Anda di halaman 1dari 33

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN ONKOLOGI


UNIVERSITAS HASANUDDIN

REINKE’S EDEMA

Oleh :
MUHAMMAD ANWAR

Pembimbing:
Dr. dr. NOVA A.L. PIETER, Sp.THT-KL(K), FICS.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS PPDS-1


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019

1
DAFTAR ISI

HALAMAN
DAFTAR ISI ii
A. PENDAHULUAN 1
B. ANATOMI LARING 2
C. FISIOLOGI LARING 9
D. REINKES’S EDEMA 10
E. EPIDEMIOLGI 10
F. ETIOLOGI 10
G. PATOMEKANISME REINKE’S EDEMA 10
H. GEJALA 12
I. DIAGNOSIS 12
J. DIAGNOSIS BANDING 14
K. TATA LAKSANA 18
L. LAPORAN KASUS 20
DAFTAR PUSTAKA 30

2
BAB I
PENDAHULUAN

Reinke’s edema adalah pembengkakan pita suara oleh karena penumpukan cairan
(edema) di dalam ruang Reinke (Reinke’ space). Pertama kali ditemukan oleh ahli anatomi
German Friedrick B. Reinke pada tahun 1895, ruang reinke merupakan lapisan gelatinosa
pada pita suara yang terletak di bawah sel paling luar plika vokalis. Apabila seseorang
berbicara, ruang reinke akan bergetar dan menghasilkan suara (fonasi). Ruang Reinke dikenal
juga sebagai lamina propria superfisial. 1,2,3,4
Kasus pertama Reinke’s edema dicatat pada tahun 1891 oleh M. Hajek, kemudian
diikuti oleh F.Reinke pada tahun 1895. Dalam penyelidikannya, Reinke menginjeksi stained
glue ke dalam lamina propia superfisial yang menyerupai edema. Reinke’s edema dianggap
sebagai polip (protrusi) benigna (non-kanker) yang mewakili 10% patologi benigna laring. 4-8
Reinke’s edema digambarkan sebagai plika vokalis yang berisi cairan dengan
tampakan‘sac-like’. Pembengkakan lipatan suara mengakibatkan disfonia. Gejala major
Reinke’s edema adalah disfonia yang mirip pada laringitis. Disfonia merupakan perubahan
kualitas suara pada nada maupun intensitas baik karena gangguan fungsional ataupun
organik, kelainan sistemik ataupun lokal. Disfonia fungsional merupakan merupakan disfonia
tanpa ditemukan kelainan organik, hal ini disebabkan abnormalitas tonus otot pita suara dan
irreguler osilasi, penyebab tersering karena faktor kebiasaan bersuara (vocal abuse),
gangguan emosional dan psikogenik. Sedangkan disfonia organik timbul adanya kelainan
organik pita suara, misalnya laringitis akut atau kronis, tumor jinak (polip pita suara, nodul,
edema Reinke, kista dan papiloma), tumor ganas, trauma laring, presbifonia. Selain itu
disfonia dapat terjadi karena internal disease (laringofaringeal refluks, tuberculosis, limfoma)
dan disfonia karena penyakit neurologi (parese pita suara).1,2
Penyebab utama Reinke’s edema berkaitan dengan kebiasaan merokok. Sebanyak 97%
pasien terdiagnosa dengan Reinke’ edema merupakan perokok berat. Penyebab lain diketahui
termasuk penggunaan pita suara yang berlebihan, refluks gastroesofagus, dan hipotiroid.
Penyakit ini lebih banyak pada wanita dibandingkan laki-laki. 3,5
Terapi Reinke’s edema dimulai mengeliminasi faktor resiko, seperti merokok,
mengontrol refluks gaster dengan inhibitor pompa proton, kortikosteroid untuk mengurangi
inflamasi dan vokal rest sekitar 4-6 minggu. Pada kasus yang tidak respon dengan
medikamentosa, dapat dilakukan operasi. 3,4,6,8

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Laring


Anatomi laring terbagi atas supraglotis, glotis dan subglotis. Kerangka laring terdiri
dari tulang hioid dan sejumlah tulang rawan yang saling berhubungan melalui ligamen,
membran, otot intrinsik dan ekstrinsik.8,9
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuknya
menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar dari bagian bawah.
Batas atas laring adalah aditus laring dan batas bawahnya adalah kartilago krikoid. 6,8
Laring berada di depan dan sejajar dengan vertebra cervical 4 sampai 6, bagian atasnya
akan melanjutkan ke faring berbentuk seperti bentuk limas segitiga dan bagian bawahnya
akan melanjutkan ke trakea berbentuk seperti sirkular. 8,9
Laring dibentuk oleh sebuah tulang yaitu tulang hioid di bagian atas dan beberapa
tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf ‘U’, yang permukaan atasnya
dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Saat
menelan, konstraksi otot-otot (M.sternohioid dan M.tirohioid) ini akan menyebabkan laring
tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membantu
menggerakan lidah. 8,9
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago tiroid, krikoid, aritenoid,
kornikulata, kuneiform, dan epiglotis. Kartilago tiroid, merupakan tulang rawan laring yang
terbesar, terdiri dari dua lamina yang bersatu di bagian depan dan mengembang ke arah
belakang. Tulang rawan ini berbentuk seperti kapal, bagian depannya mengalami penonjolan
membentuk “adam’s apple” dan di dalam tulang rawan ini terdapat pita suara, dihubungkan
dengan kartilago krikoid oleh ligamentum krikotiroid. 8,9
Kartilago krikoid terbentuk dari kartilago hialin yang berada tepat di bawah kartilago
tiroid berbentuk seperti cincin signet, pada orang dewasa kartilago krikoid terletak setinggi
vertebra C6 sampai C7 dan pada anak-anak setinggi vertebra C3 sampai C4. Kartilago
aritenoid mempunyai ukuran yang lebih kecil, bertanggung jawab untuk membuka dan
menutup laring, berbentuk seperti piramid, terdapat 2 buah (sepasang) yang terletak dekat
permukaan belakang laring dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, sendi ini disebut
artikulasi krikoaritenoid. 8
Sepasang kartilago kornikulata atau bisa disebut kartilago santorini melekat pada
kartilago aritenoid di daerah apeks dan berada di dalam lipatan ariepiglotik. Sepasang
4
kartilago kuneiformis atau bisa disebut kartilago wrisberg terdapat di dalam lipatan
ariepiglotik, kartilago kornikulata dan kuneiformis berperan dalam rigiditas dari lipatan
ariepiglotik. Sedangkan kartilago tritisea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral. 8,9

