Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

HIPERTROFI ADENOID

Oleh :
Dr. Jossevalt A. Halawa

Dokter Pembimbing:
Dr.Agrina Nurlisyari, Sp.THT-KL

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN


TENGGOROKAN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH HASANUDDIN DAMRAH MANNA
BENGKULU SELATAN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Laporan Kasus Hipertrofi Adenoid


Nama : dr. Jossevalt A. Halawa

Manna, 06 Oktober 2019


Pembimbing

Dr. Agrina Nurlisyari, Sp. THT-KL


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus “Hipertrofi
Adenoid”.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Agrina
Nurlisyari, Sp. THT-KL sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan kasus, masukan dan saran dalam penyusunan laporan ini.
Adapun tujuan penulisan Laporan Kasus ini ialah untuk memberikan
informasi mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan Sindroma
Ekstrapiramidal . Dengan demikian diharapkan referat ini dapat memberikan
kontribusi positif dalam proses pembelajaran serta diharapkan mampu
berkontribusi dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari butuh perbaikan. Oleh
karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
laporan teman sejawat di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis mengucapkan
terima kasih.

Manna, 06 Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. i

KATA PENGANTAR ......................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................ iii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... 2

BAB III LAPORAN KASUS............................................................... 17

BAB IV PEMBAHASAN .................................................................... 27

BAB V KESIMPULAN ....................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 31


BAB I
PENDAHULUAN

Adenoid ialah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada
dinding posterior nasofaring dan merupakan salah satu jaringan yang
membentuk
cincin Waldeyer.1 Adenoid sudah ada sejak lahir dan secara fisiologis,
ukurannya akan berubah sesuai dengan pertambahan usia. Adenoid mencapai
ukuran maksimum pada usia 3-7 tahun, kemudian menetap sampai usia 8-9
tahun. Pada usia 14 tahun, adenoid secara bertahap mengalami involusi
kemudian hilang sama sekali.2 Bila seseorang sering mengalami infeksi saluran
nafas bagian atas maka dapat menyebabkan hipertrofi adenoid. Hipertrofi
adenoid, terutama pada anak-anak, muncul sebagai respon multiantigen virus,
bakteri, alergen, makanan, dan iritasi lingkungan.2 Walaupun secara fisiologis
adenoid akan mengalami regresi, tetapi dapat juga terjadi pembesaran yang
persisten hingga dewasa dan nantinya dapat menimbulkan gejala.1,2
Bila sudah terjadi pembesaran adenoid, maka nasofaring akan
mengalami penyempitan dan dapat mengakibatkan sumbatan pada koana dan
tuba eustachius.3 Akibat sumbatan koana, pasien akan bernafas melalui mulut
sehingga terjadi facies adenoid.2 Dapat juga terjadi faringitis dan bronkitis,
serta terganggunya ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga terjadi
sinusitis kronik. Akibat sumbatan tuba, dapat menyebabkan otitis media akut
berulang hingga akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik.4 Selain itu
akibat hipertrofi adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur, tidur ngorok,
retardasi mental, dan pertumbuhan fisik berkurang.2
Diagnosis hipertrofi adenoid dapat ditegakan melalui tanda dan gejala
klinis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Tanda dan gejala yang
dapat ditemukan seperti nafas melalui mulut, facies adenoid, sleep apnea,
mendengkur dan gangguan telinga tengah.5 Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior dapat ditemukan tahanan gerakan palatum mole sewaktu fonasi,
sementara pemeriksaan rinoskopi posterior pada anak biasanya sulit
dilakukan.1 Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan penunjangradiologis
seperti foto polos lateral.2-4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. HIPERTROFI ADENOID

A. DEFINISI
Hipertrofi adenoid adalah pembesaran jaringan adenoid.5 Hal ini
sering terjadi akibat infeksi saluran nafas bagian atas berulang. Hipertrofi
dan infeksi dapat terjadi secara terpisah tetapi sering terjadi bersama.
Struktur adenoid yang lunak dan normalnya tersebar dalam nasofaring,
terutama pada dinding posterior dan atapnya, mengalami hipertrofi dan
terbentuk massa dengan berbagai ukuran. Massa ini dapat hampir
mengisi ruang nasofaring, mengganggu saluran udara yang melalui
hidung, mengobstruksi tuba eustachii, dan memblokade pembersihan
mukosa hidung.6-7

