Anda di halaman 1dari 36

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN T.H.T.K.

L LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2020
UNIVERSITAS HASANUDDIN

FRONTAL SINUSEKTOMI REVISI PENDEKATAN GANDA


PADA SINUSITIS FRONTAL BERULANG

DISUSUN OLEH:
dr. MUHAMMAD ANWAR

PEMBIMBING:
dr. Azmi Mir’ah Zakiah, Sp.THT-KL(K)
Dr. dr. M. Fadjar Perkasa, Sp.THT-KL(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
DAFTAR ISI

BAB I 3
BAB II 5
I. DEFINISI 5
II. ANATOMI SINUS FRONTAL 5
III. INDIKASI TREPANASI SINUS FRONTAL 10
IV. PERSIAPAN DAN PERTIMBANGAN PREOPERATIF 12
V. PROSEDUR PENDEKATAN ENDONASAL 15
VI. PROSEDUR PENDEKATAN EKSTERNAL 19
VII. PERTIMBANGAN POST OPERASI 26
BAB III 28
I. IDENTITAS PASIEN 28
II. ANAMNESIS 28
III. PEMERIKSAAN FISIK 28
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG 29
V. DIAGNOSIS 31
VI. PENATALAKSANAAN 31
VII. LAPORAN OPERASI 31
VIII. FOLLOW UP 33
IX. DISKUSI 34

2
BAB I
PENDAHULUAN

Secara historis, penyakit sinus frontal ditangani dengan pendekatan secara eksternal
(external approaches). Trepanasi sinus frontal modern pertama kali dideskripsikan pada
tahun 1884 oleh Ogston. Pada tahun 1921, Lynch melaporkan pengalamannya dengan teknik
external frontoethmoidectomy. Kemudian tahun 1939 Hutchinson melaporkan penggunaan
modern dari trepanasi sinus frontal, sehingga beberapa dekade berikutnya, indikasi dan teknik
ini telah dikembangkan. Kemudian tahun 1950 dan 1960, Montgomery mempopulerkan
osteoplastic flap (OPF) dengan obliterasi sinus frontal. Selanjutnya tahun 1970,
Messerklinger dan Wigand memperkenalkan endoscopic sinus surgery (ESS). Sejak 1980 an,
operasi sinus endoskopi telah dipertimbangkan sebagai perawatan standar untuk tatalaksana
bedah awal penyakit-penyakit pada sinus frontal, kecuali dalam kasus tertentu.1,2,3
Pada prinsipnya operasi sinus frontal dapat dilakukan secara endonasal (di bawah) dan
atau pendekatan eksternal (di atas). Pendekatan secara endonasal berkembang beberapa tahun
terakhir. Indikasi bedah endoskopi sinus frontal telah berkembang seiring meningkatnya
pengalaman, penelitian dalam teknik endoskopi, pengetahuan patofisiologi sinus, peralatan
optik, dan instrumen modern. Pembedahan sinus frontal tetap menjadi tantangan tersendiri
karena drainase sinus frontal ditambah dekatnya dengan orbita dan fossa kranial anterior.
Meskipun pendekatan eksternal pernah populer, kemajuan dalam teknik bedah dan panduan
gambar telah menghasilkan pendekatan endoskopi menjadi favorit untuk operasi sinus
frontal. Namun demikian, pendekatan eksternal berperan penting melengkapi teknik
endoskopi transnasal.2,4,5
Pembedahan sinus frontal merupakan operasi yang sangat kompleks karena akses
pembedahan yang terbatas dan potensi stenosis drainase sinus frontal pasca operasi. Di awal
fase pasca operasi (2-3 hari setelah operasi), fibroblas membentuk fibrin mesh kemudian
menghasilkan jaringan granulasi sehingga terbentuk jaringan parut. Pada minggu berikutnya,
jaringan epitel yang rusak mengalami inflamasi dan edema pada ostium sinus frontal pasca
operasi. Akibat hal ini dapat menyebabkan adhesi sehingga dapat menyumbat drainase sinus
frontal. Pada tahap remodelling (tiga minggu setelah operasi), terbentuk jaringan parut (scar)
yang dapat menyempitkan drainase sinus frontal.6
Beberapa pasien pada resessus frontal setelah pembedahan mengalami scar, sinekia
atau osteogenesis dengan reoklusi pada saluran drainase sinus frontal. Zona transisi fronto-
nasal sangat rentan terjadi jaringan parut, karena sering tersentuh saat operasi. Sekitar 15%

3
jaringan parut terjadi saat post operasi sinus. Penyumbatan meatus media menyebabkan
rinosinusitis berulang pada 7% pasien.6
Etmoidektomi endoskopi dapat menyebabkan scar pada drainase sinus frontal, sehingga
menyebabkan penyakit pada sinus frontal. Reoklusi berkaitan dengan diameter neo-ostium
frontal, polyposis, sisa tulang pada resessus frontal, severe mucosal diseases, lateralisasi
konka media.6
Teknik trepanasi frontal adalah teknik tambahan yang sangat bermanfaat untuk
pembedahan sinus frontal saat akses endoskopik tidak cukup. Secara konvensional, dokter
THT-KL memilih antara pendekatan eksternal (osteoplastik flap, trepanasi frontal) atau
pendekatan endoskopi murni (sinusotomi frontal endoskopik, endoskopi modifikasi Lothrop).
Namun demikian, kombinasi dari trepanasi dengan teknik endoskopi semakin banyak
digunakan untuk operasi sinus frontal untuk kasus rinosinusitis dan patologi terkait. 2,5,7
Meskipun kemajuan dalam bidang endoskopi dan pemahaman yang lebih baik tentang
fisiologi sinus paranasal, trepanasi sinus frontal merupakan pilihan pembedahan di saat
prosedur dekompresi yang cepat dari sinus frontal melalui septektomi intersinus, atau reseksi
tumor tidak bisa ditangani sepenuhnya melalui pendekatan endoskopi.1,2,3
Meskipun telah mengalami kemajuan dalam teknik endoskopi, trepanasi sinus frontal
merupakan pendekatan eksternal terhadap sinus frontalis yang memiliki peran dalam
tatalaksana penyakit sinus frontal. Prosedur ini sering dikombinasikan dengan pendekatan
endoskopi untuk menangani penyakit inflamasi, tumor, dan kebocoran cairan serebrospinal
dari sinus frontal yang tidak dapat ditangani dengan prosedur endonasal saja.4,8

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Konsep membuat bukaan eksternal kecil ke sinus frontal untuk drainase infeksi akut
telah digunakan oleh dokter selama lebih dari 250 tahun. Lokasi sinus frontal pada
daerah anterior tulang dahi cocok untuk pendekatan eksternal (external approach).1
Trepanasi sinus frontal dengan menggunakan stent pertama kali dilaporkan lebih
dari 100 tahun lalu. Penggunaan stent sinus frontal berguna untuk drainase sinus frontal
dan mempertahankan drainase sinus frontal tanpa operasi radikal. Stent mencegah
terbentuknya jaringan parut (scar) melewati sinus frontal, dan sebagai gantinya
memungkinkan epitelisasi terjadi di sepanjang permukaan dari stent. Proses ini
mendorong mukosa dari saluran drainase sinus frontal.6
Trepanasi sinus frontal adalah pendekatan eksternal terhadap sinus frontal yang
memiliki peran dalam tatalaksana penyakit sinus frontal. Prosedur ini sering
dikombinasikan dengan pendekatan endoskopi untuk menangani penyakit inflamasi
seperti rinosinusitis, dan noninflamasi seperti neoplasma, dan kebocoran cairan
serebrospinal (CSF).4,5
Trepanasi sinus frontal merupakan metode langsung untuk evakuasi pus pada
rinosinusitis akut atau kronik dan osteomielitis (Pott’s puffy tumor). Dengan dikenalnya
pembedahan secara endoskopi untuk penanganan penyakit sinus frontal tidak
sepenuhnya dapat mengatasi anatomi kompleks dan beragam patologi sinus frontal.
Sehingga trepanasi sinus frontal dengan pendekatan eksternal merupakan metode
selanjutnya untuk meningkatkan visualisasi area pembedahan sinus frontal dan
penanganan kasus dengan osteoplastic flap (OPF).1,2,9

