Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN
Kornea adalah bagian mata yang jernih, transparan, berbentuk kubah yang
memainkan peran penting dalam ketajaman visual. Tidak seperti kebanyakan jaringan
dalam tubuh, kornea tidak mengandung pembuluh darah untuk menyehatkan atau
memutarnya melawan infeksi. Sebuah kornea yang sehat, dengan lapisan air mata di
atasnya, berperan penting dalam menyediakan permukaan refraksi yang baik serta
perlindungan mata. Bentuk kornea lebih rata di tepi dan lebih terjal di bagian tengah,
sehingga membentuk sistem optik asferis. Ada beberapa kondisi seperti; cedera,
alergi, keratitis dan mata kering yang mempengaruhi kornea.1,2
Keratitis adalah keadaan peradangan kornea yang disebabkan oleh bermacam-
macam penyebab. Keratitis adalah kondis serius yang memiliki etiologi infeksi dan
non-infeksi. Keratitis non-infeksius dapat disebabkan oleh cedera ringan atau karena
goresan kuku, atau penggunaan lensa kontak untuk jangka waktu lama. Keratitis
infektif dan non-infektif dapat saling tumpang tindih. Keratitis non-infeksi dapat
menjadi infeksi oleh beberapa mikroba dan dapat menyebabkan komplikasi yang
mengancam penglihatan. Keratitis oleh karena infeksi dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, dan protozoa. Keratitis juga dapat diklasifikasikan berdasarkan lapisan
kornea yang terkena seperti keratitis superfisial dan profunda.3
Gejala yang timbul pada keratitis adalah rasa sakit yang berat, karena kornea
memiliki serat sakit yang banyak. Rasa sakit juga diperparah oleh gerakan kelopak
mata sebab terjadinya gesekan antara kornea dan palpebral. Rasa silau (fotofobia)
juga dan penglihatan yang menurun terutama bila letak lesi di sentral kornea juga
dirasakan penderita. Keratitis juga menyebabkan mata merah dan rasa mengganjal
atau kelilipan.4 Keratitis merupakan penyakit yang serius karena dapat mengancam
ketajaman penglihatan. Penanganan yang tidak sempurna atau terlambat akan
mengakibatkan gangguan penglihatan permanen berupa penglihatan yang kabur
ringan hingga kebutaan.5

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kornea
2.1.1. Anatomi
Kornea merupakan jaringan avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-
12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi
1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri
(D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Kornea merupakan
sumber astigmatisme pada system optik. Asupan nutrisi dan pembuangan
produk metabolik terutama melalui humor akuos di posterior dan lapisan
air mata di anterior, dengan gradien oksigen yang menurun secara anterior-
posterior.1

Gambar 2.1. Kornea

Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya, menempati pertengahan dari rongga bola
mata anterior yang terletak diantara sclera. Kornea ini merupakan lapisan
avaskuler dan menjadi salah satu media refraksi ( bersama dengan humor
aquos membentuk lensa positif sebesar 43 dioptri). Kornea memiliki
permukaan posterior lebih cembung daripada anterior sehingga rata-rata

2
mempunyai ketebalan sekitar 11,5 mm ( untuk orang dewasa). lapis
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan terdiri atas lapisan:

1 Epitel
Epitel kornea merupakan lapis paling luar kornea dan berbentuk epitel
gepeng berlapis tanpa tanduk. Ini terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng.
Tebal lapisan epitel kira-kira 5% (0,05 mm) dari total seluruh lapisan
kornea. Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari
media penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel
muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju
ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal
di sampingnya dan sel poligonal di sampingnya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan
glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang
melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan
erosi rekuren. Lapisan in berasal dari ectoderm pemukaan, daya
regenerasi epitel cukup besar sehingga apabila terjadi kerusakan, akan
diperbarui dalam beberapa hari tanpa membentuk jaringan parut.
Bagian ujung saraf kornea berakhir pada epitel, sehingga setiap
gangguan epitel akan memberikan gangguan sensibilitas kornea berupa
rasa sakit atau mengganjal.5
2 Membran Bowman
Membran Bowman terletak di bawah epitel bersifat jernih dan aselular.
Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma
dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak
mempunyai daya generasi.5
3 Stroma Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea, yang
merupakan lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel
fibril-fibril kolagen dengan lebar sekitar 1 µm yang saling menjalin

