, E. Andrew Neal, R. G. Miller, C. Michael Knaurer, dan P. B.
Gregory. 1981. Diuresis in the Acitic Patient: A Randomized Controlled Trial of Three
Regimens. 1981.
Kemenkes. 2022. Pedoman nasional pelayanan kedokteran tata laksana karsinoma sel hati pada
dewasa. 1–112.
Martí-Carvajal, A. J. dan I. Solà. 2015. Vitamin k for upper gastrointestinal bleeding in people
with acute or chronic liver diseases. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2015(6)
Assesmen Terapi Plan Monitoring
nama dosis dosis yang digunakan Indikasi dan Mekanisme Penyelesaian Monitoring Efektivitas
DRP
obat pustaka pasien Obat DRP dan ESO
Indikasi : untuk Monitoring Efektivitas :
mencegah terjadinya tidak terjadi perdarahan
perdarahan setelah menggunakan
Mekanisme kerja : vitamin K
vitamin K bekerja
2,5 - 25 mg dengan cara mensisntesis
Vitami
(drugs.com 1 ampul protombin dan factor - - ESO : kesulitan menelan,
n K iv
) pembekuan darah pernapasan cepat atau
lainnya melalui aktivitas tidak teratur, pusing, ruam
protombin dengan reaksi kulit, gatal-gatal,
karboksilasi gugus glu pembengkakan kelopak
pada residu protein mata wajah atau bibir
prekusornya
EBM : Perdarahan gastrointestinal bagian atas adalah salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas yang paling sering dalam
perjalanan sirosis hati. Beberapa perawatan digunakan untuk perdarahan gastrointestinal bagian atas pada pasien dengan penyakit
hati. Salah satunya adalah pemberian vitamin K, namun belum diketahui apakah menguntungkan atau merugikan pasien dengan
penyakit hati akut atau kronis dan perdarahan saluran cerna bagian atas (Martí-Carvajal dan Solà, 2015).

Assesmen Terapi Plan Monitoring


dosis dosis yang Indikasi dan Mekanisme Penyelesaian Monitoring Efektivitas
nama obat DRP
pustaka digunakan pasien Obat DRP dan ESO
Spironolactone 100-200 100 mg × 2 Indikasi : digunakan B7 - Monitoring Efektivitas
mg untuk (interaks : mengatasi edema
(MIMS) hiperaldosteroniame, i obat)
hipertensi, gagal jantung ESO : pusing, sakit
dengan derajat NYHA kepala, rasa kantuk,
III dan IV, sirosis mual, muntah, diare
hepatis, penyakit ginjal
kronik dan acne vulgaris

Mekanisme Obat :
digunakan untuk
hiperaldosteroniame,
hipertensi, gagal jantung
dengan derajat NYHA
III dan IV, sirosis
hepatis, penyakit ginjal
kronik dan acne vulgaris

EBM : untuk membandingkan kemanjuran dari tiga rejimen diuretik yang umum digunakan dalam pengobatan asites, kami
mengacak 90 pasien menjadi tiga kelompok perlakuan: spironolavtone berurutan (spironolactone diikuti oleh furosemid jika perlu),
kombinasi (spironolactone dan furosemide dalam kombinasi), furosemide (diberikan furosemid sendiri). diuretik dimulai dengan
dosis rendah melalui mulut dan dosis ditingkatkan sampai 0,4-0,8 kg diuretik harian tercapai. temuan klinis dan laboratorium
sebanding untuk tiga kelompok eksperimen saat masuk ke penelitian. ketiga rejimen mencapai tingkat diuresis yang sebanding.
untuk melakukannya jauh lebih sulit dengan furosemide saja, yang membutuhkan penyesuaian dosis yang berulang-ulang dan
suplemen kcl yang masif. kejadian ensefalopati, sindrom hepatorenal, dan kelainan elektrolit yang nyata serupa untuk ketiga
kelompok perlakuan kecuali bahwa hiperkalemia berat lebih sering terjadi pada terapi kombinasi. kami menyimpulkan bahwa
diuresis harus dimulai dengan salah satu dari dua rejimen spironolakton dan dengan furosemide sebagai agen tunggal (Fogel dkk.,
1981)

Anda mungkin juga menyukai