Gambar 1. Anatomi Laring8

Epiglotis merupakan cartilago yang berbentuk daun dan menonjol ke atas di belakang
dasar lidah. Epiglotis ini melekat pada bagian belakang kartilago thyroidea. Plika
aryepiglotica, berjalan ke belakang dari bagian samping epiglotis menuju cartilago arytenoidea,
membentuk batas jalan masuk laring. 8
Membrana mukosa di laring sebagian besar dilapisi oleh epitel respiratorius, terdiri dari
sel-sel silinder yang bersilia. Plika vocalis dilapisi oleh epitel skuamosa. 8
Pita suara (plika vocalis) adalah dua lembar membran mukosa tipis yang terletak di atas
ligamentun vokal, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam kartilago thyroidea
di bagian depan dan cartilago arytenoidea di bagian belakang. Plika vocalis palsu adalah dua
lipatan membran mukosa tepat di atas plika vocalis sejati. Bagian ini tidak terlibat dalarn
produksi suara. 8

5
A

Gambar 2. Pita Suara Saat Respirasi (A) dan Fonasi (B)8

Plika vokalis sebagai organ fonasi terdiri atas komponen body dan cover. Komponen
body dibentuk oleh dua otot tiroaritenoid yang mengandung serat aduksi dan abduksi yang
menentukan panjang, kontur, dan bentuk glotis bila pita suara menutup dan juga sebagai
pengatur ketegangan lapisan mukosa pita suara sehingga lebih fleksibel dan mudah
bervibrasi. 1,8
Komponen cover terdiri lapisan luar yang diliputi epitel skuamosa berlapis, lapisan
dalam dan lamina propria. Lamina propria terbagi atas 3 lapisan yaitu superfisial, intermedia
dan profunda. Lapisan superfisial dikenal juga ruang Reinke yang tersusun atas jaringan ikat
longgar sehingga menyebabkan lapisan ini lebih fleksibel dan mudah bergerak. Lapisan
intermedia dan profunda bersama-sama membentuk ligamen vokal. 1,8

Gambar 3. Lapisan Pita Suara1

Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum

6
seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial, ligamentum
krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringeal, ligamentum hiotiroid lateral,
ligamentum hiotiroid media, ligamentum hioepiglotica, ligamentum ventricularis,
ligamentum vocale yang menghubungkan kartilagoaritenoid dengan kartilago tiroid dan
ligamentum tiroepiglotica.8
Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-otot instrinsik,
otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot-otot
intrinsik menyebabkan gerakan bagian laring itu sendiri. Otot-otot ekstrinsik laring ada yang
terletak di atas tulang hyoid (suprahioid), dan ada yang terletak di bawah tulang hyoid
(infrahioid). Otot ekstrinsik suprahyoid ialah M.digastricus, M.geniohioid, M.stylohioid, dan
M.milohioid. Otot yang infrahioid ialah M.sternohioid dan M.tirohioid. Otot-otot ekstrinsik
laring suprahioid berfungsi menarik laring ke bawah, sedangkan infrahioid menarik laring ke
atas. Otot-otot intrinsik laring adalah M. krikoaritenoid lateral, M.tiroepiglotica, M.vocalis,
M.tiroaritenoid, M.ariepiglotica, dan M.krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral
laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, adalah M.aritenoid
transversum, M.ariteniod obliq dan M.krioaritenoid posterior. 8,9

Gambar 4. Otot pada laring8

7
2.1.1 Rongga laring
Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus laring, batas bawahnya ialah
bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah permukaan
belakang epiglottis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua belah
lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah membran kuadran
angularis, kartilago aritenoid, konus elastikus, dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas
belakangnya ialah M.aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid. 8
Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokal dan ligamentum ventrikular,
maka terbentuklah plika vocalis (pita suara asli) dan plica ventrikularis (pita suara palsu).
Bidang antara plica vocalis kiri dan kanan, disebut rima glotis, sedangkan antara kedua
plika ventrikularis disebut rima vestibuli. 8
Plica vocalis dan plica ventrikularis membagi rongga laring dalam tiga bagian, yaitu
vestibulum laring , glotik dan subglotik. 8
Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat di atas plica ventrikularis. Daerah
ini disebut supraglotik. Antara plica vocalis dan pita ventrikularis, pada tiap sisinya disebut
ventriculus laring morgagni. 8
Rima glotis terdiri dari dua bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian
interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plica vocalis, dan terletak di
bagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago
aritenoid, dan terletak di bagian posterior. Daerah subglotik adalah rongga laring yang
terletak di bawah pita suara (plica vocalis). 8

2.1.2 Vaskularisasi
Vaskularisasi laring terdiri dari 2 cabang yaitu a.laringeus superior dan a.laringeus
inferior.8
Arteri laryngeus superior merupakan cabang dari a.tiroid superior. Arteri laryngitis
superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang membran tirohioid bersama-sama
dengan cabang internus dari n.laringeus superior kemudian menembus membran ini untuk
berjalan ke bawah di submokosa dari dinding lateral dan lantai dari sinus piriformis, untuk
memperdarahi mukosa dan otot-otot laring. 8
Arteri laringeus inferior merupakan cabang dari a.tiriod inferior dan bersama-sama
dengan n.laringeus inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, masuk laring melalui
daerah pinggir bawah dari m.konstriktor faring inferior. Di dalam arteri itu bercabang-cabang
memperdarahi mukosa dan otot serta beranastomosis dengan a.laringeus superior. 8
8
Pada daerah setinggi membran krikotiroid a.tiroid superior juga memberikan cabang
yang berjalan mendatar sepanjang membran itu sampai mendekati tiroid. Kadang-kadang
arteri ini mengirimkan cabang yang kecil melalui membran krikotiroid untuk mengadakan
anastomosis dengan a.laringeus superior. 8
Vena laringeus superior dan vena laringeus inferior letaknya sejajar dengan a.laringis
superior dan inferior dan kemudian bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior. 8

2.1.3 Innervasi
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringeus superior dan
n.laringeus inferior (recurrent). Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
sensorik. Nervus laryngeus superior mempersarafi m.krikotiroid, sehingga memberikan
sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara. Saraf ini mula-mula terletak di atas
m.konstriktor faring medial, di sebelah medial a.karotis interna, kemudian menuju ke kornu
mayor tulang hyoid dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior,
membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus. 8,9
Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m.konstriktor faring inferior dan
menuju m.krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m.tirohioid terletak di sebelah
medial a.tiroid superior, menembus membran hiotiroid, dan bersama-sama dengan a.laringeus
superior menuju ke mukosa laring. 8,9
Nervus laringeus inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu
memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan lanjutan
dari n.vagus. 8
Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan di bawahnya, sedangkan
n.rekuren kiri akan menyilang aorta. Nervus laringis inferior berjalan di antara cabang-
cabang arteri tiroid inferior, dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai
pada permukaan medial m.krikofaring. Di sebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf
ini bercabang dua menjadi ramus anterior dan ramus posterior, Ramus anterior akan
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior
mempersyarafi otot-otot intrinsik laring superior dan mengadakan anstomosis dengan
n.laringitis superior ramus internus. 8

