Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Laring memainkan peranan sentral dalam mengkoordinasikan fungsi

saluran pencernaan pernafasan atas termasuk respirasi, berbicara dan menelan.

Laring dibagi menjadi supraglotis, glotis, dan subglotis. Laring adalah tempat

tersering kedua untuk kasus karsinoma sel skuamosa pada daerah kepala dan

leher.1-3 Tumor ganas laring hingga saat ini masih menjadi masalah di bidang

Ilmu Telinga Hidung Tenggorok- Bedah Kepala dan Leher. Laring merupakan

daerah tersering kedua untuk kasus karsinoma sel skuamosa kepala-leher,

biasanya berhubungan dengan tembakau dan alkohol. Lebih dari 95% kasus tumor

ganas laring adalah karsinoma sel skuamosa. Pasien tumor ganas laring datang

dengan berbagai keluhan seperti disfonia, obstruksi jalan napas, disfagia,

odinofagi dan hemoptisis (Dolly Irfandy, 2015).

Tumor ganas laring merupakan 1-2% dari seluruh kejadian tumor ganas di

seluruh dunia. Pada tahun 2011 diperkirakan 12.740 kasus baru tumor ganas

laring di Amerika Serikat dan diperkirakan 3560 orang meninggal (Piccirillo,

2001). Sebagai gambaran, diluar negeri tumor ganas laring menempati urutan

pertama dalam urutan keganasan di bidang THT, sedangkan di RSCM (Indonesia)

menempati urutan ketiga setelah karsinoma nasofaring, tumor ganas hidung dan

sinus paranasal.
Kejadian tumor ganas laring berhubungan dengan kebiasaan merokok dan

konsumsi alkohol. Pada individu yang mengkonsumsi keduanya, faktor resikonya

menjadi sinergi dan kemungkinan terjadi kanker lebih tinggi (Shah J, 2012).

Tumor Ganas laring lebih sering mengenai laki-laki dibanding perempuan,

dengan perbandingan 5:1. Terbanyak pada usia 56-69 tahun. Etiologi pasti sampai

saat ini belum diketahui, namun didapatkan beberapa hal yang berhubungan erat

dengan terjadinya keganasan laring yaitu: rokok, alkohol, sinar radioaktif, polusi

udara radiasi leher dan asbestosis. Untuk menegakkan diagnosa tumor ganas

laring masih belum memuaskan, hal ini disebabkan antara lain karena letaknya

dan sulit untuk dicapai sehingga dijumpai bukan pada stadium awal lagi. Biasanya

pasien datang dalam keadaan yang sudah berat sehingga hasil pengobatan yang

diberikan kurang memuaskan.Yang terpenting pada penanggulangan tumor ganas

laring ialah diagnosa dini (Adam, 1997).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Laring

Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang dan beberapa kartilago

yang berpasangan ataupun tidak. Disebelah superior terdapat os hioideum,

struktur yang berbentuk U dan dapat dipalpasi di leher depan dan lewat mulut

pada dinding faring lateral. Meluas dari masing – masing sisi bagian tengah atau

os atau korpus hioideum adalah suatu prosesus panjang dan pendek yang

mengarah ke posterior.dan suatu prosesus pendek yang mengarah ke

superior.tendon dan otot – otot lidah, mandibula, dan kranium, melekat pada

permukaan superior korpus kedua prosesus. Saat menelan kontraksi otot – otot ini

mengangkat laring. Namun bila laring dalam keadaan stabil, maka otot – otot

tersebut akan membuka mulut dan akan berperan dalam gerakan lidah. Di bawah

os hioideum dan menggantung pada ligamentum tirohioideum adalah dua alae

atau sayap kartilago tiroidea (perisai). Kedua alae menyatu di garis tengah pada

sudut yang lebih dulu dibentuk pada pria, lalu membentuk “jakun” (Adam’s

apple). Pada tepi masing – masing alae, terdapat kornu superior dan inferior.

Artikulasio kornu inferius dan kartilago krikoidea, memungkinkan sedikit

pergeseran atau pergerakan antara kartilago tiroidea dan krikodea.

Kartilago krikoidea yang juga mudah teraba dibawah kulit, melekat pada

kartilago tiroidea lewat ligamentum krikotiroideum. Tidak seperti struktur

penyokong lainnya dari jalan pernapasan, kartilago krikoidea berbentuk lingkaran


penuh dan tak mampu mengembang. Permukaan posterior atau lamina krikoidea

cukup lebar, sehingga kartilago ini tampak seperti signet ring. Intubasi endotrakea

yang lama sering kali merusak lapisan mukosa cincin dan dapat menyebabkan

stenosis subglotis, didapat disebelah inferior, kartilago trakealis pertama melekat

pada krikoid lewat ligamentum interkartilaginosa.