Gambar 1. Hipertrofi Adenoid


B. ETIOLOGI
Etiologi hipertrofi adenoid dapat diringkas menjadi dua yaitu
secara
fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami
hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun dan kemudian mengecil
dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun.1 Hipertrofi adenoid
biasanya asimptomatik, namun jika cukup besar akan menyebabkan
gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami
infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA.2
Etiologi pembesaran adenoid sebagian besar disebabkan oleh infeksi
yang berulang pada saluran nafas bagian atas.4-5

C. PATOGENESIS
Fungsi adenoid adalah bagian dari imunitas tubuh. Adenoid
merupakan jaringan limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin
Waldeyer. Adenoid memproduksi IgA sebagai bagian penting dalam
sistem pertahanan tubuh lini terdepan dalam proteksi tubuh dari
mikroorganisme dan molekul asing.6-7
Pada anak-anak pembesaran adenoid terjadi karena aktivitas imun,
karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid
pertama dalam tubuh yang memfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan
tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang
khusus dalam respon imun humoral maupun selular, seperti pada epitel
kripta, folikel limfoid, dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu,
hipertrofi dari jaringan merupakan respons terhadap kolonisasi dari flora
normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen.5,9
Adenoid dapat membesar yang mengakibatkan tersumbatnya jalan
udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan usaha yang keras untuk
bernafas. Akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka.
Adenoid dapat menyebabkan obstruksi di saluran udara pada nasal
sehingga mempengaruhi suara.3 Pembesaran adenoid juga menyebabkan

4
obstruksi pada tuba eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif
karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat gangguan fungsi tuba
eustachius yang tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan.4

D. DIAGNOSIS
a) Anamnesis
Keluhan utama pasien dengan hipertrofi adenoid biasanya adalah
hidung tersumbat, rhinore, kualitas suara berkurang (hiponasal), dan
obstruksi nasal berupa pernapasan lewat mulut yang kronis (chronic
mouth breathing), mendengkur, gangguan tidur (obstructive sleep
apnea), tuli konduktif (merupakan penyakit sekunder otitis media
rekuren atau efusi telinga tengah yang persisten) dan facies adenoid.2,3

Gambar 2. Facies Adenoid, diambil dari www.russiandoctors.com

Jika seseorang mengalami infeksi pada saluran napas bagian atas


berulang, maka dapat terjadi hipertrofi adenoid yang akan menyebabkan
sumbatan pada koana dan tuba eustachius. Akibat sumbatan koana maka
pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi;
1) Lengkung palatum durum meninggi dan menyempit, area
dentalis superior lebih sempit dan memanjang daripada arcus

5
dentalis inferior hingga terjadi maloklusi dan overbite (gigi
incisivus atas lebih menonjol ke depan),
2) Wajah pasien terlihat seperti anak bodoh, yang dikenal sebagai
facies adenoid,
3) Mouth breathing mengakibatkan udara pernafasan tidak disaring
dan kelembabannya berkurang, sehingga mudah terjadi infeksi,
4) Sumbatan tuba eustachius akan memicu otitis media serosa baik
rekuren maupun residif, otitis media kronik dan terjadi ketulian.
Obstruksi ini juga menyebabkan perbedaan dalam kualitas
suara.2,3

Secara umum anak-anak dengan pembesaran adenoid memiliki


karakteristik wajah tertentu yang dihasilkan oleh efek obstruksi nasal dan
pertumbuhan maksilla akibat mouth breathing. Gambaran wajah ini
terdiri dari postur bibir yang terbuka atas yang lebih pendek; hidung yang
kurus, maksilla yang sempit dan hipoplastik, dan high-arched palate.3
Kelainan pertumbuhan ini dikarenakan kelainan oklusi cross bite
dan open bite. Pada sebuah penelitian menunjukkan hubungan yang
sangat erat antara pembesaran adenoid dan kelainan dental, serta
maksilla. Alasan alternatif adalah bahwa kelainan rahang atas ini didapat
dari variasi normal. Hubungan kausatif antara pembesaran adenoid dan
kelainan maxilla tidak pernah diteliti.3
Mouth breathing dan rhinitis yang terus menerus merupakan gejala
paling khas. Pernapasan mulut dapat muncul hanya saat tidur, terutama
bila anak tidur terlentang, bila mendengkur, kemungkinan juga terjadi.
Dengan adanya hipertrofi adenoid yang berat, mulut akan terus terbuka,
sehingga membran mukosa mulut serta bibir menjadi kering.
Nasofaringitis kronis dapat terjadi secara konstan dan dapat berulang.
Kualitas suara berubah menjadi suara hidung, serak. Pernapasan terasa
menusuk hidung, indra pengecap serta penciuman pun terganggu. Batuk
yang mengganggu dapat muncul akibat dari drainase nanah ke dalam