II. ANATOMI SINUS FRONTAL

Ukuran dan bentuk sinus frontal bervariasi tergantung derajat pneumatisasinya,


dapat juga tidak berkembang pada kurang lebih 5% orang dewasa. Sinus frontal dapat

5
tidak dijumpai pada satu sisi atau dapat sangat besar meluas sampai ke atap orbita.
Kedua sinus frontal sering asimetris dan dipisahkan oleh septum intersinus yang tipis dan
posisinya sering oblik atau bahkan tidak sempurna. Dinding anterior sinus berhubungan
dengan kulit dahi, dinding inferior berhubungan dengan orbita, dan dinding posterior
berhubungan dengan selaput otak dan lobus frontal otak.10
Sinus frontal merupakan struktur piramidal yang terletak di bagian anterior dari
cranium dan ditutup oleh dua lapisan tulang kortikal, yaitu : table anterior yang tebal dan
table posterior yang lebih tipis. Dinding anterior sinus frontal dimulai pada garis
nasofrontal dan berakhir di bawah tonjolan tulang frontal. Ketebalan dinding anterior
berkisar dari 4 hingga 12 mm. Dari permukaan superfisial ke profunda, lapisan ini
ditutupi oleh lapisan kulit, lemak subkutan, musculus frontalis, dan pericranium.3

Gambar 1. Anatomi Sinus Frontal

Sinus frontal memiliki dua ekstensi, yaitu: Bagian superior ke dalam bagian
skuamosa os frontal, dan bagian posterior ke dalam bagian orbital os frontal antara
permukaan inferior lobus frontal dan isi orbital. 3
Septum intersinus adalah struktur tulang berbentuk segitiga yang memisahkan sinus
frontal menjadi dua rongga saluran yang terpisah. Septum ini dapat bervariasi posisinya
sehingga cavitas sinus frontal mungkin asimetris. Sinus frontalis dilapisi oleh mukosa
epitel kolumnar bersilia pseudostratifikasi.3
Drainase sinus frontal adalah kompleks dengan saluran keluar yang menyerupai
bentuk seperti jam pasir. Bagian superior meluas sampai ke sinus frontal dan bagian

6
inferiornya meluas sampai ke recessus frontal. Variasi pola drainase saluran keluar sinus
frontal tergantung pneumatisasi sekitar sel etmoid dan posisi processus uncinatus.
Adanya pneumatisasi yang jelas dari sel agger nasi atau bulla etmoid dapat
mengobstruksi drainase sinus frontal dengan menyempitkan resessus frontal. Drainase
sinus frontal juga tergantung perlekatan dari bagian superior processus uncinatus.
Pembukaan dari sinus frontal berada di dasarnya dan menuju ke meatus media.10

Gambar 2. CT Scan Anatomi Sinus Frontal

Recessus frontal didefinisikan sebagai bagian tersempit dari traktus dan merupakan
aspek paling inferior dari sinus frontal. Recessus frontal dibatasi oleh struktur
berikut:3,10,11
a) Lateral terdapat lamina papyracea superior
b) Medial terdapat lamella vertikal dari meatus medius
c) Anterosuperior terdapat os nasofrontal
d) Anteroinferior terdapat sel agger nasi
e) Posterior terdapat basis crania

7
Gambar 3. Resessus Frontal
Nervus supraorbita dan supratrochlear menginnervasi jaringan lunak pada anterior
sinus frontal dan daerah sekitarnya.3
1) Nervus supraorbita
a. Cabang dari nerbus ophtalmicus (V1)
b. Melewati foramen supraorbital (terletak di atas tepi atas orbita di
persimpangan medial dan lateral dua pertiganya), menginnervasi ke musculus
corrugator, kemudian menembus secara superior melalui musculus frontalis
c. Berjalan di sepanjang jaringan subkutan padat kulit kepala
d. Memberikan sensasi pada kulit dahi dan kelopak mata atas
e. Bercabang ke sinus frontal melalui lubang untuk vena frontal diploic
2) Nervus supratrochlear
a. Melewati superior trochlea dari musculus obliquus superior dan keluar pada
medial dari foramen supraorbital dan melewati sekitar tepi atas orbita, jauh ke
musculus frontalis
b. Menembus septum orbital bersamaan dengan arteri supratrochlear
c. Menembus melalui musculus corrugators
d. Menginervasi kulit dan konjungtiva kelopak mata atas dan kulit dahi medial
bagian bawah
Trepanasi sinus frontal dengan pendekatan eksternal dapat dilakukan insisi disekitar
alis, yaitu: A)Suprabrow, B)Intrabrow, dan C)Infrabrow. Nervus supratrochlear dan
supraorbital terletak pada batas medial dan lateral insisi.1,3

8
Gambar 4. N. Supratrochlear & N. Supraorbital dan Garis Insisi Sekitar Alis :
(A) Suprabrow, (B) Intrabrow,(C) Infrabrow, (D) Lipatan kelopak mata atas 3

Vaskularisasi pada hidung berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis
eksterna yang memperdarahi septum dan dinding lateral hidung. Arteri optalmikus yang
berasal dari arteri karotis interna bercabang menjadi arteri etmoidalis anterior dan arteri
etmoidalis posterior masuk ke kavum nasi. Arteri etmoidalis anterior memperdarahi
septum bagian anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior
memperdarahi septum bagian posterior dan dinding lateral hidung. Arteri maksilaris
interna yang berasal dari arteri karotis eksterna kemudian bercabang menjadi arteri
sfenopalatina dan arteri palatine mayor. Arteri sfenopalatina masuk ke dalam rongga
hidung melalui foramen sphenopalatina yang terletak sebelah lateral ujung posterior
konka media. Di dalam rongga hidung arteri sfenopalatina bercabang menjadi lateral
nasal artery yang mendarahi dinding lateral hidung dan posterior septal nasal artery yang
memperdarahi septum nasi. Arteri karotis interna juga bercabang menjadi arteri fasialis
lalu menjadi arteri labialis superior. Pada bagian anterior septum terdapat anastomosis
dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri ethmoidalis anterior, arteri labialis
superior, arteri palatina mayor yang disebut plexus kieselbach. Letaknya superfisial dan
mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber perdarahan hidung. Pada
bagian posterior konka media terdapat anastomose arteri spenopalatina dan ascendeng
pharyngeal artery (woodruff’s area). Daerah ini sering menyebabkan epistaksis
posterior).