Gambar 2.1 Anatomi Laring

Otot – otot laring dapat dibagi dalam dua kelompok. Otot ekstrinsik yang

terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sementara otot intrinsik

menyebabkan gerakan antara struktur – struktur laring sendiri. Otot ekstrinsik

dapat digolongkan menurut fungsinya. Otot depresor atau otot- otot leher

(omohioideus, sternotyroideus, sternohyoideus ) berasal dari bagian inferior. Otot

elevator ( milohyoideus, geniohyoideus, genioglosus, hyoglosus, digastrikus dan

stilohyoideus) meluas dari os hyoideum ke mandibula, lidah dan prosessus


stiloideus pada kranium. Otot tirohioideus walaupun digolongkan sebagai otot –

otot leher, terutama berfungsi sebagai elevator.Melekat pada os hioideum dan

ujung posterior alae kartilago tiroidea adalah otot konstriktor medius dan inferior

yang melingkari faring disebelah posterior dan berfungsi pada saat menelan. Serat

– serat paling bawah dari otot konstriktor inferior berasal dari krikoid, membentuk

krikofaringeus yang kuat, yang berfungsi sebagai sfingter esophagus superior.

Otot – otot laring utama lainnya adalah pasangan otot krikotiroideus, yaitu

otot yang berbentuk kipas berasal dari arkus krikoidea disebelah anterior dan

berinsersi pada permukaan lateral alae tiroid yang luas. Kontraksi otot ini menarik

kartrilago tiroidea kedepan, meregang dan menegangkan korda vokalis.Kontraksi

ini secara pasif juga memutar aritenoid ke medial, sehingga otot krikotiroideus

juga dianggap sebagai otot abduktor. Maka secara ringkas dapat dikatakan

terdapat satu otot abduktor, tiga aduktor dan tiga otot tensor seperti yang diberikan

berikut ini:

Gambar 2.2 Pembagian Otot Abduktor dan Tensor


B. Fisiologi Laring

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi, dan

proteksi disamping beberapa fungsi lainnya, seperti terlihat pada uraian berikut;

1. Fungsi Fonasi

Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara

dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi

antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan

udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi

seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada

dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik

laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk

dan massa ujung- ujung bebas dan tegangan pita suara sejati.

2. Fungsi Proteksi

Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-

otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,

pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada

pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid

melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan

epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah

proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke

lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
3. Fungsi Respirasi

Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar

rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga

kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh

tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan

menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan

merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring

mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2

arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial

CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

4. Fungsi Sirkulasi

Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan

peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return.

Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi,

kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler

dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta.

Impuls dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N.

Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka

terjadi penurunan denyut jantung.


5. Fungsi Fiksasi

Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap

tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.

6. Fungsi Menelan

Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat

berlangsungnya proses menelan, yaitu: Pada waktu menelan faring bagian bawah

(M. Konstriktor Faringeus Superior, M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus)

mengalami kontraksi sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta

menarik laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah

dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup untuk mencegah

makanan atau minuman masuk ke saluran pernafasan dengan jalan

menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh epiglotis. Epiglotis menjadi

lebih datar membentuk semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga

makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan masuk ke

sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus.

7. Fungsi Batuk

Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,

sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak

menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi

benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada

mukosa laring.
8. Fungsi Ekspektorasi

Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha

mengeluarkan benda asing tersebut.

9. Fungsi Emosi

Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya pada

waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

C. Histologi Laring

Mukosa laring dibentuk oleh epitel berlapis silindris semu bersilia

kecuali pada daerah pita suara yang terdiri dari epitel berlapis gepeng tak

bertanduk. Diantara sel-sel bersilia terdapat sel goblet. Membrana basalis bersifat

elastis, makin menebal di daerah pita suara. Pada daerah pita suara sejati, serabut

elastisnya semakin menebal membentuk ligamentum tiroaritenoidea. Mukosa

laring dihubungkan dengan jaringan dibawahnya olehjaringan ikat longgar

sebagai lapisan submukosa. Kartilago kornikulata, kuneiforme dan epiglotis

merupakan kartilago hialin. Plika vokalis sendiri tidak mengandung kelenjar.

Mukosa laring berwarna merah muda sedangkan pita suara berwarna keputihan.

D. Karsinoma Laring

Karsinoma laring atau yang disebut dengan tumor ganas laring

merupakan kondisi kejadian keganasan yang terjadi pada sel skuamosa laring.