6
faring bawah atau iritasi laring dan udara inspirasi yang belum dipanasi
serta dilembabkan oleh karena masuk melalui mulut. Gangguan
pendengaran juga dapat dijumpai. Otitis media kronis dapat terjadi
karena adanya hipertrofi adenoid yang terinfeksi dan blokade orifisium
tuba eustachii. Pernapasan mulut kronis memberi kecenderungan
lengkungan palatum tinggi, sempit, dan mandibula memanjang. Tidak
jarang ortodontis merujuk untuk melakukan pemeriksaan obstruksi
hidung dan adenoidektomi.3
Sejumlah kecil anak dengan pembesaran adenoid (juga tonsil) yang
nyata tidak mampu bernapas dengan mulut selama waktu tidur, sehingga
terjadilah obstructive sleep apnea Mereka mendengus dan mendengkur
keras dan sering menampakkan tanda-tanda kegawatan pernapasan,
seperti retraksi interkostal dan pelebaran lubang hidung. Anak ini
berisiko mengalami insufisiensi pernapasan (hipoksia, hiperkapnea,
asidosis).11
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik terbagi dua yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung yaitu:
• Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum
molle waktu mengucapkan "i" yang terhambat oleh
pembesaran adenoid, hal ini disebut fenomena palatum
molle yang negatif.
Sedangkan secara tidak langsung yaitu:
• Dengan pemeriksaan rhinoskopi posterior, menggunakan
cermin dan lampu kepala melihat nasofaring dari arah
orofaring
• Dengan nasofaringoskop, suatu alat yang mempunyai
sistem lensa dan lampu diujungnya, dimasukkan melalui
cavum nasi, sehingga nasofaring dapat terlihat.
Pemeriksaan klinis yang dilakukan pada anak dengan obstruksi
nasal kebanyakan sulit dipercaya. Pemeriksaan cavum nasi yang

7
dilakukan dengan rinoskopi anterior dapat terlihat normal atau dapat
menunjukkan peningkatan sekresi, hipertrofi, maupun kongesti
(hiperemis atau kebiruan) di konka. Pada beberapa anak, pemeriksaan
nasofaring dengan kaca laring dapat mengidentifikasi adenoid yang besar.
Akan tetapi, pada beberapa anak pemeriksaan dengan kaca laring ini
tidak mungkin dilakukan. Cara yang paling mungkin untuk
mengidentifikasi ukuran adenoid ini adalah dengan menggunakan foto
lateral. Foto radiologi ini akan memberikan pengukuran absolut dari
adenoid dan juga dapat memberikan taksiran hubungannya dengan
ukuran jalan napas. Hal ini adalah metode terbaik untuk menentukan
apakah adenoidektomi dapat memperbaiki gejala obstruksi nasal.2,6
c) Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos
Ukuran adenoid biasanya dideteksi dengan menggunakan foto polos
true lateral. Hal ini memiliki kekurangan karena hanya menggambarkan
ukuran nasofaring dan massa adenoid dua dimensi. Namun, Holmberg
dan Linder- Aronson (1979) menemukan hubungan yang signifikan
antara ukuran adenoid yang diukur pada foto kepala lateral dan adenoid
yang diukur secara klinis menggunakan nasofaringoskopi.3,4
Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam
mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena
ruang postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan
pengambilan foto lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan derajat
obstruksi.4
Terdapat beberapa metode untuk mengukur besar adenoid, antara
lain yang pernah diteliti adalah:10

a.
Ketebalan adenoid
Ketebalan adenoid, seperti yang dideskripsikan oleh Johannesson,
didefinisikan sebagai jarak yang diukur (mm) tegak lurus dari
tuberkel faring di basis cranii ke puncak adenoid dengan

8
menggunakan cavum x-ray. Skema ditunjukkan oleh gambar 3.8

Gambar 3. Skema tebal adenoid menurut Johannesson. PT: Tonsil faring


(adenoid), NF: nasofaring.

