Anda di halaman 1dari 32

Herniasi otak & HIPOKSIA

Oleh:
Nabila Putri Rahmadandi, S.Ked
71 2019 055 
  
Pembimbing:
dr. Susi Handayani, Sp.An, M. Sc, MARS
LATAR BELAKANG
Anestesiologi adalah cabang ilmu
kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan meliputi pemberian anastesi
maupun analgetik, pengawasan
keselamatan pasien di operasi maupun
Anestesia pada kasus bedah darurat tindakan lainnya, bantuan hidup
merupakan tindakan yang diberikan (resusitasi), perawatan intensif pasien
pada pasien yang akan menjalani gawat, pemberian terapi inhalasi dan
pembedahan darurat sebagai akibat penanggulangan nyeri menahun.
dari penyakit bedah yang dideritanya
secara mendadak dengan tindakan
anestesia-analgesia Selama proses tindakan tersebut
anestesia pada kasus bedah darurat
mempunyai kekhusuan karena keadaan
pasien yang memerlukan bantuan
Setiap pemberian anestesi perlu pemeriksaan
anestesia reanimasi mulai dari
apakah penderita mengalami kelainan faal atau
melakukan tindakan resusitasi primer
tidak dan obat apa yang diberikan serta teknik
sampai dengan tindakan anestesia pada
apa yang digunakan disesuaikan dengan
proses lanjutan sampai dengan
keadaan penderita. Dengan begitu, peran
perawatan pasien pasca operasi
anestesiologi tidak hanya diperlukan di ruang
bedah, tetapi juga di luar kamar bedah.
ANATOMI
Jalan nafas bagian atas terdiri dari faring, hidung,
mulut, laring, trakea, dan bronkus batang utama.
Mulut dan faring juga merupakan bagian dari
saluran pencernaan bagian atas. Sebagian
struktur laring berfungsi untuk mencegah aspirasi
ke dalam trakea. Ada dua bukaan jalan napas
manusia: hidung, yang mengarah ke nasofaring,
dan mulut, yang mengarah ke orofaring. Bagian
anterior ini dipisahkan oleh langit-langit, tetapi
bergabung secara posterior di faring.
Sistem Neurologi

Otak biasanya mengonsumsi 20% dari


total oksigen tubuh. Sebagian besar
konsumsi oksigen otak (60%)
digunakan untuk menghasilkan
adenosin trifosfat (ATP) untuk
mendukung aktivitas listrik saraf.
Tingkat metabolisme otak (CMR)
biasanya dinyatakan dalam konsumsi
oksigen (CMRO2) dan rata-rata 3
sampai 3,8 mL / 100 g / menit (50 mL /
menit) pada orang dewasa.
Initial assestmen
Pendekatan ini, yang disebut "penilaian awal", mencakup
elemen-elemen berikut:
Saat merawat pasien yang cedera, • Persiapan
dokter dengan cepat menilai cedera • Triase
dan melakukan terapi yang • Survei primer (ABCDE) dengan resusitasi langsung
menyelamatkan nyawa. Karena pasien dengan cedera yang mengancam jiwa
waktu sangat penting, pendekatan • Tambahan pada survei primer dan resusitasi
sistematis yang dapat diterapkan • Pertimbangan kebutuhan pemindahan pasien
dengan cepat dan akurat sangat • Survei sekunder (evaluasi kepala-ke-kaki dan riwayat
penting. pasien)
• Tambahan untuk survei sekunder
• Pemantauan dan evaluasi ulang pasca resusitasi yang
berkelanjutan
• Perawatan definitif
PRIMARY SURVEY
Survei utama mencakup ABCDE perawatan trauma dan mengidentifikasi kondisi yang
mengancam jiwa dengan mengikuti urutan berikut:
● Airway: Pemeliharaan jalan napas dengan pembatasan gerakan tulang belakang leher
● Breath: Pernapasan dan ventilasi
● Circulation: Sirkulasi dengan kontrol perdarahan
● Disability: Cacat (penilaian status neurologis)
● Exposure: Paparan / Pengendalian lingkungan
PRIMARY SURVEY
Dokter dapat dengan cepat menilai A, B, C, dan D pada pasien trauma (penilaian 10 detik)
dengan mengidentifikasi diri mereka sendiri, menanyakan nama pasien, dan menanyakan
apa yang terjadi. Respons yang tepat menunjukkan bahwa tidak ada gangguan jalan napas
yang besar (yaitu, kemampuan untuk berbicara dengan jelas), pernapasan tidak terlalu
terganggu (yaitu, kemampuan untuk menghasilkan gerakan udara untuk memungkinkan
berbicara), dan tingkat kesadaran tidak menurun secara nyata (yaitu, cukup waspada
untuk menggambarkan apa yang terjadi). Kegagalan untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan ini menunjukkan adanya kelainan pada A, B, C, atau D yang memerlukan
penilaian dan pengelolaan yang mendesak.
SECONDARY SURVEY
Survei sekunder adalah evaluasi kepala sampai kaki pasien trauma — yaitu, riwayat
lengkap dan pemeriksaan fisik, termasuk penilaian ulang semua tanda vital. Setiap bagian
tubuh diperiksa secara lengkap. Potensi untuk melewatkan cedera atau gagal memahami
pentingnya cedera sangat besar, terutama pada pasien yang tidak responsif atau tidak
stabil.