3
yang hampir mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan
terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serta kolagen ini
bercabang. Di antara serat-serat kolagen ini terdapat matriks.
Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama, dan kadang
sampai 15 bulan. Bila terjadi gangguan dari susunan serat di dalam
stroma maka akan mengakibatkan sinar yang melalui kornea terpecah
dan kornea terlihat keruh. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air
dari bilik mata depan. Kadar air di dalam stroma kurang leih 70%.
Kadar air dalam stroma relatif tetap yang diatur oleh fungsi pompa sel
endotel dan penguapan oleh epitel. Apabila fungsi sel endotel kurang
baik maka akan terjadi kelebihan kadar air sehingga timbul sembab
korena.5
4 Membran Descemet
Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat, tidak
berstruktur dan bening; terletak di bawah stroma dan mempunyai tebal
kurang lebih 40 mm. Lapisan ini merupakan pelindung atau barrier
infeksi dan masuknya pembuluh darah.5
5 Endotel Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk
heksagonal, tebal antara 20 – 40 mm melekat erat pada membran
Descemet melalui taut. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh humor
akuos. Lapisan endotel berbeda dengan lapisan epitel karena tidak
mempunyai daya regenerasi, sebaliknya endotel mengkompensasi sel-
sel yang mati dengan mengurangi kepadatan seluruh endotel dan
memberikan dampak pada regulasi cairan, jika endotel tidak lagi dapat
menjaga keseimbangan cairan yang tepat akibat gangguan sistem
pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan (edema
kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi.
Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang
merupakan membran semipermeabel, kedua lapisan ini
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan

4
pada lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada
kornea. Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal
dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus
yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus
membran Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh
Bulbus Krause ditemukan pada daerah limbus.5

Gambar 2.2. Lapisan Kornea

Kornea bersifat avaskular sehingga nutrisi didapatkan dengan cara difusi dari
pembuluh darah perifer di dalam limbus dan dari aquous humor di bagian
tengah. Persarafan pada kornea berasal dari cabang oftalmikus saraf
trigeminus, melalui saraf siliaris anterior dan saraf maxillaris. Limbus dan
kornea perifer menerima persarafan simpatik dari ganglion servikal superior.
Saraf tersebut memasuki kornea pada sepertiga tengah stroma menuju anterior
secara radial ke arah pusat kornea. Sekitar 1 mm dari limbus, saraf kornea
mulai kehilangan selubung myelin sehingga disebut saraf telanjang. Saraf ini
mempersarafi lapisan anterior dan pertengahan stroma. Pada pertengahan
antara lapisan Bowman dan stroma anterior, persarafan stroma membentuk
pleksus saraf subepitel yang kemudian berjalan menembus membran bowman
dan membentuk pleksus saraf epitel subbasal. Pleksus saraf subbasal

5
berfungsi untuk regulasi nutrisi, proliferasi sel dan penyembuhan luka,
dimana jika terjadi gangguan akan mengubah morfologi dan fungsi epitel,
lapisan air mata dan penyembuhan luka yang terganggu.

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui


cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih,
sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah.
Biasan cahaya terutama terjadi di permukaan anterior dari kornea.
Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu
pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan
sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang
hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.

2.2. Keratitis
2.2.1. Definisi
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada
kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh . Akibat
terjadinya kelemehan pada media korneaa ini, maka tajam penglihatan
akan menurun. Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh
darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar. Keratitis biasanya
diklasifikasikan dalam lapisan yang terkena seperti keratitis superfisial
dan profunda atau interstisial.8

2.2.2. Faktor Resiko


Menurut Green Apel and Stapleton (2008) dalam Amalia (2014), faktor
risiko terjadinya keratitis antara lain:
1. Penggunaan lensa kontak
2. Riwayat tindakan bedah pada mata
3. Penyakit mata superfisial seperti konjungtivitis