b. Rasio jalan napas dan palatum molle


Rasio jalan napas dan palatum molle, seperti yang dideskripsikan oleh
Cohen dan Konak, merupakan perbandingan antara lebar kolom udara
(AC) antara palatum dan titik kelengkungan tertinggi adenoid dan
ketebalan palatum molle (SfP; 10 mm di bawah palatum durum atau
5 mm pada anak < 3 tahun) dengan menggunakan cavum x-ray.
Adenoid disebut sebagai kecil, ketika kolom udara lebih sempit
daripada ketebalan palatum; medium, ketika kolom udara sempit
namun lebih lebar dari setengah tebal palatum; dan besar, ketika
kolom udara lebih sempit dari setengah tebal palatum. Skema
ditunjukkan oleh gambar 4. Sementara itu, Cohen dan Konak
mengkategorikan adenoid ke dalam 3 kelompok berdasarkan
perhitungan pada skema, yakni:
• Kecil : AC/SfP ≥ 1,0
• Medium: 0,5 ≤ AC/SfP < 1,0
• Besar : AC/SfP < 0,5

9
Gambar 4. Metode Cohen dan Konak. A. Pengukuran dilakukan 10 mm dari
posterior nasal spine B. Gambaran adenoid yang besar
.
c. Rasio adenoid-nasofaring (rasio A/N)
Rasio adenoid-nasofaring, yang diusulkan oleh Fujioka dkk,
didefinisikan sebagai rasio antara ketebalan adenoid (A) dengan
nasofaring (N) dengan menggunakan cavum x-ray. Di mana A
adalah garis tepi anterior tulang basiooksipital yang tegak lurus ke
puncak tonsil faring (adenoid); dan N adalah jarak antara bagian
posterosuperior dari palatum durum dan tepi anterior dari
sinkondrosis sfenooksipital. Skema ini ditunjukkan oleh gambar 5.
Adapun kategori menurut Fujioka adalah:12
• A/N ≤ 0,8 : normal
• A/N > 0,8 : pembesaran

Gambar 5. Skema adenoid-nasofaring menurut Fujioka dkk. A: adenoid,


N: nasofaring.

10
d. Persentase oklusi jalan napas
Persentase oklusi jalan napas yang diukur dengan lateral neck soft
tissue radiographs (LNXR), yang dinilai sebagai rasio tebal adenoid
yang didefinisikan oleh Johanneson dengan jarak dari tuberkel
faring di basis cranii ke permukaan superior dari palatum molle.
Klasifikasi :10
• Grade I: Besar adenoid kurang dari 25% dari jalan napas
nasofaring
• Grade II: Adenoid sebesar 25% hingga 50% dari jalan napas
nasofaring
• Grade III: Adenoid sebesar 50% hingga 75% dari jalan napas
nasofaring
• Grade IV: Besar adenoid lebih dari 75% jalan napas nasofaring.

11
Gambar 6. Metode untuk menilai pembesaran adenoid pada lateral neck
radiography A. Rasio adenoid dan nasofaring oleh Fujioka dkk B. Rasio
jalan napas dan palatum molle oleh Cohen dan Konak C. Ketebalan
adenoid oleh Johannesson D. Persentase oklusi jalan napas, diukur dari
rasio ketebalan adenoid dan jarak tuberkel faring-permukaan superior
palatum molle.

Pemeriksaan hipertrofi adenoid harus dilakukan dengan hati-hati.


Perubahan posisi pasien, seperti halnya tipe pernapasan pada saat pengambilan
foto, memiliki efek yang signifikan pada penampang jaringan lunak nasofaring.
Oleh karena itu, foto dua dimensi dapat menjadi sangat tidak akurat untuk
mendeteksi pembesaran adenoid dan dapat menyebabkan perbedaan pendapat
antar pemeriksa.10-11
2. CT Scan dan MRI
CT scan dan MRI dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
banding dari hipertrofi adenoid seperti kista maupun tumor.
Gambaran hipertrofi adenoid yang terdapat pada CT scan dan MRI
adalah gambaran densitas/intensitas rendah tanpa adanya central
midline cyst.7,10

Gambar 7. MRI dan CT scan nasofaring. A. potongan axial MRI T1 pada


nasofaring B. potongan sagittal CT scan yang menunjukkan soft tissue
shadow pada nasofaring

3. Endoskopi
Endoskopi cukup membantu dalam mendiagnosis hipertrofi adenoid,
infeksi adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), serta untuk
menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal. Adapun ukuran adenoid
diklasifikasikan menurut klasifikasi Clemens et al, yang mana adenoid
grade I adalah ketika jaringan adenoid mengisi sepertiga dari apertura nasal
posterior bagian vertikal (choanae), grade II ketika mengisi sepertiga hingga
dua per tiga dari koana, grade III ketika mengisi dua per tiga hingga
obstruksi koana yang hampir lengkap dan grade IV adalah obstruksi koana
sempurna.11,12
Menurut Parikh et al (2006) pembesaran adenoid dibagi berdasarkan
struktur anatomi yang disentuh oleh adenoid, dijelaskan pada tabel 1.13
Grade I