9
Gambar 5. Vakularisasi Sinus Paranasalis: ACA anterior cerebral artery, AEA anterior ethmoidal
artery, APA ascending palatine artery, APhA ascendeing pharyngeal artery, DPA sescending palatine
artery, ECA external carotid artery, FA facial artery, ICA internal carotid artery, ILT inferior lateral
trunk, IMA internal maxillary artery, OFA orbitofrontal artery, OphA ophthalmic artery, PEA posterior
ethmoidal artery, SLA superior labial artery, SPA sphenopalatine artery 10

III. INDIKASI TREPANASI SINUS FRONTAL

Secara umum, trepanasi sinus frontal dapat digunakan untuk 2 tujuan. Kadang-
kadang digunakan bersamaan dengan operasi bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF)
di mana digunakan pendekatan “atas dan bawah” atau “pendekatan 2 sisi” untuk
memandu pendekatan endoskopik ke recessus nasofrontal dan ostium sinus frontal.1,2
Irigasi sinus frontal melalui trepanasi sementara ahli bedah mengamati secara
endoskopi dari bawah meningkatkan visualisasi area pembedahan. Endoskop dapat
dimasukkan melalui trephine untuk memeriksa aliran sinus frontal dan integritas mukosa.
Setiap cairan di sinus frontal harus dikeluarkan dengan irigasi atau aspirasi salin non
bakteriostatik, dan dikirim untuk dikultur. Jika penyakit neoplastik dicurigai pada sinus
frontal, trepanasi memungkinkan akses untuk biopsi. Trepanasi juga dilakukan untuk
menjatuhkan dinding dalam sel frontal tipe 4, yang tidak dapat dicapai dari pendekatan
endonasal. Dalam kasus ini, trepanasi yang sedikit lebih besar (yang tidak menjadi
masalah secara kosmetik) diperlukan untuk memasukkan teleskop kecil dan
instrumentasi ke dalam sinus frontal.1,5
Indikasi kedua untuk trepanasi sinus frontal adalah sinusitis frontal akut yang
refrakter terhadap penatalaksanaan medis yang tepat. Tujuan dari trepanasi adalah untuk
menyediakan akses untuk drainase atau kultur dari bahan sinus frontal yang terinfeksi.
Selain itu, trepanasi menyediakan portal untuk mengairi sinus jika terjadi mukopurulensi
berulang. Dalam beberapa kasus, sinusitis frontal kronis refrakter yang terisolasi dapat
berespons terhadap trepanasi dan prosedur endoskopi dapat dihindari. Bahkan jika
prosedur endoskopi diperlukan, prosedur ini memungkinkan daerah pembedahan lebih
menyeluruh.1
Adanya penyebaran infeksi intrakranial dari sinusitis frontal akut merupakan
indikasi pasti untuk trepanasi bersama dengan prosedur drainase bedah saraf. Komplikasi

10
lain sinusitis frontal akut seperti abses orbita, ekstensi intrakranial, mucopyocele atau
osteomyelitis (Pott puffy tumor) mungkin dapat dicegah dengan trepanasi lebih awal. 1
Saat ini belum ada kesepakatan indikasi post operasi stent sinus frontal. Penilaian
terhadap pasien yang perlu stent sinus frontal didasari resiko re-stenosis. Beberapa faktor
resiko ahli bedah mempertimbangkan stent sinus frontal, yaitu:6
1) Ukuran saluran keluar sinus frontal (diameter neo-ostium kurang dari 5 mm
memungkinkan 2 kali re-stenosis)
2) Polyposis ekstensif (sinusitis alergi jamur)
3) Demukolisasi Ekstensif pada drainase sinus frontal dengan dikelilingi tulang
terbuka
4) Revisi operasi bedah sinus frontal dengan jaringan parut (scar)
5) Osteitic bone pada resessus frontal (hasil CT scan)
6) Lateralisasi konka media
7) Trauma fraktur saluran keluar sinus frontal
Indikasi untuk trepanasi dengan atau tanpa sinusotomi frontal endoskopik meliputi,
yaitu:3
1) Sinusitis frontal akut tanpa penyebaran ekstrasinus yang tidak dapat ditangani
dengan sinusotomi frontal endoskopik
2) Sinusitis frontal akut dengan ekstensi intraorbital atau intracranial
3) Kebocoran cairan serebrospinal atau ensefalokel
4) Osteomielitis frontal (Pott’s puffy tumor)
5) Cairan mukopurulen pada sinus frontal yang membutuhkan septektomi intersinus
untuk dekompresi akut
6) Lesi sinus frontal di bagian lateral (misalnya: mukokel, polip inflamasi)
7) Obstruksi recessus frontal yang disebabkan karena neo-osteogenesis
8) Tumor fibrosa jinak yang membutuhkan reseksi (misalnya: osteoma, fibrosa
displasia, tumor jaringan lunak seperti inverted papilloma)
9) Sel frontal tipe II, III, atau IV yang membutuhkan reseksi dan tidak dapat diakses
dengan sinusotomi frontal endoskopik
10) Jarang: posterior table fracture, meningioma
Trepanasi sinus frontal juga dapat dilakukan sebagai tambahan dalam prosedur
sinustomi frontal endoskopik, dengan trepanasi bertujuan mengirigasi melalui sinus
frontal memungkinkan identifikasi recessus dari bawah.3

11
IV. PERSIAPAN DAN PERTIMBANGAN PREOPERATIF

Sebelum dilakukan prosedur operasi trepanasi sinus frontal, ada beberapa persiapan
yang harus dilakukan pada saat preoperatif, antara lain:3,9
1) Anamnesis menyeluruh merupakan langkah penting dalam perencanaan pra operasi.
Anamnesis harus mencakup kronisitas, frekuensi, keparahan, dan perkembangan
gejala. Karena sinusitis frontal sering terjadi dalam kondisi rinosinusitis akut atau
kronis, dan dapat diperburuk oleh rinitis alergi atau rinitis jenis lainnya, sehingga
perlu menanyakan riwayat alergi atau obat apapun, termasuk antibiotik, steroid, atau
imunomodulator. Perawatan atau operasi medis sebelumnya harus dieksplorasi, dan
riwayat trauma apapun harus didiskusikan. Perhatian harus diberikan pada tanda-
tanda kemungkinan komplikasi orbital atau intrakranial, termasuk perubahan
penglihatan, kekakuan leher, dan sakit kepala.
2) Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital dan pemeriksaan dasar kepala dan leher
harus dilakukan. Perhatian harus diarahkan pada tanda-tanda keterlibatan okular atau
intrakranial termasuk selulitis, erosi tulang frontal (pott’s puffy tumor), riwayat
operasi sebelumnya, atau bekas luka, penurunan ketajaman visual, tatapan mata
pucat, tanda rangsang meningeal, perubahan fungsi saraf kranial, atau perubahan
status mental harus meningkatkan kecurigaan untuk komplikasi penyakit sinus
frontal. Nasoendoskopi adalah salah satu pemeriksaan yang bermanfaat dan
diperlukan saat pemeriksaan fisik. Prosedur ini penting untuk mendapatkan kultur
dan mencari kelainan anatomi atau pembedahan sebelumnya, tanda-tanda polip, atau
massa lainnya.
3) Pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan tambahan yang bermanfaat
untuk evaluasi pasien. Hitung darah lengkap dapat mengungkapkan jumlah leukosit
yang abnormal atau pergeseran ke kiri, dan panel metabolisme dasar dapat
mendeteksi kelainan atau dehidrasi elektrolit. Jika pasien cenderung membutuhkan
prosedur operasi, panel koagulasi (PT, aPTT) dapat membantu. Tes alergi atau tes
imunologis mungkin membantu dalam pengaturan rawat jalan untuk mendeteksi
alergen atau imunodefisiensi tetapi tidak mungkin membantu dalam pengaturan
akut. Kultur hidung, ketika berhasil dikumpulkan, penting untuk memandu terapi
antibiotik, kultur cairan serebrospinal (CSF) atau darah tentu dianjurkan jika pasien
menunjukkan tanda-tanda status mental yang berubah atau sepsis.