9
Gambar 5. Innervasi Laring 8

2.1.4 Aliran Limfe


Aliran limfe pada laring banyak, kecuali di daerah lipatan vokal. Di mukosanya tipis
dan melekat erat dengan ligamentum vokal. Di daerah lipatan vokal pembuluh limfa dibagi
dalam golongan superior dan inferior. 8,9
Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus piriformis dan
a.laringeus superior, kemudian ke atas, dan bergabung dengan kelenjar dari bagian superior
rantai servikal dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan ke bawah dengan
a.laringeus inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam, dan beberapa di antaranya
menjalar sampai sejauh kelenjar supraklavikular. 8,9

Gambar 6. Kelenjar Limfe Leher 9

10
2.2 Fisiologi laring
Laring berfungsi untuk proteksi, refleks batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi dan
fonasi. Fungsi laring sebagai proteksi adalah untuk mencegah makanan dan benda asing
masuk ke dalam trakea, dengan jalan nafas menutup aditus laring karena pengangkatan laring
ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak
ke depan akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid, selanjutnya m.ariepiglotika
berfungsi sebagai sfingter. Penutupan rima glotis terjadi karena adduksi plika. Kartilago
aritenoiod kiri dan kanan mendekat karena adduksi otot-otot intrinsik. 8,9
Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat
dibatukkan keluar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang berasal dari paru dapat
dikeluarkan. 8,9
Fungsi respirasi dan laring adalah dengan mengatur besar kecilnya rima glotis. Bila
m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago
aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glotis terbuka. 8
Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeobronkial akan
mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi darah tubuh.
Dengan demikian laring berfungsi juga sebagai alat pengatur sirkulasi darah. 8
Fungsi laring dalam membantu proses menelan adalah dengan 3 mekanisme, yaitu
gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringeus dan mendorong bolus
makanan turun ke hipofaring dan tidak masuk ke dalam laring. 8
Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi, seperti berteriak,
mengeluh, menangis dan lain-lain. 8
Fungsi laring yang lain adalah fonasi, dengan membuat suara serta menentukan tinggi
rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh peregangan plika vokalis. Bila plika
vokalis dalam adduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke
depan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior
akan menahan atau menarik kartilago aritenoiod ke belakang. Plika vokalis ini dalam keadaan
yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m. krikoaritenoid akan mendorong
kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendur. Kontraksi serta
mengendornya plica vocalis akan menentukan tinggi rendahnya nada. 8

11
BAB III

REINKE’S EDEMA

3.1 Epidemiologi
Hah, et al (2015) menemukan laringitis merupakan paling banyak dibandingkan
penyakit laring lainnya, yaitu 3.513/100.000, kemudian vocal nodul (1.487/100.000), polip
vocal (404/100.000), dan Reinke’s edema (347/100.000). Pasien Reinke’s edema sekitar
22,5% laki-laki datang ke rumah sakit mengeluh masalah suara dibandingkan perempuan
53,1%.9,10,16
Kelompok pasien yang datang dengan keluhan disfonia berasal dari kelompok profesi
tertentu yang sering menggunakan suara berlebihan jangka waktu lama, seperti penyanyi,
guru, penceramah, penyiar radio dan lain-lain. Namun hal ini tidak mewakili populasi secara
keseluruhan.2,3

3.2 Etiologi
Penyebab Reinke’s edema termasuk merokok, refluks gastroesofagus, komsumsi
alkohol, laringitis kronik, laringofaringeal refluks, alergi, intake cairan tidak adekuat,
penggunaan suara berlebihan jangka waktu lama, dan penyakit sistemik hipotiroid.5,8
Merokok merupakan faktor resiko yang dapat berkembang menjadi kanker.
Selanjutnya, kombinasi beberapa faktor resiko dapat meningkatkan kejadian Reinke’s edema.
Sebagai contoh, seorang perokok dan juga mempunyai riwayat refluks gastroesofagus
memiliki kemungkinan terjadinya Reinke’s edema. 3
Resiko Reinke’s edema meningkat seiring peningkatan usia dan paparan lama terhadap
asap rokok. Kemudian profesi tertentu yang memerlukan penggunaan suara dalam waktu
lama, seperti penyanyi, guru, dan penyiar radio, memiliki resiko lebih tinggi mengidap
Reinke’s edema.3,9
Edema Reinke sangat berkaitan dengan kebiasaan merokok. Salah-satu pencegahan
edema Reinke adalah menghindari merokok. 3,4,7

3.3 Patomekanisme Reinke’s Edema


Plica vocalis terdiri dari lima lapisan sel, epital skuamous, lamina propria superfisial
(Reinke’s space), lamina propria intermediet, lamina propria dalam dan otot vokalis. Pada
manusia bisa menghasilkan suara saat berbicara, lipatan suara harus siap untuk digetarkan.

12
Dua lapisan plica vocalis yang akan digetarkan adalah ruang Reinke dan epitel di atasnya.
Lapisan ini bergerak lebih bebas dibanding struktur yang lebih rigid seperti lamina propria,
intermediet dan lamina propria dalam. Penumpukan cairan di dalam ruang Reinke akan
menyebabkan elastisitas dari pita suara, membuatnya lebih kaku dan lebih bersifat gelatinosa.
Kejadian ini membuat pita suara bergetar perlahan, sehingga menghasilkan suara dalam dan
serak. 1,4,10
Reinke’s Edema adalah penyakit laring benigna yang melibatkan degenerasi polipoid
difus pada plika vokalis, paling sering pada perokok lama. Perubahan morfologi plika vocalis
akibat dari edema, kongesti vaskular, dan stasis vena pada lapisan lamina propria superfisial,
yang dikenal sebagai ruang Reinke. Adanya iritasi kronis menyebabkan perubahan
permeabilitas dinding kapiler, sehingga ekstravasasi cairan ke dalam ruang reinke dan
menyebabkan lapisan pita suara kaku, lebih masif. Tingkat keparahan penyakit ini bervariasi,
kadang pasien mengalami disfonia, beberapa kasus juga menyebutkan adanya dispnea, baik
secara konsisten ataupun intermitten. Pada kasus yang parah, ukuran lesi dapat mengganggu
jalan napas.3,11,12
Edema umumnya muncul pada kedua bagian plica vocalis. Ini dikenal sebagai Reinke’s
edema bilateral. Patomekanisme Reinke’s edema tidak diketahui sepenuhnya, akan tetapi zat
kimia yang terkandung dalam rokok berpotensial meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah, sehingga cairan bisa memasuki ruang Reinke. Pada keadaan normal, plica vocalis di
kelilingi oleh pembuluh darah yang tersusun rapi, tetapi pembuluh darah ini bisa menjadi
tidak teratur dan mudah pecah pada Reinke’s edema. Kemudian asap rokok menghasilkan
oksigen reaktif yang mengubah lingkungan plica vocalis. Analisa jaringan Reinke’s edema
terdapat pengurangan jumlah protein fibronektin, elastin, kollagen tipe I dan II, dan protein
matriks ekstrasellular. Keadaan ini mengakibatkan peningkatan tingkat kekakuan pada
lapisan jaringan pita suara, sehingga bergetar lebih perlahan dan menghasilkan suara dalam
dan serak.3,11,12
Progresif edema Reinke adalah secara perlahan, dan sangat berhubungan dengan durasi
paparan terhadap faktor resiko, seperti merokok dan refluks gastroesofagus. Progresif
penyakit dapat dibagi menjadi dua tipe: pale dan livid. Edema Reinke tipe pale didefinisikan
tampakan pita suara yang jelas dengan tumpukan cairan di bawahnya (tidak berwarna). Ini
menunjukkan tingkat awal penyakit. Tingkat lanjut edema Reinke livid adalah peningkatan
jumlah cairan, ditambah terjadi perubahan warna dari tidak berwarna menjadi kuning abu-
abu. Pembengkakan pita suara menyebabkan tampakan seperti ballon, dikenal sebagai polip.