Selama survei sekunder, pemeriksaan fisik mengikuti urutan kepala, struktur maksilofasial,
tulang belakang leher dan leher, dada, perut dan panggul, perineum / rektum / vagina,
sistem muskuloskeletal, dan sistem saraf.
CEDERA KEPALA

Kasus trauma kapitis / Cedera kepala (CK) banyak dijumpai bersamaan dengan trauma tulang, oleh karena itu bila
penderita jatuh pada kecelakaan IaIu lintas, sering kali kepala terkena lebih dahulu. Faktor resiko CK yang paling
sering ialah usia muda,minum- minuman keras, atau obat-obatan, sistem penunjang lalu-lintas yang kurang baik atau
sistem pengamanan kendaraan kurang baik.

Di indonesia CK yang terjadi sebagian besar adalah CK tertutup akibat kekerasan (rudapaksa), karena kecelakaan
IaIu-Iintas,dan sebagian besar (84%) menjalani terapi konservatif dan sisanya sebanyak 16% membutuhkan tindakan
operatif.
Klasifikasi
Mekanisme  Tumpul    Kecepatan tinggi (tabrakan mobil)
   Kecepatan rendah (jatuhdipukul)
    Cedera peluru
•  Tembus  Cedera tembus lain
Berbahaya  Ringan    GCS 14-15
 Sedang  GCS 9-13
 Berat  GCS 3-8
Morfologi  Fraktur  Kalvaria  garis-bintang
tengkorak    depresi – nondepresi
     terbuka – terutup
     dengan/tanpa kebocoran CSS
  • Dasar tengkorak  dengan/ tanpa parese VII
     epidural 
     subdural
     
  •  Fokal  intraserebral
      komosio ringan
     
 Lesi •  Difus  komsio klasik 
intrakranial  cedera akson difus
LAPORAN
KASUS
Seorang mahasiswi berusia 22 tahun sedang dalam perjalanan
pulang di jalan pedesaan yang licin ketika mobilnya tergelincir
dari jalan dan masuk ke dalam selokan. Dia adalah seorang
pengemudi berikat pinggang dan tidak ada alkohol atau obat-
obatan yang terlibat. Sebuah cabang pohon telah memecahkan
jendela sisi depan pengemudi dan menabrak pengemudi
sehingga membuatnya tidak sadarkan diri. Pada saat paramedis
pengobatan darurat tiba, pasien sudah bangun, tetapi memiliki
skor GCS 8.
ANAMNESIS

Evaluasi awal menunjukkan bahwa pasien dapat


menggerakkan semua ekstremitas, tidak ada patah
tulang yang parah, dan tidak ada perdarahan yang
terlihat. Karena keadaan mengantuk pasien dan GCS 8,
paramedis mengintubasi pasien di tempat kejadian
tanpa obat, dan suara napas bilateral muncul setelah
intubasi.
ANAMNESIS