Adenoid tidak menyentuh struktur apapun


Grade II

Adenoid menyentuh struktur torus tubaris


Grade II

Adenoid menyentuh struktur Vomer


Grade IV

Adenoid menyentuh struktur palatum


Tabel 1. Tingakatan Hipertrofi adenoid menurut Parikh (2006)

14
E. PENATALAKSANAAN
Terapi pada hipertrofi adenoid adalah dengan terapi bedah
adenoidektomi menggunakan adenotom.1 Beberapa penelitian menerangkan
manfaat dengan menggunakan steroid spray intranasal pada anak dengan
hipertrofi adenoid. Penelitian menujukkan bahwa selagi menggunakan
pengobatan dapat mengecilkan adenoid (sampai 10%).8,12 Tetapi jika
pengobatan tersebut itu dihentikan adenoid tersebut akan terulang lagi. Pada
anak dengan efusi telinga tengah yang persisten atau otitis media yang
rekuren, adeinoidektomi meminimalkan terjadinya rekurensi.4 Indikasi
adenoidektomi adalah:
1) Sumbatan; Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut,
sleep apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, kelainan bentuk
wajah dan gigi (facies adenoid).
2) Infeksi; adenoiditis berulang/kronik, otitis media efusi berulang/kronik,
otitis media akut berulang.
3) Kecurigaan neoplasma jinak/ganas.1,10
Adenoidektomi dan tonsilektomi dilakukan dengan anestesi umum dan
penyembuhan terjadi dalam waktu 48 hingga 72 jam. Terdapat beberapa
keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya
dapat diatasi, operasi dapat tetap dilaksanakan dengan
mempertimbangkan manfaat dan risikonya. Keadaan tersebut antara lain
insufisiensi palatum, gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar
atau penyakit berat anemianfeksi akut yang berat, penyakit berat lain
yang mendasari.9

F. KOMPLIKASI
Komplikasi dari tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila
pengerokan adenoid kurang bersih. Jika terlalu dalam menyebabkan
terjadinya kerusakan dinding posterior faring. Bila kuretase terlalu ke

15
lateral maka torus tubarius akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi
tuba eustachius dan timbul tuli konduktif.1
Hipertrofi adenoid merupakan salah satu penyebab tersering dari
obstruksi nasal dan dengkuran, dan merupakan salah satu penyebab
terpenting dari obstructive sleep apnea syndrome atau OSAS, khususnya
ketika terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi jalan napas
bagian atas, antara lain seperti anomali kraniofasial, maupun
micrognathia akibat sindrom Treacher Collins.11

G. PROGNOSIS
Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada
kebanyakan individu.10,11 Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan
dapat sembuh sempurna, sleep apnea dan obstruksi jalan nafas dapat
teratasi. Terjadi penurunan otitis media setelah dilakukan adenoidektomi.
Suatu penelitian menunjukkan adanya resolusi gejala sinusitis setelah
pengangkatan adenoid. Suatu penelitian menunjukkan bahwa sekitar 30-
50% terjadi penurunan otitis media setelah dilakukan adenoidectomy.
Adenoidektomi menghilangkan obstruksi sehingga gejala-gejala
obstruksi nasal seperti sleep apnea, hiponasal menghilang dengan
sendirinya.12

16
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. U
Nomor RM : 918330
Umur : 10 tahun 8 Bln 10 Hari
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Tanggal dikasuskan : 2019

3.2 Anamnesis
• Keluhan Utama
Bicara sering sengau, kadang terbata bata yang dialami
semenjak 1 bulan SMRS
• Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSHD dengan surat pengantar dari poli
THT. Os mengeluhkan berbicara sengau, keluhan sudah
dirasakan semenjak 1 bulan hingga saat os masuk rumah sakit.
Os mengaku terkadang kesulitan untuk bernafas melalui hidung
sehingga sering kali bernafas melalui mulut, orangtua os juga
sesekali mendengar os mendengkur saat tertidur pada malam
hari.
Nyeri telinga, hidung gatal, nyeri menelan, keluar cairan dari
hidung serta mimisan disangkal oleh pasien