6
4. Paparan sinar ultraviolet yang berlebihan

2.2.3. Etiologi
Adapun penyebab yang sering menyebabkan kelainan pada kornea
adalah:

1. Infeksi
a. Bakteri : Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Streptococcus pneumoniae and other Streptococcus spp,
Pseudomonas aeruginosa, Enterobacteriaceae (Proteus,
Enterobacter, Serratia), Neisseria spp, Moraxella spp,
Mycobacterium spp, Nocardia spp.
b. Jamur : jamur berfilamen {filamentous fungi), jamur bersepta,
jamur tidak bersepta , jamur difasik
c. Virus : Herpes Simplex Virus, Herpes Taster Virus, Varicella-zoster
Virus, Variola Virus, Vacinia Virus.
d. Protozoa (Acanthamoeba)
2. Dry eye
Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi
sehingga tidak dapat memenuhi kecukupan, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif, yang kemudian diikuti dengan keluhan subjektif.
Kekurangan cairan lubrikasi fisiologis merupakan faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi mikroba pada mata.7
3. Defisiensi vitamin A
Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat menyebabkan
kekeringan yang menggambarkan bercak bitot yang warnanya seperti
mutiara yang berbentuk segitiga dengan pangkal di daerah limbus.
Bercak bitot seperti ada busa di atasnya. Bercak ini tidak dibasahi oleh

7
air mata dan akan terbentuk kembali bila dilakukan debriment.
Terdapat dugaan bahwa bentuk busa ini menyebabkan keratomalasia
dan tukak kornea dimana akan terlihat kornea nekrosis dengan
vaskularisasi ke dalamnya.7

4. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea


Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah
mikrokornea dan megalokornea. Mikrokornea adalah suatu kondisi
yang tidak diketahui penyebabnya, bisa berhubungan dengan
gangguan pertumuhan kornea fetal pada bulan ke-5. Selain itu
berhubunga dengan pertumbuhan yang berlebihan dari puncak
anterior optic cup yang meninggalkan sedikit ruang bagi kornea untuk
berkembang.7
5. Distrofi Kornea
Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea.
Bilateral simterik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses
dimulai pada usia bayi 1-2 tahun dapat menetap atau berkembang
lambat dan bermanifestasi pada usia 10-20 tahun. Pada kelainan ini
tajam pengilhatan biasanya terganggu dan dapat disertai dengan erosi
kornea.7
6. Trauma kornea
Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi
atau perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau
bakteri harus diingat dengan kultur untuk bakteri dan jamur diambil
pada saat pemeriksaan pertama jika memungkinkan. Trauma tumpul
kornea dapat menimbulkan aberasi, edema, robeknya membran
Descemet dan laserasi komeoskleral di limbus. Perforasi benda asing
yang terdapatpada kornea dapat menimbulkan gejala berupa rasa pedas
dan sakit pada mata. Keluhan ini mungkin terjadi akibat sudah
terdapatnya keratitis atau tukak pada mata tersebut.7

8
7. Reaksi obat dan benda asing
Reaksi obat seperti neomisin, tobramisin maupun benda asing seperti
polusi, atau partikel udara seperti debu dan serbuk sari.7

2.2.4. Klasifikasi
Menurut lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi:
1. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis
Pungtata Subepitel)
Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea
yang dapat terletak superfisial dan subepitel.
 Etiologi
Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan
dapat terjadi pada Moluskum kontangiosum, Akne rosasea, Herpes
simpleks, Herpes zoster, Blefaritis neuroparalitik, infeksi virus,
vaksinisia, trakoma, trauma radiasi, dry eye, keratitis lagoftalmos,
keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan bahaya pengawet
lainnya.
Gejala klinis
dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan merasa kelilipan.
 Pemeriksaan laboratorium
Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk
lonjong dan jelas yang menampakkan bintik-bintik pada pemulasan
dengan fluoresein, terutama di daerah pupil. Uji fluoresein merupakan
sebuah tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea.
Dasar dari uji ini adalah bahwa zat warna fluoresein akan berubah
berwarna hijau pada media alkali. Zat warna fluoresein bila menempel
pada epitel kornea maka bagian yang terdapat defek akan memberikan
warna hijau karena jaringan epitel yang rusak bersifat lebih basa.