Setibanya di pusat trauma, pasien berada di backboard, diintubasi dengan


cervicalis collar di tempatnya. Pupil sama dan reaktif terhadap cahaya, dan
pasien menggerakkan semua ekstremitas. Tanda-tanda vital stabil, saturasi
oksigen hanya 88% meskipun menggunakan F1O2 100%. Survei primer dan
sekunder diselesaikan, tes darah diambil, rontgen dada menunjukkan ETT
trakea tengah dengan aerasi paru bilateral. CT scan otak menunjukkan tidak
ada fraktur, atau hematoma, tetapi ada pembengkakan otak yang lebih
menonjol di belahan kiri; jadi perangkat pemantauan tekanan intrakranial
ditempatkan dan pasien dibawa ke Unit Perawatan Intensif Neuro untuk
pemantauan.
ANAMNESIS

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak diketahui
Riwayat Pengobatan
Tidak diketahui
Keadaan praanestesi

• Pemasangan endobronkial tube dengan


mempertimbangkan saturasi 88% dan
GCS 8.
• Pemasangan alat pemantauan tekanan
intrakranial sebelum dibawa ke Unit
Perawatan Intensif Neuro untuk
pemantauan.
• Pemberian infus larutan garam 2%.
Pemeriksaan Penunjang Resume
• Tes darah lengkap
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
• Rontgen dada: ETT trakea tengah
pemeriksaan penujang diatas, maka :
dan aerasi parubilateral • Rencana operasi : kranitomi dan labektomi
• CT scan otak : tidak ada serebral
tanda-tanda fraktur atau • Rencana Anestesi : General Intravena
hematoma, tetapi terdapat Anastesi dengan pemasangan sungkup
pembengkakan otak yang lebih
menonjol pada belahan kiri
•  
Mulai anestesi :-
Lama anestesi :-
Lama operasi :-

Penyulit Pranastesi
Aspirasi dan hipertensi intrakranial
Ceklist Sebelum Induksi
Izin operasi :+
Cek mesin anestesi :+
Check suction unit :+
Persiapan obat-obatan : +

Teknik Anestesi
General Intravena Anastesi dengan pemasangan sungkup
 Posisi Pasie
Laporan Anestesi
Supine dengan kepala dinaikkan 150 sampai 300
durante operasi
Pramedikasi : Paracetamol 100 mg tiap 6 jam dalam 24 jam

Tambahan :
- Manitol 0,25 – 1 mg/KgBB
- Ondansetron 4 mg IV
- Morfin 10 mg IV
- Fenitoin 15-20 mg/KgBB
POST OPERASI
Operose berakhir
Selesai operasi pasien dipindahkan ke Unit Perawatan Intensif Bedah Saraf dan terus mengalami
desaturasi ganda dan gas darah arteri yang terus mengalami perburukan.
Dilakukan bronkoskopi dan pengambilan specimen potongan permen karet dari karina dan bronkus
utama. Meskipun saturasi oksigen membaik setelah tindakan bronkoskopi, pasien tetap membutuhkan
banyak perawatan dan meninggal setelah empat hari.
 
Di Ruang Rawat Inap
-
  
Intruksi Pasca Bedah
Bila kesakitan : Sesuai instruksi dokter
Bila mual/muntah : Sesuai instruksi dokter
Antibiotik : Sesuai instruksi dokter
Obat-obatan lain : sesuai intstruksi dokter
Infus : sesuai instruksi dokter
 
Pembahasan

Pasien, Ny. A, 22 tahun datang ke pusat trauma dengan kondisi berada dalam backboard dan cervical
collar. Didapatkan pupil isokor dan reflex cahaya +/+ dan pasien dapat menggerakkan semua
ekstremitas. Hasil pemeriksaan GCS 8, tanda vital stabil, saturasi oksigen 88%, F1O 2 100%. Saat
datang, pasien dalam keadaan sudah terpasang ETT. Diketahui bahwa pasien mengalami KLL dengan
kepala yang berbenturan dengan ranting pohon yang menembus kaca mobil. Survey primer dan
sekunder diselesaikan, rontgen dada menunjukkan ETT trakea tengah dengan aerasi paru bilateral, CT
scan otak menunjukkan tidak ada fraktur atau hematoma, tetapi terdapat pembengkakan otak yang lebih
menonjol di belahan kiri.
Pembahasan