13
Polip edema Reinke umumnya benigna, tetapi, terdapat resiko kanker sekiranya penderita
adalah seorang perokok. 3,11
Kemudian sekiranya edema menjadi berat, pasien mungkin mengalami kesusahan
bernapas akibat hambatan jalan napas.13,14,15

3.4 Gejala
Gejala tersering adalah tampak sac-like pada pita suara, suara serak dan dalam, susah
bicara (disfonia), peregangan mukosa (distensi) dan napas pendek (dispneu). 3,12
Reinke’s Edema ditandai adanya sac-like pada lipatan suara. Edema berupa cairan putih
translusen yang menyebabkan distensi pita suara. Gejala klinis paling sering adalah suara
serak. Serak merupakan masalah umum pada penyakit laring, misalnya laringitis.
Dideskripsikan sebagai suara dengan tone kasar dan berhembus. Serak sering bersamaan
disfoni, yaitu suatu keadaan dimana individu sukar berbicara. 3,12
Pembengkakan plica vocalis dan penurunan nada suara merupakan gejala pada
penderita Reinke’s edema. Pada tingkat mikroskopik, pemeriksaan plica vocalis pada pasien
Reinke’s edema akan menunjukkan kadar kolagen, elastin, dan protein matriks ekstrasellular
yang rendah. Karakteristik ini bisa digunakan untuk mendiagnosis Reinke’s edema. Reinke’s
Edema dikenal sebagai polip benigna yang dapat berkembang menjadi pre-kanker sekiranya
penderita adalah perokok. Indikator kanker adalah terdapat perkembangan leukoplakia berupa
bercak putih pada plica vocalis. 3,12

3.5 Diagnosis
Reinke’s Edema sering kali didiagnosa oleh ahli THT dengan pemeriksaan laringoskopi
indirek. Pertama, dokter akan menilai riwayat penyakit dan gejala pasien, seperti serak,
disfoni, dan penurunan kadar suara. Tidak ada kaitan antara familiar atau herediter dengan
Reinke’s edema. Reinke’s Edema berkaitan dengan merokok, biasanya dokter akan
menanyakan kebiasaan merokok pasien. Setelah itu, plica vocalis akan dinilai dengan
menggunakan laringoskop, salah satu teknik dimana kamera (endoskop) dimasukkan melalui
hidung dan turun ke arah laring. Laringoskop terdiri rigid maupun fleksibel. Laringoskop
fleksibel, seperti laringoskop fiber, membolehkan pasien menghasilkan suara apabila scope
dimasukkan, kemudian dinilai oleh pemeriksa. Sedangkan laringoskop rigid umumnya
memerlukan general anestesi dikarenakan ketidaknyamanan yang melibatkan penarikan
jaringan mukosa mulut.1,4,9

14
Gambar 7. Edema Reinke (endoskopi)12

Gambar 8. Edema Reinke (CT-Scan potongan Axial)12

Berdasarkan hasil laringoskopi, edema Reinke dapat diklasifikasi menggunakan sistem


standar oleh Yonekawa. Sistem ini mengelompokkan penyakit berdasarkan tingkat
keparahan. Adapun ukuran lesi dibagi 4 tingkatan, yaitu:3
a. Grade 1: Lesi polipoid kurang 25% menutupi jalan napas glotis.
b. Grade 2: Lesi polipoid meluas sekitar 25% - 50% menutupi jalan napas glotis.
c. Grade 3: Lesi polipoid meluas, 50% - 75% jalan napas glotis.
d. Grade 4: Lesi obstruktif terlepas, menutupi lebih 75% jalan napas glottis

15
Gambar 9. Ukuran Lesi Edema Reinke 3

Evaluasi lanjut seperti stroboskopi digunakan untuk menilai mucosal waves pita suara.
Gelombang mukosa mendeskripsikan gelombang yang dihasilkan oleh getaran pita suara saat
berbicara. Stroboskop menghasilkan kilauan cahaya yang di atur tempuh waktunya dengan
frekuensi suara pasien. Tiap kali cahaya dilepaskan, akan terbentuk gambaran pita suara pada
waktu (detik) tersebut. Kemudian gambaran akan dicantumkan dan menghasilkan gambaran
gelombang. Pada kasus edema Reinke, perubahan struktural pita suara akan menghasilkan
bagian gelombang abnormal.3,4

3.6 Diagnosis Banding


1. Laringitis Kronik
Penyakit ini ditemukan pada orang dewasa. Faktor resiko terjadinya radang
kronis ini ialah intoksikasi alkohol atau tembakau, inhalasi uap atau debu yang
toksik, radang saluran napas dan penyalahgunaan suara (vocal abuse). 1,2,9,17

Pada laringitis kronis terdapat perubahan pada selaput lendir, terutama selaput
lendir pita suara. Pada mikrolaringoskopi tampak bermacam-macam bentuk, tetapi
umumnya yang kelihatan ialah edema, pembengkakan serta hipertrofi selaput lendir
pita suara atau sekitarnya. Terdapat juga kelainan vaskular, yaitu dilatasi dan
proliferasi, sehingga selaput lendir itu tampak hiperemis. 1,2,9,17