17
• Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat batuk pilek hilang timbul namun dapat
sembuh dengan sendirinya. Tonsilektomi (-). Riwayat
epistaksis (-), alergi (-) imunisasi lengkap (+),
• Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa
• Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah melakukan pengobatan di puskesmas atau
pun ke rumah sakit lain.
• Riwayat Kebiasaan dan sosioekonomi
Pasien seorang pelajar SD. pasien mengaku tidur cukup 8 jam
perhari apabila keluhan tidak memberat, namun apabila keluhan
memberat pasien mengaku sedikit sulit tidur, pasien makan
teratur 3 kali sehari, sering mengkonsumsi es krim dan minuman
dingin serta jajanan yang mengandung banyak penyedap rasa.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadan umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Vital sign : Tekanan Darah : tidak diukur
HR : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,7°C

Status Generalisata
Kepala : Normocephali, tidak ada deformitas
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera Iklterik (-/-)
Telinga : Status lokalis
Hidung : Status lokalis
Mulut : Status lokalis

18
Leher : Jejas (-), oedem (-), hematom (-), pembesaran kelenjar getah
bening dan tiroid (-), nyeri tekan (-)
Thorax
Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I, II regular, murmur (-), gallop(-)
Paru
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus teraba sama di kedua lapang paru
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Soepel
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+), normal

19
Status lokalis

Telinga
Dextra Sinistra
Normotia, benjolan (-), nyeri Normotia, benjolan (-), nyeri
tarik (-), nyeri tekan tragus Daun telinga tarik (-), nyeri tekan tragus
(-) (-)
Hiperemis (-), fistula (-), Preaulikula Hiperemis (-), fistula (-),
oedem (-), sikatriks (-) oedem (-), sikatriks (-)

Hiperemis (-), fistula (-), Hiperemis (-), fistula (-),


oedem (-), sikatriks (-), nyeri Retroaulikula oedem (-), sikatriks (-), nyeri
tekan mastoid (-) tekan mastoid (-)
Lapang, Hiperemis (-), Kanalis Lapang, Hiperemis (+),
oedem(-), discharge(-) akustikus oedem(-), discharge(-)
ekstrenus
Retraksi (-) warna keruh Membran Perforasi (-)
pucat timpani

Sinus paranasalis
Sinus Frontal Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)
Sinus ethmoid Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)

Sinus maksila Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)

Hidung
Dextra Sinistra
Bulu hidung (+),sekret (+) Vestibulum Bulu hidung (+), sekret (+/)

Tidak terlihat Konka Superior Tidak terlihat


Eutrofi, hiperemis (-) Konka media Eutrofi, hiperemis (-)

Oedem Konka inferior Oedem


Pus (-), polip (-) Meatus nasi Pus (-), polip (-)
Lapang Cavum nasi Lapang

20
(+) encer, jernih (+) encer, jernih
Sekret

Deviasi (-) , benjolan (-), Deviasi (-) , benjolan (-),


hiperemis (- /-), nyeri tekan Septum nasi hiperemis (- /-), nyeri tekan
(-/-) , undulasi (-/-) (-/-) , undulasi (-/-)

Pemeriksaan Penghidu (N. Olfaktorius)


Dextra Bahan Sinistra
Tidak dilakukan Alkohol Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Teh Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Kopi Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Amoniak Tidak dilakukan

Orofaring
Mulut Trismus (-)

Palatum Simetris, deformitas (-)

Arkus faring Simetris, hiperemis (-)

Mukosa faring Hiperemis (-), granulasi (-), sekret (-)

Dinding faring posterior Hiperemis (-), post nasal drip (+)

Uvula Simetris ditengah, hiperemis (-)

Tonsila Palatina Ukuran : T0-T0


Warna : Hiperemis (-)
Kripta : -
Detritus: -/-
Perlekatan : -

Kemampuan menelan Makanan padat (+), makanan lunak (+), air (+)

Laringoskopi indirek : Tidak dilakukan

21
3.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium (26 Juni 2019)

Pemeriksaan Hasil Satuan


Hematologi
Hemogloblin 12,5 gr/dl
Hematokrit 34 %
Leukosit 8200 /mm3
Trombosit 294.000 /mm3
LED 7 mm/jam
Clotting Time 6’ 40 “ Menit
Bleeding Time 3’ 30 “ menit
Diff Count
Basofil 0 %
Eosinofil 1 %
N. Batang 2 %
N. Segmen 52 %
Limfosit 38 %
Monosit 7 %

22
b. Foto polos kepala lateral

Hasil Pemeriksaan X Ray Cervical Proyeksi Lateral (Closed Mouth)