Pada kasus ini pasien mengalami saturasi oksigen yang rendah dengan trauma kepala. Indikasi
pemasangan intubasi pada kasus ini dikarenakan pasien dalam keadaan mengantuk dan didapatkan skor
GCS adalah 8. Berdasarkan pedomn ATLS 2018, pembagian klasifikasi trauma kepala berdasarkan
keparahannya dibagi berdasarkan nilai GCS, yang mana dalam kasus ini termasuk kedalam trauma
kepala berat yaitu antara GCS 3-8. Henti napas sementara dan hipoksia sering terjadi pada cedera otak
parah dan dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Lakukan intubasi endotrakeal dini pada pasien
koma. Ventilasi pasien dengan oksigen 100% sampai pengukuran gas darah diperoleh, dan kemudian
buat penyesuaian yang sesuai pada fraksi oksigen inspirasi (FIO2). 5
Pembahasan

Penanganan jalan napas pada kasus ini sudah baik, yaitu dengan pemberian intubasi endotrakeal dan
masih dilanjutkan sampai tiba di pusat trauma. Namun setelah pemasangan ETT saturasi oksigen tetap
rendah, hal ini diduga karena adanya kesalahan pada saat pemasangan ETT. Dalam jurnal Ariestan dkk
(2018) menyebutkan bahwa posisi ETT yang optimal adalah posisi ujung balon proksimal ETT berada 2
cm di bawah pita suara, sedangkan ujung distal ETT berada pada 2–4 cm dari carina. Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah ekstubasi secara tidak sengaja dan intubasi endobronkial. Teknik umum
untuk mengetahui posisi ETT setelah dilakukan intubasi adalah dengan cara auskultasi 5 titik karena
mudah dalam melakukannya. Auskultasi 5 adalah auskultasi 2 titik di setiap sisi dada dan 1 titik di daerah
epigastrium.
Pembahasan

Pada kasus ini suara nafas bilateral muncul setelah intubasi hal ini bisa saja terjadi pada intubasi
endobronkial. Menurut Geisser dkk dalam jurnal Ariestan dkk (2018) sebuah penelitian membuktikan
bahwa penggunaan auskultasi untuk membedakan antara intubasi endotrakeal dan endobronkial tidak
dapat diandalkan dengan sensitivitas sebesar 65% dan spesifisitas 59%. Pada penelitian lainnya
ditemukan bahwa konfirmasi kedalaman ETT dengan auskultasi 5 titik mengalami kejadian malposisi ETT
sebesar 20% dari seluruh kasus intubasi endotrakea, terdapat 15% kasus di antaranya ditemukan ujung
ETT berada kurang dari 2 cm di atas carina, 5% kasus lain berada pada cabang utama bronkus.
Pembahasan

Managemen awal dengan pemberian hiperventilasi. Hiperventilasi dapat didefinisikan sebagai “induksi
dan atau pemeliharaan level tekanan CO2 dalam darah arterial di bawah kisaran normal.” Hiperventilasi
telah digunakan dalam mengelola cedera otak traumatik berat, menyebabkan vasokonstriksi serebral dan
menurunkan volume darah serebral. (Harahap & Wibowo, 2020).

Pada kasus dugaan kuat terjadi peningkatan TIK yang mana gejala penurunan kesadaran serta
hassil ct scan menunjukkan adanya pembengkakakn otak yang menonjol di belahan kiri. Edema otak
(mungkin penyebab tersering peningkatan ICP) disebabkan oleh banyak hal (termasuk peningkatan
cairan intrasel, hipoksia, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, iskemia otak, meningitis, dan
cedera (Price & Wilson, 2006). ICP pada umumnya meningkat secara bertahap. Setelah cedera
kepala, edema terjadi dalam 36 hingga 48 jam hingga mencapai maksimum. Hal ini sesuai dengan
kasus yang mana pasien mengalami beberapa episode rendah saturai oksigen dengan
meningkatnya tekanan intracranial setelah beberapa jam pertama setelah masuk rumah sakit.
Pembahasan

Pada bronkoskopi ditemukan adanya potongan permen karet yang dikeluarkan dari karina dan bronkus
utama. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa saturasi oksigen yang tidak kunjung mengalami
perbaikan dikarenakan intubasi endobronkial.