Keganasan di laring merupakan kondisi gangguan akibat infeksi yang sering

terjadi pada bagian leher dalam khususnya laring. Karsinoma sel skuamosa
merupakan jenis tumor ganas laring primer yang paling sering ditemukan, yaitu

lebih dari 95% kasus. Sisanya tumor yang berasal dari kelenjar ludah minor,

neuroepithelial, tumor jaringan lunak dan jarang timbul dari tulang kartilaginosa

laring. Karsinoma sel skuamosa laring merupakan hasil dari interaksi banyak

faktor etiologi seperti konsumsi tembakau dan atau alkohol yang lama, bahan

karsinogen lingkungan, status sosial ekonomi, pekerjaan yang berbahaya, faktor

makanan dan kerentanan genetik.

E. Etiologi Karsinoma Laring

Kebanyakan (70 – 90 %) karsinoma laring ditemukan pada pria usia lanjut.

Tipe glotik merupakan 60 – 65%, supraglotik 30 – 35%, dan infraglotik hanya

5%. Merokok merupakan penyebab utama karsinoma laring. Etiologi karsinoma

laring belum diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh para ahli bahwa perokok dan

peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan resiko tinggi

karsinoma laring. Penelitian epidemiologi menggambarkan beberapa hal yang

diduga menyebabkan terjadinya karsinoma laring yang kuat adalah rokok,

alcohol, dan terpajan oleh sinar radioaktif.

1. Lingkungan

Bahan-bahan yang diduga dapat memicu karsinoma laring antara lain:

Arsen (pabrik, obat serangga), asbes (lingkungan, pabrik, tambang), gas

mustar (pabrik), serbuk nikel (pabrik, lingkungan), polisiklik hidrokarbon

(pabrik, lingkungan), vinil klorida (pabrik), dan nitrosamin (makanan

yang diawetkan, ikan asin).


2. Infeksi

Kuman dan rangsangan terus-menerus (asap) dapat menyebabkan radang

kronis mukosa laring. Selanjutnya dapat terjadi hiperplasia,

hiperkeratosis, leukoplakia, eritroplakia, sel atipik dan akhirnya menjadi

sel kanker. Selain itu, Human papilloma virus (HPV) memiliki predileksi

di korda vokalis, yang dapat menimbulkan karsinoma laring. Awalnya

tumbuh jaringan berupa papil-papil (papiloma) pada laring kemudian

terjadi perubahan maligna menjadi karsinoma verukosa (verrucous

carcinoma).

3. Genetik

Interaksi faktor etiologi dan host berbeda-beda pada tiap individu.

Aktivasi pra karsinogen & inaktivasi karsinogen amat bervariasi

individual, yang dipengaruhi oleh genetic masing-masing individu.

F. Jenis Karsinoma Laring

Karsinoma sel skuamosa meliputi 95 – 98% dari semua tumor ganas

laring, dengan derajat difrensiasi yang berbeda-beda, yaitu berdiferensiasi baik,

sedang dan berdiferensiasi buruk. Jenis lain yang jarang kita jumpai adalah

karsinoma verukosa, adenokarsinoma dan kondrosarkoma (Hermani B, 2008).

1. Karsinoma Verukosa

Adalah satu tumor yang secara histologis kelihatannya jinak, akan tetapi

klinis ganas. Insidennya 1 – 2% dari seluruh tumor ganas laring, lebih

banyak mengenai pria dari wanita dengan perbandingan 3:1. Tumor


tumbuh lambat tetapi dapat membesar sehingga dapat menimbulkan

kerusakan lokal yang luas. Tidak terjadi metastase regional atau jauh.

Pengobatannya dengan operasi, radioterapi tidak efektif dan merupakan

kontraindikasi. Prognosanya sangat baik.

2. Adenokarsinoma

Angka insidennya 1% dari seluruh tumor ganas laring. Sering dari kelenjar

mukus supraglotis dan subglotis dan tidak pernah dari glottis. Karsinoma

jenis ini sering bermetastase ke paru-paru dan hepar. Two years survival

rate-nya sangat rendah. Terapi yang dianjurkan adalah reseksi radikal

dengan diseksi kelenjar limfe regional dan radiasi pasca operasi.

3. Kondrosarkoma

Adalah tumor ganas yang berasal dari tulang rawan krikoid 70%, tiroid

20% dan aritenoid 10%. Sering terjadi pada laki-laki 40 – 60 tahun. Terapi

yang dianjurkan adalah laringektomi total.