- Tak Tampak Soft Tissue swelling
- Tampak Airway paten
- Tampak glandula adenoid
- AN Ratio menurut Fujioka : 0,55 (normal : 0,4-0,8)
- Tampak struktur dan trabekulasi tulang dbn
Kesan
Besar Glandula adenoid dalam batas normal

3.5 Diagnosis
a. Diagnosis Banding
• Hipertrofi adenoid
• Rhinitis Alergika
• Polip Hidung
• Deviasi Septum
• Karsinoma Nasofaring
b. Diagnosis kerja
Hipertrofi adenoid

3.6 Penatalaksanaan
• Pre-operasi
IVFD RL 20 tpm
Puasa

• Adenoidektomi pada tanggal 26 Juni 2019

Gambar 8. Adenoid pasien yang sudah diangkat

• Pasca-operasi
IVFD RL 20 tpm
Cefadroxil Syr 2x C1
Cataflam Fast sachet 2x50 mg
Diet lunak bertahap
Minum air es sedikit demi sedikit
Kompres air es pada leher
Tidur miring ke satu sisi

24
3.7 Prognosis
• Ad vitam : dubia ad Bonam
• Ad functionam : dubia ad Bonam
• Ad sanationam : dubia ad Bonam

Monitoring Pasien
Tanggal 26 Juni 2019 (Pasca-Adenoidektomi)
S : (-) , perdarahan (-)
O : KU : os tampak sakit sedang
Sensorium : Compos Mentis
Tonsil : T2-T2
A : Hipertrofi Adenoid post Adenoidektomi
P : IVFD RL 20 tpm
Cefadroxil Syr 2 x C1
Cataflam fast 2 x 50 mg, sachet
Diet Lunak bertahap
Minum es sedikit demi sedikit
Kompres air es pada daerah leher
Tidur miring ke satu sisi

Tanggal 27 Juni 2019


S : (-) , perdarahan (-)
O : KU : os tampak sakit sedang
Sensorium : Compos Mentis
RR : 80x/ menit
T : 36OC
Tonsil : T1-T1
A : Hipertrofi Adenoid post Adenoidektomi
P : IVFD RL 20 tpm
Cefadroxil Syr 2 x C1

25
Parasetamol tab 3 x 500 mg
Diet Lunak bertahap
Kompres air es pada daerah leher
Pasien dizinkan pulang

26
BAB IV
PEMBAHASAN

NO TEORI KASUS
1 DEFINISI
Hipertrofi adenoid adalah pembesaran pasien datang dengan keluhan
jaringan adenoid berbicara terasa sengau dan kadang
terbata bata

ETIOLOGI Pasien berusia 10 tahun


Secara fisiologis adenoid akan Pasien kadang mengalami batu dan
mengalami hipertrofi pada masa pilek
puncaknya yaitu 3-7 tahun dan kemudian
mengecil dan menghilang sama sekali
pada usia 14 tahun.
Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada
anak yang mengalami infeksi kronik atau
rekuren pada saluran pernapasan atas atau
ISPA.
2 DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Umumnya pasien mengeluhkan Pada pasien dikonfirmasi adanya
hidung tersumbat, hidung tersumbat, pernapasan via
rhinore, mulut, kadang mendengkur,
kualitas suara berkurang (hiponasal),
obstruksi nasal berupa pernapasan lewat
mulut yang kronis (chronic mouth
breathing),
mendengkur,
gangguan tidur (obstructive sleep apnea)
PEMERIKSAAN FISIK
Facies Adenoid Pada pasien dijumpai tanda facies
adenoid yaitu gigi rahang atas maju ke
depan

Pemeriksaan cavum nasi yang dilakukan Pada pemeriksaan rinoskopi anterior


dengan rinoskopi anterior dapat terlihat didapatkan konka inferior oedema
normal atau dapatmenunjukkan (+/+)
peningkatan sekresi, hipertrofi, maupun
kongesti (hiperemis atau kebiruan) di
konka
3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
ENDOSKOPI
Endoskopi cukup membantu dalam Pada pasien dikonfirmasi pembesaran
mendiagnosis hipertrofi adenoid, infeksi adenoid dengan nasoendoskopi
adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal
(VPi), serta untuk menyingkirkan
penyebab lain dari obstruksi nasal