Teknik anestesi pada kraniotomi yang digunakan pada kasus ialah general anesthesia dengan anestesi
intravena total. Kepala dinaikkan 15 ° hingga 30 ° untuk memfasilitasi drainase vena dan CSF. Kepala
juga dapat diputar ke samping untuk memfasilitasi eksposur. Fleksi atau rotasi leher yang berlebihan
menghambat drainase vena jugularis dan dapat meningkatkan ICP.
Pembahasan

Pemberian paracetamol infus preoperative ditujukan untuk mengurangi keutuhan opioid preopratif.
Penelitian oleh Maund dalam Cahyadi dkk (2015) menunjukkan bahwa parasetamol memiliki efek opioid
sparing sehingga mengurangi kebutuhan opioid untuk analgetik pasca operasi. Penggunaan opioid pasca
operasi memiliki beberapa efek samping yang merugikan, diantaranya alergi, efek gastrointestinal, mual
muntah, hipotensi, sedasi, depresi respirasi dan retensi urin.
Pembahasan

Edema yang progresif dan cepat dapat menguasai mekanisme autoregulatory serebral, sehingga terjadi
kompresi struktural, iskemia serebral, dan pada akhirnya herniasi otak yang fatal. Untuk mencegah hal
ini, berbagai perawatan medis empiris digunakan, termasuk hiperventilasi, osmoterapi (manitol dan salin
hipertonik), diuretik, hipotermia, sedasi (propofol, barbiturat), dan pelumpuh neuromuskuler (suksinilkolin).
Kortikosteroid yang mengurangi permeabilitas sawar darah otak, juga dapat digunakan untuk mengontrol
edema vasogenik.
Pembahasan

Propofol memberikan efek penurunan aliran darah otak bersamaan dengan penurunan laju metabolisme
otak. Kemampuan untuk mengurangi volume darah otak (CBV), mengurangi tekanan intrakranial (ICP)
dan kemampuan untuk mempertahankan autoregulasi dan reaktivitas vaskular sangat bermanfaat.
Suksinilkolin secara teoritis dapat meningkat ICP, terutama jika intubasi dilakukan sebelum anestesi
dalam dilakukan.

Suksinilkolin, bagaimanapun, tetap menjadi agen pilihan untuk induksi sekuens cepat atau bila ada
kekhawatiran tentang kemungkinan sulitnya jalan napas, karena hipoksemia dan hiperkarbia jauh lebih
merugikan daripada efek suksinilkolin pada pasien dengan hipertensi intrakranial. Sevoflurane paling baik
mempertahankan autoregulasi CBF dan menghasilkan vasodilatasi terbatas; ini mungkin merupakan
agen volatil yang lebih disukai pada pasien dengan ICP yang meningkat.
Pembahasan
Manitol menurunkan tekanan intrakranial melalui efek reologik, yaitu menurunkan hematokrit dan
viskositas darah, meningkatkan aliran darah ke otak sehingga menurunkan diameter vaskuler otak
sebagai hasil dari autoregulasi. Rekomendasi pemberian manitol adalah dengan bolus intermitten dengan
selang beberapa jam dan disertai penggantian cairan untuk mempertahankan kondisi euvolemia. 12 Salin
hipertonik memberikan tekanan osmotik yang membawa air dari ruang interstisial memasuki
kompartemen intravaskular sehingga menurunkan tekanan intrakranial.

Salin hipertonik menurunkan TIK lebih baik dibandingkan salin normal atau larutan ringer laktat. Loading
dose salin hipertonik 23% 30 mL diberikan selama 10 sampai 20 menit melalui jalur sentral, dosis
pemeliharaan salin 3% 1 mg/kg/jam dititrasi sampai Na serum 150-155 mEq/jam. Na harus diperiksa
setiap 6 jam. Pemberian salin hipertonik berhubungan dengan edema paru dan dapat menimbulkan
hipotensi jika diberikan terlalu cepat.
kesimpulan

● Pada kasus ini pasien mengalami herniasi otak, terjadi hipoksia dikarenakan intubasi
endotbronkial dan aspirasi pada area carina serta bronkus utama.
● Jenis operasiyang dilakukan adalah kraniotomi dengan teknisk anestesi general anestesi
intravena
● Obat-obatan yang digunakan dalam premedikasi adalah paracetamol 1000 mg sedangkan
untuk induksi anestesinya meliputi propofol dan succinycholine dan diberikan manitol untuk
menurunkan tekanan intrakranial
CREDITS: This presentation template was
created by Slidesgo, including icons by Flaticon,

TERIMAKASIH
and infographics & images by Freepik.

Terimakasih!
Please keep this slide for attribution.

Anda mungkin juga menyukai