12
4) X-ray dari sinus frontal adalah kebutuhan mutlak sebelum prosedur trepanasi.
Jumlah cairan atau opasitas harus ditentukan dan digunakan untuk memandu
prosedur trepanasi. Posisi konvensional Caldwell dan lateral dari frontal dapat
memberikan informasi yang memadai untuk melakukan trepanasi yang aman.
Namun, saat ini computed tomography (CT) scan sudah tersedia dan memberikan
informasi mengenai semua sinus paranasal dalam potongan koronal, anatomi tulang,
opasifikasi atau air fluid level pada masing-masing sinus. Jika diamati dengan
kontras, dapat mendeteksi abses dan kumpulan cairan. CT scan saat pre-operatif
diperlukan untuk menilai sinus frontal. Diameter neo-ostium (dibentuk oleh frontal
beak, basis krani anterior, medial orbit, cribriform plate) perlu dinilai. Sinusitis
alergi jamur atau osteitis pada saluran keluar sinus frontal dideteksi dengan penilaian
CT scan. MRI dapat memberikan informasi jaringan lunak tetapi bukan modalitas
utama. Namun, CT dan MRI keduanya dapat mengakses navigasi pembedahan.
Analisis sistematis dari hasil CT scan dengan memperhatikan fitur anatomi berikut:
a. Tinggi dan kedalaman (jarak anterior ke posterior) dari sinus frontal. Rata-rata
pasien pria memiliki sinus frontal yang lebih dalam. Kedalaman sinus frontalis
di beberapa titik dari medial ke lateral harus juga ditentukan sebelum operasi.
Beberapa sinus frontalis tidak cukup dalam untuk mengakomodasi instrumen
trepanasi standar.
b. Dehiscence dari atap orbita superior
c. Dehiscence dari table anterior atau posterior dari sinus frontal
d. Adanya sel sinus frontal
e. Ketebalan os nasofrontal
f. Ketebalan dasar nasofrontal (rata-rata 4 mm)
5) Trepanasi sinus frontal ideal dalam kasus-kasus di mana pendekatan endoskopi
murni tidak dapat dilakukan dan prosedur flap osteoplastik terbuka terlalu agresif
dan invasif.
6) Jika ada keraguan apakah sinus frontal dapat diakses secara endoskopi, persetujuan
untuk prosedur trepanasi harus diperoleh sebelum operasi.
7) Kondisi medis keseluruhan pasien harus dipertimbangkan, karena trepanasi dan
drainase sinus frontal seringkali dapat dilakukan lebih cepat daripada prosedur
endoskopi yang membutuhkan pengeboran berlebihan dari recessus frontalis.
8) Secara tradisional, indikasi untuk trepanasi sinus frontal adalah sinusitis frontal akut
yang refrakter terhadap penatalaksanaan medis yang tepat. Prosedur ini

13
memungkinkan drainase langsung dan kultur material yang terinfeksi dan
menyediakan portal untuk irigasi sinus frontal dengan kateter atau drain.
9) Infeksi sinus frontal dapat diatasi secara akut melalui trepanasi. Kemudian, setelah
infeksi dan inflamasi telah terobati, operasi endoskopi bertahap dapat dilakukan jika
masih ada obstruksi pada recessus frontal.
10) Komplikasi sinusitis termasuk abses orbita, ekstensi intrakranial, mucopyocele, dan
Pott’s puffy tumor dapat dihindari dengan trepanasi dini.
11) Penentuan insisi, meskipun dideskripsikan di medial infrabrow, dapat disesuaikan
dengan lokasi lesi. Insisi juga dapat diperbesar hanya sampai ukuran yang
dibutuhkan.
12) Tulang harus dilakukan saucerization saat pengeboran untuk menghindari masuknya
ke dalam sinus frontal secara tiba-tiba.
13) Sinus yang terinfeksi akut tidak boleh dimasuki melalui table anterior untuk
menghindari penyebaran infeksi dan osteomyelitis sekunder.
14) Drain atau kateter irigasi, stent harus ditempatkan dalam sinus terinfeksi.
Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk prosedur trepanasi sinus frontal antara
lain:3,16
a. Endoskopi 0o, 30 o, dan 70o
b. Pisau atau bisturi No. 15
c. Self-retaining retractor atau Senn retractor
d. Skin hook bercabang dua
e. Kauter bipolar atau Colorado-tip Bovie
f. Periosteal elevator atau Freer elevator
g. Bur pemotong bundar 4 mm
h. Perangkat hisap kecil (suction)
i. Pediatric Kerrison rongeur
j. Kateter karet merah 8F (jika perlu)
k. Silikon tube (stent)

V. PROSEDUR PENDEKATAN ENDONASAL

Pendekatan endonasal merupakan hal yang lazim bagi bedah sinus frotal yang
canggih, dan telah menjadi populer di era kontemporer. Pendekatan ini telah terbukti
efektif dalam berbagai patologi, termasuk lesi yang berbasis lateral. Operasi sinus frontal

14
endoskopi meliputi berbagai prosedur dengan indikasi dan penggunaan yang bervariasi.
Sistem klasifikasi yang digunakan untuk membahas prosedur sinus frontal pertama kali
dijelaskan oleh Draf pada tahun 1991.12-15
Prosedur Draf I (simple drainage), recessus frontalis dan infundibulum
dibersihkan. Ini melibatkan pengangkatan bagian superior dari processus uncinatus, sel
ethmoid anterior, dan sel-sel dalam recessus frontalis. Sel agger nasi dibiarkan pada
prosedur Draf I. Dengan cara ini, bagian tersempit dari recessus frontalis tidak
dimanipulasi. Sebaliknya struktur dibagian inferior ostium sinus frontal internal
dibersihkan. 12-14,16
Drainase tipe I dilakukan dengan etmoidektomi termasuk septa sel di daerah
recessus frontal. Bagian inferior dari Killian’s infundibulum mukosanya tidak tersentuh.
Sebagian besar kasus sinus frontal sembuh karena drainase yang ditingkatkan melalui
rongga ethmoid.12-14

Gambar 6. Draf tipe I (simple drainage), aea/ anterior ethmoidal artery;


lp/lamina papyracea; mt/middle turbinate; ns/nasal septum;
oc/olfactory cleft 12

Prosedur Draf IIa/b (extended drainage), kontras dengan prosedur Draf I karena
semua sel dalam recessus frontalis dibersihkan dengan pembukaan langsung dari ostium
sinus frontal internal. Drainase diperpanjang dapat dicapai setelah etmoidektomi dengan
reseksi dasar sinus frontal antara lamina papiracea dan konka media (tipe IIa) atau
septum nasi (tipe IIb) anterior ke sisi ventral fossa olfactorius.12,14
Dalam prosedur Draf IIa, semua sel dalam recessus frontalis bagian lateral dari
perlekatan konka media dibuka, di samping struktur yang dibersihkan dalam prosedur
Draf 1. Sejumlah besar kasus primer, dan banyak kasus revisi juga, dapat diatasi dengan
teknik Draf IIa. Prosedur Draf IIb melibatkan perpanjangan prosedur Draf IIa untuk
menyertakan seluruh lantai ipsilateral dari sinus frontalis. Ini termasuk melepas

15
perlekatan konka media ke dasar sinus frontal dan memperluas diseksi ke arah medial,
dengan septum nasi dan septum intersinus menjadi perpanjangan diseksi medial.
Prosedur Draf IIb dianggap lebih agresif dan berpotensi berisiko karena diseksi yang
berdekatan dengan cribriform plate dan potensi destabilisasi konka media.12,14

Gambar 7. (A) Prosedur Draf IIa (tampilan endoskopik 70°),


(B) Drainase sinus frontal diperluas dengan membuka antara
lamina papiracea dan konka media (kebanyakan tidak di bor)12,16