Bila peradangan sudah sangat kronis, terbentuklah jaringan fibrotik sehingga


pita suara tampak kaku dan tebal, disebut laringitis kronis hiperplastik. Kadang-
kadang terjadi keratinisasi dari epitel, sehingga tampak penebalan plica vocalis

16
berwarna keputihan seperti tanduk. Pada tempat keratosis ini perlu diperhatikan
dengan baik, sebab mungkin di bawahnya terdapat tumor yang jinak atau ganas.
Suara parau juga dapat disebabkan oleh tuberkulosis (TB) dan lues. 1,2,9,17

Gambar 10. Laringitis8

2. Vocal Nodul

Nodul paling sering didapatkan pada anak-anak dan wanita. Pada laki-laki
jarang. Terdapat berbagai sinonim klinis untuk nodul vokal termasuk screamer’s
nodule, singer’s node, atau teacher’s node. Nodulus jinak dapat terjadi unilateral dan
timbul akibat penggunaan korda vokalis yang tidak tepat dan berlangsung lama.
Letaknya sering pada sepertiga anterior atau di tengah pita suara, unilateral atau
bilateral. 2,8,9
Klinis yang ditimbulkan adalah suara parau, kadang-kadang disertai batuk. Pada
pemeriksaan terdapat nodul di pita suara sebesar kacang hijau atau lebih kecil,
berwarna keputihan. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan pada laring.
Beberapa pasien berespon baik dengan pembatasan dan reedukasi vokal, namun
banyak juga yang memerlukan pembedahan endoskopik. 8,9

Gambar 11. Vocal Nodul8

17
3. Polip Plica Vocalis

Polip plica vocalis ditemukan pada orang dewasa, lebih banyak laki-laki
dibandingkan perempuan, dan jarang didapatkan pada anak. Pada pemeriksaan, polip
paling sering ditemukan di sekitar komisura anterior, tampak bulat, kadang-kadang
berlobul, berwarna pucat, mengkilat dengan dasarnya yang lebar di pita suara, dan
tampak kapiler darah sangat sedikit serta ditemukan tunggal atau multipel namun
paling sering unilateral.2,8,9

Pada polip yang besar, meskipun dasarnya di pita suara, polip ini ditemukan di
subglotik. Epitel di sekitar polip tidak berubah, tidak ada tanda radang. Polip dengan
vaskularisasi yang banyak akan berwarna merah, kadang-kadang fibrotik, sehingga
tidak tampak mengkilat lagi. 2,8,9

Pembedahan dilakukan pada satu sisi berturut-turut, untuk mencegah


pembentukan sinekia pada komisura anterior. Pembedahan harus diikuti dengan
berhenti merokok dan reedukasi vokal. Jika tidak demikian, mungkin terjadi
kekambuhan jaringan polipoid yang tebal sepanjang korda vokalis. 2,8,9

Gambar 12. Polip Pita Suara 8

4. Kista Plica Vocalis

Kista pita suara merupakan massa yang terdiri dari membran (sakus). Kista
dapat berlokasi dekat permukaan pita suara atau lebih dalam, dekat ligament. Sama
seperti nodul dan polip, ukuran dan lokasi mengganggu getaran dari pita suara dan
menyebabkan suara parau. Terapi pembedahan diikuti terapi vokal merupakan terapi
yang disarankan. 2,8,9

18
Gambar 13. Kista Plica Vocalis 8

5. Papilloma
Papilloma laring adalah suatu tumor jinak pada laring yang berasal dari jaringan
epitel skuamosa. Papiloma laring adalah tumor jinak yang sering dijumpai pada
anak-anak 80% pada usia kelompok usia di bawah 7 tahun, sedangkan pada orang
dewasa 20-40 tahun.

Tumor ini dapat digolongkan dalam 2 jenis : 2,8,9

a. Papilloma laring juvenile


Ditemukan pada anak-anak biasanya berbentuk multipel dan mengalami regresi
pada waktu dewasa.

b. Papilloma laring orang dewasa


Biasanya berbentuk tunggal, tidak akan mengalami resolusi dan merupakan
prakanker dan menjadi ganas bila dijumpai subtype yang spesifik yaitu HVP 16.
Pada pasien dengan papilloma laring, mukosa normalnya terdapat HVP pada 20%
kasus, sebaliknya pada mukosa jalan nafas yang normal ditemukan HVP 4%
kasus.

Gejala klinis yang timbul tergantung pada letak dan besarnya tumor. Gejala yang
paling sering dijumpai adalah perubahan suara. Cohen (1980) menemukan 90%
kasus terjadi perubahan suara. Suara serak merupakan gejala dini dan keluhan
yang paling sering dikemukakan apabila tumor tersebut terletak di pita suara.
Papilloma laring dapat membesar, kadang-kadang mengakibatkan sumbatan jalan
nafas yang mengakibatkan stridor dan sesak. 2,8,9

19
Secara makroskopik dapat terlihat papilloma laring berupa lesi eksofitik, seperti
kembang kol, berwarna abu-abu atau kemerahan dan mudah berdarah. Tipe lesi
ini bersifat agresif dan mudah kambuh, tetapi dapat hilang sama sekali secara
spontan. Letak dapat di daerah glotis, subglotis ataupun supraglotis. 2,8,9

Gambar 14. Papilloma Pita Suara 8

Gambar 15. Bilateral Papilloma8

3.7 Tatalaksana
Langkah pertama mengobati Reinke’s Edema adalah mengeliminasi atau mengontrol
faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit. Mengontrol faktor resiko seperti berhenti
merokok, mengontrol refluks gaster dengan mengatur pola makan, inhibitor pompa proton,
kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi dan dikontinuitas aktivitas yang menyebabkan
distress suara (vocal rest) sekitar 4-6 minggu. Kebanyakan kasus reinke’s edema disebabkan
penggunaan rokok dalam jangka waktu yang lama, pada kasus ini sangat penting untuk
memodifikasi gaya hidup untuk berhenti merokok. Berhenti merokok juga dapat
menghentikan progresifitas penyakit.1,4,6
Sekiranya eliminasi faktor resiko belum bisa mengurangi gejala pada pasien,
pembedahan mungkin diperlukan. Tipe pembedahan paling sering digunakan pada Reinke’s