G. Klasifikasi Karsinoma Laring

Klasifikasi Tumor Ganas Laring menurut AJCC dan UICC tahun 1988

adalah sebagai berikut:

 Tumor primer (T)

Supraglotis

Tis : karsinoma insitu

T1 : tumor terdapat pada satu sisi suara / pita suara palsu (gerakan masih baik).
T2 : Tumor sudah menjalar ke 1 dan 2 sisi daerah supraglotis dan glotis masih

bisa bergerak (tidak terfiksir).

T3 : tumor terbatas pada laring dan sudah terfiksir atau meluas ke daerah ke krikod

bagian belakang, dinding medial dari sinus piriformis, dan kearah rongga

preepiglotis.

T4 : Tumor sudah meluas keluar laring, menginfiltrasi orofaring jaringan lunak

pada leher atau sudah merusak tulang rawan tiroid.

Glotis

Tis : karsinoma insitu.

T1 : Tumor mengenai satu atau dua sisi pita suara, tetapi gerakan pita suara masih

baik, atau tumor sudah terdapat pada kommisura anterior atau posterior.

T2 : Tumor meluas ke daerah supraglotis atau subglotis, pita suara masih dapat

bergerak atau sudah terfiksir (impaired mobility).

T3 : Tumor meliputi laring dan pita suara sudah terfiksir.

T4 : Tumor sangat luas dengan kerusakan tulang rawan tiroid atau sudah keluar

dari laring.

Subglotis

Tis : Karsinoma insitu.

T1 : Tumor terbatas pada daerah subglotis.

T2 : Tumor sudah meluas ke pita, pita suara masih dapat bergerak atau sudah

terfiksir.

T3 : Tumor sudah mengenai laring dan pita suara sudah terfiksir.


T4 : Tumor yang luas dengan destruksi tulang rawan atau perluasan ke luar laring

atau dua – duanya.

 Penjalaran ke kelenjar limfe (N)

Nx : Kelenjar limfe tidak teraba.

N0 : Secara klinis kelenjar tidak teraba.

N1 : Secara klinis teraba satu kelenjar limfe dengan ukuran diameter 3 cm

homolateral.

N2 : Teraba kelenjar limfe tunggal, ipsilateral dengan ukuran diameter 3-6 cm.

N2a : Satu kelenjar limfe ipsilateral, diameter lebih dari 3 cm tapi tidak lebih dari

6 cm.

N2b : Multipel kelenjar limfe ipsilateral, diameter tidak lebih dari 6 cm.

N2c : Metastasis bilateral atau kontralateral, diameter tidak lebih dari 6 cm.

N3 : Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm.

 Metastasis jauh (M)

Mx : Tidak terdapat / terdeteksi.

M0 : Tidak ada metastasis jauh.

M1 : Terdapat metastasis jauh.


 Staging (Stadium)

ST1: T1 N0 M0

ST II: T2 N0 M0

ST III: T3 N0 M0 atau T1/T2/T3 N1 M0

ST IV: T4 N0/N1 M0

T1/T2/T3/T4 N2/N3

T1/T2T3/T4 N1/N2/N3 M1

H. Manifestasi Klinis Karsinoma Laring

1. Serak

Serak merupakan gejala utama Ca laring, dan merupakan gejala dini tumor

pita suara. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi fonasi laring. Kualitas

nada sangat dipengaruhi oleh besar celah glotik, besar pita suara, ketajaman

tepi pita suara, kecepatan getaran dan ketegangan pita suara. Pada tumor ganas

laring, pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan oleh ketidak

teraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-

otot vokalis, sendi dan ligament krikoaritenoid dan kadang-kadang menyerang

saraf. Adanya tumor di pita suara akan mengganggu gerak maupun getaran

kedua pita suara tersebut. Serak menyebabkan kualitas suara menjadi semakin

kasar, mengganggu, sumbang dan nadanya lebih rendah dari biasa. Kadang-

kadang bisa afoni karena nyeri, sumbatan jalan nafas atau paralisis komplit.

Hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor.

Apabila tumor laring tumbuh pada pita suara asli, serak merupakan gejala dini
dan menetap. Apabila tumor tumbuh di daerah ventrikel laring, dibagian

bawah plika ventrikularis atau dibatas inferior pita suara, serak akan timbul

kemudian. Pada tumor supraglotis dan subglotis, serak dapat merupakan

gejala akhir atau tidak timbul sama sekali. Pada kelompok ini, gejala pertama

tidak khas dan subjektif seperti perasaan tidak nyaman, rasa ada yang

mengganjal di tenggorok. Tumor hipofaring jarang menimbulkan serak

kecuali tumornya eksentif.