Gambar 8. (A) Prosedur Draf II b (tampilan endoskopik 70°),


(B) Drainase sinus frontal antara lamina papiracea dan septum nasi

(biasanya pengeboran secara medial) 12,16

Prosedur Draf II c, teknik ini paling baik diterapkan dalam pengaturan penempatan

sel septum sinus interfrontal. Draf II c merupakan perluasan Draf II b melintasi garis

16
tengah, tanpa melibatkan recessus frontal di sebelahnya. Ini dapat dilakukan dengan

mudah pada sel septum sinus interfrontal atau septum sinus interfrontal eksentrik. Draf

IIc adalah pilihan pembedahan pada penyakit sinus frontal kronis atau recalcitrant,

termasuk obstruksi unilateral atau bilateral, di mana akses ke recessus frontal ipsilateral

terbatas atau anatomi yang baik memungkinkan drainase dengan mengurangi manipulasi

pada sisi yang tidak terlibat. 17

Prosedur Draf III (median drainage) menciptakan jalur drainase tunggal yang

umum untuk sinus frontal bilateral.‘Frontal sinus drill-out’ dan ‘endoscopic modified

Lothrop procedure (EMLP)’ adalah istilah yang identik untuk prosedur Draf III, di mana

struktur yang dibersihkan oleh prosedur Draf IIb bilateral digabungkan dengan

pengangkatan septum intersinus dan septum nasi superior. Ini biasanya menggunakan

bor bersudut (angulated drill) untuk memastikan pengangkatan tulang yang adekuat pada

aspek anterior neo-ostium frontal. Saraf olfactorius merupakan struktur penting

(landmark) saat sinusotomi frontal draf tipe III (endoscopic modified Lothrop

procedure). Keputusan melanjutkan ke prosedur endoskopi sinus frontal yang diperluas,

termasuk prosedur Draf IIb dan III, biasanya merupakan hasil dari penyakit yang parah

dalam saluran nasofrontal, termasuk neo-osteogenesis, osteitis dan stenosis mukosa.

Pertimbangan anatomi, termasuk keberadaan konka media di bagian lateral atau

nasofrontal beak yang prominen, juga mempengaruhi keputusan untuk melanjutkan

dengan prosedur Draf IIb dan III. 12,14,15,18,19

Gambar 9.Tampilan pasca-operasi prosedur modifikasi Lothrop (Draf III).


Kedua sinus frontal digabungkan menjadi sebuah cavitas dengan
drainase yang luas (tampilan endoskopik 70°). 16

17
Gambar 10. (A) Drainase tipe III (medial drainage) dengan “Frontal T” (merah) dan saraf
olfactorius di kedua sisi (tampak di kiri inferior), (B) Drainase tipe III (potongan
sagital)12

Tabel 1. Indikasi Drainase Sinus Frontal Endonasal Draf Tipe I-III 12


Tipe I drainase
Sinusitis Akut - pembedahan konservatif gagal
- komplikasi pada orbita dan endokranial
- Pembedahan awal
Sinusitis Kronik - Tidak ada faktor resiko (intoleransi aspirin, asma)
- Revisi setelah etmoidektomi inkomplit
Tipe IIa drainase - Komplikasi serius sinusitis akut Y
- Mucopyocele medial a
- Tumor benigna
- Kualitas mukosa yang baik

Tipe IIb drainase - Semua indikasi tipe IIa, jika hasil IIa kurang 5x7
mm. Untuk tipe IIb perlu bor

Tipe III drainase - Revisi pembedahan yang sulit T


- Pasien dengan poliposis berat khususnya triad
mucoviscidosis
- Mucoviscidosis d
- Sindrom Kartagener a
- Ciliary Immotility Syndrome
k
- Tumor benigna dan maligna

18
VI. PROSEDUR PENDEKATAN EKSTERNAL

Trepanasi frontal paling baik dilakukan dengan pasien di bawah anestesi umum,
meskipun dalam situasi tertentu (misalnya, pasien dengan komorbiditas yang signifikan),
dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi lokal dan sedasi intravena. Persiapkan
pasien seperti biasanya dilakukan untuk prosedur endoskopi sinus, dengan membuka
seluruh area wajah termasuk dahi. Jika digunakan sistem panduan gambar yang
membutuhkan headset atau headband, letakkan di atas alis untuk memberikan ruang yang
cukup untuk akses bedah. Panduan gambar dapat membantu dalam menentukan lokasi
insisi yang ideal untuk masuk ke sinus frontal.3

Langkah-langkah prosedur trepanasi sinus frontal, sebagai berikut:3


1. Langkah 1: Insisi
Secara umum, empat garis insisi eksternal yang berbeda dapat digunakan: di
dalam alis, di bawah alis, di atas alis, dan lipatan kelopak mata atas. Setiap
pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan tertentu dalam hal bekas luka yang
dihasilkan, kecukupan drainase, penilaian endoskopi, keamanan trepanasi, potensi
cedera saraf atau pembuluh darah, dan risiko komplikasi infeksi tulang.1,3
Pendekatan yang paling umum adalah insisi infrabrow yang terletak di aspek
superomedial orbita, tepat di bawah alis dan tepi supraorbital, dan medial ke bundel
neurovaskular supraorbital. Jika titik masuknya terlalu rendah dan medial, recessus
frontal dapat terganggu oleh pembentukan jaringan parut.Tempat ideal masuk adalah
di lantai medial dari sinus frontalis.3
Setelah persiapan steril dari area operasi telah selesai, infiltrasi lidokain HCL
1% dan injeksi epinefrin 1:100.000 di tempat insisi yang direncanakan. Buat insisi
kulit tidak lebih dari 1 hingga 2 cm, berakhir di alis medial. Jika insisi dilakukan pada
medial tepi alis, bekas luka dapat terlihat. Buat insisi dengan pisau No. 15. Perdarahan
minimal akan terjadi jika injeksi yang adekuat diberikan sebelum insisi. Jika perlu,
gunakan kauterisasi bipolar pada jaringan lunak yang lebih dalam untuk mencapai
hemostasis.1,3
Setelah menyelesaikan insisi kulit, tempatkan self-retaining retractor kecil ke
dalam insisi atau, jika ada asisten, gunakan Senn retractor kecil. Lanjutkan insisi

19
melalui periosteum dengan pisau No. 15 atau needle-point Bovie. Pisau lebih disukai
karena menghasilkan tepi periosteum yang adekuat yang bisa digunakan untuk
penutupan. Begitu berada di jaringan yang lebih dalam, kauter unipolar atau bipolar
digunakan untuk menghentikan perdarahan. Berhati-hatilah untuk menghindari kontak
dengan retraktor dan menggunakan perangkat kauter yang dijaga untuk mencegah
cedera termal pada kulit.3

Tabel 2. Kelebihan dan Kekurangan Garis Insisi 3

Insisi Bekas Luka Risiko Alopesia Risiko Parestesia Risiko Infeksi


Alis V1

Suprabrow Tampak Tidak Tinggi Ya

Intrabrow Tidak tampak Ya Rendah Tidak

Infrabrow Tidak tampak Tidak Rendah Tidak

Lipatan Tidak tampak Tidak Rendah Tidak


kelopak mata
atas

Pendekatan melalui kelopak mata atas (insisi blefaroplasti) untuk mencapai


sinus frontal melibatkan diseksi yang sedikit berbeda. Insisi lipatan kulit kelopak mata
atas dan perpanjang insisi menuju tepi medial dan lateral orbita. Kemudian, diseksi
secara paralel dengan lapisan musculus orbicularis oculi untuk mengidentifikasi
bidang preseptal di atas musculus levator palpebrae. Bawa diseksi medial ke arah
trochlea, lateral ke fossa lakrimal, dan superior ke tepi orbita untuk mengekspos arcus
marginalis. Identifikasi bundel neurovaskular supraorbital dan supratrochlear dan
tarik keluar dari area operasi untuk memastikan keamanannya. Setelah tepi orbita
diidentifikasi, insisi periosteum sejajar dengan tepi tulang. 3