9
Kekeruhan subepitelial dibawah lesi epitel sering terlihat semasa
penyembuhan epitel ini, uji sensibilitas kornea juga diperiksa untuk
mengetahui fungsi dari saraf trigeminus dan fasial. Pada umumnya
sensibilitas kornea juga akan menurun .
 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ketratitis pungtata superfisial pada prinsipnya
adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan
idoxuridin, trifluridin atau asiklovir. Untuk bakteri gram positif pilihan
pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri
gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau polimixin B.
Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat sekret
mukopurulen yang menunjukkan adanya infeksi campuran dengan
bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu natamisin, amfoterisin atau
fluconazol. Selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis pungtata
superfisial ini sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar
dapat memberikan rasa nyaman seperti air mata buatan, sikloplegik
dan kortikosteroid.

2. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan
keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral
biasanya terdapat pada pasien setengah umur dengan adanya
blefarokonjungtivitis.
 Etiologi Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella
lacunata dan Esrichia.
 Gejala klinis Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan,
lakrimasi, disertai fotofobia berat. Pada mata akan terlihat
blefarospasme pada satu mata, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus

10
yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal ataupun multipel,
sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus.
 Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas
dengan pewarnaan Gram maupun Giemsa dapat mengidentifikasi
organisme, khususnya bakteri.
 Penatalaksanaan Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang
sesuai dengan penyebab infeksi lokalnya dan steroid dosis ringan.
Pada pasien dapat diberikan vitamin B dan C dosis tinggi.

3. Keratitis Intersisial
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh
darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi
kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis
adalah penyebab paling sering dari keratitis interstitial
 Etiologi
Keratitis Interstisial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke
dalam stroma kornea dan akibat tuberkulosis
 Gejala klinis
Biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, dan
menurunnya visus. Keratitis yang disebabkan oleh sifilis kongenital
biasanya ditemukan trias Hutchinson (mata: keratitis interstisial,
telinga: tuli labirin, gigi: gigi seri berbentuk obeng), sadlenose, dan
pemeriksaan serologis yang positif terhadap sifilis. Pada keratitis yang
disebabkan oleh tuberkulosis terdapat gejala tuberkulosis lainnya
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan gram
maupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri
 Penatalaksanaan

11
Penatalaksanaannya dapat diberikan kortikosteroid tetes mata jangka
lama secara intensif setiap jam dikombinasi dengan tetes mata atropin
dua kali sehari dan salep mata pada malam hari.

Menurut penyebabnya:
1. KERATITIS BAKTERIAL
Ciri-ciri khusus keratitis bakteri adalah perjalanannya yang cepat.
Destruksi corneal lengkap bisa terjadi dalam 24 – 48 jam oleh
beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan
abses stroma, edema kornea dan inflamasi segmen anterior adalah
karakteristik dari penyakit ini.
 Etiologi
Patogen Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis
bakteri adalah Streptococcus, Pseudomonas, Enterobacteriaceae
(meliputi Klebsiella, Enterobacter, Serratia, and Proteus) dan
golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis jamur
(terutama candidiasis) terjadi komplikasi koinfeksi bakteri.
Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan
hanya bervariasi dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku
untuk ulkus yang disebabkan bakteri oportunistik, seperti
Streptococcus alfa-hemolitikus, Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M fortuitum-
chelonei), yang menimbulkan ulkus kornea indolen yang
cenderung menyebar perlahan dan superfisial.
 Patofisiologi
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel
kornea yang intak dan atau masuknya mikroorganisme abnormal
ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi dan
menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi
mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses

12
infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada
struktur fimbriasi dan struktur nonfimbriasi yang membantu
penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi, epitel dan
stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis.
Sel inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal
dan menyebabkan nekrosis lamella stroma. Difusi produk-
produk inflamasi (meliputi sitokin) di bilik posterior,
menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan
adanya hipopion. Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi
elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi
kornea yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi
kornea.
 Temuan Klinis
a. Keratitis Pneumokokus
Ulkus kornea pneumokokus biasanya muncul 24-48 jam
setelah inokulasi pada kornea yang lecet. Infeksi ini secara
khas menimbulkan sebuah ulkus berbatas tegas warna kelabu
yang cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat
infeksi ke sentral kornea. Batas yang maju menampakkan
ulserasi aktif dan infiltrasi sementara batas yang ditinggalkan
mulai sembuh. (Efek merambat ini menimbulkan istilah
"ulkus serpiginosa akut".) Lapis superfisial kornea adalah
yang pertama terlibat, kemudian parenkim bagian dalam.
Kornea sekitar ulkus sering bening. Biasanya ada hipopion.
Kerokan dari tepian depan ulkus kornea pneumokokus
mengandung diplokokus berbentuk-lancet gram-positif.