2. Suara bergumam (hot potato voice)

Fiksasi dan nyeri dari tumor dapat menyebabkan abnormalitas dari fase

oral. Abnormalitas dalam fase oral juga bisa menghasilkan suara muffled atau

"hot potato" voice (seperti orang berbisara saat mengunyah kentang panas).

Ketika berbicara, pasien akan menimbulkan suara bergumam.

3. Dispnea dan stridor

Gejala yang disebabkan sumbatan jalan nafas dan dapat timbul pada tiap

tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh gangguan jalan nafas oleh massa

tumor, penumpukan kotoran atau secret maupun oleh fiksasi pita suara. Pada

tumor supraglotik dan transglotik terdapat kedua gejala tersebut. Sumbatan

yang terjadi perlahan-lahan dapat dikompensasi. Pada umunya dispnea dan

stridor adalah tanda prognosis yang kurang baik.

4. Disfagia

Merupakan ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring dan

sinus piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada

tumor ganas postkrikoid. Apabila pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri


ketika menelan (odinofagia), menandakan adanya tumor ganas lanjut yang

mengenai struktur ekstra laring.

5. Batuk dan hemoptisis

Batuk jarang ditemukan pada tumor ganas glotik, biasanya timbul dengan

tertekanya hipofaring disertai secret yang mengalir ke dalam laring.

Hemoptisis sering terjadi pada tumor glotik dan tumor supraglotik.

6. Nyeri tekan laring

Nyeri tekan laring adalah gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi

supurasi tumor yang menyerang kartilago tiroid dan perikondrium.

I. Diagnosis Karsinoma Laring

Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan suara parau yang diderita

sudah cukup lama, tidak bersifat hilang - timbul meskipun sudah diobati dan

bertendens makin lama menjadi berat. Penderita kebanyakan adalah seorang

perokok berat yang juga kadang – kadang adalah seorang yang juga banyak

memakai suara berlebihan dan salah (vocal abuse), peminum alkohol atau seorang

yang sering atau pernah terpapar sinar radioaktif, misalnya pernah diradiasi

didaerah lain. Pada anamnesis kadang – kadang didapatkan hemoptisis, yang bisa

tersamar bersamaan dengan adanya TBC paru, sebab banyak penderita menjelang

tua dan dari sosial - ekonomi yang lemah.

Sesuai pembagian anatomi, lokasi tumor laring dibagi menjadi 3 bagian

yakni supraglotis, glottis dan subglotis, dan gejala serta tanda – tandanya sesuai

dengan lokasi tumor tersebut.


Dari pemeriksaan fisik sering didapatkan tidak adanya tanda yang khas

dari luar, terutama pada stadium dini / permulaan, tetapi bila tumor sudah menjalar

ke kelenjar limfe leher, terlihat perubahan kontur leher, dan hilangnya krepitasi

tulang rawan – tulang rawan laring.

Pemeriksaan untuk melihat kedalam laring dapat dilakukan dengan cara

tak langsung maupun langsung dengan menggunakan laringoskop unutk menilai

lokasi tumor, penyebaran tumor yang terlihat (field of cancerisation), dan

kemudian melakukan biopsi.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan selain pemeriksaan laboratorium

darah, juga pemeriksaan radiologik. Foto toraks diperlukan untuk menilai keadaan

paru, ada atau tidaknya proses spesifik dan metastasis diparu. Foto jaringan lunak

(soft tissue) leher dari lateral kadang – kadang dapat menilai besarnya dan letak

tumor, bila tumornya cukup besar. Apabila memungkinkan, CT scan laring dapat

memperlihatkan keadaan tumor dan laring lebih seksama, misalnya penjalaran

tumor pada tulang rawan tiroid dan daerah pre-epiglotis serta metastase kelenjar

getah bening leher.

1. Rasiologi konvensional

Radiografi jaringan lunak leher merupakan studi survey yang baik.

Udara digunakan sebagai agen kontras alami untuk memvisualisasikan

lumen laring dan trakea. Ketebalan jaringan retropharyngeal dapat dinilai.