20
Gambar 11. Insisi sekitar alis : (A) Suprabrow, (B) Intrabrow,(C) Infrabrow 1

2. Langkah 2: Membuka tulang


Setelah insisi dibuat melalui periosteum, gunakan Freer elevator atau periosteal
elevator untuk menaikkan periosteum secara superior dan inferior hingga sekitar 1 × 1
cm area tulang terbuka. Area yang lebih luas dapat dibuat jika prosedur membutuhkan
endoskopi dan instrumen, seperti untuk pengangkatan tumor atau perbaikan
ensefalokel. Setelah tulang terbuka, tandai titik yang tepat untuk penetrasi sinus
frontal. Penggunaan panduan gambar dapat membantu mengkonfirmasi titik masuk
terluas dan teraman. Penting untuk menembus ke dalam atau ke dekat lantai sinus
frontal, bukan ke dinding anterior. Dinding anterior berisi os diploic vertikal, dan
masuk melalui dinding anterior tidak dianjurkan jika sinus terinfeksi untuk
menghindari potensi penyebaran infeksi intrakranial atau osteomielitis os frontal. 1,3

Gambar 12. Teknik Trepanasi dengan Tepi Kulit Ditarik dan Mata Bor Ukuran 4 mm 1

3. Langkah 3: Pengeboran Trepanasi


Pilih bur pemotong 4 mm untuk melakukan trepanasi eksternal. Ketebalan
tulang rata-rata adalah 4 mm, dan ketebalan dapat diukur pada CT scan pra-operasi
juga untuk memperkirakan jumlah pengeboran yang diperlukan. Sinus dimasuki
dengan cara yang terkontrol dengan perlahan-lahan menggerakkan bor dalam gerakan
melingkar seperti saat membuka rongga mastoid. Tujuannya adalah untuk membuka
jendela anterior yang kira-kira 6 sampai 8 mm dengan pinggiran yang berlapis. 3

21
Gambar 13. Trepanasi Sinus Frontal Pendekatan Eksternal 1

Ketika mukosa sinus terlihat, rona biru akan terlihat melalui lapisan tulang
terakhir. Pada titik ini, gunakan kuret atau probe panduan kecil untuk masuk ke sinus
dan melepas lapisan tulang terakhir. Hal ini memberikan entri yang terkontrol ke
dalam sinus dan feedback taktil terhadap ahli bedah.Tahap ini sangat penting pada
pasien dengan sinus frontal yang dangkal (dimensi anteroposterior pendek). 3
Jika sinus akan dipasang instrumen, perbesar jendela dengan Kerrison rongeur 2
mm Lubang pada tulang yang berkisar antara 5 sampai 15 mm cukup untuk
mengakomodasi endoskopi dan/atau instrument. Melalui trepanasi, lakukan diseksi
dan instrumentasi berdasarkan indikasi prosedur. 3
Untuk penyakit inflamasi akut, sinus dapat diirigasi jika tidak ada dehiscence
pada orbita atau basis krani. Untuk penyakit inflamasi kronis, sinus diirigasi dengan
fluoresensi encer atau metilen blue untuk mengidentifikasi jalur drainase sinus frontal
secara endoskopi. Endoskop dan instrument digunakan untuk menghilangkan sel-sel
frontal. Trepanasi frontal dapat dikombinasikan dengan sinusotomi frontal
endoskopik menggunakan teknik atas dan bawah. 3

22
Gambar 14. Rona biru (dilingkari) menunjukkan mukosa sinus tipis yang mendasarinya. Pada
titik ini, kuret kecil atau probe digunakan untuk memasuki sinus dengan cara aman

dan terkontrol 3

Gambar 15. Tampilan endoskopi menunjukkan penggunaan pediatric Kerrison rongeur

memperluas celah menjadi diameter 5 mm sampai 15 mm 3

Gambar 16. Pencahayaan cukup untuk penempatan endoskopi dan/atau instrumen 3

Gambar 17. Ilustrasi teknik atas dan bawah. (A, B) sebuah ball-tip probe terlihat di ostium sinus
frontal menggunakan endoskop 30o ditempatkan di situs trepanasi. (C, D) lubang trepanasi
juga digunakan instrumentasi dengan endoskop ditempatkan untuk visualisasi resessus
frontal dari bawah. Paling sering dilakukan ketika trepanasi membantu mengangkat sel

resessus frontal tipe 3 (bintang) atau tipe 4 dengan endoskopi. 3

23
4. Langkah 4: Pemasangan Drain dan Penutupan

Kateter karet merah (8F adalah ukuran yang ideal) atau silikon tube dapat

dipasang untuk menyediakan portal untuk irigasi eksternal. Jahit kateter ini dengan

benang sutra atau nilon untuk mencegah drain terlepas. Biarkan drain irigasi eksternal

selama 3 hingga 5 hari. Saat menggunakan pendekatan kelopak mata atas, lebih baik

gunakan drain karet dibandingkan kateter karet merah. Drain karet harus dipasang ke

arah lateral.3,16

Tutup insisi kulit jika tidak ada drain yang dipasang. Gunakan benang 4-0

poliglaktin 910 (Vicryl) secara interuptus untuk menyatukan kembali periosteum.

Tutup kulit dengan benang non absorbable. Dianjurkan menggunakan jahitan

interuptus menggunakan benang nilon 5-0. Jahitan dilepas dalam 5 sampai 7 hari.

Salep antibiotik topikal diberikan dua kali sehari sampai jahitann dilepas. Tidak perlu

diverban. 3

Gambar 18. Foto Stent digunakan untuk irigasi sinus,


dijahit dengan benang sutra atau nilon 1

A B

24
Gambar 19. Post operasi, CT Scan Sinus (A) Potongan Coronal,
(B) Potongan Sagital Menampilkan Gambaran Stent In Situ 6

VII. PERTIMBANGAN POST OPERASI

Komplikasi potensial dari trepanasi termasuk jaringan parut pada wajah, selulitis
wajah atau periorbital, parestesia pada dahi dan verteks yang diakibatkan karena trauma
pada nervus supraorbita atau supratrochlear, alopecia alis mata dan kebocoran cairan
serebrospinal. Bekas luka di lokasi insisi mungkin disamarkan dengan alis mata.
Sebagian besar insisi memiliki panjang sekitar 1 cm dan sembuh dengan sangat baik
meskipun di bawah alis. Komplikasi yang harus disadari oleh pasien, adalah mati rasa
atau parestesia pada dahi dan verteks. Nervus supratrokeal keluar dari cranium di
sekitar area trepanasi. Meskipun kerusakan pada saraf sangat tidak terduga, banyak
pasien mengeluh parestesia. Komplikasi ini mungkin sementara atau permanen. 1,3,12
Salah satu masalah potensial yang harus didiskusikan dengan pasien adalah potensi
kegagalan trepanasi dalam kondisi penyakit inflamasi. Dibandingkan dengan prosedur
flap osteoplastik dengan atau tanpa obliterasi, trepanasi sinus frontal sebagai prosedur
definitif memiliki tingkat kegagalan setinggi 57%.3
Tata laksana trepanasi sinus frontal melalui pendekatan endonasal dan eksternal.
Indikasi prosedur ini pada penyakit noninflamasi termasuk trauma, tumor, dan
perbaikan defek basis kranii mengakibatkan kebocoran cairan serebrospinal dan
pneumocephalus. Selain itu, trepanasi sinus frontal memiliki peran penting dalam tata
laksana penyakit inflamasi seperti rhinosinusitis. Pendekatan ini digunakan sebagai
tambahan untuk pendekatan endonasal endoskopik (pendekatan atas dan bawah) atau
murni melalui pendekatan trepanasi. Pendekatan semacam itu memberikan akses yang
memadai untuk visualisasi dan instrumentasi endoskopi ke daerah lateral dan superior
sinus frontal.2,4,5,14
Prosedur drainase sinus frontal endonasal tipe I-III merupakan pilihan tata laksana
pembedahan pada sinus frontal. Selain itu juga dapat mengatasi komplikasi inflamasi
orbita dan intrakranial selama dinding os sinus frontal intak.12