13
Gambar 2.3. Ulkus pneumokokus
b. Keratitis Pseudomonas
Ulkus kornea pseudomonas berawal sebagai infiltrat kelabu
atau kuning di tempat epitel kornea yang retak. Nyeri yang
sangat biasanya menyertainya. Lesi ini cenderung cepat
menyebar ke segala arah karena pengaruh enzim protcolitik
yang dihasilkan organisme ini. Meskipun pada awalnya
superfisial, ulkus ini dapat mengenai seluruh kornea.
Umumnya terdapat hipopion besar yang cenderung
membesar dengan berkembangnya ulkus. Infiltrat dan
eksudat mungkin berwarna hijau kebiruan. Ini akibat pigmen
yang dihasilkan organisme dan patognomonik untuk infeksi
P. aeruginosa. Pseudomonas adalah penyebab umum ulkus
kornea bakteri. Kasus ulkus kornea Pseudomonas dapat
terjadi pada abrasi kornea minor atau penggunaan lensa
kontak lunak, terutama yang dipakai agak lama. Ulkus
kornea yang disebabkan organisme ini bervariasi dari yang
sangat jinak sampai yang menghancurkan. Organisme itu
ditemukan melekat pada permukaan lensa kontak lunak.
Beberapa kasus dilaporkan setelah penggunaan larutan
florescein atau obat tetes mata yang terkontaminasi.
c. Keratitis Streptokokus
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah
kornea (serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan
berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang menggaung. Ulkus

14
cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea,
karena eksotoksin yang dihasilkan oleh S. pneumoniae.
 Terapi
a. Terapi antibiotika Tetes mata antibiotik mampu mencapai
tingkat jaringan yang tinggi dan merupakan metode yang
banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep pada
mata berguna sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat
dan juga berguna sebagai terapi tambahan. Antibiotik
subkonjungtiva dapat membantu pada keadaan ada
penyebaran segera ke sclera atau perforasi atau dalam kasus
di mana kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan.
Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada
pengobatan awal dari keratitis bakteri. Untuk keratitis yang
parah (melibatan stroma atau dengan defek yang lebih besar
dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis loading
setiap 5 sampai 15 menit untuk jam pertama, diikuti oleh
aplikasi setiap 15 menit sampai 1 jam pada jam berikutnya.
Pada keratitis yang kurang parah, rejimen terapi dengan
dosis yang kurang frekuen terbukti efektif. Agen
Cycloplegic dapat digunakan untuk mengurangi
pembentukan sinekhia dan untuk mengurangi nyeri pada
kasus yang lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika
adanya peradangan bilik anterior mata. Terapi single-drug
dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya
ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang
sama seperti terapi kombinasi. Tetapi beberapa patogen
(misalnya Streptococcus, anaerob) dilaporkan mempunyai
kerentanan bervariasi terhadap golongan fluoroquinolone
dan prevalensi resistensi terhadap golongan
fluoroquinolones tampaknya semakin meningkat.

15
Gatifloksasin dan moksifloksasin (generasi keempat
fluoroquinolone) telah dilaporkan memiliki cakupan yang
lebih baik terhadap bakteri gram-positif dari
fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji invitro.
Namun, fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui
FDA untuk pengobatan keratitis bakteri. Terapi kombinasi
antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata
yang tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan
dengan lebih dari satu agen mungkin diperlukan untuk
kasus-kasus penyebab mikobakteri non-tuberkulos.
Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat
diipertimbangkan pada kasus-kasus yang parah di mana
proses infeksi telah meluas ke jaringan sekitarnya (misalnya,
sclera) atau ketika adanya ancaman perforasi dari kornea.
Terapi sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis
gonokokal.
b. Terapi kortikosteroid Terapi topikal kortikosteroid memiliki
peran bermanfaat dalam mengobati beberapa kasus menular
keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan
peradangan dan pengurangan pembentukan jaringan parut
pada kornea, yang dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan. Antara kerugiannya pula termasuk timbulnya
aktivitas infeksi baru, imunosupresi lokal, penghambatan
sintesis kolagen dan peningkatan tekanan intraokular.
Meskipun berisiko, banyak ahli percaya bahwa penggunaan
kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis bakteri
dapat mengurangi morbiditas. Terapi kortikosteroid pada
pasien yang sedang diobati dengan kortikosteroid topikal
pada saat adanya curiganya keratitis bakteri hendaklah
diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.