Epiglottis dan lipatan aryepiglottic dapat divisualisasikan. Namun,

radiografi tidak memiliki peran dalam manajemen kanker laring saat ini.
Gambar 2.3 Foto X-Ray lateral laring

2. CT-scan

Keterlibatan beberapa tempat pada supraglotis laring dan mobilitas

pita suara menyebabkan pemeriksaan X-Ray saja tidak cukup untuk

mendiagnosis karsinoma laring secara lengkap. Pencitraan dapat

membantu dalam mengidentifikasi perluasan submukosa transglotis yang

tersembunyi. Kriteria pencitraan lesi T3 adalah perluasan ke ruang pra-

epiglotis (paralayngeal fat) atau tumor yang mengerosi kebagian dalam

korteks dari kartilago tiroid. Tumor yang mengerosi ke bagian luar korteks

kartilago tiroid merupakan stadium T4a. Ada yang berpendapat bahwa

kerterlibatan korteks bagian luar saja tanpa keterlibatan sebagian besar

tendon bisa memenuhi kriteria pencitraan lesi T4. Tumor stadium T4

(Gambar 2.4 a dan b) sulit diidentifikasikan hanya dengan pemeriksaan

klinis saja, karena sebagian besar kriteria tidak dapat diniai dengan palpasi

dan endoskopi. Pencitraan secara Cross-sectional diindikasikan untuk

mengetahui komponen anatomi yang terlibat untuk menentukan stadium


tumor. Untuk mendapatkan gambaran yang baik, ketebalan potongan tidak

boleh lebih dari 3 mm dan laring dapat dicitrakan dalam beberapa detik,

dan dengan artefak minimal akibat gerakan.

(a) (b)

Gambar 2.4 (a) CT Scan normal (b) Squamous cell carcinoma pada sisi kanan glottis

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI memiliki beberapa kelebihan daripada CT Scan yang

mungkin membantu dalam perencanaan pre-operasi. Pencitraan koronal

membantu dalam menentukan keterlibatan ventrikel laryngeal dan

penyebaran transglottic. Pencitraan Midsagittal membantu untuk

memperlihatkan hubungan antara tumor dengan komisura anterior. MRI

juga lebih unggul daripada CT Scan untuk karakterisasi jaringan spesifik.

Namun, pencitraan yang lebih lama dapat menyebabkan degradasi gambar

akibat pergerakan.
(a) (b)

Gambar 2.5 (a) MRI laring normal (b) MRI laring abnormal

Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi-anatomik dari

bahan biopsi laring, dan biopsi jarum-halus pada pembesaran kelenjar limfe

dileher. Dari hasil patologi anatomik yang terbanyak adalah karsinoma sel

skuamosa.

J. Penatalaksanaan Karsinoma Laring

Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu

pembedahan, radiasi dan sitostatika, ataupun kombinasi, tergantung pada stadium

penyakit dan keadaan umum pasien.

1. Pembedahan

a) Laringektomi parsial. Tumor yang terbatas pada pengangkatan hanya satu

pita suara dan trakeotomi sementara yang di lakukan untuk

mempertahankan jalan napas. Setelah sembuh dari pembedahan suara

pasien akan parau.


b) Hemilaringektomi atau vertikal. Bila ada kemungkinan kanker termasuk

pita suara satu benar dan satu salah. Bagian ini diangkat sepanjang

kartilago aritenoid dan setengah kartilago tiroid. Trakeostomi sementara

dilakukan dan suara pasien akan parau setelah pembedahan.

c) Laringektomi supraglotis atau horisontal. Bila tumor berada pada epiglotis

atau pita suara yang salah, dilakukan diseksi leher radikal dan trakeotomi.

Suara pasien masih utuh atau tetap normal. Karena epiglotis diangkat maka

resiko aspirasi akibat makanan peroral meningkat.

d) Laringektomi total. Kanker tahap lanjut yang melibatkan sebagian besar

laring, memerlukan pengangkatan laring, tulang hihoid, kartilago krikoid,

2-3 cincin trakea, dan otot penghubung ke laring. Mengakibatkan

kehilangan suara dan sebuah lubang ( stoma ) trakeostomi yang permanen.

Dalam hal ini tidak ada bahaya aspirasi makanan peroral, dikarenakan

trakea tidak lagi berhubungan dengan saluran udara – pencernaan. Suatu

sayatan radikal telah dilakukan dileher pada jenis laringektomi ini. Hal ini

meliputi pengangkatan pembuluh limfatik, kelenjar limfe di leher, otot

sternokleidomastoideus, vena jugularis interna, saraf spinal asesorius,

kelenjar salifa submandibular dan sebagian kecil kelenjar parotis (Sawyer,

1990). Operasi ini akan membuat penderita tidak dapat bersuara atau

berbicara. Tetapi kasus yang dermikian dapat diatasi dengan mengajarkan

pada mereka berbicara menggunakan esofagus (Esofageal speech),

meskipun kualitasnya tidak sebaik bila penderita berbicara dengan


menggunakan organ laring. Untuk latihan berbicara dengan esofagus perlu

bantuan seorang binawicara.