20
edema dikenal dengan pembedahan mikrolaringoskopi. Kebanyakan prosedur mengikuti
teknimikro flap oleh Hirano. Sepanjang operasi, insisi dibuat pada plica vocalis dengan
menggunakan gunting mikro ataupun mikrodebrider.3,17,18
Kebanyakan kasus Reinke’s edema adalah bilateral. Pada kasus edema bilateral, ahli
bedah harus memilih tindakan operasi, yang dilakukan pada tiap sisi pita suara dalam dua
pembedahan berbeda atau operasi pada kedua sisi pada satu operasi yang sama. Komplikasi
yang berkaitan dengan pengangkatan jaringan dari kedua sisi di dalam satu pembedahan,
yaitu pada ujung pita suara akan membentuk suatu web glotis anterior, di mana kedua sisi
akan tumbuh bersamaan. Komplikasi lainnya termasuk jaringan parut dikarenakan kerusakan
pada ligamen suara saat insisi dan kekakuan pita suara akibat kelebihan lamina propria
superfisial (ruang Reinke).4,7
Walaupun pembedahan mikrolaringskopi beresiko, namun bila dibiarkan tidak
ditangani, Reinke’s edema bisa menyebabkan berbagai komplikasi jangka panjang. Selain
disfoni, komplikasi yang paling serius adalah obstruksi jalan napas oleh karena inflamasi
plica vocalis. Resiko komplikasi telah menurun secara drastis dengan adanya alat baru,
seperti laser CO2 pada pembedahan mikrolaringoskopi. Sebelum metode mikroflap Hirano
dikembangkan pada 1895, pembedahan plica vocalis paling sering digunakan pada kasus
Reinke’s edema. Pembedahan plica vocalis sering digunakan tanpa magnifikasi dengan
laringoskop monokular, tetapi binokularskop yang digunakan. Hal ini sering terjadi
komplikasi mayor berupa ligamen parut plica vocalis.2,3,7,9

21
BAB IV

LAPORAN KASUS

4.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. T

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tanggal Lahir : 31 Desember 1950 (69 tahun)

Tanggal MRS : 19-3-2019

Rekam Medis : 862072

Pekerjaan : Petani

4.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama: Disfoni

Anamnesa Terpimpin:

Pasien masuk dengan keluhan disfonia dialami sejak 1 tahun terakhir. Saat ini, pasien
bernafas melalui kanul trakeostomi sejak 15 november 2018. Riwayat sebelum ditrakeostomi
pasien mengeluh sesak disertai tidur mengorok. Disfagia tidak, odinofagia tidak, odinofonia
tidak. Riwayat perokok aktif sekitar 2 bungkus perhari. Riwayat nyeri ulu hati kadang-
kadang. Riwayat minum alkohol ada. Riwayat menggunakan suara keras disangkal. Rinore
tidak, obstruksi nasi tidak, anosmia tidak, post nasal drip tidak, bersin-bersin tidak, blood
stain rinorea tidak, riwayat epistaksis tidak, sakit kepala tidak. Otore tidak, otalgia tidak,
tinnitus tidak, penurunan pendengaran tidak. Riwayat biopsi FNA 2 kali yaitu 12-11-2018
dan 2-1-2019, Riwayat trakeostomi 15-11-2018 di OK cito RSWS.

4.3 PEMERIKSAAN FISIK

Deskripsi Umum
Kesan sakit : Sakit sedang
Status gizi : Gizi cukup
Kesadaran : Composmentis (E4M6V5)
Berat badan : 57 kg

22
Tinggi badan : 164 cm
IMT : 21.19 kg/m2
Primary survey :
A : tampak terpasang trakeostomi
B : Spontan, thoracoabdominal type RR: 24 x/menit
Inspeksi : Simetris, tidak tampak kelainan
Palpasi : Fremitus raba kanan sama dengan kiri, tidak teraba massa
dan krepitasi
Perkusi : Sonor kedua lapangan paru kesan normal
Auskultasi : Suara pernafasan vesikuler kedua lapangan paru
C : Tekanan darah : 120/80 mmHg, heart rate : 90 x/menit
D : Glasgow Coma Scale : 15 (E4M6V5)
E : Temperature : 36,8 0C

Telinga : Bentuk normal, pada otoskopi: Membran timpani intak, pantulan cahaya ada
dekstra dan sinistra, sekret tidak ada.

Hidung : Rinoskopi anterior: konka tidak kongesti, mukosa normal dan deviasi septum
tidak
Tenggorok : Faringoskopi : lidah kotor, tonsil T1-T1 tenang, faring tidak hiperemis.

Laringoskopi indirek : tampak epiglotis normal, plica vocalis menebal dextra

Leher : Terpasang trakeostomi no.7, pembesaran kelenjar limfe tidak ada, pembesaran
kelenjar tiroid tidak ada, kaku kuduk tidak ada, deviasi trakea sulit dinilai.

23
4.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (8/3/2019)

LABORATORIUM HASIL LABORATORIUM HASIL

WBC 3
10,8 x 10 / μL FT4 / TSHs 1,03 / 0,25

RBC 6
4,39 x 10 / μL Blood Sugar 111 mg/dl

HGB 13,0 g/dL Ureum 17 mg/dl

HCT 41 % Creatinin 0,90 mg/dl

PLT 3
324 x10 / μL GOT / GPT 21/18 μ/L

Na/K/Cl 139/3,4/107 Albumin 3,8 gr/dl

HbsAg Non-reactive

Hasil Sitologi (FNA) 13/11/2018

FNA sudah dilakukan dengan tuntunan USG. Sediaan apusan terdiri dari banyak
eritrosit, sel neutrofil dan limfosit. Tidak ditemukan sel-sel epitel folikel tiroid pada
sediaan ini.

Kesimpulan: INCONCLUSIVE

Hasil Sitologi (FNA) 02/1/2019

Saat USG tampak nodul tiroid ukuran kurang dari 1 cm dengan gambaran mixed
echoid dan lokasi yang berdekatan dengan arteri carotis, tidak ditemukan adanya
pembesaran KGB di regio colli.

Sediaan apusan FNA dilakukan dengan tuntunan USG pada daerah nodul tiroid dextra
dengan aspirat banyak darah, apusan aspirat terdapat banyak eritrosit dengan sebaran
sel leukosit, neutrofil, tidak ada sel-sel epitel folikel tiroid, hanya terdapat sekelompok
sel inti oval, tidak atipik, sitoplasma eosinofilik.