16
Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah
menggunakan dosis minimal kortikosteroid yang bisa
memberikan efek kontrol peradangan. Keberhasilan
pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi
dosis secara teratur, penggunaan obat antibiotika yang
memadai secara bersamaan, dan follow-up. Kepatuhan dari
pasien sangat penting, dan tekanan intraokular harus sering
dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai 2 hari
setelah terapi kortikosteroid topikal dimulai.
2. Keratitis Virus
a. Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi
kornea yang paling sering ditemukan dalam praktek.
Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan adanya
infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun.
Pada mata, virus herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan
epitel kornea penderita keratitis herpes simpleks. Penularan
dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata,
rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat
primer dan kambuhan. lnfeksi primer herpes simplek primer
pada mata jarang ditemukan ditandai oleh adanya demam,
malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans,
blefaritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kira-kira 94-
99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih
dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik.
Bentuk ini umumnya dapat sembuh sendiri, tanpa menimbulkan
kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat
dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai
terapi untuk penyakit kornea. Infeksi primer dapat terjadi pada

17
setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau
16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok
laki-laki pada umur 40 tahun ke atas. Infeksi herpes simpleks
laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer. Dengan
mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion
servikalis superior, ganglion N. trigeminus, dan ganglion siliaris
berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini
dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai
tempat berlindung virus herpes simpleks.
Beberapa kondisi yang berperan terjadinya infeksi kambuhan
antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres
emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan
anafilaksis, dan kondisi imunosupresi.
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe
1 namun beberapa kasus pada bayi dan dewasa dilaporkan
disebabkan HSV tipe
 Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila
kornea bagian pusat yang terkena terjadi sedikit gangguan
penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada
awal infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin
tidak datang berobat. Sering ada riwayat lepuh – lepuh,
demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea
kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala infeksi
herpes rekurens. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak
sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya
hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai
hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus,

18
keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa
kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala
spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak
adanya fotofobia.
1. Lesi bentuk dendritik merupakan gambaran yang khas
pada kornea, memiliki percabangan linear khas dengan
tepian kabur, memiliki bulbus terminalis pada ujungnya.
Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit,
namun sayangnya keratitis herpes dapat juga
menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan harus
dimasukkan dalam diagnosis diferensial.
2. Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik
yaitu sebentuk penyakit dendritik menahun yang lesi
dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat
bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya
menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus
menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang
mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur. Sensasi
kornea, seperti halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi
epitel kornea lain yang dapat ditimbulkan HSV adalah
keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan
keratitis filamentosa. Namun semua ini umumnya
bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas
dalam satu dua hari.

Gambar 2.4. Lesi dendritic

19
Gambar 2.5. Lesi geografik

Gambar 2.6. Keratitis Herpes Simplek

 Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea,
sambil memperkecil efek merusak akibat respon radang.
Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah
debridement epitelial, karena virus berlokasi di dalam epitel.
Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada
stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea,
namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement
dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium
atau eter topikal tidak banyak manfaat dan dapat
menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti
atropi 1 % atau homatropin5% diteteskan kedalam sakus
konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien harus
diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek

20
korneanya sembuh umumny adalah 72 jam. Pengobatan
tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan
epitel. Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada
keratitis epitel memberi keuntungan karena tidak perlu
ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi
berbagai keracunan obat.
Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis
herpes adalah idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan
acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif untuk
penyakit stroma dari pada yang lain. Idoxuridine dan
trifluridine sering kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir
oral ada mamfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes
mata berat, khususnya pada orang atopik yang rentan
terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema
herpeticum). Replikasi virus dalam pasien imunokompeten,
khususnya bila terbatas pada epitel kornea, umumnya
sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal
ini penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan
berpotensi sangat merusak. Kortikosteroid topikal dapat
juga mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan
risiko perforasi kornea. Jika memang perlu memakai
kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan,
penting sekali ditambahkan obat anti virus secukupnya
untuk mengendalikan replikasi virus.
Bedah Keratolasti
Penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea berat,
namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah
penyakit herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes

21
rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan
kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah
penolakan transplantasi kornea. Juga sulit dibedakan
penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma
rekurens. Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma
atau superinfeksi bakteri atau fungi mungkin memerlukan
keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat
dapat dipakai secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan
graft “petak” lamelar berhasil baik pada kasus tertentu.
Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan dibanding
keratoplasti penetrans karena lebih kecil kemungkinan
terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk
terapi atau tarsorafi mungkin diperlukan untuk pemulihan
defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simplek.

Pengendalian mekanisme pemicu


Pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV Infeksi
HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kirakira sepertiga
kasus dalam 2 tahun serangan pertama. Sering dapat
ditemukan mekanisme pemicunya. Begitu ditemukan,
pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai untuk
mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar
matahari atau sinar UV dapat dihindari. Keadaan – keadaan
yang dapat menimbulkan stres psikis dapat dikurangi. Dan
aspirin dapat diminum sebelum menstruasi.
3. Keratitis Fungi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada
kornea dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan
menyebabkan 6%-53% kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies
jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur.

22
 Etiologi
Secara ringkas dapat dibedakan :
Jamur berfilamen (filamentous fungi): bersifat multiseluler dengan
cabang-cabang hifa.
a) Jamur bersepta: Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora
sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
b) Jamur tidak bersepta: Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp. 2.
Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan
tunas: Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
 Manifestasi Klinik
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena
infeksi jamur dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik,
dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat menyebabkan
nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut, respon antigenik
dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat. Ulkus
kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan
infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian
kornea yang tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang
timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan
mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap
ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan
reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai
tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul.
Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup
parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai dengan lesi berwarna
putih kekuningan. Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai
pedoman berikut:
a) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal
lama.

23
b) Lesi satelit.
c) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan
tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh.
d) Plak endotel.
e) Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
f) Formasi cincin sekeliling ulkus.
g) Lesi kornea yang indolen

Gambar 2.7. Keratitis Apergillus

Gambar 2.8. Keratitis Candida

 Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya
preparat komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas
dalam improvisasi pengadaan obat, yang utama dalam terapi
keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi
bisa dibagi:

24
1 Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya. Topikal
Amphotericin B 1,0¬2,5 mg/ml, Thiomerosal (10 mg/ml),
Natamycin > 10 mg/ml, golongan Imidazole.
2 Jamur berfilamen. Topikal Amphotericin B 0,15%, Miconazole
1%, Natamycin 5% (obat terpilih), econazole 1% (obat
terpilih).
3 Ragi (yeast). Econazole 1%, Amphoterisin B 0,15 %,
Natamycin 5%, Clotrimazole 1%, fluoconazol 2 %
4 Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Golongan Sulfa, berbagai jenis
Antibiotik Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama
pada saat terapi awal. Diberikan juga obat sikloplegik (atropin) guna
mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior. Tidak
ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria
penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau
rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya
lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga
daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat
ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit menutup
belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan
kadangkadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada
terapi keratomikosis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian
dari kita semua.

4. KERATITIS ACANTHAMOEBA
Acanthamoeba adalah protozoa yang hidup pada air yang terkontaminasi
bakteri dan materi organic. Infeksi kornea pada Acanthamoeba biasanya
berhubungan dengan pengunaan lensa kontak, termasuk lensa silicon
hydrogel atau pemakaian berkepanjangan lensa kontak keras untuk koreksi
kelainan refraksi. Pada orang yang tidak memakai lensa kontak, infeksi ini

25
dapat terjadi akibat kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi.
Gejala awalnya adalah sakit yang berlebih daripada penemuan klinis, mata
merah, dan fotofobia. Tanda klinis yang khas adalah ulkus kornea yang
indolen, cincin stroma, infiltrate perineural, tapi perubahan hanya terbatas
pada epitel. Diagnosis dipastikan dengan kultur pada media yang khusus,
agar nonnutrien dengan E. coli di atas agar. Hasil yang lebih baik didapat
melalui biopsy kornea dan kerokan kornea untuk pemeriksaan
histopatologik bentuk amoeba. Penanganan tahap awal adalah debridement
epitel. Terapi obat biasanya dimulai dengan propamidine isethionate
topical (solusio 1%) dan polyhexamethylene biguanida (solusio 0,01% -
0,02%) atau tetes mata neomisin.