25
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Tanggal lahir : 30 September 1985
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jeneponto
No. RM : 873100
Masuk RS : 13 Januari 2020

II. ANAMNESIS

Pasien datang ke RS.Wahidin Sudirohusodo dengan keluhan utama cefalgia yang


dirasakan sejak 3 tahun yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Rinore ada, obstruksi nasi
tidak ada, post nasal drips tidak ada, bersin-berseri kadang-kadang, blood stained
rhinorhea tidak ada, epistaksis tidak ada, riwayat epistaksis tidak, facial pain tidak ada,
gangguan penghidu tidak. Keluhan pada telinga dan tenggorok tidak ada. Riwayat skin

26
prick tes di RS. Wahidin Sudirohusodo tahun 2019 dengan hasil (alergi debu). Riwayat
operasi functional endosopic sinus surgery (FESS) 5 kali, yaitu :

1. Tanggal 3 Desember 2018 di RS. UNHAS


2. Tanggal 12 Maret 2019 di RS. Wahidin Sudirohusodo
3. Tanggal 24 April 2019 di RS. Wahidin Sudirohusodo
4. Tanggal 20 Mei 2019 di RS. Wahidin Sudirohusodo
5. Tanggal 2 Oktober 2019 di RS. Wahidin Sudirohusodo

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Sakit sedang/Gizi cukup/Composmentis


Tanda vital : T : 110/70 mmHg
N : 80 x/menit
P : 20 x/menit
S : 36,5 oC
Otoskopi : Meatus akustikus eksterna dekstra et sinistra kesan normal,
membran timpani intak, pantulan cahaya ada.
Rinoskopi anterior : Mukosa kavum nasi hiperemis, konka kongesti, tidak ada deviasi
septum nasi.
Faringoskopi : Tonsil T1/T1 tenang, mukosa orofaring tidak hiperemis
Laringoskopi indirek : Tidak dilakukan
Regio colli : Inspeksi : tidak tampak massa atau jejas
Palpasi : tidak teraba massa pada regio colli
VAS : 9
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT Scan post operasi pertama

27
CT Scan Sebelum FESS REVISI ke 6

28
Hasil CT Scan Sinus Paranasal tanpa kontras irisan coronal, sagital dan axial (10
Desember 2019):

1. Tampak perselubungan (28 HU) pada sinus frontal dextra


2. Konka nasal bilateral asimetris dengan mukosa ireguler
3. Sinus paranasal lainnya dalam batas normal
4. Mukosa sinus dan cavum nasi dalam batas normal
5. Ostiomeatal complex bilateral paten
6. Tidak tampak deviasi septum nasi
7. Oropharynx dan nasopharynx yang terscan dalam batas normal
8. Tulang-tulang yang terscan intak

Kesan :

a. Sinusitis Frontal Dextra


b. Rhinitis kronik atrophycans

Laboratorium (6 Januari 2020):

LABORATORIUM HASIL

WBC 13,1 x 103 / μL

V. DIAGNOSIS

Rinosinusitis Kronik Frontal Dextra

VI. PENATALAKSANAAN

Dilakukan operasi Functional Endoscopy Sinus Surgery (FESS) + Trepanasi Sinus


Frontal Dextra melalui Pendekatan Endonasal dan External

VII.LAPORAN OPERASI

Pada tanggal 14 Januari 2020 telah dilakukan operasi Functional Endoscopy Sinus
Surgery (FESS) + Trepanasi Sinus Frontal Dextra melalui Pendekatan Endonasal dan
External.

29
1. Pasien berbaring terlentang dalam General Anestesi, ETT terpasang
2. Desinfeksi lapangan operasi dengan betadin, pasang doek steril
3. Pasang tampon epinefrin (1: 100.000) cavum nasi kanan dan kiri
4. Identifikasi cavum nasi dengan endoskopi
5. Lakukan prosedur FESS:
a. Frontectomi dextra :
1)Tampak osifikasi pada bagian os.frontalis dextra
2) Lakukan pengeboran pada bagian osifikasi
6. Lakukan prosedur trepanasi eksterna sinus frontalis dextra
1) Buat landmark di bagian supero-medial palpebra superior dextra
2) Infiltrasi daerah landmark dengan lidocain:efedrin 1:100.000, insisi lapis
demi lapis, bebaskan secara tajam dan tumpul sehingga tampak dinding
anterior sinus frontalis dextra
3) Buat hole dengan pahat pada dinding anterior sinus frontalis dextra, tampak
pus/nanah yang mengalir dari sinus frontal
7. Lakukan kuretase secara internal pada osifikasi di sinus frontal dextra dengan
endoskopi hingga tampak pada ostium frontal
8. Pasang stent melalui ostium frontalis dan keluar pada cavum nasi dextra
9. Fiksasi stent di kolumella cavum nasi dextra
10. Pasang tampon boorzalf panjang (1) pada cavum nasi dextra
11. Jahit luka operasi lapis demi lapis
12. Kontrol perdarahan, perdarahan aktif tidak ada
13. Operasi selesai, perdarahan durante operasi 50 cc

1 2 3

5 6
4

30
Keterangan :
1. Landmark di bagian supero-medial palpebra superior dextra
2. Tampak dinding anterior sinus frontalis dextra
3. Tampak ujung kuretase pada ostium frontal dextra dengan endoskopi
4. Pasang stent melalui ostium frontalis dan keluar pada cavum nasi dextra
5. Jahit luka operasi lapis demi lapis

VIII. FOLLOW UP

Post operasi hari 1 (15/1/2020)


Sefalgi ada, nyeri frontal ada, nyeri ulu hati ada.
Terpasang tampon boorzalf (1) cavum nasi dextra, perdarahan aktif tidak ada, stent
terfiksasi terisi bekuan darah.
Ceftriaxon 1 gram/12 jam/intravena, ketorolac 30 mg/12 jam/intravena, Omeprazole
40mg/12 jam intravena
Post operasi hari 4 (18/1/2020)
Sefalgi berkurang dibandingkan kemarin, nyeri frontal ada, nyeri ulu hati berkurang
Stent terfiksasi terisi bekuan darah
P : Cefadroxil 500 mg 2x1, puyer nyeri, boleh pulang
Post operasi hari 8 (22/1/2020)
Sefalgi berkurang, nyer frontal ada
Stent terfiksasi terisi bekuan darah
Cefadroxil 500 mg 2x1, puyer nyeri
Post operasi hari 34 (17/2/2020)
Sefalgi tidak, facial pain os. frontal tidak. VAS 5
Nasoendoskopi, Methylprednisolon 4 mg 2x1, cuci hidung