2. Radioterapi

Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan

supraglotis T1 dan T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya

90%). Keuntungan dengan cara ini adalah laring tidak cedera sehingga

suara masih dapat dipertahankan. Dosis yang dianjurkan adalah 200 rad

perhari sampai dosis total 6000 – 7000 rad.

3. Kemoterapi

Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant

ataupun paliatif. Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80–120 mg/m2

dan 5 FU 800–1000 mg/m2.

K. Prognosis Karsinoma Laring

Prognosis dari karsinoma laring tergantung dari stadium tumor, pilihan

pengobatan, lokasi tumor dan kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five

years survival rate pada karsinoma laring stadium I 90 – 98% stadium II 75 –

85%, stadium III 60 – 70% dan stadium IV 40 – 50%. Adanya metastase ke

kelenjar limfe regional akan menurunkan five year survival rate sebesar 50%. Five

year survival rate secara lengkap terdapat pada tabel berikut:


Supraglottis (part of the larynx above the vocal cords)
STAGE 5-year relative survival rate
I 59%
II 53%
III 53%
IV 34%
Glottis (part of the larynx including the vocal cords)
STAGE 5- year relative survival rate
I 90%
II 74%
III 56%
IV 44%

Sub glottis (part of the larynx below the vocal cords)


STAGE 5 –year relative survival rates
I 65%
II 56%
III 47%
IV 32%
Hypopharynx
STAGE 5-year relative survival rates
I 53%
II 39%
III 36%
IV 24%
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. M

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 48 tahun

Alamat : Dsn. Ceggunong, Labuhan, Sreseh

Status : Menikah

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Petani

Suku : Madura

Agama : Islam

Status Pelayanan : Umum

No. RM : 212541

Tanggal Pemeriksaan : 17 Oktober 2019

Tanggal MRS : 16 Oktober 2019

Tanggal KRS : 18 Oktober 2019

B. Anamnesis

- Keluhan Utama:

Benjolan pada pingang kanan

- Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien mengeluh ada benjolan pada pingang kanan, benjolan muncul sejak ± 10

tahun yang lalu, awalnya kecil dan membesar secara perlahan. Benjolan tidak nyeri saat

di pegang. Pasien belum mendapatkan pengobatan untuk keluhan tersebut. Tidak ada

demam, tidak ada luka atau nanah di tempat benjolan.

- Riwayat Penyakit Dahulu:

- Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita keluhan yang sama.

- Riwayat Pengobatan: Pasien belum berobat sama sekali.

3. Pemeriksaan Fisik

- Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : cukup

Kesadaran : allert, GCS 4-5-6

Vital sign : TD : 120/80 mmHg

Nadi : 80x/menit (reguler, kuat angkat)

Nafas : 20x/menit

Suhu : 36,5°C

- Pemeriksaan Khusus

Kepala-Leher:

anemis (-) ikterik (-) sianosis (-) dypsneu (-)

Thorax

1. Cor :
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL S

- Perkusi : redup di ICS IV PSL D s/d ICS V MCL S

- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, suara tambahan (-)

2. Pulmo :

Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
 Simetris  Simetris
 Retraksi -/-  Retraksi -/-
 Ketinggalan gerak -/-  Ketinggalan gerak -/-

Palpasi: P: Palpasi:
 Fremitus raba  Fremitus raba
N N N N
N N N N
N N N N
Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S
S S R R S S R R
S R S S
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
DS DS
V V V V
V V V V
V V V V
V V V V V V V V
V V V V

Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -

Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -

a. Abdomen
- Inspeksi : flat
- Auskultasi : bising usus (+), 14x/menit
- Palpasi : soepel, hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok
ginjal (-)
- Perkusi : timpani
b. Ekstremitas
- Superior : akral hangat +/+, edema -/-
- Inferior : akral hangat +/+, edema -/-

Status lokalis SIAS dextra:


Inspeksi : massa (+),
hiperemis (-), batas tegas
Palpasi : massa ukuran
11x20 cm, mobile, padat
kenyal, batas tegas, nyeri (-)

Resume
 Anamnesis : Pasien perempuan, 39 tahun, dengan keluhan ada benjolan
dipingang kanan sejak ±10 tahun yang lalu, tidak nyeri, tidak demam, tidak ada nanah
dan luka
 Pemeriksaan fisik : didapatkan massa di regio SIAS dextra dengan ukuran
11x20cm, mobile, batas tegas, tidak nyeri
 Pemeriksaan penunjang :
 FNAB: 02-3-2017
: Apusan terdiri dari beberapa globul lemak dan beberapa lemak mature : LIPOMA
Lab tanggal 08-5-2017
Hb 10,7 13,5-17,5
Leukosit 10,2 4,5-11,00
Hematrokit 31,7 41-53
Trombosit 270 150-450
Albumin 3,9 3,4-4,8
GDA 132 <200
Natrium 138 135-155
Kalium 2,6 3,5-5,0
Chlorida 105 90-110
Kreatinin Serum 0,9 0,6-1,3
BUN 16 6-20
UREA 34 12-43