3.2.5. Patofisiologi
Beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi terjadinya inflamasi
padakornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea, dry
eyes, penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma
dan penggunaan preparat imunosupresif topikal maupun sistemik. Kornea
mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan,
oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa
mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks
berkedip, fungsi antimikroba film air mata, lisosim+ epitel hidrofobik
yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk
beregenerasi secara cepat dan lengkap. Epitel merupakan barrier yang
efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Pada saat
epitel mengalami trauma, struma yang avaskular dan lapisan Bowman
mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme, termasuk bakteri,
amoeba dan jamur. Ketika patogen telah menginvasi jaringan kornea
melalui lesikornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan
terjadi, yaitu:

1. Lesi pada kornea

26
2. Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea
3. Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi pathogen
4. Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi
pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran
infiltrasi kornea
5. Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion, umumnya berupa pus
yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan
6. Patogen akan menginvasi seluruh kornea.
7. Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membaran
Descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele
dimanahanya membran descement yang intak.
8. Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membran
descement terjadidan akuos humor akan keluar. Hal ini disebut ulkus
kornea perforata dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah
secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus
progresif dan bola mata akan menjadi lunak

I.2.5. Tanda dan Gejala Umum


Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea.
Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis
dan pengobatan keratitis. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan
berakhir dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa
nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum adalah:
a. Keluar air mata yang berlebihan
b. Nyeri
c. Penurunan tajam penglihatan
d. Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
e. Mata merah
f. Sensitif terhadap cahaya.

27
Kornea adalah jaringan avaskuler, maka pertahanan pada waktu
peradangan tidak segera datang, seperti pada jaringan lain yang
mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea, wandering cell
dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai
makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang
terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru
terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang
tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak
jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel
dan timbulah ulkus kornea. 5
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi
pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa
sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan
palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai
sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat
menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf
kornea merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya
dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat pada kebanyakan
penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi
pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga.
Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea,
umumnya tidak ada kotoran mata kecuali pada ulkus bakteri purulent.
Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan
berkas cahaya, lesi kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan,
terutama kalau letaknya di pusat. 5

28
BAB III
KESIMPULAN
Keratitis adalah peradangan kornea, yang memiliki etiologi infeksi dan non-infeksius,
di antaranya infeksi lebih sering terjadi. Klasifikasi keratitis dibagi menjadi keratitis
infeksius dan noninfeksius. Keratitis infeksius terdiri dari bakteriaal, virus, fungi, dan
achantamoeba. Keratitis non-infeksi dapat menjadi infeksi oleh beberapa mikroba dan
dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam penglihatan. Keratitis oleh karena
infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Keratitis juga dapat
diklasifikasikan berdasarkan lapisan kornea yang terkena seperti keratitis superfisial
dan profunda.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Yanoff M., Duker J.S. Opthalmology Fouth Edition. Elsevier Saunders. 2014
2. Deepanker S., Mandakini G., Himansu S.B. Keratitis: An Inflamation of
Cornea. India. EC Ophthalmology. 2017;171-177.
3. Ilyas, et. Al. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Keokteran. Edisi kedua. CV. Sagung Seto. 2002. 4. Mansjoer, Arif M. 2001.
Kapita Selekta edisi-3
4. Vaughan, Daniel. General Opthalmology. 18th edition. McGraw Hill. 2014.
5. Vanessa Priscillia. Keratitis (makalah ilmiah). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Tarumanagara. 2017.

30
6. Devi T., Rahmi FL. Pengaruh Penggunaan Beta Blocker Topikal Jangka
Panjang Terhadap Sensibilitas Kornea pada Pasien Glaukoma. Bandung:
Jurnal Kedokteran Diponegoro. 2017;6(2).1312-1319.
7. Amalia Rizki. Karakteristik Penderita Leratitis Di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang Tahun 2011-2012. Palembang. Repositori
Universitas Muhammadiyah Palembang. 2014.

31

Anda mungkin juga menyukai