31
Foto klinis dan nasoendoskopi Post Operasi

IX. DISKUSI

Menurut konsensus internasional, European Position Paper on Rhinosinusitis and


Nasal Polyps (EPOS) tahun 2020, definisi rinosinusitis kronis adalah suatu proses
inflamasi dari hidung yang ditandai dua atau lebih gejala dengan salah satu gejala harus
mencakup hidung tersumbat, obstruksi nasi, kongesti atau adanya sekret hidung
(anterior/posterior nasal drips) ± nyeri wajah/tekanan daerah sinus, ± penurunan atau
hilangnya daya penghidu. Dan salah satu temuan endoskopi : 1) polip nasi, dan atau 2)
sekret mukopurulen yang berasal dari meatus nasi medius, dan atau 3)edema/obstruksi
mukosa terutama pada meatus nasi media, dan atau gambaran tomografi komputer
terdapat perubahan mukosa pada daerah kompleks osteomeatal dan atau sinus dengan
perlangsungan lebih 12 minggu.20

Pada kasus ini didiagnosis rinosinusitis kronik berdasarkan anamnesis gejala klinis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa CT Scan sinus paranasal. Dari
anamnesis, didapatkan bahwa pasien mengeluh sefalgi yang sudah dirasakan sejak 3
tahun sebelum masuk rumah sakit. Terdapat pula gejala khas rinosinusitis yaitu rinore,
bersin berseri kadang-kadang. Riwayat skin prick tes di RS. Wahidin Sudirohusodo
tahun 2019 dengan hasil (alergi debu). Riwayat operasi functional endosopic sinus
surgery (FESS) 5 kali sejak tanggal 3 Desember 2018 di RS. UNHAS, dan tanggal 12

32
Maret 2019, tanggal 24 April 2019, tanggal 20 Mei 2019 dan tanggal 2 Oktober 2019 di
RS. Wahidin Sudirohusodo.

Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa tanda vital, pemeriksaan otoskopi,


faringoskopi, dan regio colli dalam batas normal. Namun, pemeriksaan rinoskopi
anterior, didapatkan konka kongesti dan mukosa hiperemis. Pemeriksaan penunjang
berupa CT scan sinus paranasal tanpa kontras irisan coronal, axial, dan sagital
menunjukkan perselubungan pada sinus frontalis dextra serta concha nasalis bilateral
asimetris dengan mukosa ireguler, memberikan kesan Sinusitis frontal dextra dan rhinitis
kronik atrophycans.

Pada kasus ini, rinosinusitis yang diderita pasien telah bersifat kronik dan refrakter.
Gangguan telah terjadi lebih dari 12 minggu dan tidak membaik dengan terapi
konvensional bahkan prosedur bedah FESS sebelumnya (5 kali). Oleh karena itu, pada
kasus ini dilakukan tatalaksana berupa operasi revisi FESS bersamaan dengan trepanasi
sinus frontal dextra melalui pendekatan endonasal dan external. Alasan dilakukannya
trepanasi sinus frontal pada pasien ini adalah untuk drainase sinus frontal akibat
ossifikasi pada sinus frontal yang sulit dicapai dengan prosedur endoskopi biasa, oleh
karena itu digunakan kombinasi metode endonasal (internal) dan external.

Keluhan rinosinusitis pasien ini saat post operasi atau saat kontrol berupa sefalgi
menjadi berkurang. Stent untuk drainase dan mencegah ossifikasi dari sinus frontal
dipertahankan selama 1 bulan. Setelah prosedur operasi, perlu dilakukan pengawasan
terhadap komplikasi operasi seperti selulitis wajah atau periorbital, kebocoran cairan
serebrospinal, dan parestesia pada dahi dan vertex, selanjutnya bekas insisi juga dirawat
dengan baik agar jaringan parut yang terbentuk tidak mengganggu kosmetik.

Pertimbangan untuk dilakukan prosedur trepanasi sinus frontal pada kasus-kasus


sinusitis frontal yang gagal ditangani dengan pengobatan awal dan prosedur pembedahan
FESS (functional endoscopic sinus surgery) sebelumnya. Pertimbangan pre-operasi perlu
dilakukan untuk menentukan indikasi prosedur trepanasi serta menilai keadaan pasien
yang akan dilakukan operasi. Kemudian post operasi, diperlukan pengawasan untuk
menilai terjadinya komplikasi dari prosedur bedah trepanasi sinus frontal.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Poetker DM, Loehrl TA, et al. Frontal sinus trephination for acute sinusitis. Operative
Techniques in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2010;21(2):130-3.
2. Patel A, Vaughan W. “Above and below” FESS: simple trephine with endoscopic sinus
surgery. 2016. p. 325-35.
3. Iloreta AMC, Adappa ND, et al. Chapter 32 - Frontal sinus trephination. In: Chiu AG,
Palmer JN, Adappa ND, editors. Atlas of Endoscopic Sinus and Skull Base Surgery
(Second Edition). Philadelphia: Content Repository Only!; 2019. p. 301-8.e1.
4. Geltzeiler M, Mowery A, et al. Frontal sinus "mega-trephination" in a tertiary rhinology
practice. Int Forum Allergy Rhinol. 2019.
5. Patel AB, Cain RB, et al. Contemporary applications of frontal sinus trephination: A
systematic review of the literature. The Laryngoscope. 2015;125(9):2046-53.
6. Hunter B, Silva S, Youngs R, et al. Long-term Stenting for chronical frontal sinus
disease:case series and literature review. The Journal of Laryngology & Otology.
2010.p.1216-22.
7. Schneider JS, Day A, et al. Early practice: external sinus surgery and procedures and
complications. Otolaryngologic clinics of North America. 2015;48(5):839-50.
8. Yan CH and Kennedy DW. Evolution and Challenges in frontal sinus surgery. springer
nature switzerland. 2019.p.1-10.

34
9. Lawson W, Ho Y. Open frontal sinus surgery: a lost art. Otolaryngologic clinics of North
America. 2016;49(4):1067-89.
10. Dhingra PL and Dhingra S. Anatomy and physiology of paranasal sinuses. Elsevier A
Division of Reed Elsevier India Private Limited. 2014;6(35):187-90.
11. Friedman M, Bliznikas D, Vidyasagar R, et al. Frontal sinus surgery 2004:Update of
Clinical Anatomy and Surgical Techniques. Elsevier Inc. 2004;15(1):23-31.
12. Draf W. Endonasal frontal sinus drainage type I–III according to draf. In: Kountakis SE,
Senior BA, Draf W, editors. The Frontal Sinus. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin
Heidelberg; 2005. p. 219-32.
13. Draf W. Endonasal micro-endoscopic frontal sinus surgery:the fulda concept. WB
Saunders Company. 1991;2(4):234-40.
14. Weber R, Draf W, Kratzsch B, et al. Modern concepts of frontal sinus surgery. The
American Laryngological, Rhinological and Otological Society, Inc. 2001.p.137-46.
15. Ruggeri CS, Aragon S, Cajelli L, et al. Endoscopic approach to the frontal sinus with
modified lothrop technique. outcomes in a large argentinean center. J Otolaryngol ENT
Res. 2019;11(2):140-3.
16. Marino MJ and McCoul ED. Frontal sinus surgery:the state of the art. International
Journal Head and Neck Surgery. 2016;7(1):5-12.
17. Al Komser MK, and Goldberg AN. Unilateral Transnasal endosopic approach to frontal
sinuses:draf IIc. Allergy Rhinol. 2013;4(2):e82-7.
18. Barham HP, Hall CA, Hernandez SC, et al. Impact of draf IIb and draf IIa frontal sinus
surgery on nasal irrigation distribution. International Forum of Allergy & Rhinology.
2019;00(0):1-4.
19. Upadhyay S, Buohliqah L, Junior GV, et al. First olfactory fiber as an anatomical
landmark for frontal sinus surgery. The American Laryngological, Rhinological and
Otological Society, Inc. 2016.p.1039-45.
20. Fokken W, Lund V, Mullol J. European position paper on rhinosinusitis and nasal
polyps.2012. Rhinology 50.p.1-12.

35
36

Anda mungkin juga menyukai