Kesimpulan: INCONCLUSIVE (FNA tidak menemukan adanya lesi thyroid)

24
USG Guiding Thyroid 2/1/2019

Telah dilakukan pemeriksaan USG Guiding Thyroid dengan hasil sebagai berikut:

a. Thyroid dextra : tampak lesi mixechoic, batas tegas, tepi reguler, disertai
kalsifikasi di dalamnya, dengan ukuran +/-0,87 x 0,77 x0,76 cm.
b. Thyroid sinistra : ukuran dan echo parenkim normal. Tidak tampak echo SOL
di dalamnya.
c. Pasien tidur terlentang, probe diletakkan pada area nodul thyroid dextra.
Dilakukan pemasangan marker dengan jarak titik punksi +/- 1,4 cm dari
permukaan kulit

Kesan :

a. Nodul thyroid dextra (TIRADS US 2)


b. Telah dilakukan pemeriksaan USG guiding thyroid pada nodul thyroid dextra,
dengan jarak titik punksi +/- 1,4 cm dari permukaan kulit

MSCT Scan tanpa Kontras

CT Scan Leher tanpa Kontras Irisan Axial tanggal 11/3/2019:

25
Telah dilakukan pemeriksaan CT scan Leher tanpa Kontras Irisan Axial dengan hasil
sebagai berikut:

a. Tampak lesi heterogen (5-18) HU, berbatas tegas, tepi reguler, non kalsifikasi,
dengan ukuran +/- 0,8x1,3 cm pada lobus thyroid kanan.
b. Lobus thyroid kiri dalam batas normal
c. Tidak tampak pembesaran KGB paracervikal, submandibula bilateral
d. Area nasofaring tampak simetris, ruang parapharyngeal dan laring tampak normal,
fossa rossenmuller baik
e. Kedua sinus piriformis tampak normal
f. Tulang-tulang intak
g. Terpasang trakeostomi tube pada trakea
KESAN :

a. Nodul Thyroid dextra


b. Terpasang trakeostomi tube

MSCT Scan tanpa Kontras


CT Scan Leher tanpa Kontras Irisan Axial fokus ke Laring tanggal 19/3/2019:

26
Telah dilakukan pemeriksaan CT scan Leher tanpa Kontras Irisan Axial dengan hasil sebagai
berikut:

a. Tampak lesi heterogen (5-18) HU, berbatas tegas, tepi reguler, non kalsifikasi,
dengan ukuran +/- 0,8x1,3 cm pada lobus thyroid kanan.
b. Penebalan plica vocalis dextra
c. Lobus thyroid kiri dalam batas normal
d. Tidak tampak pembesaran KGB paracervikal, submandibula bilateral
e. Area nasofaring tampak simetris, ruang parapharyngeal dan laring tampak
normal, fossa rossenmuller baik
f. Kedua sinus piriformis tampak normal
g. Tulang-tulang intak
h. Terpasang trakeostomi tube pada trakea
Kesan :

a. Nodul Thyroid dextra


b. Penebalan plica vocalis dextra
c. Terpasang trakeostomi tube

3.5 DIAGNOSIS

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah


dilakukan maka diagnosis kerja pasien ini adalah Reinke’s Edema.

3.7 PENATALAKSANAAN

Tata laksana pada hari Selasa, 19/3/2019, sebagai berikut:

1. Ganti kanul trakeostomi tiap minggu


2. Methyl Prednisolon 3 x 16 mg selama 2 minggu (selanjutnya tappering off sampai
1 bulan)
3. Ambroxol tablet 30 mg 3 x 1
4. Lansoprazol 30 mg 2x1
5. Endoskopi

27
3.8 FOLLOW-UP
1. Kontrol Senin, 25/3/2019:
S: Disfoni (+) berkurang, batuk (+), berlendir, nyeri ulu hati (+) kadang-kadang
O: Stoma paten, airway adekuat, terpasang trakeostomi No.7, pembesaran kelenjar
limfe (-)
A : Edema Reinke + Post Trakeostomi
P:
Ganti kanul trakeostomi tiap minggu
Methyl Prednisolon 3 x 16 mg
Ambroxol tablet 30 mg 3 x 1
Lansoprazol 30 mg 2x1
2. Kontrol Senin, 1/4/2019:
S: Disfoni (+) berkurang, batuk (+) berlendir, nyeri ulu hati (+) kadang-kadang
O: Stoma paten, airway adekuat, terpasang trakeostomi No.7, pembesaran kelenjar
limfe (-)
A : Edema Reinke + Post Trakeostomi
P:
Ganti kanul trakeostomi tiap minggu
Methyl Prednisolon 3 x 16 mg
Ambroxol tablet 30 mg 3 x 1
Lansoprazol 30 mg 2x1
3. Kontrol Senin, 8/4/2019:
S: Disfoni (+) berkurang, batuk (-), berlendir, nyeri ulu hati (+) kadang-kadang
O: Stoma paten, airway adekuat, terpasang trakeostomi No.7, pembesaran kelenjar
limfe (-)
A : Edema Reinke + Post Trakeostomi
P:
Ganti kanul trakeostomi tiap minggu
Methyl Prednisolon 3 x 8 mg
Ambroxol tablet 30 mg 3 x 1
Lansoprazol 30 mg 2x1
4. Kontrol Senin, 15/4/2019:
S: Disfoni (+) berkurang, batuk (+) kadang-kadang, sesak (-),nyeri ulu hati (+)
kadang-kadang
28
O: Stoma paten, airway adekuat, terpasang trakeostomi No.7, pembesaran kelenjar
limfe (-)
A : Edema Reinke + Post Trakeostomi
P:
Ganti kanul trakeostomi tiap minggu
Methyl Prednisolon 4 mg 1-0-0
Ambroxol tablet 30 mg 3 x 1
Lansoprazol 30 mg 2x1
5. Kontrol Senin, 22/4/2019:
S: Disfoni (+) berkurang, nyeri ulu hati (+) kadang-kadang
O: Stoma paten, airway adekuat, terpasang trakeostomi No.7, pembesaran kelenjar
limfe (-)
A : Edema Reinke + Post Trakeostomi
P:
Ganti kanul trakeostomi tiap minggu
Ambroxol tablet 30 mg 3 x 1 (kalau perlu)
Lansoprazol 30 mg 2x1
6. Kontrol Senin, 29/4/2019:
S: Disfoni (+) berkurang, nyeri ulu hati (+) kadang-kadang
O: Stoma paten, airway adekuat, terpasang trakeostomi No.7, pembesaran kelenjar
limfe (-)
A : Edema Reinke + Post Trakeostomi
P:
Ganti kanul trakeostomi tiap minggu
Ambroxol tablet 30 mg 3 x 1 (kalau perlu)
Lansoprazol 30 mg 2x1
7. Kontrol Senin, 6/5/2019:
S: Batuk (+) sesekali, berlendir, nyeri ulu hati (+) kadang-kadang
O: Stoma paten, airway adekuat, terpasang trakeostomi No.7, pembesaran kelenjar
limfe (-)
A : Edema Reinke + Post Trakeostomi
P:
Dekanulasi trakeostomi
Ambroxol tablet 30 mg 3 x 1
29
Lansoprazol 30 mg 2x1
Endoskopi