FOTO POLOS Dari hasi; X ray Cervical Lateral denagn


Ukuran adenoid biasanya dideteksi posisi mulut tertutup ditemukan
dengan menggunakan foto polos true AN RATIO Fujioka berkisar 0,4-0,8
lateral.
Foto polos leher lateral juga bisa
membantu dalam mendiagnosis hipertrofi
adenoid jika endoskopi tidak dilakukan
karena ruang postnasal kadang sulit
dilihat pada anak-anak, dan dengan
pengambilan foto lateral bisa
menunjukkan ukuran adenoid dan derajat
obstruksi
AN RATIO FUJIOKA <0,8, Normal

28
4 PENATALAKSAAN
ADENOIDEKTOMI
INDIKASI
Sumbatan; Sumbatan hidung yang Pada pasien dilakukan adenoidektomi
menyebabkan bernafas melalui mulut, pada tanggal 26 JUNI 2019 dengan
sleep apnea, gangguan menelan, indikasi terdapatnya keluhan
gangguan berbicara, kelainan bentuk sumbatan yang mengakibatkan pasien
wajah dan gigi (facies adenoid). lebih sering bernapas dengan mulut,
Infeksi; adenoiditis berulang/kronik, terdapat kelainan bentuk
otitis media efusi berulang/kronik, otitis pertumbuhan gigi di maxilla, serta
media akut berulang. dikonfirmasinya pembesaran adenoid
Kecurigaan neoplasma jinak/ganas dari hasil endoskopi

Pasca Adenoidektomi dilanjutkan


dengan pemberian Antibiotik dan anti
nyeri
Cefadroxil syr 2xC1
Cataflam fast 2x50mg, sachet
kemudian diganti dengan parasetamol
3x500mg

29
BAB V

KESIMPULAN
Pada kasus ini pasien dengan berbicara sengau dan terbata bata yang dialami
semenjak 1 bulan SMRS. Os diketahui sering bernapas melalui mulut,dan kadang
didengar oleh orangtuanya mendengkur saat tertidur. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tanda facies adenoid yaitu, pertumbuhan gigi di maxilla terganggu.
Pada pemeriksaan foto polos cervical lateral dengan mulut tertutup
didapatkan AN Ratio Fujioka 0,4-0,8 yang berarti masih dalam batas normal. Pada
pemeriksaan endoskopi dikonfirmasi terdaapat pembesaran adenoid, sehingga
pasien ini mendapat diagnosis hipertrofi adenoid. Terapi pada pasien ini adalah
operatif dengan adenoidektomi lalu diberi medikamentosa dengan pemberian
antibiotik yaitu cefadroxil syrup 2 x 1 sendok makan dan analgetik yaitu catfaflam
fast 2 x50 mg, kemudian diperbarui menjadi parasetamol tablet 3x500 mg.

30
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke
Tujuh. 2012. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Bailey BJ et al. Head and neck Surgery-Otolaryngology: Fourth Edition.
2006. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy.
2010. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 2 Februari
2018.
4. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngolohy Head and
Neck Surgery: Fourth Edition. 2009. St Louis: Mosby
5. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/134825-diagnosis. Diunduh pada 02
Februari 2019.
6. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with
Allergic Rhinitis. 2010. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh
pada 2 Februari 2019.
7. M. Arman Amar, Riskiana Djamin, Abdul Qadar Punagi. Rasio Adenoid-
Nasofaring dan Gangguan Telinga Tengah pada Penderita Hipertrofi
Adenoid. J Indon Med Assoc. 2013; 63:21-6
8. Viswanatha, B. Tonsil and Adenoid Anatomy. Available at:
http:/emedicine.medscape.com/article/1899367-overview. Accessed on
June 10th, 2016.
9. Richard E Behrman, Robert M Kliegman, Hal B Jenson. 2004. Nelson
Textbook of Pediatrics, 17th ed. Philadelphia: W. B. Saunders Co.
10. Karodpati N, Shinde V, Deogawkar S, Ghate G. Adenoid Hypertrophy in
Adults - A Myth or Reality. WebmedCentral
OTORHINOLARYNGOLOGY 2013;4(3):WMC004079
11. Nyildirim, M Sahan, Y Karslioglu. Adenoid Hypertrophy in Adults: Clinical
and Morphological Characteristics. The Journal of International Medical
Research. 2009; 36: 157–5

31
12. Ratunanda SS. Efektivitas Terapi Kortikosteroid Intranasal pada Hipertrofi
Adenoid Usia Dewasa berdasarkan Pemeriksaan Narrow Band Imaging.
Jurnal FK Unpad. 2016; 48(4) : 1-6
13. Parikh, Sanhay R. Validation of a new Grading system for endoscopic
examination of adenoid hypertrophy. 2006; 3-4

32

Anda mungkin juga menyukai