Lab tanggal: 09-5-2017


Natrium 137 135-155
Kalium 3,3 3,5-5,0
Chlorida 105 90-110

Diagnosis
Giant Lipoma regio sias dextra
Planning
Pro eksisi
Prognosis
Dubia ad bonam

follow up tanggal 8-5-2017 Follow up tanggal 9-5-2017


S/ benjolan di paha kiri S/nyeri sedikit pada bekas oprasi
O/ku : cukup O/ku : cukup
Kes: Allert Kes: Allert
TD: 120/80, N: 80, RR: 20 TD: 130/90, N: 84, RR: 20
K/L: A/I/C/D=-/-/-/- K/L: A/I/C/D=-/-/-/-
THO: C s1s2 tunggal, e/g/m=-/-/- THO: C s1s2 tunggal, e/g/m=-/-/-
Ves+/+, rho-/-, whe-/- Ves+/+, rho-/-, whe-/-
Abd : flat, BU+, tympani, sopel Abd : flat, BU+, tympani, sopel
Ext : AH+/+, OE -/- Ext : AH+/+, OE -/-
Status lokalis sias dextra Status lokalis regio sias dextra
I: massa(+), hiperemis(-), batas jelas I: dressing(+), rembesan minimal
P: massa ukuran 11x20cm, mobile (+), P: nyeri(+)
batas tegas, nyeri(-)
A/ Lipoma A/ post eksisi Lipoma H1
P/ pro eksisi P/ Tab. kalitake 2x1
Tab. Paracetamol 3x1
KRS hari ini

LAPORAN OPERASI
Tanggal 8 Mei 2017 Jam : 12.15
• Uraian Pembedahan :
1. Informed Consent,
2. Posisi lateral kiri dengan General Anastesi
3. Desinfeksi Lapangan Operasi dengan povidone iodine 10%
4. Insisi vertikal supratumoral
5. Didapatkan massa berwarna kuning ukuran 20x15 cm, pseudocapsul, batas tegas
6. Dilakukan ekstirpasi tumor, rawat perdarahan, Luka operasi dijahit lapis demi
lapis kemudian dipasang handschoon drain
7. Ekstirpasi lipoma
8. Perdarahan ±5cc
9. Terapi post op :
• Kalitake 2x1 tab
• Paracetamol 3x1tab

DAFTAR PUSTAKA
Adam, GL. Tumor-tumor Ganas Kepala dan Leher. Dalam: Adam GL, Boies LR

Jr, Higler PA editors. Boies Buku ajar penyakit THT. Edisi Bahasa

Indonesia, Alih bahasa Wijaya C. Jakarta EGC.1997: 430-52.

Cohen JI. Anatomi dan Fisiologi Laring. Dalam: Adam GL, Boies LR Jr, Higler

PA editors. Boies Buku ajar penyakit THT. Edisi Bahasa Indonesia, Alih

bahasa Wijaya C. Jakarta EGC.1997: 369-77.

Dolly Irfandy. 2015. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor Ganas Laring.

Jurnal Kesehatan Andalas. Fakultas kedokteran Universitas Andalas.

Haryuna Sh. 2012. Tumor Ganas Laring. Bagian Patologi Anatomi Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Hermani B, Abdurrachman H. Tumor Laring. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga

hidung tenggorok kepala & leher.Edisi 6. Balai Penerbit FKUI Jakarta

2008: h. 194-98.

Mulyarjo. Berbagai masalah dalam pengelolaan tumor ganas laring di Surabaya.

Pidato pada peresmian jabatan guru besar dalam Ilmu Penyakit THT pada

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 1998. p. 1-27


Shah J, Patel SG, Singh B. Larynx and Trachea. In: Shah J, Patel SG, Singh B,

editors. Head and Neck Surgery and Oncology. Philadelphia: Elsevier

Mosby. 2012. p. 811-992.

Romdhoni AC. Aspek klinis dan diagnosis keganasan laring. Dalam naskah

lengkap update in management of sinonasal and laryngeal cancer.

Surabaya. 2010. 109-19

Anda mungkin juga menyukai