3.8 DISKUSI

Telah dilaporkan sebuah kasus seorang pasien laki-laki yang didiagnosis dengan
Reinke’s Edema. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang radiologi dan histopatologi. Berbagai faktor yang diduga penyebab
edema reinke pada kasus ini adalah merokok, laringitis kronik, laringofaringeal refluks,
intake cairan tidak adekuat, penggunaan suara berlebihan jangka waktu lama.5,8
Gejala tersering adalah tampak sac-like pada plica vocalis, suara serak dan dalam,
susah bicara (disfonia), peregangan mukosa (distensi) dan napas pendek (dispneu). Keluhan
inilah yang paling sering membuat pasien datang berobat sesuai dengan pasien pada kasus
ini. Otorinolaringologis akan menanyakan riwayat penyakit dan gejala pasien, seperti serak,
disfoni, dan penurunan kadar suara. Tidak ada hubungan antara familiar atau herediter
dengan Reinke’s edema. Reinke’s Edema berkaitan dengan merokok, sehingga dokter akan
menanyakan kebiasaan merokok pasien. Setelah itu, plica vocalis akan dinilai dengan
menggunakan laringoskop, salah satu teknik dimana kamera (endoskop) dimasukkan melalui
rongga mulut ataupun intranasal dan turun ke arah laring. Laringoskop terdiri rigid maupun
fleksibel. Laringoskop fleksibel, seperti laringoskop fiber, membolehkan pasien
menghasilkan suara apabila kamera (endoskop) dimasukkan, kemudian dinilai oleh
pemeriksa. Sedangkan laringoskop rigid umumnya memerlukan general anestesi dikarenakan
ketidaknyamanan yang melibatkan penarikan jaringan mukosa mulut. 1,4,9
Evaluasi lanjut seperti stroboskopi digunakan untuk menilai mucosal waves pita suara.
Gelombang mukosa mendeskripsikan gelombang yang dihasilkan oleh getaran pita suara saat
berbicara. Stroboskop menghasilkan kilauan cahaya yang di atur tempuh waktunya dengan
frekuensi suara pasien. Tiap kali cahaya dilepaskan, akan terbentuk gambaran plica vocalis
pada waktu (detik) tersebut. Kemudian gambaran akan dicantumkan dan menghasilkan

30
gambaran gelombang. Pada kasus Reinke,s Edema, perubahan struktural pita suara akan
menghasilkan bagian gelombang abnormal. 3,4
Tata laksana Reinke’s edema adalah mengeliminasi atau mengontrol faktor resiko yang
dapat menyebabkan penyakit. Termasuk faktor resiko seperti berhenti merokok, mengatur
pola makan dan minum, mengontrol refluks gaster dengan inhibitor pompa proton,
kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi serta dikontinuitas aktivitas yang menyebabkan
distress suara (vocal rest) sekitar 4-6 minggu. Sekiranya eliminasi faktor resiko belum
mengurangi gejala pada pasien, tindakan pembedahan mungkin diperlukan. Tipe pembedahan
paling sering digunakan pada Reinke’s Edema dikenal dengan pembedahan
mikrolaringoskopi. Kebanyakan prosedur mengikuti teknik mikro flap oleh Hirano.
Sepanjang operasi, insisi dibuat pada pita suara dengan menggunakan gunting mikro ataupun
mikrodebrider. 2,3,7,9

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Asyari A, Novialdi, Fitri F, Azizah N. Disfonia akibat Polip Pita Suara. Majalah
Kedokteran Andalas vol 40 No.1;2017.h 52-63.
2. Schwartz SR, Cohen SM, Dailey SH, Rosenfeld RM, Deutsch ES, Gillespie MB, et
al. Clinical practice guideline: Hoarseness (Dysphonia). Otolaryngol - Head Neck
Surg. 2009;141(3 SUPPL. 2).
3. Tan M, Bryson PC, Pitts C, et al. Clinical Grading of Reinke’s Edema. The American
Laryngological Rhinological and Otological Society. Laryngoscope 2017;127: 2310-
3.
4. Steven Z., Hlllman R., Bunting GW. Reinke's Edema: Phonatory Mechanisms and
Management Strategies. Ann Otol Rhinol Laryngol 2015; 6. 533-43.
5. Tamir SO, Milk DG, Roth Yehudah, et al. Laryngeal Side Effects of Tyrosine Kinase
Inhibitors. Journal of Voice 2015; 1-5.
6. Watts CR.,Clark Richard, and Early Stephen. Acoustic Measures of Phonatory
Improvement Secondary to Treatment by Oral Corticosteroids in a Professional
Singer: A Case Report. Journal of Voice 2001; 15(1): 115-121.
7. Garrett CG, and Ossoff RH. Phonomicrosurgery II: Surgical Techniques, Voice
Disorders and Phonosurgery II. Otolaryngologic Clinics Of North America 2000;
33(5). 1063-9.
8. Edro K. Vocal Nodul. SMF THT-KL RSUD DR. Pirngadi Medan; 2017.h 5-19.
9. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin N, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 7th ed. Badan Penerbit FKUI; 2012.h
209-14.
10. Pastuszek P, Krecicki T, Krecicka MZ, et al. Histological and Electron Microskopic
Investigation of Reinke’s Edema. Pol J Pathol 2003;54(1): 61-4.
11. Cobanoglu HB, Arslan S, Cobanoglu U, Inamoglum. Inflammatory Cell Typesin
Reinke’s Edema. ENT Updates 2017;7(3): 154-6.
12. Jain S, Varma R, Hazarika B, et al. Reinke’s Edema. Indian J Radiol Imaging.
2009;19(4): 296-7.
13. Swain SK, Sahu MC. Management of Laryngeal Airway in Reinke’s Edema: An
Anesthetic Overview. Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal
2017;9(1):35-7.

32
14. Sreedharan R, Chhabada S, Khanna S. Reinke’s Edema : Implications for Airway
Management. The American Society of Anesthesiologist 2018;129:810.
15. Cortegiani A, Russotto V, Palmeri C, et al. Previously Undiagnosed Reinke Edema as
a Cause of Immediate Postextubation Inspiratory Stridor. International Anesthesia
Research Society 2014; 4(1):1-3.
16. Hah, JH, Sim S, An SY, et al. (2015). Evaluation of the prevalence of and factors
associated with laryngeal diseases among the general population. The
Laryngoscope 2015; 125(11). 2536–42.
17. Loehrl TA., Smith TL. Inflammatory and Granulomatous Lesions of the Larynx and
Pharynx. The American Journal Of Medicine 2001; 111(8A): 113-7.
18. Tasar S, Gurbuz MK, Kaya E, et al. The Effect of Surgical Treatment on Voice
Quality in Reinke’s Edema: an Evaluation with Vocal Performance Questionnare and
Acoustic Voice Analysis. J Med Updates 2013;3(2):56-61.
19. Singh SP, Sethi A, Sethi D, et al. Surgical Management of Reinke’s Edema: A
Retrospective Analysis. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS)
2018; 17(5). 56-59.

33

Anda mungkin juga menyukai